Anda di halaman 1dari 30

PRINSIP-PRINSIP KETATANEGARAAN ISLAM DALAM

PERSPEKTIF SUNNI DAN SY’IAH DAN EKSISTENSINYA DI


INDONESIA

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Tatanegara Islam

Dosen Pengampu :

Dr. Nurrohman, H., M.A.

Oleh :

Kelompok 2

Revina Aprilia Nurhidayat (1203050141)

Riva Gita Juliana (1203050150)

Septiani (1203050158)

Tsakila Malahayati (1203050168)

Wina Nur’aeni (1203050178)

JURUSAN ILMU HUKUM

FALKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur pada Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan untuk dapat
menyelesaikan Makalah berjudul “PRINSIP-PRINSIP KETATANEGARAAN ISLAM
DALAM PERSPEKTIF SUNNI DAN SY’IAH DAN EKSISTENSINYA DI INDONESIA”
ini sesuai dengan waktu yang ditentukan. Tanpa adanya berkat dan rahmat Allah SWT tidak
mungkin rasanya dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya.

Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk pemenuhan salah satu tugas mata kuliah
Hukum Tata Negara Islam yang dibina oleh Dr. Nurrohman, H., M.A.

Penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingan dan saran beliau, penulis dapat
menyelesaikan makalah ini. Dalam makalah ini kami memaparkan bagaimana prinsip-prinsip
ketatanegaraan dalam perspektif sunni dan sy’ah dan eksistensinya di Indonesia.

Kami dengan penuh kesadaran, menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kata
sempurna. Maka dari itu kritik dan saran sebagai masukan bagi kami kedepan dalam
pembuatan makalah sangatlah berarti. Akhir kata penulis mengucapkan mohon maaf bila ada
kata-kata dalam penyampaian yang kurang berkenan. Sekian dan terima kasih.

Bandung, 04 Oktober 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................................i

DAFTAR ISI........................................................................................................................................ii

BAB I....................................................................................................................................................1

PENDAHULUAN................................................................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah.........................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...................................................................................................................3

C. Tujuan Penelitian.....................................................................................................................3

BAB II..................................................................................................................................................4

LANDASAN TEORI...........................................................................................................................4

A. Pengertian Sunni dan Syi’ah...................................................................................................4

B. Dasar Pemikiran terbentuknya Sunni dan Syiah..................................................................6

BAB III...............................................................................................................................................11

PEMBAHASAN.................................................................................................................................11

A. Teori Perkembangan Ketatanegaraan Sunni dan Syi’ah...................................................11

B. Eksistensi Sunni dan Syiah di Indonesia..............................................................................20

C. Konflik Antara Sunni-Syi’ah di Indonesia..........................................................................22

BAB IV...............................................................................................................................................25

PENUTUP..........................................................................................................................................25

A. Kesimpulan............................................................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................................iii

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pertikaian politik sepeninggal rasulullah telah mengakibatkan umat Islam terpecah
belah menjadi beberapa faksi atau golongan. Pertikaian yang terjadi semasa dua khalifah
pertama yakni Abu Bakar dan Umar, tampak masih bisa diselesaikan. Tetapi pada saat
Umar digantikan oleh Usman, ia tidak bisa mengendalikan keadaan. Usman dinilai
‘nepotis’ karena gubernur-gubernur yang diangkat Umar, kemudian diganti dengan
kerabatnya. Hal ini mengakibatkan munculnya perasaan tidak senang di daerah-daerah.
Penggantian gubernur Mesir, Umar bin Ash, dengan Abdullah ibn Saad, salah satu
anggota keluarga Usman, mengakibatkan lima ratus pemberontak bergerak menuju
Madinah. Dalam pemberontakan itu Usman akhirnya terbunuh. Naiknya Ali bin Abi
Thalib menjadi khalifah keempat ternyata tidak mulus.

Tantangan pertama datang dari mereka yang sebenaranya ingin menjadi khalifah
seperti Talhah dan Zubair yang mendapat dukungan dari Aisyah, istri nabi. Ali dapat
memenangkan pertempuran yang terjadi di Irak tahun 656 M antara dirinya dengan
Aisyah yang didukung oleh Talhah dan Zubair.

Tantangan kedua datang dari Muawiyah, gubernur Damaskus yang juga keluarga
dekat Usman. Muawiyah menuntut Ali supaya menghukum pembunuh-pembunuh
Usman, bahkan ia menuduh Ali turut campur dalam soal pembunuhan itu. Sebab salah
tokoh seorang pemberontak yang kemudian membunuh Usman, yang bernama
Muhammad ibn Abi Bakr adalah anak angkat Ali bin Abi Thalib. Akhirnya pertempuran
antara Ali dan Mu’awiyah juga tak bisa dihindari. Dalam kondisi terdesak, Muawiyah,
melalui kepercayaannya Amr bin Ash minta berdamai dengan mengangkat al-Qur’an
keatas. Atas desakan beberapa pihak, Ali menerima tawaran untuk berunding. Sebagai
pengantara diangkat Amr bin Ash dari pihak Mu’awiyah dan Abu Musa al-Asy’ari dari
pihak Ali. Akan tetapi perundingan ini hanyalah siasat untuk mengukuhkan Mu’awiyah
dan menjatuhkan Ali. Keputusan ini jelas ditolak oleh pihak Ali. Meskipun Ali tidak mau
meletakkan jabatannya, tapi tentaranya kemudian pecah, sehingga Ali menghadapi dua
musuh, Muawiyah dan tentara yang memisahkan diri yang kemudian dikenal dengan

1
sebutan Khawarij. Khawarij menuduh Ali kafir,karena menerima perundingan, tidak
berhukum dengan hukum Allah. Ali telah berbuat dosa besar dan orang berbuat dosa
besar berarti kafir. Tidak hanya Ali, tapi mereka yang terlibat dalam perundingan
dianggap kafir dalam arti murtad sehingga mereka mesti dibunuh.1

Sunni dikenal juga dengan nama Ahl-Sunnah wal al-Jama’ah. Fondasi pemikiran
politik mereka dibentuk selama periode akhir pemerintah Umayyah hingga periode awal
Abbasiyah. Fondasi itu didirikan di atas prinsip pengembangan syariat (Fiqh). Sunni
merupakan kelompok yang berpendapat bahwa Nabi tidak menentukan khalifah
sesudahnya, tetapi kekhalifahan (imamah) diserahkan kepada umat dan merekalah yang
memilihnya.

Pada masa ini, aliran syiah mulai muncul di akhir masa kekhalifaan Utsman bin
Affan. Yaitu Abdullah bin Saba seorang Yahudi yang menjadi seorang muslim dan
disebut sebagai agen Yahudi untuk disusupkan ke dalam umat Islam guna merusak
tatanan agama dan masyarakat muslim. Syiah sendiri merupakan salah satu sekte pecahan
dari Islam. Dalam keyakinan Syiah dikatakan bahwa Rasulullah menunjuk Ali bin Abi
Thalib sebagai pengganti kekhalifaan Islam selanjutnya. Mereka percaya bahwa keluarga
Muhammad (yaitu para imam Syiah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang Quran
dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad, dan pembawa serta
penjaga terpercaya dan tradisi Sunnah.

Secara khusus, Syiah berpendapat bahwa Ali Bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan
menantu Muhammad dan kepala keluarga Ahlul Bait adalah penerus kekhalifaan setelah
Nabi Muhammad, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh Sunni.
Menurut keyakinan Syiah, Ali Bin Abi Thalib berkedudukan sebagai khalifah dan imam
melalui wasiat Nabi Muhammad.

Perpecahan aliran ini, memengaruh dalam penyebaran dan ketatanegaraan Islam


bahkan hingga masa kini .Maka, dalam makalah ini, akan membahas mengenai
perkembangan, serta prinsip kenegaraan dalam Sunni dan Syi’ah serta eksistensi Sunni-
Syiah di Indonesia.

1
Nurrohman, ASWAJA (Ahl Sunnah Wal Jamaah), NU dan Negara Islam, Hlm. 1

2
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dapat diketahui masalah-masalah yang muncul, masalah-
masalah tersebut dapat diidentifikasikan sebagai berikut :

1. Apa Perkembangan Ketatanegaraan Sunni dan Syi’ah?


2. Apa saja prinsip ketatanegaraan dalam Sunni dan Syi’ah?
3. Bagaimana Eksistensi aliran Sunni dan Syi’ah di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penulisan makaah ini, diantaranya :
1. Untuk mengetahui Perkembangan Ketatanegaraan Sunni dan Syiah.
2. Untuk mengetahui ketatanegaraan dalam perspektif Sunni dan Syi’ah.
3. Untuk mengetahui eksistensi aliran Sunni dan Syi’ah di Indonesia.

3
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Sunni dan Syi’ah


1. Pengertian Sunni
Sunni merupakan kependekan dari Ahlu Sunnah Wal Jama’ah diambil dari kata
As-sunnah, As-sunnah memiliki arti secara Bahasa ialah tradisi, adat istiadat yang
telah melembaga dalam masyarakat. Sedangkan menurut istilah, sunni adalah
tradisi yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan diteruskan kepada para salaf dan
shahih.Secara istilah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah berarti, Ahlu yang berarti ahli,
Sunnah ialah tradisi dan wajamaah ialah dan kelompok pengikut Nabi atau sahabat
Nabi. Ahlu Sunnah Wal Jama’ah adalah golongan terbesar umat Islam yang
menyandarkan amal ibadahnya kepada madzhab yang empat, yakni: Hanafi,
Maliki, Syafi’i dan Hambali. Dalam perkembangan berikutnya muncul gerakan
salafiyah yang dilakukan Ibnu Taimiyah dan diteruskan oleh Muhammad Abdul
Wahab dengan gerakan Wahabiyahnya yang sekarang menjadi madzhab resmi
kerajaan Arab Saudi.2
2. Pengertian Syi’ah
Menurut bahasa, Syi’ah berasal dari bahasa Arab Sya’a yasyi’u syi’an syi’atan yang
berarti pendukung atau pembela. Al-Fairuz Abadi menjelaskan bahwa Syi’ah
seseorang merupakan pengikut dan pendukungnya. Kelompok pendukung ini bisa
terdiri dari dua orang atau lebih, laki-laki maupun perempuan.Syi’ah Ali adalah
pendukung dan pembela Ali, sementara Syi’ah Mu’awiah adalah pendukung
Mu’awiyah. Pada zaman Abu Bakar, Umar dan Utsman kata Syi’ah dalam arti nama
kelompok orang Islam belum dikenal. Pada saat pemilihan khalifah ketiga setelah
terbunuhnya Abu Bakar, ada yang mendukung Ali, namun setelah umat Islam
memutuskan untuk memilih Utsman bin Affan, maka orang-orang yang tadinya
mendukun Ali, akhirnya berbaiat kepada Utsman termasuk Ali. Dengan begitu, belum
terbentuk secara faktual kelompok umat Islam bernama Syi’ah. Ketika timbul
pertikaian dan peperangan antara Ali dan Mu’awiyah, barulah kata Syi’ah muncul
2
Drs.H. Achmad Rodli Makmun,M.Ag , “Sunni dan Kekuasaan Politik” (Ponorogo: STAIN Ponorogo
Press,2006), hlm.9

4
sebagai nama kelompok ummat Islam. Tetapi bukan hanya pendukun Ali yang disebut
Syi’ah, namun pendukung Mu’awiyah pun disebut dengan Syi’ah, terdapat Syi’ah Ali
dan Syi’ah Muawiyah. Nama ini didapatkan dalam naskah perjanjian Tahkim, di situ
diterangkan bahwa apabila orang yang ditentukan dalam pelaksanaan tahkim itu
berhalangan, maka diisi dengan orang yang Syi’ah masing-masing dua kelompok.
Namun pada waktu itu, baik Syi’ah Ali maupun Muawiyah semuanya beralihan
Ahlussunnah, karena Syi’ah pada waktu hanya berarti pendukung dan pembela.
Sementara aqidah dan fahamnya, kedua belah pihak sama karena bersumber dari al-
Qur’an dan Sunnah Rasul. Sehingga Ali pun memberikan penjelasan bahwa
peperangan antara pengikutnya dan pengikut Muawiyah adalah semata-mata
berdasarkan ijtihad dan klaim kebenaran antara kedua kelompok yang bertikai
tersebut. 3
Syiah dalam arti kata lain dapat disandingkan juga dengan kata Tasyayu’ yang berarti
patuh/mentaati secara agama dan mengangkat kepada orang yang ditaati dengan
penuh keikhlasan tanpa keraguan.
Penggunaan kata Syiah dari sisi bahasa ini telah banyak diungkap dalam al-qur’an dan
literatur-literatur lama. Dalam Al Quran penggunaan kata Syiah terdapat dalam surat
Ash-Shaaffaat ayat 83 yang artinya: “Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar sebagai
pendukungnya (Nuh)”.
Kata “Syiah”dalam kebahasaan sudah dikenal sejak awal kepemimpinan Islam,
sebagai identifikasi terhadap kelompokkelompok yang mengidolakan seseorang yang
dianggap sebagai tokoh.
Adapun Syiah dalam arti terminologi terdapat banyak pengertian yang sangat sulit
dapat mewakili seluruh pengertian Syiah. Dalam Ensiklopedi Islam, Syiah yaitu
kelompok aliran atau paham yang mengidolakan bahwa Ali bin Abi Thalib ra. dan
keturunannya adalah Imam-Imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi
Muhammad SAW (Ensiklopedi Islam, 1997).
Muhammad Husain Attabi’i dalam bukunya “Syiah Islam” memberikan pengertian
bahwa Syiah adalah kaum muslimin yang menganggap penggantian Nabi Muhammad
Saw adalah merupakan hak istimewa yang dimiliki oleh keluarga nabi dan mereka
yang dalam bidang pengetahuan dan kebudayaan Islam mengikuti ahlul bait (Husayn
Attabi’i, 1989: 32).

3
Moh. Dawam Anwar, Mengapa Kita Menolak Syi’ah (Jakarta: Lembaga Pengkajian dan Penelitan Islam,
1998), hlm. 3

5
Sedangkan Qurais Shihab dengan mengutip pendapat Ali Muhammad al-Jurjani
mendefinisikan bahwa Syiah, yaitu mereka yang mengikuti Sayyidina Ali ra dan
percaya bahwa beliau adalah Imam sesudah Rasul saw. Dan percaya bahwa imamah
tidak keluar dari beliau dan keturunannya.
Pendapat Shihab ini lebih mencerminkan sebagian dari golongan dalam Syiah-untuk
sementara ini dapat diterima karena telah mencerminkan definisi untuk kelompok
Syiah terbesar yaitu Syiah Itsna Asyariyah. (Shihab 2007).
Syiah adalah kenyataan sejarah umat Islam yang terus bergulir.Lebih dari 1.000
tahun, Syiah mengalami perjalanan sejarah, tidak serta merta hadir dipanggung
perdebatan dan konflik sosial seperti saat ini.
Muhammad Husain Attabi’i dalam bukunya “Syiah Islam” memberikan pengertian
bahwa Syiah adalah kaum muslimin yang menganggap penggantian Nabi Muhammad
Saw adalah merupakan hak istimewa yang dimiliki oleh keluarga nabi dan mereka
yang dalam bidang pengetahuan dan kebudayaan Islam mengikuti ahlul bait (Husayn
Attabi’i, 1989: 32).
Sedangkan Qurais Shihab dengan mengutip pendapat Ali Muhammad al-Jurjani
mendefinisikan bahwa Syiah, yaitu mereka yang mengikuti Sayyidina Ali ra dan
percaya bahwa beliau adalah Imam sesudah Rasul saw. Dan percaya bahwa imamah
tidak keluar dari beliau dan keturunannya.
Pendapat Shihab ini lebih mencerminkan sebagian dari golongan dalam Syiah-untuk
sementara ini dapat diterima karena telah mencerminkan definisi untuk kelompok
Syiah terbesar yaitu Syiah Itsna Asyariyah. (Shihab 2007).
Syiah adalah kenyataan sejarah umat Islam yang terus bergulir.Lebih dari 1.000
tahun, Syiah mengalami perjalanan sejarah, tidak serta merta hadir dipanggung
perdebatan dan konflik sosial seperti saat ini.4

B. Dasar Pemikiran terbentuknya Sunni dan Syiah


1. Dasar pemikiran Sunni
Sistem politik kenegaraan Islam dilakukan oleh penguasa Islam setelah arbitrase.
Sejak penguasa pertama Umayyah, berbagai pembaharuan dalam sistem
pemerintahan dengan mengenalkan system suksesi kepemimpinan baru dengan
melalui pengangkatan dan pemilihan secara terbatas. Rakyat tidak lagi masuk
dalam pergulatan kepemimpinan Islam, namun hanya orang-orang yang terpilih

4
https://www.inews.id/lifestyle/muslim/apa-itu-syiah (diakses pada tanggal 1 Oktober 2021)

6
dan memiliki kapabilitas yang dapat mengusulkan naiknya seorang pemimpin. Di
kemudian hari prinsip ini semakin mapan dalam pemerintahan Islam dengan
menjelma dalam Ahll al-Halli wal ‘Aqdi Naiknya Abasiyyah sebagai penguasa
Islam semakin memapankan konsep-konsep tersebut, bahkan Abasiyyah bergerak
lebih jauh dari Umayyah dengan mengembangkan pelbagai ide tentang hak suci
dan hak absolut kepemimpinan Islam yang dapat mengukuhkan legitimasi
kekuasaan Abasiyyah. Dimensi- dimensi keagamaan pada otoritas kepemimpinan
Abasiyyah pada gilirannya memperkuat tampilan-tampilan pemerintahan yang
dekat agama. 5
Menurut M. Nafis, salah satu upaya untuk menunjukkan kredibilitas
pemerintahannya adalah dengan adanya pemanfaatan politik dengan
menggunakan bahasa agama. Pemanfaatan bahasa agama dalam pemerintahan ini
sangat kuat, sehingga khalifah dianggap sebagai wakil dari kepercayaan Allah di
muka bumi. Dengan demikian, pergeseran konsep khilafah yang dilakukan oleh
Umayyah semakin dikembangkan oleh Dinasti Abasiyyah, sehingga konsep
khilafah Allah menunjukkan klaim bahwa kekuasaan Abasiyah didirikan oleh
otoritas Tuhan dan bukan merupakan pilihan rakyat. dalam perkembangan
selanjutnya, pemikiran ini mendapat pengakuan dari intelektual Sunni. Namun
demikian, di samping pengukuhan otoritas kekuasaan dengan memakai trem-trem
agama, Abasiyyah tetap mengukuhkan legitimasinya dengan melalui al-Bai’ah al-
Āmmah sebagai simbol dari dukungan rakyat. Kenyataan ini menurut Nafis,
menunjukkan bahwa kekuasaan yang dianut oleh Abassiyah memiliki corak
teokratis-Absolut sekaligus berwajah populis-demokratis.
Namun lambat tetapi pasti, seiring dengan menurunnya legitimasi para Sultan
Abasiyyah, menurun pula pengaruh Muktazilah dalam kekuasaan Abasiyyah.
Dibawah kekuasaan al-Mutawakkil dan diikuti oleh 27 Khalifah setelahnya,
kekuasaan para Khalifah Abasiyyah semakin menurun. Di saat itu, pelbagai
penguasa yang awalnya merupakan vasal dari dinasti Abasiyyah mulai
melepaskan diri, bahkan ada yang berhasil mengusai seluruh pusat pemerintahan.
Kenyataan ini menjadikan sebagai besar penguasa Abasiyyah sebagai penguasa
boneka bagi para penakluknya. Berakhirnya pengaruh Muktazilah ini
menyebabkan naiknya pengaruh faham Sunni dikalangan istana, sehingga banyak

5
Muhammad Misbahuddin, “Kontrak Sosial Dalam Pemikiran Politik Sunni”, Jurnal Al-Adabiya: Jurnal
Kebudayaan dan Keagamaan Vol 12 No 2, 2017, Hlm. 163

7
para yuris istana (qadi) yang beraliran Sunni bekerja untuk negara. Posisi qadi ini
tidak saja digunakan semata-mata untuk kepentingan umat tetapi juga sebagai
justifikasi keagamaan terhadap kekuasaan khalifah, sehingga tidak ayal membuat
para penyusun legislasi tersebut berusaha menyusun pelbagai teori politik untuk
mendukung legalitas kekuasaan penguasa Abasiyyah. Sekarang kita marilah kita
ikuti pandangan-pandangan para intelektual Sunni mengenai tatanegara khususnya
mengenai kontrak sosial antara pemimpin.6
2. Dasar Pemikiran Sy’iah
Syi’ah berawal pada sebutan yang ditujukan kepada pengikut Ali, yang
merupakan pemimpin pertama ahl al-Bait pada masa hidup Nabi sendiri.
Kejadian-kejadian pada munculnya Islam dan pertumbuhan Islam selanjutnya,
selama dua puluh tiga tahun masa kenabian, telah menimbulkan berbagai keadaan
yang meniscayakan munculnya kelompok semacam kaum Syi’ah di antara para
sahabat Nabi. 7
Akar permasalah umat Islam, termasuk munculnya madzhab Syi’ah bermula
dari perselisihan mereka terkait siapa yang paling layak menjadi pemimpin setelah
Rasulullah Saw., wafat. Sebab, Rasulullah sebelum wafat tidak menentukan siapa
yang akan menggantikannya sebagai pemimpin umat dan negara. Sementara kaum
muslimin sesudah wafatnya Rasul merasa perlu mempunyai khalifah yang dapat
mengikat umat Islam dalam satu ikatan kesatuan. Sebelum dikebumikan kaum
Anshar berkumpul di Bani Sa’idah. Mereka berpendapat bahwa kaum Ansharlah
yang paling layak menjadi pengganti Rasul, lalu menyodorkan Sa’ad bin Ubadah
sebagai pemimpin. Di waktu yang sama, Umar mengajak Abu Bakar dan Abu
Ubaidah bin Jarrah. Ketiganya berangkat ke pertemuan kaum Anshar. Di hadapat
kaum Anshar Abu Bakar berpidato tentang keistimewaan kaum Anshar dan kaum
Muhajirin, di antaranya bangsa Arab tidak akan tunduk kecuali kepada kaum
Muhajirin, bahkan Allah dalam al-Qur’an mendahulukan kaum muhajirin
daripada kaum Anshar. Sesudah perdebatan persoalan pemimpin itu, kemudian
secara aklamasi kedua belah pihak memilih Abu Bakar menjadi pemimpin
mereka.

6
Ibid, hlm.165
7
M. Thabathaba’i, Islam Syi’ah: Asal Usul dan Perkembangannya (Jakarta: Temprint, 1989), hlm. 37.

8
Dengan demikian hilanglah perselisihan paham dan umat Islam kembali
bersatu . 8
Permasalahan kemudian muncul, ketika saat itu Ali tidak turut hadir
dalam sidang tersebut. Setelah mendengar pembaiatan Abu Bakar, nampak
ketidak puasan Ali bin Abi Thalib. Belakangan orang-orang yang menjadi
pengikut Ali, Abu Bakar dan Umar menikung Ali sebagai khalifah. Timbullah
pendapat bahwa yang berhak memegang khalifah adalah keluarga Nabi, dan Ali
lah yang paling pantas. Karena ia adalah menanti Rasul, orang yang paling besar
jihadnya, paling banyak ilmunya, keluarganya adalah seutama-utama keluarga
Arab. Namun demikian, akhirnya Ali turut membaiat Abu Bakar sesudah
beberapa waktu berlalu . 9Setelah Abu Bakar Wafat, khalifah dipegang oleh Umar
bin Khatab, banyak daerah yang bisa dikuasai pada masa Umar.
Setelah Umar bin Khattab terbunuh, Utsman didapuk menjadi khalifah. Pada
masa Utsman ini bani Umayyah mengambil manfaat untuk diri mereka sendiri.
Utsman merasakan bahwa Bani Umayyah benar-benar ikhlas dan membantunya
dengan penuh kejujuran. Lalu Utsman mengangkat banyak pembantu dari Bani
Umayyar. Masyarakat muslim melihat Utsman menempuh jalan lain yang
ditempuh dua khalifah sebelumnya. Munculah ketidak puasan atas kepemimpinan
Utsman sehingga Utsman akhirnya terbunuh.
Sayyidina Ali akhirnya dibaiat oleh sebagian besar kaum muslimin, termasuk
mayoritas kaum Muhajirin. Namun beberapa sahabat nabi yang enggan membaiat
Ali, yaitu Zubair dan Thalhah, dengan persetujuan Aisyah keduanya menentang
Ali dan berkecamuklah perang Jamal antara pasukan Ali dan Pasukan Aisyah,
Zubair dan Thalhah gugur dalam pertempuran tersebut. Di sisi lain, Muawiyah
dari keluarga Bani Umayyah yang menjadi Gubernur Syam mempresur Ali untuk
mengusut secara tuntas dan menghukup orang yang membunuh Utsman. Atas
ketidak puasan bani Umayyah ini, Muawwiyah memberontak khalifah Ali.
Terjadilah pertempuran di lembah Shiffin. Setelah agak terdesak, dan hampir-
hampir pasukan Ali memenangkan pertempuran, Muawiyah menyuruh salah satu
tentaranya untuk mengangkat mushaf di atas lembing yang tinggi, sebagai tanda
menyerah dan permintaan perdamaian. Beberapa orang dari pasukan Ali merasa
tidak puas atas keputusan damai (tahkim) tersebut, sebab mereka merasa pasukan
Ali hampir menumpaskan pasukan pemberontak.
8
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam (Jakarta: Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm.
104-105
9
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid….., hlm. 106

9
Peristiwa tahkim ini tidak malah menyebabkan perdamaian antara dua belah
pihak, namum memunculkan faksi-faksi di tubuh umat Islam menjadi tiga (3)
kelompok:
1. Kelompok Syi’ah, yaitu golongan yang memihak pada Ali dan kerabatnya dan
berpendapat bahwa Ali dan keturunannyalah yang berhak menjadi khalifah.
2. Kelompok Khawarij, yaitu golongan yang menentang Ali dan Muawiyah,
mereka berpendapat bahwa tahkim itu menyalahi prinsip agama.
3. Kelompok Murjiah, yaitu golongan yang tidak menggabungkan diri kepada
salah satu pihak dan menyerahkan hukum pertengkaran itu kepada Allah
S.W.T.

10
BAB III

PEMBAHASAN
A. Teori Perkembangan Ketatanegaraan Sunni dan Syi’ah
1. Perkembangan Ketatanegaraan Sunni

Doktrin politik sunni tentang kepatuhan dan taat terhadap pemimpin dan larangan
untuk melakukan oposisi atau pemberontakan terhadap penguasa, dapat dilihat sumbernya
dari pandangan beberapa tokoh-tokoh politik dan ketatanegaraan Sunni mengenai sumber
kekuasaan dan kewenangan penguasa. Kelompok Sunni biasanya menganggap bahwa
kekuasaan khalifah (kepala Negara) berasal dari Tuhan. Kecuali al mawardi mempunyai
pemikiran berbeda terkait sumber kekuasaan khalifah (kepala Negara). Namun tetap
menekankan pada kepatuhan terhadap pemimpin.10 Adapun berikut adalah beberapa
tokohnya:

a. Ibn Abi Rabi’

Hidup pada Abad ke-3 H/9 M pada masa pemerintahan khalifah al-Mu’tasim
(Khalifah Abbasyiah yang ke 8). Dalam sejarah Islam khalifah Abu Ja’far al Mansur dari
Bani Abbas mmeperkenalkan dirinya sebagai khalifah (wakil) Tuhan di bumiNya.
Pernyataan ini menunjukan bahwa khalifah merupakan perwakilan Tuhan di bumi dan
memerintah berdasarkan mandat dari Tuhan. sehingga kekuasaanya suci dan mutlak serta
harus dipatuhi. Dengan kata lain bahwa Khalifah adalah bayang-bayang Allah di dunia.
Pandangan ini dibenarkan oleh Ibn Abi Rabi’ sebagai dasar bagi legitimasi keistimewaan
hak-hak kepala Negara (khalifah) atas rakyatnya dalam ajaran agama didasari pada surat
al An’am 6: 165 dan al Nisa, 4: 59

“Dialah (Allah) yang telah menjadikan kamu sebagai penguasa penguasa di bumi ini
dan Dia pula yang meninggikan sebagian atas sebagian lainnya beberapa derajat” (QS. Al
An’am, 6: 165)

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu.” (QS. Al Nisa’, 4: 59)

10
Toguan Rambe – Seva Mayasari, “Pemikiran Politik Sunni Sebagai Alat Legitimasi Kekuasaan”, Jurnal:
Penelitian Medan Agama Vo. 11 No. 1, 2020, Hlm. 19

11
Ibn Abi Rabi’ berpendapat bahwa kedua ayat diatas merupakan landasan pemikiran
tentang kepatuhan terhadap pemimpin, kedua ayat tersebut menjelaskan penegasan Allah
bahwa Ia telah memberikan keistimewaan kepada para pemimpin (raja) dengan segala
keutamaannya dan memperkokoh kedudukan mereka di bumi Nya. Oleh sebab itu, Allah
telah memberikan mandat dan mempercayakannya untuk memimpin hamba-hamba yang
lain. Selain itu Allah juga memerintahkan untuk mengormati, mengagungkan dan menaati
perintah mereka. 11

b. Al-Ghazali

Al ghazali berpandangan bahwa tuhan merupakan sumber kekuasaan. Kemudian


Tuhan memberikan kekuasan tersebut kepada sebagian-sebagian hambaNya (kepala
Negara). Sehingga hal ini membuat kekuasaan kepala Negara menjadi bersifat sakral dan
suci, dan rakyat harus patuh dan taat pada kepala Negara. Dalam karyanya al Tibr al
Masbuk, al Ghazali menyatakan bahwa Allah telah memilih dua kelompok manusia.
Kelompok pertama adalah para nabi dan rasul Allah. Mereka merupakan utusan Allah
yang diutus untuk memberikan penjelasan kepada manusia lainnya tentang petunjuk dan
dalil-dalil beribadah kepadaNya. Selain itu, mereka juga bertugas menjelaskan kepada
manusi tentang bagaimana cara mengenal Allah. Kelompok kedua adalah penguasa.

Kelompok kedua adalah penguasa. Kelompok yang diutamakan Allah karena mereka
dapat menjaga umat manusia dari sikap permusuhan yang dapat menciptakan perpecahan
antara satu dengan yang lainnya. Kemaslahatan umat manusia di bumi sangat terkait erta
dan bergantung dengan keberadaan penguasa ini. Dengan kekuasaan yang mereka miliki,
Allah menempatkan mereka pada posisi yang terhormat. Sehingga, orang yang diberi
pangkat atau kekuasaan oleh Allah sebagai penguasa dan dijadikan sebagai pengganti
Tuhan dan pengayom di muka bumi. Maka setiap orang umat manusia wajib mencintai,
tunduk dan mematuhinya. Mereka tidak dibenarkan dan dilarang untuk menentang
ataupun mendurhakainya. Al ghazali mengutip sebagaimana firman Allah “Hai orang-
orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil al amri diantara kamu”. Al
ghazali berpendapat bahwa penguasa (pemimpin) adalah bayang-bayang Allah di muka
bumi dan kekuasaannya berasal dari Tuhan. Karena penguasa menurut al-Ghazali dipilih
oleh Tuhan.12
11
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara (Jakarta: UI Press, 1990), Hlm. 47-48
12
Toguan Rambe – Seva Mayasari, Op.Cit., Hllm. 20-21

12
Al-Ghazali juga melarang umat Islam untuk melakukan pemberontakan kepada
Kepala Negara, karena pendirian Negara bukanlah berdasarkan pertimbangan rasio
semata melainkan juga berdasarkan perintah syar’i. Beberapa pemikiran lain dari beliau
adalah:

1) Asal Mula Timbulnya Negara

Manusia butuh untuk berkumpul bersama (menjadi makhluk sosial) karena


disebabkan oleh 2 faktor: Pertama, kebutuhan untuk mempertahankan keturunan. Kedua,
mengadakan kerjasama atau saling membantuberupa penyediaan pangan, papan, dan
sandang, kebutuhan pendidikan, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Kedua faktor ini
memrlukan tempat tertentu, sehingga muncula sebuah negara. 13

2) Unsur dan Sendi Negara

Unsur yang menjamin tegaknya negara, antara lain:

a. Pertanian
b. Pengembala
c. Perburuhan dan pertambangan
d. Pemintalan
e. Pemmbangunan
f. Politik, dalam politik ini memerlukan beberapa unsur, yakni:
a) Ahli pengukur tanah untuk mengetahui ukuran tanah milik rakyat
b) Militer untuk pengamanan dan pertahanan negara
c) Kehakiman untuk menyelesaikan perselisihan dan pertikaian antar
warga
d) Hukum untuk memelihara moral masyarakat
3) Hukum Pembentukan Khilafah

Hukumnya adalah wajib syar’i. Dasarnya adalah ijma’ umat, dan kategori wajibnya
adalah fardhu kifayah. Jika ulama telah bersepakat tentang pemilihan khalifah, maka
masyarakat mengikuti mereka, dasarnya adalh hadits Nabi yang berbunyi:

“Umatku tidak akan bersepakat terhadap sesuatu yang sesat”

4) Syarat-Syarat Kepala Negara

13
Fakultas Syari’ah IAIN Syekh Nurjati Cirebon, “Jurnal Kajian Ilmu Syari’ah”, Jurnal Al-Mustafa Vol. 1,
2012, Hlm. 189

13
a. Laki-Laki Dewasa
b. Berakal Sehat
c. Sehat Pendengaran
d. Sehat Penglihatan
e. Merdeka
f. Dari Suku Quraisy
g. Punya Kekuatan Nyata (An-Najdat), yakni mampu membasmi pembangkang
h. Memiliki Kemampuan (Kifayat), yakni kemampuan berpikir dan
bermusyawarah
i. Wara, yakni menjalankan ajaran Islam sebaik-baiknya
j. Berilmu
5) Tugas dan Tujuan Pemerintah

Tugas dan tujuan pemerintah adalah Lembaga yang memiliki kekuasaan dan menjadi
alat melaksanakan syariat islam, mewujudkan kemaslahatan rakyat, menjamin ketertiban
urusan dunia dan urusan agama, lambang kesatuan umat Islam.

6) Bentuk Pemerintahan

Lebih condong kepada monarki.

c. Ibn Taimiyah

Menurutnya, kepala Negara merupakan bayang-bayang Allah di bumi. Kekuasaan dan


kewenanngannya berasal dari Allah.6 Bahkan Ibn Taimiyah mengharamkan rakyat (umat
Islam) melakukan pemberontakan ataupun oposisi terhadap kepala negara, bahkan
meskipun kafir. Selama ia masih dapat menjalankan keadilan dan tidak memerintahkan
berbuat maksiat kepada Allah. Ibn Taimiyah mengutip sebuah hadis riwayat Bukhari dan
Muslim, bahwa barangsiapa yang melihat sesuatu uyang tidak disenangi dari
pemimpinnya, maka hendaklah ia bersabar. Barang siapa yang keluar dari
pemerintahannya (melakukan pemberontakan) dan jika ia mati, maka ia mati dalam
keadaan jahiliyah.

Ibn Taimiyah berpandangan bahwa kepemimpinan dalam sebuah masyarakat


merupakan sesuatu yang wajib dan sangat penting. Sebuah komunitas masyarakat tanpa
adanya pemimpin tentu akan berujung pada kondisi kacau, karena pada dasarnya manusia

14
memiliki sifat homo homini lupus, hal ini berarti siapa yang kuat maka dialah yang akan
berkuasa.

Oleh karena itu, kondisi masyarakat tanpa pemimpin bisa dipastikan lebih buruk
daripada komunitas masyarakat yang dipimpin oleh orang yang dzalim atau bodoh.
Sebegitu yakinnya ibn Taimiyah terhadap keharusan otoritas Negara sehingga iapun
mengatakan bahwa “Sesungguhnya raja adalah bayangan Allah diatas bumi” dan ia juga
mengatakan bahwa “Enam puluh tahun berada dibawah kekuasaan imam yang dzalim itu
lebih baik daripada satu malam tanpa seorang imam (pempimpin). 14

1) Pengangkatan Kepala Negara

Memilih dan menempatkan seseorang haruslah oran gyan gterbaik atau yang lebih
utama diantara yang ada untuk menduduki suatu jabatan.

2) Syarat-Syarat Kepala Negara


a. Memiliki Kualifikasi kekuatan
b. Memiliki sifat amanah
3) Tugas dan Tujuan Pemerintah

Yakni untuk melaksanakan syari’at islam dmei terwujudnya kesejahteraan masyarakat


baik lahir maupun bathin, serta tegaknya keadilan dan amanah dalam masyarakat. 15

d. Al Mawardi

Kekuasaan kepala Negara bersumber dari perjanjian antara kepala Negara rakyatnya
atau yang sering disebut juga berdasarkan kontrak sosial. Dari pernjanjian ini maka
lahirlah hak dan kewajiban antara kedua belah pihak secara timbal balik. Oleh karena
rakyat telah memberikan kekuasaan dan sebagian haknya kepada kepala negara, maka
tentu rakyat berhak menurunkan kepala negara bila iadianggap rakyat tidak mampu lagi
dalam menjalankan pemerintahan sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat. Dengan
demikian menurut pandangannya ini, al mawardi tidak menganggap kekuasaan kepala
negara merupakan sesuatu yang suci ataupun sakral. 16

Dengan demikian al Mawardi merupakan satu-satunya pemikir politik Islam zaman


abad pertengahan yang berpendapat bahwa kepala negara dapat diganti atau diturnkan

14
Toguan Rambe – Seva Mayasari, Op.Cit., Hlm. 22-23
15
Fakultas Syari’ah IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Op.Cit., Hlm. 193-194
16
Toguan Rambe – Seva Mayasari, Op.Cit., Hlm. 23

15
dari kursi keuasaannya, jika ternyata tidak mampu lagi melaksanakan tugas yang
diamanahkan kepadanya. Meskipun al Mawardi tidak memberi cara atau mekanisme
secara rinci dan jelas bagaimana pergantian kepala negara itu. Namun al Mawardi
memberikan penjelasan tentang bagaimana ahl al ikhtiar atau ahl al hall wa al aqd itu
diangkat, dan dari kalangan mana, berdasarkan kualifikasi pribadi atau perwakilan
kelompok. Pokok-pokok pemikiran al Mawardi tentang teori hukum ketatanegraan Islam,
adalah:

1) Hukum Mendirikan Negara (Khilafah)

a. Pengangkatan kepala negara adalah wajib menurut ijma

b. Membagi masyarakat islam kepada 2 kelompok seperti Al-Ghazali

2) Syarat-syarat Calon Kepala Negara

a. Keseimbangan (‘adalah) yang memenuhi semua kriteria

b. Mempunyai ilmu pengetahuan yang membuat dirinya bisa melakukan ijtihad

c. Pancainderanya lengkap

d. Tidak ada kekurangan pada anggota tubuhnya yang menghalanginya untuk


bergerak dan cepat bangun

e. Visi pemikirannya baik sehingga ia dapat menciptakan kebijaksanaan bagi


kepentingan rakyat dan mewujdkan kemaslahatan mereka

f. Mempunyai keberanian dan memiliki sfat mejaga rakyat

g. Mempunyai nasab dari suku Quraisy

3) Cara Pengangkatan Kepala Negara

a. Dipilih oleh kalangan ahlu al-halli wa al-aqdi


b. Dengan penyerahan mandate dari kepala negara sebelumnya

Adapun untuk jumlah minimal yang dapat mengesahkan pengangkatan khalifah


adalah 5 orang. Ada juga yang berpendapat 3 orang, ada juga yang mengatakan tetap
sah walaupun hanya satu orang yang mengesahkan.

16
4) Tugas Umum Kepala Negara 17
a. Menjaga agama agar tetap berada di atas pokok-pokoknya yang konstan
b. Menjalankan hukum bagi pihak-pihak yang bertikai
c. Menjaga keamanan masyarakat
d. Menjaga hukum had
e. Menjaga perbatasan negara dengan perangkat yang memadai
f. Bejihad melawan pihak yang menentang islam
g. Menarik fai’I dan zakat sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan
h. Menentukan gaji dan besar atha kepada masyarakat dan pihak yang punya
bagian dari bait al-maal
i. Mengangkat pejabat-pejabat yang terpercaya
j. Melakukan inspeksi atas pekerjaan para pembantunya dan meneliti jalannya
proyek sehinga ia dapat melakukan kebijaksanaan politik umat Islam dengan
baik dan menjaga negara.
2. Perkembangan Ketatanegaraan Sy’iah
Prinsip-Prinsip Bernegara Menurut Munawir Sjadzali
1) Prinsip musyawarah atau konsultasi (Syura)

Adalah suatu forum tukar menukar pikiran , gagasan ataupun ide, termasuk
saran-saran yang diajukan dalam memecahkan suatu masalah sebelum
pengambilan keputusan. Dalam Al-Qur’an menggariskan bahwa prinsip
musyawarah merupakan salah satu prinsip dasar dan paling utama dalam
nomokrasi Islam, adapun musyawarah dalam istilah politik adalah hak partisipasi
rakyat dalam masalah-masalah hukum dan pembuatan keputusan politik. Jika hak
partisipasi rakyat ini tidak ada dalam dalam masalah-masalah hukum maka sistem
hukum itu adalah sistem hukum diktatoral atau totaliter. Jika dinisbatkan kepada
sistem Islam, maka kediktatoran itu diharamkan dalam agama Islam sebab
bertentangan dengan akidah dan syari‟at.

Pendapat para ulama tentang hukum musyawarah adalah wajib, diwajibkan


atas para penguasa untuk meminta pendapat dari rakyatnya dalam segala perkara
umum. Musyawarah adalah kewajiban yang diwajibkan atas para penguasa juga
rakyat. Penguasa harus bermusyawarah dalam setiap perkara pemerintahan,
daministrasi, politik, dan pembuatan perundang-undangan, juga dalam setiap hal
17
Fakultas Syari’ah IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Op.Cit., Hlm. 186-188

17
yang menyangkut kemaslahatan individual dan kemaslahatan umum. Musyawarah
merupakan suatu perintah Allah sebagaimana digariskan dalam ayat yang dengan
tegas menyebutkan perintah itu dalam Al-Qur’an, surah Ali Imran : 159.

2) Prinsip ketaatan kepada pemimpin

Yaitu hubungan antara pemerintah dan rakyat. Taat pada pemimpin


diwajibkan atas para penguasa dan atas rakyat, sebab wajib atas para penguasa
untuk memutuskan seperti apa yang telah mereka putuskan dalam hal
kemaslahatan umum, dan rakyat wajib melaksanakan putusan itu. Hazairin
menafsirkan menaati Allah ialah tunduk kepada ketetapan-ketetapan Allah,
menaati Rasul ialah tunduk kepada ketetapan-ketetapan Rasul yaitu Nabi
Muhammad SAW. Dan menaati ulil amri ialah tunduk kepada ketetapan-ketetapan
petugas kekuasaan masing-masing lingkungan tugas kekuasaanya. Ini sesuai
dengan apa yang terdapat dalam firman Allah SWT. Al-Qur‟an telah menetapkan
prinsip dalam surah An Nissa ayat 59.

Para ulama berkata: Ayat ini turun kepada rakyat, baik para tantara atau
lainnya untuk taat kepada ulil amri yang melaksanakan apa yang ada dalam ayat
terdahulu, taat sebagimana yang sudah diketahui, tidak boleh pada hal-hal
kemaksiatan, dan apa yang ditetapkan oleh ulil amri itu harus berdasarkan
musyawarah.

3) Prinsip keadilan (Al-Adl)

Prinsip keadilan merupakan suatu yang sangat penting perintah dalam


menegakan keadilan dan Allah Ta’ala memerintahkan Rasulullah untuk
menegakan keadilan. Para ulama syariat Islam tidak membolehkan sesorang
memegang tongkat kekuasaan kecuali dia bersifat adil. Adil adalah akhlak yang
paling utama, jika seseorang tidak bersifat demikian maka tidak sah kekuasaannya
dan tidak boleh diterima kesaksiannya.

Ar-Ridha mendefinisikan sifat adil dalam Al-mabsuth-nya: Adil adalah


istiqamah (teguh pendirian), dan kesempurnaanya tiada akhir. Adil jugaberarti
menyalahi apa yang diyakini haram dalam agama, atau dengan kata lain: Bahwa
seseorang itu selalu meninggalkan dosa-dosa besar dan tidak melakukan dosa-
dosa kecil.

18
4) Prinsip persamaan (Al-musawah)

Adil dalam bahasa artinya penyamarataan. Prinsip ini melukiskan bagaimana


proses kejadian manusia Allah telah menciptakan dari pasangan laki-laki dan
wanita. Yaitu pasangan pertama Adam dan Hawa dilanjut dengan pasangan yang
lainnya bahwa manusia berasal dari proses yang sama. Pembahasan tentang
berlaku adil bahwa prsamaan hak adalah tujuan diutusnya para rasul dan
diturunkannya syriat juga hukum. Persamaan hak juga merupakan ikatan
penghubung dari prinsip-prinsip menyeluruh dan kaidah-kaidah umum agar
menjadi satu dasar bagi sistem kehidupan yang dapat memlihara aksistensi
komunitas manusia.

Oleh karena itu, berlaku adil adalah sistem Allah SWT dan syariat-Nya, juga
merupakan sistem segala sesuatu. Prinsip musawarah merupakan salahsatu
tuntunannya. Nash-nash Al-Qur‟an dan hukum-hukumnya telah menuturkan
dengan menetapkan persamaan hak sesempurna-sempurnanya sebagaimana Allah
memerintakan berlaku adil, Allah juga menetapkan persamaan hak antara manusia
seluruhnya. Dalam Al-Qur‟an dapat kita pahami dalam surah Al Hujuraat: 13.

5) Prinsip hubungan antar umat dari berbagai agama.

Dalam prinsip ini manusia ditakdirkan aalah sebagai mahluk sosial yang
hubungan dan interaksi sosial dengan sesama manusia saling bekerja sama dengan
orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, dapat dipahami dalam Al-
Qur‟an surah Al-Baqarah : 256 yaitu :Dalam melakukan kajian ulang tentang
Islam dan memulainya dengan melihat kembali kandungan Al-Qur‟an sebagai
sumber pokok dari ajaran Islam, disertai pengamatan terhadap Sunnah Rasul.
Kemudian telah kita telusuri lorong lorong sejarah ketatanegaraan dunia Islam
dengan memberikan perhatian khusus kepada pola hidup bernegara di dunia Islam
semasa Al-khulafa Al-Rasyidin, yang dianggap suatu yg ideal dan yang harus di
teladani oleh umat Islam. Zaman klasik, zaman pertengahan dan zaman baru
tentang pola politik yang terdapat di sejumlah negara Islam yang ada sekarang ini.

Munawir melihat bahwa Islam menggariskan seperangkat prinsip etis yang


relevan dalam proses penyelenggaraan negara. Antara lain : nilai-nilai
musyawarah (syura), keadilan, („adl), dan persamaan (musawa). Inilah yang harus

19
ditegakkan oleh komunitas politik Islam bukan hal-hal yang bersifat ideologi
formal, baik Islam sebagai ideologi maupun agama negara.

Sebagai dari hasil telaah ulang menurut Munawir Sjadzali dapat dikatakan
bahwa dalam kitab suci umat Islam itu terdapat seperangkat prinsip-prinsip dan
tata nilai etika bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Selebihnya baik
dalam Al-Qur‟an maupun As-sunnah Rasul tidak mengajarkan sistem
pemerintahan tertentu yang harus di anut, Tetapi yang paling pokok dan utama
yang harus dimiliki dalam bernegara ialah musyawarah atau syuro.18

Perbandingan Kepemimpinan Syiah dan Sunni19


No Uraian/Aspek Sunni Syi’ah
1 Hukum mendirikan imamah/khilafah Wajib syar’i atas Wajib aqli ats Tuhan
manusia
2 Orang yang berhak menjadi imam Semua muslim/khusus Keturunan Ali
keturunan Quraisy
3 Cara imam ditetapkan Pemilihan, Penunjukan
penunjukan, dan
pengambil-alihan
4 Orang yang berhak menetapkan Ahl al-halli wa al-aqd Tuhan melalui Nabi-
imam/khalifah Nya
5 Fungsi Utama Imamah/Khilafah Menjaga keamanan Menegakkan keadilan
dan ketertiban
6 Kedudukan Imamat dalam agama Cabang Agama Pokok Agama
7 Kewenangan imam dalam agama Pemelihara dan tidak Pemelihara yang
memiliki otoritas yang memiliki otoritas yang
mutlak mutlak
8 Sumber kedaulatan utama Rakyat Tuhan
9 Bentuk Pemerintahan Khilafah/imamah yang Imamah yang lebih
lebih demokratis teokratis

B. Eksistensi Sunni dan Syiah di Indonesia


1. Syi’ah di Indonesia
Keberadaan Syi’ah di Indonesia sudah berlangsung sangat lama, bahkan menurut
beberapa kalangan berpendapat bahwa kalangan Syi’ah berperan dalam proses Islamisasi

18
Bahtiar Effendy, Repolitisasi Islam, (Bandung: Mizan, 2000), h. 77
19
Ibid., Hlm. 14

20
di Indonesia. Jalaluddin Rahmat selaku ketua Ikatan Jemaah Ahlu Bait Indonesia
(IJABI), membagi masuknya Syi’ah kedalam beberapa periode20 :
Pertama, Syi’ah masuk ke Nusantara pada abad ke-8 khusunya Aceh, disinillah
perkembangan syi’ah terbukti dengan adanya kenyataan bahwa raja pertama Kerajaan
Samudera Pasai di Aceh, Marah Silu, adalah pemeluk ajaran Islam Syiah. Kedua,
masuknya Syi’ah di Indonesia diawali saat revolusi Islam di Iran pada 1979. Revolusi
Iran ini adalah peristiwa penumbangan pemerintahan otokrasi di Iran, Mohammad Reza
Shah Pahlavi atau Shah Iran, oleh seorang ulama Iran bernama Ayatullah Rohullah
Khomeini. Dari sinilah, keberadaan Syi’ah berkembang diseluruh jagat raya, termasuk
Indonesia, terutama Mahasiswa. hingga kemudian Syiah masuk ke HMI (Himpunan
Mahasiswa Islam), dan akhirnya tersebar ke kampus-kampus di daerah lain. Maka, pada
1980-an, semangat revolusi Iran melalui ideologi dan pemikiran Syiah mendapat
sambutan luar biasa dari kalangan kampus dan intelektual Indonesia.21 Periode ketiga,
saat masa Reformasi, perkembangan ini mulai berjalan kearah fiqih, banyak orang yang
tertarik dan belajar dari Habib yang pernah belajar di Iran. Karena eksistensinya yang
semakin terlihat, muncullah berbagai penolakan terhadap Syi’ah, apalagi karena sudah
memasuki ranah fiqih. Dan terakhir, masuknya Syi’ah ke Indonesia ketika penganut
Syiah mulai membentuk ikatan. Salah satu ikatan dalam tubuh Syiah Indonesia adalah
Ikatan Jemaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) yang berdiri pada 1 Juli 2000. Ikatan ini
merupakan organisasi massa yang diakui keberadaannya oleh Kemendagri.22
2. Sunni di Indonesia
Masuknya aliran Sunni atau ASWAJA sejalan dengan perkembangan masuknya Islam
ke Nusantara. Menurut Snouck Hurgronje yang berhujah, begitu Islam berpijak kokoh
di beberapa kota pelabuhan Anak Benua India, MuslimDeccan, banyak diantara
mereka tinggal di sana sebagai pedagang perantara dalam perdagangan Timur
Tengah dengan Nusantara, datang ke dunia Melayu-Indonesia sebagai para penyebar Islam
pertama. Baru kemudian mereka disusulorang-orang Arab, kebanyakan dari mereka adalah
keturunan Nabi Muhammad.Karena manggunakan gelar sayyida tausyarif, yang
menyelesaikan penyebaranIslam di Indonesia. Dan hal ini terjadi pada sekitar abad ke-12.

20
18Cahyo Pamungkas. Mereka yang Terusir: Studi Tentang Ketahanan Sosial Pengungsi Ahmadiyah dan
Syiah di Indonesia Ed.l; Cet, 1 (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2017), 48
21
Ibid, hlm.40
22
Ibid, hlm.50

21
Menurut hikayat raja-raja Pasai, seorang Syaikh Isma’il datang dengankapal dari
Makkah ke Pasai, dimana ia membuat Merah Silau, penguasasetempat, masuk
Islam. Merah Silau kemudian mengambil gelar Malik Al-Shaleh, yang wafat
pada 698/1297. seabad kemudian seorang penguasa Malakajuga di Islamkan oleh Sayyid
Abd. Al-Aziz, sorang Arab dari Jeddah. Seorangpenguasa itu Parameswara mengambil
gelar Mohammad Syah.
Penyebaran dan pertumbuhan Islam di Nusantara terletak di pundak para Ulama’.
Mereka membenuk kader-kader yang akan bertugas sebagai mubaligh kedaerah-daerah
yang lebih luas. Cara ini dilakukan di dalam lembaga-lembagapendidikan Islam
sepertipondokdi Jawa,dayahdi Aceh,suraudi Minangkabau.Kemudian mereka juga
membuat karya-karya yang tersebar dan di baca diberbagai tempat yang
jauh. Karya-karya itu menunjukan pemikiran islam diIndonesia masa itu.
Abad 16-17, merupakan masa –masa kesuburan dalampenulisan sastra, filsafat,
metafisika dan teologi rasional yangtidak ada tolokbandingnya dimana-mana di
zaman apapun di Asia Tenggara. Akan tetapi, perludiketahui bahwa ketika tradisi
kebudayaan Islam sedang berkembang diIndonesia, dipusat dunia Islam, bidang itu
telah mapan. Bahkan disana terkenaldengan masa kebekuan, masa kemunduran
pemikiran karena di galakkanyataklid. Dunia pemikiran Islam di Indonesia
bagaimanapun juga mempunyai akarpemikiran yang bersumber di pusat dunia Islam
tersebut sebelumnya.

C. Konflik Antara Sunni-Syi’ah di Indonesia


Konflik antara Sunni-Syi’ah memiliki perjalanan sejarah yang Panjang, di
Indonesia sendiri. Masuknya aliran Syi’ah di Indonesian membuat kekhawatiran
dikalangan muslim yang mayoritas memakai paham Sunni (ahlus Sunnah Wal’ Jama’ah),
sehingga pada Rapat Kerja Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 1984 M,
melalui surat ketetapan tanggal 7 Maret 1984 M yang ditandatangani oleh Prof. K.H.
Ibrahim Hosen, merekomendasikan tentang faham Syi’ah, yang isinya sebagai berikut:
Faham Syiah sebagai salah satu faham yang terdapat dalam dunia Islam mempunyai
perbedaan-perbedaan pokok dengan mazhab Sunni (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah) yang
dianut oleh umat Islam Indonesia. Perbedaan yang disebutkan dalam ketetapan MUI
tersebut di antaranya:

1) Syiah menolak Hadis yang tidak diriwayatkan oleh Ahlul Bait.


2) Syiah memandang “Imam” itu ma ‘ṣum (orang suci).

22
3) Syi’ah tidak mengakui Ijma’ tanpa adanya”Imam”
4) Syiah memandang bahwa menegakkan kepemimpinan/pemerintahan (imamah)
adalah termasuk rukun agama.
5) Syiah pada umumnya tidak mengakui kekhalifahan Abû Bakar al-Shiddîq, ‘Umar
Ibn al-Khatthâb, dan Utsmân bin Affân23

Kegigihan Syi’ah dalam menunjukkan eksistensinya membuat berbagai konflik di


berbagai daerah, diantaranya :

1) Konflik Sunni-Syi’ah di Bangil


Bangil merupakan salah satu titik awal perkembangan Syi’ah di Indonesia penyebaran
Syi’ah yang awalnya dilakukan sembunyi-sembunyi, hingga melebar. Konflik awal
dengan pengikut Sunni, ialah karna keinginan Syiah untuk mempublikasikan dirinya agar
lebih dikenal masyarakat awam, tetapi upaya ini menimbulkan kemarahan pengikut
Sunni. Konflik yang pertama tahun 1993 ketika surat rahasia Habib Husein Al-Habsyi
beredar, dan konflik yang kedua tahun 2003 ketika Syiah sudah mulai terang-terangan
mengadakan beberapa liturgi ibadahnya di Bangil.24 Kelompok Sunni merasa risih
dengan eksistensi Syiah yang mulai dimunculkan kembali, sehingga mereka secara
bersamasama menekan Syiah dan pengikutnya untuk tidak melaksanakan kegiatan
keshiaannya.
Ada beberapa kegiatan Syiah yang mengusik ketenangan hati pengikut Sunni, yang
paling menonjol dan biasa dilakukan adalah perayaan kematian Sayyidina Husein atau
yang biasa disebut perayaan arbain dan Haul Sayyidah Fatimah. Khususnya perayaan
Haul Sayyidah Fatimah pernah akan digelar di Bangil, tetapi hal tersebu dibatalkan
karena terjadi penolakan cukup keras dari pengikut Sunni, penolakan tersebut dituangkan
dalam demo besar-besaran di alun-alun Bangil dan dilanjutkan dengan longmarch
berjalan sampai ke tempat acara, tepatnya di Graha Diponegoro Bendomungal. Dalam
hal ini, tampaknya Syiah dan pengikutnya tidak dibiarkan mengembangkan sayap
dakwah mereka sedikitpun di bumi Sunni. Sehingga penyebaran Syiah lebih difokuskan
pada pendekatan individual, menarik masa secara rahasia tanpa propaganda-propaganda
umum. Setidaknya cara tersebut efektif menjaring masa yang ingin memeluk Syiah, ada

23
Ibnu Hajar, “ SYI’AH-SUNNI KONTEMPORER: DARI KONFLIK HINGGA PENTAS POLITIK PASCA
ARAB SPRING DAN IMPLIKASINYA DI INDONESIA” Liwaul Dakwah (h: Volume 10, No. 1 Januari –
Juni 2020) Hlm.16
24
Muhammad Andi Isya, “Pendidikan dan Konflik (Potret Konflik Sunni dan Syiah dan imbasnya terhadap
Pendidikan )”, PROGRESSA Journal of Islamic Religious Instruction Vol. 2 No. 1 Pebruari 2018 ISSN 2579-
9665, Hlm.21

23
beberapa sayyid (habib muda) yang banyak terjun, dan beberapa diantaranya orang
kampung (sebutan untuk orang diluar bangsa arab) yang ikut memeluk Syiah.
2) Konflik Sunni-Syi’ah di Madura
Pada tahun 2006-2008, datangnya berbagai ancaman dan terror terhadap Tajul Muluk
dan pengikutnya di karang Gayam. Beberapa ulama bahkan berusaha untuk
menghentikan dakwah Tajul Muluk, pada 2010, sejumlah warga melaporkan aktivitas
Tajul Muluk ke MUI, mereka menganggap aktivitas Syiah yang diajarkan oleh Tajul
Muluk meresahkan masyarakat. Hal ini memperburuk dan memanasnya hubungan
Sunni-Syiah di Sampang Madura25. Hingga pada 2011 terjadi kekerasan fisik, pada saat
Tajul Muluk akan mengadakan Maulid Nabi. Masyarakat sekitar mulai bereaksi
menggagalkan acara tersebut dan masa yang akan menyerang juga dilengkapi dengan
berbagai senjata tajam. Benturan inilah menjadi awal mulainya konflik dan kekerasan
antara Sunni-Syi’ah di Sambang, Madura. Konflik ini terus berlanjut hingga pada tahun
2012 kelompok Syi’ah yang dipimpin oleh Tajul Muluk diusir kampung halamannya.
Konfl ik Syiah di Sampang ini terjadi dikarenakan;
1) kurangnya informasi Syiah dan masyarakat menerima begitu saja informasi yang
berkaitan dengan Syiah;
2) masyarakat mudah teprovokasi dan segala bentuk pelecehan terhadap agama harus
dilawan dengan kekerasan;
3) kurangnya mediasi antara pe merintah, masyarakat dan penganut Syiah.

25
Resta Tri Widyadara, “Konflik Sunni-Syi’ah di Indonesia”, Religi, Vol. XI, No. 2, Juli 2015, Hlm.117

24
BAB IV

PENUTUP
A. Kesimpulan
Sunni sebagai kelompok mayoritas, memiliki ciri khas pemikiran politik yang
biasanya mendukung atau memihak pemerintah yang sedang berkuasa. Pemikiran-
pemikiran dari ulama-ulama politik sunni cenderung sebagai alat legitimasi kekuasaan,
sangat memiliki dampak besar dengan pemerintah dalam meletakan hubungan antar
penguasa (pemerintah) dan rakyat dengan mengutamakan keharmonisan sosial, tentu
stabilitas sosial dan politik akan terjaga dengan baik. Kalangan ulama sunni yang pada
umumnya melarang rakyat (umat Islam) melakukan pemberontakan terhadap penguasa.
Pada dunia perpolitikan kelompok ini berpegang pada doktrin kelompok mayoritas yang
diantaranya diwakili oleh, Ibn Abi Rabi’,Ibn Taimiyah dan al Ghazali maupun al
Mawardi.

Pemikiran-pemikiran tokoh politik Sunni menggambarkan prinsip yang lebih


mengutamakan keharmonisan dan kestabilan dalam politik Islam. Pemikiran tersebut
didasarkan pada latar belakang dan kecenderungan tokoh-tokoh Sunni tersebut dalam
persoalan politik kenegaraan yang dihadapi pada masa mereka. Mereka mendasari teori
politiknya atas kenyataan yang ada, dengan bertitik tolak pada pemberian legitimasi kepada
system pemerintahan yang sedang berjalan atau mempertahankan statusquo bagi kepentingan
penguasa namun kemudian secara realistic menawarkan saran-saran perbaikan dan reformasi
pemerintahan.

Seiring dengan menurunnya legitimasi para Sultan Abasiyyah, menurun pula


pengaruh Muktazilah dalam kekuasaan Abasiyyah. Dibawah kekuasaan al-Mutawakkil dan
diikuti oleh 27 Khalifah setelahnya, kekuasaan para Khalifah Abasiyyah semakin menurun.
Di saat itu, pelbagai penguasa yang awalnya merupakan vasal dari dinasti Abasiyyah mulai
melepaskan diri, bahkan ada yang berhasil mengusai seluruh pusat pemerintahan. Kenyataan
ini menjadikan sebagai besar penguasa Abasiyyah sebagai penguasa boneka bagi para
penakluknya. Berakhirnya pengaruh Muktazilah ini menyebabkan naiknya pengaruh faham
Sunni dikalangan istana, sehingga banyak para yuris istana (qadi) yang beraliran Sunni
bekerja untuk negara.

25
Syi’ah berawal pada sebutan yang ditujukan kepada pengikut Ali, yang merupakan pemimpin
pertama ahl al-Bait pada masa hidup Nabi sendiri.

Akar permasalah umat Islam, termasuk munculnya madzhab Syi’ah bermula dari
perselisihan mereka terkait siapa yang paling layak menjadi pemimpin setelah Rasulullah
Saw., wafat. Sebab, Rasulullah sebelum wafat tidak menentukan siapa yang akan
menggantikannya sebagai pemimpin umat dan negara. Sementara kaum muslimin sesudah
wafatnya Rasul merasa perlu mempunyai khalifah yang dapat mengikat umat Islam dalam
satu ikatan kesatuan.

Kelompok Sunni biasanya menganggap bahwa kekuasaan khalifah (kepala Negara)


berasal dari Tuhan. Kecuali al mawardi mempunyai pemikiran berbeda terkait sumber
kekuasaan khalifah (kepala Negara). Namun tetap menekankan pada kepatuhan terhadap
pemimpin.

Keberadaan Syi’ah di Indonesia sudah berlangsung sangat lama, bahkan menurut


beberapa kalangan berpendapat bahwa kalangan Syi’ah berperan dalam proses Islamisasi di
Indonesia.

Masuknya aliran Sunni atau ASWAJA sejalan dengan perkembangan masuknya Islam
ke Nusantara. Penyebaran dan pertumbuhan Islam di Nusantara terletak di pundak para
Ulama’. Mereka membenuk kader-kader yang akan bertugas sebagai mubaligh kedaerah-
daerah yang lebih luas. Masuknya aliran Syi’ah di Indonesian membuat kekhawatiran
dikalangan muslim yang mayoritas memakai paham Sunni (ahlus Sunnah Wal’ Jama’ah),
sehingga pada Rapat Kerja Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 1984 M, melalui
surat ketetapan tanggal 7 Maret 1984 M yang ditandatangani oleh Prof. K.H. Ibrahim Hosen,
merekomendasikan tentang faham Syi’ah, yang isinya sebagai berikut: Faham Syiah sebagai
salah satu faham yang terdapat dalam dunia Islam mempunyai perbedaan-perbedaan pokok
dengan mazhab Sunni (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah) yang dianut oleh umat Islam Indonesia.

26
DAFTAR PUSTAKA
Buku :

Drs.H. Achmad Rodli Makmun,M.Ag , “Sunni dan Kekuasaan Politik” (Ponorogo: STAIN
Ponorogo Press, 2006)

Fakultas Syari'ah IAIN Syekh Nurjati Cirebon. (2012). Jurnal Kajian Ilmu Syari'ah. Jurnal
Al-Mustafa Vol. 1.

Misbahuddin, M. (2017). Kontrak Sosial Dalam Pemikiran Politik Sunni. Jurnal Al-Adabiya:
Jurnal Kebudayaan dan Keagamaan Vol. 12 No. 2.

Rambe, T., & Mayasari, S. (2020). Pemikiran Politik Sunni Sebagai Alat Legitimasi
Kekuasaan. Jurnal: Penelitian Medan Agama Vol. 11 No. 1.

Sjadzali, M. (1990). Islam dan Tata Negara. Jakarta: UI Press.

Bahtiar Effendy, Repolitisasi Islam, (Bandung: Mizan), 2000

M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam (Jakarta: Pustaka Rizki
Putra, 2009),

https://www.inews.id/lifestyle/muslim/apa-itu-syiah (diakses pada tanggal 1 Oktober 2021)

M. Thabathaba’i, Islam Syi’ah: Asal Usul dan Perkembangannya (Jakarta: Temprint, 1989),

iii

Anda mungkin juga menyukai