Disusun Oleh :
1
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta
hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini,tanpa
pertolongan-Nya kami sekelompok tidak akan dapat menyelesaikan makalah ini.
Shalawat dan salam kami kirimkan kepada Nabi Muhammad Saw., yang
telah menyampaikan risalah Islam kepada kita sekalian, sehingga kita dapat
memahami Islam, kepada keluarganya, sahabatnya, dan umatnya yang setia
mengikuti ajarannya sampai hari kiamat.
Dalam makalah ini berisi tentang “Konsep Dasar Toleransi dalam Islam”
yang kami ambil dari beberapa buku untuk kami jadikan referensi sebagai
panduan untuk menjadi pelengkap dalam makalah ini.
Demikian makalah yang kami buat semoga dapat berguna bagi para
pembaca kami menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kata sempura
untuk itu kami sangat butuh kritik dan sarannya.atas perhatiannya kami ucapkan
terima kasih.
Wassalamualaikum Wr.Wb
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................iii
A. Latar Belakang...................................................................................4
C. Tujuan ...............................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan ....................................................................................... 22
B. Saran .................................................................................................. 22
DAFTAR PUSTAKA
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Toleransi dalam Islam adalah topik yang penting ketika dihahadapkan pada
situasi saat ini ketika Islam dihadapkan pada banyaknya kritikan bahwa Islam
adalah agama intoleran, diskriminatif dan ekstrem. Islam dituduh tidak
memberikan ruang kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, sebaliknya
Islam sarat dengan kekerasan atas nama agama sehingga jauh dari perdamaian,
kasih sayang, dan persatuan.
Padahal dalam konteks toleransi antara-umat beragama, Islam memiliki konsep
yang jelas. ” Tidak ada paksaan dalam agama ”, “ Bagi kalian agama kalian, dan
bagi kami agama kami ” adalah contoh populer dari toleransi dalam Islam. Selain
ayat-ayat itu, banyak ayat lain yang tersebar di berbagai surah. Juga sejumlah hadist
dan praktik toleransi dalam sejarah Islam. Fakta- fakta historis itu menunjukkan
bahwa masalah toleransi dalam Islam bukanlah konsep asing.
Toleransi adalah bagian integral dari Islam itu sendiri yang detail-detail nya
kemudian dirumuskan oleh para ulama dalam karya-karya tafsir mereka. Kemudian
rumusan-rumusan ini disempurnakan oleh para ulama dengan pengayaan-pengayaan
baru sehingga akhirnya menjadi praktik kesejarahan dalam masyarakat Islam.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian toleransi ?
2. Bagaimana toleransi dalam pandangan Islam ?
3. Macam-macam toleransi ?
4. Apa manfaat toleransi ?
5. Bagaimana konsep toleransi dalam Al-Qur’an ?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian toleransi
2. Untuk mengetahui toleransi dalam pandangan Islam
3. Untuk mengetahui macam-macam toleransi
4. Untuk mengetahui manfaat toleransi
5. Untuk mengetahui konsep toleransi dalam Al-Qur’an
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Toleransi
Dalam kamus besar bahasa Indonesia toleransi berarti bersifat atau bersikap
menghargai, membiarkan, membolehkan pendirian (pendapat, pandangan kepercayaan)
yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.
Seorang ahli tafsir klasik terkemuka mengatakan, “Din atau agama hanyalah satu,
sementara syariat berbeda-beda. al-Syahrastani teolog Islam dan ahli terkemuka dalam
perbandingan agama dalam Husein Muhammad menyampaikan pendapatnya, bahwa
agama adalah ketaatan (al-Jaza), dan penghitungan pada hari akhir. Menurutnya, al-
Mutadayyin (orang yang beragama) adalah orang Islam yang taat, yang mengakui
adanya balasan dan perhitungan amal pada hari akhirat.1
1
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,
2005). Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural (Jakarta: Erlangga 2005).
5
B. Toleransi dalam pandangan Islam
Prinsip toleransi yang ditawarkan Islam dan ditawarkan sebagian kaum muslimin
sungguh sangat jauh berbeda. Sebagian orang yang disebut ulama mengajak umat untuk
turut serta dan berucap selamat pada perayaan non muslim. Namun Islam tidaklah
mengajarkan demikian. Prinsip toleransi yang diajarkan Islam adalah membiarkan umat
lain untuk beribadah dan berhari raya tanpa mengusik mereka.
Senyatanya, prinsip toleransi yang diyakini sebagian orang berasal dari kafir
Quraisy di mana mereka pernah berkata pada Nabi kita Muhammad,
“Wahai Muhammad, bagaimana kalau kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian
(muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala
permasalahan agama kita. Apabila ada sebagaian dari ajaran agamamu yang lebih baik
(menurut kami) dari tuntunan agama kami, kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya,
apabila ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus
mengamalkannya.” (Tafsir Al Qurthubi, 14: 425).
Islam adalah agama yang sangat toleran. Sebab Islam sangat menghormati dan
menghargai penganut agama lain, tidak memaksakan orang lain untuk menganut agama
Islam. Islam pun tidak mencela/menghina agama lain dengan alasan apapun. Islam
membiarkan penganut agama lain menjalankan ritual agamanya. Islam tidak pernah
mencampuradukkan ajaran agama satu dengan yang lain. Islam akan membiarkan
penganut Nasrani menjalankan ritual agamanya tanpa mencampurinya, pun dengan
Yahudi, Majusi dan lain sebagainya.
َواَل أَنتُ ْم.دتُّ ْم::َ ٌد َّما َعب:ِا عَاب::َ َواَل أَن.ُد:ُا أَ ْعب::دُونَ َم:ِ َواَل أَنتُ ْم عَاب. َدُون:ُا تَ ْعب:: اَل أَ ْعبُ ُد َم. َقُ ْل يَا أَيُّ َها ا ْل َكافِ ُرون
لَ ُك ْم ِدينُ ُك ْم َولِ َي ِدي ِن.ُعَابِدُونَ َما أَ ْعبُد
6
Toleransi beragama tidaklah sama dengan mencampuradukkan ajaran agama.
Sebab toleransi berarti membiarkan bukan mencampuri. Maka seorang muslim tidak
boleh memakai atribut apapun yang melambangkan ajaran ritual agama tertentu, sebab
bisa masuk dalam kategori mencampuradukkan ajaran agama, bukan toleransi. Pun
begitu dengan non-muslim tidak boleh memakai atribut ritual agama tertentu, sebab bisa
masuk kategori mencampur adukkan ajaran agama, bukan toleransi. Dan
mencampuradukkan ajaran ritual berbagai macam agama bisa masuk kategori
menistakan agama, bahkan bisa masuk kategori menciptakan agama baru, bisa dianggap
murtad atau keluar dari agama asalnya.
“Sesungguhnya agama (yang benar) di sisi Allah adalah Islam.” (QS. Ali ‘Imran: 19)
“Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) daripadanya, dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang rugi.”
[Ali ‘Imran: 85]
“Dan apa yang diberikan Rasulullah SAW kepadamu maka terimalah, dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. (QS. Al Hasyr: 7).
7
Dalam kehidupannya, Rasulullah berinteraksi dengan seluruh anggot masyarakat yang
dipimpinnya. Baik Muslim maupun Non Muslim. Rasulullah SAW bermuamalah jual
beli dengan Yahudi ataupun Nasrani ataupun Majusi. Namun Rasulullah SAW tidak
pernah mencampuri urusan ritual agama mereka. Non Muslim hanya diseru atau
didakwahi untuk masuk Islam, Namun Rasulullah tidak pernah memaksa mereka untuk
masuk memeluk Islam. Meskipun pada akhirnya banyak yang masuk Islam bukanlah
karena paksaan namun karena Non Muslim merasakan keadilan hukum Islam yang
diterapkan, yang mengatur kehidupan masyarakat yang dipimpin oleh Rasulullah
Muhammad SAW.
س َك بِا ْل ُع ْر َو ِة
َ ستَ ْم ِ ش ُد ِمنَ ا ْل َغ ِّي فَ َمنْ يَ ْكفُ ْر بِالطَّا ُغو
ْ ت َويُؤْ ِمنْ بِاهَّلل ِ فَقَ ِد ا ُّ َِّين قَ ْد تَبَيَّن
ْ الر ِ اَل إِ ْك َراهَ فِي الد
َ ِا ْل ُو ْثقَى اَل ا ْنف
صا َم لَ َها
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sungguh telah jelas jalan yang
benar dari jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan
beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang
amat kuat yang tidak akan putus…” (QS. Al-Baqarah: 256).
C. Macam-macam Toleransi
Dalam masyarakat majemuk atau beragam, sikap dan perilaku toleran wajib dijaga
dan dikembangkan. Tanpa sikap dan perilaku yang saling toleransi, maka kerukunan,
persatuan, dan kesatuan bangsa tak mungkin terwujud. Oleh karena itu, walau bangsa
Indonesia sangat beragam, tetapi keberagaman itu diikat oleh satu kesatuan yaitu bangsa
Indonesia yang berbhinneka tunggal ika. Dikutip dari situs resmi Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia; sikap dan perilaku toleransi dapat
2
https://www.islampos.com/toleransi-dalam-pandangan-islam-178230/
8
diterapkan dalam kehidupan beragama, keberagaman suku, ras, serta beragaman sosial
budaya di Indonesia.
Pada dasarnya hidup rukun dan toleransi di antara pemeluk agama yang
berbeda-beda tidak berarti bahwa ajaran agama yang satu dengan ajaran agama yang
lain dicampur adukkan. Tetapi dengan berlandaskan hidup penuh kerukunan
dalam toleransi dalam kehidupan bermasyarakat, tradisi-tradisi keagamaan yang
dimiliki oleh setiap individu bersifat kumulatif dan kohesif yang menyatukan
keanekaragaman interpretasi dan sistem-sistem keyakinan keagamaan.
9
2) Toleransi terhadap keberagaman suku dan ras
Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai macam etnis atau suku bangsa dan ras.
Perbedaan suku bangsa dan ras hendaknya dipandang bukan sebagai
hambatan. Perbedaan suku dan ras hendaknya menjadi sumber kekuatan dalam
membangun persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia maupun dalam
pergaulan antarbangsa di dunia. Perbedaan tidak menjadikan suatu etnis dan ras
tertentu lebih tinggi derajatnya dibanding etnis lain. Hal yang membedakan
adalah baik atau buruknya sikap dan perilaku seseorang, bukan etnis atau suku bangsa
dan rasnya.
b) Mempelajari dan menguasai seni budaya sesuai minat dan bakat.
D. Manfaat Toleransi
Setiap orang pasti memiliki pendapat dan nilai mereka sendiri dan ini perlu
dihormati dan diterima. Satu-satunya cara untuk hidup dalam masyarakat yang damai
3
https://www.mandandi.com/2021/06/pengertian-toleransi-dan-macam-macam.html
10
adalah toleransi. Tidak masalah untuk tetap berpegang pada nilai-nilai diri sendiri.
Namun, menerima dan menghormati nilai-nilai orang lain juga penting dilakukan.
2) Membuka pandangan
Melalui sikap toleransi, setiap orang menghargai yang lainnya dan memberikan
rasa kasih sayang yang sama terhadap setiap perbedaan. Dengan begitu, rasa
persaudaraan sebangsa dan setanah air pun akan semakin terpupuk. Setiap kelompok
juga dapat terhindar dari berbagai jenis perpecahan.
Setiap orang yang memiliki rasa toleran dapat menahan dirinya untuk tidak
memaksakan pendapat pribadi kepada orang lain. Ini membuat keharmonisan akan tetap
terjaga, karena tiap orang bisa saling memahami satu sama lain.
11
inilah ia bisa menguji seberapa kuat iman ketika berhubungan dengan orang
lain.
Dengan adanya toleransi, maka pembangunan negara akan lebih cepat berjalan.
Sebab setiap orang akan memiliki perspektif yang serupa mengenai perbedaan. Maka
dari itu, kehidupan bernegara pun akan menjadi lebih mudah untuk dijalani. 4
Al-Qur’an tidak pernah menyebut-nyebut kata tasamuh atau toleransi secara tersurat
hingga kita tidak akan pernah menemukan kata tersebut termaktub di dalamnya.
Namun, secara eksplisit al-Qur’an menjelaskan konsep toleransi dengan segala batasan-
batasannya secara jelas dan gamblang. Oleh karena itu, ayat-ayat yang menjelaskan
tentang konsep toleransi dapat dijadikan rujukan dalam implementasi toleransi dalam
kehidupan.
Telah diketahui bersama, bahwa Islam adalah agama toleransi dan tidak ada paksaan
di dalam memeluk agama di dalamnya. Tidak hanya dalam akidah dan hal-hal yang
bersangkutan dengannya saja, tetapi larangan mempergunakan paksaan atau kekerasan
itu berlaku umum dalam bidang-bidang kehidupan dalam rangka antar-hubungan
manusia atau bidang mu’amalah.
Agama Islam tidak hanya mengakui kemerdekaan dan kebebasan tersebut dalam
teori saja, tetapi memberikan jaminan dan perlindungan hukum terhadap kemerdekaan
tersebut. Dalil-dalil yang menjelaskan tentang toleransi dan kemerdekaan beragama. 5
1) Surat al-Baqarah: 256
4
https://www.onoini.com/pengertian-toleransi-dalam-islam/
5
Umar Hasyim, Toleransi Dan Kemerdekaan Beragama Dalam Islam Sebagai Dasar Menuju Dialog Dan
Kerukunan Antar Agama, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1991), hlm. 245-249
12
َ طُوا إِلَ ْي ِه ْم إِنَّ هَّللا: س ُّ :َا ِر ُك ْم أَنْ تَب::َِّين َولَ ْم يُ ْخ ِر ُجو ُك ْم ِمنْ ِدي
ِ رو ُه ْم َوتُ ْق: ِ اَل يَ ْن َها ُك ُم هَّللا ُ ع َِن الَّ ِذينَ لَ ْم يُقَاتِلُو ُك ْم فِي الد
ا َه ُروا َعلَى::َا ِر ُك ْم َوظ::َ و ُك ْم ِمنْ ِدي:ِّين َوأَ ْخ َر ُج ِ د:اتَلُو ُك ْم فِي ال::َا ُك ُم هَّللا ُ ع َِن الَّ ِذينَ ق::ا يَ ْن َه::) إِنَّ َم8( ين ِ يُ ِح ُّب ا ْل ُم ْق
:َ س ِط
:َ اج ُك ْم أَنْ ت ََولَّ ْو ُه ْم َو َمنْ يَتَ َولَّ ُه ْم فَأُولَئِكَ ُه ُم الظَّالِ ُم
)9( ون ِ إِ ْخ َر
Dari dalil-dalil di atas, dapat disimpulkan mengenai prinsip atau konsep dalam
bertoleransi adalah sebagai berikut:
a. Tidak ada paksaan dalam memeluk agama
b. Menyeru orang kepada Islam dengan jalan kebijaksanaan dan dengan jalan bertukar
pikiran yang baik (musyawarah), karena dakwah tidak boleh dengan bersikap keras
kepala
c. Allah tidak melarang hidup bermasyarakat dengan baik kepada mereka yang tidak
sefaham atau tidak seagama, asalkan mereka tidak memusuhi dan memerangi kaum
muslimin.
Patut menjadi perhatian bersama agar dalam dakwah dapat mempertimbangkan
aspek toleransi dan kasih sayang yang telah diberikan oleh Tuhan dan Rasulullah, tidak
diperkenankan adanya paksaan karena sesungguhnya antara kebaikan dan kezaliman
sudahlah jelas. Memaksakan kehendak bukanlah hak manusia.
Dengan demikian, dalam rangka mewujudkan toleransi harus ada paradigma
kesetaraan dalam agama. Paradigma tersebut dimulai dari keberagaman yang terbuka
dan bertanggungjawab. Pilihan beragama seseorang atau sebuah kelompok
sesungguhnya tidak semata-mata merupakan pilihan teologis, melainkan juga pilihan
sosiologis. Karenanya, paradigma tidak ada paksaan dalam agama menjadi penting. Di
satu sisi Tuhanlah yang menegaskan pentingnya kebebasan beragama. Di sisi lain juga
terkandung pentingnya kebebasan dalam ranah sosiologis. Di sinilah perlu
13
penerjemahan paradigma tidak ada paksaan dalam agama pada ranah teologis dan
sosiologis.
Terdapat empat hal penting yang patut dijadikan etika dalam berdakwah.
Pertama, dakwah dengan hikmah. Kedua, dengan nasehat yang santun (bi al-mau’idhat
al-hasanah). Ketiga, debat yang konstruktif dan inovatif (wa jadilhum bil allati hiya
ahsan), dan keempat, teologi “Tuhan Maha Tahu”. Di tengah menguatnya keberagaman
diperlukan toleransi yang bersifat aktif. Artinya, dakwah dan debat yang seringkali
dijadikan sebagai ajang untuk memupuk kebencian dapat digantikan sebagai ajang
untuk memupuk keterbukaan terhadap yang lain. Pendapat seseorang itu haruslah
diasifati secara relativ karena tiddak ada manusia yang sempurna dan memegang
kebenaran mutlak. Kesempurnaan hanyalah milik Tuhan. Karena itu, relativitas harus
memacu setiap insan untuk senantiasa belajar dari yang lain untuk melihat dirinya
sendiri. Barangkali kebenaran ada di pihak yang lain.
Konsep toleransi yang ditawarkan Islam sangatlah rasional dan praktis serta
tidak berbelit-belit. Namun, dalam hubungannya dengan keyakinan (akidah) dan ibadah,
umat Islam tidak mengenal kata kompromi. Ini berarti keyakinan umat Islam kepada
Allah tidak sama dengan keyakinan para penganut agama lain terhadap tuhan-tuhan
mereka. Demikian juga dengan tata cara ibadahnya. Bahkan Islam melarang
penganutnya mencela tuhan-tuhan dalam agama manapun. Maka kata tasamuh atau
toleransi dalam Islam bukanlah “barang baru”, tetapi sudah diaplikasikan dalam
kehidupan sejak agama Islam itu lahir.
Karena itu, agama Islam menurut hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari,
Rasulullah saw. pernah ditanya tentang agama yang paling dicintai oleh Allah, maka
beliau menjawab: al-Hanafiyyah al-Samhah (agama yang lurus yang penuh toleransi),
itulah agama Islam.
Toleransi Dalam Bingkai Ke-Bhinneka-an
Indonesia merupakan negara kesatuan. Dia menghimpun berbagai macam warna
kulit, bentuk mata dan model rambut dalam satu tubuhnya, bangsa Indonesia. Indonesia
tidak mengenal rasisme. Kedaulatan, persatuan dan kesatuan adalah nilai yang senatiasa
dijunjungnya, sebagaimana yang terangkum dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ikka.
14
Dalam hal ini, toleransi mengarah kepada sikap terbuka dan mau mengakui adanya
berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat-
istiadat, budaya, maupun keyakinan. Hal ini merupakan suatu keniscayaan.
Dengan demikian, bagi manusia, sudah selayaknya untuk mengikuti petunjuk
Tuhan dalam menghadapi perbedaan-perbedaan itu. Toleransi antar umat beragama
yang berbeda termasuk ke dalam salah satu risalah penting yang ada dalam sistem
teologi. Karena Tuhan senantiasa mengingatkan kita akan keragaman manusia, baik
dilihat dari sisi agama, suku, warna kulit, adat-istiadat, dan sebagainya.
Perbedaan adalah keniscayaan, sungguhlah mustahil untuk menghindarinya atau
menghilangkannya dengan alasan apapun. Bahkan atas nama agama. Toleransi sejati
hanya dapat terwujud apabila kesadaran meluaskan wawasan ke ruang-ruang yang
menyekat, menjadikan sikap rendah hati sebagai tiangnya, agar berani untuk
menghadapi bahwa hidup itu adalah keragaman, yang tak satu pun diantarannya atas
nama keyakinan apapun dapat dijadikan alat untuk mengintimidasi pihak lain ataulah
sebagai upaya mulai dalam rancang sistematik penyeragaman keyakinan. Tentang
kebebasan beragama dan berkeyakinan, hal itu telah di atur dalam jaminan konstitusi
pasal 29 UUD 1945 ayat 2; begitupun hak hidup dan kebebasan berpendapat juga sama
telah dijamin oleh undang-undang. Oleh karenanya, tidak ada alasan untuk warga yang
mengaku bangsa Indonesia untuk tidak bersikap toleransi kepada orang lain dalam hal
apapun.
Akan tetapi, tentu yang dikehendaki toleransi dalam beragama di Indonesia yang
memiliki kurang lebih enam agama, bukan berarti kita hari ini boleh bebas menganut
agama tertentu dan esok hari kita menganut agama yang lain atau dengan bebasnya
mengikuti ibadah dan ritual semua agama tanpa adanya peraturan yang mengikat. Akan
tetapi, toleransi beragama harus dipahami sebagai bentuk pengakuan kita akan adanya
agama-agama lain selain agama kita dengan segala bentuk, sistem, dan tata cara
peribadatannya dan memberikan kebebasan untuk menjalankan keyakinan agama
masing-masing.
Satu hal yang tidak bisa dielakkan dalam konteks toleransi adalah ketegangan
antara idealisme dan realitas. Idealisme agama sendiri dan realitas keberagamaan di
Indonesia yang tidak satu. Belakangan ini, intoleransi dalam prakteknya lebih banyak
dipilih daripada toleransi. Karena itu -bisa dikatakan- yang terjadi sesungguhnya adalah
15
krisis toleransi di pelbagai level kehidupan. Wacana yang terkemuka adalah intoleransi,
bahkan wacana tersebut telah mendapatkan justifikasi dari pandangan keagamaan.
Dalam masalah ini, Abdul Husein Sya’ban menyampaikan sebuah otokritik yang perlu
mendapatkan catatan khusus:
Kita sesungguhnya tidak mengerti toleransi di antara kita, baik pada level
individu maupun kolektif, kelompok, organisasi maupun partai politik. Bahkan pada
tataran tertentu kita senantiasa memupuk perseteruan di antara kita, baik dalam satu
aliran, satu partai, satu bangsa maupun satu golongan. Kita sudah menyaksikan dengan
seksama peperangan, pembantaian dan pembunuhan massal yang disebabkan krisis
toleransi, pemberangusan kebebasan berpendapat dan peminggiran kelompok lain.6
Untuk mengembangkan sikap toleransi secara umum, dapat kita mulai terlebih
dahulu dengan bagaimana kemampuan kita mengelola dan mensikapi perbedaan
(pendapat) yang (mungkin) terjadi pada keluarga kita atau pada keluarga/saudara kita
sesama. Sikap toleransi dimulai dengan cara membangun kebersamaan atau
keharmonisan dan menyadari adanya perbedaan. Dan menyadari pula bahwa kita semua
adalah bersaudara. Maka akan timbul rasa kasih sayang, saling pengertian dan pada
akhirnya akan bermuara pada sikap toleran.
Dalam kaitannya dengan toleransi antar umat beragama, toleransi hendaknya
dapat dimaknai sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut
agama lain, dengan memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan
(ibadah) masing-masing, tanpa adanya paksaan dan tekanan, baik untuk beribadah
maupun tidak beribadah, dari satu pihak ke pihak lain. Hal demikian dalam tingkat
praktek-praktek sosial dapat dimulai dari sikap bertetangga, karena toleransi yang
paling hakiki adalah sikap kebersamaan antara penganut keagamaan dalam praktek
sosial, kehidupan bertetangga dan bermasyarakat, serta bukan hanya sekedar pada
tataran logika dan wacana.
Sikap toleransi antar umat beragama biasa dimulai dari hidup bertetangga baik
dengan tetangga yang seiman dengan kita atau tidak. Sikap toleransi itu direfleksikan
dengan cara saling menghormati, saling memuliakan dan saling tolong-menolong. Hal
ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. ketika suatu saat beliau dan para
sahabat sedang berkumpul, lewatlah rombongan orang Yahudi yang mengantar jenazah.
6
Zuhairi Misrawi. Al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme. (Jakarta
Selatan Indonesia: Fitrah, 2007), hlm. 180.
16
Nabi saw. langsung berdiri memberikan penghormatan. Seorang sahabat berkata:
“Bukankah mereka orang Yahudi wahai rasul?” Nabi saw. menjawab “Ya, tapi mereka
manusia juga”. Jadi sudah jelas, bahwa sisi akidah atau teologi bukanlah urusan
manusia, melainkan Tuhan SWT dan tidak ada kompromi serta sikap toleran di
dalamnya. Sedangkan kita bermu’amalah dari sisi kemanusiaan kita.
Bahwa prinsip menganut agama tunggal merupakan suatu keniscayaan. Tidak
mungkin manusia menganut beberapa agama dalam waktu yang sama; atau
mengamalkan ajaran dari berbagai agama secara simultan. Oleh sebab itu, al-Qur’an
menegaskan bahwa umat Islam tetap berpegang teguh pada sistem ke-Esaan Allah
secara mutlak; sedangkan orang kafir pada ajaran ketuhanan yang ditetapkannya sendiri.
Dalam ayat lain Allah juga menjelaskan tentang prinsip dimana setiap pemeluk agama
mempunyai sistem dan ajaran masing-masing sehingga tidak perlu saling hujat
menghujat.
Pada taraf ini konsepsi tidak menyinggung agama kita dan agama selain kita,
juga sebaliknya. Dalam masa kehidupan dunia, dan untuk urusan dunia, semua haruslah
kerjasama untuk mencapai keadilan, persamaan dan kesejahteraan manusia. Sedangkan
untuk urusan akhirat, urusan petunjuk dan hidayah adalah hak mutlak Tuhan SWT.
Maka dengan sendirinya kita tidak sah memaksa kehendak kita kepada orang lain untuk
menganut agama kita.
Al-Qur’an juga menganjurkan agar mencari titik temu dan titik singgung antar
pemeluk agama. Al-Qur’an menganjurkan agar dalam interaksi social, bila tidak
ditemukan persamaan, hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain dan
tidak perlu saling menyalahkan. Sudah selayaknya jika umat Islam turut serta aktif
untuk memperjuangkan visi-visi toleransinya di khalayak masyarakat plural. Walaupun
Islam telah memiliki konsep pluralisme dan kesamaan agama, maka hal itu tak berarti
para muballigh atau pendeta dan sebagainya berhenti untuk mendakwahkan agamanya
masing-masing. Perbedaan umat manusia, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit,
bahasa, adat-istiadat, budaya, bahasa serta agama dan sebagainya, merupakan fitrah dan
sunnatullah yang sudah menjadi ketetapan Tuhan SWT.
17
Dalam sebuah Hadits Nabi Muhammad SAW, adalah bagaimana dia bersikap kepada
tetangga. “Barang siapa yang beriman kepada Tuhan SWT dan Hari Akhir, maka
hendaknya dia memuliakan tetangganya”.
Tidak ada sama sekali dikotomi apakah tetangga itu seiman dengan kita atau
tidak. Dan tak seorang pun berhak untuk memasuki permasalahan iman atau tak
beriman. Ini penting untuk diperhatikan, bahwa dikotomi seiman dan tak seiman sangat
tidak tepat untuk kita terapkan pada hal-hal yang memiliki dimensi humanistik. Bahkan,
ketika suatu saat Nabi Muhammad SAW hendak melarang seorang sahabat untuk
bersedekah kepada orang non-muslim yang sedang membutuhkan, kita tidak perlu
untuk membeda-bedakan orang-orang yang miskin, apakah mereka itu seiman dengan
kita atau tidak. Mengapa? Karena petunjuk atau hidayah ada dalam kekuasaan Tuhan
SWT. Sedangkan urusan manusia adalah mengajak kepada kebaikan, keadilan dan
kesejahteraan yang ada di dunia. 7
Dengan demikian, sikap toleransi yang paling utama untuk kita tumbuh-
kembangkan adalah praktek-praktek sosial kita sehari-hari, yang berdasarkan kepada
prinsip, seperti yang telah disebutkan di atas, dapat hidup bersama masyarakat penganut
agama lain, dan hal ini dengan kita awali bagaimana kita bersikap yang baik dengan
tetangga terdekat kita, tanpa membedakan mereka dari sisi apapun. Namun, untuk
bersikap toleran kepada tetangga tentu dapat kita mulai terlebih dahulu bagaimana
kemampuan kita mengelola dan mensikapi perbedaan (pendapat) yang (mungkin)
terjadi pada keluarga kita.
Jadi, sebelum kita bersikap toleran kepada tetangga, kita terlebih dahulu
mencoba untuk membangun sikap plural dan perbedaan (pendapat) dalam anggota
keluarga kita. Membangun sikap toleran dalam keluarga sangat penting, karena ia
menjadi salah satu syarat mutlak untuk mencapai derajat keluarga sakinah yang penuh
barokah dari Tuhan SWT. Sehingga, ketika dalam keluarga sebagai komunitas terkecil
kita sanggup untuk mengelola perbedaan dan pluralisme, maka modal kemampuan itu
akan menghantarkan kita kepada sikap toleran atas perbedaan-perbedaan dalam
masyarakat (tetangga) dan yang lebih luas.
7
Umar Hasyim, Toleransi Dan Kemerdekaan Beragama Dalam Islam Sebagai Dasar Menuju
Dialog Dan Kerukunan Antar Agama, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1991), hlm. 23.
18
Terakhir, prinsip toleransi dalam perspektif islam ketika kita sudah meyakini
bahwa hidayah atau petunjuk adalah hak mutlak Tuhan SWT, maka dengan sendiri kita
tidak sah untuk memaksakan kehendak kita kepada orang lain untuk menganut agama
kita. Namun demikian, kita tetap diwajibkan untuk berdakwah, dan itu berada pada
garis-garis yang diperintahkan oleh Tuhan SWT. Para ulama sepakat agar toleransi
menjadi salah satu alternatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena
toleransi bukan sekadar hak, tetapi kewajiban. Tuhan pun dalam kitab suci-Nya disebut
Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pengampun, dan Maha Pemaaf. Karena itu,
Sila Ketuhanan yang Maha Esa harus dipahami dalam konteks mengimplementasikan
nilai-nilai ketuhanan itu secara konsekuen dan konsisten, utamanya dalam hal toleransi.
Salah satu hal yang menjadi keprihatinan bersama dalam konteks kebangsaan
muncul gejala yang kian memupuk intoleransi, terutama antara satu kelompok kepada
kelompok lain. Realitasnya, tidak sedikit warga NU yang mulai diusik pihak-pihak lain
perihal tradisi dan praktik keagamaan, seperti tahlilan, yasinan, dibaan, barzanji,
istigasah, dan lain-lain. Di Bandung, Jawa Barat, pesantren yang secara kultural
berbasis nahdiyin diserang warga setempat karena mengusung tema kebangsaan.
Kenyataan itu menunjukkan, wawasan tentang pentingnya toleransi masih
minim di tengah masyarakat. Karena itu, diperlukan kebesaran jiwa dan kerendahan hati
dari seluruh pihak bahwa bangsa ini akan besar bila toleransi diterjemahkan dalam
hidup berbangsa dan bernegara. Dua hal inilah (keadilan dan toleransi) yang semestinya
menjadi garapan utama PBNU dalam munas di Surabaya, yaitu mendorong pemerintah
agar menunjukkan komitmennya terhadap keadilan dan kepada masyarakat agar
menerapkan toleransi secara konsisten demi keutuhan bangsa dan Negara.8
Sekilas, toleransi dan fanatik tampak kontras jika dipersandingkan. Karena
seolah mereka duduk selalu saling membelakangi satu sama lain. Atau ada yang bilang
bahwa mereka adalah musuh bebuyutan. Padahal mereka justru dua sahabat lama yang
saling merindukan. Keduanya bisa hidup seiring sejalan. Fanatisme sebenarnya
merupakan sebuah sikap yang sangat terpuji. Sebab ketika kita menganut kepercayaan
tertentu, maka sikap ideal yang harus kita yakini dalam hati adalah bahwa kepercayaan
kita itulah yang paling benar. Sebagai seorang Muslim, penyusun menganggap bahwa
Islam adalah satu-satunya agama yang benar. Yang lain tidak benar. Teman-teman yang
8
Umar Hasyim, Toleransi Dan Kemerdekaan Beragama Dalam Islam Sebagai Dasar Menuju Dialog Dan
Kerukunan Antar Agama, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1991), hlm. 22
19
beragama Kristen, Hindu, Budha, dan sebagainya pun, silahkan berpendapat bahwa
agama merekalah yang benar, sedangkan yang lainnya tidak benar. Inilah inti dari
fanatisme. Dan sikap ini hanya untuk ‘i’tiqad dalam hati.
Fanatisme yang dilakukan secara benar tak akan mungkin bertolak belakang
dengan toleransi. Islam misalnya, adalah agama yang penuh toleransi. Islam
memberikan ajaran yang sangat sempurna tentang bagaimana kita sebaiknya
berhubungan baik dengan saudara-saudara kita yang bukan beragama Islam. Bahkan
faktanya, di negara manapun yang mayoritas penduduknya Islam, warga non muslim
dapat hidup dengan aman dan nyaman. Fanatisme sama sekali tidak bertolak belakang
dengan toleransi. Fanatisme tidak sama dengan "tidak bisa menerima perbedaan".
Dalam konteks perbedaan, fanatisme adalah sikap untuk "berpegang teguh pada
keyakinan yang kita anut, namun selalu menghargai siapa saja yang memiliki keyakinan
yang berbeda." Inilah fanatisme yang sebenarnya. Karena tanpa fanatisme, bisa
menimbulkan keraguan akan keyakinannya sendiri. Dan fanatisme yang seperti inilah
yang telah diterapkah oleh Rasulullah SAW beserta para sahabatnya.9
9
Hasyim, Umar. 1991. Toleransi dan Kemerdekaan Beragama Dalam Islam Sebagai Dasar Menuju Dialog
dan Kerukunan Antar Agama. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
20
golongan lain." Dalam Islam, dibuat pembagian yang tegas antara "toleransi agama"
dengan "toleransi umat beragama".
Toleransi agama adalah sikap permisif terhadap ajaran agama lain. Contoh
konkrit: Umat Islam ikut merayakan hari Natal, atau umat Kristen ikut puasa di bulan
Ramadhan. Inilah jenis toleransi yang tidak diperbolehkan. Sebab sikap seperti ini
sangat bertentangan dengan prinsip fanatisme. Sikap toleransi terhadap ajaran agama
menunjukkan bahwa keyakinan kita terhadap agama yang kita anut tidak terlalu kuat.
Artinya, kita tidak fanatik terhadap agama kita sendiri. Kalau terhadap agama saja kita
tidak fanatik, lalu "objek" apalagi yang akan kita fanatiki? Yang perlu kita kembangkan
dan lestarikan sebenarnya adalah toleransi umat beragama. Maksudnya, kita menjaga
hubungan baik dengan penganut agama lain. Kita bersahabat dengan mereka, saling
silaturahmi, menjalin kerjasama bisnis, dan sebagainya. Semua itu boleh-boleh saja.
Selama hubungan yang terjalin masih sebatas hubungan sosial kemanusiaan, tak ada
yang perlu dipermasalahkan.
Tapi ketika sudah menyangkut ritual keagamaan dan sejenisnya, ini tidak boleh
dilakukan karena sudah melanggar asas toleransi dan fanatisme. Ini adalah toleransi
yang kebablasan. Ini adalah fanatisme yang lemah serta bobrok. Toleransi yang
kebablasan akan membuat kita kehilangan identitas (karena kita sibuk menyesuaikan
diri dan mengekor pada orang lain). Fanatisme yang lemah akan membuat kita sangat
permisif terhadap keyakikan dari golongan lain. Jalan tengahnya adalah melaksanakan
toleransi yang pada tempatnya (toleransi umat beragama) dan fanatisme yang tetap
menghargai perbedaan.10
10
Ahmad, Kursyid. 1986. Islam dan Fanatisme. Bandung: Pustaka.
21
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh dari
kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman
pada banyak sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka dari itu penulis
mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan di
atas.
22
DAFTAR PUSTAKA
https://www.islampos.com/toleransi-dalam-pandangan-islam-178230/
https://www.mandandi.com/2021/06/pengertian-toleransi-dan-macam-macam.html
https://www.onoini.com/pengertian-toleransi-dalam-islam/
Umar Hasyim, Toleransi Dan Kemerdekaan Beragama Dalam Islam Sebagai Dasar
Menuju Dialog Dan Kerukunan Antar Agama, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1991), hlm.
245-249
Umar Hasyim, Toleransi Dan Kemerdekaan Beragama Dalam Islam Sebagai Dasar
Menuju Dialog Dan Kerukunan Antar Agama, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1991), hlm.
23.
Umar Hasyim, Toleransi Dan Kemerdekaan Beragama Dalam Islam Sebagai Dasar
Menuju Dialog Dan Kerukunan Antar Agama, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1991), hlm. 22
Hasyim, Umar. 1991. Toleransi dan Kemerdekaan Beragama Dalam Islam Sebagai
Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
23