Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

GANGGUAN KONSEP DIRI : HARGA DIRI RENDAH

Oleh :

MADE YAYANG ANJANI


NIM. 2014901253

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN
INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI DENPASAR
2021
LAPORAN PENDAHULUAN
GANGGUAN KONSEP DIRI : HARGA DIRI RENDAH

I. Masalah Utama
Gangguan Konsep Diri : Harga Diri Rendah

II. Proses Terjadinya Masalah


A. Pengertian
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan
rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap diri
sendiri dan kemampuan diri. Adanya perasaan hilang kepercayaan diri,
merasa gagal karena tidak mampu mencapai keinginan sesuai ideal diri
(Yosep, 2014).
Harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri dan
kemampuan, yang diekspresikan secara langsung maupun tidak langsung,
(Fitria 2015).
Harga diri rendah adalah penilaian tentang pencapaian diri dengan
menganalisa seberapa jauh prilaku sesuai dengan ideal diri. (Prabowo
2014).
Halusinasi adalah perubahan dalam jumlah atau pola stimulus yang
datang disertai gangguan respon yang kurang, atau distorsi terhadap
stimulus tersebut (Nanda-I, 2012).
Harga diri rendah yaitu individu cenderung untuk menilai dirinya
negatif dan merasa lebih rendah dari orang lain, (Direja 2016).
Halusinasi pendengaran adalah suatu persepsi klien yang mendengar
suara yang membicarakan, mengejek, menertawakan, mengancam,
memerintahkan untuk melakukan sesuatu (kadang hal-hal yang
membahayakan). (Trimelia, 2012)
Kesimpulan harga diri rendah adalah perasaan negatif terhadap diri
sendiri, hilang percayaan diri, harga diri serta menolak dirinya.Tidak dapat
bertanggung jawab atas kehidupan sendiri serta gagal dalam menyesuaikan
tingkah laku dan cita-cita.
Gambaran Rentang Respon Halusinasi

Respon Adaptif Respon Maladaptif

1. Pikiran logis 1. Distorsi pikiran 1. Gangguan


2. Persepsi akurat Ilusi proses pikir
3. Emosi konsisten 2. Reaksi emosi 2. Waham
dengan pengalaman berlebihan atau 3. Perilaku
4. Perilaku sesuai kurang disorganisasi
5. Hubungan sosial 3. Perilaku aneh atau 4. Isolasi sosial
tidak biasa
4. Menarik diri

a. Respon Adaptif
Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma-norma sosial
budaya yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas
normal jika menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan masalah
tersebut, respon adaptif:
1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan
2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan
3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari
pengalaman ahli
4) Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam
batas kewajaran.
5) Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan
lingkungan.
b. Respon psikososial
1) Proses pikir terganggu adalah proses pikir yang menimbulkan
gangguan
2) Ilusi adalah miss interpretasi atau penilaian yang salah tentang
penerapan yang benar-benar terjadi (objek nyata) karena rangsangan
panca indera.
3) Emosi berlebihan atau berkurang
4) Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi
batas kewajaran
5) Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari interaksi dengan
orang lain.
c. Respon maladaptif
Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan
masalah yang menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan
lingkungan, adapun respon maladaptif meliputi:
1) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan
walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan
kenyataan sosial.
2) Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi
eksternal yang tidak realita atau tidak ada.
3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari
hati
4) Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu yang tidak teratur.
5) Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu
dan diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu
kecelakaan yang negatif mengancam.

B. Etiologi
1. Faktor
predisposisi
a. Biologi :
Harapan akan struktur, bentuk dan fungsi tubuh yang tidak tercapai
karena dirawat atau sakit. Stresor fisik atau jasmani yang lain
seperti : suhu dingin atau panas, suara bising, rasa nyeri atau sakit,
kelelahan fisik, lingkungan yg tidak memadai dan pencemaran
(polusi) udara atau zat kimia.
b. Psikologi
Penolakan orang tua, harapan orang tua yang tidak realistis,
kegagalan yang berulang, kurang mempunyai tanggung jawab
personal, ketergantungan pada orang lain dan ideal diri yang tidak
realistis. Stressor yang lain adalah konflik, tekanan, krisis dan
kegagalan.
c. Sosio
kultural
Stereotipi peran gender, tuntutan peran kerja, harapan peran budaya,
tekanan dari kelompok sebaya dan perubahan struktur sosial.
d. Faktor
predisposisi gangguan citra tubuh
1) Kehilangan / kerusakan bagian tubuh.
2) Perubahan ukuran, bentuk dan penampilan tubuh.
3) Proses patologik penyakit dan dampaknya terhadap struktur
maupun fungsi tubuh.
4) Prosedur pengobatan seperi radiasi, transplantasi, kemoterapi
e. Faktor
predisposisi gangguan harga diri
1) Penolakan dari orang lain.
2) Kurang penghargaan.
3) Pola asuh yang salah
4) Kesalahan dan kegagalan yang berulang.
5) Tidak mampu mencapai standar yang ditentukan.
f. Faktor
predisposisi gangguan peran
1) Transisi peran yang sering terjadi pada proses perkembangan,
perubahan situasi dan keadaan sehat – sakit.
2) Ketegangan peran, ketika individu menghadapi dua harapan
yang bertentangan secara terus menerus yang tidak terpenuhi.
3) Keraguan peran, ketika individu kurang pengetahuannya tentang
harapan peran yang spesifik dan bingung tentang tingkah laku
peran yang sesuai.
4) Peran yang terlalu banyak.
g. Faktor
predisposisi gangguan identitas diri
1) Ketidakpercayaan orang tua pada anak.
2) Tekanan dari teman sebaya.
3) Perubahan struktur sosial (Stuart,2016 : 221).

2. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi dapat disebabkan oleh faktor dari dalam atau faktor
dari luar individu terdiri dari :
a. Trauma seperti penganiayaan seksual dan psikologis atau
menyaksikan peristiwa yang mengancam kehidupan.
b. Ketegangan peran adalah perasaan frustasi ketika individu merasa
tidak adekuat melakukan peran atau melakukan peran yang
bertentangan dengan hatinya atau tidak merasa cocok dalam
melakukan perannya. Ada 3 jenis transisi peran :
c. Perkembangan transisi, yaitu perubahan normatif yang berkaitan
dengan pertumbuhan. Pertumbuhan ini termasuk tahap
perkembangan dalam kehidupan individu atau keluarga dan norma –
norma budaya, nilai – nilai, serta tekanan untuk menyesuaikan diri.
d. Situasi transisi peran adalah bertambah atau berkurangnya anggota
keluarga melalui peristiwa penting dalam kehidupan individu
seperti kelahiran atau kematian.
e. Transisi peran sehat – sakit terjadi akibat pergeseran dari keadaan
sehat ke keadaan sakit. Transisi ini dapat dicetuskan oleh :
f. Perubahan ukuran dan bentuk, penampilan atau fungsi tubuh.
g. Perubahan fisik yang berkaitan dengan tumbuh kembang normal.
h. Prosedur medis dan perawatan (Stuart,2016 : 221).

C. Proses Terjadinya
Konsep diri didefinisikan sebagai semua pikiran, keyakinan,dan
kepercayaan yang membuat seseorang mengetahui tentang dirinya dan
mempengaruhi hubungannya denga orang lain. Konsep diri tidak terbentuk
sejak lahir namun dipelajari.Salah satu komponen konsep diri yaitu harga
diri dimana harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri
dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal
diri.Sedangkan harga diri rendah adalah menolak dirinya sebagai sesuatu
yang berharga dan tidak bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri.Jika
individu sering gagal maka cenderung harga diri rendah. Harga diri
diperoleh dari diri sendiri dan orang lain, aspek utama adalah diterima dan
menerima penghargaan dari orang lain. Gangguan harga diri digambarkan
sebagai oerasaan yang negetiv terhadap diri sendiri, termasuk hilangnya
percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai keinginan, mengkritik
diri sendiri, penurunan produktifitas, perasaan tidak mampu, mudah
tersinggung dan menarik diri secar sosial.
Faktor yang mempengaruhi harga diri meliputi penolakan orang tua,
harapan orang tua yang tidak realistik, kegagalan yang berulang kali,
kurang mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang
lain dan ideal diri yang tidak realistik (Keliat, 2001).

D. Tanda dan Gejala harga diri rendah


a. Mengejek dan mengkritik diri sendiri.
b. Merasa bersalah dan khawatir, menghukum atau menolak diri sendiri.
c. Mengalami gejala fisik, missal: tekanan darah tinggi, gangguan
penggunaan zat.
d. Menunda keputusan
e. Sulit bergaul
f. Menghindari kesenangan yang dapat memberi rasa puas.
g. Menarik diri dari realitas, cemas, panik, cemburu, curiga dan
halusinasi.
h. Merusak diri: harga diri rendah menyokong klien untuk mengakhiri
hidup.
i. Merusak atau melukai orang lain
j. Perasaan tidak mampu.
k. Pandangan hidup yang pesimis
l. Penurunan produktifitas
m. Penolakan terhadap kemampuan diri
n. Terlihat dari kurang memperhatikan perawatan diri
o. Berpakaian tidak rapih.
p. Selera makan kurang
q. Tidak berani menatap lawan bicara.
r. Lebih banyak menunduk.
s. Bicara lambat dengan nada suara lemah.

E. Akibat
1. Perubahan penampilan peran
Mekanisme: Berubah atau berhentinya fungsi peran seseorang yang
disebabkan oleh penyakit merupakan akibat dari gangguan konsep
diri.
2. Keputusasaan
Mekanisme: merupakan persepsi bahwa tindakan seseorang tidak akan
mempengaruhi hasil karena kurang percaya diri dengan kemampuan
karena menganggap dirinya tidak mampu.
3. Menarik diri
Mekanisme: perilaku menarik diri merupakan percobaan untuk
menghindari interaksi dengan orang lain, karena menganggap dirinya
tidak pantas berada di lingkungan tersebut yang merupakan akibat dari
gangguan konsep diri (Keliat, 2001).

III. a. Pohon masalah


Effect : Isolasi sosial : Menarik diri

Core Problem : Harga Diri Rendah

Cause : Koping Individu Tidak Efektif


b. Data yang perlu dikaji :
1) Isolasi sosial : menarik diri
a) Data Subjektif
(1) Mengungkapkan enggan bicara dengan orang lain 
(2) Klien mengatakan malu bertemu dan berhadapan dengan
orang lain.
b) Data Objektif
(1) Ekspresi wajah kosong tidak ada kontak mata ketika diajak
bicara 
(2) Suara pelan dan tidak jelas                        
(3) Hanya memberi jawaban singkat (ya/tidak)     
(4) Menghindar ketika didekati

2) Harga diri rendah


a) Data Subjektif
(1) Mengungkapkan ingin diakui jati dirinya.
(2) Mengungkapkan tidak ada lagi yang peduli.
(3) Mengungkapkan tidak bisa apa-apa.   
(4) Mengungkapkan dirinya tidak berguna.  
(5) Mengkritik diri sendiri.
(6) Perasaan tidak mampu.
b) Data Objektif
(1) Merusak diri sendiri
(2) Ekspresi malu
(3) Menarik diri dari hubungan social\Tampak mudah
tersinggung
(4) Tidak mau makan dan tidak tidur

3) Koping individu tidak efektif


a) Data Subjektif
(1) Mengungkapkan ketidakmampuan dan meminta bantuan
orang lain.         
(2) Mengungkapkan malu dan tidak bisa ketika diajak melakukan
sesuatu. 
(3) Mengungkapkan tidak berdaya dan tidak ingin hidup lagi.
b) Data Objektif
(1) Tampak ketergantungan terhadap orang lain 
(2) Tampak sedih dan tidak melakukan aktivitas yang seharusnya
dapat dilakukan               
(3) Wajah tampak murung

IV. Diagnosa Keperawatan


1. Isolasi sosial
2. Harga diri rendah
3. Koping individu tidak efektif

V. Rencana Tindakan Keperawatan


1. Tujuan
Pasien mampu :
a. Membina hubungan saling percaya
b. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki pasien
c. Menilai kemampuan yang dapat digunakan
d. Menetapkan/memilih kegiatan yang sesuai kemampuan
e. Melatih kegiatan yang telah dipilih sesuai kemampuan
f. Merencanakan kegiatan yang telah dilaihan.
2. Berdasarkan SP Pasien dan SP Keluarga
Pasien Keluarga
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi kemampuan dan 1. Identifikasi masalah yang
aspek positif yang dimiliki pasien dirasakan dalam merawat pasien
2. Membantu pasien menilai 2. Jelaskan proses terjadinya HDR
kemampuan pasien yang masih 3. Jelaskan tentang cara merawat
dapat digunakan. pasien
3. Membantu pasien memilih kegiatan 4. Lakukan bermain peran dalam
yang akan dilatih sesuai dengan merawat pasien HDR
kemampuan pasien. 5. Menyusun RTL keluarga
4. Melatih pasien sesuai kemampuan
yang dipilih
5. Memberikan pujian yang wajar
terhadap keberhasilan pasien.
6. Memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian.
SP 2 SP 2
1. Evaluasi SP 1 1. Evaluasi kemampuan SP 1
2. Memilih kemampuan kedua yang 2. Latih keluarga langsung kepasien
akan dilatih 3. Menyusun RTL keluarga
3. Melatih kemampuan yang dipilih
4. Masukan dalam jadwal kegiatan

SP 3 SP 3
1. Evaluasi SP 1 dan 2 1. Evaluasi kemampuan Keluarga
2. Memilih kemampuan ketiga yang 2. Evaluasi kemampuan pasien
akan dilatih 3. RTL keluarga (follow up, rujukan)
3. Masukan ke jadwal kegiatan

VI. Diagnosa Medis


a. Pengertian
Skizofrenia berasal dari dua kata, yaitu “ Skizo “ yang artinya retak
atau pecah (split), dan “ frenia “ yang artinya jiwa. Dengan demikian
seseorang yang menderita skizofrenia adalah seseorang yang mengalami
keretakan jiwa atau keretakan kepribadian ( Nita Fitria, 2009).
Schizofrenia merupakan gangguan  psikotik yang merusak yang dapat
melibatkan gangguan yang khas dalam berpikir (delusi), persepsi
(halusinasi), pembicaraan, emosi dan perilaku. Keyakinan irasional tentang
dirinya atau isi pikiran yang menunjukkan kecurigaan tanpa sebab yang
jelas, seperti bahwa orang lain bermaksud buruk atau bermaksud
mencelakainya (Carolina, 2009).

b. Etiologi
Teori tentang penyebab skizofrenia, yaitu (Carolina, 2009):
1) Diathesis-stres model
Teori ini menggabungkan antara faktor biologis, psikososial, dan
lingkungan yang secara khusus mempengaruhi diri seseorang sehingga
dapat menyebabkan berkembangnya gejala skizofrenia.Dimana ketiga
faktor tersebut saling berpengaruh secara dinamis.
2) Faktor biologis
Dari faktor biologis dikenal suatu hipotesis dopamin yang menyatakan
bahwa skizofrenia disebabkan oleh aktivitas dopaminergik yang
berlebihan di bagian kortikal otak dan berkaitan dengan gejala positif
dari skizofrenia. Penelitian terbaru juga menunjukkan pentingnya
neurotransmitter lain termasuk serotonin, norepinefrin, glutamate, dan
GABA. Selain perubahan yang sifatnya neurokimiawi, penelitian
menggunakan CT scan ternyata ditemukan perubahan anatomi otak
seperti pelebaran lateral ventrikel, atrofi korteks atau atrofi otak kecil
(cerebellum) terutama pada penderita skizofrenia kronis.

3) Genetika
Faktor genetika telah dibuktikan secara meyakinkan. Resiko
masyarakat umum 1%, pada orang tua resiko 5%, pada saudara
kandung 8%, dan pada anak 12% apabila salah satu orang tua
menderita skizofrenia, walaupun anak telah dipisahkan dari orang tua
sejak lahir, anak dari kedua orang tua skizofrenia 40%. Pada kembar
monozigot 47%, sedangkan untuk kembar dizigot sebesar 12% .
4) Faktor psikososial
a) Teori perkembangan
Ahli teori Sullivan dan Erikson mengemukakan bahwa kurangnya
perhatian yang hangat dan penuh kasih saying di tahun-tahun awal
kehidupan berperan dalam menyebabkan kurangnya identitas diri,
salah interpretasi terhadap realitas dan menarik diri dari hubungan
social pada penderita skizofrenia.
b) Teori belajar
Menurut ahli teori belajar (learning theory), anak-anak yang
menderita skizofrenia mempelajari reaksi dan cara berpikir
irasional orang tua yang mungkin memiliki masalah emosional
yang bermakna. Hubungan interpersonal yang buruk dari penderita
skizofrenia akan berkembang karena mempelajari model yang
buruk selama anak-anak.
c) Teori keluarga
Tidak ada teori yang terkait dengan peran keluarga dalam
menimbulkan skizofrenia.Namun beberapa penderita skizofrenia
berasal dari keluarga yang disfungsional.

c. Klasifikasi
Secara umum skizofrenia dibagi dalam 5 tipe atau kelompok yang
mempunyai spesifikasi masing-masing, kriteria pengelompokannya
sebagai berikut (Damayanti, 2012) :

1. Tipe Hebefrenik
Tipe ini disebut juga disorganized type atau kacau balau yang dimulai
dengan gejala-gejala antara lain :
a) Inkoherensi yaitu jalan pikiran yang kacau, tidak dapat dimengerti
apa maksudnya. Hal ini dapat dilihat dari kata-kata yang
diucapkan tidak ada hubungannya satu dengan yang lain.
b) Alam perasaan (mood, effect) yang datar tanpa ekspresi serta
tidak serasi (incongrose) atau ketolol-tololan (silly).
c) Perilaku dan tertawa kekanak-kanakan (giggling), senyum yang
menunjukan rasa puas diri atau senyum yang hanya dihayati
sendiri.
d) Waham (delusion) tidak jelas dan tidak sistimatik (terpecah) tidak
terorganisir suatu satu kesatuan.
e) Halusinasi yang terpecah-pecah yang isi temanya tidak
terorganisir sebagai satu kesatuan.
f) Perilaku aneh, misalnya menyeringai sendiri, menunjukkan
gerakan-gerakan aneh, berkelakar, pengucapan kalimat yang
diulang-ulang dan kecenderungan untuk menarik diri secara
ekstrim dari hubungan sosial.
2. Tipe Katatonik
a) Stupor katatonik, yaitu suatu pengurangan hebat dalam reaktivitas
terhadap lingkungan dan atau pengurangan dari pergerakkan atau
aktivitas spontan sehingga nampak seperti patung, atau diam
membisu (mute).
b) Ekolalia atau ekopraksia (pembicaraan yang tidak bermakna).
c) Negativisme katatonik yaitu suatu penolakkan yang nampaknya
tanpa motif terhadap semua perintah atau upaya untuk
menggerakkan bagian tubuh dirinya.
d) Kekakuan (rigidity) katatonik yaitu mempertahankan suatu sikap
kaku terhadap semua upaya untuk menggerakkan bagian tubuh
dirinya.
e) Kegaduhan katatonik, yaitu kegaduhan aktivitas motorik (otot alat
gerak) yang nampaknya tak bertujuan dan tidak dipengaruhi oleh
rangsang luar.
f) Sikap tubuh katatonik yaitu sikap ( posisi tubuh ) yang tidak wajar
atau aneh.
3. Tipe paranoid
a) Waham (delucion) kejar atau waham kebesaran, misi atau utusan
sebagai penyelamat bangsa dunia atau agama, misi kenabian atau
mesias, atau perubahan tubuh. Waham cemburu seringkali juga
ditemukan.
b) Halusinasi yang berisi kejaran atau kebeseran.
c) Gangguan alam perasaan dan perilaku, misalnya kecemasan yang
tidak menentu, kemarahan, suka bertengkar dan berdebat
kekerasan. Seringkali ditemukan kebingungan tentang identitas
jenis kelamin dirinya (gender identity) atau ketakutan bahwa
dirinya diduga sebagai seorang homoseksual atau merasa dirinya
didekati oleh orang-orang homoseksual.
4. Tipe Residual
a) Tipe ini merupakan sisa-sisa (residu) dari gejala skizofrenia yang
tidak begitu menonjol.Misalnya alam perasaan yang tumpul dan
mendatar serta tidak serasi (innappropriate), penarikan diri dari
pergaulan sosial, tingkah laku eksentrik, pikiran tidak logis dan
tidak rasional atau pelonggaran asosiasi pikiran.
5. Tipe tak tergolongkan
Tipe ini tidak dapat dimasukkan dalam tipe-tipe yang telah diuraikan
hanya ganbaran klinisnya terdapat waham, halusinasi, inkoherensi atau
tingkah laku kacau.

d. Penatalaksanaan
1) Medis
Obat antipsikotik digunakan untuk mengatasi gejala psikotik (misalnya
perubahan perilaku, agitasi, agresif, sulit tidur, halusinasi, waham,
proses piker kacau). Obat-obatan untuk pasien skizophrenia yang
umum diunakan adalah sebaga berikut :
a) Pengobatan pada fase akut
(1) Dalam keadaan akut yang disertai agitasi dan hiperaktif
diberikan injeksi :
(a) Haloperidol 3x5 mg (tiap 8 jam) intra muscular.
(b) Clorpromazin 25-50 mg diberikan intra muscular setiap
6-8 jam sampai keadaan akut teratasi.
(c) Kombinsi haloperidol 5 mg intra muscular kemudian
diazepam 10 mg intra muscular dengan interval waktu 1-
2 menit.
(2) Dalam keadaan agitasi dan hiperaktif diberikan tablet :
(a) Haloperidol 2x1,5 – 2,5 mg per hari.
(b) Klorpromazin 2x100 mg per hari
(c) Triheksifenidil 2x2 mg per hari
b) Pengobaan fase kronis
Diberikan dalam bentuk tablet :
(1) Haloperidol 2x  0,5 – 1 mg perhari
(2) Klorpromazin 1 x 50 mg sehari (malam)
(3) Triheksifenidil 1- 2x 2 mg sehari
c) Efek dan efek samping terapi
(1) Klorpromazine
Efek : mengurangi hiperaktif, agresif, agitasi
Efek samping : mulut kering, pandangan kabur, konstipasi,
sedasi, hipotensi ortostatik.
(2) Haloperidol
Efek : mengurangi halusinasi
Efek samping : mulut kering, pandangan kabur, konstipasi,
sedasi, hipotensi ortostatik.
DAFTAR PUSAKA

Carpenito, Lynda Juall. (2015). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. EGC:  


Jakarta.
Direja, Ade Herman Surya. (2016). Buku Ajar Asujan Keperawatan
Jiwa.Yogyakarta : Nuha Medika.
Fitria, Nita. (2017). Prinsip dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
dan strategi pelaksanaan tindakan keperawatan (LP dan SP) untuk tujuh
Diagnosa Keperawatan Jiwa Berat bagi Profesi S1 Keperawatan.Jakarta :
Salemba Medika.
Keliat, Budi Anna. (2014). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Stuart dan Sundeen.(2014). Buku Saku Keperawatan Jiwa.Edisi 5. Jakarta: EGC.
Towsend.(2014). Buku Saku diagnosa Keperawatan Pada Keperawatan Psikiatri.
Jakarta: EGC.
Yosep, Iyus. (2014). Keperawatan Jiwa.Bandung: PT Refika Gunansa.

Anda mungkin juga menyukai