Dosen Pembimbing :
Oleh :
Suleha
191FK01127
3b
7. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
8. Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.
4) Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku
agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang
sistem limbik dan lobus temporal; trauma otak, yang menimbulkan
perubahan serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsy,
khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh terhadap perilaku
agresif dan tindak kekerasan.
b. Teori Psikologik
1) Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk
mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak
berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah. Agresi dan
tindak kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat
meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam kehidupannya.
Perilaku agresif dan perilaku kekerasan merupakan pengungkapan
secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga
diri.
2) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka,
biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena
dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku
tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Anak memiliki persepsi
ideal tentang orang tua mereka selama tahap perkembangan awal.
Namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka mulai meniru
pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya
ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang
mendisiplinkan anak mereka dengan hukuman fisik akan cenderung
untuk berperilaku kekerasan setelah dewasa.
c. Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur
sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum
menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan
masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan,
apabila individu menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak
dapat terpenuhi secara konstruktif. Penduduk yang ramai /padat dan
lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya
keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.
2. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali berkaitan
dengan (Yosep, 2009):
a. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol
solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola,
geng sekolah, perkelahian masal dan sebagainya.
b. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi
sosial ekonomi.
c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga
serta tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah
cenderung melalukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
d. seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan
dirinya sebagai seorang yang dewasa.
e. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan
obat dan alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya
pada saat menghadapi rasa frustasi.
f. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan
pekerjaan, perubahan tahap
4. Patofisiologi
Stress, cemas, marah merupakan bagian kehidupan sehari-hari yang harus
dihadapi oleh setiap individu. Stress dapat menyebabkan kecemasan yang
menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan terancam. Kecemasan dapat
menimbulkan kemarahan. Berikut ini digambarkan proses kemarahan :(Beck,
Rawlins, Williams, 1986, dalam Keliat, 1996).
Melihat gambar di atas bahwa respon terhadap marah dapat diungkapkan melalui
3 cara yaitu : Mengungkapkan secara verbal, menekan, dan menantang. Dari
ketiga cara ini cara yang pertama adalah konstruktif sedang dua cara yang lain
adalah destruktif.
Dengan melarikan diri atau menantang akan menimbulkan rasa bermusuhan, dan
bila cara ini dipakai terus menerus, maka kemarahan dapat diekspresikan pada diri
sendiri dan lingkungan dan akan tampak sebagai depresi dan psikomatik atau
agresif dan ngamuk.
5. Rentang Respon Marah
Respons kemarahan dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif – mal adaptif.
Rentang respon kemarahan dapat digambarkan sebagai berikut : (Keliat, 1997).
• Assertif adalah mengungkapkan marah tanpa menyakiti, melukai perasaan
orang lain, atau tanpa merendahkan harga diri orang lain.
• Frustasi adalah respons yang timbul akibat gagal mencapai tujuan atau
keinginan. Frustasi dapat dialami sebagai suatu ancaman dan kecemasan.
Akibat dari ancaman tersebut dapat menimbulkan kemarahan.
• Pasif adalah respons dimana individu tidak mampu mengungkapkan perasaan
yang dialami.
• Agresif merupakan perilaku yang menyertai marah namun masih dapat
dikontrol oleh individu. Orang agresif biasanya tidak mau mengetahui hak
orang lain. Dia berpendapat bahwa setiap orang harus bertarung untuk
mendapatkan kepentingan sendiri dan mengharapkan perlakuan yang sama
dari orang lain
• Mengamuk adalah rasa marah dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan
kontrol diri. Pada keadaan ini individu dapat merusak dirinya sendiri maupun
terhadap orang lain. Respon kemarahan dapat berfluktusi dalam rentang
adaptif- maladaptif.
6. Prilaku
Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan antara lain :
1. Menyerang atau menghindar (fight of flight).
Pada keadaan ini respon fisiologis timbul karena kegiatan sistem saraf otonom
beraksi terhadap sekresi epinephrin yang menyebabkan tekanan darah
meningkat, takikardi, wajah merah, pupil melebar, sekresi HCl meningkat,
peristaltik gaster menurun, pengeluaran urine dan saliva meningkat,
konstipasi, kewaspadaan juga meningkat diserta ketegangan otot, seperti
rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh menjadi kaku dan disertai reflek yang
cepat.
2. Menyatakan secara asertif (assertiveness)
Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan
kemarahannya yaitu dengan perilaku pasif, agresif dan asertif. Perilaku asertif
adalah cara yang terbaik untuk mengekspresikan marah karena individu dapat
mengekspresikan rasa marahnya tanpa menyakiti orang lain secara fisik
maupun psikolgis. Di samping itu perilaku ini dapat juga untuk pengembangan
diri klien.
3. Memberontak (acting out)
Perilaku yang muncul biasanya disertai akibat konflik perilaku “acting out”
untuk menarik perhatian orang lain.
4. Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain
maupun lingkungan
7. Mekanisme Koping
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan stress,
termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang
digunakan untuk melindungi diri. (Stuart dan Sundeen, 1998).
Kemarahan merupakan ekspresi dari rasa cemas yang timbul karena adanya
ancaman. Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk
melindungi diri antara lain : (Maramis, 1998)
• Sublimasi : Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di mata
masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan
penyalurannya secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah
melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti meremas adonan
kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk mengurangi
ketegangan akibat rasa marah.
• Proyeksi : Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau
keinginannya yang tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang
menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual terhadap rekan
sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya tersebut mencoba merayu,
mencumbunya.
• Represi : Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk
ke alam sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada orang
tuanya yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan
yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal
yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan, sehingga perasaan benci itu
ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakannya.
• Reaksi formasi : Mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan,
dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan
menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya seorang yang tertarik pada
teman suaminya, akan memperlakukan orang tersebut dengan kasar.
• Displacement : Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan,
pada obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang
membangkitkan emosi itu. Misalnya Timmy berusia 4 tahun marah karena
ia baru saja mendapat hukuman dari ibunya karena menggambar di dinding
kamarnya. Dia mulai bermain perang-perangan dengan temannya.
3. Aspek Intelektual
Sebagian besar pengalaman hidup individu didapatkan melalui proses
intelektual, peran panca indra sangat penting untuk beradaptasi dengan
lingkungan yang selanjutnya diolah dalam proses intelektual sebagai suatu
pengalaman. Perawat perlu mengkaji cara klien marah, mengidentifikasi
penyebab kemarahan, bagaimana informasi diproses, diklarifikasi, dan
diintegrasikan.
4. Aspek Social
Meliputi interaksi sosial, budaya, konsep rasa percaya dan ketergantungan.
Emosi marah sering merangsang kemarahan orang lain. Klien seringkali
menyalurkan kemarahan dengan mengkritik tingkah laku yang lain sehingga
orang lain merasa sakit hati dengan mengucapkan kata-kata kasar yang
berlebihan disertai suara keras. Proses tersebut dapat mengasingkan individu
sendiri, menjauhkan diri dari orang lain, menolak mengikuti aturan. 5. Aspek
Spiritual
Kepercayaan, nilai dan moral mempengaruhi hubungan individu dengan
lingkungan. Hal yang bertentangan dengan norma yang dimiliki dapat
menimbulkan kemarahan yang dimanifestasikan dengan amoral dan rasa
tidak berdosa.
Dari uraian tersebut di atas jelaslah bahwa perawat perlu mengkaji
individu secara komprehensif meliputi aspek fisik, emosi, intelektual,
sosial dan spiritual yang secara singkat dapat dilukiskan sebagai berikut :
1. Aspek fisik: terdiri dari :muka merah, pandangan tajam, napas pendek
dan cepat, berkeringat, sakit fisik, penyalahgunaan zat, tekanan darah
meningkat.
2. Aspek emosi : tidak adekuat, tidak aman, dendam, jengkel.
3. Aspek intelektual : mendominasi, bawel, sarkasme, berdebat,
meremehkan.
4. Aspek sosial : menarik diri, penolakan, kekerasan, ejekan, humor.
b. Klasifiaksi Data
Data yang didapat pada pengumpulan data dikelompokkan menjadi 2 macam
yaitu data subyektif dan data obyektif. Data subyektif adalah data yang
disampaikan secara lisan oleh klien dan keluarga. Data ini didapatkan melalui
wawancara perawat dengan klien dan keluarga. Sedangkan data obyektif yang
ditemukan secara nyata. Data ini didapatkan melalui obsevasi atau
pemeriksaan langsung oleh perawat.
c. Analisa Data
Dengan melihat data subyektif dan data objektif dapat menentukan
permasalahan yang dihadapi klien dan dengan memperhatikan pohon masalah
dapat diketahui penyebab sampai pada efek dari masalah tersebut. Dari hasil
analisa data inilah dapat ditentukan diagnosa keperawatan.
d. Pohon Masalah
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respons aktual dan potensial
dari individu, keluarga, atau masyarakat terhadap masalah kesehatan sebagai
proses kehidupan” (Carpenito, 2000). Adapun kemungkinan diagnosa
keperawatan pada klien marah dengan masalah utama perilaku kekerasan adalah
sebagai berikut :
• Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan berhubungan dengan
perilaku kekerasan.
• Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah.
3. Intevensi keprawatan & Rasional
• Ajarkan SP IV
➢ Diskusikan jadwal
harian
➢ Diskusikan tentang
manfaat obat dan
kerugian jika tidak
minum obat secara
teratur
➢ Masukkan dalam
jadwal kegiatan
harian
• Bantu pasien
mempraktekan cara
yang telah
diajarkan
• Anjurkan pasien untuk
memilih cara
mengontrol PK yang
sesuai
• Masukkan cara
mengontrol PK yang
telah dipilih dalam
kegiatan harian
• Validasi pelaksanaan
jadwal kegiatan pasien
dirumah sakit
b. Keluarga
• Diskusikan masalah
yang dirasakan keluarga
dalam merawat pasien
PK
• Jelaskan pengertian
tanda dan gejala PK
yang dialami pasien
serta proses terjadinya
• Jelaskan dan latih cara-
cara merawat pasien PK
• Latih keluarga
melakukan cara
merawat pasien PK
secara langsung
• Discharge planning :
jadwal aktivitas dan
minum
Obat Tindakan
psikofarmako
• Berikan obat-obatan
sesuai program pasien
• Memantau kefektifan
dan efek samping obat
yang diminum
• Mengukur vital sign
secara periodic
Tindakan manipulasi
lingkungan
• Lakaukan pemebtasan
mekanik/fisik dengan
melakukan
pengikatan/restrain atau
masukkan ruang isolasi
bila perlu
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan
keperawatan pada pasien. Evaluasi ada dua macam yaitu evaluasi proses atau evaluasi
formatif, yang dilakukan setiap selesai melaksanakan tindakan, dan evaluasi hasil atau
sumatif, yang dilakukan dengan membandingkan respons pasien pada tujuan khusus dan
umum yang telah ditetapkan. Evaluasi dilakukan dengan pendekatan SOAP, yaitu sebagai
berikut (Yusuf, dkk, 2015):
S: Respons subjektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
O: Repons objektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
A: Analisis terhadap data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah masalah
masih tetap ada, muncul masalah baru, atau ada data yang kontraindikasi terhadap
masalah yang ada.
P: Tindak lanjut berdasarkan analisis respons pasien.
DAFTAR PUSTAKA
FKUI; Jakarta.
Jakarta.
Keliat Budi Anna, 1996, Marah Akibat Penyakit yang Diderita, penerbit
Jakarta. Keliat Budi Anna, dkk, 1998, Pusat Keperawatan Kesehatan Jiwa,