Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA DENGAN GANGGUAN


PERILAKU KEKERASAN
(Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Praktik Klinik Kep Jiwa)

Dosen Pembimbing :

Oleh :
Suleha
191FK01127
3b

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN


UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA BANDUNG 2021/2022

I. KONSEP DASAR PRILAKU KEKERASAN


1. Pengertian
• Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri,
orang lain, maupun lingkungan (fitria, 2009).
• Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai
atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah
laku tersebut (Purba dkk, 2008).
• Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri, maupun
orang lain (Yoseph, 2007). Ancaman atau kebutuhan yang tidak terpenuhi
mengakibatkan seseorang stress berat, membuat orang marah bahkan
kehilangan kontrol kesadaran diri, misalkan: memaki-maki orang disekitarnya,
membanting- banting barang, menciderai diri dan orang lain, bahkan
membakar rumah.
• Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Menurut
WHO (dalam Bagong. S, dkk, 2000), kekerasan adalah penggunaan kekuatan
fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan
atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau
kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian
psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak
• Menurut Townsend (2000), amuk (aggresion) adalah tingkah laku yang
bertujuan untuk mengancam atau melukai diri sendiri dan orang lain juga
diartikan sebagai perang atau menyerang
• Menurut Stuart dan Sundeen (1995), perilaku kekerasan adalah suatu keadaan
dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik
baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut
dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak
konstruktif

• Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang


bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Berkowitz,
1993).

2. Tanda Dan Gejala


Yosep (2009) mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku kekerasan adalah
sebagai berikut:
1. Fisik
a. Muka merah dan tegang
b. Mata melotot/ pandangan tajam
c. Tangan mengepal
d. Rahang mengatup
e. Postur tubuh kaku
f. Jalan mondar-mandir
2. Verbal
a. Bicara kasar
b. Suara tinggi, membentak atau berteriak
c. Mengancam secara verbal atau fisik
d. Mengumpat dengan kata-kata kotor
e. Ketus
3. Perilaku
a. Melempar atau memukul benda/orang lain
b. Menyerang orang lain
c. Melukai diri sendiri/orang lain
d. Merusak lingkungan
e. Amuk/agresif
4. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan jengkel,
tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan
menuntut.
5. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.
6. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain,
menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.

7. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
8. Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.

3. Etiologi & Predisposisi


1. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan
menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang dijelaskan
oleh Towsend (1996 dalam Purba dkk, 2008) adalah:
a. Teori Biologik Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang
berpengaruh terhadap perilaku:
1) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif:
sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus. Neurotransmitter juga
mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau menghambat proses
impuls agresif. Sistem limbik merupakan sistem informasi, ekspresi,
perilaku, dan memori. Apabila ada gangguan pada sistem ini maka
akan meningkatkan atau menurunkan potensial perilaku kekerasan.
Adanya gangguan pada lobus frontal maka individu tidak mampu
membuat keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku tidak sesuai,
dan agresif. Beragam komponen dari sistem neurologis mempunyai
implikasi memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik
terlambat dalam menstimulasi timbulnya perilaku agresif. Pusat otak
atas secara konstan berinteraksi dengan pusat agresif.
2) Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine,
asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau
menghambat impuls agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight
atau flight yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang respons
terhadap stress.
3) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku
agresif dengan genetik karyotype XYY.

4) Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku
agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang
sistem limbik dan lobus temporal; trauma otak, yang menimbulkan
perubahan serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsy,
khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh terhadap perilaku
agresif dan tindak kekerasan.
b. Teori Psikologik
1) Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk
mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak
berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah. Agresi dan
tindak kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat
meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam kehidupannya.
Perilaku agresif dan perilaku kekerasan merupakan pengungkapan
secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga
diri.
2) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka,
biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena
dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku
tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Anak memiliki persepsi
ideal tentang orang tua mereka selama tahap perkembangan awal.
Namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka mulai meniru
pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya
ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang
mendisiplinkan anak mereka dengan hukuman fisik akan cenderung
untuk berperilaku kekerasan setelah dewasa.
c. Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur
sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum
menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan
masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan,
apabila individu menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak
dapat terpenuhi secara konstruktif. Penduduk yang ramai /padat dan
lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya
keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.
2. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali berkaitan
dengan (Yosep, 2009):
a. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol
solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola,
geng sekolah, perkelahian masal dan sebagainya.
b. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi
sosial ekonomi.
c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga
serta tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah
cenderung melalukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
d. seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan
dirinya sebagai seorang yang dewasa.
e. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan
obat dan alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya
pada saat menghadapi rasa frustasi.
f. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan
pekerjaan, perubahan tahap

4. Patofisiologi
Stress, cemas, marah merupakan bagian kehidupan sehari-hari yang harus
dihadapi oleh setiap individu. Stress dapat menyebabkan kecemasan yang
menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan terancam. Kecemasan dapat
menimbulkan kemarahan. Berikut ini digambarkan proses kemarahan :(Beck,
Rawlins, Williams, 1986, dalam Keliat, 1996).
Melihat gambar di atas bahwa respon terhadap marah dapat diungkapkan melalui
3 cara yaitu : Mengungkapkan secara verbal, menekan, dan menantang. Dari
ketiga cara ini cara yang pertama adalah konstruktif sedang dua cara yang lain
adalah destruktif.
Dengan melarikan diri atau menantang akan menimbulkan rasa bermusuhan, dan
bila cara ini dipakai terus menerus, maka kemarahan dapat diekspresikan pada diri
sendiri dan lingkungan dan akan tampak sebagai depresi dan psikomatik atau
agresif dan ngamuk.
5. Rentang Respon Marah
Respons kemarahan dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif – mal adaptif.
Rentang respon kemarahan dapat digambarkan sebagai berikut : (Keliat, 1997).
• Assertif adalah mengungkapkan marah tanpa menyakiti, melukai perasaan
orang lain, atau tanpa merendahkan harga diri orang lain.
• Frustasi adalah respons yang timbul akibat gagal mencapai tujuan atau
keinginan. Frustasi dapat dialami sebagai suatu ancaman dan kecemasan.
Akibat dari ancaman tersebut dapat menimbulkan kemarahan.
• Pasif adalah respons dimana individu tidak mampu mengungkapkan perasaan
yang dialami.
• Agresif merupakan perilaku yang menyertai marah namun masih dapat
dikontrol oleh individu. Orang agresif biasanya tidak mau mengetahui hak
orang lain. Dia berpendapat bahwa setiap orang harus bertarung untuk
mendapatkan kepentingan sendiri dan mengharapkan perlakuan yang sama
dari orang lain
• Mengamuk adalah rasa marah dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan
kontrol diri. Pada keadaan ini individu dapat merusak dirinya sendiri maupun
terhadap orang lain. Respon kemarahan dapat berfluktusi dalam rentang
adaptif- maladaptif.

6. Prilaku
Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan antara lain :
1. Menyerang atau menghindar (fight of flight).
Pada keadaan ini respon fisiologis timbul karena kegiatan sistem saraf otonom
beraksi terhadap sekresi epinephrin yang menyebabkan tekanan darah
meningkat, takikardi, wajah merah, pupil melebar, sekresi HCl meningkat,
peristaltik gaster menurun, pengeluaran urine dan saliva meningkat,
konstipasi, kewaspadaan juga meningkat diserta ketegangan otot, seperti
rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh menjadi kaku dan disertai reflek yang
cepat.
2. Menyatakan secara asertif (assertiveness)
Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan
kemarahannya yaitu dengan perilaku pasif, agresif dan asertif. Perilaku asertif
adalah cara yang terbaik untuk mengekspresikan marah karena individu dapat
mengekspresikan rasa marahnya tanpa menyakiti orang lain secara fisik
maupun psikolgis. Di samping itu perilaku ini dapat juga untuk pengembangan
diri klien.
3. Memberontak (acting out)
Perilaku yang muncul biasanya disertai akibat konflik perilaku “acting out”
untuk menarik perhatian orang lain.
4. Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain
maupun lingkungan

7. Mekanisme Koping
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan stress,
termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang
digunakan untuk melindungi diri. (Stuart dan Sundeen, 1998).
Kemarahan merupakan ekspresi dari rasa cemas yang timbul karena adanya
ancaman. Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk
melindungi diri antara lain : (Maramis, 1998)
• Sublimasi : Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di mata
masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan
penyalurannya secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah
melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti meremas adonan
kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk mengurangi
ketegangan akibat rasa marah.
• Proyeksi : Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau
keinginannya yang tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang
menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual terhadap rekan
sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya tersebut mencoba merayu,
mencumbunya.
• Represi : Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk
ke alam sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada orang
tuanya yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan
yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal
yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan, sehingga perasaan benci itu
ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakannya.
• Reaksi formasi : Mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan,
dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan
menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya seorang yang tertarik pada
teman suaminya, akan memperlakukan orang tersebut dengan kasar.
• Displacement : Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan,
pada obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang
membangkitkan emosi itu. Misalnya Timmy berusia 4 tahun marah karena
ia baru saja mendapat hukuman dari ibunya karena menggambar di dinding
kamarnya. Dia mulai bermain perang-perangan dengan temannya.

8. Penatalaksanaan Medik & Implikasi Keperawatan


Yang diberikan pada klien yang mengalami gangguan jiwa amuk ada 2 yaitu:
1. Medis
a. Nozinan, yaitu sebagai pengontrol prilaku psikososia.
b. Halloperidol, yaitu mengontrol psikosis dan prilaku merusak diri.
c. Thrihexiphenidil, yaitu mengontro perilaku merusak diri dan menenangkan
hiperaktivitas.
d. ECT (Elektro Convulsive Therapy), yaitu menenangkan klien bila
mengarah pada keadaan amuk.
2. Penatalaksanaan keperawatan
a. Psikoterapeutik
b. Lingkungan terapieutik
c. Kegiatan hidup sehari-hari (ADL)

II. KONSEP ASUHAN KEPERWATAN 1. Pengkajian Keperawatan


Pengkajian merupakan langkah awal dan dasar utama dari proses keperawatan.
Tahap pengkajian terdiri dari pengumpulan data, klasifikasi data, analisa data, dan
perumusan masalah atau kebutuhan klien atau diagnosa keperawatan. a.
Pengumpulan data
Data yang dikumpulkan meliputi data biologis, psikologis, sosial dan spiritual.
1. Aspek Biologis
Respons fisiologis timbul karena kegiatan system saraf otonom bereaksi
terhadap sekresi epineprin sehingga tekanan darah meningkat, tachikardi,
muka merah, pupil melebar, pengeluaran urine meningkat. Ada gejala
yang sama dengan kecemasan seperti meningkatnya kewaspadaan,
ketegangan otot seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh kaku, dan
refleks cepat.
Hal ini disebabkan oleh energi yang dikeluarkan saat marah bertambah.
2. Emosional
Individu yang marah merasa tidak nyaman, merasa tidak berdaya, jengkel,
frustasi, dendam, ingin memukul orang lain, mengamuk, bermusuhan dan
sakit hati, menyalahkan dan menuntut.

3. Aspek Intelektual
Sebagian besar pengalaman hidup individu didapatkan melalui proses
intelektual, peran panca indra sangat penting untuk beradaptasi dengan
lingkungan yang selanjutnya diolah dalam proses intelektual sebagai suatu
pengalaman. Perawat perlu mengkaji cara klien marah, mengidentifikasi
penyebab kemarahan, bagaimana informasi diproses, diklarifikasi, dan
diintegrasikan.
4. Aspek Social
Meliputi interaksi sosial, budaya, konsep rasa percaya dan ketergantungan.
Emosi marah sering merangsang kemarahan orang lain. Klien seringkali
menyalurkan kemarahan dengan mengkritik tingkah laku yang lain sehingga
orang lain merasa sakit hati dengan mengucapkan kata-kata kasar yang
berlebihan disertai suara keras. Proses tersebut dapat mengasingkan individu
sendiri, menjauhkan diri dari orang lain, menolak mengikuti aturan. 5. Aspek
Spiritual
Kepercayaan, nilai dan moral mempengaruhi hubungan individu dengan
lingkungan. Hal yang bertentangan dengan norma yang dimiliki dapat
menimbulkan kemarahan yang dimanifestasikan dengan amoral dan rasa
tidak berdosa.
Dari uraian tersebut di atas jelaslah bahwa perawat perlu mengkaji
individu secara komprehensif meliputi aspek fisik, emosi, intelektual,
sosial dan spiritual yang secara singkat dapat dilukiskan sebagai berikut :
1. Aspek fisik: terdiri dari :muka merah, pandangan tajam, napas pendek
dan cepat, berkeringat, sakit fisik, penyalahgunaan zat, tekanan darah
meningkat.
2. Aspek emosi : tidak adekuat, tidak aman, dendam, jengkel.
3. Aspek intelektual : mendominasi, bawel, sarkasme, berdebat,
meremehkan.
4. Aspek sosial : menarik diri, penolakan, kekerasan, ejekan, humor.
b. Klasifiaksi Data
Data yang didapat pada pengumpulan data dikelompokkan menjadi 2 macam
yaitu data subyektif dan data obyektif. Data subyektif adalah data yang
disampaikan secara lisan oleh klien dan keluarga. Data ini didapatkan melalui
wawancara perawat dengan klien dan keluarga. Sedangkan data obyektif yang
ditemukan secara nyata. Data ini didapatkan melalui obsevasi atau
pemeriksaan langsung oleh perawat.

c. Analisa Data
Dengan melihat data subyektif dan data objektif dapat menentukan
permasalahan yang dihadapi klien dan dengan memperhatikan pohon masalah
dapat diketahui penyebab sampai pada efek dari masalah tersebut. Dari hasil
analisa data inilah dapat ditentukan diagnosa keperawatan.

d. Pohon Masalah
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respons aktual dan potensial
dari individu, keluarga, atau masyarakat terhadap masalah kesehatan sebagai
proses kehidupan” (Carpenito, 2000). Adapun kemungkinan diagnosa
keperawatan pada klien marah dengan masalah utama perilaku kekerasan adalah
sebagai berikut :
• Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan berhubungan dengan
perilaku kekerasan.
• Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah.
3. Intevensi keprawatan & Rasional

No DIAGNOSA TUK/SP TINDAKAN


1. Resiko Perilaku TUM: Selama perawatan Tindakan Psikoterapi
Kekerasan diruangan, pasien tidak a. Pasien
memperlihatkan perilaku • BHSP
kekerasan, dengan • Ajarakan SP I:
criteria hasil ➢ Diskusikan
(TUK): penyebab, tanda dan

• Dapat membina hubungan gejala, bentuk dan


saling percaya akibat PK yang

• Dapat mengidentifikasi dilakukan pasien

penyebab, tanda dan serta akibat PK

gejala, bentuk dan akibat ➢ Latih pasien

PK yang sering dilakukan mencegah PK

• Dapat mendemonstrasikan dengan cara: fisik

cara mengontrol PK (tarik nafas dalam &

dengan cara : memeukul bantal)

➢ Fisik ➢ Masukkan dalam

➢ Social dan verbal jadwal harian


➢ Spiritual • Ajarkan SP II:
➢ Minum obat teratur ➢ Diskusikan jadwal

• Dapat menyebutkan dan harian

mendemonstrasikan cara ➢ Latih pasien

mencegah PK yang sesuai mengntrol PK

• Dapat memelih cara dengan cara sosial

mengontrol PK yang ➢ Latih pasien cara

efektif dan sesuai menolak dan

• Dapat melakukan cara Meminta yang


yang sudah dipilih untuk asertif
mengontrl PK
➢ Masukkan dalam
jadwal kegiatan
harian
• Memasukan cara • Ajarkan SP III:
yang sudah dipilih ➢ Diskusikan jadwal
dalam kegitan harian harian

• Mendapat dukungan dari ➢ Latih cara spiritual


keluarga untuk mengontrol untuk mencegah PK
PK ➢ Masukkan dalam
jadawal kegiatan
• Dapat terlibat dalam
harian
kegiatan diruangan

• Ajarkan SP IV
➢ Diskusikan jadwal
harian
➢ Diskusikan tentang
manfaat obat dan
kerugian jika tidak
minum obat secara
teratur
➢ Masukkan dalam
jadwal kegiatan
harian

• Bantu pasien
mempraktekan cara
yang telah
diajarkan
• Anjurkan pasien untuk
memilih cara
mengontrol PK yang
sesuai

• Masukkan cara
mengontrol PK yang
telah dipilih dalam
kegiatan harian

• Validasi pelaksanaan
jadwal kegiatan pasien
dirumah sakit
b. Keluarga
• Diskusikan masalah
yang dirasakan keluarga
dalam merawat pasien
PK
• Jelaskan pengertian
tanda dan gejala PK
yang dialami pasien
serta proses terjadinya
• Jelaskan dan latih cara-
cara merawat pasien PK
• Latih keluarga
melakukan cara
merawat pasien PK
secara langsung
• Discharge planning :
jadwal aktivitas dan
minum

Obat Tindakan
psikofarmako
• Berikan obat-obatan
sesuai program pasien
• Memantau kefektifan
dan efek samping obat
yang diminum
• Mengukur vital sign
secara periodic

Tindakan manipulasi
lingkungan

• Singkirkan semua benda


yang berbahaya dari
pasien
• Temani pasien
selama dalam kondisi
kegelisahan dan
Ketegangan mulai
meningkat

• Lakaukan pemebtasan
mekanik/fisik dengan
melakukan
pengikatan/restrain atau
masukkan ruang isolasi
bila perlu

• Libatkan pasien dalam


TAK konservasi
energi, stimulasi
persepsi dan
Realita
4. Implementasi Keperawatan
Sebelum tindakan keperawatan dimanifestasikan perawat perlu memvalidasi
apakah rencana tindakan yang ditetapkan masih sesuai denagn kondisi pasien saat ini
(here and now). Perawat juga perlu mengevaluasi diri sendiri apakah mempunyai
kemampuan interpersonal, intelektual, dan teknikal sesuai denagn tindakan yang akan
dilaksanakan. Setelah tidak ada hambatan lagi, maka tindakan keperawatan bisa
diimplementasikan (Yusuf, dkk, 2015).

5. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi merupakan proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan
keperawatan pada pasien. Evaluasi ada dua macam yaitu evaluasi proses atau evaluasi
formatif, yang dilakukan setiap selesai melaksanakan tindakan, dan evaluasi hasil atau
sumatif, yang dilakukan dengan membandingkan respons pasien pada tujuan khusus dan
umum yang telah ditetapkan. Evaluasi dilakukan dengan pendekatan SOAP, yaitu sebagai
berikut (Yusuf, dkk, 2015):
S: Respons subjektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
O: Repons objektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
A: Analisis terhadap data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah masalah
masih tetap ada, muncul masalah baru, atau ada data yang kontraindikasi terhadap
masalah yang ada.
P: Tindak lanjut berdasarkan analisis respons pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Dadang Hawari, 2001, Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa Schizofrenia,

FKUI; Jakarta.

Depkes RI, 1996, Direktorat Jendral Pelayanan Medik Direktorat

Pelayanan Keperawatan, 2000, Keperawatan Jiwa Teori dan Tindakan,

Jakarta.

Depkes RI, 1996, Proses Keperawatan Jiwa, jilid I.

Keliat Budi Anna, 1996, Marah Akibat Penyakit yang Diderita, penerbit

buku kedokteran EGC ; Jakarta.


Keliat Budi Anna, 2002, Asuhan Keperawatan Perilaku Kekerasan, FIK, UI :

Jakarta. Keliat Budi Anna, dkk, 1998, Pusat Keperawatan Kesehatan Jiwa,

penerbit buku kedokteran EGC : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai