Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Menjadi tua merupakan siklus kehidupan yang akan dihadapi semua
orang. Menuju masa tua maka banyak persiapan yang harus dilakukan
semenjak usia muda, sehingga saat lansia tubuh tetap bugar dan sehat, Gaya
hidup sehat merupakan segala upaya untuk menerapkan kebiasaan yang
baik dalam menciptakan hidup yang sehat dan menghindarkan kebiasaan
buruk yang bisa menganggu, upaya bisa dilakukan sedari muda mencakup
kebiasaan tidur, kebiasaan makan, pengendalian berat badan, tidak
merokok atau minum-minuman beralkhohol, berolah raga secara teratur
serta terampil mengelola stress (S.Suratun, N.Ekarini , M.Sumartini.,
2018).
Pada kenyataannya banyak orang muda yang mengabaikan pola hidup
sehat dimasanya sehingga dampaknya akan dirasakan pada saat lansia,
berbagai penyakit akan muncul akibat gaya hidup tidak sehat, banyaknya
penderita penyakit tidak menular (degeneratif) seperti jantung, tekanan
darah tinggi, kanker, stress dan penyakit tidak menular lainnya yang
disebabkan karena gaya hidup tidak bugar (Wulandari, 2021). Usia yang
semakin bertambah menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan secara
fisik maupun mental yang terjadi pada lansia sehingga dapat
mengakibatkan beraneka macam masalah kesehatan serta mengakibatkan
peningkatan penyakit degenerativ yang akan berdampak pada gangguan
sistem kardiovaskuler, diantaranya seperti hipertensi (Sahdiyah, 2019).
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah kondisi dimana tekanan
sistolik seseorang melebih 140 mmHg dan tekanan darah diastolik melebihi
90 mmHg. Hipertensi ialah penyakit multi faktoral yang dipengaruhi oleh
banyak faktor. Bertambahnya usia seseorang akan mengakibatkan
perubahan fisiologis. Apalagi pada usia lanjut seseorang akan mengalami
peningkatan resistensi perifer dan aktivitas simpatik. Tekanan darah pada
lansia terjadi akibat dinding arteri mengalami penebalan karena
penumpukan zat kolagen di lapisan otot. Hal itu menyebabkan pembuluh
darah akan berangsur-angsur menyempit (Cut Rahmiati & Tjut Irma
Zurijah, 2020).
Menurut WHO, dikawasan Asia Tenggara populasi lansia sebesar 8%
atau sekitar 142 juta jiwa. Di tahun 2050 diperkirakan populasi lansia
semakin tinggi 3 kali lipat dari tahun ini. Pada tahun 2000 jumlah lansia
kurang lebih 5.300.000 (7,4%) dari total populasi sedangkan tahun 2010
jumlah lansia 24.000.000 (9,77%) dan total populasi dan tahun 2020
diperkirakan jumlah lansia kurang lebih 80.000.000 (Eviyanti, 2020).
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, pravalensi
hipertensi di Indonesia pada lansia yang berusia 55-64 tahun sebanyak
45,0%, usia 65-74 tahun sebanyak 57,6% dan usia lebih dari 75 tahun
sebanyak 63,8%, Berdasarkan data Profil Kesehatan Jawa Tengah tahun
2017 jumlah penduduk beresiko hipertensi pada usia >18 tahun didapatkan
hasil pengukuran tekanan darah sebanyak 8.888.585 atau 36,53%. Dari
hasil evaluasi pengukuran tekanan darah, sebanyak 1.153.371 orang atau
12,98% divonis hipertensi (Onainor, 2019).
Pravalensi akan terus semakin tinggi seiring bertambahnya usia (Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2019). Hal ini tentu menyebabkan lansia
mempunyai pravalensi yang tinggi. Tingginya angka pravalensi hipertensi
pada lansia perlu mendapatkan perhatian lebih dari perawat, solusi
perawatan hipertensi yakni dengan mengelola asuhan keperawatan dengan
penerapan senam ergonomik untuk menurunkan tekanan darah pada lansia
penderita darah tinggi. Pengelolaan hipertensi pada lansia terdiri dari dua
metode, yaitu farmakologi dan non-farmakologi, farmakologi adalah
metode yang memakai obat-obatan, sedangkan non-farmakologi metode
tanpa memakai obat-obatan. Salah satu pencegahan non-farmakologi
adalah dengan berprinsip pada semboyan “SEHAT” yaitu seimbangkan
gizi, enyahkan rokok, hindari stress, awasi tekanan darah, dan teratur
berolahraga. Olahraga yang teratur dapat dibiasakan dengan latihan fisik
yang sesuai dengan lansia seperti jalan santai, bersepeda, dan senam lansia
(Utomo, Suratih, Fatmawati, 2018).
Solusi asertif dari pengelolaan asuhan keperawatan dengan hipertensi
yakni dengan senam. Ada beberapa jenis senam yang bisa
direkomendasikan untuk lansia dengan masalah kesehatan hipertensi, salah
satunya adalah dengan penerapan senam ergonomik untuk menurunkan
tekanan darah. Senam ergonomik dapat mengakibatkan tubuh seseorang
mengeluarkan hormon endorfin yang mengakibatkan tubuh menjadi lebih
tenang serta mengurangi pembuluh tertekan dimana penurunan nadi akan
menstimulasi kerja saraf perifer terutama saraf parasimpatis yang
mengakibatkan terjadinya vasodilatasi pembuluh darah sebagai akibatnya
tekanan darah sistolik turun serta lebih terkendali. Hal ini menandakan
bahwa senam ergonomic dapat menurunkan tekanan darah sistolik di lansia
penderita hipertensi karena senam ergonomik dapat melebarkan pembuluh
darah sehingga aliran darah menjadi lancar (Dewi, Purnama, Sutajaya,
2019).
Senam ergonomik adalah serangkaian senam yang gerakannya mirip
dengan gerakan shalat. Hal ini lantaran gerakan dalam ergonomik
sesungguhnya diilhami dari gerakan shalat yang telah dilakukan oleh umat
muslim. Gerakan senam ergonomik terdiri dari satu gerakan pembuka yakni
berdiri sempurna dan lima gerakan fundamental yakni lapang dada , tunduk
syukur, duduk perkasa, duduk pembakaran, dan berbaring pasrah (Andari,
Vioneery, Panzilion, Nurhayati, Padila, 2020).
Berdasarkan data-data yang telah dipaparkan diatas, maka peneliti
ingin mengetahui lebih lanjut mengenai “Asuhan Keperawatan Lansia
dengan penerapan senam ergonomik untuk menurunkan tekanan darah pada
penderita hipertensi”.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana gambaran asuhan keperawatan lansia dengan penerapan
senam ergonomik untuk menurunkan tekanan darah pada penderita
hipertensi ?

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran Asuhan Keperawatan lansia dengan
penerapan senam ergonomik untuk menurunkan tekanan darah pada
penderita hipertensi.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui pengkajian keperawatan lansia dengan penerapan
senam ergonomik untuk menurunkan tekanan darah pada penderita
hipertensi.
b. Mengetahui diagnosa keperawatan lansia dengan penerapan senam
ergonomik untuk menurunkan tekanan darah pada penderita
hipertensi.
c. Mengetahui perencanaan keperawatan lansia dengan penerapan
senam ergonomik untuk menurunkan tekanan darah pada penderita
hipertensi.
d. Mengetahui implementasi keperawatan lansia dengan penerapan
senam ergonomik untuk menurunkan tekanan darah pada penderita
hipertensi.
e. Mengetahui evaluasi keperawatan lansia dengan penerapan senam
ergonomik untuk menurunkan tekanan darah pada penderita
hipertensi.

D. Manfaat Penulisan
1. Teoritis
Menambah keluasan ilmu di bidang keperawatan, khususnya
dalam bidang asuhan keperawatan lansia dengan penerapan senam
ergonomik untuk menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi.
2. Praktis
a. Bagi Lansia
Diharapkan dapat memberikan pengetahuan tambahan kepada
lansia yang mengalami hipertensi untuk menurunkan tekanan
darah dengan dilakukannya senam ergonomik.
b. Bagi Masyarakat
Diharapkan dapat memberi pengetahuan kepada keluarga
terutama yang memiliki lansia penderita hipertensi, agar terhindar
dari kemungkinan komplikasi penyakit-penyakit akibat hipertensi.
c. Bagi Peneliti Lain
Diharapkan menjadi masukan dan referensi bagi peneliti lain,
untuk mengembangkan penelitian yang berhubungan dengan
asuhan keperawatan lansia penerapan senam ergonomik untuk
menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Lansia


1. Definisi
Lanjut umur merupakan penduduk yang berumur 60 tahun ke
atas. Menua atau menjadi tua artinya suatu proses menghilangnya
secara perlahan, suatu jaringan untuk mempertahankan struktur serta
fungsi normalnya, sehingga tidak dapat memperbaiki kerusakan yang
terserang. Proses menua ialah proses yang pasti terjadi di setiap orang,
terjadi secara terus menerus secara alamiah, dimulai sejak lahir serta
dialami oleh makhluk hidup (Sahdiyah, 2019).
2. Perubahan yang Terjadi pada lansia
Proses menua mengakibatkan terjadinya banyak perubahan pada
lansia mencakup :
a. Perubahan Fisiologis
Pengetahuan tentang kesehatan pada lansia umumnya
bergantung pada persepsi tertentu atas kemampuan peran
tubuhnya. Lansia yang memiliki aktivitas harian atau rutin
umumnya menganggap dirinya sehat, sedangkan lansia yang
memiliki gangguan fisik, emosi, atau sosial yang menghambat
aktivitas akan menganggap dirinya sakit.
Perubahan fisiologis hadirat lansia renggangan lain, indra
peraba kering, penipisan rambut, kemerosotan indera pendengaran,
kemerosotan refleks batuk, belanja lendir, kemerosotan limpah
liver dan sebagainya. Perubahan termasuk tidak berwatak
patologis, namun mampu membentuk lansia lebih rentan terhadap
sejumlah penyakit. Perubahan unsur melantas merebak
kelahirannya seia sekata bertambahnya umur dan dipengaruhi
mengenai kesehatan, isyarat hidup, stressor, dan lingkungan.
b. Perubahan Psikologis
Guna pada lansia mencakup aspek jasmani, psikososial,
psikologis, dan kemasyarakatan. Penurunan fungsi yang terjadi
pada lansia biasanya berhubungan dengan penyakit serta taraf
keparahannya yang akan mempengaruhi kemampuan fungsional
dan kesejahteraan seorang yang berumur.
Status fungsional lansia merujuk di kemampuan serta sikap
aman pada kegiatan harian (ADL). ADL sangat penting untuk
memilih kemandirian lansia. Perubahan yang mendadak di ADL
adalah tanda penyakit akut atau buruknya kesehatan.
c. Perubahan Kognitif
Perubahan struktur serta fisiologis otak yang dihubungkan
dengan gangguan kognitif (penurunan jumlah sel serta perubahan
kadar neurotransmiter) terjadi pada lansia yang mengalami
gangguan kognitif maupun tidak mengalami gangguan kognitif,
tanda-tanda gangguan kognitif seperti disorientasi, kehilangan
keterampilan berbahasa serta berhitung, dan penilaian yang buruk
bukan merupakan proses penuaan yg normal.
d. Perubahan psikososial
Perubahan pikiran sosial semasa tahap menjadi tua akan
menyertakan tahap peralihan kehidupan dan kematian, bertambah
panjang umur seseorang, maka akan bertambah banyak pula
peralihan dan kematian yang harus dihadapi. Perubahan hidup
yang kebanyakan disusun oleh pengalaman aktivitas, mencakup
masa pensiun dan pergantian keadaan keuangan, pergantian peran
dan hubungan, perubahan kesehatan, kemampuan fungsional dan
perubahan jaringan sosial.
Perubahan psikososial erat kaitannya dengan keterbatasan
produktivitas kerjanya. Oleh karena itu, lansia yang memasuki
masa-masa pensiun akan mengalami kehilangan-kehilangan
sebagai berikut:
1) Kehilangan finansial (pendapatan berkurang).
2) Kehilangan status (jabatan atau posisi, fasilitas).
3) Kehilangan teman atau kenalan atau relasi.
4) Kehilangan pekerjaan atau kegiatan.
Kehilangan ini erat kaitannya dengan beberapa hal sebagai
berikut :
1) Merasakan atau sadar terhadap kematian, perubahan bahan cara
hidup (memasuki rumah perawatan, pergerakan lebih sempit).
2) Kemampuan ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan. Biaya
hidup meningkat padahal penghasilan yang sulit, biaya
pengobatan bertambah.
3) Adanya penyakit kronis dan ketidakmampuan fisik.
4) Timbul kesepian akibat pengasingan dari lingkungan sosial.
5) Adanya gangguan saraf pancaindra, timbul kebutaan dan
kesulitan.
6) Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan.
7) Rangkaian kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan
teman dan keluarga.
8) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik seperti terjadi
perubahan terhadap gambaran diri maupun perubahan konsep
diri (Putri, 2019).
3. Batasan Lansia
Batasan umur lansia menurut organisasi kesehatan dunia (WHO)
lanjut usia antara lain :
a. Usia pertengahan (middle age), kelompok usia 45-59 tahun.
b. Lanjut umur tua (elderly), kelompok 60-74 tahun.
c. Lanjut umur (old) kelompok umur 74-90 tahun.
d. Lansia sangat tua (very old), kelompok umur >90 tahun.
4. Klasifikasi Lansia
Menurut data dari Departemen Kesehatan RI tahun 2013, batasan
lansia terbagi dalam empat kelompok yaitu :
a. Pertengahan umur lansia yaitu masa persiapan lansia yang
menampakkan keperkasaan fisik dan kematangan jiwa antara 45-54
tahun.
b. Lansia dini yaitu kelompok yang memasuki umur antara 55-64
tahun.
c. Lansia yaitu pada umur 65 tahun keatas.
d. Lansia dengan risiko tinggi yaitu segerombolan yang berumur
lebih dari 70 tahun atau segerombolan lanjut usia yang hidup
tunggal, terpencil, hidup di panti dan mengalami penyakit berat
atau cacat (Ikhsan & Boy, 2020).
5. Kebutuhan Dasar Lansia
Kebutuhan lanjut usia ialah kebutuhan manusia pada biasanya,
yaitu keperluan makan, perlindungan perawatan, kesehatan serta
keperluan sosial pada mewujudkan hubungan dengan orang lain,
hubungan antar eksklusif pada famili, teman sebaya serta hubungan
dengan organisasi-organisasi sosial, menggunakan penjelasan menjadi
berikut sebagai berikut :
a. Kebutuhan primer, yaitu :
1) Kebutuhan fisiologis atau biologis seperti, makanan yang
bergizi, seksual, pakaian, perumahan atau tempat berteduh.
2) Kebutuhan ekonomi berupa penghasilan yang memadai.
3) Kebutuhan kesehatan fisik, mental, perawatan pengobatan.
4) Kebutuhan psikologis, berupa kasih sayang adanya tanggapan
dari orang lain, ketentraman, merasa bermanfaat, memilki jati
diri, dan status yang jelas.
5) Kebutuhan sosial berupa peranan pada korelasi dengan orang
lain, korelasi pribadi pada keluarga, teman-sahabat dan
organisasi sosial.

Kebutuhan sekunder, yaitu :

1) Kebutuhan dalam melakukan aktivitas.


2) Kebutuhan dalam mengisi saat luang atau rekreasi.
3) Kebutuhan yang bersifat kebudayaan, seperti informasi dan
pengetahuan.
4) Kebutuhan yang bersifat politis, meliputi mencakup status,
proteksi hukum, partisipasi dan keterlibatan dalam aktivitas
pada masyarakat serta negara atau pemerintah.
5) Kebutuhan yang bersifat keagamaan atau spiritual, seperti
memahami makna akan eksistensi diri sendiri pada dunia dan
memahami hal-hal yang tidak diketahui atau diluar kehidupan
termasuk kematian (Mulyani, 2019).
6. Hipertensi pada lansia
Pada lansia, hipertensi atau darah tinggi terutama ditemukan
hanya berupa peningkatan tekanan sistolik. Sedangkan menurut WHO
tekanan diastolik tekanan yang lebih tepat digunakan dalam
menentukan ada tidaknya hipertensi. Tingginya hipertensi sejalan
dengan bertambahnya usia disebabkan oleh peralihan struktur pada
pembuluh darah besar akhirnya lumen menjadi lebih sempit dan
dinding pembuluh darah kaku, sebagai peningkatan pembuluh darah
sistole (Mulyani, 2019).

B. Konsep Hipertensi
1. Definisi
Hipertensi ialah tekanan darah tinggi yang bersifat abnormal dan
diukur paling tidak pada tiga kesempatan yang tidak sinkron,
seseorang diklaim mengalami hipertensi apabila tekanan darahnya
lebih tinggi dari 140/90 mmHg (Dewi, 2019).
Hipertensi atau tekanan darah tinggi artinya peningkatan tekanan
darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih
dari 90 mmHg 2 kali pengukuran dengan selang saat lima menit pada
keadaan relatif istirahat atau hening (Harsismanto, Andri, Payana,
Andrianto, 2020).
2. Etiologi
Menurut (Dewi 2019) berdasarkan penyebabnya, hipertensi
dibagi menjadi dua golongan yaitu :
a. Hipertensi primer (esensial)
Hipertensi primer disebut juga hipertensi idiopatik karena
tidak diketahui penyebabnya. Faktor yang mempengaruhi adalah :
genetik, lingkungan, hiperaktifitas syaraf simpatis system rennin,
Angiotensin dan peningkatan Na+Ca intraseluler, Obesitas,
merokok, alkohol, dan polisitemia merupakan faktor-faktor yang
meningkatkan resiko hipertensi.
b. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder disebabkan oleh penggunaan estrogen,
penyakit ginjal, sindrom cusing dan hipertensi yang berhubungan
dengan kehamilan. Hipertensi pada usia lanjut dibedakan atas :
1) Hipertensi dengan tekanan sistolik sama atau lebih besar dari
140 mmHg dan tekanan diastolik sama atau lebih besar dari 90
mmHg.
2) Hipertensi dengan sistolik karena tekanan sistolik lebih besar
dari 160 mmHg dan tekanan lebih rendah dari 90 mmHg.
Penyebab hipertensi pada lansia karena terjadinya perubahan pada:
1) Elastisitas pada dinding aorta menurun.
2) Katup jantung menebal dan menjadi kaku.
3) Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% satu tahun
sesudah berusia 20 tahun, kemampuan jantung memompa
darah menurun menyebabkan menurunnya kontraksi dalam
volumenya.
4) Hilangnya elastisitas pembuluh darah hal ini terjadi karena
kekurangan efektifitas pembuluh darah perifer untuk
oksigenasi.
5) Meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer.

3. Patofisiologi
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh
darah terletak dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat
vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke
korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia
simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor
dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui
system saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron pre-
ganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf
pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya
norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai
faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon
pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriktor. Individu dengan
hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak
diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang
pembuluh darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga
terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medula
adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi.
Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat
memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi
yang mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan
pelepasan renin.
Renin yang dilepaskan merangsang pembentukan angiotensin I
yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor
kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks
adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus
ginjal, menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor
ini cenderung mencetuskan keadaan hipertensi. Untuk pertimbangan
gerontologi perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh
perifer bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi
pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya
elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot polos
pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan
distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan
arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume
darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup), mengakibatkan
penurunan curang jantung dan peningkatan tahanan perifer (Mulyani,
2019).
4. Manifestasi klinis
Gejala klinis yang sering di rasakan pada penderita darah tinggi,
seperti :
a. Nyeri kepala ketika terjaga, terkadang disertai mual dan muntah
akibat peningkatan tekanan darah intrakranium.
b. Penglihatan kabur karena terjadi kerusakan pada retina sebagai
akibat dari hipertensi.
c. Ayunan langkah yang tidak mantap karena terjadi kerusakan
susunan saraf sentra.
d. Nokturia (sering berkemih di malam hari) karena adanya
peningkatan aliran darah ginjal serta filtrasi glomerulus.
e. Edema dependen dan pembengkakan dampak peningkatan tekanan
kapiler. Pada kasus hipertensi berat, gejala yang dialami pasien
antara lain sakit kepala (rasa berat di tengkuk), palpitasi, kelelahan,
nausea, muntah–muntah, kegugupan, keringat berlebih, tremor
otot, nyeri dada, epistaksis, pandangan kabur atau ganda, tinnitus
(telinga mendenging), serta kesulitan tidur (Falabiba, Anggaran,
Mayssara, Affiifi, Wiyono, 2017).

5. Pathway Hipertensi
Gambar 1.1. Pathway Hipertensi
(Sumber : Lumbantoruan & Hidayat, 2013).

6. Faktor Risiko
Faktor-faktor risiko hipertensi terbagi dalam 2 kelompok yaitu faktor
yang dapat diubah dan faktor yang tidak dapat diubah :

Faktor yang dapat diubah antara lain :

1) Gaya hidup modern


Kerja keras penuh tekanan yang mendominasi gaya hayati
masa sekarang dapat mengakibatkan stres berkepanjangan.
kondisi ini memicu berbagai penyakit seperti sakit kepala,
insomnia, gastritis, jantung dan hipertensi, kultur modern ini
dapat membuat berkurangnya kegiatan fisik (olahraga),
penggunaan alkohol tinggi, meneguk kopi, merokok, semua
perilaku tersebut memicu naiknya tekanan darah, kerja keras
penuh tekanan yang mendominasi gaya hidup masa kini
menyebabkan stres berkepanjangan.
2) Pola makan tidak sehat
Tubuh membutuhkan natrium untuk menjaga ekuilibrium
cairan dan mengatur tekanan darah, bila asupannya berlebihan
maka tekanan darah akan meningkat akibat adanya retensi
cairan dan bertambahnya volume darah. Kelebihan natrium
diakibatkan berasal dari menyantap makanan instan yang sudah
menggantikan bahan makanan yang segar. Gaya hidup serba
cepat menuntut segala sesuatunya serba instan, termasuk
konsumsi kuliner. Padahal makanan instan cenderung
menggunakan zat pengawet seperti natrium benzoate dan
penyedap rasa seperti monosodium glutamate (MSG). Jenis
makanan yang mengandung zat tersebut jika dikonsumsi secara
terus menerus akan mengakibatkan peningkatan tekanan darah
karena adanya natrium yang berlebihan pada pada fisik.
3) Obesitas
Waktu asupan atrium berlebih tubuh sebenarnya dapat
membuangnya melalui air seni namun proses ini bisa
terhambat, karena kurang minum air putih, obesitas, kurang
motilitas atau terdapat keturunan hipertensi maupun diabetes
mellitus.obesitas akan membuat kegiatan fisik menjadi
berkurang. Akibatnya jantung bekerja lebih keras untuk
memompa darah.Obesitas bisa dipengaruhi dari akibat indeks
massa tubuh (IMT). IMT merupakan alat yang sederhana untuk
memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan
dengan kekurangan serta kelebihan berat badan. Penggunaan
IMT hanya berlaku untuk orang dewasa berumur diatas 18
tahun. IMT tidak bisa diterapkan di bayi, anak, remaja, ibu
hamil serta olahragawan.

Faktor yang tidak dapat diubah :


1) Genetik
Adanya faktor genetik di keluarga tertentu akan
mengakibatkan keluarga itu memiliki resiko menderita
hipertensi. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar
Sodium intraseluler dan rendahnya rasio antar Potassium
terhadap Sodium, individu dengan orang tua yang menderita
hipertensi memiliki resiko 2 kali lebih besar daripada orang
yang tidak mempunyai keluarga menggunakan riwayat
hipertensi.
2) Usia
Hipertensi dapat terjadi pada kalangan usia, namun
semakin bertambah usia seorang maka resiko terkena hipertensi
semakin semakin tinggi. Penyebab hipertensi pada orang
dengan lanjut usia artinya terjadinya perubahan-perubahan
pada, elastisitas dinding aorta menurun, katup jantung menebal
serta menjadi kaku, kemampuan jantung memompa darah
menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun
kemampuan jantung memompa darah menurun menyebabkan
menurunnya kontraksi serta volumenya, kehilangan elastisitas
pembuluh darah. Hal ini terjadi karena kurangnya efektifitas
pembuluh darah perifer untuk oksigenasi, meningkatnya
resistensi pembuluh darah perifer.
3) Jenis kelamin
Prevalensi terjadinya hipertensi di laki-laki dan wanita
sama, akan tetapi wanita pramenopause (sebelum menopause)
prevalensinya lebih terlindung daripada laki-laki di usia yang
sama wanita yang belum menopause dilindungi oleh hormon
estrogen yang berperan meningkatkan kadar High Density
Lipoprotein (HDL). Kadar kolestrol HDL yang tinggi artinya
faktor pelindung dalam mencegah terjadinya proses
aterosklerosis yg bisa menyebabkan hipertensi (Mulyani,
2019).
7. Komplikasi
a. Stroke
Stroke bisa timbul dampak perdarahan tekanan darah tinggi
pada otak, atau akibat embolus yg terlepas berasal pembuluh non
otak yg terpajan tekanan tinggi. Stroke mampu juga terjadi pada
hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang memperdarahi otak
mengalami hipertropi dan menebal, sehingga sirkulasi darah ke
daerah-daerah yang diperdarahinya menurun. Arteri-arteri otak yg
mengalami aterosklerosis bisa sebagai lemah, sehingga menaikkan
kemungkinan terbentuknya aneurisma. Gejala stroke seperti sakit
kepala secara tiba-tiba, mirip orang galau, limbung atau bertingkah
laku mirip orang mabuk, salah satu bagian tubuh terasa lemah atau
sulit digerakan (contohnya wajah, mulut, atau lengan terasa kaku,
tidak mampu berbicara secara jelas) dan tidak sadarkan diri secara
mendadak.
b. Infark miokard
Infark miokard bisa terjadi apabila arteri coroner yang
arteroklerosis tidak dapat menyuplai cukup oksigen ke miokard
apabila terbentuk trombus yang menghambat aliran darah melalui
pembuluh darah tersebut. Hipertensi kronik dan hipertensi
ventrikel, maka keperluan oksigen miokard mungkin tidak bisa
terpenuhi serta bisa terjadi iskemia jantung yang mengakibatkan
infark. Demikian pula hipertropi ventrikel dapat menyebabkan
perubahan-perubahan ketika hantaran listrik melintasi ventrikel
sehingga terjadi distritmia, hipoksia jantung, dan peningkatan
resiko pembentukan bekuan.
c. Gagal ginjal
Gagal ginjal terjadi karena kerusakan progresif akibat
tekanan tinggi pada pembuluh kapiler ren atau ginjal glomerulus
dengan rusaknya membran glomerulus darah akan mengalir ke
unit-unit fungsional ginjal nefron akan terganggu serta dapat
berlanjut menjadi hipoksia dan mati dengan rusaknya membran
glomerulus protein akan keluar melalui urin sehingga tekanan
osmotic koloid plasma berkurang menyebabkan edema yang tak
jarang dijumpai pada hipertensi kronik.
d. Gagal jantung
Tekanan darah yang terlalu tinggi memaksa otot jantung
bekerja lebih berat untuk memompa darah yang mengakibatkan
pembesaran otot jantung kiri sehingga jantung mengalami gagal
fungsi, Pembesaran di otot jantung kiri disebabkan kerja keras
jantung untuk memompa darah.
e. Kerusakan pada Mata
Tekanan darah yang terlalu tinggi bisa mengakibatkan
kerusakan pembuluh darah serta saraf pada mata (Sari, 2020).
8. Pemerikaan Penunjang
a. Laboratorium
1) Albuminaria pada hipertensi karena kelainan parenkim ginjal.
2) Kreatinin serum dan nitrogen urea darah (BUN) meningkat
pada hipertensi karena parenkim ginjal dengan acute kidney
injury atau gagal ginjal akut.
3) Darah perifer lengkap (HDL).
4) Kimia darah (kalium, natrium, keratin, gula darah puasa).
b. Elektrokardiogram (EKG)
1) Hipertrofi ventrikel kiri.
2) Iskemia atau infark miocard.
3) Peninggian gelombang P.
4) Gangguan irama jantung / konduksi.
c. Foto Rontgen
1) Bentuk dan besar jantung Noothing dari iga pada koarktasi
aorta.
2) Pembendungan lebar paru.
3) Hipertrofi parenkim ginjal.
4) Hipertrofi vascular ginjal (Sari, 2020).
9. Penatalaksanaan
Tujuan deteksi dan penatalaksanaan hipertensi merupakan
menurunkan risiko penyakit kardiovaskular dan mortalitas serta
morbiditas yang berkaitan. Tujuan terapi merupakan mencapai dan
mempertahankan tekanan sistolik dibawah 140 mmHg dan tekanan
distolik dibawah 90 mmHg serta mengontrol faktor risiko. Hal ini
dapat dicapai melalui modifikasi gaya hidup saja, atau menggunakan
obat antihipertensi.
Penatalaksanaan faktor risiko dilakukan dengan cara pengobatan setara
non-farmakologis, antara lain:
a. Pengaturan diet
Banyak sekali studi menunjukan bahwa diet dan pola hidup
sehat atau menggunakan obat-obatan yang menurunkan gejala
gagal jantung serta dapat memperbaiki keadaan hipertrofi ventrikel
kiri. Beberapa diet yang dianjurkan:
1) Rendah garam
Diet rendah garam bisa menurunkan tekanan darah pada
klien hipertensi dengan pengurangan penggunaan garam dapat
mengurangi perangsangan sistem renin-angiotensin sehingga
sangat berpotensi sebagai anti hipertensi, Jumlah asupan
natrium yang dianjurkan 50-100 mmol atau setara dengan tiga-
6 gram garam per hari.

2) Diet tinggi kalium


Dapat menurunkan tekanan darah tetapi metodenya belum
jelas, pemberian kalium secara intravena dapat menyebabkan
vasodilatasi yang diyakini sebagai hasil mediasi oleh
oksidanitrat di dinding vascular.
3) Diet kaya buah dan sayur.
4) Diet rendah kolestrol menjadi pencegah terjadinya jantung
koroner.
b. Penurunan berat badan
Mengatasi kelebihan badan pada sebagian orang
menggunakan caramenurunkan berat badan seperti mengurangi
tekanan darah, kemungkinan dengan mengurangi beban kerja
jantung dan volume sekuncup. Di beberapa studi menunjukan
bahwa obesitas berafiliasi dengan peristiwa hipertensi serta
hipertrofi ventrikel kiri. Jadi, menurunkan tekanan darah adalah
salah satu hal yang efektif untuk menurunkan berat badan
c. Olahraga
Olahraga teratur seperti berjalan, lari, berenang, bersepeda
berguna buat menurunkan tekanan darah dan memperbaiki keadaan
jantung.
d. Memperbaiki gaya hidup yang kurang sehat
Berhenti merokok serta tidak mengonsumsi alkohol adalah hal
yang penting untuk mengurangi dampak jangka panjang hipertensi
karena asap rokok diketahui menurunkan peredaran darah ke
berbagai organ dan dapat meningkatkan kerja jantung (Sari, 2020).

C. Konsep Dasar Senam Ergonomik


1. Definisi Senam Ergonomik
Senam santai membentuk salah satu cara yang praktis dan efektif
untuk menjaga kesehatan tubuh. Aktivitas di lingkungan kerja
merupakan rangkaian gerakan yang mirip dengan gerakan sholat
karena gerakan di lingkungan kerja sebenarnya terinspirasi dari
gerakan sholat yang dilakukan umat Islam dari dulu hingga sekarang.
Gerakan latihan yang nyaman ini sesuai dengan bentuk dan fungsi
tubuh manusia. Aktivitas senam relaksasi terdiri dari 1 aksi membuka,
berdiri sempurna dan 5 gerakan dasar ialah lapang dada, tunduk
syukur, duduk perkasa, duduk pembakaran, dan berbaring pasrah
(Andari et al., 2020).
2. Manfaat Senam Ergonomik
Senam ergonomik sangat bermanfaat bagi tubuh. Latihan
ergonomis yang teratur dapat meningkatkan efektivitas kekuatan otot
dan fungsi jantung, mengaktifkan sistem pernapasan, dan mencegah
arteriosklerosis. Olahraga ergonomik yang teratur dapat meningkatkan
kolesterol baik atau high-density lipoprotein (HDL) yang guna bagi
kesehatan jantung dan pembuluh darah. Edukasi ergonomik juga dapat
mencegah osteoporosis, hipoglikemia, dan penyakit lainnya. Latihan
ergonomik sangat efektif dalam menjaga kesehatan karena sederhana,
ekonomis dan tidak berbahaya, serta dapat dilakukan oleh siapa saja
mulai dari anak-anak hingga orang tua (Hanik, 2018).
3. Teknik dan Manfaat Senam Ergonomik
Ada Lima tahapan dalam gerakan senam ergonomik, dengan
tambahan gerakan membuka. Yaitu, gerakan pembuka berdiri
sempurna, lapang dada, gerakan kedua tunduk syukur, gerakan ketiga
tunduk perkasa, gerakan keempat pembakaran. Kelima latihan senam
ergonomis tersebut masing-masing memiliki kelebihan. Keuntungan
dari gerakan membuka ini ialah ketiga saraf tersebut merupakan satu
titik kendali di otak karena ketiganya berdiri penuh, semua faktor otak
tersambung pada saat yang sama dengan maksud yang sama, dan
bobot yang sama merupakan distribusi, posisi seperti meluruskan
punggung, semua organ dalam posisi normal, dan postur yang salah
dalam aktivitas sehari-hari dikoreksi ketika gerakan dibagi sebagai
berikut:

a. Gerakan Pembuka, Berdiri Sempurna.


Cara melakukan : berdiri tegak, pandangan lurus kedepan,
tubuh rileks, tangan di depan dada, telapak tangan di atas, telapak
tangan kiri menempel di dada, dengan jari-jari sedikit meregang.
Posisi kaki meregang kira-kira selebar bahu. Telapak dan jari-jari
kaki mengarah lurus ke depan (Alifatun, 2019).
b. Lapang Dada

Gambar 1.2 Gerakan Lapang dada


(Sumber : Buiatria, 2018)
Gerakan dada berasal dari posisi berdiri sempurna dengan
kedua tangan digantung ke bawah. Lakukan gerakan ini sebanyak
40 kali per putaran selama kurang lebih 4 detik, lalu istirahat
selama 3 menit untuk melanjutkan ke latihan berikutnya.
Keuntungan dari gerakan ini adalah adanya sirkulasi oksigen yang
cukup sehingga tubuh menjadi segar dan tersedia energi tambahan.
Cara melakukan: Dari posisi sempurna, gantung dengan kedua
tangan, lalu mulailah dengan gerakan lengan melingkar. Lengan
diangkat lurus ke depan, lalu ke atas, lalu ke belakang, dan
kemudian menjuntai ke bawah lagi. Satu putaran, itu berlanjut
dengan putaran berikutnya. Posisi kaki miring ke bawah, mengikuti
irama gerakan tangan (Alifatun, 2019).
c. Tunduk Syukur

Gambar 1.3 Gerakan tunduk syukur


(Sumber : Buiatria, 2018)

Cara : Angkat lengan lurus, lalu tekuk tangan, lalu tangan


mencapai mata kaki, pegang kuat-kuat, tarik dan remas untuk
mengangkat tubuh. Posisi kaki sama seperti sebelumnya (Alifatun,
2019).

d. Duduk Perkasa

Gambar 1.4 Gerakan duduk perkasa

(Sumber : Buiatria, 2018)

Gerakan duduk yang bertenaga, 5 kali dalam 35 detik.


Manfaatnya adalah meningkatkan daya tahan tubuh, meningkatkan
kontrol terhadap tekanan darah tinggi, dan meningkatkan elastisitas
tulang itu sendiri. Gerakan ini juga membantu orang yang kesulitan
buang air besar karena membantu pencernaan. Gerakan duduk
yang ampuh ini menghilangkan sifat egois, sombong, serta
meningkatkan kesabaran dan keyakinan kepada Allah SWT.
Cara melakukan : Dari posisi sebelumnya, satukan kedua lutut
ke lantai, posisi kedua telapak kaki tegak berdiri, jari-jari kaki
tertekuk mengarah ke depan. Tangan mencengkeram ke
pergelangan kaki. Mulai gerakan seperti hendak sujud tetapi kepala
mendongak, pandangan ke depan, jadi dagu hampir menyentuh
lantai. Setelah beberapa saat (satu tahanan nafas) kemudian
kembali ke posisi duduk perkasa (Alifatun, 2019).
e. Duduk Pembakaran

Gambar 1.5 Gerakan duduk pembakaran


(Sumber : Buiatria, 2018)
Gerakan duduk membakar dari gerakan sebelumnya, dan
telapak kaki menyebar ke belakang, membuat kita duduk di atas
telapak kaki. Khasiatnya dapat menguatkan otot pinggang dan
menguatkan ginjal. Latihan ini sebaiknya dilakukan kapan saja,
seperti menonton TV.
Cara melakukannya : Mulai dari postur sebelumnya,
rentangkan telapak kaki ke belakang dan biarkan kita duduk di
telapak kaki (duduk : duduk sinden). Letakkan tangan Anda di
pinggang. Mulailah melakukan push-up, tetapi angkat kepala
Anda, lihat ke depan, dan dagu Anda hampir menyentuh lantai
(Alifatun, 2019).
f. Berbaring Pasrah

Gambar 3.5 berbaring pasrah


(Sumber : Buiatria, 2018)
Tekuk lutut setelah duduk dengan kaki ditekuk, lalu
berbaring dengan lutut ditekuk. Berolahragalah setidaknya selama
5 menit dan jangan terlalu memaksakan diri, baik itu saat berbaring
atau bangun. Manfaatnya untuk memperkuat otot-otot tungkai
bawah yang kondusif untuk diet (Buiatria, 2018).
Cara melakukannya: Mulailah dengan posisi duduk
terbakar, berbaring telentang, dengan kaki rata dengan lutut
ditekuk, lengan direntangkan di atas kepala, dan condongkan tubuh
ke kiri dan kanan atau ke bawah. Pada saat ini, memegang betis di
tangan, tampaknya mudah untuk menarik, dan kepala dapat
diangkat dan digerakkan ke kiri dan ke kanan (Alifatun, 2019).
4. Waktu Pengukuran Tekanan Darah Senam Ergonomik
Pengukuran tekanan darah dilakukan 30 menit sebelum dan
setelah senam ergonomik. Tekanan darah dikendalikan secara refleks
oleh sistem saraf otonom, yang disebut refleks baroreseptor fungsi
baroreseptor adalah sebagai pengontrol pada perubahan akut tekanan
darah sesudah akan terjadi penurunan aktivitas kardiovaskuler.
Baroreseptor akan merespon dan menyampaikan penurunanan denyut
jantung dan kontraktilasi jantung serta penurunan tekanan darah.
Baroreseptor bertugas untuk mengembalikan keadaan tubuh menjadi
seimbang. Penurunan darah akan turun hingga dibawah normal serta
berlangsung selama 30-120 menit, penurunan tekanan darah terjadi
sebab adanya pelebaran dan relaksasi di pembuluh darah (Hanik,
2018).

D. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Care rating adalah catatan hasil pendataan yang diperoleh dari
klien dengan tujuan untuk memperoleh informasi, mengumpulkan data
tentang klien, dan melacak status kesehatan klien. Penilaian yang
komprehensif membantu mengidentifikasi masalah pelanggan
(Sahdiyah, 2019).
a. Identitas atau biodata
Memeriksa personalitas konsumen. Biasanya mencantumkan
nama, umur, jenis kelamin, agama, suku, status perkawinan,
pendidikan terakhir, pekerjaan sebelumnya, alamat sebelum masuk
panti asuhan, tanggal masuk panti, dan alasan masuk pondok.
Tanggal evaluasi, riwayat kesehatan pasien, riwayat kesehatan,
genogram, riwayat lingkungan, riwayat rekreasi, status kesehatan
saat ini, tempat tinggal, kamar, identtas pengasuh.
b. Riwayat Masuk Panti
Alasan masuk pondok : Jelaskan cerita dan alasan mengapa
klien tiba di panti jompo dan tinggal di sana.
c. Riwayat Keluarga
Deskripsi silsilah keluarga (nenek, kakek, ibu, ayah, orang
tua, saudara kandung, pasangan dan anak-anak) biasanya
digambarkan hingga tiga generasi.
d. Riwayat Pekerjaan
Sebelum memasuki wisma, jelaskan pekerjaan, pekerjaan saat
ini, dan sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan klien.
e. Riwayat Lingkungan Hidup.
Jelaskan lingkungan hidup klien seperti tipe tempat tinggal,
jumlah kamar, jumlah orang yang tinggal bersama klien, nomor
telepon dan alamat.

f. Riwayat Rekreasi
Jelaskan hobi klien, kegiatan dalam organisasi, dan pengisian
waktu luang.
g. Sumber atau Sistem Pendukung
Termasuk perawat, klinik, apoteker dan dokter.
h. Deskripsi harian khusus kebiasan ritual tidur.
Biasanya menggambarkan aktivitas yang klien lakukan
sebelum tidur untuk membuat klien merasa nyaman.
i. Status kesehatan saat ini
Menjelaskan keadaan kesehatan satu tahun yang lalu, keadaan
kesehatan lima tahun yang lalu, dan keluhan yang dirasakan saat
ini, serta mengetahui cara mengatasi keluhan tersebut.
1) Obat-obatan
Jelaskan obat apa yang dikonsumsi pelanggan, dosisnya,
cara penggunaannya, siapa yang meresepkannya, dan tanggal
penulisan resepnya.
2) Status imunisasi
Menjelaskan status imunisasi klien dari bayi hingga saat
ini.
3) Nutrisi
Jelaskan makanan apa yang dikonsumsi, apakah ada alergi
makanan, makanan apa yang dianjurkan, makanan apa yang
dilarang dan makanan apa yang harus dibatasi pelanggan, dan
apakah akan terjadi penambahan atau penurunan berat badan.
j. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan kepala dan leher meliputi bentuk kepala, kulit
kepala, tengkorak, jenis rambut, warna rambut, pola distribusi
rambut, kelainan, struktur wajah, warna kulit.
Pemeriksaan kepala dan leher meliputi bentuk kepala, kulit
kepala, tengkorak, jenis rambut, warna rambut, pola distribusi
rambut, kelainan, struktur wajah, warna kulit. Kemudian
pemeriksaan mata meliputi kelengkapan dan kesimetrisan, kelopak
mata atau kelopak mata, kornea, konjungtiva dan sklera, pupil dan
iris, penglihatan atau ketajaman penglihatan, tekanan intraokular
dan kelainan penglihatan.
Hidung termasuk lubang hidung, lubang hidung, tulang
hidung, dan septum. Telinga meliputi bentuk telinga, ukuran
telinga, tegangan telinga, saluran telinga, dan ketajaman. Mulut
dan faring meliputi kondisi bibir, kondisi gusi dan gigi, kondisi
lidah, palatum atau palatum dan orofaring. Leher kemudian berisi
lokasi trakea, tiroid, suara, kelenjar getah bening, vena jugularis,
dan nadi karotis.
Pemeriksaan payudara dan ketiak meliputi ukuran dan bentuk
payudara, warna dan areola payudara, aksila dan klavikula, serta
kelainan payudara dan payudara lainnya. Pemeriksaan dada atau
dada atau tulang belakang meliputi pemeriksaan (bentuk dada dan
penggunaan otot bantu pernapasan), palpasi (ruang depan suara),
palpasi dan auskultasi dada (suara napas, suara bicara, dan suara
napas tambahan).
Pemeriksaan jantung meliputi pemeriksaan dan palpasi
jantung dan irama batas jantung (jantung primer, pinggang, apeks
jantung). Auskultasi jantung (bunyi jantung 1, bunyi jantung 2,
bunyi jantung ekstra, murmur atau frekuensi bunyi jantung).
Pemeriksaan abdomen selama pemeriksaan meliputi bentuk
abdomen, benjol atau benjol, dan bayangan pembuluh darah. Saat
auskultasi terdengar bising usus atau peristaltik. Pada palpasi
terdapat nyeri tekan, benjol, benjol, atau hepatosplenomegali dan
titik Mack. Bernie Irama termasuk suara perut dan pemeriksaan
asites.
Pemeriksaan kelamin dan sekitarnya pada anus dan perineum
meliputi pubis, meatus uretra dan kelainan lainnya. Sedangkan
pada anus dan perineum meliputi lubang anus, kelainan pada anus
dan keadaan perineum. Pemeriksaan muskuluskeletal meliputi
kesimetrisan otot, pemeriksaan oedema, kekuatan otot dan kelainan
punggung dan ekstremitas serta kuku. Pemeriksaan integuman
meliputi kebersihan, kehangatan, tekstur, warna, turgor,
kelembapan dan kelainan pada kulit atau lesi. Pemeriksaan
neurologis meliputi tingkat kesadaran atau GCS, dan tanda
rangsangan otak atau meningeal sign. Kemudian pemeriksaan
syaraf otak (N1-NXII), fungsi motorik, fungsi sensorik, dan reflex
baik fisiologis maupun patologis
Pemeriksaan alat kelamin dan daerah sekitar anus dan
perineum meliputi tulang kemaluan, lubang uretra, dan kelainan
lainnya. Anus dan perineum meliputi lubang anus, kelainan anus
dan keadaan perineum. Pemeriksaan muskuloskeletal meliputi
simetri otot, pemeriksaan edema, kekuatan otot, dan kelainan pada
punggung, tungkai, dan kuku. Pemeriksaan kulit meliputi
kebersihan, kehangatan, tekstur, warna, pembengkakan,
kelembapan, dan kelainan atau lesi kulit. Pemeriksaan sistem saraf
meliputi tingkat kesadaran atau GCS, dan iritasi otak atau tanda-
tanda meningeal. Kemudian periksa saraf otak (N1-NXII), fungsi
motorik, fungsi sensorik dan refleks, termasuk fisiologi dan
patologi (Yusuf, 2018).
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan ialah hasil klinis berlandaskan kasus
kesehatan yang telah tumbuh atau masih beresiko. Diagnosa
keperawatan konsisten dengan diagnosa medik karena pada saat
pengumpulan data, keadaan penyakit dalam diagnosa medik
diperlukan untuk menegakkan diagnosa keperawatan (Sahdiyah,
2019).
Diagnosa keperawatan yang sering muncul antara lain :
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
c. Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi
3. Intervensi
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
Definisi : Pengalaman sensorik atau emosional yang
berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau
fungsional dengan onset mendadak atau lambat dan
berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung.
Tujuan : Setelah dilakukan pengkajian selama 3x24 jam
diharapkan tingkat nyeri menurun (L.08066)
Kriteria Hasil :
1) Keluhan nyeri menurun (5)
2) Meringis menurun (5)
3) Frekuensi nadi membaik (5)
Intervensi : Manajemen nyeri (I.08238)
Observasi
1) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri.
2) Identifikasi skala nyeri.
3) Identifikasi respon nyeri non verbal.
4) Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri.
Terapeutik
1) Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
(misalnya TENS, hypnosis, akupresur, terapi musik,
biofeedback, terapi pijat, aroma terapi, teknik imajinasi
terbimbing, kompres hangat atau dingin, terapi bermain).
2) Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (misalnya
Suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan).
3) Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri.
Edukasi
1) Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri.
2) Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri.
3) Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri.
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu.
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
Definisi : Ketidakcukupan energi untuk melakukan aktivitas
sehari-hari.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama


3x24 jam diharapkan tingkat pengetahuan
meningkat.
Kriteria Hasil: Toleransi aktivitas meningkat (I.05047)
Intervensi : Manajemen energi (I.05178)
Observasi
1) Identifkasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan
kelelahan.
2) Monitor kelelahan fisik dan emosional.
3) Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan
aktivitas.
Terapeutik
1) Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (misalnya
cahaya, suara, kunjungan).
2) Lakukan rentang gerak pasif dan atau aktif.
3) Berikan aktivitas distraksi yang menyenangkan.
4) Fasilitas duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat berpindah
atau berjalan.
Edukasi
1) Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap.
2) Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala kelelahan
tidak berkurang.
3) Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan.
Kolaborasi
Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan
makanan.
c. Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi
Definisi : Kondisi emosi dan pengalaman subyektif individu
terhadap objek yang tidak jelas dan spesifik akibat
antisipasi bahaya yang memungkinan individu
melakukan tindakan untuk menghadapi ancaman.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
3x24 jam diharapkan tingkat ansietas menurun.
Kriteria Hasil: Tingkat Ansietas menurun (L.09093)
Intervensi : Terapi relaksasi (I.09314)
Observasi
1) Identifikasi penurunan tingkat energi, ketidakmampuan
berkonsentrasi, atau gejala lain yang menganggu kemampuan
kognitif.
2) Identifikasi teknik relaksasi yang pernah efektif digunakan.
3) Identifikasi kesediaan, kemampuan, dan penggunaan teknik
sebelumnya.
4) Periksa ketegangan otot, frekuensi nadi, tekanan darah, dan
suhu sebelum dan sesudah latihan.
Terapeutik
1) Ciptakan lingkungan tenang dan tanpa gangguan dengan
pencahayaan dan suhu ruang nyaman, jika memungkinkan
2) Berikan informasi tertulis tentang persiapan dan prosedur
teknik relaksasi.
3) Gunakan pakaian longgar.
Edukasi
1) Jelaskan tujuan, manfaat, batasan, dan jenis, relaksasi yang
tersedia (misalnya musik, meditasi, napas dalam, relaksasi otot
progresif).
2) Anjurkan sering mengulang atau melatih teknik yang dipilih.
3) Demonstrasikan dan latih teknik relaksasi (misalnya napas
dalam, pereganggangan atau imajinasi terbimbing ).

4. Implementasi
Implementasi keperawatan artinya serangkaian aktivitas yang
dilakukan oleh perawat buat membantu pasien dari persoalan status
kesehatan yang dihadapi status kesehatan yang baik yang
mendeskripsikan kriteria yang akan terjadi yang dibutuhkan. Proses
pelaksanaan implementasi wajib berpusat pada kebutuhan klien,
faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan keperawatan, strategi
implementasi keperawatan, serta kegiatan komunikasi (Sahdiyah,
2019).
Jenis Implementasi Keperawatan Dalam pelaksanaanya terdapat
tiga jenis implementasi keperawatan,yaitu :
a. Independent Implementasions merupakan implementasi yang
diperkarsai sendiri oleh perawat untuk membantu pasien dalam
mengatasi masalahnya sesuai dengan kebutuhan, misalnya :
membantu dalam memenuhi activity daily living (ADL),
memberikan perawatan diri, mengatur posisi tidur, menciptakan
lingkungan yang terapeutik, memberikan dorongan motivasi,
pemenuhan kebutuhan psiko-sosial - kultural, dan lain-lain.
b. Interdependent atau collaborative Implementasions merupakan
tindakan keperawatan atas dasar kerjasama sesama tim
keperawatan atau dengan tim kesehatan lainnya, seperti dokter.
Contohnya dalam hal pemberian obat oral, obat injeksi, infus
kateter urin, naso gastric tube (NGT), dan lain-lain.
c. Dependent Implementations merupakan tindakan keperawatan atas
dasar rujukan dari profesi lain, seperti ahli gizi, physiotherapies,
psikolog dan sebagainya, misalnya dalam hal : pemberian nutrisi
pada pasien sesuai dengan diit yang telah dibuat oleh ahli gizi,
latihan fisik (mobilisasi fisik) sesuai dengan anjuran dari bagian
fisioterapi (Sari, 2020).
5. Evaluasi
Evaluasi adalah penilaian terhadap hasil dan proses. Evaluasi
hasil memutuskan seberapa jauh keberhasilan yang didapat sebagai
keluaran dan tindakan. Penilaian proses menentukan ada tidaknya
kesalahan dari setiap tahapan proses mulai dari penilaian, diagnosis,
perencanaan, tindakan dan evaluasi itu sendiri (Mulyani, 2019).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Strategi Pencarian Literatur


Cara yang dipakai dalam penulisan ini ialah studi literature review.
Sumber digunakan dalam penyusunan literature riview ini melalui
Website Jurnal Nasional dan Internasional seperti Pubmed, DOAJ,
Proquest dan Google Scholar. Penelusuran artikel pencarian dalam
periode 2017-2021 (Saletti-cuesta et al., 2020).
1. Framework yang digunakan
Strategi yang dipergunakan dalam pencarian artikel (jurnal)
menggunakan PICOS framework.
a. Population/problem, masalah yang akan di analisis atau populasi.
b. Intervention, suatu langkah penatalaksanaan terhadap kasus
perorangan serta pemaparan tentang penatalaksanaan.
c. Comparation, Intervensi lain yang dipergunakan sebagai
pembanding.
d. Outcome, hasil atau luaran yang didapat pada penelitian.
e. Study image, desain penelitian yang dipergunakan oleh jurnal yang
akan di review (Saletti-cuesta et al., 2020).
2. Kata kunci atau Keyword
Pencarian jurnal menggunakan keyword dan bolean operator
(AND), OR NOT or AND NOT) yang digunakan untuk memperluas
atau menspesifikasikan pencarian, sehingga mempermudah daam
penentuan jurnal yang digunakan. Misalnya dengan judul “Asuhan
Keperawatan dengan penerapan Senam Ergonomik untuk menurunkan
tekanan darah pada lansia penderita hipertensi”. Dengan menggunakan
kata kunci :
a. Pada artikel kesatu menggunakan : Hipertensi, Senam lansia,
Tekanan darah.
b. Pada artikel kedua menggunakan : Pengaruh senam ergonomik
terhadap tekanan darah lansia.
3. Database atau Search Engine
Data yang digunakan pada literature review adalah data sekunder
yang diperoleh bukan dari pengamatan langsung, akan tetapi diperoleh
dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti
terdahulu. Sumber data sekunder yang didapat berupa jurnal yang
relevan dengan topik dilakukan pencarian dengan memakai database
melalui Pubmed, DOAJ, Proquest dan Google Scholar (Saletti-cuesta
et al., 2020).
B. Kriteria Inkluasi dan Ekslusi

Tabel 2.1 Kriteria Inklusi dan Ekslusi

Kriteria Inklusi Ekslusi


Population/ Problem 2 responden 30 responden

Intervention Intervensi sesuai dengan Intervensi sesuai dengan


topik penelitian topik penelitian
Ada intervensi Ada intervensi
Compartion pembanding pembanding
Ada penurunan tekanan Ada penurunan tekanan
Outcome darah terhadap darah terhadap
penerapan senam penerapan senam
ergonomik ergonomik
Deskriptif dengan studi Deskriptif dengan studi
Study Design kasus kasus
Pada artikel pertema Pada artikel di terbirkan
Tahun Terbit diterbitkan pada tahun pada tahun 2019
2018

Anda mungkin juga menyukai