Anda di halaman 1dari 8

Nama : Kesya Nabila Amandha Puti

Nim : 1907511269

No. Absen : 14

Mata Kuliah: Pengantar Hukum Bisnis (CP1)

UJIAN AKHIR SEMESTER

1. Jelaskan mengenai pengaturan tentang Corporate Social Responsibility di negara lain dan
menurut Hukum Indonesia?
Jawab:

Australia

a) Corporation Act 2001

Peraturan mengenai perusahaan di Australia ini merupakan Pasal sentral tugas-tugas bagi
direktur perusahaan. Dalam undang-undang ini terdapat 2 pasal yang berhubungan
dengan pengaturan corporate social responsibility bagi perusahaan, yaitu :

a. section 299 (1) (f)

“if the entity’s operations are subject to any particular and significant environmental
regulation under a law of the Commonwealth or of a State o Territory—give details of
the entity’s performance in relation to environmental regulation. ”

b. section 1013 DA (1)

“ASIC may develop guidelines that must be complied with where a Product Disclosure
Statement makes any claim that labour standards or environmental, social or ethical
considerations are taken into account in the selection, retention or realisation of the
investment”

Dalam undang-undang perusahaan Australia section 1013 DA mengandung pengertian


bahwa undang-undang tersebut memaksakan perusahaan-perusahaan untuk memenuhi
kewajiban-kewajiban dalam pemberian pensiun, asuransi jiwa dan pengaturan dana untuk
memperlihatkan tingkat seberapa mereka memperhatikan lingkungan, sosial, tenaga kerja
dan standar etika di dalam memutuskan investasi. Sedangkan Section 299(1) (f)
mengandung penjelasan bahwa perusahaan untuk memasukkan ke dalam laporan tahunan
mereka harus adanya rincian pelanggaran terhadap hukum lingkungan dan lisensi.
Peraturan selain dari Corporations Act 2001 memaksakan kewajiban- kewajiban
tambahan kepada para direktur perusahaan dalam hal hubungan mereka dengan karyawan
dan lingkungan. Sebagai contoh, perusahaan harus membayar karyawan mereka tidak
kurang dari upah minimum mereka dan mereka harus mematuhi jaminan kesehatan dan
keamanan, anti diskriminasi dan sama dalam memberikan persyaratan, Perusahaan harus
pula mematuhi suatu cakupan luas dari syarat-syarat yang ada di lingkungannya.

Pengaturan terkait masalah corporate social responsibility dalam Corporations Act 2001
tidak diatur secara menyeluruh. Sehingga menurut pemerintah australia perlu adanya
batasan-batasan bagi perusahaan-perusahaan yang ada di Australia dalam menjalankan
usahanya. Dalam pengaturan mengenai CSR di Australia perlu diperhatikan terkait
sejarah tanggung jawab perusahaan. Pertama, dalam konteks ini perlu memperhatikan
dua kejadian yang sebelumnya di dalam sejarah dari Australian menanggapi kepada
permasalahan pembuatan undang-undang untuk tanggung jawab sosial perusahaan.

Corporate Social Responsibility menurut Hukum Indonesia

CSR dalam Undang-Undang Penanaman Modal

Kewajiban CSR diawali dengan terbentuknya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007


tentang Penamaman Modal. Undang-Undang ini disahkan pada tanggal 26 April 2007.
Kewajiban CSRterdapat pada Pasal 15 dan Pasal 34 undang-undang tersebut.

Pasal 15 huruf b menyatakan bahwa :

“Setiap penanam modal berkewajiban:

a. menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik;

b. melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan;

c. membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada


BadanKoordinasi Penanaman Modal;
d. menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman
modal; dan

e. mematuhi semua ketentuan peraturan perun-

dang-undangan.”

Dalam Pasal 15 huruf b undang-undang ini,Pemerintah mewajibkan perusahaan penanam


modal baik perusahaan penanaman modal asing maupun perusahaan penanaman modal
dalam negeri untuk melaksanakan CSR.

Definisi dari CSR yang dimaksudkan oleh undang-undang ini tertuang dalam Penjelasan
Pasal 15 huruf b, yakni:

“Yang dimaksud dengan “tanggung jawab sosial perusahaan” adalah tanggung jawab
yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan
hubungan yang serasi, seimbang,dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan

budaya masyarakat setempat” CSR dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas Tanggung


Jawab Sosial dan Lingkungan atau CSR merupakan salah satu hal yang diwajibkan oleh
Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(selanjutnya disebut UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas). Undang-Undang ini berlaku sejak tanggal 16 Agustus 2007 lalu. Dalam Pasal
74 disebutkan bahwa:

(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan
sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.

(2) Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud ayat (1) merupakan
kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang
pelaksanaannya dilakukan dengan memerhatikan kepatutan dan

kewajaran.

(3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagimana dimaksud ayat (1) dikenai
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perudangundangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan
peraturan pemerintah.

CSR dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup Hak atas lingkungan hidup merupakan
salah satu hak asasi manusia yang diakui oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa).
Sebenarnya hak ini telah diatur dalam pembukaan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea IVjo. Pasal 33 ayat (3), yang saat ini
disamakan sebagai hak atas lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, khusus untuk
hak atas sumber daya ekonomi, sementara itu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982
tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) juga telah mengatur
secara tegas dalam Pasal 5 ayat (1) dan kemudian tercantum dalam Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(selanjutnya disebut UU No. 23 Tahun 1997 tentang tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup). Dalam kenyataannya, meskipun hak atas lingkungan hidup sudah dituangkan
dalam suatu peraturan dan adanya kebijaksanaan pemerintah mengenai pembangunan
berwawasan lingkungan belum merupakan jaminan bahwa hak tersebut sudah benar-
benar terlindungi.

2. Bagaimana perkembangan pengaturan tentang Hak Kekayaan Intektual di Indonesia


terkait dengan perdagangan barang dan jasa?
Jawab:
Perkembangan kegiatan perdagangan barang dan jasa di Indonesia dalam beberapa tahun
terakhir ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan karena perkembangan
teknologi informasi dan sarana transportasi yang menyebabkan aktivitas di sektor
perdagangan, baik barang maupun jasa mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Kecenderungan meningkatnya arus perdagangan barang dan jasa akan terus berlangsung
sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang semakin meningkat. Merek sebagai
salah satu karya intelektual manusia yang akrab hubungannya dengan kegiatan ekonomi
dan perdagangan memegang peranan yang sangat penting.Dengan semakin kuatnya arus
globalisasi di segala bidang, termasuk sektor perdagangan barang dan jasa, perdagangan
barang dan jasa sudah tidak mengenal lagi batas-batas wilayah negara, sehingga regulasi
di bidang Hak Kekayaan Intelektua1(HKI) termasuk Merek harus memadai dan efektif
karena Indonesia telah menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) melalui
UU No. 7 Tahun 1994 Tentang Pembentukan Pengesahan Organisasi Perdagangan Dunia
pada tanggal 2 November 1994, yang memuat Lampiran Agreement on Trade Related
Aspects of Intellectual Property Rights(Perjanjian TRIPs).Tujuan Perjanjian TRIPs
adalah untuk memberikan perlindungan HKI dan prosedur penegakan hak menuju
perdagangan yang sehat.

3. Kenapa konsumen sebagai pemakai barang atau jasa perlu diproteksi atau diberikan
perlindungan hukum, dan apa bentuk perlindungan hukum yg diberikan berdasarkan UU
Perlindungan Konsumen?
Jawab:
Hukum perlindungan konsumen sangatlah penting bagi pihak penjual selaku pelaku
usaha, karena dapat mencegah penjual melakukan hal-hal yang dilarang dalam hukum
dan juga dapat mencegah ruginya pihak pembeli selaku konsumen. Apabila penjual
memahami hukum perlindungan konsumen maka mereka tidak akan melanggar hukum
Perlindungan konsumen adalah keseluruhan peraturan dan hukum yang mengatur hak dan
kewajiban konsumen dan produsen yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi
kebutuhannya dan mengatur upaya-upaya untuk menjamin terwujudnya perlindungan
hukum terhadap kepentingan konsumen. Hal ini dapat bersifat dalam segala transaksi jual
beli, secara langsung maupun secara online seperti yang kini kian marak. Walaupun
adanya transaksi yang tidak melalui tatap muka, konsumen tetap berhak untuk
mendapatkan barang yang sesuai dengan pemberitahuan sebelumnya atau barang yang
sesuai dengan yang dijanjikan. Perlindungan konsumen dibutuhkan untuk menciptakan
rasa aman bagi para konsumen dalam melengkapi kebutuhan hidup. Kebutuhan
perlindungan konsumen juga harus bersifat tidak berat sebelah dan harus adil. Maka dari
itu tujuan dibuatnya perlindungan konsumen dapat dijelaskan dalam dalam Pasal 3
UUPK 8/1999, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
 Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri.
 Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian dan/atau jasa.
 Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
 Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi.
4. Bagaimana prinsip- prinsip pengelolaan pariwisata dan perlindungan wisatawan
berdasarkan UU Kepariwisataan?
Jawab:
Prinsip penyelenggaraan kepariwisataan di Indonesia didasarkan pada ketentuan Pasal 5
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 yang dimaksud kepariwisataan diselenggarakan
dengan prinsip:
a. Menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya sebagai pengejawantahan dari
konsep hidup dalam keseimbangan hubungan antar manusia dan Tuhan Yang
Maha Esa, hubungan antar manusia dan sesama manusia, dan hubungan antar
manusia dan lingkungan.
b. Menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya, dan kearifan lokal.
c. Memberi manfaat untuk kesejahteraan rakyat, keadilan, kesetaraan, dan
proposionalitas.
d. Memelihara kelestarian alam dan lingkungan hidup
e. Memberdayakan masyarakat setempat.
f. Menjamin keterpaduan antar sektor, antar daerah, antara pusat dan daerah yang
merupakan satu kesatuan sistemik dalam kerangka otonomi daerah, serta
keterpaduan antar pemangku kepentingan.
g. Mematuhi kode etik kepariwisataan dunia dan kesepakatan internasional dalam
bidang pariwisata .
h. Memperkukuh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

5. Jelaskan pendapat saudara, kenapa para pelaku bisnis sekarang ini lebih cendrung
menyelesaikan sengketanya secara non litigasi melalui lembaga Arbitrase?
Jawab:

 Menurut opini saya, arbitrase sering dipilih karena dianggap memiliki banyak
kelebihan dibandingkan metode lainnya termasuk metode penyelesaian sengketa
di pengadilan. Waktu yang lebih singkat dan minimalisasi risiko ekonomi yang
bisa merusak hubungan para pihak merupakan kelebihan dari penyelesaian
sengeketa melalui arbitrase.
 Efisien Waktu
Waktu yang digunakan untuk proses arbitrase lebih efisien dan fleksibel. Kedua
belah pihak memilih arbiter, dan kemudian proses persidangan akan dipimpin
oleh arbiter, dimana dalam hal ini arbiter dapat bebas menentukan agenda
persidangan dengan menyesuaikan waktu para pihak yang berperkara. Sedangkan
apabila sengketa diselesaikan melalui pengadilan, suatu permasalahan baru bisa
diselesaikan jika pihak pengadilan telah memproses kasus tersebut, menunjuk
hakim, dan melakukan panggilan, sehingga penyelesaian kasus akan memakan
waktu cukup lama. Belum lagi jika salah satu pihak tidak puas kemudian
mengajukan banding atau kasasi.
 Hemat Biaya
Biaya dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase lebih murah karena waktu
yang digunakan lebih singkat dan prosesnya hanya di Lembaga arbitase itu saja.
Sedangkan dalam proses litigasi harus melewati proses yang cukup panjang,
mulai dari pendaftaran berkas ke pengadilan, pembayaran pengacara, dan biaya
pengadilan. Biaya tersebut akan terus bertambah seiring dengan pengajuan
banding dan kasasi. Sehigga, biaya yang dikeluarkan untuk penyelesaian masalah
secara litigasi akan lebih banyak, dimana dalam proses arbitrase umumnya tidak
menggunakan tempat dan tahapan yang panjang.
 Bersifat Rahasia
Jika dalam metode litigasi penyelesaian sengketa dilakukan secara terbuka,
Arbritase diselenggarakan secara tertutup, arbritase hanya dihadiri oleh para pihak
yang berperkara. Selain itu, dalam proses arbritase tidak ada aturan mengenai
barang bukti, apabila ada barang bukti hanya akan dikendalikan oleh arbiter,
sehingga para pihak merasa lebih aman dan nyaman, karena kerahasiaan
perusahaan merupakan hal yang di utamakan dalam kegiatan bisnis.
 Putusan bersifat mengikat dan final Putusan arbritase memiliki kekuatan hukum
tetap, bersifat final dan mengikat para pihak, yang artinya setelah sengketa
diputus, maka tidak dapat diajukan banding, kasasi maupun peninjauan kembali.
Sehingga penyelesaian sengketanya lebih cepat, dibandingan dengan litigasi yang
dalam proses pengadilannya dapat mengajukan banding dan kasasi.
 Keahlian dan kepekaan para arbiter Para pihak yang berperkara dapat memillih
arbiter sesuai dengan keahlian arbiter dan sengketa yang sedang dihadapi, karena
pada dasarnya seorang arbiter tidak selalu berlatang belakang hukum, sehingga
para perkara dapat menyesuaikan dengan kebutuhannya.
 Penggunaan dan Peran Pengacara Dalam proses arbitrase, pihak-pihak yang
berselisih diperbolehkan menggunakan pengacara. Namun, peran pengacara
dalam proses ini sangat terbatas, karena semua keputusannya ada pada arbiter.
Sementara itu, peran pengacara dalam proses litigasi amat luas, mulai dari
mengumpulkan bukti hingga menunjukkan hasil riset dan kasus mereka ke jajaran
hakim di pengadilan untuk melakukan pembelaan.

Anda mungkin juga menyukai