Anda di halaman 1dari 115

LARANGAN PERNIKAHAN “LUSAN”

DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM


(Study Kasus di Desa Kuto, Kecamatan Kerjo, Kabupaten Karanganyar)

SKRIPSI

Diajukan Kepada
Fakultas Syariah
Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Mas Said Surakarta
Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

LICHTQUELLE RESQYKHA HAMDAN


NIM. 17.21.21.119

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID
SURAKARTA
2021

i
LARANGAN PERNIKAHAN “LUSAN”
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
(Study Kasus di Desa Kuto, Kecamatan Kerjo, Kabupaten Karanganyar)

SKRIPSI

Diajukan Kepada
Fakultas Syariah
Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Mas Said Surakarta
Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Disusun Oleh :

LICHTQUELLE RESQYKHA HAMDAN


NIM. 17.21.21.119

Surakarta, 19 Oktober 2021

Disetujui dan disahkan Oleh :


Dosen Pembimbing Skripsi

JAKA SUSILA, M.H


NIP. 196612211994031003

ii
SURAT PERNYATAAN BUKAN PLAGIASI

Assalamualaikum Wr. Wb

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : LICHTQUELLE RESQYKHA HAMDAN

NIM : 17.21.21.119

Prodi : HUKUM KELUARGA ISLAM

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul LARANGAN


PERNIKAHAN “LUSAN” DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Study
Kasus di Desa Kuto, Kecamatan Kerjo, Kabupaten Karanganyar)
Benar-benar bukan plagiasi dan belum pernah diteliti sebelumya. Apabila
dikemudian hari bahwa skripsi ini merupakan plagiasi, saya bersedia menerima
sanksi sesuai peraturan yang berlaku
Demikian surat ini dibuat dengan sesungguhnya untuk dipergunakan
sebagaimana semestinya.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Surakarta, 19 Oktober 2021


Yang Menyatakan

Lichtquelle Resqykha Hamdan


NIM. 17.21.21.119

iii
NOTA DINAS
Hal : Skripsi Kepada
Sdr : Lichtquelle Resqykha Hamdan Yth. Dekan Fakultas Syariah
Universitas Islam Negeri (UIN)
Raden Mas Said Surakarta
di Surakarta

Assalamualaikum Wr. Wb
Dengan Hormat, bersama ini kami sampaikan bahwa setelah membaca,
menelaah, dan mengadakan perbaikan seperlunya, kami memutuskan bahwa skripsi
saudara Lichtquelle Resqykha Hamdan, NIM. 17.21.21.1119 yang berjudul:
LARANGAN PERNIKAHAN “LUSAN” DALAM PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM (Study Kasus di Desa Kuto, Kecamatan Kerjo, Kabupaten
Karanganyar)
Sudah dapat dimunaqosyahkan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Hukum (S.H) dalam bidang Hukum Keluarga Islam.
Oleh karena itu, kami memohon agar skripsi tersebut dimunaqosyahkan dalam
waktu dekat.
Demikian, atas dikabulkannya permohonan ini disampaikan terima kasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb

Surakarta, 19 Oktober 2021


Dosen Pembimbing

JAKA SUSILA, M.H


NIP. 196612211994031003

iv
MOTTO

َ َ ْ َ ْ َ ُ ْ ُ َ َ ُ ُ َ ْ َ َ َ ُ َ ً َ َ َ ً َّ ُ َ ْ ْ َّ َ ْ َ
‫اْلسَل يم سنة حسنة فع يمل بيها بعده كتيب َل ميثل أج ير من ع يمل‬
‫من سن يِف ي‬
َ ْ ُ ُ ْ ُْ َ
‫ب ي َها َوَل َينق ُص مين أجوريهيم َشء‬
ْ

“Barang siapa dapat memberikan suri tauladan yang baik dalam Islam, lalu suri
tauladan tersebut dapat diikuti oleh orang-orang sesudahnya, maka akan dicatat
untuknya pahala sebanyak yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa
mengurangi sedikitpun pahala yang mereka peroleh”

( HR. Muslim No 4830 )

v
PERSEMBAHAN

Saya persembahkan karya ini untuk :


- Mama dan Papa
- Kakak-kakakku Mbk Hiraki dan Mas Halim
- Adik-adikku Dek Ichi dan Dek Kinara
- Pak Kyai Nurhadi dan Bu Nyai
- Teman-teman Pondok Pesantren Daarul Huda
- Serta seluruh orang yang telah support banyak doa
dan tenaga

vi
PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman transliterasi yang dipakai dalam penulisan skripsi Fakultas Syari‟ah


Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Mas Said Surakarta didasarkan pada
Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI
Nomor 158/1987 dan 0543 b/U/1987 tanggal 22 Januari 1988. Pedoman
transliterasi tersebut adalah:

1. Konsonan

Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama

‫ا‬ Alif
Tidak
dilambangkan
Tidak dilambangkan

‫ب‬ Ba B Be

‫ت‬ Ta T Te

‫ث‬ Ṡa Ṡ Es (dengan titik di atas)

‫ج‬ Ja J Je

‫ح‬ Ḥa Ḥ Ha (dengan titik di bawah)

‫خ‬ Kha Kh Ka dan Ha

‫د‬ Dal D De

‫ذ‬ Żal Ż Zet (dengan titik di atas)

‫ر‬ Ra R Er

‫ز‬ Za Z Zet

‫س‬ Sa S Es

vii
‫ش‬ Sya SY Es dan Ye

‫ص‬ Ṣa Ṣ Es (dengan titik di bawah)

‫ض‬ Ḍat Ḍ De (dengan titik di bawah)

‫ط‬ Ṭa Ṭ Te (dengan titik di bawah)

‫ظ‬ Ẓa Ẓ Zet (dengan titik di bawah)

‫ع‬ ‘Ain ‘ Apostrof Terbalik

‫غ‬ Ga G Ge

‫ف‬ Fa F Ef

‫ق‬ Qa Q Qi

‫ك‬ Ka K Ka

‫ل‬ La L El

‫م‬ Ma M Em

‫ن‬ Na N En

‫و‬ Wa W We

‫هـ‬ Ha H Ha

‫ء‬ Hamzah ’ Apostrof

‫ي‬ Ya Y Ye

viii
Hamzah (‫ )ء‬yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi tanda

apa pun. Jika hamzah (‫ )ء‬terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis dengan tanda

(’).

2. Vokal

Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas vokal tunggal
atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Vokal tunggal bahasa Arab
yang lambangnya berupa tanda atau harakat, transliterasinya sebagai berikut:

Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama

‫ا‬ Fatḥah A A

‫ا‬ Kasrah I I

‫ا‬ Ḍammah U U

Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara harakat
dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu:

Tanda Nama Huruf Latin Nama

‫اي‬ Fatḥah dan ya Ai A dan I

‫او‬ Fatḥah dan wau Iu A dan U

Contoh:

‫كيف‬ : kaifa

‫هول‬ : haula

ix
3. Maddah

Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat dan huruf,

transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:

Harkat dan Huruf dan


Nama Nama
Huruf Tanda

‫ـا ـى‬ Fatḥah dan alif atau ya ā


a dan garis di
atas

‫ـي‬ Kasrah dan ya ī


i dan garis di
atas

‫ــو‬ Ḍammah dan wau ū


u dan garis di
atas

Contoh:

‫مات‬ : māta

‫رمى‬ : ramā

‫قيل‬ : qīla

‫َيوت‬ : yamūtu

4. Ta Marbūṭah

Transliterasi untuk ta marbūṭah ada dua, yaitu: ta marbūṭah yang hidup atau

mendapat harkat fatḥah, kasrah, dan ḍammah, transliterasinya adalah [t].

Sedangkan ta marbūṭah yang mati atau mendapat harkat sukun, transliterasinya

adalah [h].

Kalau pada kata yang berakhir dengan ta marbūṭah diikuti oleh kata yang

menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta

marbūṭah itu ditransliterasikan dengan ha (h). Contoh:

x
‫روضة األطفال‬ : rauḍah al-aṭfāl

‫املديـنة الفضيـلة‬ : al-madīnah al-fāḍīlah

‫احلكمة‬ : al-ḥikmah

5. Syaddah (Tasydīd)

Syaddah atau tasydīd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan

sebuah tanda tasydīd ( ‫) ـ‬, dalam transliterasi ini dilambangkan dengan perulangan

huruf (konsonan ganda) yang diberi tanda syaddah. Contoh:

‫ربَّـنا‬ : rabbanā

‫َنَّيـنا‬ : najjainā

‫احلق‬ : al-ḥaqq

‫احلج‬ : al-ḥajj

‫نـعم‬ : nu’’ima

‫عدو‬ : ‘aduwwun

Jika huruf ‫ ى‬ber- tasydīd di akhir sebuah kata dan didahului oleh huruf

berharkat kasrah ( ‫) ــ‬, maka ia ditransliterasi seperti huruf maddah (ī). Contoh:

‫علي‬ : ‘Alī (bukan ‘Aliyy atau ‘Aly)

‫عرب‬ : ‘Arabī (bukan ‘Arabiyy atau ‘Araby)

6. Kata Sandang

Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf ‫( ال‬alif

lam ma‘arifah). Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang ditransliterasi seperti

biasa, al-, baik ketika ia diikuti oleh huruf syamsiah maupun huruf qamariah. Kata

sandang tidak mengikuti bunyi huruf langsung yang mengikutinya. Kata sandang

xi
ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya dan dihubungkan dengan garis

mendatar (-). Contohnya:

َّ
‫الشمس‬ : al-syamsu (bukan asy-syamsu)

‫الزلزلة‬
َّ : al-zalzalah (bukan az-zalzalah)

‫الفلسفة‬ : al-falsafah

‫البالد‬ : al-bilādu

7. Hamzah

Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (’) hanya berlaku bagi

hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah terletak di awal

kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia berupa alif. Contohnya:

‫َتمرون‬ : ta’murūna

‫النَّوء‬ : al-nau’

‫شيء‬ : syai’un

‫أمرت‬ : umirtu

8. Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia

Kata, istil ah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata, istilah atau

kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata, istilah atau kalimat

yang sudah lazim dan menjadi bagian dari pembendaharaan bahasa Indonesia, atau

sudah sering ditulis dalam tulisan bahasa Indonesia, tidak lagi ditulis menurut cara

transliterasi di atas. Misalnya kata Alquran (dari al-Qur’ān), sunnah, hadis, khusus

dan umum. Namun, bila kata-kata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks

Arab, maka mereka harus ditransliterasi secara utuh. Contoh:

xii
Fī ẓilāl al-Qur’ān

Al-Sunnah qabl al-tadwīn

Al-‘Ibārāt Fī ‘Umūm al-Lafẓ lā bi khuṣūṣ al-sabab

9. Lafẓ al-Jalālah (‫) هللا‬

Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf lainnya

atau berkedudukan sebagai muḍāf ilaih (frasa nominal), ditransliterasi tanpa huruf

hamzah. Contoh:

‫دين للا‬ : dīnullāh

Adapun ta marbūṭah di akhir kata yang disandarkan kepada lafẓ al-jalālah,

ditransliterasi dengan huruf [t]. Contoh:

‫هم ِف رحة للا‬ : hum fī raḥmatillāh

xiii
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Segala Puji dan syukur bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,

karunia, dan hidayah-Nya , sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul LARANGAN PERNIKAHAN “LUSAN” DALAM PERSPEKTIF

HUKUM ISLAM (Study Kasus di Desa Kuto, Kecamatan Kerjo, Kabupaten

Karanganyar) Skripsi ini disusun untuk menyelesaikan Studi Jenjang Strata Satu

(S1) program studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syari’ah Universitas Islam

Negeri Raden Mas Said Surakarta.

Dalam penyusunan tugas akhir ini, penulis telah banyak mendapatkan

dukungan dan bantun dari berbagai pihak ynag telah menyumbangkan waktu,

pikiran, tenaga dan sebagainya. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan

setulus hati penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H. Mudhofir, M. Pd selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri

(UIN Raden Mas Said Surakarta).

2. Dr Ismail Yahya selaku Dekan Faultas Syari‟ah

3. Muh. Zumar Aminuddin, S.Ag., M.H., selaku ketua dan dosen Program

Studi Hukum Keluarga Islam.

4. Diana Zuhroh, M.Ag., selaku sekteratis Program Studi Hukum Keluarga

Islam.

5. Sidik, M.Ag., selaku Dosen Pembimbing Akademik Program Studi

Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syari‟ah

xiv
6. Jaka Susila, M.H, selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah

memberikan banyak perhatian dan bimbingan selama penulis

menyelesaikan skripsi.

7. Seluruh Dosen dan Karyawan Fakultas Syari‟ah UIN Raden Mas Said

Surakarta yang telah memberikan bekal ilmu yang bermanfaat bagi

penulis.

8. Bapak dan Ibu saya yang selalu mendo‟akan, mendidik, mendukung dan

memberikan kasih sayang yang luar biasa yang tidak pernah ada habisnya,

serta seluruh penngorbanan yang tidak dapat dinilai oleh siapapun.

9. Teman-teman almamater angkatan 2017 terutama Kelas HKI C yang telah

memberikan semangat kepada penulis selama penulis menempuh studi di

Faultas Syari’ah UIN Raden Mas Said Surakarta

10. Terhadap semuanya tiada kiranya penulis dapat membalasnya, hanya do’a

serta puji syukur kepada Allah SWT, semoga memberikan balasan

kebaikan kepada semuanya, Aamiin.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Surakarta, 19 Oktober 2021


Penulis

Lichtquelle Resqykha Hamdan


NIM. 17.21.21.119

xv
ABSTRAK

Lichtquelle Resqykha Hamdan, NIM : 17.21.21.119, LARANGAN


PERNIKAHAN “LUSAN” DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Study
Kasus di Desa Kuto, Kecamatan Kerjo, Kabupaten Karanganyar). Pernikahan
dalam Islam memuat kebaikan pada masing-masing insan dimana mencontoh
sunnah yang telah di ajarkan Nabi Muhammad SAW. Begitu juga dengan
pernikahan “Lusan”, dimana masyarakat Desa Kuto, Kecamatan Kerjo, Kabupaten
Karanganyar meyakini bahwa jika melanggar Wewaler (Larangan) tentang aturan
“Lusan” yakni anak nomor satu tidak diperbolehkan menikah dengan anak nomor
tiga, jika hal itu dilanggar atau jika mereka tetap akan melakukannya maka akan
berdampak sial / malapetaka bagi calon kedua mempelai bahkan hingga dipercaya
salah satu dari keduanya akan ada yang meninggal dalam waktu dekat. Yang
menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah faktor apa yang membuat
masyarakat Desa Kuto, Kecamatan Kerjo, Kabupaten Karanganyar takut terhadap
stigma larangan pernikahan Lusan serta Bagaimana perspektif Hukum Islam
dengan adanya Pernikahan Lusan. Penelitian ini bersifat kualitatif Field Research
dengan pendekatan Sosiologis-Historis, yakni penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian misalnya
perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll, secara holistik dan dengan cara deskripsi
yang dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada konteks khusus yang alamiah dan
dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Hasil dari penelitian ini adalah
bahwa Larangan Pernikahan Lusan tidak sejalan dengan konsep Pernikahan yang
diajarkan dalam perspektif Hukum Islam.
Kata Kunci : Hukum Islam, Pernikahan Lusan, Adat

xvi
ABSTRACT

Lichtquelle Resqykha Hamdan, NIM : 17.21.21.119, PROHIBITION OF


“LUSAN” MARRIAGE IN ISLAMIC LAW PERSPECTIVE (Case Study in
Kuto Village, Kerjo District, Karanganyar Regency). Marriage in Islam contains
goodness in each human being by following the sunnah that has been taught by the
Prophet Muhammad. Likewise with the "Lusan" marriage, where the people of
Kuto Village, Kerjo District, Karanganyar Regency believe that if they violate the
Wewaler (Prohibition) regarding the "Lusan" rule, namely child number one, they
are not allowed to marry child number three, if it is violated or if they If you
continue to do so, it will have an unlucky / disastrous impact for the prospective
bride and groom, even to the point that it is believed that one of the two will die in
the near future. The main problem in this study is what factors make the people of
Kuto Village, Kerjo District, Karanganyar Regency afraid of the stigma of the
prohibition of Lusan marriage and How is the perspective of Islamic Law with the
Lusan Marriage. This research is a qualitative Field Research with a Sociological-
Historical approach, namely research that intends to understand the phenomena of
what is experienced by research subjects such as behavior, perceptions,
motivations, actions, etc., holistically and by means of descriptions in the form of
words and phrases. language, in special natural contexts and by utilizing various
natural methods. The result of this study is that the prohibition of marriage after
graduation is not in line with the concept of marriage which is taught in the
perspective of Islamic law.
Keywords : Islamic Law, Lusan Marriage, Custom

xvii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ii
HALAMAN PERNYATAAN BUKAN PLAGIASI iii
HALAMAN NOTA DINAS iv
HALAMAN MOTTO v
HALAMAN PERSEMBAHAN vi
HALAMAN PEDOMAN TRANSLITERASI vii
KATA PENGANTAR xiv
ABSTRAK xvi
ABSTRACT xvii
DAFTAR ISI xviii

BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 7
C. Tujuan Masalah 8
D. Manfaat Penelitian 8
E. Kerangka Teori 8
F. Tinjauan Pustaka 14
G. Metode Penelitian 15
H. Sistimatika Penulisan 19

BAB II LANDASAN TEORI 20


A. Definisi Pernikahan 20
B. Dasar Pernikahan 24
C. Syarat Dan Rukun Pernikahan 39
D. Tujuan Pernikahan 41
E. Hikmah Pernikahan 52

xviii
BAB III PERNIKAHAN LUSAN DI DESA KUTO,
KECAMATAN KERJO, KABUPATEN KARANGANYAR 55
A. Gambaran Umum Desa Kuto 55
1. Letak Geografis 55
2. Luas Wilayah 56
3. Kependudukan 56
4. Kondisi Sosial Ekonomi 56
5. Kebudayaan Dan Adat Desa Kuto 57
B. Pernikahan Lusan 59
1. Pendahuluan 59
2. Pernikahan Pernikahan Lusan 60
3. Sejatah Singkat Pernikahan Lusan 60
4. Proses Terjadinya Pernikahan Lusan 63
5. Syarat Pernikahan Lusan 67
6. Akibat Pernikahan Lusan 69
7. Pandangan Masyarakat Terhadap Pernikahan Lusan 70
8. Faktor Takutnya Masyarakat Terhadap Larangan
Pernikahan Lusan 72

BAB IV PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP


PERNIKAHAN LUSAN 75
A. Takutnya Masyarakat Terhadap Adanya Larangan
Pernikahan Lusan 75
B. Pandangan Hukum Islam Terhadap Pernikahan Lusan 80

BAB V PENUTUP 90
A. Kesimpulan 90
B. Saran 91
DAFTAR PUSTAKA 92

xix
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum perkawinan sebagai bagian dari hukum perdata merupakan peraturan-

peraturan hukum ynag mengatur perbuatan-perbuatan hukum serta akibat-

akibatnya antara dua pihak, yaitu seorang laki-laki dan seorang wanita dengan

maksud hidup bersama untuk waktu yang lama menurut peraturan-peraturan yang

ditetapkan dalam undang-undang. Kebanyakan isi peraturan mengenai pergaulan

hidup suami istri diatur dalam norma-nomra keagamaan, kesusilaan, atau

kesopanan.1 Hukum perkawina secara umum dibagi dalam 2 (dua) bagian, yakni

sebagai berikut :2

1. Hukum Perkawinan, yaitu keseluruhan peraturan-peraturan yang berhubungan

dengan suatu perkawinan, misalnya:hak dan kewajiban suami istri.

2. Hukum kekayaan dalam perkawinan, yaitu keseluruhan peraturan hukum yang

berhubungan dengan harta kekayaan suami istri di dalam perkawinan.

Misalnya tentang harta bawaan masing-masing sebelum menikah.

Di Indonesia pelaksanaan hukum perkawinan masih pluralistis. Artinya di

Indonesia dalam praktiknya masih berlaku tiga macam sistem hukum perkawinan,

yaitu :3

1
Yahya Harahap, “Hukum Perkawinan Nasional”, (Medan; CV Zahir Trading Co, 1985), Hal 8
2
Ali Afandi, “Hukum Waris, Hukum Keluarga, dan Hukum Pembuktian Menurut Undang-Undang
Hukum Perdata”, (Jakarta; Bina Aksara, 1996), Hal 96
3
Titik Triwulan, “Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional” (Jakarta; Kencana Prenada Media,
2008) Hal 97-98

1
2

1. Hukum perkawinan menurut Hukum Perdata Barat/Burgerlijk wetboek (BW),

diperuntukkan bagi WNI keturunan asing atau beragama kristen;

2. Hukum Perkawinan menurut Hukum Islam, diperuntukkan bagi para WNI

keturunan atau pribumi yang beragama Islam;

3. Hukum Perkawinan menurut Hukum Adat, diperuntukkan bagi masyarakat

pribumi yang masih memegang teguh Hukum Adat. Hukum Adat merupakan

kaidah-kaidah yang tidak hanya dikenal, diakui dan dihargai akan tetapi juga

di taati. Hukum Adat juga mempunyai ikatan dan pengaruh yang kuat dalam

masyarakat, kekuatan mengikat tergantung pada masyarakat yangmendukung

adat tersebut terutama berpangkal pada perasaan keadilannya.4

Namun demikian, pada dasarnya Hukum Perkawinan bagi masyarakat asli

yang beragama Islam kebanyakan merupakan perpaduan antara Hukum Islam dan

Hukum Adat. Sedangkan BW diperuntukkan bagi WNI keturunan asing atau yang

beragama Kristen, khususnya kalangan Tionghoa keturunan

Ketentuan tentang perkawinan menurut Hukum Perdata barat sebagaimana

tersebut di atas, sangat berbeda dengan Hukum Islam. Hukum Perdata Barat

sebagaimana tertuang dalam Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

memandang bahwa soal perkawinan hanya merupakan hubungan-hubungan

perdata5 Sedangkan perkawinan dalam Hukum Islam disebut nikah yakni

melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-

laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak,

4
Sigit Sapto Nugroho, “Pengantar Hukum Adat Indonesia”, Cet I, (Kartasura; Pustaka Iltizam, 2016),
Hal 23
5
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Edisi Revisi)”, (Jakarta; PT.
Pradnya Paramita, 1996), Hal 8
3

dengan dasar suka rela dan keridhaan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu

kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketenteraman

dengan cara-cara yang diridhai Allah SWT.

Hal demikian dapat disimpulkan dari firman Allah SWT

َ‫يني َغ ۡۡي‬ ۡ ‫َ ُ َّ َ ُ َّ َ َ ٓ َ َ َٰ ُ ۡ َ َ ۡ َ ُ ْ َ ۡ َ َٰ ُ ح‬
َ ‫ُّمصن‬
‫ي‬ ‫وأحيل لكم ما وراء ذل يكم أن تبتغوا بيأمول يكم‬.....
َ ‫سفيح‬ َ
..... َۚ‫ني‬ ‫ُم َٰ ي‬

“....Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri
dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina....”

Islam merupakan agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Salah satu fitrah

manusia adalah adanya keinginan untuk mendapatkan keturunan yang itu hanya

dapat ditempuh melalui hubungan seksual antara laki-laki dan seorang wanita.

Hubungan dimaksud haruslah merupakan hubungan yang dilakukan sesuai dengan

Hukum Islam sebagaimana tertuang dalam Al-Qur`an, yakni bahwa hubungan

seksual haruslah didasarkan pada ikatan yang sah atau melalui pernikahan.

Hukum Islam menggambarkan sifat yang luhur bagi ikatan yang dijalin oleh

dua orang berbeda jenis yakni ikatan perkawinan. Ikatan perkawinan dalam Hukum

Islam dinamakan dengan mitsaqan ghalidzhan, yaitu suatu ikatan janji yang kokoh.

Oleh karenanya suatu ikatan perkawinan tidak begitu saja dapat terjadi tanpa

melalui beberapa ketentuan.

Dalam masalah pernikahan, Islam telah berbicara banyak hal, dari mulai

bagaimana ketika mencari kriteria bakal calon pendamping hidup, hingga

bagaimana memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam selalu
4

mengajarkan hal-hal yang ma`ruf terlebih mengenai pernikahan, sebab pernikahan

juga merupakan bagian dari sunnah-Nya. Islam meneladankan bahwa dimana

pernikahan itu bertujuan untuk mengahalalkan rasa cinta dari seorang laki-laki dan

perempuan yang sebelumnya bukan termasuk muhrim serta menghalalkan

keduanya dalam menyalurkan syahwatnya.6 Dengan pernikahanlah garis keturunan

manusia akan berlangsung dan bersambung. Tidak diragukan lagi bahwa dengan

keberlangsungannya terdapat suatu pemeliharaan terhadap kelangsungan hidup

manusia7

Ta`rif pernikahan menurut kajian Fiqih ialah akad yang menghalalkan

pergaulan dan membatasi hak serta kewajiban dan juga tolong-menolong antara

seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram8. Sebagaimana

firman Allah SWT

َّ َ ۡ ُ ۡ ۡ َ َ َ ُ َ َ َ ُ َ َ ۡ َ ٓ َ ُ َ َ َ َ ْ ُ َ
َٰ ‫كم م َين ٱلنيساءي مث‬
‫َن وثلَٰث وربَٰعَۖ فإين خيفتم أَل‬ ‫كحوا ما طاب ل‬ ‫فٱن ي‬.....
ً َ ْ ُ َ
٣....... ‫ت ۡعديلوا ف َوَٰح َيدة‬

“.....maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja.....” (QS. An-Nisa: 3)

Pernikahan dalam Islam memuat kebaikan pada masing-masing insan dimana

mencontoh sunnah yang telah di ajarkan Nabi Muhammad SAW. Konsekuensi dari

6
Mulki Suhaini, “Islam dan Kasih Di Dalamnya”, Cet I, (Bandung; Pustaka Media, 2012), Hal 43.
7
Muhammad Nashir, “Budaya, Sosial, Dan Kemasyarakatan Dalam Ajaran Islam, Cet II, (Semarang;
Syauqi Press, 2014), Hal 22.
8
H. Sulaiman Rasjid, “Fiqih Islam”, Cet LXXXIV, (Bandung; Sinar Baru Algesindo, 2018), Hal 374.
5

ikatan pernikahan ini adalah adanya pergantian hak dan kewajiban antara laki-laki

dan perempuan yang akan melangsungkan pernikahan. Oleh karena itu, tidak ada

seorangpun yang hidup di tengah masyarakat melanggar batasan fitrahnya dan tidak

melaksanakan sesuatu yang memang tidak ia mampui.

Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur`an

ۡ َ َ ۡ َ َ َ ۡ َ َ َ َّ َ َ َ َّ َّ َ َ ۡ ٗ َ َ َ ۡ َ ۡ ََ
‫يين حن ييفا َۚ ف يطرت ٱّللي ٱل يت فطر ٱنلاس عليها َۚ َل تبدييل يِلل يق‬
‫فأق يم وجهك ل يل ي‬
َ ََُۡ َ َّ َ َ ۡ َ َّ َٰ َ َ ُ َ ۡ ُ َ َ َّ
‫كن أكَث ٱنل ي‬
٣٠ ‫اس َل يعلمون‬ ‫ٱّللَۚي ذَٰل يك ٱليين ٱلقييم ول ي‬

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui” (QS. Ar-Rum: 30)

Dalil di atas jelas sekali menerangkan bagi setiap yang memiliki akal dan

perasaan bahwa pernikahan di dalam Islam merupakan fitrah manusia. Hal ini

bertujuan agar seorang muslim mampu memikul beban tanggung jawab yang besar

terhadap orang yang memiliki masing-masing hak di saat ia menyambut seruan

fitrah, menerima tuntutan-tuntutan naluri dan menjalankan sunnah kehidupan ini,

juga menimbulkan rasa mawaddah, cinta kasih kepada keluarga. Setiap manusia

memiliki keinginan untuk saling mencintai dan mengasihi orang yang di

dambakannya. Manakala cinta dan kasihnya ini tidak disalurkan, maka ia akan

mencari benda lain atau hal lain untuk menumpahkan cinta dan kasihnya itu. Dalam

hal ini dengan menikah akan menyebabkan cinta dan kasih itu akan tertuang dan

tersalurkan secara benar. Bukan semata kepada isteri dan anak-anaknya, akan tetapi

juga kepada keluarga si isteri dan kerabatnya. Pernikahan pada hakikatnya bukan
6

semata pertemuan antar suami dan isteri saja, namun adalah pertemuan dari dua

keluarga besar. Oleh karena itu dalam Islam di isyaratkan adanya wali nikah. Ini

mempertemukan dua keluarga. Yang menikah bukan semata suami dan istri, akan

tetapi menjadi urusan seluruh keluarga. Ketika dua keluarga sudah bertemu, di

sanalah tempat untuk menuangkan rasa cinta kasih yang sudah menjadi fitrah

manusia.

Allah SWT menciptakan manusia dengan jenis laki-laki dan perempuan supaya

agar mereka cenderung dan mencintai satu sama lain dengan hubungan yang sah.

Di sinilah bagaimana interaksi keduanya yang baik tumbuh dalam sebuah ikatan

pernikahan. Islam selalu menjaga agar tidak terjadinya realitas tentang kekurangan

moral manusia pada budaya yang masuk dalam pernikahan. Terdapat beberapa adat

dalam sebuah pernikahan yang memang sangat bertolak pada ajaran Islam, di lain

sisi hal inilah yang membuat terbatasnya ruang untuk menjalin ikatan pernikahan

disebabkan adanya wewaler (Larangan) dalam adat pernikahan Jawa, sedangkan

Islam sendiri adalah Rahmatan Lilalamin yang secara bahasa adalah rahmat atau

kasih sayang bagi seluruh alam semesta ini dimana Islam tidak membuat norma-

norma sosial yang menghambat laki-laki dan perempuan untuk melangsungkan

pernikahan seperti halnya adat pernikahan di Jawa.

Begitu juga dengan perkawinan “Lusan”, dimana masyarakat Desa Kuto,

Kecamatan Kerjo, Kabupaten Karanganyar meyakini bahwa jika melanggar

Wewaler (Larangan) tentang aturan “Lusan” yakni anak nomor satu tidak

diperbolehkan menikah dengan anak nomor tiga, jika hal itu dilanggar atau jika

mereka tetap akan melakukannya maka akan berdampak sial / malapetaka bagi
7

calon kedua mempelai bahkan hingga dipercaya salah satu dari keduanya akan ada

yang meninggal dalam waktu dekat. Kekhawatiran terhadap Wewaler ini

menyebabkan masyarakat mengeluarkan stigma yang dihubung-hubungkan dengan

hal mistis. Seperti halnya yang terjadi di Wonogiri, khususnya bagi calon pengantin

dimana terdapat Wewaler ketika melewati Gunung Pegat4 maka pengantin tersebut

akan dilanda kerusakan dalam rumah tangga hingga berujung perceraian.

Dengan begitu pernikahan lusan ini akan menjadi trauma batin bagi masyarakat

Desa Kuto dalam ranah pernikahan karena beberapa hal yang menjadi pangkal

kepercayaan yang dimana aturan mengenai Lusan ini menyebabkan munculnya

stigma kejawen bagi masyarakat karena pernikahan Lusan ini berhubungan erat

dengan Kejawen, dan sejatinya dua hal ini tidak dapat dipisahkan mengingat

masyarakat Desa Kuto berada di lingkup kebudayaan Jawa.

Untuk itulah penulis ingin meneliti tentang pernikahan Lusan dalam perspektif

hukum Islam pada proses pernikahan di desa Kuto, Kecamatan Kerjo, Kabupaten

Karanganyar terutama dalam pernikahan adat Jawa. Selain itu juga ingin

mengetahui faktor-faktor apakah yang mempengaruhi paradigma masyarakat

terhadap fenomena pernikahan Lusan tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Faktor apa yang membuat masyarakat Desa Kuto, Kecamatan Kerjo,

Kabupaten Karanganyar takut terhadap stigma larangan pernikahan Lusan ?

2. Bagaimana perspektif Hukum Islam dengan adanya Pernikahan Lusan ?


8

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui mengapa masyarakat Desa Kuto, Kecamatan Kerjo,

Kabupaten Karanganyar takut terhadap stigma larangan Pernikahan Lusan.

2. Untuk mengetahui Pernikahan yang baik dan benar dalam perspektif Hukum

Islam.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Untuk bahan bacaan mengenai pernikahan yang ma`ruf sesuai ajaran

dalam Islam

b. Untuk pertimbangan dan sumbangsih kerangka berfikir pada mahasiswa

Hukum Keluarga Islam

c. Sebagai referensi bagi peneliti-peneliti lain terkait masalah pernikahan

dalam Hukum Islam

2. Manfaat Praktis

a. Untuk memahami bagaimana proses Pernikahan Lusan jika dikaji dalam

perspektif Hukum Islam

b. Untuk memberikan gambaran dan pengetahuan kepada masyarakat

muslim pernikahan yang benar menurut Islam

E. Kerangka Teori

Hukum perkawinan dalam Islam merupakan bagian Integral dari syariat Islam

yang tidak terpisahkan dari dimensi akidah dan akhlak Islami. Atas dasar inilah

Hukum perkawinan dalam Islam ingin mewujudkan suatu perkawinan di kalangan


9

Muslim yang berakhlak. Hal ini disebabkan perkawinan diharapkan dapat memiliki

nilai sakral untuk mencapai tujuan perkawinan yang sejalan dengan syariat.

Sebagaimana laki-laki, perempuan juga merupakan rukun dari perkawinan.

Walaupun pada dasarnya setiap laki-laki Islam dapat menikah dengan perempuan

manapun, namun ada batasan-batasan yang bersifat larangan. Hukum Islam dalam

konteks perkawinan mengenal asas yang disebut asas selektivitas artinya seseorang

yang hendak menikah harus terlebih dahulu menyeleksi dengan siapa boleh

menikah dan dengan siapa dilarang untuk menikah.

Pada dasarnya perkawinan merupakan suatu perbuatan yang didasari atas rasa

suka sama suka atau adanya kerelaan dari masing-masing pihak karena dengan

begitu akan menambah rasa kecintaan terhadap pasangannya. Seperti asas yang

terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan, yakni Asas Sukarela. Dimana suami

dan Istri perlu adanya sifat saling suka dan rela serta saling melengkapi agar dapat

tercapainya kesejahteraan spiritual dan material.

Dalam kaitannya “Pernikahan Lusan” yakni pernikahan yang melarang anak

nomor telu menikah dengan anak nomor pisan (Lusan). Menurut mereka ada

banyak akibat lantaran jika melanggar Wewaler ini. Mulai dari tertimpa

malapetaka/sial hingga hal-hal buruk lainnya. Pakar Psikolog dalam kajiannya

mengungkapkan bahwa Pernikahan Lusan ini secara psikis dapat mempengaruhi

nalar berfikir masyarakat Jawa yang terpaten dalam kehidupan sehari-hari. Dengan

begitu, adat kepercayaan ini akan terpola secara alami dan terjadi secara turun

menurun dan dari mulut ke mulut.


10

Keterkaitan agama Islam dan budaya ini membuat para pakar untuk mengkaji

lebih jauh tentang relasi budaya dan agama, polaritas yang terjadi antara keduanya

memunculkan makna serta sudut pandang yang berbeda-beda seperti halnya

menurut para pakar berikut ini :

1. Badrudin, M.Ag (Dosen IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten)

menjelaskan bahwa Islam berdampingan dengan budaya, Islam juga memberi

warna dalam artian semangat pada sebuah budaya, begitu juga budaya yakni

memberi kekayaan pada Islam, terlebih Islam juga bagian dari bidang yang bisa

dibedakan dengan budaya, namun tidak dapat dipisahkan.9

2. Teori Resepsi Snouck Hurgronje menjelaskan bahwa yang berlaku di Indonesia

adalah hukum adat asli sebagai bentuk wadah budaya, sedangkan Islam

memiliki pengaruh bagi budaya dimana keduanya bisa saling sejalan dan

memiliki pengaruh yang komplek, bagi orang-orang Indonesia asli yang

beragama Islam berlaku hukum Islam yang telah diresepiir dalam hukum

adat10. (Namun teori resepsi dari Snouck Hurgronje tersebut dikecam oleh

Hazairin sebagai “Teori Iblis”)11

3. Selo Soemardjan dalam hal ini juga memaparkan bahwa budaya merupakan

hasil dari rasa, karya serta cipta manusia termasuk agama di dalamnya, dimana

keduanya merupakan entitas yang telah terpola pada masyarakat luas12

4. Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa kebudayaan yang berasaskan agama

9
Badrudin, “Pengantar Studi Kebudayaan”, Cet I, (Banten; Mediapress, 2015), Hal 5
10
Sajuti Thalib, “Receptio A Contrario”, (Jakarta; Bina Aksara, 1982), Hal 15-23
11
Muhammad Daud Ali, “Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Islam”, (Jakarta; Yayasan
Risalah, 1984), Hal 32-33
12
Jaih Mubarok, “Metodologi Studi Islam”, (Bandung; Remaja Rosdakarya, 2000), Hal 9
11

juga akan tetap mengalami liku perubahan yang terjadi pada sebuah paradigma

secara dinamis dari satu waktu ke satu waktu13

Dalam ajaran Islam, jelas memberi “pendidikan moral” yang baik terkait

pernikahan, baik di sini diartikan sebagai transformasi adat atau kebiasaan

masyarakat dimana tidak adanya “pantangan” pada laki-laki dan perempuan yang

sering kali menjadi sebuah polemik bagi mereka yang ingin melangsungkan

pernikahan. Karenanya Pernikahan Lusan jelas tidak sejalan dengan konsep

pernikahan dalam agama Islam, sebab Pernikahan Lusan ini juga bagian dari cara

berfikir masyarakat yang lekat pada kepercayaan-kepercayaan jawa atau kejawen,

cukup sulit jika ingin merubah paradigma masyarakat jawa terhadap Pernikahan

Lusan ini untuk kemudian mentransformasikannya pada tahap modernisasi budaya.

Walaupun sebagian besar masyarakat yang meyakini Pernikahan Lusan tersebut

juga memeluk agama Islam, namun tidak menutup kemungkinan untuk turut yakin

dan mengaplikasikannya sebagai budaya dan adat istiadat setempat walau jelas

mereka tau bahwa Islam tidak mengajarkan hal seperti itu dan juga tidak dapat

dijadikan hujjah terhadap kelangsungan Pernikahan Lusan ini. Sebagaimana dalam

firman Allah SWT :

َ‫كم بَن يني‬ ُ َٰ َ ۡ َ ۡ ‫ُ ۡ َ ۡ َ َٰ ٗ َ َ َ َ َ ُ ي‬ ُ َ ۡ ُ َ َ َ َ ُ َّ َ


‫ج‬
‫ي‬ ‫و‬ ‫ز‬‫أ‬ ‫ن‬‫م‬ ‫م‬ ‫ك‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫ج‬ ‫و‬ ‫ا‬ ‫ج‬ ‫و‬ ‫ز‬‫أ‬ ‫م‬ ‫يك‬ ‫س‬ ‫نف‬ ‫أ‬ ‫ين‬
‫م‬ ‫م‬ ‫ك‬ ‫وٱّلل جعل ل‬
ۡ‫ت ٱ َّّللي ُهم‬ َ ُ ُۡ
ۡ‫ون َوبن يعم‬
َ َ ۡ ََ َ ‫لطي‬
َّ ‫كم م َين ٱ‬ُ ََ َ َ َٗ َ َ َ
‫ي‬ ‫ي‬ ‫ين‬
‫م‬ ‫ؤ‬ ‫ي‬ ‫ل‬
‫ي‬ ‫ط‬
‫ي‬ َٰ ‫ب‬ ‫ل‬ ‫ٱ‬‫ي‬ ‫ب‬‫ف‬ ‫أ‬ ‫ت‬
‫ي‬ َٰ ‫ب‬ ‫ي‬ ‫وحفدة ورزق‬
َ ُ ۡ
٧٢ ‫يَكف ُرون‬

13
Ibid, Hal 34
12

“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan
bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu
rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil
dan mengingkari nikmat Allah?” (QS. An-Nahl: 72)

Ayat di atas menunjukkan bahwa kita sebagai umat muslim tidak sepantasnya

mempercayai bahkan mengimani sesuatu yang bathil, yang bertolak dengan ajaran

Islam, tidak mendatangkan kebaikan dan tidak pula manfaat namun malah

menjadikannya mafsadat yang akan datang kepada mereka hal ini tentunya juga

merujuk pada sebuah pernikahan, yakni terhalangnya laki-laki dan perempuan yang

bukan mahram untuk menikah karena sebab adanya Pernikahan Lusan ini.

Berpijak dari prinsip-prinsip pada Surah an-Nahl tersebut menjadikannya

hitam putih terhadap hal-hal yang baik dan bathil berupa pemberian Allah SWT

yakni rezeki yang baik, namun hal ini seolah tertampik karena adanya pengaruh

budaya yang jelas tidak di ajarkan dalam Islam sehingga memberi konsekuensi

sosial dimana masyarakat akan menganggap ini sebagai kepercayaan dan diyakini

secara luas dalam jangka waktu yang lama. Namun jika kita meleburkan budaya

atau adat dalam ajaran Islam khusunya Pernikahan Lusan, bisa jadi hal ini akan

bertentangan dengan apa yang sudah di sampaikan Rasulullah SAW kepada kita.

Untuk memahami konsep Islam tentang pernikahan, maka rujukan yang paling

sah dan benar adalah sesuai dengan Al-Qur`an dan Hadist, dengan itu maka akan

terurainya kejelasan tentang aspek-aspek pernikahan maupun pergeseran nilai

peernikahan yang terjadi di masyarakat seperti halnya mengenai Pernikahan Lusan

Pernikahan Lusan ini juga menjadi polemik tersendiri bagi masyarakat sekitar

yang tinggal di desa tersebut sebab banyak keluarga yang mengalami kehancuran
13

karena masing-masing individu berjalan tanpa adanya pedoman yang jelas.

Sebagian lagi berpegang pada norma dan adat-istiadat lama yang semakin lama

semakin usang dan tidak mampu menghadapi dinamika zaman. Namun jika mereka

mampu mau menengok kembali pada tuntunan Islam, karena Allah SWT telah

menetapkan aturan dan prinsip-prinsip yang amat berharga bagi umatnya, terlebih

mengenai pernikahan atau rumah tangga.14 Maka dari itu hubungan antara laki-laki

dan perempuan ini perlu adanya pemahaman khusus. Yang pertama : kaum laki-

laki dan perempuan adalah sejenis, bukan dua jenis yang berlainan karena asal-usul

mereka sama yaitu Nabi Adam AS dan istrinya yang merupakan bagian darinya.

Yang kedua : penciptaan laki-laki dan perempuan dalam bentu seperti ini

merupakan salah satu bukti tanda kekuasaanNya. Melalui banyak ayat, Allah SWT

menuntun kita untuk merenungkan penciptaan ini.

Dengan ini makna menikah sebenarnya adalah untuk menimbulkan rasa kasih

sayang (rahmah). Sebagaimana rasa mawaddah, manusia juga mempunyai naluri

untuk menyayangi sesamanya. Sayang (Rahmah), tidak sama dengan mencintai.

Sayang (Rahmah) jauh di atas mencintai. Rasa sayang biasanya muncul dari lubuk

hati yang paling dalam. Ia lahir bukan karena dorongan nafsu seksual, kebutuhan

biologis atau hal-hal lahiriyah lainnya. Ia betul-betul tumbuh dari dalam jiwa

setelah bergaul dan lama mengenal pasangannya. Naluri rasa sayangnya ini akan

ditumpahkan untuk keluarganya terutama untuk istri dan anak-anaknya.

14
Agus Hermanto. “Larangan Perkawinan (Dari Fiqih, Hukum Islam hingga Penerapannya Dalam
Legislasi Perkawinan di Indonesia)”, Cet I, (Yogyakarta; Lintang Rasi Aksara Books, 2016)
14

F. Tinjauan Pustaka

Sebagaimana dalam penulisan karya ilmiah yakni skripsi, penulis akan

memaparkan mengenai penelitian atau kajian yang pernah diteliti terkait

permasalahan yang ditulis dalam skripsi ini, agar terlihat bahwa tidak adanya

pengulangan ataupun plagiasi dari penelitian maupun kajian yang ada sehingga

dalam penulisan skripsi ini bebas dari seputar kesamaan karya ilmiah.

Yang pertama penelitian atau kajian mengenai pernikahan Lusan yang pernah

dibahas sebelumnya yakni oleh Mustopa F B (2019) dalam jurnalnya yang berjudul

“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Larangan Pernikahan Adat Jawa Jilu Studi

Kasus Di Desa Tanggan Kecamatan Gesi Kabupaten Sragen”, secara garis besar

Mustopa F B mengidentifikasikan pernikahan Jilu adalah budaya masyarakat

sekitar yang dipercaya dan diyakini hingga saat ini, dari sudut pandang Hukum

Islam ia mengklasifikasikan beberapa hal terkait siapa saja wanita yang tidak boleh

untuk dinikahi terlepas dari kepercayaan adat daerah yakni pernikahan Jilu.15

Perbedaanya adalah skripsi ini menganalisis poin-poin Fiqih secara spesifik terkait

pernikahan Jilu. Ia juga mengungkapkan dalam kesimpulannya bahwa pernikahan

Jilu terhadap hukum-hukum Islam tidak ada kaitannya, sehingga Al-Qur`an, Hadist

serta kaidah Fiqih tidak mempermasalahkan anak pertama menikah dengan anak

nomor tiga dengan berlandaskan Surah An-Nisa ayat 22-14.

Kedua, adalah skripsi dari UIN Maulana Malik Ibrahim Malang oleh Ayu Laili

Amelia tahun 2014 dengan judul “Upaya Pasangan Jilu Dalam Membentuk

15
Mustopa, F. B. “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Larangan Pernikahan Adat Jawa Lusan Studi Kasus
Di Desa Tanggan Kecamatan Gesi Kabupaten Sragen”. Legitima : Jurnal Hukum Keluarga Islam, Vol. 2, no.
1, Dec. 2019, pp. 40-58
15

Keluarga Sakinah (Studi di Desa Sidorejo Kec Ponggok Kab Blitar)” dari penelitian

Ayu Laili Amelia tersebut masalah yang dikaji adalah upaya pasangan terhadap

pernikahan Jilu dalam membentuk kesakinahan dalam keluarga, menurutnya dalam

tradisi pernikahan Jilu di desa tersebut meskipun masih kental akan kepercayaan

adat setempat namun mereka tetap berupaya berpegang pada al-Qur`an dan Hadist

karena mereka juga meyakini dengan adanya Al-Qur`an dan Hadist mampu

memupuk keluarga yang sakinah di sisi adanya pernikahan jilu tersebut.

Dan yang ketiga adalah jurnal dari IAIN Kediri yang ditulis oleh Topan

Permadi dengan judul “Perspektif Masyarakat Jawa Terhadap Larangan Jilu Dalam

Weton Di Desa Kedungdowo Kecamatan Nganjuk Kabupaten Nganjuk”. Ia

menjabarkan mengenai tanggapan dan cara pandang masyarakat Jawa terhadap

Pernikahan Jilu yang sedang marak terjadi di Kota Nganjuk tersebut khususnya

pada Desa Kedungdowo Kecamatan Nganjuk, jurnal tersebut jika dilihat dari

judulnya telah ada kemiripan mengenai konteks pembahasan / masalah yang dikaji,

yakni tentang pernikahan jilu, namun dalam hal ini Topan Permadi meninjau dalam

perspekti masyarakat Jawa, sehingga penelitiannya lebih dominan pada ranah

sosio-antropologi. Dalam jurnalnya, ia juga menguraikan bahwa Pernikahan Jilu

yang terjadi di Desa Kedungdowo tersebut ada keterkaitannya dengan weton,

dimana penelitian dari Topan Permadi ini ada dalam pembahasan ada kemiripan

dan juga ada perbedaan dari yang penelitian yang telah penulis bahas.

G. Metode Penelitian

Metode dalam penelitian ini digunakan guna pengumpulkan data sebanyak-

banyaknya dalam sebuah penelitian terhadap para narasumber yang berada di


16

lapangan mengenai faktor yang menjadi fokus perhatian peneliti dalam

menganalisa permasalahan yang ada.

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif Field Research dengan pendekatan

Sosiologis-Historis, yakni penelitian yang bermaksud untuk memahami

fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian misalnya perilaku,

persepsi, motivasi, tindakan, dll, secara holistik dan dengan cara deskripsi yang

dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada konteks khusus yang alamiah dan

dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini juga bersifat deskriptif

yakni suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu obyek,

suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada

masa sekarang. Tujuannya guna membuat deskripsi, gambaran atau lukisan

secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta

hubungan antar fenomena yang diteliti

Sedangkan berdasarkan jenis masalah yang diselidiki, teknik dan alat yang

digunakan dalam meneliti serta tempat dan waktu, penelitian dengan

menggunakan penelitian studi kasus yaitu penelitian tentang status subyek

penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari

keseluruhan personalitas. Tujuannya adalah untuk memberikan gambaran

secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter-karakter yang

khas dari kasus di lapangan, ataupun status dari individu, yang kemudian dari
17

sifat-sifat tersebut di atas akan dijadikan suatu hal yang bersifat umum dalam

penelitian yang telah penulis himpun

3. Sumber Data

Karena bersifat deskriptif maka dalam penelitian ini, data diambil dari

berbagai literatur kepustakaan, referensi, ensiklopedi, dokumen atau berbagai

tulisan yang berkaitan dengan tema yang diteliti. Selain sebagai sebuah

penelitian deskriptif maka data lain diperlukan seperti meneliti subyek secara

individu, kelompok, lembaga maupun masyarakat. Dalam penelitian ini,

penulis selain mengumpulkan literatur baik yang terkait secara langsung

maupun tidak langsung dengan tema yang diteliti, penulis menggali data dari

orang-orang yang secara langsung berhubungan dengan subyek penelitian.

Dari data-data yang ada tersebut diharapkan mampu memberikan gambaran

yang utuh terhadap masalah yang diteliti serta mampu menganalisis dengan

baik persoalan-persoalan yang ada terkait dengan penelitian tersebut.

4. Metode Pengumpulan Data

Tahap awal penelitian ini dimulai dengan proses pengumpulan data, dalam

bentuk buku, artikel maupun tulisan yang berkaitan dengan topik penelitian.

Selanjutnya dari bahan-bahan itu dilakukan penyeleksian, sehingga dapat

dikategorikan mana yang termasuk data primer dan mana yang termasuk data

sekunder. Data primer adalah data utama yang menyangkut langsung dengan

kemungkinan untuk menjawab secara langsung berbagai persoalan yang

diteliti. Sedangkan data sekunder adalah sebagai pelengkap diri analisa dan

bersifat sebagai pendukung data primer. Dan juga melakukan pengumpulan


18

data berupa hasil wawancara langsung dengan narasumber sebagai salah satu

tokoh masyarakat yang faham mengenai Pernikahan Lusan dalam ranah

perkawinan adat jawa.

5. Tehnik Analisis Data

Analisis data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan

data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat

dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa

yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat

diceritakan kepada orang lain. Karena termasuk kategori penelitian kualitatif,

yang dimaksudkan adalah data yang disajikan dalam bentuk kata verbal, bukan

dalam bentuk angka. Data dalam bentuk kata verbal sering muncul dalam kata

yang berbeda dengan maksud yang sama, atau sebaliknya.

Dengan menggunakan Field Research atau Penelitian Kualitatif Lapangan,

penulis dapat mengadakan observasi guna mendapat gambaran secara global

mengenai gejala atau fenomena yang terjadi di masyarakat serta penulis dapat

bertemu langsung dengan narasumber atau informan yakni tokoh desa dengan

melakukan interview atau wawancara mengenai Gugon Tuhon dalam perkawinan

“Lusan” pada masyarakat Desa Kuto, Kecamatan Kerjo, Kabupaten Karanganyar

yang mana diharapkan mampu menghasilkan gambaran secara sistematif, akurat

dan aktual terhadap fenomena yang diselidiki. Dari sinilah kemudian diadakan

analisis dengan memadukan data-data dari hasil kerja metode tersebut,

kemudian dilakukan interpretasi terhadapnya untuk menangkap makna dan

hubungan antara mereka dibalik informasi data tersebut.


19

H. Sistematika Penulisan

Dalam hal ini, sistematika pembahasan memuat tentang penjabaran deskriptif

secara garis besar yang terdiri dari bagian awal hingga akhir:

BAB I Pendahuluan berisikan Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan

Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Metode Penelitian, Sistematika

Pembahasan

BAB II Landasan Teori, pada bab ini membahas mengenai tinjauan umum

pernikahan dalam Islam yang secara spesifik dijadikan sebagai landasan dalam

mengemukakan sebuah teori yang terdiri dari Definisi pernikahan, syarat-syarat

pernikahan, dan dasar-dasar pernikahan yakni memuat Al-Qur`an, Hadist, Qoul

Ulama`, dan Qiyas

BAB III adalah deskripsi data dari penelitian, bab ini memaparkan gambaran

umum termasuk profil, kondisi geografis dan demografi desa, juga kondisi

perekonomian di Desa Kuto, Kecamatan Kerjo, Kabupaten Karanganyar yang di

dalamnya masih kental akan budaya Gugon Tuhon termasuk Pernikahan Lusan

yang ada di desa tersebut

BAB IV Analisis masalah terhadap Pernikahan Lusan dalam perspektif Hukum

Islam di tinjau dari berbagai literatur serta pengamatan lapangan

BAB V Kesimpulan dan saran dari keseluruhan masalah yang telah dibahas

pada pokok bahasan di atas.


BAB II
LANDASAN TEORI

A. Definisi Pernikahan

Kata perkawinan menurut istilah Hukum Islam sama dengan kata “nikah” dan

kata “zawaj”. Nikah menurut bahasa mempunyai arti sebenarnya (haqiqat) yakni

“dham” yang berarti menghimpit, menindih atau berkumpul. Secara terminologi,

nikah adalah akad yang ditetapkan syara` untuk membolehkan bersenang-senang

antara laki-laki dan perempuan.16 Nikah juga mempunyai arti kiasan yakni

“wathaa” yang berarti “setubuh” atau “aqad” yang berarti mengadakan suatu

perjanjian pernikahan. Hukum Islam menggambarkan sifat yang luhur bagi ikatan

yang dijalin oleh dua orang berbeda jenis yakni dalam ikatan pernikahan. Ikatan

pernikahan dalam Hukum Islam dinamakan Mitsaqan Ghalidzhan, yaitu suatu

ikatan janji yang kokoh. Oleh karenanya suatu ikatan pernikahan tidak begitu saja

dapat terjadi tanpa melalui beberapa ketentuan.

Al-Qur`an menggolongkan pernikahan juga sebagai perjanjian yang kuat atau

miitsaqan gholidhan sebagaimana firman Allah SWT :

ً َٰ َ ُ َ ۡ َ ََ ۡ َ َٰ َ ۡ ُ ُ ۡ َ َ َۡ ۡ ََ َُ ُ ُ َۡ َۡ ََ
‫َض بعضكم إيَل بع ٖض وأخذن مينكم مييثقا‬ َٰ ‫وكيف تأخذونهۥ وقد أف‬
ٗ َ
٢١ ‫غل ييظا‬
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah
bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-Istri. Dan mereka (Istri-
Istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat” (Q.S. An-Nisa: 21)

16
Sulaiman Al-Muffaraj, “Bekal Pernikahan: Hukum, Tradisi, Hikmah, Kisah, Syair, Wasiat, Kata
Mutiara, (Jakarta; Qisti Press, 2003), Hal. 5

20
21

Dalam kehidupan sehari-hari nikah dalam arti kiasan lebih banyak dipakai

dalam arti sebenarnya jarang sekali dipakai saat ini.17 Rahmat Hakim juga

mendefinisikan kata nikah yakni berasal dari bahasa Arab yaitu nikaahun yang

merupakan masdar atau berasal dari kata kerja (fi`il madhi) nakahan, sinonimnya

tazawwaja.18 Dengan menikah juga menimbulkan rasa mawaddah, cinta kasih

kepada keluarga. Setiap manusia memiliki keinginan untuk mencintai dan

mengasihi orang yang didambakannya. Manakala cinta kasihnya ini tidak

disalurkan kepada orang tertentu, maka ia akan mencari hal lain untuk

menumpahkan cinta kasihnya itu, dengan menikah, cinta kasih itu akan tertuang

dan tersalurkan secara benar.

Pernikahan sebagai suatu perbuatan Hukum, secara universal telah

mendapatkan pengaturan dalam sumber utama Hukum Islam yakni Al-Qur`an dan

Hadist Nabi Muhammad SAW. Ketentuan hukum yang terdapat dalam kedua

sumber tersebut, kemudian mendapatkan ketentuan aplikatifnya melalui sarana

Ijtihad inilah yang dikenal dengan Fiqih yang merupakan hasil pemahaman ulama

yang bersifat pluraristik, sehingga menimbulkan terjadinya beberapa perbedaan.

Hal ini ditunjukkan dengan adanya beberapa madzab besar dikalangan sunni dan

syi`ah. Di antara yang terkenal masih banyak pengikutnya hingga saat ini, yakni

Madzab Maliki, Hanafi, Syafi`i dan Hambali.19

17
Dr. Abd. Somad, “HUKUM ISLAM : Penormaan Prinisp Syariah Dalam Hukum Indonesia”, Cet I
(Jakarta; Kencana, 2010), Hal 272-273
18
Abdul Rahman Al-Jaziri, “Fiqh ala Madhahib Al-Arba`ah”, Juz 4, (Mesir; Maktabah Al-Tijariyah
Al-Qubra, 1969), Hal. 2
19
Abdul Ghofur Anshori, “Hukum Perkawinan Islam” (Yogyakarta; UII Press, 2011), Hal 9
22

Menurut para “Ahli Ushul”, definisi nikah terdapat 4 macam pendapat, yakni

sebagai berikut :

1. Menurut Imam Hanafi arti aslinya adalah setubuh dan menurut arti majazi

(Metaphoric) adalah akad yang dengannya menjadi halal hubungan kelamin

antara pria dan wanita.

2. Menurut Imam Syafii nikah menurut arti aslinya adalah akad yang dengannya

menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita, sedangkan menurut

arti majazi adalah setubuh.

3. Menurut Abul Qasim Azzajjad, Imam Yahya, Ibnu Hazm serta sebagian ahli

ushul dari sahabat Abu Hanifah mengartikan nikah artinya akad dan setubuh.

4. Abu Yahya Zakariya Al-Anshary nikah menurut istilah syara` adalah akad

yang mengandung ketentuan hukum dibolehkannya hubungan seksual dengan

lafaz nikah atau dengan kata-kata yang semakna denganya

Sedangkan menurut pandangan secara umum setidaknya dapat ditelaah dari

beberapa perumusan mengenai pengertian atau definisi pernikahan antara lain :

1. Ahmad Azhar Bashir menjelaskan bahwa Nikah adalah melakukan suatu aqad

atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita

untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar

sukarela dan keridhaan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu

kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan

ketenteraman dengan cara-cara yang diridhai oleh Allah SWT.

2. Mahmud Yunus yakni perkawinan/pernikahan adalah aqad antara calon laki

istri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syariat. Aqad
23

adalah ijab dari pihak wali perempuan atau wakilnya dan kabul dari calon

suami atau wakilnya

3. Sulaiman Rasyid yakni Pernikahan adalah akad yang menghalalkan pergaulan

dan membatasi hak kewajiban serta bertolong menolong antara laki-laki dan

seorang perempuan yang antara keduanya bukan muhrim

4. Soemyati yakni nikah itu merupakan perjanjian perikatan antara seorang laki-

laki dan seorang wanita. Perjanjian di sini bukan sembarang perjanjian tapi

perjanjian suci untuk membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan

seorang wanita. Suci di sini dilihat dari segi keagamaannya dari suatu

perkawinan.

Perbedaan di atas tidak menunjukan pertentangan yang tajam, akan tetapi

hanya terdapat pada perbedaan sudut pandang. Perbedaan itu lebih memperlihatkan

keinginan para perumus mengenai banyaknya jumlah unsur-unsur yang hendak

dimasukkan dalam perumusan di satu pihak, sedang di lain pihak dibatasi

pemasukan unsur-unsur itu dalam perumusan pengertian nikah.

Muhammad Abu Ishrah memberikan definisi yang lebih luas tentang

pernikahan yakni “Pernikahan memberikan faedah hukum diperbolehkannya

mengadakan hubungan keluarga antara pria dan wanita dan mengadakan tolong-

menolong juga memberi batas hak pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi

masing-masing”20.

Berdasarkan pengertian tersebut, pernikahan mengandung aspek hukum,

melangsungkan pernikahan adalah saling mendapat hak dan kewajiban serta

20
Slamet Abidin, “Fiqih Munakahat”, Cet I, (Bandung; Pustaka Setia, 1999), Hal. 37.
24

bertujuan mengadakan hubungan pergaulan yang dilandasi tolong-menolong.

Karena pernikahan merupakan pelaksaan agama, di dalamnya terkandung tujuan

mengharap rida Allah SWT.

B. Dasar-Dasar Pernikahan

Nikah disyariatkan oleh agama sejalan dengna hikmah manusia diciptakan oleh

Allah yaitu memakmurkan dunia dengan jalan terpeliharanya perkembang biakan

umat manusia.21 Para ulama sependapat bahwa nikah itu disyariatkan oleh agama,

perselisihan mereka diantaranya dalam hal hukum menikah. Karena pernikahan

termasuk pelaksanaan agama, maka di dalamnya terkandung adanya tujuan/maksud

mengharapkan keridhaan Allah SWT. Dalil-dalil yang menunjukkan pensyariatan

nikah dan hukumnya antara lain adalah :

1. Al-Qur`an

a. Q.S An-Nur Ayat 32

ۡ ُ َٓ ۡ ُ َ ۡ َ َٰ َّ َ ۡ ُ َٰ َ َٰ ََ ۡ ْ ُ ََ
‫حني مين عيباديكم ِإَومائيك َۚم إين‬ ‫كحوا ٱۡليم مينكم وٱلصل ي ي‬ ‫وأن ي‬
ٞ ‫ّلل َوَٰسيع َعل‬
٣٢ ‫ييم‬ ُ َّ ‫كونُوا ْ ُف َق َرا ٓ َء ُي ۡغنيه ُم ٱ‬
ُ َّ ‫ّلل مين فَ ۡضليهيۦ َوٱ‬ ُ َ
‫ي‬
‫ي‬
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-
orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-
Nya) lagi Maha Mengetahui”

21
Ahmad Rofiq, “Hukum Islam di Indonesia”, (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 1998), Hal 41.
25

Mengacu pada Q.S An-Nur di atas, Imam Ibnu Katsir Rahimahullah

mengatakan, “Ini adalah perintah nikah” sebagian para ulama berpendapat

bahwa hal itu wajib bagi yang sudah berkemampuan untuk menikah.22 Imam

Ibnu Katsir kemudian menukil perkataan sahabat Abu Bakar As-Shiddiq

Radhiyallahu `anhu : “Ta`atilah Allah SWT dalam rangka menjalankan nikah

yang diperintahkanNya, niscaya Allah SWT akan memenuhi apa yang

dijanjikanNya berupa kecukupan rezeki”23. Perintah dalam surah An-Nur

tersebut juga sebagai landasan atau dasar bahwa pernikahan adalah sebagai

upaya ketaatan kita pada Allah SWT Selain dalam Al-Qur`an, dasar mengenai

pernikahan juga di bahas pada sebuah hadist.

b. Q.S Ar-Rum Ayat 21

َ َ َ َ َ ۡ َ ْ ٓ ُ ُ ۡ َ ٗ َٰ َ ۡ َ ۡ ُ ُ َ ۡ ُ َ َ َ َ ۡ َ ٓ َٰ َ َ ۡ َ
‫ومين ءايتيهيۦ أن خلق لكم مين أنفسيكم أزوجا ل يتسكنوا إيَلها وجعل‬
َ َّ َ َ َ َ َٰ َ َّ ً َ ۡ َ َ ٗ َّ َ َّ ُ َ ۡ َ
٢١ ‫ت ل يق ۡو ٖم َي َتفك ُرون‬
ٖ َٰ ‫ٓأَلي‬ ‫يك‬ ‫ل‬ ‫ذ‬ ‫ِف‬‫بينكم مودة ورۡحة َۚ إ ي ي‬
‫ن‬

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu


Istri-Istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir”

َّ ُ ُ َّ َ ْ ُ َّ ُ َّ َ ‫َ َٰٓ َ ح‬
c. Q.S An-Nisa Ayat 1
َ‫كم مين َّن ۡفس َوَٰح َيدة ٖ َو َخلَ َق م ۡينها‬
ُ ََ َ
‫يأيها ٱنلاس ٱتقوا ربكم ٱَّليي خلق‬
ٖ

22
Syaidus Sahar, “Asas-Asas Hukum Islam”, (Bandung; Alumni, 1988), Hal 34.
23
Masduqi Mahfud, “Masalah Hukum Islam”, (Surabaya; Pustakadai, 2003), Hal 22.
26

َ ُ ٓ َ َّ َ َّ ْ ُ َّ َ ٗ ٓ َ َ ٗ َ ٗ َ َ ُ ۡ َّ َ َ َ َ ۡ َ
‫ّلل ٱَّليي ت َسا َءلون بيهيۦ‬ ‫زوجها وبث مينهما ريجاَل كثيۡيا ون يساء َۚ وٱتقوا ٱ‬
ٗ َ ۡ ُ ۡ َ َ َ َ َ َّ َّ َ َ ۡ َ ۡ َ
١ ‫وٱۡلرحام َۚ إين ٱّلل َكن عليكم رقييبا‬

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah


menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
Istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasi kamu”

d. Q.S Al-Baqarah Ayat 221

ۡ‫ مين حم ۡۡش َك ٖة َولَو‬ٞ‫ حم ۡؤم َينة َخ ۡۡي‬ٞ‫ت يُ ۡؤم َّين َو َۡلَ َمة‬ َٰ َّ ‫ت َح‬ َٰ َ ۡ ُۡ ْ ُ َ ََ
‫ك‬ ‫ۡش‬
‫ي‬ َۚ ‫ي‬ ‫وَل تنكيحوا ٱلم ي‬
ٞ ۡ َ ۡ ‫ ح‬ٞ ۡ َ َ َ ْ ُ ۡ ُ َٰ َّ َ َ ۡ ُۡ ْ ُ ُ ََ ۡ ُ َۡ َ ۡ َ
‫ۡشك يني حت يؤمين َۚوا ولعبد مؤمين خۡي مين‬ ‫أعجبتكم وَل تنكيحوا ٱلم ي‬
َ ۡ ‫ّلل يَ ۡد ُع ٓوا ْ إ ي ََل ٱ‬
َّ‫ۡلنةي‬ َ ُ ۡ َ َ َٰٓ َ ْ ُ ۡ ُ َ َ ۡ َ ۡ َ َ
ُ َّ ‫ون إ ََل ٱنلَّار َوٱ‬ ۡ ‫ح‬
‫ي‬ ‫ي‬ ‫ع‬ ‫د‬ ‫ي‬ ‫ك‬ ‫ي‬ ‫ئ‬ ‫ل‬ ‫و‬‫أ‬ ‫م‬ ‫ك‬ ‫ب‬‫ج‬ ‫ع‬‫أ‬ ‫و‬‫ل‬ ‫و‬ ‫ك‬
ٖ ‫ۡش‬
‫م ي‬
َ ُ َّ َ َ َ ۡ ُ َّ َ َ َّ َٰ َ َ ُ ََُ ۡ َ ۡ َۡ َ
٢٢١ ‫اس لعلهم يتذكرون‬ ‫وٱلمغفيرة ي بيإيذنيهيَۖۦ ويب يني ءايتيهيۦ ل يلن ي‬

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka


beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran”

e. Q.S An-Nisa Ayat 22-23

َ َ َّ َ َ َ ۡ َ َ َّ ٓ َ ُ َُٓ َ َ َ َ َ ْ ُ َ ََ
‫ف إين ُهۥ َكن‬
َۚ ‫ل‬ ‫س‬ ‫د‬‫ق‬ ‫ا‬‫م‬ ‫َل‬‫ي‬ ‫إ‬ ‫ي‬ ‫ء‬ ‫ا‬‫س‬‫ي‬ ‫لن‬‫ٱ‬ َ
‫ين‬‫م‬ ‫م‬‫ك‬ ‫وَل تنكيحوا ما نكح ءاباؤ‬
27

ُ ُ َ َ َ ۡ ُ ُ َٰ َ َّ ُ ۡ ُ ۡ َ َ ۡ َ ُ ً ٓ ۡ ٗ َ َٰ َ
ۡ‫كم‬ ‫ ح يرمت عليكم أمهتكم وبنات‬٢٢ ‫حشة َو َمق ٗتا َو َسا َء َسبييَل‬ ‫ف ي‬
ۡ ُ ۡ ُ َ َ َ ‫َ َ َ َ َٰ ُ ُ ۡ َ َ ََّٰ ُ ُ ۡ َ َ َٰ َ َٰ ُ ُ ۡ َ َ َ ُ ۡ َ ي‬
‫ت‬ ‫وأخوتكم وعمتكم وخلتكم وبنات ٱۡلخ وبنات ٱۡلخ ي‬
ۡ‫كم‬ ُ ٓ َ ُ َٰ َ َّ ُ َ َ َٰ َ َّ َ ُ ُ َٰ َ َ َ َ ۡ ُ َ ۡ َ َ ٓ َٰ َّ ُ ُ ُ َٰ َ َّ ُ َ
‫وأمهتكم ٱل يت أرضعنكم وأخوتكم مين ٱلرضعةي وأمهت ن يسائ ي‬
َّ َ ۡ َ َ َٰ َّ ُ ٓ ُ ُ ُ َٰ َّ ُ
‫جوريكم مين ن َيسائيك ُم ٱل يت دخل ُتم ب ي يه َّن فإين ل ۡم‬ ‫َو َر َبَٰٓئ ي ُبك ُم ٱل يت يِف ح‬
ۡ‫ين مين‬ َ ‫َّل‬َّ ُ ُ ٓ َ ۡ َ ُ َٰٓ َ َ َ ۡ ُ ۡ َ َ َ َ ُ َ َ َّ ُ ۡ َ َ ْ ُ ُ َ
‫تكونوا دخلتم ب ي يهن فَل جناح عليكم وحلئيل أبنائيكم ٱ ي‬
ٗ‫ّلل ََك َن َغ ُفورا‬ َ َّ ‫ني ٱ ۡۡلُ ۡخ َت ۡني إ ََّل َما قَ ۡد َسلَ َف إ َّن ٱ‬َ ۡ َ‫ك ۡم َوأَن ََتۡ َم ُعوا ْ ب‬ُ َٰ َ ۡ َ
‫ي‬ ‫ي ي‬ ‫أصلب ي‬
٢٣ ‫ييما‬ٗ ‫َّرح‬

(22) “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh
ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan
itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”
(23) “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-
anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu Istrimu (mertua);
anak-anak Istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari Istri yang telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan Istrimu itu (dan sudah kamu
ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan
bagimu) Istri-Istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”

f. Q.S An-Nahl Ayat 72

ُ َٰ َ ۡ َ ۡ ُ َ َ َ َ َ ٗ َٰ َ َ ۡ ُ ُ َ ۡ ُ َ َ َ َ ُ َّ َ
‫جك م‬‫ي‬ ‫و‬ ‫ز‬ ‫أ‬ ‫ين‬
‫م‬ ‫م‬ ‫ك‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ع‬‫ج‬ ‫و‬ ‫ا‬‫ج‬ ‫ۡو‬ ۡ i‫ز‬‫أ‬ ‫م‬ ‫يك‬
‫س‬ ‫نف‬ ‫أ‬ ‫ين‬
‫م‬ ‫م‬‫ك‬ ‫وٱّلل جعل ل‬
28

َّ ۡ َ ُ ُۡ َ ۡ َ َ َ َّ َ ُ َ ٗ َ
‫يني َو َحف َدة َو َر َزقكم مين ٱلطييبَٰ ي‬
‫ت ٱّللي‬ َ َ َٰ َ ‫بَن‬
‫ت أفب يٱلب يط يل يؤمينون وبين يعم ي‬
َ ُۡ ُ
٧٢ ‫ه ۡم يَكف ُرون‬

“Allah menjadikan bagi kamu Istri-Istri dari jenis kamu sendiri dan
menjadikan bagimu dari Istri-Istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan
memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman
kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?”

2. Hadist

َ ُ ْ َ ُ َ ْ ُ َ َ َّ َ َ َ َ َّ َ َ ُ ُ ْ َّ ُ ْ َ ُ َ َ َّ َ
a. HR. Muslim No 2663
ْ‫ُّمَارب َعن‬ ‫حَد نَا عبيَد اّللي بن معَا َذ حَد نَا أ يد حَد نَا ََُعبَة عن‬
َ‫ي‬
َّ َّ َ َّ ُ ُ َ
ُ‫اّلل‬ َ َ َ ً َ َ ْ ُ ْ َّ َ َ َ َ َّ ْ َ ْ َ
‫جاب ي ير ب ين عب يد اّللي قال تزوجت امرأة فقال يَل رسََول اّللي صَََّلل‬
َ َ ً َ ُ ْ ُ ً َ ْ َ ً ْ َ َ َ ْ َ َ ُ ْ ُ َ ْ َّ َ َ ْ َ َ َّ َ َ ْ َ َ
‫عليَهي وسََلم هل تزوجت قلَت نعم قال أبيكرا أم ثييبَا قلَت ثييبَا قال‬
َ ْ ْ َ ُ ُْ َ َ َ َُْ ُ َ َ َ َ َ َ َ َْ ْ َ َْ َ ََْ
‫ار‬
َ َ‫فأين أنت مين العَذار وليعَابيهَا قال ََُعبَة فذكرته ل يعم يرو ب ين ديين‬
َ ُ َ ُ َ َ ُ َ ُ ً َ َ َّ َ َ َ َ َ َّ َ َ ََ
‫فقال ق ْد َس يم ْع َت ُه م ْين َجاب ي َر ِإَونما قال فهَل جاريية تَلعيبها وتَلعيبك‬
“Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Mu'adz telah
menceritakan kepada kami ayahku telah menceritakan kepada kami Syu'bah
dari Muharib bin Ditsar dari Jabir bin Abdullah dia berkata: Saya menikah
dengan seorang wanita, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bertanya kepadaku: "Apakah engkau telah menikah?" Saya menjawab: Ya.
Beliau kembali bertanya: "Dengan gadis ataukah janda?" Saya jawab:
Dengan janda. Beliau lalu bersabda: "Kenapa kamu tidak memilih gadis
hingga kamu dapat bercumbu dengannya?" Syu'bah berkata: Kemudian saya
mengemukakannya kepada 'Amru bin Dinar Lantas dia berkata: Saya telah
mendengarnya dari Jabir? Hanyasannya dia menyebutkan: Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Kenapa tidak dengan anak gadis
hingga kamu bisa mencuumbunya dan dia mencumbumu?"24

24
Imam al-Mundziri, “Mukhtashar Shahih Muslim”, Cet I, (Jakarta; Pustaka Amani, 2003), Hal 435.
29

b. HR. Muslim No 2491

ْ‫ام بْ ُن أَد َعبَ يد‬ ُ َ َ‫ِ َحَ َّد َ َنَا ه َيش‬ َ ْ َ ْ ُ ْ َ َ َ َّ َ َ ُ ْ ُ ْ َ َ َ َّ َ


‫ِ حَد نَا عبَد اۡل‬
‫ي‬ َ ‫حَد نَا عمرو بن ي‬
َ َ َ َّ َ َ ْ َ َ ُ َّ َّ َ َّ َ ُ َ َّ َ َ ْ َ ْ َ ‫ح‬ َ ْ َ َّ
‫ۡي عن جاب ي َر أن رسَول اّللي صََّلل اّلل عليهي وسَلم رأ‬ ‫اّللي عن أ يد الزب ي‬
َّ‫اج َتَ ُه ُم‬ َ َ‫ب َو ي َ َت ْم َع ُس َمن يي ًََ ًة ل َ َهَا َف َق ََضََ َح‬ ْ ‫ام َرأَةً فََ َأ َى‬
َ َ‫ام َر َأتََ ُه َزيْ َن‬ ْ

ُ ْ َُ َ ْ َ َ ُ ُ ْ ُ َ َ ْ َ ْ َّ َ َ َ َ ْ َ َ َ َ َ
‫ان وتدبير يِف‬ َ ‫خرج إيَل أص َحابيهي فقال إين المرأة تقبيل يِف ص َورة ي ُ َيط‬
َ‫ت أَ ْهلَ ُه فَإ َّن َذل َيك يَ ُر حد ما‬ ْ ْ َ ًَ ْ ْ ُ ُ َ َ َ َْ َ َ َْ َ
‫ََ أحدكم ام َرأة فل َيأ ي‬ َ ‫ورة ي َُيطان فإذا أب‬ َ َ‫ُص‬
‫ي‬ ‫َ ي‬
َ ْ ْ َ ُ ْ َ َّ ُ ْ َ َ َ َّ َ ْ َ ُ ْ ُ ْ َ ُ َ َ َّ َ َْ
ِ ‫سَهي حد نا زهۡي بن حر َب حد نا عبد الصَم يد بن عب يد الواري ي‬ ‫يِف نف ي‬
َّ ْ َ ْ َ ْ َ ْ َ ‫َ َّ َ َ َ ْ ُ ْ ُ َ ْ َ َ َ َّ َ َ َ ُ ح‬
‫ۡي عن جَاب ي ير ب ين عبَ يد اّللي‬ ‫حَد نَا حرب بن أ يد العَا يَلَةي حَد نَا أبو الزب ي‬
َ َ ُ َّ َ َ ْ َ ْ َ َ َ َ ً َ َ ْ َ َ َ َّ َ َ ْ َ َ ُ َّ َّ َ َّ َّ َّ َ
‫أن انل يِب صَََّلل اّلل عليهي وسََلم رأ امرأة فذكر ب ي يمثليهي غۡي أنه قال‬
َ‫ييًَ ًة َول َ ْم َيَ ْذ ُك ْر ُتَ ْدب ُر ِف ُصََورة ي‬ َ ‫ب َو ي َ َت ْم َع ُس َمن‬ ْ ‫َفَ َأ َى‬
َ َ‫ام َر َأ َتَ ُه َزيْ َن‬
‫ي ي‬
‫ان‬ ‫ط‬َ ْ‫َُي‬
َ
“kepada kami Abdul A'la telah menceritakan kepada kami Hisyam bn Abu
Abdullah dari Abu Zubair dari Jabir bahwasanya: Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam pernah melihat seorang wanita, lalu beliau mendatangi
Istrinya, yaitu Zainab yang sedang menyamak kulit, guna melepaskan rasa
rindunya. Sesudah itu, beliau pergi menemui para sahabatnya, lalu beliau
bersabda: "Sesungguhnya wanita itu datang dan pergi bagaikan syetan.
Maka bila kamu melihat seorang wanita, datangilah Istrimu, karena yang
demikian itu dapat menentramkan gejolak hatimu." Telah menceritakan
kepada kami Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Abdush
Shamad bin Abdul Warits telah menceritakan kepada kami Harb bin Abu
'Aliyah telah menceritakan kepada kami Abu Zubair dari Jabir bin Abdullah
bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melihat seorang wanita.
Maka ia pun menyebutkan hadits yang semisalnya. Hanya saja ia
menyebutkan: "Lalu beliau segera mendatangi Istrinya, yaitu Zainab yang
sedang menyamak kulit." Dan ia tidak menyebutkan: "Pergi seperti syetan."
30

c. HR. Tirmidzi No 1019


َ َ ْ ‫اد بْ ُن َزيَْد َع ْن َع ْمرو ب‬ ُ َّ َ َ َ َّ َ ُ َ ْ َ ُ َ َ َّ َ
‫ار ع ْن َجَاب ي ير ب ْ ين‬ َ َ
‫ن‬ ‫يي‬ ‫د‬ ‫ن‬
‫ي ي‬ َ َ‫حَد نَا قتيبَة حَد نَا ۡح‬
َ َ َ َ َّ َ َ ْ َ َ ُ َّ َّ َ َّ َّ ُ ْ َ َ َ ً َ َ ْ ُ ْ َّ َ َ َ َ َّ ْ َ
‫عب يد اّللي قال تزوجت امرأة فأتيت انل يِب صََّلل اّلل عليهي وسَلم فقال‬
ً‫ت ََل بََ ْل ثَيبَا‬ ُ َْ‫ك ًرا أَ ْم ثَي ًبَا َف ُقل‬ْ َ َ َ ْ َ َ ُ ْ ُ َ ُ َ َ َ ْ َّ َ َ َ
‫ي‬ ‫ي‬ ‫أتزوجَت يَا جَابير فقلَت نعم فقَال ب ي‬
َّ َ َّ َّ َ
‫ت يَا َر ُسَول اّللي إين عبْ َد اّللي‬ ُ ْ‫ك َف ُقل‬ َ ُ َ ُ َ َ ُ َ ُ ً َ َ َّ َ َ َ َ
‫فقال هَل جاريية تَلعيبها وتَلعيب‬
َ َ َ َ َ َّ ْ َ َ ُ ُ َ ْ َ ُ ْ َ ً ْ ْ َ َ َ َ ْ َ َ َ َ َ َ َ
‫جًت بيمن يقوم علي يهن قال فدَع يَل‬ ‫ات أو ت يسعا ف ي‬ َ ‫مات وترك سبع بن‬
َ ُ َ َ َ َ ْ ُ ْ ْ ََ ْ َ ْ َُ ْ َ ْ َ َ َ
ََ ‫ب ب ين عجرة قَال أبو عيي‬ َ َ
‫ب وكعَ ي‬ َ َ‫د ب ين كع‬ ‫قَال و يي ابَاب عن أ ي‬
َ َ َ َّ ْ َ ْ َ ُ َ
‫حيح‬ ‫حدييث جاب ي ير ب ين عب يد اّللي حدييث ح َسن ص ي‬

“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada


kami Hammad bin Zaid dari 'Amr bin Dinar dari Jabir bin Abdullah berkata:
"Saya baru saja menikahi seorang wanita. Kemudian saya menemui Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau bertanya: 'Apakah kamu baru saja
menikah wahai Jabir?' Saya menjawab: 'Ya.' Beliau bertanya: 'Gadis atau
janda.' Saya menjawab: 'Janda.' Beliau bertanya: 'Kenapa kamu tidak
menikahi gadis saja. Kamu bisa bermain-main dengannya dan dia bisa
bercanda denganmu.' Saya menjawab: 'Wahai Rasulullah, Abdullah telah
meninggal dan meninggalkan tujuh anak perempuan atau sembilan. Saya
datang (menikahi istrinya) agar bisa mengurus mereka.'" (Jabir bin
Abdullah) berkata: "Kemudian beliau mendoakanku." (Abu Isa At Tirmidzi)
berkata: "Hadits semakna diriwayatkan dari Ubay bin Ka'ab, dan Ka'ab bin
Ujrah." Abu Isa berkata: "Hadits Jabir bin Abdullah merupakan hadits hasan
sahih."

d. HR. Bukhari No 4675


َ ْ ُ ْ َ ُ َ َ َ ْ َ َ ْ َ ْ ُ َّ َ ُ َ َ َ ْ َ َ َ ْ َ َ ْ ُ َ َ َ َّ َ
‫حد نا سعييد ب ُن أ يد مريم أخَبنا ُّممد ب ُن جعف َر أخَبنا ۡحيد ب ُن أ يد‬
ُ َ َ َ َ َ ُ ُ َ ُ ْ َ ُ َّ َ َ َ َ ْ َ َ َ َ َ ُ َّ َ ُ َّ ْ َ ُ
‫ۡحي َد الطوييل أنه سَ يمع أنس بن مال َيك ر يِض اّلل عنه يقول جاء ثَلثة‬
31

َ‫َّ َ َّ َّ ُ َ َ ْ َ َ َّ َ َ ْ َ ُ َ َ ْ َ ي‬ َ ْ َ ُ ‫َر ْهط إ ََل ُب‬


‫ِب صََّلل اّلل عليهي وسَلم سسَألون عن عيبادة‬ ‫يي‬ ‫انل‬ ‫ي‬
‫اج‬ ‫و‬ ‫ز‬ ‫أ‬ ‫وت‬
‫ي‬ ‫ي‬ ‫َ ي‬
َ‫وها َف َقالُوا َو َأ ْين‬َ ‫َّ َ َّ َّ ُ َ َ ْ َ َ َّ َ َ َ َّ ُ ْ ُ َ َ َّ ُ ْ َ َ ح‬
‫ِب صَََّلل اّلل عليهي وسََلم فلما أخ يَبوا كأنهم تقال‬ ‫انل ي ي‬
َْ ََ َ ُ َ َّ َ ُ َّ َّ َ َّ ْ ُ ْ َ
‫اّلل َعليْهي َو َسَل َم ق ْد غ يف َر َُل َما تق َّد َم م ْين ذنبيهي َو َما‬ ‫ِب صََّلل‬ ‫َنن مين انل ي ي‬
ُ‫ُخ ُر َأنَا أَ ُصََوم‬ َ َ َ َ ً َ َ َ ْ َّ َ ُ َ َ َ َّ َ ْ ُ ُ َ َ َ َ َّ َ َ
‫تأخ َر قال أحدهم أما أنا فإ ي يّن أصََ يَّلل الليَل أبدا وقال‬
َ‫جَاء‬ َ َ‫اء فَ ََل َأتَ َز َّو ُج َأبََ ًدا ف‬ َ َ َ َ َ َ ْ ُ َ َ ْ َّ
َ َََ‫ُخ ُر أنََا أ ْع َِ ُل الن ي َس‬ ‫اله َر وَل أف يط ُر وقَال‬
‫ي‬
َ َ َ َ َ ْ ُ ْ ُ َ َّ ْ ُ ْ َ َ َ َ ْ ْ َ َ َّ َ َ ْ َ َ ُ َّ َّ َ َّ ُ ُ َ
‫رسول اّللي صَّلل اّلل عليهي وسلم إيَل يهم فقال أنتم اَّليين قلتم كذا وكذا‬
َ َُ َُْ ُ ُ َ َ ُ َ ْ ُ َ ْ َ َ َّ ْ ُ َ ْ ََ َّ َ َ َ
ُ
‫أما واّللي إ ي يّن ۡلخشَاكم يّللي وأتقاكم َل لك ييَن أصَوم وأف يطر وأصَ يَّلل‬
َ ْ َ َ َّ ُ ْ َ َ َ ْ َ َ َ َ ُ َّ َ َََ ُ ََُْ
‫وأرقد وأتزوج النيساء فمن رغيب عن سن يت فليس م ييَن‬

“Telah menceritakan kepada kami Sa'id bin Amir Abu Maryam Telah
mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ja'far Telah mengabarkan
kepada kami Humaid bin Abu Humaid Ath Thawil bahwa ia mendengar Anas
bin Malik radliyallahu 'anhu berkata: Ada tiga orang mendatangi rumah
Istri-Istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan bertanya tentang ibadah
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan setelah diberitakan kepada mereka,
sepertinya mereka merasa hal itu masih sedikit bagi mereka. Mereka berkata:
"Ibadah kita tidak ada apa-apanya dibanding Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam, bukankah beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu
dan juga yang akan datang?" Salah seorang dari mereka berkata: "Sungguh,
aku akan shalat malam selama-lamanya." Kemudian yang lain berkata:
"Kalau aku, maka sungguh, aku akan berpuasa Dahr (setahun penuh) dan
aku tidak akan berbuka." Dan yang lain lagi berkata: "Aku akan menjauhi
wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya." Kemudian datanglah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada mereka seraya bertanya:
"Kalian berkata begini dan begitu. Ada pun aku, demi Allah, adalah orang
yang paling takut kepada Allah diantara kalian, dan juga paling bertakwa.
Aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur serta menikahi
wanita. Barangsiapa membenci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku."
32

َ‫ان بْ ُن أَد َََُيْ َب َة َح َّد َ َنا َجرير َع ْن ْاۡلَ ْع َم ي َع ْن إب ْ َراهييم‬


e. HR. Abu Dawud No 1750
ُ َ ْ ُ َ َ َّ َ
‫ي‬ ‫ي‬ ‫ي‬ ‫حد نا عثم‬
ُ‫اّللي بْن َم ْسََ ُعوِ بم ًَن إذْ لَقي َيه‬ َّ ْ َ َ َ ْ ََ َ َ َ َ َْ َ ْ َ
‫ي‬ ‫ي‬ ‫ي‬ َ ‫ي‬ ‫د‬
‫ي‬ ‫ب‬ ‫ع‬ ‫ع‬‫م‬ ََ‫ِش‬ ‫ي‬ ‫م‬ ‫ۡل‬ ‫ّن‬
‫عن علقمة ق ي ي‬
‫إ‬ ‫ال‬
َ ََ َ َ َ َ ُ َ ْ َ ْ َ ْ َ َّ ُ ْ َ َ َ َّ َ َ ُ َ ْ َ ْ َ ُ َ ْ ُ
‫عثمان فاستخَله فلما رأ عبد اّللي أن ليست َل حاجة قال يَل تعال‬
َ ْ َّ ْ َ ََ َ َ ُ َ ُ ََ ُ َ ْ ُ َُ َ َ َ ُ ْ َ ُ َ َْ َ َ
‫جًَت فقَال َل عثمَان أَل نزويجَك يَا أبَا عبَ يد الرۡح ين‬ ‫يَا علقمَة ف ي‬
ُ‫ت َت ْع َه ُد َف َق َال َعبْد‬َ ْ‫ك َما ُكن‬ َ ْ َ ْ َ ْ َ ُ ْ َ ُ َّ َ َ ْ َ َ
ََ‫س‬
‫جع إيَلك مين نف ي‬ ‫يِباريي َة بيك َر لعله ير ي‬
ُ ُ َ َ َّ َ َ ْ َ َ ُ َّ َّ َ َّ َ ُ َ ُ ْ َ ْ َ َ َ َ َ ْ ُ ْ َ َّ
‫اّللي لئين قلت ذاك لقد سَ يمعت رسَول اّللي صََّلل اّلل عليهي وسَلم يقول‬
ْ َ ْ ُ َ ْ َ َ َ َ ْ ‫َ ْ ْ َ َ َ ْ ُ ْ ْ َ َ َ َ ْ َ َ َ َّ ْ َ َّ ُ َ َ ح‬
‫َ وأحصن ل يلفر يج‬ ‫من استطاع مينكم اباءة فليِوج فإينه أغض ل يلب ي‬
َ َّ َ َّ َ َ ُ ْ َ
‫الص ْو يم فإين ُه َُل وي َجاء‬‫َو َم ْن ل ْم س َ ْس َت يط ْع مينك ْم ف َعليْهي يب‬
“Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abu Syaibah, telah
menceritakan kepada kami Jarir dari Al A'masy dari Ibrahim dari 'Alqamah,
ia berkata: Sungguh aku pernah berjalan bersama Abdullah bin Mas'ud di
Mina, tiba-tiba ia bertemu dengan Utsman, kemudian ia mengajaknya
menyendiri. Kemudian tatkala Abdullah melihat bahwa ia tidak memiliki
keperluan dengannya ia berkata kepadaku: kemarilah wahai 'Alqamah!
Kemudian aku datang. Kemudian Utsman berkata kepadanya: Maukah kami
menikahkanmu wahai Abu Abdurrahman dengan seorang gadis, agar
kembali kepadamu semangat dan keperkasaanmu seperti dahulu? Kemudian
Abdullah berkata: Jika engkau mengatakan demikian sungguh aku telah
mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa
di antara kalian yang memiliki kemampuan maka hendaknya ia menikah,
karena hal tersebut lebih dapat menundukkan pandangannya dan lebih
menjaga kemaluannya, dan barangsiapa di antara kalian yang belum mampu
maka hendaknya ia berpuasa, karena puasa adalah kendali baginya."
33

3. Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku I (Hukum Perkawinan)

a. Pasal 2

Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat

kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan

melaksanakannya merupakan ibadah

b. Pasal 3

Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang

sakinah, mawaddah, dan rahmah.

c. Pasal 39

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang

wanita disebabkan :

1) Karena pertalian nasab :

a. dengan seorang wanita yangmelahirkan atau yang menurunkannya

atau keturunannya;

b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;

c. dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya

2) Karena pertalian kerabat semenda :

a. dengan seorang wanita yang melahirkan Istrinya atau bekas Istrinya;

b. dengan seorang wanita bekas Istri orang yang menurunkannya;

c. dengan seorang wanita keturunan Istri atau bekas Istrinya, kecuali

putusnya hubungan perkawinan dengan bekas Istrinya itu qobla al

dukhul;

d. dengan seorang wanita bekas Istri keturunannya.


34

3) Karena pertalian sesusuan :

a. dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke

atas;

b. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus

ke bawah;

c. dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke

bawah;

d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;

d. Pasal 40

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang

wanita karena keadaan tertentu:

a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan

pria lain;

b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;

c. seorang wanita yang tidak beragama islam.

Dalam masalah hukum menikah terdapat perselisihan pendapat dalam ahli

Hukum Islam yang terbagi dalam tiga kelompok, yakni hukum menikah adalah

wajib, karena perintah menikah di dalam QS. An-Nisa ayat 3 yang dalam ayat itu

menunjukan kepada perintah wajib. Hal ini berdasarkan pada kaidah bahwa pada

setiap sighat “amar” itu menunjukkan wajib secara mutlak.

Hukum menikah adalah sunnah dan juga dengan berpegangan pada QS. An-

Nisa ayat 3 menunjukkan bahwa jalan halal untuk mendekati wanita itu ada dua

acara; dengan jalan menikah atau dengan jalan tassari yakni memiliki jariyah
35

(budak perempuan). Perbedaan antara keduanya adalah menikah memberikan status

kepada wanita untuk memperoleh dari suami suatu pemberian yang wajar yaitu

suami berkewajiban memberi nafkah istrinya sesuai dengan kedudukannya. Tassari

mewajibkan Jariyyah (budak perempuan) itu berkhidmat kepada tuannya secara

utuh karena seluruh diri pribadinya dimiliki oleh tuannya. Oleh karena tassari tidak

wajib, maka ini menunjukan bahwa menikah hukumnya tidak wajib. Menurut ushul

fiqh, tidak ada pilihan antara wajib dan tidak wajib, karena yang dikatakan wajib

itu suatu yang tidak dapat ditinggalkan, dengan demikian maka hukumnya adalah

sunnah. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad dari

suatu Riwayat.

Hukum menikah adalah mubah, dengan alasan bahwa firman Allah dalam QS.

An-Nisa ayat 3 adalah Allah menyerahkan kepada kita untuk memperoleh wanita

dengan jalan menikah atau tassari, yang menunjukan bahwa kedua jalan itu sama

derajatnya. Menurut Ijma`, tassari hukumnya mubah, karena menikah juga

hukumnya mubah (tidak sunnah) karena tidak ada pilihan antara sunnah dan mubah.

Pendapat ini dipelopori oleh Imam Syafii. Imam Syafii yang menyatakan bahwa

asal hukum nikah adalah jaiz atau mubah, atau dengan perkataan lain seseorang

boleh nikah boleh tidak atau tidak dihukumi orang yang nikah dan tidak pula

dihukumi orang yang tidak nikah. Bertolak pangkal dari jaiz itu dapat berkembang

menjurus ke tingkat yang tinggi yakni wajib melalui sunnah dan dapat pula

menjurus ke tingkat yang rendah yakni haram melalui makhruh. Dalam sistem

hukum syafi`iyah tidak menekankan hanya kepada kaidah hukumnya saja tetapi

juga pada segi agama, pahala, dosa, dan segi Susila-moralnya, sesuai dengan syariat
36

Islam. Lebih lanjut kita tinjau hukum menikah dari kondisi perseorangan dengan

berlandaskan pada kaidah Ushul Fiqh yang berbunyi:

”Hukum itu beredar atau berganti-ganti menurut illah nya, ada illah

menjadikan adanya hukum dan tidak ada illah menjadikannya tidak adanya

hukum”.

Kaidah ini sesudah diterapkan dalam hukum melaksanakan pernikahan ini,

menghasilakan perubahan hukum di atas untuk perbuatan yang sama, yaitu

melaksanakan (suatu) perbuatan tetapi berbeda illah nya mengakibatkan berbeda

pula hukumnya. Hukum menikah ditinjau dari kondisi perseorangan adalah sebagai

berikut :

1. Wajib, terhadap orang yang selalu berkobar-kobar nafsunya terhadap wanita

dan tidak dapat mengendalikannya sedang dia mampu untuk menikah, maka

hukumnya adalah fardlu, karena keadaanya telah meyakinkan bahwa tanpa

menikah dia pasti akan jatuh ke perzinaan. Jika sekadar besar kemungkinannya

atau dikhawatirkan akan jatuh ke perzinaan, maka menurut pendapat golongan

hanafi hukumnya adalah wajib, sedang menurut madzhab lain, kedua macam

kondisi tersebut hukumnya adalah wajib dan tidak ada perbedaan antara fardlu

dan wajib kecuali dalam bab haji. Sebagaimana keterangan Hadist Nabi

Muhammad SAW riwayat jamaah dari Ibnu Mas`ud ia berkata bahwa Nabi

Muhammad SAW bersabda : “Hai golongan pemuda! Bila diantara kamu ada

yang mampu menikah maka hendaklah menikah, karena nantinya matanya

akan lebih terjaga dan kemaluannya akan lebih terpelihara. Dan bilamana ia

belum mampu untuk menikah hendaklah ia berpuasa, karena berpuasa itu


37

ibarat pengebiri”. Dalam kaitannya dengan hal itu Qurthuby berkata: “orang

bujang yang sudah mampu untuk menikah dan takut dirinya dan agamanya jadi

rusak, sedang tak ada jalan untuk menyelamatkan diri kecuali dengan menikah,

maka tak ada perselisihan pendapat tentang wajibnya menikah. Jika nafsunya

telah mendesaknya sedangkan ia tak mampu untuk menafkahi istrinya, maka

Allah nanti yang akan melapangkan rezekinya.” Karena itu hukumnya telah

wajib, maka jika seorang yang berada dalam kondisi demikian melaksanakan

pernikahan, maka akan mendapat pahala, jika tidak menikah maka akan

mendapat dosa baik laki-laki maupun perempuan.

2. Sunnah, terhadap seseorang yang keadaan hidupnya sederhana dan mempunyai

kesanggupan untuk menikah sedang ia tidak khawatir jatuh pada perzinaan.

Jika ia mempunyai keinginan untuk menikah dengan niat memelihara diri atau

mendapat keturunan, maka hukum menikah baginya adalah sunnah. Tetapi

kalau dia tidak berkeinginan untuk menikah sedang ia ahli ibadah, maka lebih

utama untuk tidak menikah. Jika ia bukan ahli ibadah, maka lebih utama

baginya untuk menikah. Menurut Imam Ahmad dari suatu riwayat bahwa

menikah bagi yang tidak berkeinginan untuk menikah walaupun tidak khawatir

jatuh kedalam perzinaan yang oleh karenanya menikah lebih utama dari

ibadah-ibadah sunnah yang lain. Sedang menurut Ibnu Hazm, seorang yang

berada dalam kondisi sebagaimana dijelaskan di atas, maka hukumnya adalah

wajib. Oleh karena hukumnya sunnah maka jika seseorang yang berada dalam

kondisi demikian melaksanakan pernikahan akan mendapat pahala. Jika tidak

menikah atau belum menikah, maka tidak berdosa dan tidak mendapat pahala.
38

Mubah, bagi seseorang (laki-laki) yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang

mewajibkan segera menikah atau karena alasan-alasan yang mengharamkan

untuk menikah.

3. Makhruh, bagi orang yang kalau dia menikah dia khawatir bakal istrinya akan

teraniaya, akan tetapi kalau tidak menikah dia khawatir akan jatuh pada

perzinaan, karena manakala pertentangan antara hak Allah dan hak manusia ,

maka hak manusia diutamakan dan orang ini wajib mengekang nafsunya

supaya tidak berzina. Makruh menikah bagi seseorang yang lemah syahwat nya

dan tidak mampu memberi nafkah istrinyanya, Walaupun tidak merugikan istri,

karena ia kaya dan tidak mempunyai keinginan syahwat yang kuat. Makruh

bagi seseorang yang dipandang dari sudut pertumbuhan jasmani nya telah

wajar untuk menikah walaupun belum sangat mendesak, tetapi belum ada biaya

untuk hidup Sehingga kalau dia kawin hanya akan membawa kesengsaraan

hidup bagi istri dan anak-anaknya. jika seseorang dalam kondisi demikian

menikah, maka tidak berdosa dan tidak mendapat pahala. Jika tidak menikah

karena pertimbangan diatas maka akan mendapat pahala.

4. Haram, bagi orang yang kalau dia menikah dia yakin bahwa perempuan yang

bakal istrinya akan menderita dan teraniaya karena tidak mempunyai mata

pencaharian. Haram bagi seseorang yang tidak mampu memenuhi nafkah batin

dan lahirnya kepada istrinya serta nafsunya pun tidak mendesak. Dalam

kaitanya dengan hal ini Qurthuby berkata: “Bila seseorang laki-laki sadar tidak

mampu menafkahi istrinya atau membayar maharnya atau memenuhi hak-hak

istrinya, maka tidaklah boleh Ia menikah, sebelum ia dengan terus terang


39

menjelaskan keadaannya kepadanya, atau sampai datang saatnya ia mampu

memenuhi hak-hak istrinya. Begitu pula kalau ia karena suatu hal menjadi, tak

mampu menggauli istrinya, maka wajiblah ia menerangkan dengan terus terang

agar perempuannya tidak tertipu olehnya. Haram hukumnya menikah Apabila

seseorang laki-laki hendak menikah dengan seorang wanita dengan maksud

untuk menganiaya atau memperolok-olok atau berakibat secara langsung bagi

penganiayaan terhadap wanita yang bersangkutan menurut perhitungan yang

wajar dan umum. jika seseorang berada dalam situasi yang demikian, maka

berdosa baginya menikah walaupun pernikahannya sah jika telah memenuhi

ketentuan formil yang telah ditentukan. Namun jika dia tidak menikah dengan

maksud karena tidak diizinkan oleh Al-Qur`an, maka akan mendapat pahala.

5. Mubah, pernikahan menjadi mubah (yakni bersifat netral, boleh dikerjakan dan

boleh ditinggalkan) apabila tidak ada dorongan atau hambatan untuk

melakukannya ataupun meninggalkannya sesuai dengan pandangan syari`at

C. Syarat dan Rukun Pernikahan

Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu

pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu,

seperti menutup aurat untuk sholat atau menurut Islam, calon pengantin laki-laki

atau perempuan itu harus beragama Islam.

Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu

pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti
40

membasuh muka untuk wudhu dan takbiratul ihram untuk shalat, atau adanya calon

pengantin laki-laki / perempuan dalam pernikahan.25

Mengenai rukun pernikahan jumhur ulama sepakat bahwa mengenai terdiri

atas:

1. Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan pernikahan.

2. Adanya wali dari pihak calon pemgantin wanita. Bahwa akad nikah akan

dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakilnya yang akan

menikahkannya, berdasarkan sabda Nabi SAW :

َ َ ُ َ َ َ َ ُ َ َ َ ْ َ َ ْ ْ َ ْ َ َ َ َ َ ْ َ ‫َح‬
،‫ فن ياك حها باطيل‬،‫ۡي إيذ ين مو ياَلها فن ياك حها باطيل‬
‫أيما امر أ َة نكحت بيغ ي‬
َ َ َ َ
‫فن ياك ُحها باطيل‬
“Perempuan mana saja yang akan menikah tanpa seizin dari walinya, maka
pernikahannya batal” (Muttaqun Alaih)
3. Adanya dua orang saksi

Pelaksanaan nikah akan sah apabila ada dua orang saksi yang menyaksikan

nikah tersebut

4. Sighat Akad Nikah

Yaitu ijab qabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita,

dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki

Kemudian yang dimaksud dengan syarat-syarat pernikahan adalah dasar bagi

sahnya pernikahan. Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka pernikahan itu sah

dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami Istri.

25
Ahmad Kuzari, “Nikah Sebagai Perikatan”, (Jakarta; RajaGrafindo, 1995), Hal 12
41

Secara garis besar, syarat-syarat sahnya dalam pernikahan itu dibagi menjadi

dua, yakni:26

1. Calon mempelai perempuannya halal dinikahi oleh laki-laki yang ingin

menjadikannya Istri. Jadi, perempuannya itu bukan merupakan orang yang

haram dinikahi, baik karena haram dinikahi untuk sementara maupun untuk

selama-lamanya.

2. Akad nikahnya dihadiri para saksi. Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah

dua orang laki-laki, muslim, baligh, berakal, melihat dan mendengar serta

mengerti (paham) akan maksud akad nikah. Namun menurut golongan Hanafi

dan Hambali, boleh juga saksi itu satu orang laki-laki dan dua orang

perempuan. Kemudian orang tuli, orang tidur dan orang mabuk tidak boleh

menjadi saksi.

Dalam Hukum Islam, penempatan rukun dan syarat terdapat perbedaan

pendapat di kalangan ulama. Akan tetapi, semua ulama sependapat bahwa yang

harus ada dalam pernikahan antara lain akad, laki-laki yang akan menikah,

perempuan yang akan menikah, wali dari mempelai perempuan, saksi yang

menyaksikan akad pernikahan, dan mahar atau mas kawin.27

D. Tujuan Pernikahan

Dalam perspektif Islam, pernikahan memiliki tujuan utama merealisasikan

penyatuan insani antara laki-laki dan perempuan dalam meneruskan (peran)

khilafah, keturunan anak cucu Adam di bumi, mencetak generasi-generasi yang

26
Abdul Rahman Ghazaly, “Fiqih Munakahat”, (Jakarta; Kencana Pranada Media, 2003), Hal 49-50
27
Syarifuddin, “Hukum Perkawinan Islam”, (Semarang; Setiapress, 2007), Hal 23
42

merealisasikan risalah untuk tetap eksis beribadah kepada Allah dan memakmurkan

bumi. Ghayah, tujuan utama ini menjadikan pernikahan sebagai cara, bukan tujuan,

mengikatkannya dengan keyakinan masyarakat, menjadikannya sebagai tatanan

agama, bukan sebagai persoalan pribadi yang tunduk pada kemauan setiap individu.

Juga bukan persoalan sipil yang diatur dengan undang-undang sipil. Ketika

pernikahan menjadi kewajiban agama, ia akan menjadikan kehidupan pernikahan

sebagai bentuk kehidupan suci dimana suami dan istri merasakan kebahagiaan di

dalamnya. Namun, jika pernikahan hanya menjadi sebatas persoalan pribadi atau

perjanjian sipil maka (ikatan) pernikahan akan bisa dilepaskan kapan saja, karena

pasangan suami dan istri menganggapnya sebagai perkara sepele dan mudah

menentangnya.28

Kendati hadaf atau tujuan pernikahan bersifat religi, pernikahan tidak akan

terwujud tanpa melalui tujuan-tujuan duniawi yang memenuhi kebutuhan-

kebutuhan jasmani, jiwa, dan sosial suami-istri sesuai manhaj yang ditetapkan oleh

Allah SWT untuk mewujudkan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat,

keberlangsungan, kekokohan, dan kekuatan masyarakat. Tanpa aturan ini, mungkin

saja tujuan-tujuan insani pernikahan akan runtuh dan hanya menjadi tujuan-tujuan

bersifat materi yang mengalihkan pernikahan dari tabiat insani menjadi hewani

yang hanya sekedar untuk menjalani hubungan seksual dan reproduksi.

Sementara itu, di tengah masyarakat non Islam, pernikahan tidak memiliki

tujuan utama. Pernikahan hanya memiliki tujuan-tujuan duniawi yang selalu

mengalami perubahan berdasarkan keadaan suatu masyarakat dari waktu ke waktu,

28
Hidayatul Anwar, “Perkawinan dan Agama”, Cet III, (Jakarta; Kencanamedia, 2010), Hal 44
43

berdasarkan undang-undang yang ditetapkan oleh masyarakat untuk mengatur

pernikahan, juga berdasarkan individu-individu dan masyarakat, norma, serta

tradisi yang berlaku pada waktu dan tempat tersebut.

Allah mensyariatkan pernikahan, menjelaskan tujuan-tujuan pernikahan,

menentukan cara-caranya dengan kaidah-kaidah yang mengarah pada penjagaan

jiwa, kehormatan, nasab, keberlangsungan keturunan dan membina rumah tangga

yang sakinah dan pernikahan tidak semata-mata dimaksudkan untuk menunaikan

hasrat biologis. Oleh karena itu, Allah SWT menyediakan tempat yang “legal”

untuk terselenggaranya penyaluran tersebut yang sesuai dengan derajat

kemanusiaan. Pernikahan yang diajarkan Islam meliputi multiaspek.

1. Aspek Personal

a. Penyaluran Kebutuhan Biologis

Semua manusia, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai insting

seks, hanya kadar dan intensitasnya berbeda. Dengan pernikahan, seorang

laki-laki dapat menyalurkan nafsu seksualnya kepada seorang perempuan

dengan sah, demikian pula sebaliknya. Pernikahan memenuhi kebutuhan

seksual bagi laki-laki dan perempuan. Allah SWT berfirman:

ُ
ۡ‫يكم‬ ُ َ ْ ُ َ َ ۡ ُ ۡ َٰ َّ َ ۡ ُ َ ۡ َ ْ ُ ۡ َ ۡ ُ َّ ٞ ۡ َ ۡ ُ ُ ٓ َ
َۚ ‫ن يساؤكم حرِ لكم فأتوا حرثكم أّن ُيئتمَۖ وقديموا يۡلنفس‬
َ ۡ ُۡ َ َ ُ ُ َٰ َ ‫َ َّ ُ ْ َّ َ َ ۡ َ ُ ٓ ْ َ َّ ُ ح‬
٢٢٣ ‫ۡش ٱلمؤ يمن يني‬
‫وٱتقوا ٱّلل وٱعلموا أنكم ملقوه وب ي ي‬
“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka
datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu
kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan
bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan
44

menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman”


(Q.S Al-Baqarah: 223)
b. Memperoleh Keturunan

Insting untuk mendapatkan keturunan juga dimiliki oleh laki-laki

ataupun perempuan. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa mempunyai anak

bukan suaru kewajiban, melainkan amanah dari Allah SWT, sesuai dalam

firmanNya :

ُ‫ب ل َيمن س َ َشا ٓ ُء إ َنَٰ ٗثا َو َي َهب‬ ُ ‫َيلُ ُق َما س َ َشا ٓ ُء َي َه‬
َۡ َ ۡ َ َ َ َّ ُ ۡ ُ َّ
‫ي‬ َۚ ‫ت وٱۡل ي‬
‫رض‬ ‫يّللي ملك ٱلسمَٰو َٰ ي‬
ًَۚ ‫ج َع ُل َمن س َ َشا ٓ ُء َعقييما‬ َ ٗ َ ۡ ُ ۡ ُ ُ َُ َۡ َ ُ ‫َ ََ ُٓ ح‬
ۡ ‫ِإَونَٰ ٗثاَۖ َو َي‬ ‫ أو يزويجهم ذكرانا‬٤٩ ‫ل يمن سشاء ٱَّلكور‬

٥٠ ‫يير‬ٞ ‫ييم قَد‬


ٞ ‫إنَّ ُهۥ َعل‬
‫ي‬
(49) “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa
yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa
yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang
Dia kehendaki”
(50) “atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan
(kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa
yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha
Kuasa” (Q.S Asy-Syura`: 49-50)

Sang pecipta mengaitkan keberlangsungan golongan manusia di muka

bumi dengan pernikahan. Keberlangsungan golongan manusia merupakan

salah satu tujuan Sang Pencipta, seperti yang ia firmankan tentang diri-Nya:

َ َ َ َّ ُ َٰ َ ۡ َ ۡ َ َ َ َ َ ُ َ َ َ ۡ َ َّ ُ َ َ ۡ َ ٓ َّ
‫ م جعل‬٧ ‫يني‬ٖ ‫ٱَّليي أحسن ُك َش َء خلقه َۖۥ وبدأ خلق ٱ يْلنس ين مين ط‬
٨ ‫ني‬ ‫ه‬ َّ ‫ن َ ۡسلَ ُهۥ مين ُس َلَٰلَة مين َّمآء‬
‫م‬
ٖ ‫ٖ ي‬ ٖ
(7) “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan
Yang memulai penciptaan manusia dari tanah”
45

(8) “Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina”

Keturunan yang patut memakmurkan, menempati, dan menjadi

khalifah di muka bumi adalah keturunan yang berasal dari pernikahan syar`i,

bukan perzinaan. Sebab, keturunan yang lurus adalah keturunan lahir

melalui pernikahan. Yaitu keturunan yang bertumpu pada pendidikan.

Generasi yang mampu mengemban risalah kehidupan. Generasi yang

mampu membina dan mengembangkan masyarakat, dan memakmurkan

bumi. Sementara keturunan yang lahir melalui perzinaan adalah perubahan

wujud yang mengotori wajah kehidupan, dan menebarkan kebencian di

dalamnya.

2. Aspek Sosial

a. Rumah Tangga Yang Baik Sebagai Fondasi Masyarakat Yang Baik

Dengan pernikahan manusia akan menyatu dalam keharmonisan,

bersatu menghadapi tentangan dalam mengarungi bahtera kehidupan

sehingga akan menghantarkan pada ketenangan beribadah, juga untuk

membentuk keluarga dimana suami dan istri menghabiskan sebagaian besar

kehidupan, menjalankan aktivitas dan memenuhi segala kebutuhan.

Keluarga merupakan batu pertama bagi masyarakat yang menentukan baik

dan buruknya masyarakat itu sendiri. Kebaikan keluarga bergantung pada

kebahagiaan suami dan istri. Bagi para pendukungnya, keluarga bertumpu

pada pernikahan tradisional. Keluarga merupakan satuan sosial yang

penting bagi kebaikan individu dan keselamatan masyarakat.


46

b. Membuat Manusia Kreatif

Pernikahan juga mengajarkan kepada kita tanggung jawab terhadap

segala akibat yang timbul karenanya. Dari rasa tanggung jawab dan kasih

sayang terhadap keluarga timbul keinginan untuk mengubah keadaan ke

arah yang lebih baik dengan berbagai cara. Orang yang telah berkeluarga

selalu berusaha untuk membahagiakan keluarganya. Hal ini mendorong

untuk lebih kreatif dan produktif, tidak seperti pada masa lajang.

3. Aspek Ritual

a. Mengikuti Sunnah Nabi

Nabi Muhammad SAW memerintahkan kepada kita umatnya untuk

menikah sebagaimana disebutkan dalam HR. Bukhari


َ َ ُ ُ ُ ُ َ َ
َ ََ‫وم َوأفْ يط ُر َوأ َصَََّلل َوأ ْر ُق ُد َوأتَ َز َّو ُج الن ي َس‬
َ ‫اء َف َم ْن َرغ‬
ْ‫يب َعن‬ ََ‫ص‬ ‫أ‬ ‫يَن‬
‫ي‬ ‫ل ي‬
‫ك‬
ََ
‫ُس َّن يت فليْ َس م ييَن‬
“tetapi aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur serta
menikahi wanita. Barangsiapa membenci sunnahku, maka bukanlah dari
golonganku”

b. Menjalankan Perintah Allah SWT

Allah SWT menyuruh kepada umatNya untuk menikah apabila telah

mampu. Firman Allah SWT :

ٓ ُ َ َ َ َ ْ ُ َ
…‫اب لكم م َين ٱلن ي َساءي‬ ‫كحوا ما ط‬
‫…فٱن ي‬

“…maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi…” (Q.S An-


Nisa: 3)
47

4. Aspek Moral

Adanya pernikahan manusia dituntut untuk mengikuti aturan atau norma-

norma agama, sedangkan makhluk yang lain tidak dituntut demikian. Jadi,

pernikahan adalah garis demarkasi yang membedakan manusia dengan

makhluk lain untuk menyalurkan kepentingan yang sama. Dan juga menjaga

masyarakat dari kerusakan dan melindungi para pemuda dari penyimpangan.

Sebab, pernikahan itu melindungi (masyarakat) dari tindakan keji, menjaga

akhlak dan nasab. Allah SWT berfirman :

َ‫يني َغ ۡۡي‬ ۡ ‫َ ُ َّ َ ُ َّ َ َ ٓ َ َ َٰ ُ ۡ َ َ ۡ َ ُ ْ َ ۡ َ َٰ ُ ح‬
َ ‫ُّمصن‬
‫ي‬ ‫…وأحيل لكم ما وراء ذل يكم أن تبتغوا بيأمول يكم‬.
َ ‫س يفح‬َ
٢٤ ….َۚ‫ني‬ ‫ُم َٰ ي‬
“…Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri
dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina….” (Q.S An-Nisa: 24)

Maksudnya mengusahakan pernikahan yang Allah SWT halalkan, bukan

perzinaan yang Allah SWT haramkan. Oleh sebab itu, Rasulullah SAW

memerintahkan para pemuda untuk menikah bagi yang mampu.

5. Aspek Kultural

Selain membedakan fitrah manusia dengan hewan, pernikahan juga

membedakan antara manusia yang beradab dan yang tidak beradab, ada juga

antara manusia primitif dan manusia modern. Walaupun di dunia primitif

mungkin terdapat aturan-aturan mereka. Hal itu menunjukkan bahwa kita

mempunyai kultur yang lebih baik daripada manusia-manusia purba atau

primitif.
48

Ny. Soemiati, S.H menyebutkan bahwa tujuan pernikahan dalam Islam

adalah untuk memnuhi hajat tabi`at kemanusiaan, yaitu berhubungan antara

laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang

bahagia, dengan dasar kasih sayang, untuk memperoleh keturunan dalam

masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur oleh syari`ah.

Sedangkan Mahmud Yunus, merumuskan secara singkat tujuan pernikahan

menurut pemerintah yaitu untuk memperoleh keturunan yang sah dalam

masyarakat dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur29

Filosof Islam Imam Al-Ghozali, membagi tujuan dan faedah pernikahan

kepada lima hal sebagai berikut :

a. Memperoleh keturunan yang sah, yang akan melangsungkan serta

mengembangkan keturunan suku-suku bangsa manusia

َ‫ب َنلَا م ۡين أَ ۡز َوَٰج َنا َو ُذر َّيَٰت َنا قُ َّر َة أَ ۡع ُني َوٱ ۡج َعلۡنا‬ َ ُ ُ َ َ َّ َ
ۡ ‫ون َر َّب َنا َه‬ ‫وٱَّليين يقول‬
ٖ ‫ي‬ ‫ي‬ ‫ي‬
َ ‫ل يلۡ ُم َّتقي‬
ً ‫ني إ َم‬
٧٤ ‫اما‬ ‫ي‬

“Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada
kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami),
dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa” (Q.S. Al-
Furqan: 74)

29
Sofyan Hasan, “Dasar-Dasar Memahami Hukum Islam di Indonesia”, (Surabaya; Usaha Nasional,
1994), Hal. 113
49

b. Memenuhi tuntutan naluriah hidup manusia


ُ َ‫ك ۡم َوأ‬
ۡ‫نتم‬ ُ َّ ٞ َ ‫َ ي َّ َ ُ َ َٰ َ ٓ ُ ۡ ُ َّ بي‬
‫لصيام ٱلرفث إيَل ن يسائيك َۚم هن اس ل‬
َ َ ۡ َ ۡ ُ َ َّ ُ
‫أحيل لكم َللة ٱ ي‬
ۡ‫كم‬ ُ ۡ َ َ َ َ َ ۡ ُ َ ُ َ َ ُ َ ۡ َ ۡ ُ ُ ۡ ُ َّ َ ُ َّ َ َ َّ ُ َّ ٞ َ ‫بي‬
‫اس لهن عل يم ٱّلل أنكم كنتم َتتانون أنفسكم فتاب علي‬
ْ ُ ُ َ ۡ ُ َ ُ َّ َ َ َ َ ْ ُ َ ۡ َ َّ ُ ُ َ َ ۡ َ ۡ ُ َ َ َ َ
‫وعفا عنكمَۖ فٱلَٰٔـن ب َٰ يۡشوهن وٱبتغوا ما كتب ٱّلل لك َۚم وُكوا‬
َ‫ِل ۡي يط ٱ ۡۡلَ ۡس َودي مين‬ َ ۡ ‫ِل ۡي ُط ٱ ۡۡلَ ۡب َي ُض م َين ٱ‬
َ ۡ ‫ك ُم ٱ‬ُ َ َ َّ َ َ َ َٰ َّ َ ْ ُ َ ۡ َ
‫وٱۡشبوا حت يتبني ل‬
َ ُ َٰ َ ۡ ُ َ َ َّ ُ ُ َٰ َ ُ َ َ ۡ َّ َ َ َ ْ ‫ۡ َ ۡ ُ َّ َ ح‬
‫لصيام إيَل ٱَل يل وَل تب يۡشوهن وأنتم عكيفون يِف‬ ‫ٱلفج ير م أت يموا ٱ ي‬
َّ ‫ّلل َء َايَٰتهيۦ ل‬
ُ َّ ‫ني ٱ‬ َ ُ َ ۡ َ َ َ َّ ُ ُ ُ َ ۡ
ُ ‫وها َك َذَٰل َيك ُي َب‬ َٰ َ َۡ
‫اس‬ ‫يلن ي‬ ‫ي‬ ‫ي‬ ‫ب‬ ‫ر‬ ‫ق‬ ‫ت‬ ‫َل‬ ‫ف‬ ‫ي‬ ‫ّلل‬‫ٱ‬ ‫ود‬ ‫د‬‫ح‬ ‫ك‬ ‫يل‬ ‫ت‬ ‫د‬
‫ي‬ ‫ج‬
‫ي‬ ‫س‬ ‫ٱلم‬
َ ُ َّ َ
١٨٧ ‫ل َعل ُه ۡم َي َّتقون‬
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan
isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah
pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat
menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf
kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu
benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah
puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka
itu, sedang kamu beri´tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka
janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-
Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa” (Q.S Al-Baqarah: 187)

c. Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan


ٗ َ ُ َٰ َ ۡ َ ُ َ ۡ ُ َ َ َ ُ َ ُ َّ ُ ُ
٢٨ ‫ي يريد ٱّلل أن َيفيف عنك َۚم وخل يق ٱ يْلنسن ضعييفا‬
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan
bersifat lemah” (Q.S An-Nisa: 28)

d. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama yang

besar atas dasar kecintaan dan kasih sayang


50

َ َ َ َ َ ۡ َ ْ ٓ ُ ُ ۡ َ ٗ َٰ َ ۡ َ ۡ ُ ُ َ ۡ ُ َ َ َ َ ۡ َ ٓ َٰ َ َ ۡ َ
‫ومين ءايتيهيۦ أن خلق لكم مين أنفسيكم أزوجا ل يتسكنوا إيَلها وجعل‬
َ َّ َ َ َ َ َ َّ ً َ ۡ َ َ ٗ َّ َّ ُ َ ۡ َ
٢١ ‫ت ل يق ۡو ٖم َي َتفك ُرون‬
ٖ َٰ ‫بينكم م َودة ورۡحة َۚ إين يِف ذَٰل يك ٓأَلي‬
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-
tanda bagi kaum yang berfikir” (Q.S Ar-Rum: 21)

e. Membubuhkan kesungguhan berusaha untuk mencari rezeki yang halal dan

memperbesar rasa tanggung jawab

ْ ُ َ َ ٓ َ َ ۡ َ َٰ َ َ ۡ ُ َ ۡ َ ُ َّ َ َّ َ َ ٓ َ ََ َ َ ُ
‫لر َجال ق ََّٰو ُمون ِ ٱلنيساءي بيما فضل ٱّلل بعضهم ِ بع ٖض وبيما أنفقوا‬ ‫ٱ ي‬
َٰ َّ َ ُ َّ َ َ َ ۡ َ ۡ ٞ َٰ َ َٰ َ َٰ َ َٰ َ ُ َٰ َ َٰ َّ َ ۡ َٰ َ ۡ َ ۡ
‫ب بيما حفيظ ٱّللَۚ وٱل يت‬ ‫مين أمول ي يه َۚم فٱلصل يحت قن يتت حفيظت ل يلغي ي‬
ۡ َ ُ ۡ َ َ َۡ ُ ُ ُ ۡ َ َّ ُ ُ َ َّ ُ َ ُ ُ َ ُ َ َ
‫ۡض ُبوه َّنَۖ فإين‬
‫ي‬ ‫ٱ‬‫و‬ ‫عي‬‫ج‬‫ي‬ ‫ا‬‫ض‬ ‫م‬ ‫ل‬‫ٱ‬ ‫ِف‬
‫ي‬
َّ ‫وه‬
‫ن‬ ‫َتافون نشوزهن فعيظوهن وٱهجر‬
ٗ َ ٗ َ َ َ َ َّ َّ ً َ َّ ۡ َ َ ْ ُ ۡ َ َ َ ۡ ُ َ ۡ َ َ
٣٤ ‫أطعنكم فَل تبغوا علي يهن سبييَل إين ٱّلل َكن عل ييا كبيۡيا‬
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada
Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah
telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu,
maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” (Q.S An-Nisa: 34)
51

Pendapat-pendapat para ahli di atas mengenai tujuan pernikahan secara

keseluruhan, sesuai dengan isyarat Al-Qur`an dalam membicarakan sebuah

penrikahan. Pada dasarnya seluruh tujuan dari pernikahan di atas, bermuara pada

satu tujuan yakni bertujuan untuk membina rasa cinta dan kasih sayang antara

pasangan suami dan istri sehingga terwujudnya ketenteraman dalam keluarga, Al-

Qur`an menyebutnya dengan konsep sakinah, mawaddah, wa rahmah. Hal ini lebih

menyangkut pada upaya uraian sebuah ungkapan “keluarga ideal”, sebagai bagian

terpenting dari potret keluarga ideal sekaligus selaras dengan Al-Qur`an. Untuk

meraih keluarga yang ideal harus dimulai dari sebuah pernikahan yang ideal pula

yakni apabila tujuan dari pernikahan tersebut telah tercapai yakni adanya sakinah,

mawaddah, wa rahmah. Sebuah keluarga bisa dikatakan ideal jika keluarga tersebut

berhasil merangkai tiga konsep tersebut menjadi sebuah fondasi utuh. Sebuah

keluarga hanya sampai pada level sakinah tidak bisa disebut ideal karena keluarga

tersebut hanya akan menjadi keluarga statis dan establised. Ia hanya akan terus-

terusan tenang dan sama sekali tidak mengalami kemajuan dalam menghadapi

perubahan zaman, sebab masing-masing anggotanya selalu merasa cukup dengan

keadaan yang ada. Begitu juga keluarga yang hanya sampai pada level mawwaddah,

keluarga tipe ini memang dipenuhi rasa saling memiliki antar semua anggota

keluarga. Keluarga ini sebenernya sudah mulai dinamis dengan berbagai macam

dorongan untuk mewujudkan keinginannya, meskipun keinginan itu pada awalnya

merupakan sesuatu yang hampir-hampir mustahil. Tetapi jika hanya berhenti

sampai di sini maka keluarga tipe ini rentan terhadap goncangan, jika masing-
52

masing anggota mempunyai rasa memiliki yang overdosis, maka ketika salah satu

anggotanya meninggal maka akan mengalami goncangan.

E. Hikmah Pernikahan

Pernikahan disyariatkan Allah SWT demi keberlangsungan keturunan dan

khilafah dimuka bumi ini, seperti yang Allah SWT firman :

َٗ َ َۡ ٞ َ َ َٰٓ َ َ ۡ َ ‫ۡ َ َ َ ح‬
َۖ ‫ِإَوذ قال ربك ل يلملئيكةي إ ي يّن جاعيل يِف ٱۡل ي‬
…. ‫رض خل ييفة‬

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku


hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi…….” (Q.S Al-Baqarah: 30)

Khalifah yang dimaksud di dalam ayat ini adalah manusia yang saling

menggantikan peran satu sama lain dalam memakmurkandan menghuni bumi.

Allah SWT mensyariatkan dalam pernikahan, menjelaskan tujuan-tujuan

pernikahan, menentukan cara-caranya, mengaturnya dengan kaidah-kaidah yang

mengarah pada penjagaan jiwa, kehormatan, nasab, keberlangsungan keturunan,

membina rumah tangga dimana suami dan istri menemukan kepuasan kebutuhan

jasmani, jiwa, sosial, dan rohani.30

Dalam syariat Allah, pernikahan tegak di atas prinsip keadilan dalam

pemenuhan kebutuhan hak dan kewajiban, juga di atas tujuan-tujuan luhur, meraih

ketenangan dalam hubungan sosial suami dan istri. Oleh sebab itu, pernikahan

menjadi sumber pengembangan kesehatan jasmani dan rohani, dan benteng

pelindung dari segala penyimpangan dan penyakit.

30
Muhammad Nashiruddin, “Tuntunan Pernikahan Islami”, (Jakarta; QisthiPress, 2015), Hal 32.
53

Ada banyak Hadist yang mendorong dalam melakukan pernikahan sekaligus

menjelaskan bahwa pernikahan dapat membantu mewujudkan ketaatan kepada

Allah dan menggapai ridha-Nya, diantaranya :

1. Pertama : Hadist Ibnu Mas`ud R.A, ia berkata, “Rasulullah SAW Bersabda”:


َ َ ُ َ ْ َ ْ َ َ َّ َ َ َ َ َّ َ َ ‫َحَ َّد َ َنَا ُع َم ُر بْ ُن َح ْف يص بْن غ‬
‫اِ حَد نَا أ يد حَد نَا اۡلعم قَال‬ َ َ‫يي‬ ‫ي‬
َ َْ ُ َ‫يَد َقَ َال َد َخ ْل‬ َ ْ ‫الر‬ َ َ‫َحَ َّدثََن ُع َم‬
َّ ‫ار ُة َع ْن َع ْبَ يد‬
‫ت َم َع َعلق َمَة‬ َ ‫ۡحن بْن يَز‬
‫ي ي ي‬ ‫ي‬
ْ‫اّلل َعلَيَهي‬ُ َّ ‫اّللي ُك َّنَا َم َع انلَِّب َصََ ََّّلل‬ َّ ُ ْ َ َ َ َ َّ ْ َ َ َ َ ْ َ ْ َ
‫يي‬ ‫واۡلسََودي ِ عبَ يد اّللي فقَال عبَد‬
َّ َ ُ َّ َّ َ َّ ُ ُ َ َ َ َ َ َ ً ْ َ ُ َ َ ً َ َ َ َّ َ َ
‫اّلل َعليْهي َو َسَل َم يَا‬ ‫ِد َُيًا فقال نلا رسَول اّللي صََّلل‬ ‫وسَلم َُبابا َل ي‬
ُ‫ح َصَن‬ ْ َ‫ِ َّو ْج فَإنَّ ُه أَ َغ حض ل يلْ َب َََ َوأ‬ َ َ‫اع ْاب‬
َ َ ‫اءةَ فَلْ َي‬ َ ََ ْ ْ َ َ َّ َ َ ْ َ
‫ي‬ ‫ي‬ ‫اب من اسَتط‬ ‫معۡشَ الشَب ي‬
َ ُ َ ُ َّ َ ْ َّ ْ َ َ َ ْ َ ْ َ َْ ْ َ َ ْ َْ
‫ي‬
‫ل يلفر يج ومن لم سست يطع فعليهي بيالصوم فإينه َل ويجاء‬
“Telah menceritakan kepada kami Amru bin Hafsh bin Ghiyats Telah
menceritakan kepada kami bapakku Telah menceritakan kepada kami Al
A'masy ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Umarah dari Abdurrahman
bin Yazid ia berkata: Aku, Alqamah dan Al Aswad pernah menemui Abdullah,
lalu ia pun berkata: Pada waktu muda dulu, kami pernah berada bersama Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam. Saat itu, kami tidak mempunyai sesuatu pun,
maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada kami: "Wahai
sekalian pemuda, siapa diantara kalian telah mempunyai kemampuan, maka
hendaklah ia menikah, karena menikah itu dapat menundukkan pandangan,
dan juga lebih bisa menjaga kemaluan. Namun, siapa yang belum mampu,
hendaklah ia berpuasa, sebab hal itu dapat meredakan nafsunya." (HR.
Bukhari No 4678)

Hadist ini menunjukkan bahwa pernikahan membantu pelakunya menjaga

diri, menjaga seluruh anggota tubuh dari zina mata dan zina kemaluan.
54

2. Kedua : Sabda Nabi Muhammad SAW ketika menjelaskan apa yang


mendatangkan pahala bagi seorang hamba dan kebaikan di catat untuknya :

َ َ َ ْ ُ َ َ ْ ُ َ
‫و يف بضعي أح يد كم صدقة‬

“Dalam kemaluan seseorang di antara kalian ada sedekah”


ْ َ َ ُ
‫( بُضَعي‬l-budhu`) berasal dari kata ‫المبا ضَ َعة‬ (Al-mubadha`ah) yang berarti

hubungan badan.

Dalam hal ini para sahabat pun bertanya “Wahai Rasulullah! Apakah bila

seseorang di antara kami melampiaskan syahwatnya maka ia mendapatkan

pahala karenanya?” Kemudian beliau menjawab “Katakam kepadaku jika ia

melampiaskan secara haram, apakah ia mendapat dosa? Demikian halnya jika

ia melampiaskannya secara halal, ia mendapat pahala karenanya”.

Hadist ini merupakan puncak kejelasan inti yang dimaksudkan dalam

bahasan ini dan pernikahan bukanlah perkara mubah yang melalaikan.

Pernikahan adalah perkara mubah yang mendekatkan diri kepada Allah SWT.
BAB III
PERNIKAHAN LUSAN DI DESA KUTO,
KECAMATAN KERJO, KABUPATEN KARANGANYAR

A. Gambaran Umum Desa Kuto

1. Letak Geografis

Terletak di kawasan dataran tinggi dekat dengan lereng gunung Lawu,

Desa ini dulu bernama “Kutho” yang berarti Kota (dalam Bahasa Indonesia),

sebab penduduk atau warga terdahulu menyebut dengan ejaan Jawa Kuno.

Namun seiring berjalannya zaman dari masa ke masa pengejaan “Kutho”

mengalami transformasi kata, yakni dihilangkannya huruf “H” pada ejaan

“Kutho” sehingga penduduk serta masyarakat umum mengenalnya dengan

Kuto. Disebut Kuto karena wilayah ini merupakan pusat keramaian di

Kecamatan Kerjo, Kabupaten Karanganyar seperti halnya pada sektor

perekonomian yakni Pasar Jamus tepatnya pasar ini terletak di Jalan Jamus-

Karanganyar, Pasar Jamus yang berdiri di tengah Desa Kuto ini menjadikannya

ikon tersendiri bagi penduduk di Desa Kuto tersebut. Desa Kuto juga

merupakan salah satu desa yang berbatasan langsung dengan Kabupaten

Sragen yakni di sebelah utara desa, Desa Kuto juga termasuk salah satu desa

yang jauh dari pusat keramaian kota. Dengan tingkat ketinggian yang bisa

dibilang belum terlalu tinggi namun sudah terasa suasana sejuk dengan

intensitas suhu udara 21° C. Terletak sekitar 32 Km dari Kota Surakarta dan

perlu hampir 1 jam perjalanan bila ditempuh dengan kendaraan. 18 Km untuk

55
56

jarak dari Ibukota Kabupaten Karanganyar dan 135 Km untuk jarak dari

Ibukota Provinsi Jawa Tengah.

2. Luas Wilayah

Desa Kuto memiliki luas wilayah seluas ± 635,3320 Ha. yang sebagian

besar merupakan dataran, terdiri dari area persawahan 123,5375 Ha, Tanah

kering 160.0640 Ha yang terbagi antara lain pekarangan/bangunan 143.4825

Ha, tegal kebun 16.1815 Ha.

3. Kependudukan

Dalam suatu wilayah, pasti ada suatu kelompok yang mendiami satu

wilayah geografis yang sering disebut dengan penduduk. Di negara Indonesia

ini setiap satu cakupan dari yang terkecil haruslah memiliki data siapa saja

penduduk yang mendiami wilayah atau tempat tersebut.

Penduduk juga membawa suatu perubahan arah dalam membangun suatu

wilayah. Terlebih adanya kependudukan merupakan suatu intervensi manusia

terhadap alam lingkungannya, baik lingkungan alam fisik, maupun lingkungan

sosial budaya. Jumlah penduduk yang ada di Desa Kuto yakni Laki-laki 3086

Orang dan Perempuan 3193 Orang jadi total keseluruhan penduduk Desa Kuto

yakni 6279 Orang

4. Kondisi Sosial Ekonomi

Penduduk masyarakat Desa Kuto memiliki kehidupan sosial ekonomi

yang sangat bergantung pada sumber daya alam terutama sawah dan hutan

(karena Desa Kuto merupakan desa yang dikelilingi oleh Hutan karet). Oleh
57

karena itu kesejahteraan penduduk masyarakat Desa Kuto juga sangat

bergantung pada kebijakan pemerintah Kabupaten Karanganyar dalam

pengelolaan Sumber Daya Alam. Pengembanga perekonomian di Desa Kuto

adalah pengembangan daerah dengan cara memanfaatkan sumber daya yang

dimiliki oleh Desa Kuto.

Sebagai bagian dari pembangunan perekonomian, Desa Kuto juga

memiliki keterkaitan dengan pengembangan ekonomi lokal. Pemerintah daerah

dan pihak terkait lainnya dituntut secara bersama-sama untuk mampu

mengelola daerahnya sendiri dan mengubah potensi lokal yang dimiliki

menjadi kekuatan ekonomi daerahnya. Dengan ekonomi daerah yang kuat

tentunya dapat menjadi sumber pertumbuhan dan perbaikan kualitas hidup

masyarakat tersebut. Sehingga pengembangan ekonomi likal harus

dilaksanakan secara terukur, terencana, dan berkelanjutan.

5. Kebudayaan dan Adat Desa Kuto

Diakui secara umum bahwa kebudayaan merupakan unsur penting dalam

proses pembangunan suatu bangsa. Lebih-lebih jika bangsa itu sedang

membentuk watak dan kepribadiannya yang lebih dengan tantangan zamannya.

Menurut Langeveld kebudayaan juga dipandang sebagai sebagai tata nilai,

seorang individu dalam masyarakat atau masyarakat itu sendiri berbuat

sesuatu, karena sesuatu itu bernilai atau berguna bagi kehidupannya. 31 Sebab

kebudayaan di patri sebagai cara berfikir sekelompok orang dalam satu tempat.

31
I Made Suru, “Selintas Budaya Indonesia”, Cet II, (Yogyakarta; Pusara Tamsis, 1996), Hal 24.
58

Adat yang terdapat di desa sebenarnya merupakan perwujudan dari suatu

kebutuhan hidup masyarakat tradisional yang nyata serta merupakan

pandangan hidup secara keseluruhan yang bersumber dari fenomena yang

terjadi secara meluas.32

Desa Kuto juga merupakan bagian salah satu daerah atau kawasan yang

turut eksis pada tahap mobilitas desa dengan tetap mempertahakankan kearifan

lokalnya, yakni budaya jawa yang diwariskan secara turun temurun mulai dari

kesenian adat, pernikahan, hingga kepercayaan yang sangat diyakini oleh

penduduk atau masyarakat sekitar.

Suronan merupakan adat yang masih dilakukan hingga saat ini. Acara

Suronan merupakan acara tirakatan yang dilakukan pada malam suro, tepatnya

pada malam tahun baru Islam.33 Sebagian besar masyarakat Desa Kuto yang

turut melaksanakan Suronan ini meyakini bahwa tradisi ini akan membawa

perubahan ke arah yang lebih baik. Di lain itu Adat suronan ini sebagai ucapan

rasa Syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat yang diberikan dan juga

dilakukan semata-mata untuk bertawassul dengan Allah SWT.

Dengan adanya Suronan ini, mayoritas masyarakat Desa Kuto tidak berani

untuk meninggalkan tradisi tersebut, sebab selain sebagai ucapan rasa Syukur

kepada Allah SWT. Masyarkat juga menghormati apa yang sudah leluhur

wariskan sebagai bentuk untuk menghindarkan dari segala balak

32
Sri Warjiyati, “Ilmu Hukum Adat”, Cet I, (Yogyakarta; IKAPI, 2020), Hal 18
33
Lutfhi Samudro, “Mandala Berbudaya”, (Magelang; Pustaka Rumah, 2020), Hal 35
59

Selain suronan, Desa Kuto memiliki adat reog, yang secara garis besar

mirip dengan reog khas ponorogo, namun dalam hal ini lebih disederhanakan

ikon-ikon atau part dalam bermain reognya, seperti tidak adanya Singo Barong

yakni penari yang menggunakan topeng singa atau macan dengan hiasan bulu

merak disekitarnya hingga mirip kipas raksasa.

Pernikahan juga merupakan salah satu unsur adat yang ada di Desa Kuto,

kentalnya kebudayaan Jawa di Desa Kuto menyebabkan munculnya klaster-

klaster adat yang terjadi dalam satu wilayah dan diyakini secara turun menurun

khususnya oleh masyarakat Desa Kuto secara menyeluruh. Adat pernikahan

yang mereka yakini berupa kecocokan pasangan yang dihitung berdasarkan

hitungan-hitungan Jawa dan perihal nasib baik buruk yang akan ditimpa calon

pengantin. Meskipun adat tersebut bukan merupakan hukum tertulis namun

mereka mempercayai dan meyakini secara mutlak, sebab munculnya adat yang

demikian karena proses interaksi budaya yang sudah ada sejak zaman dahulu

secara meluas, hingga telah menjadi urat budaya pada masyarakat Desa Kuto

B. Pernikahan Lusan

1. Pendahuluan

Belum ada literer yang khusus membahas seputar mengenai Pernikahan

Lusan secara spesifik. Kajian pernikahan Lusan dalam sumber lain bernama

Pernikahan Jilu, yang masih semakna dengan Pernikahan Lusan, Hanya saja

berbeda dalam penyebutannya. Sebagian besar sumber yang sudah penulis

himpun hanya membahas berupa pengaruhnya dalam berbagai lini pernikahan.


60

Hal ini yang membuat penulis sulit untuk menelaah beberapa sumber literer

yang membahas mengenai Pernikahan Lusan.

Informasi yang didapat dalam tulisan ini mengenai Pernikahan Lusan

seluruhnya diperoleh dari hasil wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat

Desa Kuto yang memahami dan turut dalam menjalankan adat Pernikahan

Lusan ini. Wawancara dengan informan dalam penelitian ini menggunakan

sampel acak.

2. Pengertian Pernikahan Lusan

Pernikahan Lusan merupakan pernikahan adat yang terdapat di beberapa

daerah Jawa khususnya pada masyarakat provinsi Jawa Tengah, Sesuai

namanya, Lusan sendiri merupakan singkatan Lu yang berarti telu (tiga) dan

San yang berarti pisan (pertama). Dimana dalam pernikahan ini terdapat unsur

adat yakni wewaler (larangan yang tidak boleh dilanggar) berupa “bocah

nomer telu ora oleh rabi karo bocah nomer siji” (anak nomor tiga tidak

diperkenankan menikah dengan anak nomer satu.34

3. Sejarah Singkat Pernikahan Lusan

Keberadaan Desa Kuto, Kecamatan Kerjo, Kabupaten Karanganyar yang

berada pada wilayah Jawa Tengah menjadikan Desa ini memiliki banyak sifat

pluralistik budaya khususnya Adat Jawa, dimana secara tidak langsung Desa

Kuto menjadi tempat berkembangnya budaya Jawa secara masive. Kenyataan

34
Wawancara dengan mbah siswo wagiyo pukul 13.46 pada tanggal 15 Juli 2021 di kediamannya, Desa
Kuto, Kecamatan Kerjo, Kabupaten Karanganyar.
61

tersebut dapat dilihat dalam tingkah laku dan perbuatan yang sudah biasa

dilakukan oleh masyarakat35.

Masyarakat Desa Kuto yang masih lekat akan budaya Jawanya sangat

berhati-hati terhadap sesuatu yang bersifat mudharat atau bahaya, dalam ranah

kepercayaan adat Jawa. Hal ini yang mendasari munculnya banyak pengaruh-

pengaruh adat dari warisan pendahulu atau nenek moyang, seperti perhitungan

weton dan nasib hingga perhitungan yang digunakan untuk laki-laki dan

perempuan yang akan menikah, antara mereka akan baik pernikahannya atau

malah sebaliknya.

Adat yang berlaku di Desa Kuto yang disematkan pada sebuah pernikahan

bukan serta merta ada, dibuat dan langsung ditaati, melainkan berdasarkan

banyaknya kejadian secara bertahap yang menimpa anak nomor pertama dan

nomor tiga yang melangsungkan pernikahan, dari kejadian tersebut sehingga

muncullah stigma-stigma baru yang dihubungkan dengan hal-hal mistis.

Banyaknya peristiwa dari masa lampau itulah mengapa pernikahan menjadi

dasar terbentuknya sebuah kepercayaan yang menjadi adat dalam skala luas

pada masyarakat Desa Kuto.

Fenomena kepercayaan yang telah membentuk pola adat ini secara umum

diterima dan dijalankan secara khidmat oleh masyarakat Desa Kuto. Sebab

selain menjunjung tinggi adat Jawa masyarakat Desa Kuto juga takut jika

nantinya terjadi sesuatu buruk yang menimpanya.

35
Teuku Muttaqin Mansur, “Hukum Adat Perkembangan dan Pembaruannya”, Cet I, (Banda Aceh;
Syiah Kuala, 2018), Hal 44.
62

Dengan sifatnya yang tidak tertulis, adat Lusan ini memiliki peraturan

hidup yang meskipun tidak ditetapkan secara aturan sipil, namun ia tetap m

enjadi acuan hukum yang ditaati serta didukung oleh masyarakat Desa Kuto

dengan segenap keyakinan mereka bahwa aturan tersebut memiliki pengaruh

yang kuat dalam kelangsungan hidup mereka.

Menurut mbah siswo wagiyo36 selaku sesepuh Desa Kuto yang masih

menjadi “rujukan” masyarakat dalam berbagai urusan adat Jawa, menjelaskan

bagaimana adat Pernikahan Lusan ini ada37. Beliau mengisahkan bahwa

dahulunya Desa Kuto pernah disinggahi oleh salah satu abdi dalem Karaton

Kasunanan Surakarta yang kala itu Karaton masih menjadi sebuah kerajaan

yang aktif. Karaton Kasunanan Surakarta selain memiliki hukum atau aturan

tersendiri dalam menjalankan adat istiadatnya, mereka juga banyak merujuk

pada kitab-kitab karangan seseorang yang dipercaya, termasuk kitab milik para

pujangga Karaton. Dan abdi dalem yang singgah di kawasan Desa Kuto

tersebut adalah orang yang mahir memaknai hakikat kitab Jawa klasik dalam

berbagai urusan, salah satunya adalah mengenai pernikahan dengan cara

mengamati kondisi sosiologi masyarakat wilayah Desa Kuto saat itu.

Fenomena-fenomena buruk pernikahan yang terjadi di Desa Kuto sedikit

demi sedikit di amati oleh abdi dalem tersebut, dengan berbagai pertimbangan

dan perhitungan, ia merenung dan melakukan “tirakat batiniyah” untuk

36
Warga Desa Kuto, Kecamatan Kerjo, Kabupaten Karangayar. Berumur 68 Tahun. Beliau adalah salah
satu tokoh Masyarakat Desa Kuto yang masih nguri-uri adat Pernikahan Lusan di sana. Hal ini dikarenakan
beliau meneruskan amanah yang sebelumnya di jalankan oleh ayahnya sebagai orang yang dianggap betul-
betul faham mengenai adat Pernikahan Lusan.
37
Wawancara dengan mbah siswo wagiyo pukul 13.46 pada tanggal 15 Juli 2021 di kediamannya, Desa
Kuto, Kecamatan Kerjo, Kabupaten Karanganyar.
63

membuka mata hati agar terbentuknya paradigma keyakinan tentang

pernikahan apa saja yang tidak boleh dilakukan.

Pada dasarnya kondisi masyarakat Desa Kuto kala itu masih jauh dari kata

modern, semuanya masih serba tradisional, belum mampu untuk mengambil

langkah hukum dalam memutuskan keputusan adat kecuali dari orang-orang

yang dianggap mampu atau dipercaya sebagai “wong pinter” di Desa tersebut.

Maka dari itu Pernikahan Lusan yang telah di maknai oleh abdi dalem tersebut

secara langsung sambut baik oleh masyarakat Desa Kuto karena yakin bahwa

abdi dalem tersebut adalah orang yang mengerti atau faham betul tentang

berbagai kitab Jawa Klasik

Hingga kini, pernikahan Lusan telah melebur dan menjadi sebuah budaya

pada masyarakat Desa Kuto dalam bab pernikahan. Menurut mbah siswo

wagiyo Pernikahan Lusan ini akan menjadi adat yang akan terus lestari tidak

boleh ada siapapun yang merubah adat Pernikahan Lusan di Desa Kuto,

implikasi dari Pernikahan Lusan ini membawa dampak besar bagi masyarakat

Desa Kuto dalam perihal memilih calon pasangan yang akan dinikahi.

4. Proses Terjadinya Pernikahan Lusan

Proses terjadinya pernikahan Lusan di Desa Kuto ini terbagi menjadi 2,

yakni segi Sosiologis dan segi Budaya

a. Sosiologis

Sosiologi merupakan sebuah ilmu yang mempelajari kehidupan

masyarakat. Dalam makna lain adalah untuk mengerti kejadian-kejadian

dalam masyarakat yakni persekutuan manusia, dan selanjutnya dengan


64

pengertian itu untuk dapat berusaha mendatangkan perbaikan dalam

kehidupan bersama38

Kondisi masyarakat yang secara tidak langsung percaya terhadap

aturan-aturan dari tokoh Desa yang dianggap sakral dan mengandung

sebab akibat di dalamnya, menjadikan masyarakat memilih untuk taat dan

memiliki paradigmanya sendiri dalam meretasi suatu kondisi dan peristiwa

yang terjadi dalam kurun waktu yang panjang.39 Masyarakat Desa dalam

menjalani sebuah adat istiadat tersebut dilakukan tanpa refleksi yang sadar

dan tanpa adanya perencanaan, sebab pernyataan tersebut selalu beriringan

dengan jawaban bahwa nenek moyang mereka telah melakukannnya

semenjak dahulu kala.

Selain itu analogi bagian-bagian dalam masyarakat adalah hubungan

sosial40. Jika dalam hubungan sosial terciptanya suatu kondisi dimana

keberadaan tokoh Desa sangat di percaya sebagai suatu pemecah masalah,

maka akan terbentuknya suatu sistem peraturan yang dianut oleh sebagian

besar anggota masyarakat.

Masyarakat Desa Kuto memandang dan menganut pernikahan Lusan

sebagai sebuah ikatan abstrak karena terdapat norma-norma adat yang

terkandung di dalamnya, hal ini selaras bahwa pada dasarnya masyarakat

Desa itu memiliki ikatan bersama karena kekuatan kelompok atau kondisi

peristiwa yang mendominasinya.

38
Mahyuddin, “Sosiologi Budaya” Cet I, (Makasar; Shofia, 2019), Hal 4
39
Wardiman Anugrah Pratama, “Paradigma Hukum Adat”, (Bogor; Guepedia, 2012), Hal 54
40
Indrayani, “Pengantar Psikologi Desa”, (Jakarta; Kencana, 2016), Hal 15
65

Pada akhirnya Pernikahan Lusan membentuk pola-pola perilaku dan

interaksi sosial (yang relatif bersifat tetap). Terlebih masyarakat Desa

Kuto memandang ini sebagai gejala kultural biasa sebab Pernikahan Lusan

telah melebur jadi satu dalam stigma masyarakat.

Tentunya juga ada beberapa masyarakat yang tidak turut serta dalam

khidmat menaati adat Pernikahan Lusan ini, beberapa sebab seperti

pengaruh pendidikan dan adanya stigma eksternal yang membuat

pembaharuan berfikir rasionalis dalam pernikahan Lusan ini.

Pengaruh fenomena sosial yang terjadi dalam skala luas di sebuah

desa menyebabkan adanya perbedaan-perbedaan orisinil karena ketiadaan

kontak dengan dunia luar41. Terlihat jelas bahwa proses Pernikahan Lusan

ini tumbuh dengan baik di Desa Kuto karena sifat kondisi dari desa

tersebut yang masih belum banyak terkontaminasi sosial eksternal.

Kendati demikian, penerapan Pernikahan Lusan ini juga masih menjadi

polemik bagi kaum intelektual yang berdiam di Desa Kuto tersebut.

b. Budaya

Budaya yang dimiliki masyarakat Jawa dikenal cukup halus dan

penuh makna dengan simbol-simbol yang tidak begitu saja mudah untuk

dimengerti. Liliweri menjelaskan bahwa Istilah kebudayaan secara

etnografi yang luas ialah keseluruhan yang kompleks dari pengetahuan,

41
Sriyana, “Perubahan Sosial Budaya”, Cet I, (Malang; Literasi Nusantara, 2020), Hal 8
66

kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat atau setiap kemampuan dan

kebiasaan yang didapatkan manusia sebagai anggota masyarakat.42

Perkembangan budaya yang ada di Jawa telah dipengaruhi oleh

berbagai peristiwa panjang dimana hal tersebut mempengaruhi strutur adat

yang terjadi saat itu sehingga aktivitas-aktivitas masyarakat yang saling

berinteraksi, mengadakan kontak serta bergaul dengan masyarakat lainnya

menimbulkan adanya sistem budaya, dimana siklus budaya tersebut hanya

berotasi pada satu tempat dan telah menjadi adat yang diterima.

Kondisi geografis Desa Kuto yang masih terbilang asri ini secara tidak

langsung juga memperkuat akar adat dan budaya yang telah lama melebur

di sana karena masih minim pembaharuan sosial serta pengaruh-pengaruh

sistem modernisasi desa. Di lain sisi Desa Kuto juga memiliki masyarakat

yang homogen dimana hal tersebut mampu menunjang serta menjadi poin

penting dalam penghayatan adat.

Terjaganya budaya lokal di Desa Kuto ini juga membuat banyak adat

dan tradisi yang ada sejak dahulu lestari dan tersimpan rapi di atmosfer

Desa Kuto sebab norma dan sebagainya bersumber pada sistem nilai

budaya tersebut. Budaya yang terbentuk dalam proses panjang ini juga

terjadi karena beberapa sebab diantaranya ialah kebiasaan. Jika kebiasaan

tidak semata-mata dianggap sebagai cara berperilaku tetapi diterima

sebagai norma pengatur, kebiasaan tersebut menjadi tata kelakuan.

42
Liliweri, “Dialektika Budaya Jawa”, (Surabaya; SinarPustaka, 2011), Hal 32
67

Pernikahan Lusan juga merupakan bagian dari tata kelakuan yang

telah mengalami beberapa fase peristiwa pada proses terbentuknya suatu

adat. Di lain sisi karena sifat dari budaya dan adat desa yang dinamis ini

sehingga membuat Pernikahan Lusan terbentuk dan dipercaya hingga saat

ini. Masyarakat Desa Kuto tidak menyadari hal ini terjadi secara sengaja,

justru mereka menganggap proses terbentuknya Pernikahan Lusan ini

datang dari warisan budaya nenek moyang yang terpola secara alami.

Meskipun demikian, Pernikahan Lusan sebagai salah satu adat di Desa

Kuto yang sangat terjaga eksistensinya oleh masyarakat sekitar, karena

selain sudah lama tumbuh dan berkembang, Pernikahan Lusan ini juga

mengandung sifat-sifat sakral yang dipercaya berhubungan erat dengan

nasib seorang manusia.

5. Syarat Pernikahan Lusan

Pernikahan merupakan janji suci dimana ada syarat-syarat yang harus

dipenuhi dari kedua belah pihak sebelum hadirnya akad diantara mereka,

digunakannya syarat dalam pernikahan tidak lain adalah sebagai pemenuhan

kesempurnaan tali ikatan pada suatu akad pernikahan.

Syarat-syarat dalam pernikahan juga berdampak pada kelangsungan ikatan

kedua belah pihak, karena dengan terpenuhinya syarat tersebut, maka akan

melahirkan pula kehidupan yang bahagia dan sejahtera. Syarat pernikahan

memang tidak bisa lepas dari proses jalannya pernikahan seperti halnya debu

dan udara yang selalu berdampingan.


68

Syarat pernikahan tidak semuanya memiliki satu kesamaan, setiap agama

memiliki syaratnya masing-masing bahkan hingga setiap daerah memiliki

syarat pernikahan yang berbeda pula. Salah satunya yakni yang ada di Desa

Kuto, Kecamatan Kerjo, Kabupaten Karanganyar, dimana ada sebuah syarat

pernikahan yang dinamakan Pernikahan Lusan. Pernikahan tersebut menjadi

salah satu adat pernikahan yang masih terjaga hingga saat ini. Pernikahan

Lusan bukan lahir dari agama, melainkan dari kultur budaya setempat.

Jika syarat pernikahan adalah bagian dari kesempurnaan nikah, maka

Pernikahan Lusan juga memiliki tujuan yang sama, yakni untuk

menghindarkan dari hal-hal yang menurut masyarakat Desa Kuto dapat

mendatangkan sebuah malapetaka jika tak terpenuhinya syarat-syarat tersebut.

Sesuai namanya yakni “Lusan” yang berasal dari singkatan bahasa Jawa,

yakni Telu karo Pisan (Tiga dengan Satu), maksudnya adalah Pernikahan

Lusan melarang calon pengantin untuk tidak menikah dengan anak nomor satu

jika dirinya dari anak nomor tiga atau sebaliknya dilarang untuk menikah

dengan anak nomor tiga jika dirinya dari anak nomor satu. Hal ini dikarenakan

Pernikahan Lusan memiliki pantangan untuk tidak bertemunya anak nomor

satu dan tiga atau sebaliknya sebab mereka meyakini bahwa itu bukanlah angka

yang bagus untuk urusan perjodohan.

Syarat Pernikahan Lusan ini bukan merupakan syarat tertulis yang secara

resmi menjadi aturan mutlak di Desa Kuto, syarat Pernikahan Lusan ini adalah

syarat tidak tertulis yang di taati secara umum oleh masyarakat Desa Kuto.

Walaupun sifatnya yang tidak tertulis, namun syarat Pernikahan Lusan ini
69

menjadi aturan paten bagi mayoritas masyarakat di sana dalam menerima dan

menjalani sesuai kaidah-kaidah yang berlaku di Desa Kuto.

6. Akibat Pernikahan Lusan

Sejatinya takdir kehidupan adalah pemahaman mutlak yang benar-benar

harus diyakini bahwa semua ini berjalan atas kehendakNya. Namun paradigma

masyarakat khususnya dalam masalah adat, mereka meyakini bahwa takdir itu

juga datang sebagai akibat dari apa yang sudah manusia itu lakukan seperti

halnya yang terjadi dalam Pernikahan Lusan.

Pantangan yang ada dalam Pernikahan Lusan untuk tidak menikah dengan

anak nomor satu dengan anak nomor tiga atau sebaliknya ini memiliki akibat

atau konsekuensi secara tidak langsung menurut kepercayaan masyarakat Desa

Kuto. Menurut masyarakat Desa Kuto dalam dialog wawancara di salah satu

kediamannya, Pernikahan Lusan memiliki sejumlah wewaler (aturan) yang

tidak bisa diperalat oleh siapapun, sebab jika melanggar wewaler (aturan)

tersebut maka akan berdampak pada kelangsungan Pernikahan pada kedua

calon mempelai.

Sesepuh Desa Kuto yakni Mbah siswo wagiyo menambahkan, akibat yang

didapat jika melanggar wewaler (aturan) dalam Pernikahan Lusan ini adalah:43

a. Kematian mendadak

Umur manusia memang telah digariskan oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Setiap manusia memiliki batas umurnya masing-masing. Namun dalam

43
Wawancara dengan mbah siswo wagiyo pukul 13.46 pada tanggal 15 Juli 2021 di kediamannya, Desa
Kuto, Kecamatan Kerjo, Kabupaten Karanganyar.
70

Pernikahan Lusan ini memiliki kepercayaan bahwa jika ada yang

melanggar untuk tetap melangsungkan pernikahan anak nomor satu

dengan anak nomor tiga maka salah satu atau keduanya akan mengalami

kematian yang tidak terduga atau kematian mendadak. Hal ini sangat

berhubungan dengan kepercayaan-kepercayaan adat lainnya yang

memiliki kemiripan jika melanggar wewaler (aturan) pada sebuah adat.

Menurut keyakinan yang ada pada Pernikahan Lusan, kematian mendadak

atau tiba-tiba ini adalah akibat dari larangan dalam Pernikahan Lusan yang

dilanggar.

b. Sering Bertengkar Hebat

Walaupun pertengkaran dalam Rumah Tangga adalah sebuah hal yang

lumrah dan pasti terjadi, namun berbeda dengan pertengkaran yang satu

ini, pertengakaran yang terjadi dalam hal ini adalah akibat dari melanggar

Pernikahan Lusan. Pertengkaran ini diyakini tidak hanya terjadi satu dua

kali, namun sepanjang alur pernikahan mereka selalu ada saja hal-hal yang

dipertengkarkan.

c. Bercerai / Pisah

Umur pernikahan yang masih sangat muda atau mengalami kandas

ditengah berlangsungnya pernikahan dan terbilang masih sebiji jagung ini

juga diyakini karena akibat dari melanggar Pernikahan Lusan. Walaupun

bagi sebagian kecil masyarakat Desa Kuto bercerai adalah dampak yang

tidak terlalu serius, namun juga sebagian yang lain menganggap dampak

perceraian adalah sesuatu yang sangat serius.


71

7. Pandangan Masyarakat Terhadap Pernikahan Lusan

Pernikahan Lusan ini menjadi polemik bagi masyarakat khususnya

masyarakat yang tinggal di daerah Desa Kuto, karena penerapannya yang

cukup membuat masyarakat harus berfikir dua kali untuk menolaknya, karena

selain adanya beban sosial dan moral, masyarakat juga harus turut menghargai

warisan leluhur yang harus dijaga.

Salah satu masyarakat Desa Kuto yang kerap disapa dengan mas Langgeng

ini mengatakan44 bahwa ia sangat meyakini betul bahwa Pernikahan Lusan

memiliki akibat yang serius bagi yang melanggar aturan dari Pernikahan Lusan

tersebut, ia menambahkan bahwa hal ini didasari karena adat memiliki energi

alam yang tidak bisa ditentang. Maka dari itu ia mengatakan bahwa Pernikahan

Lusan adalah adat yang diwarisi oleh leluhur dan memiliki pengaruh kuat bagi

masyarakat sekitar.

Hal ini berbanding terbalik dengan yang dikatakan oleh mas suryadi45.

Justru ia mengatakan bahwa Pernikahan Lusan hanyalah bagian dari budaya

atau kebiasaan leluhur yang masih hingga kini, menurutnya Pernikahan Lusan

ini tidak memiliki dampak apapun jika tetap dijalankan. Karena ia mengatakan

bahwa takdir adalah Tuhan yang menentukan, bukan sebab dari adat atau

kebiasaan seorang manusia.

44
Wawancara dengan salah satu warga Desa Kuto di kediamannya, ia adalah warga Desa Kuto yang
meyakini tentang adanya akibat jika adanya pelanggar dari Pernikahan Lusan. Beragama Islam Kejawen yang
menambah eksistensinya dalam berbagai kepercayaan adat lebih mendalam.
45
Wawancara dengan salah satu warga Desa Kuto di serambi masjid, ia merupakan aktivis masjid di
salah satu masjid yang ada di Desa Kuto
72

8. Faktor Takutnya Masyarakat Terhadap Larangan Pernikahan Lusan

a. Masyarakat masih memegang erat budaya kejawen

Pengaruh budaya Jawa dan identitasnya masih belum berubah banyak

seiring dengan berjalannya waktu, disisi lain masyarakat Jawa sangat sadar

akan keberlanjutan budaya mereka. Hal tersebut dapat dilihat dari

cerminan pola spiritualnya.

Budaya Jawa membentuk suatu sistem yang secara tidak langsung

bersifat mengikat, yakni dalam taraf sosial kemasyarakatan. Sebab budaya

Jawa terbentuk dari tradisi-tradisi Jawa serta unsur-unsur sosial yang

tengah berkembang pada masa itu. Percampuran dua hal ini melahirkan

sebuah dogma bagi masyarakat Jawa yakni Kejawen.

Kejawen merupakan kepercayaan atau keyakinan spiritual yang

dianut oleh masyarakat Jawa berdasarkan sebuah falsafah Jawa.46 Di

kalangan masyarakat Jawa, Kejawen sudah menyatu dan mendarah daging

dalam sikap dan perilaku keseharian. Dalam opini umum Kejawen

berisikan mengenai Budaya, Tradisi, Ritual, Sikap serta Filosofi orang-

orang Jawa. Oleh karenanya masyarakat telah menyatupadu dalam

pengaruh Kejawen, sebab hal-hal yang ada dalam Kejawen juga meliputi

hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat.

Hal tersebut juga berpengaruh di kawasan Desa Kuto, Kecamatan

Kerjo, Kabupaten Karanganyar dimana Kejawen masih sangat kental dan

mayoritas masyarakatnya masih menganut kepercayaan tersebut. Dalam

46
Suhardi, “Manekung di Puncak Gunung Dalam Jalan Keselametan Kejawen”, (Yogyakarta; IKAPI,
2018), Hal 8
73

penerapannya Budaya Kejawen juga menjadi salah satu entitas dalam

unsur Pernikahan di Desa Kuto. Masyarakat di Desa tersebut meyakini

bahwa Kejawen merupakan bagian dari kehidupan mereka, maka dalam

praktik sebuah Pernikahan tak akan luput dari pengaruh Kejawen.

Pengaruh Kejawen yang masuk dalam Pernikahan melahirkan adanya

Pernikahan Lusan, tentunya dalam pelaksanaan Pernikahan Lusan

membuat masyarakat sangat berhati-berhati dalam megambil sikap, sebab

ada salah satu larangan yang tidak boleh dilanggar oleh masyarakat.

Adanya wujud larangan tersebut dikarenakan penerapan Kejawen yang

secara tidak langsung mengikat masyarakat untuk tunduk dan patuh

terhadap aturan-aturan yang ada, sebab akan ada sanksi abstrak yang

didapat ketika melanggar larangan tersebut.47

b. Minimnya pemahaman masyarakat tentang keislaman

Kurangnya pendekatan keislaman khususnya bagi Masyarakat Desa

Kuto menyebabkan tumbuh suburnya pengaruh liar pada Budaya

Kejawen. Kawasan Desa Kuto juga merupakan tempat yang terbilang

kurang dalam kegiatan-kegiatan keislaman dalam skala besar seperti

Pengajian Akbar, Madrasah Diniyah (sekolah keislaman ba`da ashar untuk

anak-anak), Pendirian Pondok Pesantren, hingga kurangnya kesadaran

masyarakat untuk pergi ke masjid.

47
Wawancara dengan mbah siswo wagiyo mengenai pengaruh budaya Kejawen bagi masyarakat Desa
Kuto, Kecamatan Kerjo, Kabupaten Karanganyar.
74

Sulitnya penyebaran Islam secara merata di Desa Kuto juga didasari

dari perkembangan budaya, adat serta Unsur-unsur lain yang lebih kuat

dibanding pengaruh keislaman. Hal ini yang menyebabkan adanya

ketimpangan dalam proses perkembangan Islam di Desa Kuto. Walaupun

masyarakat Desa Kuto mayoritas memeluk Agama Islam48, namun mereka

menjadikan Agama Islam hanya sebatas identitas sosial selebihnya mereka

lebih menganut Kejawen.

48
Wawancara dengan Lurah Desa Kuto terkait kependudukan
BAB IV
PANDANGAN HUKUM ISLAM
TERHADAP PERNIKAHAN LUSAN

A. Takutnya Masyarakat Terhadap Adanya Larangan Pernikahan Lusan

Secara bersamaan, kehadiran Agama Islam memuat 2 hal, yakni Aqidah dan

Syariah. Dalam Islam, aqidah memuat aturan-aturan paling dasar yang berkaitan

dengan keimanan dan kepercayaan kepada Allah SWT. Sedangkan Syariah memuat

pengamalan ajaran Islam sehari-sehari, baik Hablum minallah (hubungan kepada

Allah) maupun Hablum minannas (hubungan kepada manusia).

Dalam penerapannya hubungan antara aqidah dan syariah mampu membuat

manusia bertindak sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Islam. Sebab

Aqidah menghantarkan kita untuk percaya atau mengimani ketentuan yang telah

Allah SWT tetapkan dan Syariah menghantarkan kita untuk bagaimana berperilaku

dan bersikap sesuai ajaran Agama Islam. Kedua poin tersebut dapat merubah

paradigma seseorang dalam menyikapi budaya dan moral sosial terutama mengenai

kepercayaan dalam sebuah adat.

Pembenahan Aqidah yang baik haruslah di imbangi dengan penerapan-

penerapan pola sikap yang benar. Salah satunya yakni mempercayai bahwa seluruh

takdir telah ditentukan oleh Allah SWT. Karena ketika seseorang kehilangan iman

tentang ketetapan takdir dari Allah SWT, maka ia telah kehilangan Aqidah yang

sesuai ajaran Islam.

75
76

Dalam kaitannya, percaya terhadap sesuatu yang tidak ada dalam syariat

Agama Islam merupakan pudarnya Aqidah seseorang dalam mengimani apa yang

telah ditetapkan oleh Agama Islam seperti percaya terhadap takhayul berupa

kejadian atau fenomena yang akan terjadi bila melanggar peraturan-peraturan adat

setempat.

Larangan Pernikahan Lusan yang ada di Desa Kuto, Kecamatan Kerjo,

Kabupaten Karanganyar merupakan salah satu bentuk adat pernikahan yang

diyakini masyarakat akan dampaknya jika sampai melanggar larangan yang ada

pada Pernikahan Lusan tersebut. Hal ini lantas menjadikan stigma masyarakat Desa

Kuto lebih percaya apa yang di buat oleh manusia daripada ketentuan takdir yang

telah Allah SWT tetapkan. Berikut ini sebab mengapa masyarakat Desa Kuto takut

akan larangan dalam Pernikahan Lusan :

1. Masih Memegang Erat Budaya Kejawen

Kejawen yang ada di Desa Kuto yakni tindakan, perbuatan serta

kepercayaan terhadap hadirnya sesuatu yang unsurnya bukan bersumber dari

Ajaran Islam. Seperti menghitung baik buruknya nasib seseorang berdasarkan

weton, menghitung kelancaran rezeki berdasarkan posisi rumah, kecocokan

dalam jodoh, hingga prediksi yang akan terjadi dalam prahara rumah tangga

seseorang. Hal ini yang menjadikan lemahnya Aqidah keimanan masyarakat

Desa Kuto. Mereka percaya bahwa hitungan Jawa mampu menerawang nasib,

rezeki dan jodoh seseorang dengan akurat. Masyarakat Desa Kuto menjadikan

unsur-unsur yang ada di Kejawen sebagai landasan dalam menyikapi sesuatu.


77

Namun dalam Islam, baik buruknya takdir seseorang telah ditetapkan oleh

Allah SWT, seperti halnya sabda Nabi Muhammad SAW :

ُ ْ َ ُ ْ َّ ُ ْ َ َ َ َّ َ ‫َ ُ ْ ُ َ ْ َ ْ َ ْ ح‬ َّ َ ْ ُ َ َ َ َّ َ
‫ون‬
َ ‫ََي حد نا عبد اّللي بن ميم‬ ‫اب زيياد بن َيَي اب ي‬‫حد نا أبو اِلط ي‬
ُ ُ َ َ َ َ َ َّ ْ َ ْ َ ْ َ َ ْ َ َّ َ ُ ْ َ ْ َ ْ َ
‫ قال رسََول‬: ‫عن جعف ير ب ين ُّمم َد عن أبييهي عن جاب ي ير ب ين عب يد اّللي قال‬
َ َ ْ َ َ َ ْ َ ْ ُ َّ َ ْ َ ُ ْ ُ َ َ َّ َ َ ْ َ َ ُ َّ َّ َ َّ
‫ۡشه ي‬
‫ۡيه ي و ي‬ ‫اّللي صََّلل اّلل عليهي وسَلم َل يؤمين عبد حت يؤمين بيالقدري خ ي‬
ْ‫كن‬ ُ َ ْ َ ُ َ َ ْ َ َ َّ َ َ ُ َ ْ ُ ْ ُ َ ْ َ ُ َ َ َ َ َّ َ َ َ ْ َ َّ َ
‫حت يعلم أن مَا أصَََابَه لم يكن يَلخ يطًَه وأن مَا أخطَأه لم ي‬

‫يب ُه‬
َ ‫يَلُ يص‬
“Telah menceritakan kepada kami Abul Khaththab Ziyad bin Yahya Al Bashri:
telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Maimun dari Ja'far bin
Muhammad dari bapaknya dari Jabir bin 'Abdullah dia berkata: Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Seorang hamba tidak dikatakan
beriman sampai dia mengimani tentang takdir yang baik dan takdir yang
buruk, sampai dia mengetahui bahwa apa yang menimpanya tidak mungkin
akan meleset darinya, dan sesuatu yang tidak ditetapkan atasnya tidak akan
mungkin mengenainya." (HR. Tirmidzi No 2070)

Hadist di atas jelas menunjukkan bahwa tidak dikatakan iman seseorang

jika ia masih tidak mempercayai takdir baik dan buruk yang telah Allah SWT

tetapkan. Dalam hal ini jika kita merasa bahwa nasib berdasarkan dari sebuah

hitungan maka akan hilang iman kita kepada Allah SWT.

Keteguhan untuk berpegang pada dalil-dalil keislaman sangat diperlukan

bagi masyarakat Desa Kuto untuk menepis sumber takhayul yang berasal dari

Kejawen, karena hal ini dapat menjauhkan dari dari Allah SWT. Keimanan

seseorang juga akan hilang jika ia percaya dengan ketentuan takdir yang

bersumber kepercayaan-kepercayaan setempat.


78

Allah SWT berfirman :

ٗ َ َّ َ ََ َُۡ ۡ َ‫ُس َّن َة ٱ َّّللي ٱ َّلت قَ ۡد َخل‬


٢٣ ‫َت َد ل ُيس َّنةي ٱّللي ت ۡبدييَل‬
‫ي‬ ‫ن‬‫ل‬ ‫و‬ َۖ ‫ل‬ ‫ب‬‫ق‬ ‫ين‬
‫م‬ ‫ت‬ ‫ي‬
“Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali
tiada akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu” (Q.S. Al-Fath : 23)

Ayat tersebut juga menggambarkan bahwa ketentuan yang telah Allah

SWT tetapkan sudah digariskan sejak dulu. Kebenaran ayat tersebut harus

direfleksikan dalam kehidupan sebagai bentuk keimanan pada Allah SWT

bahwa takdir dan ketetapan telah Allah SWT gariskan. Dalam hal ini upaya

terbaik yang dapat dilakukan adalah dengan menyerahkan segala sesuatu hanya

kepada Allah SWT atas takdir yang telah terjadi. Seperti firmanNya :

ۡ َ ََ َ َ ُ ۡ َ ٓ ُ َ َ ٞ ۡ ُ ُ َ َّ ُ َ ۡ َ َ َ ۡ َ ۡ َ َ َ
‫َّلل من أسلم وجههۥ يّللي وه َو ُّمسين فلهۥ أجرهۥ عيند ربيهيۦ وَل خوف‬
ُ َٰ ‫ب‬
َ ُ َۡ ُ َ َ
١١٢ ‫َعل ۡي يه ۡم َوَل ه ۡم َي َزنون‬
“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah,
sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan
tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati” (Q.S. Al-Baqarah: 112)

Maka jika seseorang berlepas diri kepada Allah dan meninggalkan

kepercayaan Kejawen yang berupa takhayul, maka ia juga akan meninggalkan

kepercayaan-kepercayaan yang ada pada Pernikahan Lusan. Sebab dalam

konsep Larangan Pernikahan Lusan banyak melekat kepercayaan yang

membuat diri menjauh dari ketetapan Allah SWT.


79

2. Minimnya Pemahaman Islam

Selain masyarakat Desa Kuto percaya terhadap hal-hal yang berkaitan

dengan Kejawen, minimnya pengetahuan dan wawasan tentang keislaman juga

mempengaruhi masyarakat untuk lebih percaya terhadap takhayul. Di sisi lain

Islam menghendaki seseorang untuk menuntut ilmu, baik ilmu Agama maupun

ilmu dunia.

Kurangnya pemahaman tentang Islam membuat seseorang terjerumus

pada kesesatan karena menyikapi sesuatu tanpa dasar pengetahuan. Seperti

firman Allah SWT :

َ‫ش َب َه م ۡين ُه ٱبۡت ي َغا ٓ َء ٱلۡفي ۡت َنةي َوٱبۡت ي َغآء‬ َ ُ َّ َ َ ٞ ۡ َ ۡ ُ ُ َ َّ َّ َ َ


َٰ َ َ ‫ون َما ت‬‫…فأما ٱَّليين يِف قلوب ي يهم زيغ فيتبيع‬
ُ َّ َّ ٓ ُ َ ۡ َ ُ َ ۡ َ َ َ َۡ
٧ …‫تأوييليهيَۖۦ وما يعلم تأوييلهۥ إيَل ٱّلل‬
“…Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka
mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya
untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta´wilnya, padahal tidak ada
yang mengetahui ta´wilnya melainkan Allah...” (Q.S Ali Imran: 7)

Mereka yang takut terhadap larangan Pernikahan Lusan disebabkan tidak

adanya dasar atau bekal pengetahuan Agama hingga mereka condong pada

kesesatan yang ada dalam Pernikahan Lusan tersebut. Bahkan mengikuti

sesuatu yang bathil adalah salah satu sikap kurangnya keimanan pada diri

seseorang.

Dengan adanya bekal pengetahuan Agama yang baik kita akan terhindar

dari pengaruh-pengaruh takhayul yang bersumber dari kepercayaan adat

dimana tidak ada dasar dan ajaran sesuai Agama Islam.


80

B. Pandangan Hukum Islam Terhadap Pernikahan Lusan

Pernikahan merupakan sunnah yang dianjurkan oleh ketentuan Agama Islam,

namun bisa jadi dalam suatu kondisi tertentu hukum pernikahan menjadi wajib,

makhruh, mubah, bahkan haram. Para Ulama memiliki beragam paham mengenai

larangan pernikahan, perbedaan ini bukan hanya menunjukkan keragaman

pemikiran. Keragaman ini seharusnya dipahami bahwa masalah keharaman

melakukan pernikahan menarik untuk dikaji, karena juga terakit langsung dengan

norma-norma kemanusiaan dan menyimpan segudang persoalan syariat.49

Menikah bukan hanya sebagai upaya mewujudkan impian dan tanggungjawab

sosial kepada masyarakat dalam memberikan kontribusi yang positif untuk

mewujudkan kesejahteraan, melainkan juga sebagai sebuah ibadah dan menaati

perintah agama. Menikah adalah sunnah Nabi Muhammad SAW yang sangat mulia,

namun apabila tidak sesuai dengan apa yang diajarkannya, maka menikah akan jauh

dari kata sakinah mawadah wa rahmah. Hal ini disebabkan karena pernikahannya

tidak dibangun atas dasar teladan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.50

Selain banyaknya larangan pernikahan yang telah disebutkan pada Al-Qur`an

dan Hadist, adapula masalah kontemporer tentang pernikahan yang memang tidak

memiliki dasar atau landasan yang tepat dalam perspektif syariat Islam, termasuk

pernikahan yang didalamnya masih lekat dengan kepercayaan-kepercayaan mistis

Jawa. Walaupun adat pernikahannya masih sedikit tersisipi ajaran Islam, namun

tetap dalam prosesinya masih berlaku hukum adat. Secara tradisional masyarakat

49
Yusuf Hidayat, “Pernikahan Islami” (Ciamis; Quepedia, 2017), Hal 18
50
Ahmad Sya`roni, “Bekal Pernikahan Bagi Calon Mempelai” Cet I, (Pekalongan; TYmediapress,
2010), Hal 12
81

adat memiliki konsep konservasi alam yang berkaitan sangat erat dengan beberapa

kepercayaan-kepercayaan dari para pendahulu yang dijalankan dan diterapkan

secara turun menurun. Hal inilah yang nantinya akan menjadi salah satu unsur

masyarakat di Desa Kuto membuat setiap keputusan tentang persoalan kehidupan

khususnya keputusan mengenai pernikahan dengan menggunakan hukum adat yang

berlaku terlebih tradisi adat yang pasti telah mengakar dan diterima mayoritas

apalagi dalam suatu kelompok muslim.

Pandangan ini merupakan pandangan yang dipengaruhi oleh unsur-unsur

kepercayaan Jawa kuno dan masyarakat muslim yang ada di Desa Kuto pun juga

menyambut dengan baik, dikarenakan mereka meyakini prinsip Jawa “Memayu

Hayuning Bowo” (menjaga kearifan Jawa beserta isinya) ini sejalan dengan misi

Islam yakni “Rahmatal Lil Alamin” (Rahmat Bagi Seluruh Alam). Sehingga adat

yang diyakini telah menjadi payung untuk menetapkan suatu kondisi-kondisi

teretentu bagi mereka.51

Sistem budaya dan adat yang menjalar di Desa Kuto memiliki sifat yang

religius mistis, dimana sebuah adat dan agama menjadi relasi sejajar bahkan

diantara keduanya memiliki kekuatan timbal balik yang erat. Jika adat diberlakukan

maka harus ada unsur agama di dalamnya, seperti adat ketika akan membangun

sebuah rumah haruslah menghadap ke sisi yang diperbolehkan oleh aturan adat,

sebab dari situlah rezeki dari Tuhan mengalir. Begitu kuatnya adat yang berkutat

pada lorong kehidupan masyarakat desa, sehingga terprediksi adat akan tetap

terjaga dalam waktu yang panjang.

51
Wawancara dengan salah satu tokoh warga Desa Kuto (Pukul 12.30 Tanggal 05/06/2021)
82

Penerapan adat yang hingga kini masih lestari dan dilakukan serempak oleh

masyarakat Desa Kuto salah satunya adalah mengenai kecocokan antara laki-laki

dan perempuan yang akan melangsungkan pernikahan berdasarkan hitungan urutan

lahir. Masyarakat Desa Kuto menyebutnya dengan “Lusan” (Telu Karo Pisan)

dimana anak nomor telu (ketiga) tidak diperbolehkan menikah dengan anak nomor

pisan (pertama). Konsep Pernikahan Lusan ini telah ada sejak zaman para leluhur

yang secara alami diwariskan turun menurun dan dijalankan secara khidmat oleh

masyarakat Desa kuto.

Pada dasarnya masyarakat Desa Kuto ditekankan untuk mengikuti adat Lusan

ini, sebab jika melangsungkan pernikahan tanpa mempertimbangkan Lusan dan

restu dari tokoh adat, maka pernikahan mereka akan mengalami berbagai prahara,

mulai dari cerai, rumah tangga kacau, bahkan hingga salah satu atau keduanya ada

meninggal. Dengan adanya kepercayaan ini, terbangunlah stigma masyarakat Desa

Kuto bahwa ketentuan adat dibangun secara represif.

Adanya konsep dari Pernikahan Lusan ini sangat berbanding terbalik dengan

apa yang sudah di ajarkan oleh Agama Islam, didasari dari berlakunya aturan dalam

Pernikahan Lusan bahwa anak nomor satu tidak diperbolehkan menikah dengan

anak nomor 3 karena beberapa sebab yang telah ditetapkan dalam Pernikahan

Lusan.

Di lain sisi Islam juga telah membentuk aturan-aturan yang dimodifikasi dalam

beberapa sumber yang ada dalam Hukum Islam, Hal ini tentunya tidak selaras

dengan ajaran pernikahan dalam Islam, sejatinya Agama Islam membentuk konsep
83

pernikahan adalah untuk memperoleh sakinah atau mendapatkan ketenangan pada

kedua calon mempelai. Seperti halnya firman Allah SWT :

َ َ َ َ َ ۡ َ ْ ٓ ُ ُ ۡ َ ٗ َٰ َ ۡ َ ۡ ُ ُ َ ۡ ُ َ َ َ َ ۡ َ ٓ َٰ َ َ ۡ َ
‫ومين ءايتيهيۦ أن خلق لكم مين أنفسيكم أزوجا ل يتسكنوا إيَلها وجعل‬
َ َّ َ َ َ َ َٰ َ َّ ً َ ۡ َ َ ٗ َّ َ َّ ُ َ ۡ َ
٢١ ‫ت ل يق ۡو ٖم َي َتفك ُرون‬
ٖ َٰ ‫ٓأَلي‬ ‫يك‬ ‫ل‬ ‫ذ‬ ‫بينكم مودة ورۡحة َۚ إ ي ي‬
‫ِف‬ ‫ن‬
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-
isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir” (Q.S. Ar-Rum: 21)

Ayat di atas mempertegas bahwa pernikahan bertujuan untuk memperoleh rasa

tenteram dan kasih sayang. Dan dengan pernikahan menjadikan ketenangan dan

ketenteraman bagi keduanya, karena pernikahan merupakan “jalan” halal dalam

melakukan hubungan suami istri. Maka dari itu Agama Islam menegaskan untuk

mengambil jalan yang baik dalam melangsungkan pernikahan.

Pernikahan Lusan sebenarnya juga memiliki tujuan yang sama yakni untuk

memperoleh ketenangan dalam menjalani tali ikatan pernikahan, namun yang perlu

menjadi perhatian adalah konsep yang ada dalam Pernikahan Lusan ini. Dimana

menurut Islam Pernikahan Lusan ini tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada

dalam Hukum Islam. Sehingga keyakinan masyarakat dibuat tak berdaya dengan

porsi dan prinsip dari konsekuensi Pernikahan Lusan.

Pernikahan Lusan juga menjadi bahan kajian oleh para fuqaha karena

konsepnya yang dinilai kontradiksi dengan kaidah-kaidah pernikahan menurut

Agama Islam. Walaupun secara garis besar adat Pernikahan Lusan ini sama-sama

memiliki tujuan memperoleh ketenangan atau sakinah dalam berumah tangga


84

Sedangkan konsep pertama yang dibangun dalam Islam ketika akan menikah adalah

wanita yang sendiri, yakni wanita yang belum menikah dan siap untuk menikah,

seperti halnya yang telah Allah SWT Firmankan :

ْ ُ ُ َ ۡ ُ َٓ ۡ ُ َ ۡ َ َٰ َّ َ ۡ ُ َٰ َ َٰ ََ ۡ ْ ُ ََ
‫حني مين عيباديكم ِإَومائيك َۚم إين يكونوا‬ ‫كحوا ٱۡليم مينكم وٱلصل ي ي‬ ‫وأن ي‬
ٞ ‫ّلل َوَٰسيع َعل‬
٣٢ ‫ييم‬ ُ َّ ‫ُف َق َرا ٓ َء ُي ۡغنيه ُم ٱ‬
ُ َّ ‫ّلل مين فَ ۡضليهيۦ َوٱ‬
‫ي‬
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang
yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-
hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui” (Q.S. An-Nur: 32)

Al-Qur`an tidak pernah memberi pelajaran mengenai nasib baik buruk yang

akan menimpa seseorang ketika akan menikah. Apalagi jika telah meyakini bahwa

menaati aturan yang ada dalam Pernikahan Lusan adalah kunci keselamatan dan

kelanggengan sebuah pernikahan. Padahal di dalam Agama Islam telah diajarkan

untuk menyandarkan semuanya kepada Allah SWT. Sebagaimana dalam

firmanNya :

ُ َّ ‫ٱ‬
َّ ‫ّلل ٱ‬
٢ ‫لص َم ُد‬
“Allah tempat bergantung” (Q.S Al-Ikhlas: 2)

Potongan ayat tersebut memberi pemahaman bahwa Allah SWT lah tempat

bergantung segala hal, bergantung dari yang nampak hingga sesuatu yang tidak

nampak, termasuk mengenai nasib seseorang, khususnya nasib yang akan terjadi

setelah menikah, semuanya harus disandarkan kepada Allah SWT, menyerahkan

segala keputusan dan takdir hanya kepada Allah SWT bukan bersandar pada
85

ketetapan yang dibuat oleh manusia seperti halnya Pernikahan Lusan, dimana

konsekuensi yang ada di dalamnya menjadikan masyarakat Desa Kuto percaya pada

nasib yang akan menimpa. Hal ini lah yang sangat tidak sesuai dengan yang telah

disebutkan dalam Surah Al-Ikhlas ayat 2 tersebut bahwa semua urusan termasuk

nasib hanya Allah SWT lah yang tahu dan kepadaNya lah kita bergantung atau

bersandar.

Sejatinya Pernikahan Lusan ini menyimpan banyak takhayul serta khurafat

didalamnya, yang mana tidak sesuai dengan apa yang telah di ajarkan oleh Al-

Qur`an. Banyak prinsip-prinsip Pernikahan Lusan yang sangat bertentangan dengan

Al-Qur`an yakni mengenai keyakinan tentang suatu nasib buruk dan pendeknya

umur pernikahan jika mereka melaksanakan larangan yang ada dalam pernikahan

Lusan yakni anak nomor 1 tidak diperbolehkan menikah dengan anak nomor 3

karena hal ini akan membuat keduanya mengalami berbagai malapetaka mulai dari

nasib salah satu atau keduanya buruk, dan rusaknya pernikahan di umur yang

singkat hingga kematian jika pernikahan tetap dilanjutkan. Konsep ini sangat

berbanding terbalik dengan ajaran yang ada di Al-Qur`an, dimana semuanya yakni

hidup, nasib dan pernikahan adalah Allah SWT yang mengaturnya dan hanya

kepadanNya lah tempat bersandar segala keputusan.

Al-Qur`an telah memberi penjelasan agar tetap berpegang teguh pada firman-

firman Allah SWT dengan menerapkan rasa taqwa dan tawakkal terhadap apa yang

telah dan akan terjadi dikemudian hari serta menjauhi hal-hal atau sesuatu tentang

kepercayaan-kepercayaan yang bertentangan dengan syari`at Islam. Allah SWT

berfirman :
86

ٞ ‫َو َمن َي ۡع ُ َعن ذ ۡيكر ٱ َّلرِنَٰمۡح ُن َقي ۡض َ َُلۥ َُ ۡي َطَٰ ٗنا َف ُه َو َ َُلۥ قَر‬
٣٦ ‫ين‬‫ي‬ ‫ي‬ ‫ي‬
“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al
Quran), kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah
yang menjadi teman yang selalu menyertainya” (Q.S Az-Zukhruf: 32)

Adanya keyakinan masyarakat terhadap apa yang akan terjadi jika mereka

melanggar Pernikahan Lusan ini timbul karena mereka tidak memiliki Iman yang

tertanam di hati dan jiwa. Di lain sisi karena lahir cerita atau mitos-mitos yang

beredar di masyarakat mengenai para pelanggar Pernikahan Lusan hingga terjadilah

khurafat. Hal ini menjadikan mereka bergantung dan bersandar pada keyakinan

adat. Orang-orang yang tidak menyandarkan segala sesuatu kepada Allah SWT dan

malah meyakini sesuatu yang dibuat-buat oleh manusia mereka terombang-ambing

diantara keragu-raguan dan khurafat. Mereka takut akan hidup, nasib rezeki serta

tentang segala sesuatunya. Keadaan jiwa yang demikian membuat kesengsaraan

hidup mereka sendiri. Allah SWT berfirman :

َ ُ ۡ َ ۡ ُ َ ُ َ ۡ َٰ َ َ ُ َّ
١١٧ ‫كن أنفسهم يظل يمون‬ ‫…ٱّلل ول ي‬.

“….Allah tidak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri
mereka sendiri” (Q.S Ali Imran: 117)

Banyak pengaruh-pengaruh yang terjadi dalam Pernikahan Lusan yang

menyebabkan muncul dan tumbuh suburnya khurafat hingga menyebabkan

masyarakat lebih cenderung percaya dan menjalankan adat yang ada dalam

kontruktifitas Pernikahan Lusan. Percaya terhadap takhayul dan khurafat dalam


87

mempercayai apa yang ada dalam Pernikahan Lusan seperti yang telah disebutkan

pada ayat 32 dalam surah Az-Zukhruf dilanjutkan dengan ayat selanjutnya yakni :

ُٗ ُ ۡ ُُ َّ ُ ُ ۡ َ َ َ ۡ َ َ َّ ٗ َ َٰ َ ٗ َّ ُ ُ َّ َ ُ َ َ ٓ َ ۡ َ َ
‫ولوَل أن يكون ٱنلاس أمة وحيدة ۡلعلنا ل يمن يكفر ب يٱلرِنَٰمۡح بي يوت ي يهم سقفا‬
َ ُ َّ َ َ ۡ َ َ ً ُ ُ َ ٗ َٰ َ ۡ َ ۡ ُ ُ َ َ ۡ ََ َ َّ
‫كون‬ ‫ وبي يوت ي يهم أبوبا وُسرا عليها يت ي‬٣٣ ‫مين ف يضةٖ َو َم َعاريج عل ۡي َها َيظ َه ُرون‬

‫ني‬ َ ‫ك ل يلۡ ُم َّتقي‬


َ َ َ َُ ۡ
‫ۡل َي َٰوة ي ٱ حلن َيا َۚ َوٱٓأۡلخيرة عيند ر يب‬ َ ۡ ‫ُك َذَٰل َيك ل َ َّما َم َتَٰ ُع ٱ‬ ‫ُح‬ ٗ ۡ
‫ َو ُزخ ُرفا َۚ ِإَون‬٣٤
َّ
‫ ِإَون ُه ۡم‬٣٦ ‫ين‬ ٞ ‫ َو َمن َي ۡع ُ َعن ذ ۡيكر ٱ َّلرِنَٰمۡح ُن َقي ۡض َ َُلۥ َُ ۡي َطَٰ ٗنا َف ُه َو َ َُلۥ قَر‬٣٥
‫ي‬ ‫ي‬ ‫ي‬
َ َ َ َ ٓ َ َ َّ َ َ ُ َ ۡ ‫ح‬ ُ َّ َ َ ُ َ ۡ ََ َّ ‫ون ُه ۡم َعن ٱ‬ َ ‫ََ ُ ح‬
‫ت إيذا جاءنا قال‬ َٰٓ ‫ ح‬٣٧ ‫يل ويحسبون أنهم مهتدون‬ ‫ي ي‬ ‫ب‬‫لس‬ ‫ي‬ ‫َلصد‬
ۡ ُ َ َ ُ ‫ك ُب ۡع َد ٱل ۡ َم ۡۡش َق ۡني فَب ۡئ َس ٱلۡ َقر‬ َ َ ۡ َ َ ۡ َ َ ۡ َ َٰ َ
‫ َولن يَنف َعك ُم ٱَلَ ۡو َم إيذ‬٣٨ ‫ين‬ ‫ي‬ ‫ي ي ي‬ ‫يليت بي يَن وبين‬
َ ُ َ ۡ ُ َ َۡ ۡ ُ َّ َ ۡ ُ ۡ َ َّ
٣٩ ‫َتكون‬ ‫اب مش ي‬ ‫ظلمتم أنكم يِف ٱلعذ ي‬
“(33) Dan sekiranya bukan karena hendak menghindari manusia menjadi umat
yang satu (dalam kekafiran), tentulah kami buatkan bagi orang-orang yang kafir
kepada Tuhan Yang Maha Pemurah loteng-loteng perak bagi rumah mereka dan
(juga) tangga-tangga (perak) yang mereka menaikinya (34) Dan (Kami buatkan
pula) pintu-pintu (perak) bagi rumah-rumah mereka dan (begitu pula) dipan-dipan
yang mereka bertelekan atasnya (35) Dan (Kami buatkan pula) perhiasan-
perhiasan (dari emas untuk mereka). Dan semuanya itu tidak lain hanyalah
kesenangan kehidupan dunia, dan kehidupan akhirat itu di sisi Tuhanmu adalah
bagi orang-orang yang bertakwa (36) Barangsiapa yang berpaling dari
pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al Quran), kami adakan baginya syaitan
(yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu
menyertainya (37) Dan sesungguhnya syaitan-syaitan itu benar-benar
menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka
mendapat petunjuk (38) Sehingga apabila orang-orang yang berpaling itu datang
kepada kami (di hari kiamat) dia berkata: "Aduhai, semoga (jarak) antaraku dan
kamu seperti jarak antara masyrik dan maghrib, maka syaitan itu adalah sejahat-
jahat teman (yang menyertai manusia)" (39) (Harapanmu itu) sekali-kali tidak
akan memberi manfaat kepadamu di hari itu karena kamu telah menganiaya
(dirimu sendiri). Sesungguhnya kamu bersekutu dalam azab itu”
88

Sedangkan Pernikahan Lusan ini menjadi keyakinan tersendiri karena di

dalamnya terdapat unsur kepercayaan mengenai berbagai hal yang akan menimpa

mereka. Namun dengan yakin pada Allah SWT dan menyerahkan segala sesuatu

kepadaNya maka Allah SWT akan menjamin keselamatan hidup dari marabahaya.

Sesuai yang telah difirmankanNya:

ۡ َ ُ ۡ َ َ َّ ُ ۡ َ ۡ َ ۡ ُ َّ َ َ ُ َ َ َ َ ۡ ُ ۡ َ ۡ َ ٓ َ ُ َ َ َ ۡ َ َ
‫نل بيهيۦ‬ ‫وكيف أخاف ما أۡشكتم وَل َتافون أنكم أۡشكتم ب يٱّللي ما لم ي ي‬
َ ۡ ‫َ َۡ ُ ۡ ُ َۡ ٗ ََ ح َۡ َ ۡ َ َ ح‬
َ‫ ٱ ََّّليين‬٨١ ‫ون‬ َ ََُۡ ُۡ ُ ۡ
‫ني أحق ب يٱۡلم ين إين كنتم تعلم‬ ‫عليكم سلطَٰنا َۚ فأي ٱلف يريق ي‬
َ ُ َ ۡ ‫َ َ ُ ْ َ َ ۡ َ ۡ ُ ٓ ْ َ َٰ َ ُ ُ ۡ ُ ْ َ َٰٓ َ َ ُ ُ ۡ َ ۡ ُ َ ُ ح‬
٨٢ ‫ءامنوا ولم يلبيسوا إييمنهم بيظل َم أولئيك لهم ٱۡلمن وهم مهتدون‬
“(81)Bagaimana aku takut kepada sembahan-sembahan yang kamu persekutukan
(dengan Allah), padahal kamu tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan-
sembahan yang Allah sendiri tidak menurunkan hujjah kepadamu untuk
mempersekutukan-Nya. Maka manakah di antara dua golongan itu yang lebih
berhak memperoleh keamanan (dari malapetaka), jika kamu mengetahui (82)
Orang-orang yang beriman dan juga tidak mencampuradukkan iman mereka
dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu
adalah orang-orang yang mendapat petunjuk” (Q.S. Al-An`am: 81-82)

Sistem adat Pernikahan Lusan ini membuat manusia mengalami kesulitan oleh

sebab aturan adat yang telah mereka buat sendiri, tentu saja hal ini sangat

bertentangan dengan Islam

ُ‫يين أَ َحد إ ََّل َغلَ َبه‬ َّ َ ُ ْ َ َ ْ ُ َ


َ ‫اد ال‬ َّ
‫…إين اليين سْس ولن سش‬..
‫ي‬
"…..Sesungguhnya agama (Islam) itu mudah, dan tidaklah seseorang itu
mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan (semakin berat dan sulit)…..”
89

Potongan Hadist tersebut jelas mengindikasikan bahwa Pernikahan Lusan

memang tak sesuai dengan akidah dan kaidah serta syariat Islam sebab konsep

Pernikahan Lusan lah yang membuat masyarakat khususnya Masyarakat Desa Kuto

mengalami kesulitan dalam masalah cinta walau sebenarnya mereka mematuhi

sebagai wujud rasa hormat, namun tetap saja masih menjadi polemik tersendiri.

Mempersulit diri mereka sendiri dalam konsep Pernikahan Lusan juga

termasuk salah satu hambatan untuk beriman kepada Allah SWT, takut akan segala

marabahaya yang terjadi jika melanggar larangan adat Pernikahan Lusan tersebut

menjadikannya tumbuh bibit-bibit kesyirikan, dimana lebih percaya terhadap

segala sesuatu yang manusia katakan daripada ketetapan yang telah Allah SWT

gariskan.

َ ُ َ
….‫…ف َسديدوا َوقاري ُبوا‬.
“…Maka berlakulah lurus kalian, mendekatlah (kepada yang benar)…”

Penerapan adat Lusan akan seterusnya membuat masyarakat terpatri untuk

selalu takut akan malapetaka jika melanggar adat tersebut, maka dalam hal ini

perlunya untuk menolak sebuah kemudharatan dengan pengetahuan Islami.

ْ َّ ْ َ ْ َ َ َ َّ ُ ْ َ
‫ب انلفعي‬
‫دفع الَّضري أواَل مين جل ي‬
“Menolak kemudharatan lebih utama daripada kemaslahatan”
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Sebagai Rahmatalil Alamin yakni rahmat bagi seluruh umat manusia, Islam

hanya menekankan untuk menikahi wanita atau laki-laki yang sholeh bukan

berdasarkan urutan lahir seperti yang terjadi dalam Pernikahan Lusan sebab jika

terjadi hal yang tidak ada tuntunannya dalam Syariat atau Hukum Islam maka hal

itu merupakan salah satu perbuatan yang melampaui batas. Sebagaimana firman

Allah SWT :

ُ َ ُ َّ َّ َ َ ٓ َ َٰ َ َ ْ ُ َ ُ َ ْ ُ َ َ َ َّ َ ‫َ َٰٓ َ ح‬
َ‫ك ۡم َو ََل َت ۡع َت ُد َۚٓوا ْ إ َّن ٱ َّّلل‬
‫ي‬ ‫ت ما أحل ٱّلل ل‬ ‫يأيها ٱَّليين ءامنوا َل ُت يرموا طييب ي‬
‫ََل َُي ح‬
َ ‫يب ٱل ۡ ُم ۡع َتد‬
٨٧ ‫يين‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik
yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (Q.S.
Al-Maidah: 87)

Menikah dengan prinsip untuk mendapatkan wanita atau laki-laki yang sholih,

maka pernikahannya akan dirahmati oleh Allah SWT, namun jika pernikahannya

karena pengaruh dan tercampur oleh adat yang mana didalamnya lekat dengan

takhayul dan khurafat seperti halnya Pernikahan Lusan maka pernikahannya tentu

tidak didasari iman kepada Allah SWT.

Dengan adanya Pernikahan Lusan, dimana laki-laki dan perempuan akan saling

tertolak karena keyakinan anak nomor 1 tidak diperbolehkan menikah dengan anak

90
91

nomor 3, jika melanggar akan mendapat bermacam marabahaya yang mengancam.

Dengan berlangsungnya Pernikahan Lusan, maka banyak pasangan yang gagal

melanjutkan ke jenjang pernikahan sebab adanya larangan adat yang harus dipatuhi.

Namun yang menjadi sorotan di sini adalah kepercayaan yang dibawa seperti

akan datang malapetaka jika melanggar aturan Lusan. Hal ini sangat tidak ada

relevansinya dalam syariat Islam dan tidak sesuai dengan Ajaran Islam

sebagaimana bahwa Pernikahan adalah bagian integral dari syariat Islam yang tidak

terpisahkan dari dimensi akidah dan akhlak Islami. Atas dasar inilah Islam ingin

mewujudkan pernikahan yang berlandasakan syariat Hukum Islam.

B. Saran

Penyebaran keagamaan Islam harus lebih ditingkatkan mengingat Desa Kuto

masih terbilang minimnya pengetahuan tentang Agama Islam, meskipun masih

terkendala sumber daya manusia yang mengelola kegiatan keagamaan, di lain sisi

peningkatan kualitas pendidikan diniyah bagi anak-anak harus ditegakkan karena

anak-anak adalah generasi penerus Desa.


92

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Slamet, “Fiqih Munakahat”, Cet I, (Bandung; Pustaka Setia, 1999)

Afandi, Ali, “Hukum Waris, Hukum Keluarga, dan Hukum Pembuktian Menurut

Undang-Undang Hukum Perdata”, (Jakarta; Bina Aksara, 1996)

Al-Jaziri, Abdul Rahman “Fiqh ala Madhahib Al-Arba`ah”, Juz 4, (Mesir;

Maktabah Al-Tijariyah Al-Qubra, 1969)

Al-Muffaraj, Sulaiman “Bekal Pernikahan: Hukum, Tradisi, Hikmah, Kisah, Syair,

Wasiat, Kata Mutiara, (Jakarta; Qisti Press, 2003)

al-Mundziri, Imam, “Mukhtashar Shahih Muslim”, Cet I, (Jakarta; Pustaka Amani,

2003)

Anshori, Abdul Ghofur “Hukum Perkawinan Islam” (Yogyakarta; UII Press, 2011)

Anwar, Hidayatul “Perkawinan dan Agama”, Cet III, (Jakarta; Kencanamedia,

2010)

Badrudin, “Pengantar Studi Kebudayaan”, Cet I, (Banten; Mediapress, 2015)

Daud Ali, Muhammad “Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Islam”,

(Jakarta; Yayasan Risalah, 1984)

Harahap, Yahya, “Hukum Perkawinan Nasional”, (Medan; CV Zahir Trading Co,

1985)

Hasan, Sofyan “Dasar-Dasar Memahami Hukum Islam di Indonesia”, (Surabaya;

Usaha Nasional, 1994)

Hermanto, Agus, “Larangan Perkawinan (Dari Fiqih, Hukum Islam hingga

Penerapannya Dalam Legislasi Perkawinan di Indonesia)”, Cet I, (Yogyakarta;

Lintang Rasi Aksara Books, 2016)


93

Indrayani, “Pengantar Psikologi Desa”, (Jakarta; Kencana, 2016)

Kuzari, Ahmad “Nikah Sebagai Perikatan”, (Jakarta; RajaGrafindo, 1995)

Liliweri, “Dialektika Budaya Jawa”, (Surabaya; SinarPustaka, 2011)

Lutfhi Samudro, “Mandala Berbudaya”, (Magelang; Pustaka Rumah, 2020)

Mahfud, Masduqi, “Masalah Hukum Islam”, (Surabaya; Pustakadai, 2003)

Mahyuddin, “Sosiologi Budaya” Cet I, (Makasar; Shofia, 2019)

Mansur, Teuku Muttaqin “Hukum Adat Perkembangan dan Pembaruannya”, Cet

I, (Banda Aceh; Syiah Kuala, 2018)

Mubarok, Jaih “Metodologi Studi Islam”, (Bandung; Remaja Rosdakarya, 2000)

Mustopa, F. B. “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Larangan Pernikahan Adat Jawa

Lusan Studi Kasus Di Desa Tanggan Kecamatan Gesi Kabupaten

Sragen”. Legitima : Jurnal Hukum Keluarga Islam, Vol. 2, no. 1, Dec. 2019, pp.

40-58

Nashir, Muhammad, “Budaya, Sosial, Dan Kemasyarakatan Dalam Ajaran Islam,

Cet II, (Semarang; Syauqi Press, 2014)

Nashiruddin, Muhammad, “Tuntunan Pernikahan Islami”, (Jakarta; QisthiPress,

2015)

Nugroho, Sigit Sapto, “Pengantar Hukum Adat Indonesia”, Cet I, (Kartasura;

Pustaka Iltizam, 2016)

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Edisi

Revisi)”, (Jakarta; PT. Pradnya Paramita, 1996)

Rahman Ghazaly, Abdul “Fiqih Munakahat”, (Jakarta; Kencana Pranada Media,

2003)
94

Rasjid, H. Sulaiman “Fiqih Islam”, Cet LXXXIV, (Bandung; Sinar Baru Algesindo,

2018)

Rofiq, Ahmad, “Hukum Islam di Indonesia”, (Jakarta; Raja Grafindo Persada,

1998)

Sahar, Syaidus, “Asas-Asas Hukum Islam”, (Bandung; Alumni, 1988)

Somad, Abd “HUKUM ISLAM : Penormaan Prinisp Syariah Dalam Hukum

Indonesia”, Cet I (Jakarta; Kencana, 2010)

Sriyana, “Perubahan Sosial Budaya”, Cet I, (Malang; Literasi Nusantara, 2020)

Suhaini, Mulki “Islam dan Kasih Di Dalamnya”, Cet I, (Bandung; Pustaka Media,

2012).

Suhardi, “Manekung di Puncak Gunung Dalam Jalan Keselametan Kejawen”,

(Yogyakarta; IKAPI, 2018)

Suru, I Made “Selintas Budaya Indonesia”, Cet II, (Yogyakarta; Pusara Tamsis,

1996)

Syarifuddin, “Hukum Perkawinan Islam”, (Semarang; Setiapress, 2007)

Thalib, Sajuti, “Receptio A Contrario”, (Jakarta; Bina Aksara, 1982)

Triwulan, Titik, “Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional” (Jakarta;

Kencana Prenada Media, 2008)

Wardiman Anugrah Pratama, “Paradigma Hukum Adat”, (Bogor; Guepedia, 2012)

Warjiyati, Sri “Ilmu Hukum Adat”, Cet I, (Yogyakarta; IKAPI, 2020)


1
1

Anda mungkin juga menyukai