Anda di halaman 1dari 45

NAMA : Anze Yourga

NIM : 2020242007

DOSEN PENGAMPU : Dr. Aprizal Zainal, SP. MSi

Jawaban UAS PTL

1. Inkompatibilitas
Inkompatibilitas yaitu ketidak cocokan (kromosom/gen) dalam berpasangan yang
menyebabkan gagalnya pembuahan sendiri. Terjadi pada hewan atau tumbuhan
tingkat tinggi maupun tanaman tigkat tinggi Inkompatibilitas pada tanaman tingkat
tinggi, yaitu untuk mencegah pembuahan sendiri. Berdasarkan marfologi bunga
inkompatibilitas dibagi menjadi:
a. Inkompatibilitas Homomorfik, yaitu putik dan benang sari sama panjang.
1) Gametofitik, terhentinya pertumbuhan tabung tepung sari di dalam putik multi
alel. Interaksi antara tepung sari yang haploid dengan sel-sel putik yang
diploid. Jika alel tepung sari sama dengan alel putik, maka pertumbuhan
tabung serbuk sari terhenti dan sebaliknya. Pada system gametofit ,
inkompatibilitas terjadi bila serbuk sari dan kepala putik mempunyai alel yang
sama. Contohnya persilangan gamet betina S1S2 x jantan S1S2 akan
mengalami ketidak cocokkan (inkompatibilitas) karena serbuk sari itu akan
membawasalah satu alel S1 atau S2 yang keduanya terdapat pula pada
jaringan tangkai putik. Tetapi pada persilngan gamet betina S1S2 x jantan
S1S3 akan lebih kompatibel dan menghasilkan keturunan S1S3 dan S2S3
karena gamet jantan membawa S3 yang dapat berfungsi secara normal.
Persilangan resiprokal antara tanaman tersebut juga kompatibel dan
menghasilkan keturunan S1S2 dan S1S3. secara teoritis persilangan alel yang
homozigot tidak mungkin pada gametofit.
2) Sporofitik, dikendalikan oleh alel dominant pada putik. Putik yang
mempunyai alel tersebut maka pollen tidak dapat tumbuh. Sistem saprofit
mengandung bentuk dominansi yaitu S1 yang dominant terhadap seluruh alel
lain, S2 juga demikian kecuali terhadap S1 dan seterusnya. Ada
mikrosporogenesis semua serbuk sari, sifat genotif akan muncul pada fenotif
alel dominant pada jaringan jantan diploid. Misalnya, jantan S1 S2 akan
menghasilkan fenotip S1, meskipun disana dijumpai genotip S2. pada gamet
betina tidak dijumpai ekspresi dominant dan betina berfungsi sama seperti
seperti system gametofit. Pada system saprofit, persilangan gamet betina S1
S2 x jantan S1 S3 adalah tidak cocok inkompatibel karena adanya efek
dominansi pada jantan, bahwa kedua serbuk sari S1 dan S2 mempunyai
fenotip S1. selama S1 besifat inkompatibel terhadap jaringan tangkai putik S1
S2 maka tidak akan terjadi pembuahan. Persilangan resiprok juga akan
menghasilkan proses yang inkompatibel.(James R.Welsh dan Johanis
P.Mogea, 1991:63). Inkompatibilitas dapat terjadi baik pada system gemotofit
maupun sporofit. Perbedaan antara system saprofit dan gametofit terletak pada
adanya beberapa alel S yang homozigot.
b. Inkompatibilitas Heteromorfik.
Ada dua tipe:
1) Putik pendek dan benang sari panjang atau disebut pin.
2) Putik panjang dan benang sari pendek atau disebut thrum.
Biji terbentuk jika dua tipe berlainan disilangkan. Biji tidak terbentuk jika dua
tipe yang sama disilangkan. Tipe putik pendek dan benang sari panjang
mempunyai alel S yang dominant dan heterozigot (Ss). Tipe putik panjang
dan benang sari pendek selalu homozigot resesif (ss).
Tumbuhan bunga yang mempunyai bunga dengan pistil dan anter yang
menghasilkan ovum maupun polen yang fertil dan viabel tidak selamanya
dapat melakukan polinsi sendiri. Seandainya dapat melakukan polinasi
tumbuhan tersebut tidak berhasil melakukan fertilisasi. Hal ini disebabkan
imkompatibilitas seksual pada tanaman tersebut sehingga polennya tidak
dapat membuahi ovum. Inkompatibilitas seksual dibedakan menjadi dua: 1)
interspesifik, dan 2) intraspesifik. Inkompatibilitas intra spesifik disebut self-
incompatibility (inkompatibilitass sendiri), secaara morfologi ada 2 tipe self-
incompatibility yaitu heteromorfi dan homomorfi. Jika inkompatibilitas
homorfi ini disebabkan genotip dari gametogenotip disebut gametophyctic
self-incompability (GSI), jika disebabkan genotip dari sporofitnya disebut
sporofit self-incompability (SSI). Kemajuan teknologi pada saat ini telah
menunjukkan keberhasilan dalam usaha menanggulangi masalah
inkompatibilitas seksual pada beberapa tumbuhan. (Subag Sistem Informasi
BAAKPSI UM, 2005.) Misalnya pada tanaman Kakao (Theobroma cacao),
secara umum adalah tumbuhan menyerbuk silang dan memiliki sistem
inkompatibilitas-sendiri (lihat penyerbukan). Walaupun demikian, beberapa
varietas kakao mampu melakukan penyerbukan sendiri dan menghasilkan
jenis komoditi dengan nilai jual yang lebih tinggi.
c. Artikel terkait
1) Keberhasilan dan kompatibilitas penyerbukan sendiri dan silang pada
hibridisasi interspesfik ciplukan (Physalis spp) (Zainyah Salmah Arruum,
Budi Waluyo, 2021)
Ciplukan memiliki morfologi bunga lengkap. Anthesis pada bunga
ciplukan terjadi sebelum anther bunga mengalami dehiscence yang terjadi
pada jam 9 – 11 pagi. P. angulata (PAN-69281) memiliki posisi bunga tegak
dengan posisi stigma di bawah anther. Panjang stamen 5 mm dengan 5 anther
berwarna ungu. Benang sari berwarna kuning dan panjang benang sari 4 mm.
P. pruinosa (PPN+3101) memiliki bunga dengan posisi intermediate dengan
posisi stigma sejajar dengan anther. Anther bunga berwarna kuning berjumlah
5 dengan panjang stamen 4 mm. Memiliki kepala sari bunga berwarna ungu
dengan panjang tangkai putik 4 mm. P. peruviana (PPV-45311-03) memiliki
posisi bunga intermediate dan posisi stigma di bawah anther. Bunga
mempunyai 5 anther bunga berwarna kuning dengan panjang stamen 7 mm.
Benang sari bunga berwarna ungu dengan panjang tangkai putik 6 mm.
Morfologi bunga P. pubescens (PPB-68154-04) memiliki posisi bunga
intermediate dan posisi stigma di bawah anther. Terdapat 5 anther bunga
berwarna kuning dengan panjang stamen 5 mm. Benang sari berwarna hijau
muda dan panjang tangkai putik 4 mm. P. ixocarpa (PIX-4418-2) memiliki
posisi bunga intermediate dan posisi stigma di atas anther. Bunga mempunyai
5 anther berwarna ungu dengan panjang stamen 7 mm. Benang sari bunga
berwarna ungu dengan panjang tangkai putik 8 mm.
Kompatibilitas persilangan adalah kesesuaian organ betina dan jantan
dalam melakukan penyerbukan dan diikuti dengan proses pembuahan
(Frankel & Galun, 1977) . Ketidakcocokan pada tingkat alel, gen, dan
kromosom dalam berpasangan dapat menyebabkan kegagalan terjadinya
pembuahan (inkompatibilitas) (Sahagún-castellanos, 1999). Inkompatibilitas
pada persilangan terjadi diakibatkan oleh tidak cocoknya alel organ jantan dan
betina yang terjadi sehingga sel jantan gagal membuahi sel betina (Lewis,
1949; Syukur et al., 2018). Persentase keberhasilan persilangan didapatkan
dari jumlah buah terbentuk dibagi dengan persilangan yang dilakukan.
Berdasarkan hasil penelitian, dari 25 kombinasi persilangan yang dilakukan
didapatkan 11 kombinasi persilangan yang berhasil membentuk buah dan biji.
Tingkat inkompatibilitas sebagian (partial self-incompatibility) terjadi
pada persilangan interspesifik P. pruinosa (PPN+3101) sebagai tetua betina
terhadap P. angulata (PAN-69281) dan P. ixocarpa (PIX-4418-2) sebagai
jantan yang memiliki persentase keberhasilan persilangan masing - masing
sebesar 14.28% dan 11.76%. Tidak didapatkan keberhasilan pada persilangan
interspesifik antara P. pubescens (PPB-68154-04) dengan P. pruinosa
(PPN+3101) begitu pula pada persilangan sebaliknya. Tingkat
inkompatibilitas sebagian terdapat pada persilangan P. angulata (PAN-69281)
x P. ixocarpa (PIX-4418-2) dengan persentase sebesar 28.94%, sedangkan
pada persilangan P. angulata (PAN-69281) dengan P. pubescens (PPB68154-
04) termasuk inkompatibilitas penuh dengan persentase sebesar 7.69%. Tidak
didapatkan keberhasilan persilangan interspesifik antara P. angulata
(PAN69281) sebagai tetua betina dari P. pruinosa (PPN+3101), hal ini
berbeda dengan resiproknya.
Persilangan interspesifik dengan tingkat inkompatibilitas penuh
dengan persentase sebesar 0% terdapat pada persilangan P. angulata (PAN-
69281) x P. pruinosa (PPN+3101), P. pruinosa (PPN+3101) x P. pubescens
(PPB-68154-04), P. pruinosa (PPN+3101) x P. ixocarpa (PIX-4418-2), dan
persilangan interspesifik pada P. ixocarpa (PIX-4418-2) dan P. peruviana
(PPV-45311- 03) ketika menjadi tetua betina dari semua spesies yang diuji.
Pada hibridisasi interspesifik inkompatibilitas dapat berupa kegagalan
pembuahan yang ditandai dengan rontoknya bunga dan berhasilnya
pembuahan hingga terbentuk bakal buah namun beberapa hari kemudian buah
gugur. Hambatan keberhasilan persilangan dapat muncul sebelum fertilisasi
(prezygotic barriers) dan setelah fertilisasi (post-zygotic barriers) (Barone et
al., 1992; Martins et al., 2015). Hambatan pre-zygotic dapat berupa kegagalan
perkecambahan serbuk sari dan terhambatnya perkembangan tabung serbuk
sari (Barone et al., 1992; Hajjar & Hodgkin, 2007). Hambatan post-zygotic
barriers yang paling sering terjadi berupa berhasilnya pembentukan buah
namun mengandung biji yang abnormal, dan memiliki ukuran yang berbeda
dari tetuanya serta berwarna gelap yang mengindikasi degenerasi biji.
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, tidak terdapat perbedaan
yang nyata pada karakter bobot, panjang, serta lebar buah pada hasil
persilangan interspesifik P. angulata (PAN-69281) x P. pubescens (PPB-
68154-04) terhadap selfingnya. Sedangkan terdapat perbedaan yang nyata
pada karakter jumlah biji pada hasil persilangan P. angulata (PAN-69281) x P.
pubescens (PPB-68154-04) dan semua karakter pada hasil persilangan P.
angulata (PAN-69281) X P. ixocarpa (PIX-4418-2) terhadap selfingnya. Hal
ini menunjukkan persilangan interspesifik antara P. angulate (PAN-69281) x
P. ixocarpa (PIX-4418-2) memberikan pengaruh yang nyata terhadap karakter
hasil buah dan biji. Sedangkan pada persilangan P. angulata (PAN-69281) x
P. pubescens (PPB-68154- 04) pengaruh persilangan interspesifik terjadi pada
karakter jumlah biji. Hasil persilangan P. pubescens (PPB68154-04) x P.
ixocarpa (PIX-4418-2) memiliki perbedaan yang nyata pada semua karakter
terhadap selfingnya. Pada hasil persilangan P. pubescens (PPB-68154- 04) x
P. angulata (PAN-6928) memiliki perbedaan yang nyata pada karakter bobot
buah, panjang buah dan jumlah biji serta pada karakter lebar buah
menunjukkan hasil tidak berbeda nyata terhadap selfingnya. Hasil penelitian
menunjukkan persilangan interspesifik pada P. pubescens (PPB-68154-04) x
P. angulata (PAN-6928) tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap
karakter lebar buah. sedangkan pada persilangan interspesifik P. pubescens
(PPB-68154-04) x P. ixocarpa (PIX-4418-2) memberikan pengaruh yang
nyata terhadap karakter hasil buah dan bij.
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan adanya perbedaan pada
karakter kuantitatif buah dan biji antara buah hasil penyerbukan sendiri
dengan hasil penyerbukan silang hibridisasi interspesifik. Hal ini terjadi
karena pengaruh serbuksari dari tetua jantan yang menyebabkan perubahan
pada penampilan buah dan biji yang dihasilkan oleh tetua betina. Hal ini dapat
terjadi dengan adanya kemungkinan pengaruh dari xenia ataupun metaxenia.
Xenia dan metaxenia sangat bergantung pada genotipe tetua jantan sebagai
pendonor polen dan genotipe tetua betina sebagai tempat berkembangnya
buah hasil persilangan. Xenia dan metaxenia ialah transmisi sifat dari
polinator terhadap jaringan tetua betina, dan ini sudah dipelajari pada
persilangan interspesifik tomat yang masih satu famili dengan ciplukan, yaitu
Solanaceae bahwa terdapat perubahan morfologi daging buah dan biji pada
hasil penyerbukan di tetua betina (Piotto et al., 2013). Berdasarkan hasil
persilangan interspesifik pada ciplukan ini dapat diketahui pasangan spesies
yang mampu bersilang dan menghasilkan buah dan pasangan spesies yang
menunjukkan ketidakmampuan menghasilkan buah. Dari penelitian ini juga
dapat diketahui bahwa terjadi xenia pada karakteristik kuantitatif buah dan biji
hasil penyerbukan silang hibridisasi interspesifik. Informasi ini dapat
dijadikan sebagai dasar untuk pemilihan tetua dan penerapan teknologi untuk
perluasan keragaman genetik dan seleksi di dalam program pemuliaan
tanaman ciplukan.
2) Tingkat inkompatibilitas bersilang sendiri pada tanaman kayu putih (Noor
Khomsah Kartikawati, 2005)
Berdasarkan table 3 menunjukkan perkembangan kondisi buah sejak
penyerbukan hingga buah dipanen (setelah 3-4 bulan setelah penyerbukan).
Pada penyerbukan sendiri satu minggu setelah penyerbukan (kantong dibuka)
masih perdapat buah yang menempel pada ranting tetapi akhirnya buah gugur
sebelum waktu masak. Rata-rata persen jadi buah hasil penyerbukan sendiri
sebesar 0,013. Hanya pada family 2a yang memberikan kontribusi terhadap
nilai persen jadi buah yaitu 13% sedangkan pada penyerbukan silang sebagian
buah masih bertahan hingga waktu masak dengan rata-rata persen jadi buah
36,4%. Secara umum Nampak bahwa penyerbukan sendiri pada tanaman kayu
putih memberikan persen keberhasilan yang sangat rendah dan ini merupakan
gambaran kasar adanya inkompatibilitas bersilang sendiri pada jenis ini.
Pada proses penyerbukan dan pembuahan diperlukan saling kecocokan
(kompatibel) antara gamet jantan dan gamet betina. Penyerbukan ini akan
berhasil apabila serbuk sari dapat berkecambah di atas kepala putik,
selanjutnya tabung serbuk sari dapat tumbuh terus menembus ovarium hingga
akhirnya serbuk sari dapat membuahi sel telur. Hasil pengamatan yang
dilakukan pada tanaman kayu putih menunjukkan bahwa pembuahan hanya
berhasil pada penyerbuka silang dan sedikit sekali yang berhasil pada
penyerbukan sendiri.
Secara umum terjadinya inkompatibilitas bersilang sendiri merupakan
akibat dari kegagalan serbuk sari untuk dapat melekat atau berkecambah pada
kepala putik, atau kegagalan tabung sari untuk memasuki kepala putik, atau
tumbuh ke bawah tangkai putik. Menurut Barlow and Forrester (1984) yang
meneliti tentang inkompatibilitas pada beberapa jenis Melaleuca,
perkecambahan serbuk sari yng di awali dengan pembentukan tabung serbuk
sari terjadi kurang dari 24 jam setelah penyerbukan. Lebih lanjut disebutkan
jenis M. nematophylla tabung serbuk sari akan mencapai dasar saluran tangkai
putik setelah 24 jam tetapi setelah itu pertumbuhannya terhenti dan tidak
sampai terjadi pembuahan. Sedangkan pada M. hypericifolia, M. thymifolia
setelah mencapai indung telur, tabung serbuk sari akan berbalik arah sehingga
proses pembuahan gagal. Beberapa kasus yang terjadi pada Melaleuca sp.,
menunjukkan adanya fenomena inkompatibilitas bersilang sendiri sebelum
pembuahan. Hal ini diduga juga terjadi pada tanaman kayu putih.
Tingkat inkompatibilitas bersilang sendiri yang tinggi pada kayu putih
memberikan dampak positif dalam program pemuliaan. Hal ini memudahkan
pemulia dalam menghimpun variasi genetic karena dapat menggunakan benih
hasil penyerbukan terbuka dari pohon-pohon terpilih penyusun kebun benih.
Benih-benih tersebut aman dari kemungkinan terjadinya depresi inbreeding
akibat perkawinan antar kerabat. Mengingat tingginya tingkat inkompatibilitas
tanaman kayu putih maka dalam program pemuliaan selanjutnya perlu
dibangun suatu kebun benih klon yang tersusun dari pohon-pohon plus dari
kebun benih uji keturunan kayu putih. Dengan demikian akan terjadi
penyerbukan silang diantara pohon-pohon plus tersebut dan diharapkan akan
menghasilkan perolehan genetic yang lebih besar.
3) Analisis genetik ciri-ciri kuantitatif dan kompatibilitas sendiri bunga matahari
di lahan ultisol (Suprapto dan Supanjani, 2009)
Bunga matahari merupakan tanaman penghasil minyak makan (edible
oil) penting dunia dan menempati posisi terbesar ketiga dunia setelah minyak
kedelai dan kelapa sawit (Gandhi et al.,2005). Tanaman bunga matahari yang
dibudiyakan di Indonesia hasilnya rendah yang disebabkan oleh persentase
yang rendah dalam pembentukan biji karena inkom-patibilitas sendiri (self
incompatibility) (Khanna dan Gupta, 1978). Inkompatibilitas sendiri
menyebabkan individu tanaman mempunyai susunan genetik dengan tingkat
heterosigositas tinggi (Borojevic, 1990; Fehr, 1987; Poehlman, 1979).
Sebagian besar kapitula bunga matahari bersifat hermaprodit tetapi protandri
sehingga menyebabkan inkompatibilitas sendiri. Oleh sebab itu, keberadaan
serangga sangat penting untuk membantu penyerbukan dan menghasilkan biji.
Pada kultivar yang bersifat autogami, pericarp berkembang normal, tetapi
ovul atau bakal biji tidak terbentuk (Putnam et al., 1990). Tingkat
kompatibilitas sendiri yang rendah menunjukkan terdapatnya gen pengendali
restorer fertilitas (Jan, 2000).
Pengamatan kompatibilitas sendiri dilakukan secara visual pada saat
pembungaan (R5) dengan cara melihat kedudukan stamen dan pistil. Dalam
pengamatan secara visual diketahui kedudukan pistil bunga matahari lebih
tinggi daripada kedudukan stamen (heterostili), sehingga terjadi
inkompatibilitas heteromorfik, yakni tipe Pin, sehingga keberadaan lebah,
kupu-kupu dan burung sangat penting sebagai polinator untuk membantu
penyerbukan dan menghasilkan biji. Bunga matahari termasuk tanaman
dengan inkompatibilitas sporofitik, yakni inkompatibilitas tidak hanya
ditentukan oleh alel-alel S yang terdapat di dalam serbuk sari dan ovari, tetapi
juga ditentukan oleh bentuk hirarki dominansi dari alel S. Dalam hal ini alel
S1 dominan terhadap semua alel, alel S2 dominan terhadap semua alel kecuali
S1, alel S3 dominan terhadap semua alel kecuali alel S1 dan S2 dan
seterusnya. Induk jantan dengan genotip S1 S2 akan menghasilkan serbuk sari
dengan fenotip S1 walaupun terdapat alel S2. Alel S2 dominan terhadap S3,
S2 inkompatibel dengan S1S2 sehingga tidak terjadi fertilisasi
(inkompatibilitas)(Gandhi et al., 2005).
Seleksi kompatibilitas yang kedua menggunakan percobaan faktorial
dengan dua faktor. Faktor pertama adalah aksesi bunga matahari dan faktor
kedua adalah perlakuan kapitula ditutup (dibungkus) atau dibiarkan terbuka.
Penutupan kapitula dilakukan sebelum kapitula mekar sepenuhnya (fase R3).
Hasil analisis varians disajikan pada Tabel 5.
Pengaruh perlakuan penutupan kapitula terhadap jumlah biji
bernas/kapitula, bobot biji dan persentase biji bernas disajikan pada Tabel 6.

Setiap kapitula yang terbuka mempunyai jumlah biji bernas yang jauh
lebih banyak dibandingkan dengan jumlah biji bernas pada kapitula yang
ditutup, dan sebaliknya setiap kapitula yang terbuka mempunyai jumlah biji
yang tidak bernas lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah biji tidak bernas
pada kapitula yang ditutup. Aksesi yang terbuka mempunyai biji bernas
sebanyak 5,29-65,91%, sedangkan aksesi yang tertutup mempunyai biji
bernas sebanyak 1,28-4,99%. Hal ini menunjukkan bahwa aksesi-aksesi
mempunyai tingkat kompatibilitas yang berbeda.
Kompatibilitas tergantung pada keberadaan polinator. Lebah madu
merupakan polinator utama pada budidaya bunga matahari. Jika jumlah lebah
kurang pada suatu lahan tanaman bunga matahari, maka biji yang dipanen
sangat sedikit (Radaeva, 1994).
Kelima aksesi bunga matahari yang dikaji menunjukkan tingkat
kompatibilitas sendiri yang sangat rendah. Dengan demikian, aksesi bunga
matahari tersebut masih sangat tergantung pada keberadaan serangga
penyerbuk. Hal ini terjadi karena bunga matahari mempunyai stigma yang
menyembul keluar dengan posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan
posisi anther sehingga stigma lebih reseptif dari serbuk sari bunga matahari
yang lain, tetapi tidak reseptif terhadap serbuk sari dari kapitula yang sama.
Keadaan ini menyebabkan tanaman bunga matahari termasuk tanaman
menyerbuk silang.
2. Metode Seleksi
a. Metode seleksi tanaman menyerbuk sendiri
Menyerbuk sendiri, apabila pemindahan tepung sari terjadi pada satu bunga
atau bunga lain tanaman itu juga (Sifat-sifatnya: susunan genetic tanaman
menjurus homozigositas, populasi mejadi lebih homogen, tanaman homozigot
menjadi subur, sifat adaptasi kurang, dan rekombinasi terbatas).

Metode yang umum dipergunakan dalam program pemuliaan tanaman menyerbuk


sendiri antara lain (Sri Hartatik. 2007):

1. Seleksi Massa
Tujuan seleksi massa memurnikan varietas (Pengotoran dari
percampuran, persilangan alami dan mutasi alami dalam produksi benih) dan
Memperbaiki sifat-sifat dalam varietas lokal (Diperoleh varietas unggul yang
merupakan campurangenotipa dengan fenotip yang seragam).
Prosedur seleksi massa:
a. Dari populasi dasar yang ditanam dipilih individu-individu terbaik
berdasarkanfenotipe yang sesuai dengan kriteria seleksi
b. Biji dari individu terpilih dipanen dan dicampur
c. Diambil sejumlah biji secara acak lalu ditanam pada satu petak dan dipilih
individu-individu terbaik sesuai dengan kriteria seleksi.
Kekurangan dari seleksi ini ialah kurang menarik dibandingkan dengan
varietas yang berasal dari galur murni(seragam), lebih sulit untuk memberikan
tanda pengenal diri pada programseleksi benih, dan biasanya memberi hasil
lebih rendah dari galur terbaikdalam campuran.

2. Seleksi Lini Murni/ Galur Murni


Galur adalah individu-individu yang dikembangkan dari penyerbukan
sendiri dari tanaman tunggal. Jika galur tersebut dapat dianggap sebagai suatu
populasi dengan genotipa tunggal, maka dapat disebut galur murni. Sehingga
dipandang dari sudut genetika, suatu galur murni merupakan populasi
seragam, karena ia relative homozigot.
Teori galur murni pertama kali dikemukakan oleh Johannsen pada
tahun 1903 berdasarkan peneliannya pada kacang buncis varietas princess.
Menurut Johannsen, tanaman-tanaman yang menyerbuk sendiri sebenarnya
terdiri dari N galur. Teori ini dikenal dengan Johannsen’s Pure Line Theory.
Tujuan:
a. Mendapatkan varietas yang dikembangkan dari individu homosigot
superior
b. Pemilihan berdasarkan fenotip
c. Keberhasilan tergantung ragam tanaman homosigot
d. Hasil seleksi berupa galur murine
e. Populasi campuran bahan seleksi dapat berupa varitas local.

Kelebihan :

- Lebih menarik karena lebih seragam baik genotip maupun fenotip


- Lebih mudah diidentifikasi
- Hasil biasanya lebih tinggi daripada hasil seleksi massa

Kelemahan:
- Kurang adaptif terhadap perubahan lingkungan
- Untuk menggabungkan sifat dari sepasang atau lebih tetua
- Diawali dengan pemilihan tetua berdasar tujuan program
3. Seleksi Hibridisasi
 Seleksi Bulk
Metode bulk merupakan metode untuk membentuk galur-galur
homozigot dari populasi bersegregasi melalui selfing selama beberapa
generasi tanpa seleksi pada generasi awal melainkan dilakukan seleksi
pada generasi lanjut setelah tanaman banyak yang homozigot. Selama
pertumbuhannya terjadi seleksi alam, sehingga tanaman yang tidak tahan
menghadapi tekanan lingkungan akan tertinggal pertumbuhannya atau
mati. 
Prinsip metode bulk adalah 1) merupakan metode seleksi yang paling
sederhana setelah seleksi massa, 2) tidak dilakukan seleksi pada generasi
awal, 3) pada generasi awal tanaman ditanam rapat dan dipanen secara
gabungan (bulk), 4) memanfaatkan tekanan seleksi alam pada generasi
awal, 5) seleksi baru dilakukan setelah tercapai tingkat homozigositas
tinggi (F5 atau F6), 6) seleksi untuk karakter dengan heritabilitas rendah
hingga sedang. 
Kelebihan metode buk adalah 1) relatif murah dan sederhana untuk
memelihara populasi bersegregasi, 2) generasi F1 sampai F4 pekerjaan
tidak terlalu berat karena pada generasi tersebuttidak dilakukan seleksi, 3)
ekonomis untuk tanaman-tanaman berumur pendek dan dapat ditanam
pada jarak tanam sempit seperti padi, gandum, kedelai, kacang tanah, dll
sehingga tidak mengurangi luas lahan percobaan, 4) tanaman yang baik
tidak terbuang karena tidak dilakukan seleksi pada generasi awal, 5)
beberapa generasi dapat dilakukan pada tahun yang sama, 6) seleksi alam
pada generasi awal dapat meningkatkan frekuensi gen-gen baik. 
Kelemahan metode bulk adalah 1) silsilah galur tidak tercatat sejak
awal, 2) seleksi alam pada generasi awal dapat menghilangkan genotipe-
genotipe baik, 3) tanaman pada satu generasi belum tentu terwakili pada
generasi selanjutnya, 4) jumlah tanaman pada generasi lanjut sangat
banyak sehingga menyulitkan dalam seleksi dan memerlukan lahan sangat
luas. 
 Seleksi Silsilah (Predigree)
Metode ini dikatakan silsilah (pedigree) karena pencatatan dilakukan
pada setiap anggota populasi bersegregasi dari hasil persilangan. Seleksi
pedigree diperlukan untuk menyatakan dua galur tersebut serupa dengan
mengkaitkan terhadap individu tanaman generasi berikutnya. Seleksi
pedigree merupakan salah satu metode seleksi padat karya dan
mengharuskan pencatatan rinci semasa masa awal pemisahan generasi.
Keuntungannya adalah hanya garis keturunan yang memiliki gen yang
diingikan akan terbawa ke generasi berikutnya. Metode ini juga
memungkinkan untuk mendapatkan informasi genetik yang tidak mungkin
didapat pada metode seleksi lainnya.
Seleksi pegidree dapat diterapkan bila sifat yang diseleksi memiliki
nilai heritabilitas yang tinggi dan diseleksi pada populasi yang
bersegregasi. Karakter-karakter yang memenuhi kriteria tersebut adalah
karakter kualitatif. Sedangkan, untuk karakter kuantitatif umumnya
memiliki nilai heritabilitas rendah sehingga kurang efektif dilakukan
perbaikan dengan menggunakan seleksi pedigree. Seleksi pedigree untuk
perbaikan sifat-sifat kuantitatif biasanya dilakukan secara tidak langsung.
Dalam hal ini seleksinya dilakukan pada karakter lain yang nilai
heritabilitasnya tinggi dan berkorelasi positif serta berkaitan erat dengan
hasil. Dalam hal ini kemajuan seleksi (KS) merupakan perbandingan lurus
antara intensitas seleksi yang dibakukan (i), akar kuadrat heritabilitas
karakter yang diseleksi (h) dan korelasi genetik sifat yang diseleksi
dengan hasil (rg) dapat ditulis dengan rumus:

KS = I h rg
Tujuan metode seleksi pedigree adalah untuk memperoleh varietas
baru dengan mengkombinasikan gen-gen yang diinginkan yang ditemukan
pada 2 genotipe atau lebih. Rekombinasi dari dua genotype atau lebih
tersebut diharapkan menghasilkan keturunan yang lebih baik dan lebuh
unggul dibandingkan rata-rata tetuanya. Tetua yang dipilih ahrus memiliki
karakter yang diinginkan, diatur oleh gen yang memiliki potensi untuk
digabungkan. Secara umum, salah satu tetua dipilih karena sudah
bradaptasi dan diterima oleh masyarakat, karakter komponen yang tidak
dimiliki oleh tetua lain, missal ketahanan terhadap penyakit. 
Pada saat melakukan persilangan, hal-hal yang harus diperhatikan
yaitu 1. Ukuran populasi, untuk memperkirakan berapa F1 yang akan
dihasilkan dan berapa F2 yang diinginkan. Hal ini berkaitan dengan
berapa gen yang mengontrol karakter tersebut, 2. Tergantung pada
kombinasi persilangan yang akan membentuk beberapa famili, 3.
Persilangan dapat dilakukan di lapang atau rumah kaca, 4. Luas lahan
yang tersedia, dan 5. Kemampuan pelaksana lapang. 
 Seleksi Silang Balik (Back Cross)
Metode pemuliaan silang balik pertama kali diusulkan pada tahun
1938. Silang Balik : persilangan antara keturunan dengan salah satu
tetuanya. Kegunaan untuk memperbaiki suatu sifat yang dikendalikan oleh
gen tunggal dari varietas unggul pada tanaman menyerbuk sendiri.
Perbaikan sifat kuantitatif melalui silang balik → sulit dicapai. Masalah
yang paling besar dalam pelaksanaan Metode Silang Balik adalah adanya
pautan atau “linkage” antara gen atau allel yang diinginkan dengan allel
yang tidak diinginkan / jelek. Galur pendonor gen (alel) → Tetua Donor
(Donor Parent) Galur yang menerima → Tetua Penerima (Recipient
Parent atau Recurrent Parent).
Dalam metode ini dilakukan beberapa kali silang balik dalam mana
sifat baik yang ditransfer harus tetap terjamin adanya dengan jalan seleksi.
Pada akhir silang balik gen-gen yang ditransfer itu masih heterozigot.
Oleh karena itu silang balik dilanjutkan dengan selfing untuk memperoleh
homozigositasdari sifat yang ditransfer.
Ada dua istilah penting yang berhubungan dengan silang balik, yaitu:
 Reccurent parent, induk atau varietas yang telah menyesuaikan diri.
Varietas-varietas ini masih ada sifat kekurangannya dan merupakan
varietas yang akan diperbaiki.
 Non-reccurent parent, disebut juga donor parent merupakan varietas
donor yang akan memberi sifat yang baikke dalam reccurent parent.

Dengan demikian maksud silang balik yang utama adalah


mempertahankan sifat-sifat asal yang telah baik dari reccurent parent
sedangkan sifat yang dimasukkan dari non reccurent parent harus tetap
ada.

Syarat-syarat penting yang harus dipenuhi pada metode silang balik:

1. Harus cukup adanya reccutent parent


2. Harus memungkinkan terjaminnya cukup intensitas sifat-sifat yang
ditransfer itu selama pekerjaan dijalankan.
3. Harus cukup dilakukan silang balik, agar sifat-sifat baik asal terbentuk
kembali.

Tahapan-tahapan seleksi back cross:

1. Persilangan pertama, antara tetua penerima (R) dengan tetua pemberi


(D)menghasilkan F1
2. Silang balik pertama, F1 disilangkan dengan R untuk mendapatkan
populasi BC1. (F1 sebagai betina dan R sebagai tetua jantan)
3. Silang balik kedua, BC1 disilangkan dengan tetua R untuk
mendapatkan BC2. Tetua BC1 sebagai betina dan R sebagai tetua
jantan.
4. Silang balik ketiga, BC2 disilangkan dengan tetua R untuk
mendapatkanBC3. Tetua BC2 sebagai betina dan R sebagai tetua
jantan.
5. Silang balik keempat, BC3 disilangkan dengan tetua R untuk
mendapatkanBC4. Tetua BC3 sebagai betina dan R sebagai tetua
jantan.
6. Populasi BC4 sudah mengandung kembali 93,75% gen R.7. Pada akhir
kegiatan, BC4 dikawinkan sendiri sehingga terjadi segregasi dan
diseleksi untuk mendapatkan galur harapan baru.

Pada umumnya metode silang balik tidak diakhiri dengan pengujian,


karena yang dimaksud hanya transfer gen yang dibutuhkan dan kalau
sifat-sifat asal dari reccurent parent (sifat-sifat baiknya) telah pulih maka
kita telah punya varietas baru dengan sifat-sifat aslinya yang baik
dipertahankan ditambah dengan sifat-sifat yang ditransfer. Sedangkan
kelemahan dari metode ini yaitu bahwa transfer gen yang dibutuhkan,
dapat ikut serta gen yang tidak diinginkan. Gen-gen yang ditransfer dari
donor parent dapat berupa gen yang dominan maupun resesif.

4. Seleksi Turunan Biji Tunggal (Single seed descent)


Metode ini banyak diterapkan pada tanaman berpolong. Panen
dilakukan satu biji dari setiap tanaman, mulai F2-F5, kemudian setiap biji
tersebut dicampur untuk ditanam pada generasi berikutnya.
Kelebihan:
a. Kebutuhan lahan sedikit
b. Waktu dan tenaga yang diperlukan saat panen lebih sedikit
c. Pencatatan dan pengamatan jauh lebih sederhana
d. Seleksi untuk sifat yang memiliki heritabilitas tinggi dapat dikerjakan
lebih efektif
e. Dimungkinkan menanam sejumlah generasi dalam satu tahun melalui
pengendalian lingkungan (Misalnya, rumah kaca).

Kekurangan:

a. Seleksi untuk karakter-karakter yang bernilai heritabilitas rendah


(misalnya hasil) tidak efisien
b. Identitas tanaman unggul F2 tidak diketahui
c. Bila seleksi pada awal generasi tidak tajam dalam pengamatan, dapat
mengakibatkan hilangnya tanaman superior karena tidak ikut terpilih.
5. Composite Crosses
Composite crosses merupakan sejumlah besar tetua yang berbeda
disilangkan berpasangan. persilangan dari keturunan persilangan majemuk ini
dapat diseleksi dengan metoda pedigree selama segregasi, tetapi yang biasa
dilakukan yaitu mempertahankannya sebagai populasi bulk agar dapat
mengalami seleksi alam. Metode composite crosses juga berguna utuk
mendapatkan populasi yang dapat beradaptasi terhadap tekanan lingkungan
yang khusus seperti hama penyakit, atau ketahanan terhadap cuaca dingin.
Tujuan pokok dari metode composite crosses adalah mengembangkan
dan mempertahankan plasma nutfah yang berguna sebagai sumber genetic
bagi pemulia tanaman dalam mengembangkan varietas superior yang baru.
Suatu contoh yang baik dari dari hasil pemuliaan dengan metode composite
crosses ini adalah seperti yang dikemukakan oleh Suneson (1956) dalam
Allard (1960) pada tanaman barley.
6. Multiple Crossing
Dengan menggunakan metode ini pemulia ingin menggabungkan
secara bersamaan gen-gen/ kombinasi gen dalam hibrida dari beberapa
persilangan. Keuntungan dari menggunakan metode ini yaitu bisa
digabungkannya sifat dari beberapa tetua persilangan dengan cepat dan dalam
waktu yang relative singkat. Akan tetapi kelemahan dari metode ini yaitu pada
saat menggabungkan gen/ kombinasi gen-gen dari tetua persilangan tersebut,
bisa diikuti oleh gen-gen yang tidak diinginkan. Kelemahan ini bisa diatasi
dengan:
a. Memilih tetua-tetua yang mempunyai sifat-sifat yang hamper sama,
kecuali pada sifat yang digabungkan.
b. Menyeleksi karakter-karakter yang diinginkan dalam beberapa keturunan
yang akan dilakukan hibridisasi.
b. Metode seleksi tanaman menyerbuk silang
Menyerbuk silang, apabila pemindahan tepung sari terjadi dari satu bunga ke
bunga lain pada tanaman yang berbeda (Sifat-sifatnya: susunan genetic tanaman
menjurus heterozigot, populasi cenderung heterogen, tanaman homozigot terjadi
kemunduran, sifat adaptasi lebih luas, dan rekombinasi tak terbatas).
Metode seleksi pada tanaman menyerbuk silang:
1) Seleksi Massa
 Seleksi didasarkan pada fenotip individu tanaman
 Tanpa kontrol persilangan
 Peran gen aditif
 Tidak terdapat uji keturunan
 Varietas yang dihasilkan adalah varietas berserbuk terbuka

Prosedur seleksi sebagaimana telah dibicarakan pada metode seleksi


untuk tanaman menyerbuk sendiri.

Efektivitas seleksi massa


 Tergantung pada ketelitian seleksi
 Penampakan fenotip = genotip
 Mudah diukur : kegenjahan, tinggi tanaman, ukuran tongkol
 Kontrol lingkungan, meningkatkan variabilitas genetic

Keuntungan seleksi massa


 Mudah dalam pelaksanaan
 Biaya relatif murah
 Menekan silang dalam
2) Seleksi Tongkol ke Baris
 Seleksi didasarkan pada fenotipe dari induvidu–individu tanaman
 Tanpa atau sebagian kontrol persilangan
 Peran gen aditif
 Terdapat uji keturunan
 Varietas yang dihasilkan adalah varietas berserbuk terbuka.
Prosedur seleksi:
- Dipilih individu-individu superior
- Tanpa/ sebagian persilangannya dikontrol
- Tongkol dari individu terpilih dipanen
- Sebagian benih dari tongkol terpilih ditanam, sisanya disimpan dan tidak
dicampur
- Ditentukan baris-baris terbaik
- Sisa benih dari baris-baris terbaik dicampur untuk ditanam pada siklus
berikutnya
- Sampai disini berarti sudah selesai satu siklus seleksi
3) Seleksi berulang fenotipik
 Seleksi didasarkan pada tetua jantan dan betina
 Terdapat kontrol terhadap persilangan
 h2 dalam arti sempit tinggi → peran gen terutama aditif
 Tidak ada uji keturunan
 Varietas yang dihasilkan adalah varietas berserbuk terbuka / bersari bebas

Prosedur seleksi:

- Suatu populasi ditanam sedemikian rupa sehingga memungkinkan untuk


diadakan seleksi secara individu
- Dipilih individu-individu superior untuk sifat yang diinginkan. Yang lain
dihilangkan atau diemaskulasi.
- Diadakan persilangan di antara individu-individu terpilih.
- Hasil silangan dipanen dan bijinya dicampur.
- Biji hasil silangan → ditanam → diadakan pemilihan individu-individu
superior kembali.
- Demikian seterusnya, sampai diperoleh sifat yang diperbaiki sesuai
dengan kriteria seleksi.
4) Seleksi berulang untuk daya gabung umum
 Seleksi didasarkan pada fenotipe keturunan tanaman
 Terdapat kontrol penuh terhadap persilangan
 Peran gen terutama aditif
 Terdapat uji keturunan → Uji Daya Gabung Umum
 Varietas yang dihasilkan adalah varietas komposit

Prosedur :

- Pada generasi pertama (G1) menanam populasi dasar dan membuat


sejumlah penyerbukan sendiri sehingga dihasilkan sejumlah populasi S1
- Pada generasi ke dua (G2), sebagian biji dari galur-galur S1 ditanam
terpisah dalam baris-baris dan sisa bijinya disimpan. Di samping itu juga
ditanam populasi tetua penguji. Tetua penguji mempunyai dasar genetik
yang luas, misalnya hibrida ganda. Selanjutnya diadakan sejumlah
persilangan antara galur- galur S1 tersebut dengan tetua penguji .
- Pada generasi ke tiga (G3) diadakan pemilihan galur S1 berdasarkan uji
keturunannya. Biji hasil persilangan pada generasi ke dua ditanam dengan
ulangan secukupnya. Galur S1 yang menghasilkan keturunan yang baik
dipilih untuk diteruskan pada generasi berikutnya.
- Pada generasi ke empat (G 4), sisa biji galur S1 terpilih dicampur dan
ditanam. Populasi tanaman ini dibiarkan kawin acak, sehingga terjadi
rekombinasi. Setelah dipanen, bijinya dicampur untuk digunakan pada
siklus–siklus berikutnya.
5) Seleksi Berulang Untuk Daya Gabung Khusus
 Seleksi berdasarkan fenotipe keturunan dari tanaman
 Terdapat kontrol penuh atas persilangannya
 Peran gen aditif dan dominan
 Terdapat uji keturunan → Uji daya gabung khusus
 Varietas yang dihasilkan berupa hibrida tunggal atau hibrida ganda
 Metodenya sama dengan metode Seleksi Berulang Untuk Daya Gabung
Umum, hanya pengujinya berupa Galur Murni atau Hibrida Tunggal →
Mempunyai dasar genetik sempit.
6) Seleksi Berulang Timbal Balik
 Seleksi ini ditujukan untuk perbaikan hibrida.
 Metodenya merupakan gabungan dari Seleksi berulang untuk DGU dan
DGK.
 Perbedaannya dengan dua metode seleksi berulang untuk DGU dan
metode seleksi berulang untuk DGK ialah pengujinya juga merupakan
sebagian dari populasi yang diuji. Artinya, satu populasi merupakan
penguji populasi lain, dan sebaliknya → situasinya timbal balik.
c. Metode seleksi tanaman membiak vegetative
KLON: Keturunan dari satu tanaman tunggal atau sekelompok tanaman hasil
perbanyakan vegetatif (mitosis).
Karakteristik tanaman membiak vegetatif:
1. Umumnya memiliki umur panjang (perenial)
2. Satu siklus hidup (perkecambahan biji-tanaman dewasa: menghasilkan biji)
antara 3-50 th.
3. Latar belakang genetik heterozigot
Kelompok tanaman buah-buahan dan perkebunan.
Prosedur seleksi
• Seleksinya disebut seleksi klonal.
• Dalam suatu populasi tanaman yang diperbanyak secara vegetatif, klon
unggul secara genetik dapat diseleksi dan selanjutnya diperbanyak sebagai
varietas.
• Pada dasarnya seleksi klonal tidak memungkinkan munculnya peningkatan
keragaman genetik antar klon pada generasi selanjutnya.
3 Aspek pemuliaan vegetative
1. Konstitusi genetik kedua tetua yang mampu memberikan keragaman genetik
luas pada keturunannya
2. Kehadiran karakter pada kedua tetua yang ingin digabungkan pada satu
genotipe keturunannya
3. Kemudahan menduga ekspresi genetik yang ditampilkan yang didukung oleh
keragaman genetik yang luas.

Keuntungan seleksi klonal:

1. Karakteristik Klon stabil seperti galur murni. Terhindar dari pengaruh


segregasi gen kecuali terjadi mutasi
2. Karakteristik heterosis mudah dipertahankan. Perbanyakan klonal dapat
mempertahankan keunggulan heteosis sepanjang masa, tanpa melelui
pentahapan seperti pembentukan jagung hibrida.

3. Penerapannya mudah dan sederhana. Hanya didasarkan pada keunggulan


penampilan klon-klon yang diuji, dibandingkan dengan kontrol.

Kelemahan seleksi klonal:

• Seleksi klonal hanya untuk tanaman membiak vegetatif, tidak mampu


memisahkan pengaruh segregasi gen yang muncul pada generasi berikutnya
seperti tan yang diperbanyak generatif maka tidak dapat diterapkan pada
tanaman yang iregenerasikan lewat biji.

• Seleksi klonal tidak menimbulkan variasi baru. Kemajuan seleksi dibatasi


hanya pada pemilihan genotipe unggul yang telah ada dalam populasi.

d. Artikel terkait
1) Seleksi Pada Tanaman Menyerbuk Sendiri “Efektivitas Metode Seleksi
Pedigree dan Modified Bulk pada Tiga Populasi Sorgum (Sorghum bicolor
[L.] Moench) (Dewi Andriani et al, 2019)”
Sorgum merupakan salah satu sumber pangan pokok terpenting di
dunia, terutama di wilayah Afrika, Amerika, dan Asia (FAOSTAT, 2017)
termasuk beberapa provinsi di Indonesia. Saat ini sorgum dikembangkan
sebagai sumber pangan untuk substitusi beras, olahan berbasis tepung, sumber
pakan dan bahan bakar (Suarni, 2012; Dahlberg et al., 2011).
Perbaikan potensi hasil sorgum masih menjadi target utama dalam
kegiatan pemuliaan. Metode seleksi yang umum digunakan dalam pemuliaan
tanaman menyerbuk sendiri dengan tujuan untuk mendapatkan galur murni
berdaya hasil tinggi adalah seleksi pedigree dan bulk (Roy, 2000). Seleksi
pedigree, yaitu seleksi dilakukan pada generasi awal dan dengan pencatatan
sehingga silsilah galur diketahui. Seleksi pedigree didasarkan pada
penampilan individu terbaik dari famili terbaik. Seleksi bulk adalah seleksi
yang melibatkan seleksi alam sejak generasi awal sampai dilakukan seleksi
oleh pemulia pada generasi lanjut.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa genotype dan varietas
pembanding berbeda nyata untuk semua karakter yang diamati, kecuali umur
panen. Galur-galur F6 berbeda nyata pada karakter tinggi tanaman, umur
berbunga, panjang malai, diameter malai, bobot biji permalai, dan bobot 100
biji. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai tengah antar
genotipe, varietas pembanding, dan galur-galur F6 sorgum. Perbedaan nilai
tengah menunjukkan adanya keragaman fenotipe pada karakter sorgum yang
dapat disebabkan oleh keragaman faktor genetik, lingkungan, atau interaksi
faktor genetik dan lingkungan.
Proporsi keragaman faktor genetik terhadap keragaman fenotip dapat
dilihat dari nilai heritabilitas. Nilai heritabilitas dalam penelitian ini berkisar
antara 0.54 hingga 0.98. Berdasarkan Stanfield (1983), heritabilitas semua
karakter tergolong tinggi, kecuali karakter umur panen. Nilai heritabilitas
yang tinggi diharapkan diikuti nilai koefisien keragaman genetik yang luas.
Nilai koefisien keragaman genetik dalam penelitian ini berkisar 1.39% hingga
25.15%.
Keragaan populasi tiga F6 yang terdiri dari galur-galur hasil seleksi
pedigree dan modified bulk terdapat pada Tabel 3. Tinggi tanaman galur-galur
F6 berkisar antara 123.8-293.7 cm. Diameter batang galur-galur F6 sorgum
berkisar antara 19.0-26.2 mm. Jumlah daun galur-galur F6 sorgum berkisar
10-17 helai daun. Umur berbunga galur-galur F6 sorgum berkisar antara 56-
77 HST. Panjang malai galur-galur F6 sorgum berkisar antara 15-27 cm.
Diameter malai galur-galur F6 sorgum berkisar antara 41.8-71.1 mm. Ukuran
malai yang panjang dan berdiameter besar akan memberikan jumlah biji yang
lebih besar dan dapat meningkatkan potensi hasil sorgum. Bobot biji per malai
galur-galur F6 sorgum berkisar antara 20.9-87.4 g dan bobot 100 biji berkisar
antara 1.8-3.4 g. Terdapat banyak galur yang memiliki bobot biji per malai
dan bobot 100 biji setara dan lebih besar dibandingkan dengan varietas
pembanding.

Tujuan pemuliaan sorgum selain perbaikan hasil, juga untuk


memperbaiki arsitektur tanaman. Arsitektur tanaman yang diharapkan yaitu
tinggi tanaman pendek-sedang, berdiameter batang besar, berjumlah daun
banyak, dan berumur genjah.
Hasil uji kontras antar populasi hasil seleksi pedigree dan modified
bulk menunjukkan bahwa keragaan nilai tengah untuk semua karakter yang
diamati tidak berbeda nyata (Tabel 5). Tidak adanya perbedaan nilai tengah
pada populasi hasil seleksi pedigree dan modified bulk menunjukkan bahwa
kedua metode seleksi memberikan kemajuan genetik yang sama baiknya.

Hasil uji kontras antar metode seleksi pada masingmasing populasi


menunjukkan bahwa nilai tengah populasi yang diseleksi dengan metode
pedigree dan modified bulk tidak berbeda nyata pada semua karakter yang
diamati, kecuali umur panen pada populasi PI 10-90-A x Numbu. Hal ini
menunjukkan bahwa kedua metode seleksi menghasilkan kemajuan seleksi
yang sama pada populasi berbeda. Metode modified bulk memungkinkan
dapat menjadi alternatif metode selain pedigree, bulk, atau single seed descent
untuk penanganan populasi bersegregasi pada tanaman menyerbuk sendiri.
Metode seleksi bulk dari individu terbaik memberikan kemudahan dalam
proses seleksi karena lebih sedikit melakukan pencatatan dan populasi yang
ditangani sudah tidak besar. Trikoesoemaningtyas et al. (2017) menyarankan
metode seleksi bulk untuk perbaikan daya hasil sorgum agar diperoleh
kemajuan genetik yang lebih tinggi. Di sisi lain, Kanbar et al. (2011)
melaporkan bahwa galur-galur padi yang dihasilkan dari metode seleksi
pedigree memiliki superioritas yang lebih tinggi dibandingkan dengan galur-
galur hasil seleksi modified bulk.
Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh informasi bahwa penerapan
metode seleksi yang berbeda pada populasi dari kombinasi persilangan atau
tetua yang sama ternyata menghasilkan keragaan populasi F6 yang tidak
berbeda antar metode seleksi. Hal ini menunjukkan bahwa populasi F6 baik
hasil seleksi pedigree maupun modified bulk menunjukkan kemajuan genetik
yang sama.
2) Seleksi Pada Tanaman Menyerbuk Silang “Seleksi Satu Tongkol Satu
Baris (Ear to Row Selection) pada Tanaman Jagung (Zea mays L.)
(Achmad Amzeri, 2019)
Metode perakitan varietas dalam program pemuliaan tanaman ada tiga
yaitu : (1) Seleksi, (2) Hibridisasi dan (3) Hibridisasi yang dilanjutkan dengan
seleksi. Seleksi pada tanaman menyerbuk silang mempunyai dua tujuan,
yaitu : (1) memilih genotip untuk dijadikan tetua pada pembentukan populasi
dasar, dan (2) pemilihan individu tanaman atau galur untuk peningkatan sifat
populasi atau perakitan varietas baru (Amzeri, 2015).
Seleksi satu tongkol satu baris merupakan modifikasi dari seleksi
massa yang merupakan salah satu metode seleksi pada tanaman menyerbuk
silang untuk meningkatkan karakter kuantitatif suatu populasi. Seleksi satu
tongkol satu baris pada beberapa siklus generasi seleksi akan menghasilkan
populasi baru yang mempunyai karakter karakter yang diharapkan
berdasarkan target seleksi yang diharapkan.
Metode perakitan varietas melalui seleksi akan cepat memberikan
hasil apabila karakter karakter yang akan ditingkatkan mempunyai nilai
heritabilitas yang tinggi. Nilai heritabilitas yang tinggi ini menunjukkan
bahwa penampilan karakter lebih banyak dipengaruhi faktor genetik
dibandingkan pengaruh lingkungan, sehingga faktor genetik ini akan
diturunkan secara terus menerus pada turunnannya. Keragaman genetik yang
tinggi pada populasi juga mempengaruhi keberhasilan seleksi yang
diterapkan, di mana tingginya keragaman genetic pada karakter tertentu akan
memberi peluang yang besar dalam perbaikan karakter tersebut.
Hasil rekapitulasi sidik ragam menunjukkan bahwa 20 genotip yang
diuji tidak berpengaruh nyata pada karakter tinggi tanaman, jumlah daun,
panjang daun, lebar daun, umur bunga jantan, umur panen, tinggi letak
tongkol, panjang tongkol dan lingkar tongkol. Pada karakter diameter tongkol,
diameter jenggel, berat tongkol per tanaman, berat biji per tanaman, berat 100
biji dan produksi per hektar berpengaruh nyata.
Heritabilitas suatu karakter merupakan proporsi besaran ragam genetik
terhadap besaran total ragam fenotip (ragam gentik ditambah ragam
lingkungan. Nilai heritabilitas dapat memberikan gambaran apakah suatu
karakter lebih dipengaruhi faktor genetik atau faktor lingkungan (Amzeri,
2009; Sari et al, 2013). Nilai heritabilitas karakter karakter dari 20 genotip
jagung yang diuji mempunyai kriteria heritabilitas dalam arti luas kecil
sampai tinggi. Karakter Umur berbunga jantan mempunyai nilai heritabilitas
terendah yaitu sebesar 8,93%, sedangkan karakter produksi per hektar
mempunyai nilai heritabilitas tertinggi yaitu sebesar 96,43%.
Pada karakter produk per hektar dapat disimpulkan bahwa karakter ini
banyak dikendalikan oleh peran genetik dibandingkan dengan peran
lingkungan. Seleksi pada karakter yang mempunyai nilai heritabilitas tinggi
akan menunjukkan kemajuan genetik yang signifikan karena karakter ini akan
diwariskan pada keturunannya (Barmawi, 2013) dan seleksi untuk karakter
yang mempunyai nilai heritabiltias tinggi bisa dilakukan diawal generasi
(Olakojo and Oloye, 2011). Selain karakter produksi per hektar, karakter
Diameter jenggel dan berat 100 biji mempunyai nilai heritabilitas yang tinggi.
Besaran keragaman dalam populasi yang diamati dapat dihitung
melalui koefisien keragaman. Koefisien keragaman dari 20 genotip yang diuji.
Koefisien keragaman genetik dan fenotip dari 20 genotip yang diuji
menunjukkan bahwa tinggi letak tongkol, karakter diameter jenggel, Berat
tongkol per tanaman, Berat biji per tanaman, berat 100 biji dan produksi per
hektar memiliki keragaman genetik sedang. Hal ini menunjukkan bahwa
seleksi tongkol dapat meningkatkan variasi genetik, sehingga diharapkan
dapat memberi peluang dalam memperbaiki karakter yang diinginkan.
Kofesien keragaman genetik rendah diperoleh pada karakter Tinggi
tanaman, jumlah daun, panjang daun, luas daun, umur berbunga jantan, umur
panen, panjang tongkol, lingkar tongkol dan diameter tongkol. Seleksi pada
karakter ini tidak akan memberikan kemajuan genetik yang signifikan karena
keragaman dari karakter ini rendah.
Hasil akhir dari suatu program pemuliaan tanaman jagung adalah
terakitnya varietas unggul yang mempunyai produksi tinggi dan mempunyai
keunggulan sifat lainnya. Kriteria seleksi untuk karakter produksi pada
penelitian ini adalah memilih genotip yang mempunyai produksi di atas 9,5
ton per hektar. Berdasarkan kriteria seleksi ini didapatkan 9 genotip yang
mempunyai produksi di atas 9,5 ton per hektar, yaitu : G8, G11, G12, G13,
G15, G17, G18, G19 dan G20. Berdasarkan hasil perhitungan nilai
heritabilitas dan koefesien keragaman genetik mempunyai nilai heritabilitas
yang tinggi dan nilai koefeien keragaman genetik yang sedang. Diharapkan 9
genotip yang terpilih untuk dijadikan bahan gentik dalam program seleksi satu
tongkol satu baris (ear to row selection) dapat meningkatkan karakter
produksi tanaman jagung.
3) Seleksi Pada Tanaman Membiak Vegetatif ”Seleksi Tanam Tunggal 14
Klon Ubi Jalar (Ipomoea Batatas L.) Berantosianin dan Berumbi Besar
dari Induk Ayamurasaki (Ari Putri Dewi et al, 2019)
Ubi jalar ungu (Ipomoea batatas) adalah jenis umbi-umbian yang
mempunyai keunggulan dibanding umbi lainnya karena memiliki kandungan
zat gizi yang beragam (Wijayanti, 2011). Varietas Ayamurasaki adalah ubi
jalar ungu introduksi dari Jepang yang telah ditanam secara komersial di
beberapa daerah di Pulau Jawa Pada tahun 2001 Balitkabi berhasil melepas
varietas ubi jalar yang berumur genjah, potensi hasil tinggi, tajuk kecil, dan
keragaan umbi bagus yaitu varietas Sari dengan kriteria umur 3,5—4 bulan.
Varietas Sari merupakan hasil persilangan antara varietas lokal Genjah Rante
dengan varietas Lapis yang dalam proses seleksi diberi nama MIS 104-1.
Hubungan antar suatu sifat dengan lainnya mempunyai arti yang
penting dalam pekerjaan seleksi. Bila ada hubungan yang erat antar sifat
penduga dan sifat yang diduga pada seleksi, maka pekerjaaan seleksi akan
lebih efektif lalu akan didapatkan persilangan harapan (Poespodarsono, 1988).
Penelitian ini diarahkan untuk mendapatkan ubi jalar ungu berumur genjah
yang sebelumnya mengalami persilangan bebas kemudian dilakukan seleksi
tanam tunggal. Penelitian ini bertujuan untuk menyeleksi klon ubi jalar ungu
(berantosianin) dan memiliki bobot ≥ 250 g. tanaman-1 dengan umur panen
3,5 bulan dari hasil persilangan bebas induk Ayamurasaki pada seleksi tanam
tunggal.
Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa (1)
Klon ubi jalar yang mengandung antosianin (ungu) yaitu pada klon A2, A3,
A4, A5, A7, A11, A12, A14, (2) Klon ubi jalar yang memiliki bobot umbi
besar ≥ 250 g per tanaman yaitu A2, A4, A5, A8, A15, dan A11, (3) Klon ubi
jalar yang berwarna ungu dan memiliki bobot umbi besar ≥ 250 g per tanaman
dengan umur panen 3,5 bulan (genjah) yaitu A2, A4, A5, dan A11.
3. Peran Bioteknologi
Bioteknologi adalah teknologi yang menerapkan proses-proses biologi dari
organisme hidup untuk meningkatkan produksi yang optimal, menghasilkan produksi
yang berkualitas, aman untuk dikonsumsi, proses produksinya ramah lingkungan,
sehingga prosesnya dapat berkelanjutan
Peran bioteknologi dalam pemuliaan tanaman:
a. Induksi keragaman
Pemuliaan Tanaman pada dasarnya adalah melakukan seleksi dari keragaman
genetic yang ada baik yang berasal dari gene pool atau hasil induksi, sesuai
dengan kriteria yang diinginkan. Induksi keragaman melalui pendekatan non
konvensional dilakukan sebagai komplemen pendekatan konvensional. Hal ini
dilakukan bila sasaran tidak bisa dicapai atau kurang efisien bila dilakukan
dengan pendekatan konvensional. Pada jaman dulu dilakukan melalui grafting
untuk mendapatkan tanaman dengan buah unggul tapi kerdil.
Kemajuan teknologi, telah memungkinkan upaya baru menginduksi
keragaman tanpa melalui persilangan, upaya ini penting apabila persilangan
konvensional tidak mungkin, yaitu:
1) Variasi Somaklonal. Merupakan upaya mempercepat akumulasi mutasi,
melalui percepatan pembelahan mitosis dengan memanipulasi pembelahan
kalus pada perbanyakan kultur jaringan. Sering digunakan untuk
mendapatkan tanaman yang toleran terhadap cekaman biotik maupun abiotik.
2) Embryo resque. Merupakan upaya memberikan media tumbuh yang optimum
bagi embrio hasil persilangan intraspesifik, yang tidak dapat disediakan kedua
tetuanya, untuk mendapatkan bentuk keragaman baru, dari gene pool yang
lebih besar.
3) Manipulasi Ploidi. Merupakan induksi keragaman dengan merubah set
genom, baik utuh maupun parsial, terdiri
a) Haploidisasi, membuat tanaman genom tunggal, untuk digandakan
menjadi galur murni, bagi pembentukan hibrida
b) Poliploidisasi, membuat tanaman dengan jumlah set kromosom yang lebih
besar seperti triploid (pisang), tetraploid (kentang, semangka), maupun
hexaploid (gandum)
4) Fusi Protoplas. Upaya menyilangkan sel somatic secara invitro, bagi
persilangan antar genotipe/ spesies yang tidak bisa dilakukan secara
konvensional, dengan melibatkan organel sel tertentu, keberhasilannya masih
rendah dan terbatas untuk tanaman yang hubungannya masih dekat serta
penggabungan sifat secara menyeluruh sehingga semua sifat (termasuk yang
jelek) ikut tergabung.
5) Transformasi Genetik. Merupakan induksi keragaman melalui penyisipan gen
tertentu kedalam genom tanaman yang akan diperbaiki sifatnya. Penyisipan
biasanya dilakukan pada genom inti, tapi dimungkinkan juga pada genom
plastid pada chloroplast.

Jurnal Terkait “Transformasi Genetik Tanaman Kentang (Solanum


tuberosum L.) dengan Gen acvB Menggunakan Vektor Agrobacterium
tumefaciens (Darwin Silalahi et al, 2021”

Transformasi genetik digunakan secara luas untuk mempelajari fisiologi,


genetik dan perkembangan biologi tanaman. Agrobacterium tumefaciens banyak
sekali digunakan untuk melakukan transformasi genetik tanaman. Keuntungan
perbanyakan tanaman kentang melalui kultur jaringan dibandingkan dengan
metode lain adalah dapat menghasilkan tanaman bebas penyakit (Nematoda
parasit, mikoplasma, viroid, virus, dan jamur) serta membuat variasi genetik.

Bakteri yang tergolong kedalam gram negatif ini memiliki sebuah plasmid
yang besar yang disebut plasmid-Ti yang membawa gen penyandi faktor virulensi
penyebab infeksi bakteri ini pada tanaman. Untuk memulai pembentukan A.
tumefaciens harus menempel terdahulu pada permukaan sel inang dengan
memamfaatkan polisakarida yang dibutuhkan tanaman kemudia akan digunakan
untuk mengkolonisasi atau menguasai sel tanaman (Silitonga et al., 2014).

Pengaplikasian transformasi genetik dengan menggunakan Metode oles, yaitu


dengan mengolesi satu koloni A. tumefaciens yang membawa gen acvB ke
eksplan tanaman kentang selanjutnya dilakukan pengamatan pada tanaman kultur
in vitro. Data ekspresi tersebut menunjukkan bahwa sebagian jaringan eksplan
terinfeksi Agrobacterium mengeluarkan fenolik yang menunjukkan bahwa infeksi
diduga telah masuk dalam jaringan dan diindikasi bahwa gen itu juga masuk ke
dalam sel tanaman. A. tumefaciens menempel pada eksplan kentang yang terluka
karena tanaman tersebut mengeluarkan molekul sinyal berupa senyawa-senyawa
fenolik, seperti acetosyringone. Senyawa-senyawa fenolik ini akan mengaktifkan
gen vir yang terdapat di dalam Ti-plasmid, yang bertanggung jawab untuk
mentransfer T-DNA dari A. tumefaciens menuju sel inangnya (tanaman).

b. Identifikasi keragaman
Keragaman genetic dapat didentifikasikan pada beberapa fase genetika antara
lain:
1) Fase penotifik, dimana keragaman dapat diidentifikasi melalui pengamatan
visual, maupun pengukuran dengan alat bantu tertentu (timbangan, jangka
sorong, colorchart).
2) Fase protein dan senyawa kimia. Pengamatan harus dilakukan dengan
berbagai alat bantu, misalnya kandungan vitamin dengan metode khusus,
kemanisan buah dengan refrakctometer, kandungan chlorofil, kandungan
senyawa fungsional, hingga keragaman kandungan enzim dengan analisis
isozyme.
3) Fase sintesis protein, dimana keragaman dapat diidentifikasi pada tahap RNA
yang terbentuk dengan analisis Northern blot, maupun protein yang terbentuk
melalui analisis Western Blot. Bahkan saat ini sudah dikembangkan alat untuk
mengetahui susunan asam amino pada protein.
4) Pada tingkat DNA. Identifikasi keragaman pada susunan DNA memberikan
hasil yang akurat karena tidak dipengaruhi oleh lingkungan, dan fase
pertumbuhan tanaman. Beberapa alat bantu identifikasi keragaman DNA dan
kelebihan serta kekurangannya disajikan dalam tabel berikut ini.

Jurnal Terkait “Identifikasi Keragaman Genetik Dengan Karakter


Morfologi Artocarpus heterophyllus Lamk Nangka Kalimantan Barat,
Indonesia (Nugraha Banu Safitri et al, 2017)

Nangka Artocarpus heterophyllus Lamk. merupakanbuah yang sudah lama


dikenal namun belum banyak penelitian tentang nangka. Identifikasi keragaman
genetik merupakan lagkah awal untuk mengetahui informasi genetik tanaman
nangka. Seleksi keunggulan varietas serta pemuliaan tanaman menggunakan
metode persilangan dan rekayasa genetika sebelumnya perlu dilakukan
identifikasi karakter morfologi.

Berdasarkan analasis cluster (analisis kelompok) identifikasi keragaman


nangka Kalimantan Barat menggunakan program SPSS 22 diperoleh dendrogram
cluster terdiri 3 kelompok besar yaitu kelompok KUBURAYA02 dan
PONTIANAK01 Kelompok kedua terdiri dari SAMBAS01, SINGKAWANG02,
SAMBAS02, KUBURAYA05, KUBURAYA01 dan SINGKAWANG01.
Kemudian kelompok ketiga terdiri dari PONTIANAK02, KUBURAYA04 dan
KUBURAYA03. Hasil analisis dendrogram dan analisis koefisien
menggambarkan bahwa tanaman nangka di Kalimantan Barat melalui identifikasi
karakter morfologi memiliki keragaman genetik yang sangat beragam. Dalam
penelitian Khan et.al (2010) menyebutkan bahwa keragaman bedasarkan
pengamatan morfologi pada karakter kualitatif dan kuantitatif lebih baik nangka
budidaya dibanding nangka tumbuh alami di hutan. Perbedaan antar populasi
dikarenakan bebas dan semi bebas dengan pengaruh seleksi manusia.

Diagram dendrogram hasil analisis kelompok dapat di telusuri beberapa


pembeda karakteristik morfologi berdasarkan passport data tanaman nangka
Kalimantan Barat. Diketahui bahwa karakter morfologi pada setiap aksesi
menunjukkan karakter yang berbeda karakter bentuk tajuk, bentuk daun, bentuk
buah, warna kulit buah, bentuk ujung daun, bentuk nyamplung, tekstur daging
buah, warna daging buah dan bentuk biji. Masing-masing aksesi tidak terdapat
karakter yang sama persis dalam deretan sub karakter pada identifikasi karakter
morfologi, ini menunjukkan bahwa nangka Kalimantan Barat memiliki
keragaman yang tinggi. Hal ini dikarenakan sifat tanaman nangka sebagai
tanaman monoecious sebagai tanaman penyerbuk silang. Menurut Jagadesh et al,
(2007) nangka memiliki keragaman akibat menyerbuk silang dan perbanyakan
melalui biji.

Identifikasi kelompok sangat membantu dalam merancang dan merencanakan


pemuliaan tanaman dengan metode persilangan konvensional maupun
menggunakan rekayasa genetika. Pemetaan menggunkan analisis cluster
memberikan peran penting untuk memperbaiki sifat-sifat tanaman yang
dikehendaki.Menurut Fatimah.S (2011) dua kelompok memiliki koefisien rendah
pada karakter bunga, umur berbunga dan tinggi tanaman pada tanaman jagung
maka akan memberikan peluang untuk dilakukan perbaikan tanaman.

c. Pemanfaatan kultur jaringan


Kultur Jaringan atau sel tanaman: Teknik penanaman untuk regenerasi
tanaman fungsional (sempurna) dari jaringan embrio, fragmen jaringan, callus, sel
maupun protoplasma. Hal tersebut karena adanya dua faktor utama:
1) Totipotency: kemampuan jaringan tanaman yang belum berdiferensiasi
menjadi tanaman fungsional ketika ditanam secara in-vitro.
2) Competency: potensi endogenous dari suatu sel atau jaringan untuk dapat
berkembang menjadi tanaman melalui cara tertentu.
 Organogenesis: Proses inisiasi dan perkembangan dari suatu struktur yang
memiliki fungsi atau bentuk organ suatu tanaman.
 Embryogenesis: Proses inisiasi dan perkembangan embryos atau struktur
seperti embrio dari sel somatic (Somatic embryogenesis).

Proses tersebut dilakukan dengan manipulasi konsentrasi kelompok


hormona uksin (merangsang pengakaran) dan sitokinin (merangsang
perkembangan pucuk):

- Auksin tinggi, sitokinin rendah= Pembentukan akar


- Auksin rendah, sitokinin tinggi= Pembentukan pucuk
- Auksin seimbang dengan sitokinin= Pembentukan kalus

3) Seleksi dan manajemen plasma nutfah


a) Kultur anther (membentuk tanaman double haploid)
b) Micropropagasi (untuk menghilangkan infeksi sistemik virus,
mycoplasma, bakteri). Pada jeruk dan kentang
c) Seleksi invitro, baik untuk stress abiotic (kadar garam, kadar Al,
kekeringan) maupun stress biotik (Virus, bakteri, cendawan)
d) Penyimpanan plasma nutfah (cryopreservation)
4) Meningkatkan keragaman genetic
a) Variasi somaklonal. Menciptakan keragaman melalui subkultur berulang
b) Mendukung mutasi, untuk menghindarkan chimera sebaiknya mutasi
dilakukan pada sel tunggal, yang dapat dilakukan melalui kalus atau
kultur sel.
c) Penyelamatan embrio. Menyelamatkan embrio hasil fertilisasi antar
species yang tidak didukung nutrisi tetua induknya
d) Fusi protoplas. Persilangan somatic bagi jenis yang tidak dapat
disilangkan melalui gamet
e) Regenerasi tanaman fertile untuk transformasi genetic.

Jurnal Terkait “Perkembangan Penggunaan Kultur In Vitro Dalam


Perbanyakan Dan Pemuliaan Tanaman Karet (Meynarti Sari D.I (2019)

Penggunaan benih unggul merupakan kendala yang harus diperhatikan dalam


meningkatkan produktivitas karet Indonesia. Penyediaan benih unggul secara
konvensional oleh pemulia tidak bisa dilakukan secara massal karena keterbatasan
dalam system perbanyakannya. Tanaman karet umumnya diperbanyak melalui
okulasi, sehingga untuk menghasilkan bibit yang berkualitas perlu
mempersiapkan adanya batang atas dan batang bawah. Batang bawah berupa
tanaman semaian dan biji klon anjuran, sedangkan batang atasnya berasal dari
mata klon-klon anjuran (Haryanto, 2012).

Permasalahan tersebut mengharuskan penelitian diarahkan pada perbanyakan


bibit dengan teknik yang lebih efisien dalam skala massal. Perbanyakan massal
dapat ditempuh dengan menggunakan teknik kultur in vitro. Perbanyakan
menggunakan teknik kultur in vitro pada tanaman karet telah dilaporkan melalui
multiplikasi tunas (organogenesis) dan embriogenesis somatik. Selain
memperbanyak tanaman, kultur in vitro juga digunakan dalam memperbaiki
genetik tanaman untuk mendapatkan varietas unggul baru karet. Perbaikan
genetik tanaman karet menggunakan cara non konvensional dapat terlaksana jika
teknik kultur in vitro terutama melalui embriogenesis somatik dapat dikuasai
dengan baik.

Penggunaan teknik kultur in vitro pada tanaman karet diharapkan dapat


mendukung program pemuliaan untuk mendapatkan klon-klon unggul baru
dengan cara yang lebih cepat. Beberapa teknik yang dilaporkan mengaplikasikan
penggunaan kultur in vitro dalam proses pemuliaan tanaman karet adalah sebagai
berikut:

Penggunaan kultur anther atau serbuk sari karet dapat digunakan untuk
menghasilkan tanaman haploid atau haploid ganda, pemetaan gen, transformasi
genetik, dan pembentukan klon-klon baru. Kultur protoplas sendiri adalah
merupakan biakan sel yang telah dihilangkan dinding selnya. Sel ini selanjutnya
digunakan untuk hibridisasi somatik. Dalam hibrida somatik, dua sel tanaman
dapat difusikan menjadi satu sel, kemudian diregenerasikan menjadi tanaman
lengkap. Teknik protoplas diharapkan dapat memperluas keragaman genetik dan
mendapatkan klon-klon unggul baru tanaman karet. Perkembangan penelitian
ekplorasi gen memanfaatkan teknologi rekayasa genetik pada tanaman karet
diharapkan dapat mempercepat proses perbaikan genetik tanaman karet, terutama
dalam meningkatkan produksi lateks, hasil kayu, toleransi terhadap cekaman
abiotic atau biotik, bahkan produksi protein rekombinan.

Penggunaan kultur in vitro diharapkan dapat memudahkan dalam


memproduksi benih unggul dan perbaikan genetik tanaman karet. Tidak hanya
dapat menghilangkan variasi yang ditemukan pada batang bawah, tetapi juga
untuk keseragamam batang atas. Banyak faktor yang memberikan pengaruh
penting terhadap pembentukan embriogenesis somatic diantaranya: genotipe,
jenis eksplan, jumlah zat pengatur tumbuh dan zat penambah pertumbuhan
lainnya, komposisi media dasar, dan intensitas cahaya. Saat ini, penggunaan
embrio somatik yang dapat diandalkan masih terbatas hanya pada beberapa
genotipe karet unggul. Selain untuk tujuan perbanyakan tanaman, teknik kultur in
vitro pada tanaman karet juga dimanfatkan untuk tujuan perbaikan genetik
tanaman. Beberapa penelitian untuk peningkatan produktivitas dan toleransi
terhadap cekaman abiotik atau biotik, telah dilakukan dengan menggunakan
aplikasi teknik kultur anther, kultur protoplas, dan rekayasa genetik.

d. Marka molekuler
Upaya seleksi terhadap suatu sifat, sering dihambat adanya pengaruh
lingkungan yang besar terhadap sifat yang akan menjadi target, atau masalah
waktu. Oleh karena itu dibutuhkan alat bantu untuk melakukan seleksi yang
akurat, tidak dipengaruhi lingkungan, jenis organ dan jaringan, fase pertumbuhan
dan waktu dibutuhkan untuk mendeteksi sifat yang akan dipilih (pada tanaman
buah dan perkebunan dibutuhkan waktu yang lama).
Salah satu pendekatan adalah seleksi pada tingkat DNA, atau enzymatic
dengan penanda genetic yang akurat. Penanda ini disebut marka molekuler. Hal
ini bisa dilakukan karena adanya perbedaan dalam pola keterpautan genetik.
Syarat Marka Genetik:
1) Marka Genetik mampu membedakan kedua tetua dengan jelas. Marka DNA
melalui perbedaan pita mampu melakukan hal tersebut.
2) Perbedaan sifat yang dimiliki oleh tetua dapat diamati dengan tingkat akurasi
yang sama dengan pada tetuanya. Hal ini dapat dilakukan oleh marka
molekuler
- Warna bunga dapat membedakan kedua tetua dan warna pada tetua akan
sama pada turunannya, maka warna bunga dapat dijadikan marka.
- Tinggi tanaman dapat dibedakan antar tetua, tetapi tinggi turunan dengan
konstitusi genetic yang sama, belum pasti sama dengan tetuanya, sehingga
tinggi tanaman tidak sesuai dengan kriteria diatas.
 Penanda Acak
 Random Amplified Polymorphism DNA (RAPD)
 Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)
 Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP)
 Simple Sequence Repeat (SSR)/Microsatellites
 Penanda Spesifik
 Sequence Characterized Amplification Region (SCAR)
 Expressed Sequence Tags (EST)
 Single Nucleotide Polymorphism (SNP)

Jurnal Terkait “IDENTIFIKASI KERAGAMAN GENETIK KENTANG


SUPEJOHN TRANSGENIK (Solanum tuberosum L. var supejohn)
(Christine et al, 2012)”

Pemuliaan tanaman kentang secara konvensional sulit karena kentang bersifat


poliploidi sehingga mudah terjadi inkompatibilitas dan sterilitas pada hasil
persilangan (Herman, 2007). Pemuliaan non konvensional melalui rekayasa
genetik, dengan menginsersi gen ketahanan yaitu gen khitinase pada tanaman
kentang varitas supejohn telah berhasil dan telah diuji secara molekuler di
laboratorium maupun di lapang (Lengkong, 2010).

Oleh sebab itu dilakukan penelitian dengan tujuan untuk mengidentifikasi


keragaman genetik kentang supejohn transgenik yang telah dua puluh lima kali
disubkultur. Pengidentifikasian ini menggunakan penanda genetik dalam hal ini
penanda molekuler RAPD agar didapat informasi keragaman genetik secara tepat
dan cepat.

Planlet supejohn transgenik subkultur ke 25 diisolasi DNA dan dilakukan


kuantifikasi DNA untuk kesepuluh sampel yang diberi label SJT1 artinya
supejohn transgenik sample 1, demikian selanjutnya diberi label SJT2, SJT3
sampai SJT10. Stok DNA telah diketahui konsentrasinya kemudian dibuat DNA
template dengan konsentrasi 10 ng/μl yang digunakan untuk amplifikasi DNA.
Dari kesepuluh primer acak RAPD 5 primer yaitu OPA02, OPA03, OPA04 ,
OPA08 dan OPA09 menghasilkan pola pita polimorfis dengan jumlah 200 pita
dengan ukuran berkisar 100- 1000 bp berpatokan pada DNA ladder 100 bp
Vivantis. Tiga primer menghasilkan pola pita monomorfis yaitu OPA05, OPA06
dan OPA07 dan 2 primer tidak menghasilkan pita DNA yaitu OPA01 dan
OPA10. Koefisen jarak dalam Tabel 5 menunjukkan bahwa planlet supejohn
transgenik yang telah disubkultur 25 kali mengalami keragaman atau terjadi
variasi somaklonal.

Hal ini terlihat dengan adanya variasi koefisien kesamaan antar sampelsampel
DNA supejohn transgenik yaitu dari 0.39 – 0.88 dan rata-rata koefisien kesamaan
yaitu 0,63 (63%) atau keragaman genetik seluruh sampel sebesar 37%.
Dendrogram kesamaan jarak genetik penanda RAPD dari kesepuluh sampel DNA
supejohn transgenic subkultur ke 25 dapat dilihat pada Gambar 1.
e. Perakitan tanaman transgenik
Strategi: Memotong dan menempel gen target kedalam genom tanaman untuk
menghasilkan tanaman dengan sifat baru. Mirip mengedit video tape untuk
merubah skenario.
Sasaran: Menghilangkan batas gene pool, dan membuat metode efisien dalam
perbaikan sifat varietas elit.
Pada dasarnya perakitan tanaman transgenik adalah sebagai berikut:
1) Penyediaan gene. Upaya mendapatkan gen target yang akan dipindahkan,
yang disebut dengan gene cloning. Selanjutnya gen tersebut dikemas kedalam
wadah berupa rantai DNA yang disebut plasmid. Tahapan ini merupakan
tahapan yang sering jadi penghambat, karena gene cloning sering kali tidak
berhasil dalam jangka waktu yang pendek (Isolasi gen ketahanan terhadap
ToMV dibutuhkan waktu 20 tahun).
2) Introduksi gen. Upaya menyisipkan gen kedalam genom target. Dilakukan
dengan dua pendekatan yaitu dengan bantuan bakteri Agrobacterium
tumefaciens (transformation), atau dengan menempelkan gene pilihan
kepartikel emas dan ditembakan ke massa sel dari genotype target (particle
bombardment/ gene shooting).
3) Seleksi sel. Tahapan mendapatkan sel yang sudah disisipi dengan gen baru,
dilakukan dengan menumbuhkan pada media yang diberi agen penseleksi,
sehingga tanaman yang dapat tumbuh diasumsikan sudah disisipi gen baru.
Selanjutnya dikonfirmasi dengan marka DNA.
4) Reproduksi menjadi tanaman sempurna. Sel yang sudah disisipi gen baru
harus direproduksi menjadi tanaman fungsional yang dapat diamati penotifnya
untuk memastikan gen tersebut mampu berexpresi secara normal, sehingga
dapat bermanfaat sesuai tujuan pengembangan.

Jurnal Terkait “Upaya Peningkatan Kualitas Tanaman Kedelai (Glycine


max L. Merill) Melalui Pemanfaatan Bioteknologi Dalam Mengatasi
Kelangkaan Pangan (Edi Tando dan Muh. Afif Juradi, 2019)

Rekayasa genetika merupakan solusi untuk mengatasi kelangkaan pangan


dengan ditemukannya teknologi tanaman transgenic atau Genetically Modified
Organism (GMO) (Karmana, 2009). Tanaman hasil rekayasa genetika tersebut
menyerupai tanaman asalnya, tetapi memiliki sifat – sifat tertentu yang
menyebabkan tanaman tersebut lebih baik. Tanaman produk bioteknologi yang
telah disetujui untuk pangan merupakan tanaman yang direkayasa untuk memiliki
sifat seperti : (1) ketahanan terhadap hama dan penyakit, (2) ketahanan terhadap
herbisida, (3) perubahan kandungan nutrisi dan (4) peningkatan dayasimpan
(Manuhara, 2006).

Tanaman transgenik merupakan suatutanaman yang memiliki gen atau telah


disisipi gen dari organisme lain, dan dapat pula disebut sebagai Genetically
Modified Organism (organisme yang termodifikasi secara genetik). Penyisipan
gen ini umumnyalebih diarahkan ke tanaman pangan untuk menciptakan kualitas
pangan yang lebih baik daripada sebelumnya. Rekayasa genetika pada tanaman
mencakup beberapa tahapan,yaitu : 1) Ekstraksi DNA, 2) Kloning gen, 3) Desain
gen, 4) Transformasi genetika dan 5) Pemuliaan tanaman di lapangan.

Rekayasa genetika alternatif dalam meningkatkan kualitas tanaman kedelai


dengan mengubah, memodifikasi susunan gen dengan material baru kedalam
tanaman kedelai. Transfer gen pinII pada tanaman kedelai telah berhasil
dilakukan melaluiA. tumefaciens dengan dihasilkannya satu event tanaman AT1
(Tidar) yang menunjukkan hasil PCR positif terhadap gen pinII. Protokol terbaik
untuk transformasi kedelai melalui A. tumefaciens adalah menggunakana eksplan
kotiledon muda dengan kerapatan bakteri 1 x 108 sel/ml/ lama inokulasi 90 menit
dan lama kokultivasi 5 hari. Tanaman kedelai AT1R1 (Tidar) hasil transformasi
melalui A. tumefaciens sedikit lebih tahan terhadap hama penggerek polong
daripada tanaman kedelai nontransgenik (Kontrol).

Anda mungkin juga menyukai