NIM : 2020242007
1. Inkompatibilitas
Inkompatibilitas yaitu ketidak cocokan (kromosom/gen) dalam berpasangan yang
menyebabkan gagalnya pembuahan sendiri. Terjadi pada hewan atau tumbuhan
tingkat tinggi maupun tanaman tigkat tinggi Inkompatibilitas pada tanaman tingkat
tinggi, yaitu untuk mencegah pembuahan sendiri. Berdasarkan marfologi bunga
inkompatibilitas dibagi menjadi:
a. Inkompatibilitas Homomorfik, yaitu putik dan benang sari sama panjang.
1) Gametofitik, terhentinya pertumbuhan tabung tepung sari di dalam putik multi
alel. Interaksi antara tepung sari yang haploid dengan sel-sel putik yang
diploid. Jika alel tepung sari sama dengan alel putik, maka pertumbuhan
tabung serbuk sari terhenti dan sebaliknya. Pada system gametofit ,
inkompatibilitas terjadi bila serbuk sari dan kepala putik mempunyai alel yang
sama. Contohnya persilangan gamet betina S1S2 x jantan S1S2 akan
mengalami ketidak cocokkan (inkompatibilitas) karena serbuk sari itu akan
membawasalah satu alel S1 atau S2 yang keduanya terdapat pula pada
jaringan tangkai putik. Tetapi pada persilngan gamet betina S1S2 x jantan
S1S3 akan lebih kompatibel dan menghasilkan keturunan S1S3 dan S2S3
karena gamet jantan membawa S3 yang dapat berfungsi secara normal.
Persilangan resiprokal antara tanaman tersebut juga kompatibel dan
menghasilkan keturunan S1S2 dan S1S3. secara teoritis persilangan alel yang
homozigot tidak mungkin pada gametofit.
2) Sporofitik, dikendalikan oleh alel dominant pada putik. Putik yang
mempunyai alel tersebut maka pollen tidak dapat tumbuh. Sistem saprofit
mengandung bentuk dominansi yaitu S1 yang dominant terhadap seluruh alel
lain, S2 juga demikian kecuali terhadap S1 dan seterusnya. Ada
mikrosporogenesis semua serbuk sari, sifat genotif akan muncul pada fenotif
alel dominant pada jaringan jantan diploid. Misalnya, jantan S1 S2 akan
menghasilkan fenotip S1, meskipun disana dijumpai genotip S2. pada gamet
betina tidak dijumpai ekspresi dominant dan betina berfungsi sama seperti
seperti system gametofit. Pada system saprofit, persilangan gamet betina S1
S2 x jantan S1 S3 adalah tidak cocok inkompatibel karena adanya efek
dominansi pada jantan, bahwa kedua serbuk sari S1 dan S2 mempunyai
fenotip S1. selama S1 besifat inkompatibel terhadap jaringan tangkai putik S1
S2 maka tidak akan terjadi pembuahan. Persilangan resiprok juga akan
menghasilkan proses yang inkompatibel.(James R.Welsh dan Johanis
P.Mogea, 1991:63). Inkompatibilitas dapat terjadi baik pada system gemotofit
maupun sporofit. Perbedaan antara system saprofit dan gametofit terletak pada
adanya beberapa alel S yang homozigot.
b. Inkompatibilitas Heteromorfik.
Ada dua tipe:
1) Putik pendek dan benang sari panjang atau disebut pin.
2) Putik panjang dan benang sari pendek atau disebut thrum.
Biji terbentuk jika dua tipe berlainan disilangkan. Biji tidak terbentuk jika dua
tipe yang sama disilangkan. Tipe putik pendek dan benang sari panjang
mempunyai alel S yang dominant dan heterozigot (Ss). Tipe putik panjang
dan benang sari pendek selalu homozigot resesif (ss).
Tumbuhan bunga yang mempunyai bunga dengan pistil dan anter yang
menghasilkan ovum maupun polen yang fertil dan viabel tidak selamanya
dapat melakukan polinsi sendiri. Seandainya dapat melakukan polinasi
tumbuhan tersebut tidak berhasil melakukan fertilisasi. Hal ini disebabkan
imkompatibilitas seksual pada tanaman tersebut sehingga polennya tidak
dapat membuahi ovum. Inkompatibilitas seksual dibedakan menjadi dua: 1)
interspesifik, dan 2) intraspesifik. Inkompatibilitas intra spesifik disebut self-
incompatibility (inkompatibilitass sendiri), secaara morfologi ada 2 tipe self-
incompatibility yaitu heteromorfi dan homomorfi. Jika inkompatibilitas
homorfi ini disebabkan genotip dari gametogenotip disebut gametophyctic
self-incompability (GSI), jika disebabkan genotip dari sporofitnya disebut
sporofit self-incompability (SSI). Kemajuan teknologi pada saat ini telah
menunjukkan keberhasilan dalam usaha menanggulangi masalah
inkompatibilitas seksual pada beberapa tumbuhan. (Subag Sistem Informasi
BAAKPSI UM, 2005.) Misalnya pada tanaman Kakao (Theobroma cacao),
secara umum adalah tumbuhan menyerbuk silang dan memiliki sistem
inkompatibilitas-sendiri (lihat penyerbukan). Walaupun demikian, beberapa
varietas kakao mampu melakukan penyerbukan sendiri dan menghasilkan
jenis komoditi dengan nilai jual yang lebih tinggi.
c. Artikel terkait
1) Keberhasilan dan kompatibilitas penyerbukan sendiri dan silang pada
hibridisasi interspesfik ciplukan (Physalis spp) (Zainyah Salmah Arruum,
Budi Waluyo, 2021)
Ciplukan memiliki morfologi bunga lengkap. Anthesis pada bunga
ciplukan terjadi sebelum anther bunga mengalami dehiscence yang terjadi
pada jam 9 – 11 pagi. P. angulata (PAN-69281) memiliki posisi bunga tegak
dengan posisi stigma di bawah anther. Panjang stamen 5 mm dengan 5 anther
berwarna ungu. Benang sari berwarna kuning dan panjang benang sari 4 mm.
P. pruinosa (PPN+3101) memiliki bunga dengan posisi intermediate dengan
posisi stigma sejajar dengan anther. Anther bunga berwarna kuning berjumlah
5 dengan panjang stamen 4 mm. Memiliki kepala sari bunga berwarna ungu
dengan panjang tangkai putik 4 mm. P. peruviana (PPV-45311-03) memiliki
posisi bunga intermediate dan posisi stigma di bawah anther. Bunga
mempunyai 5 anther bunga berwarna kuning dengan panjang stamen 7 mm.
Benang sari bunga berwarna ungu dengan panjang tangkai putik 6 mm.
Morfologi bunga P. pubescens (PPB-68154-04) memiliki posisi bunga
intermediate dan posisi stigma di bawah anther. Terdapat 5 anther bunga
berwarna kuning dengan panjang stamen 5 mm. Benang sari berwarna hijau
muda dan panjang tangkai putik 4 mm. P. ixocarpa (PIX-4418-2) memiliki
posisi bunga intermediate dan posisi stigma di atas anther. Bunga mempunyai
5 anther berwarna ungu dengan panjang stamen 7 mm. Benang sari bunga
berwarna ungu dengan panjang tangkai putik 8 mm.
Kompatibilitas persilangan adalah kesesuaian organ betina dan jantan
dalam melakukan penyerbukan dan diikuti dengan proses pembuahan
(Frankel & Galun, 1977) . Ketidakcocokan pada tingkat alel, gen, dan
kromosom dalam berpasangan dapat menyebabkan kegagalan terjadinya
pembuahan (inkompatibilitas) (Sahagún-castellanos, 1999). Inkompatibilitas
pada persilangan terjadi diakibatkan oleh tidak cocoknya alel organ jantan dan
betina yang terjadi sehingga sel jantan gagal membuahi sel betina (Lewis,
1949; Syukur et al., 2018). Persentase keberhasilan persilangan didapatkan
dari jumlah buah terbentuk dibagi dengan persilangan yang dilakukan.
Berdasarkan hasil penelitian, dari 25 kombinasi persilangan yang dilakukan
didapatkan 11 kombinasi persilangan yang berhasil membentuk buah dan biji.
Tingkat inkompatibilitas sebagian (partial self-incompatibility) terjadi
pada persilangan interspesifik P. pruinosa (PPN+3101) sebagai tetua betina
terhadap P. angulata (PAN-69281) dan P. ixocarpa (PIX-4418-2) sebagai
jantan yang memiliki persentase keberhasilan persilangan masing - masing
sebesar 14.28% dan 11.76%. Tidak didapatkan keberhasilan pada persilangan
interspesifik antara P. pubescens (PPB-68154-04) dengan P. pruinosa
(PPN+3101) begitu pula pada persilangan sebaliknya. Tingkat
inkompatibilitas sebagian terdapat pada persilangan P. angulata (PAN-69281)
x P. ixocarpa (PIX-4418-2) dengan persentase sebesar 28.94%, sedangkan
pada persilangan P. angulata (PAN-69281) dengan P. pubescens (PPB68154-
04) termasuk inkompatibilitas penuh dengan persentase sebesar 7.69%. Tidak
didapatkan keberhasilan persilangan interspesifik antara P. angulata
(PAN69281) sebagai tetua betina dari P. pruinosa (PPN+3101), hal ini
berbeda dengan resiproknya.
Persilangan interspesifik dengan tingkat inkompatibilitas penuh
dengan persentase sebesar 0% terdapat pada persilangan P. angulata (PAN-
69281) x P. pruinosa (PPN+3101), P. pruinosa (PPN+3101) x P. pubescens
(PPB-68154-04), P. pruinosa (PPN+3101) x P. ixocarpa (PIX-4418-2), dan
persilangan interspesifik pada P. ixocarpa (PIX-4418-2) dan P. peruviana
(PPV-45311- 03) ketika menjadi tetua betina dari semua spesies yang diuji.
Pada hibridisasi interspesifik inkompatibilitas dapat berupa kegagalan
pembuahan yang ditandai dengan rontoknya bunga dan berhasilnya
pembuahan hingga terbentuk bakal buah namun beberapa hari kemudian buah
gugur. Hambatan keberhasilan persilangan dapat muncul sebelum fertilisasi
(prezygotic barriers) dan setelah fertilisasi (post-zygotic barriers) (Barone et
al., 1992; Martins et al., 2015). Hambatan pre-zygotic dapat berupa kegagalan
perkecambahan serbuk sari dan terhambatnya perkembangan tabung serbuk
sari (Barone et al., 1992; Hajjar & Hodgkin, 2007). Hambatan post-zygotic
barriers yang paling sering terjadi berupa berhasilnya pembentukan buah
namun mengandung biji yang abnormal, dan memiliki ukuran yang berbeda
dari tetuanya serta berwarna gelap yang mengindikasi degenerasi biji.
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, tidak terdapat perbedaan
yang nyata pada karakter bobot, panjang, serta lebar buah pada hasil
persilangan interspesifik P. angulata (PAN-69281) x P. pubescens (PPB-
68154-04) terhadap selfingnya. Sedangkan terdapat perbedaan yang nyata
pada karakter jumlah biji pada hasil persilangan P. angulata (PAN-69281) x P.
pubescens (PPB-68154-04) dan semua karakter pada hasil persilangan P.
angulata (PAN-69281) X P. ixocarpa (PIX-4418-2) terhadap selfingnya. Hal
ini menunjukkan persilangan interspesifik antara P. angulate (PAN-69281) x
P. ixocarpa (PIX-4418-2) memberikan pengaruh yang nyata terhadap karakter
hasil buah dan biji. Sedangkan pada persilangan P. angulata (PAN-69281) x
P. pubescens (PPB-68154- 04) pengaruh persilangan interspesifik terjadi pada
karakter jumlah biji. Hasil persilangan P. pubescens (PPB68154-04) x P.
ixocarpa (PIX-4418-2) memiliki perbedaan yang nyata pada semua karakter
terhadap selfingnya. Pada hasil persilangan P. pubescens (PPB-68154- 04) x
P. angulata (PAN-6928) memiliki perbedaan yang nyata pada karakter bobot
buah, panjang buah dan jumlah biji serta pada karakter lebar buah
menunjukkan hasil tidak berbeda nyata terhadap selfingnya. Hasil penelitian
menunjukkan persilangan interspesifik pada P. pubescens (PPB-68154-04) x
P. angulata (PAN-6928) tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap
karakter lebar buah. sedangkan pada persilangan interspesifik P. pubescens
(PPB-68154-04) x P. ixocarpa (PIX-4418-2) memberikan pengaruh yang
nyata terhadap karakter hasil buah dan bij.
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan adanya perbedaan pada
karakter kuantitatif buah dan biji antara buah hasil penyerbukan sendiri
dengan hasil penyerbukan silang hibridisasi interspesifik. Hal ini terjadi
karena pengaruh serbuksari dari tetua jantan yang menyebabkan perubahan
pada penampilan buah dan biji yang dihasilkan oleh tetua betina. Hal ini dapat
terjadi dengan adanya kemungkinan pengaruh dari xenia ataupun metaxenia.
Xenia dan metaxenia sangat bergantung pada genotipe tetua jantan sebagai
pendonor polen dan genotipe tetua betina sebagai tempat berkembangnya
buah hasil persilangan. Xenia dan metaxenia ialah transmisi sifat dari
polinator terhadap jaringan tetua betina, dan ini sudah dipelajari pada
persilangan interspesifik tomat yang masih satu famili dengan ciplukan, yaitu
Solanaceae bahwa terdapat perubahan morfologi daging buah dan biji pada
hasil penyerbukan di tetua betina (Piotto et al., 2013). Berdasarkan hasil
persilangan interspesifik pada ciplukan ini dapat diketahui pasangan spesies
yang mampu bersilang dan menghasilkan buah dan pasangan spesies yang
menunjukkan ketidakmampuan menghasilkan buah. Dari penelitian ini juga
dapat diketahui bahwa terjadi xenia pada karakteristik kuantitatif buah dan biji
hasil penyerbukan silang hibridisasi interspesifik. Informasi ini dapat
dijadikan sebagai dasar untuk pemilihan tetua dan penerapan teknologi untuk
perluasan keragaman genetik dan seleksi di dalam program pemuliaan
tanaman ciplukan.
2) Tingkat inkompatibilitas bersilang sendiri pada tanaman kayu putih (Noor
Khomsah Kartikawati, 2005)
Berdasarkan table 3 menunjukkan perkembangan kondisi buah sejak
penyerbukan hingga buah dipanen (setelah 3-4 bulan setelah penyerbukan).
Pada penyerbukan sendiri satu minggu setelah penyerbukan (kantong dibuka)
masih perdapat buah yang menempel pada ranting tetapi akhirnya buah gugur
sebelum waktu masak. Rata-rata persen jadi buah hasil penyerbukan sendiri
sebesar 0,013. Hanya pada family 2a yang memberikan kontribusi terhadap
nilai persen jadi buah yaitu 13% sedangkan pada penyerbukan silang sebagian
buah masih bertahan hingga waktu masak dengan rata-rata persen jadi buah
36,4%. Secara umum Nampak bahwa penyerbukan sendiri pada tanaman kayu
putih memberikan persen keberhasilan yang sangat rendah dan ini merupakan
gambaran kasar adanya inkompatibilitas bersilang sendiri pada jenis ini.
Pada proses penyerbukan dan pembuahan diperlukan saling kecocokan
(kompatibel) antara gamet jantan dan gamet betina. Penyerbukan ini akan
berhasil apabila serbuk sari dapat berkecambah di atas kepala putik,
selanjutnya tabung serbuk sari dapat tumbuh terus menembus ovarium hingga
akhirnya serbuk sari dapat membuahi sel telur. Hasil pengamatan yang
dilakukan pada tanaman kayu putih menunjukkan bahwa pembuahan hanya
berhasil pada penyerbuka silang dan sedikit sekali yang berhasil pada
penyerbukan sendiri.
Secara umum terjadinya inkompatibilitas bersilang sendiri merupakan
akibat dari kegagalan serbuk sari untuk dapat melekat atau berkecambah pada
kepala putik, atau kegagalan tabung sari untuk memasuki kepala putik, atau
tumbuh ke bawah tangkai putik. Menurut Barlow and Forrester (1984) yang
meneliti tentang inkompatibilitas pada beberapa jenis Melaleuca,
perkecambahan serbuk sari yng di awali dengan pembentukan tabung serbuk
sari terjadi kurang dari 24 jam setelah penyerbukan. Lebih lanjut disebutkan
jenis M. nematophylla tabung serbuk sari akan mencapai dasar saluran tangkai
putik setelah 24 jam tetapi setelah itu pertumbuhannya terhenti dan tidak
sampai terjadi pembuahan. Sedangkan pada M. hypericifolia, M. thymifolia
setelah mencapai indung telur, tabung serbuk sari akan berbalik arah sehingga
proses pembuahan gagal. Beberapa kasus yang terjadi pada Melaleuca sp.,
menunjukkan adanya fenomena inkompatibilitas bersilang sendiri sebelum
pembuahan. Hal ini diduga juga terjadi pada tanaman kayu putih.
Tingkat inkompatibilitas bersilang sendiri yang tinggi pada kayu putih
memberikan dampak positif dalam program pemuliaan. Hal ini memudahkan
pemulia dalam menghimpun variasi genetic karena dapat menggunakan benih
hasil penyerbukan terbuka dari pohon-pohon terpilih penyusun kebun benih.
Benih-benih tersebut aman dari kemungkinan terjadinya depresi inbreeding
akibat perkawinan antar kerabat. Mengingat tingginya tingkat inkompatibilitas
tanaman kayu putih maka dalam program pemuliaan selanjutnya perlu
dibangun suatu kebun benih klon yang tersusun dari pohon-pohon plus dari
kebun benih uji keturunan kayu putih. Dengan demikian akan terjadi
penyerbukan silang diantara pohon-pohon plus tersebut dan diharapkan akan
menghasilkan perolehan genetic yang lebih besar.
3) Analisis genetik ciri-ciri kuantitatif dan kompatibilitas sendiri bunga matahari
di lahan ultisol (Suprapto dan Supanjani, 2009)
Bunga matahari merupakan tanaman penghasil minyak makan (edible
oil) penting dunia dan menempati posisi terbesar ketiga dunia setelah minyak
kedelai dan kelapa sawit (Gandhi et al.,2005). Tanaman bunga matahari yang
dibudiyakan di Indonesia hasilnya rendah yang disebabkan oleh persentase
yang rendah dalam pembentukan biji karena inkom-patibilitas sendiri (self
incompatibility) (Khanna dan Gupta, 1978). Inkompatibilitas sendiri
menyebabkan individu tanaman mempunyai susunan genetik dengan tingkat
heterosigositas tinggi (Borojevic, 1990; Fehr, 1987; Poehlman, 1979).
Sebagian besar kapitula bunga matahari bersifat hermaprodit tetapi protandri
sehingga menyebabkan inkompatibilitas sendiri. Oleh sebab itu, keberadaan
serangga sangat penting untuk membantu penyerbukan dan menghasilkan biji.
Pada kultivar yang bersifat autogami, pericarp berkembang normal, tetapi
ovul atau bakal biji tidak terbentuk (Putnam et al., 1990). Tingkat
kompatibilitas sendiri yang rendah menunjukkan terdapatnya gen pengendali
restorer fertilitas (Jan, 2000).
Pengamatan kompatibilitas sendiri dilakukan secara visual pada saat
pembungaan (R5) dengan cara melihat kedudukan stamen dan pistil. Dalam
pengamatan secara visual diketahui kedudukan pistil bunga matahari lebih
tinggi daripada kedudukan stamen (heterostili), sehingga terjadi
inkompatibilitas heteromorfik, yakni tipe Pin, sehingga keberadaan lebah,
kupu-kupu dan burung sangat penting sebagai polinator untuk membantu
penyerbukan dan menghasilkan biji. Bunga matahari termasuk tanaman
dengan inkompatibilitas sporofitik, yakni inkompatibilitas tidak hanya
ditentukan oleh alel-alel S yang terdapat di dalam serbuk sari dan ovari, tetapi
juga ditentukan oleh bentuk hirarki dominansi dari alel S. Dalam hal ini alel
S1 dominan terhadap semua alel, alel S2 dominan terhadap semua alel kecuali
S1, alel S3 dominan terhadap semua alel kecuali alel S1 dan S2 dan
seterusnya. Induk jantan dengan genotip S1 S2 akan menghasilkan serbuk sari
dengan fenotip S1 walaupun terdapat alel S2. Alel S2 dominan terhadap S3,
S2 inkompatibel dengan S1S2 sehingga tidak terjadi fertilisasi
(inkompatibilitas)(Gandhi et al., 2005).
Seleksi kompatibilitas yang kedua menggunakan percobaan faktorial
dengan dua faktor. Faktor pertama adalah aksesi bunga matahari dan faktor
kedua adalah perlakuan kapitula ditutup (dibungkus) atau dibiarkan terbuka.
Penutupan kapitula dilakukan sebelum kapitula mekar sepenuhnya (fase R3).
Hasil analisis varians disajikan pada Tabel 5.
Pengaruh perlakuan penutupan kapitula terhadap jumlah biji
bernas/kapitula, bobot biji dan persentase biji bernas disajikan pada Tabel 6.
Setiap kapitula yang terbuka mempunyai jumlah biji bernas yang jauh
lebih banyak dibandingkan dengan jumlah biji bernas pada kapitula yang
ditutup, dan sebaliknya setiap kapitula yang terbuka mempunyai jumlah biji
yang tidak bernas lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah biji tidak bernas
pada kapitula yang ditutup. Aksesi yang terbuka mempunyai biji bernas
sebanyak 5,29-65,91%, sedangkan aksesi yang tertutup mempunyai biji
bernas sebanyak 1,28-4,99%. Hal ini menunjukkan bahwa aksesi-aksesi
mempunyai tingkat kompatibilitas yang berbeda.
Kompatibilitas tergantung pada keberadaan polinator. Lebah madu
merupakan polinator utama pada budidaya bunga matahari. Jika jumlah lebah
kurang pada suatu lahan tanaman bunga matahari, maka biji yang dipanen
sangat sedikit (Radaeva, 1994).
Kelima aksesi bunga matahari yang dikaji menunjukkan tingkat
kompatibilitas sendiri yang sangat rendah. Dengan demikian, aksesi bunga
matahari tersebut masih sangat tergantung pada keberadaan serangga
penyerbuk. Hal ini terjadi karena bunga matahari mempunyai stigma yang
menyembul keluar dengan posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan
posisi anther sehingga stigma lebih reseptif dari serbuk sari bunga matahari
yang lain, tetapi tidak reseptif terhadap serbuk sari dari kapitula yang sama.
Keadaan ini menyebabkan tanaman bunga matahari termasuk tanaman
menyerbuk silang.
2. Metode Seleksi
a. Metode seleksi tanaman menyerbuk sendiri
Menyerbuk sendiri, apabila pemindahan tepung sari terjadi pada satu bunga
atau bunga lain tanaman itu juga (Sifat-sifatnya: susunan genetic tanaman
menjurus homozigositas, populasi mejadi lebih homogen, tanaman homozigot
menjadi subur, sifat adaptasi kurang, dan rekombinasi terbatas).
1. Seleksi Massa
Tujuan seleksi massa memurnikan varietas (Pengotoran dari
percampuran, persilangan alami dan mutasi alami dalam produksi benih) dan
Memperbaiki sifat-sifat dalam varietas lokal (Diperoleh varietas unggul yang
merupakan campurangenotipa dengan fenotip yang seragam).
Prosedur seleksi massa:
a. Dari populasi dasar yang ditanam dipilih individu-individu terbaik
berdasarkanfenotipe yang sesuai dengan kriteria seleksi
b. Biji dari individu terpilih dipanen dan dicampur
c. Diambil sejumlah biji secara acak lalu ditanam pada satu petak dan dipilih
individu-individu terbaik sesuai dengan kriteria seleksi.
Kekurangan dari seleksi ini ialah kurang menarik dibandingkan dengan
varietas yang berasal dari galur murni(seragam), lebih sulit untuk memberikan
tanda pengenal diri pada programseleksi benih, dan biasanya memberi hasil
lebih rendah dari galur terbaikdalam campuran.
Kelebihan :
Kelemahan:
- Kurang adaptif terhadap perubahan lingkungan
- Untuk menggabungkan sifat dari sepasang atau lebih tetua
- Diawali dengan pemilihan tetua berdasar tujuan program
3. Seleksi Hibridisasi
Seleksi Bulk
Metode bulk merupakan metode untuk membentuk galur-galur
homozigot dari populasi bersegregasi melalui selfing selama beberapa
generasi tanpa seleksi pada generasi awal melainkan dilakukan seleksi
pada generasi lanjut setelah tanaman banyak yang homozigot. Selama
pertumbuhannya terjadi seleksi alam, sehingga tanaman yang tidak tahan
menghadapi tekanan lingkungan akan tertinggal pertumbuhannya atau
mati.
Prinsip metode bulk adalah 1) merupakan metode seleksi yang paling
sederhana setelah seleksi massa, 2) tidak dilakukan seleksi pada generasi
awal, 3) pada generasi awal tanaman ditanam rapat dan dipanen secara
gabungan (bulk), 4) memanfaatkan tekanan seleksi alam pada generasi
awal, 5) seleksi baru dilakukan setelah tercapai tingkat homozigositas
tinggi (F5 atau F6), 6) seleksi untuk karakter dengan heritabilitas rendah
hingga sedang.
Kelebihan metode buk adalah 1) relatif murah dan sederhana untuk
memelihara populasi bersegregasi, 2) generasi F1 sampai F4 pekerjaan
tidak terlalu berat karena pada generasi tersebuttidak dilakukan seleksi, 3)
ekonomis untuk tanaman-tanaman berumur pendek dan dapat ditanam
pada jarak tanam sempit seperti padi, gandum, kedelai, kacang tanah, dll
sehingga tidak mengurangi luas lahan percobaan, 4) tanaman yang baik
tidak terbuang karena tidak dilakukan seleksi pada generasi awal, 5)
beberapa generasi dapat dilakukan pada tahun yang sama, 6) seleksi alam
pada generasi awal dapat meningkatkan frekuensi gen-gen baik.
Kelemahan metode bulk adalah 1) silsilah galur tidak tercatat sejak
awal, 2) seleksi alam pada generasi awal dapat menghilangkan genotipe-
genotipe baik, 3) tanaman pada satu generasi belum tentu terwakili pada
generasi selanjutnya, 4) jumlah tanaman pada generasi lanjut sangat
banyak sehingga menyulitkan dalam seleksi dan memerlukan lahan sangat
luas.
Seleksi Silsilah (Predigree)
Metode ini dikatakan silsilah (pedigree) karena pencatatan dilakukan
pada setiap anggota populasi bersegregasi dari hasil persilangan. Seleksi
pedigree diperlukan untuk menyatakan dua galur tersebut serupa dengan
mengkaitkan terhadap individu tanaman generasi berikutnya. Seleksi
pedigree merupakan salah satu metode seleksi padat karya dan
mengharuskan pencatatan rinci semasa masa awal pemisahan generasi.
Keuntungannya adalah hanya garis keturunan yang memiliki gen yang
diingikan akan terbawa ke generasi berikutnya. Metode ini juga
memungkinkan untuk mendapatkan informasi genetik yang tidak mungkin
didapat pada metode seleksi lainnya.
Seleksi pegidree dapat diterapkan bila sifat yang diseleksi memiliki
nilai heritabilitas yang tinggi dan diseleksi pada populasi yang
bersegregasi. Karakter-karakter yang memenuhi kriteria tersebut adalah
karakter kualitatif. Sedangkan, untuk karakter kuantitatif umumnya
memiliki nilai heritabilitas rendah sehingga kurang efektif dilakukan
perbaikan dengan menggunakan seleksi pedigree. Seleksi pedigree untuk
perbaikan sifat-sifat kuantitatif biasanya dilakukan secara tidak langsung.
Dalam hal ini seleksinya dilakukan pada karakter lain yang nilai
heritabilitasnya tinggi dan berkorelasi positif serta berkaitan erat dengan
hasil. Dalam hal ini kemajuan seleksi (KS) merupakan perbandingan lurus
antara intensitas seleksi yang dibakukan (i), akar kuadrat heritabilitas
karakter yang diseleksi (h) dan korelasi genetik sifat yang diseleksi
dengan hasil (rg) dapat ditulis dengan rumus:
KS = I h rg
Tujuan metode seleksi pedigree adalah untuk memperoleh varietas
baru dengan mengkombinasikan gen-gen yang diinginkan yang ditemukan
pada 2 genotipe atau lebih. Rekombinasi dari dua genotype atau lebih
tersebut diharapkan menghasilkan keturunan yang lebih baik dan lebuh
unggul dibandingkan rata-rata tetuanya. Tetua yang dipilih ahrus memiliki
karakter yang diinginkan, diatur oleh gen yang memiliki potensi untuk
digabungkan. Secara umum, salah satu tetua dipilih karena sudah
bradaptasi dan diterima oleh masyarakat, karakter komponen yang tidak
dimiliki oleh tetua lain, missal ketahanan terhadap penyakit.
Pada saat melakukan persilangan, hal-hal yang harus diperhatikan
yaitu 1. Ukuran populasi, untuk memperkirakan berapa F1 yang akan
dihasilkan dan berapa F2 yang diinginkan. Hal ini berkaitan dengan
berapa gen yang mengontrol karakter tersebut, 2. Tergantung pada
kombinasi persilangan yang akan membentuk beberapa famili, 3.
Persilangan dapat dilakukan di lapang atau rumah kaca, 4. Luas lahan
yang tersedia, dan 5. Kemampuan pelaksana lapang.
Seleksi Silang Balik (Back Cross)
Metode pemuliaan silang balik pertama kali diusulkan pada tahun
1938. Silang Balik : persilangan antara keturunan dengan salah satu
tetuanya. Kegunaan untuk memperbaiki suatu sifat yang dikendalikan oleh
gen tunggal dari varietas unggul pada tanaman menyerbuk sendiri.
Perbaikan sifat kuantitatif melalui silang balik → sulit dicapai. Masalah
yang paling besar dalam pelaksanaan Metode Silang Balik adalah adanya
pautan atau “linkage” antara gen atau allel yang diinginkan dengan allel
yang tidak diinginkan / jelek. Galur pendonor gen (alel) → Tetua Donor
(Donor Parent) Galur yang menerima → Tetua Penerima (Recipient
Parent atau Recurrent Parent).
Dalam metode ini dilakukan beberapa kali silang balik dalam mana
sifat baik yang ditransfer harus tetap terjamin adanya dengan jalan seleksi.
Pada akhir silang balik gen-gen yang ditransfer itu masih heterozigot.
Oleh karena itu silang balik dilanjutkan dengan selfing untuk memperoleh
homozigositasdari sifat yang ditransfer.
Ada dua istilah penting yang berhubungan dengan silang balik, yaitu:
Reccurent parent, induk atau varietas yang telah menyesuaikan diri.
Varietas-varietas ini masih ada sifat kekurangannya dan merupakan
varietas yang akan diperbaiki.
Non-reccurent parent, disebut juga donor parent merupakan varietas
donor yang akan memberi sifat yang baikke dalam reccurent parent.
Kekurangan:
Prosedur seleksi:
Prosedur :
d. Artikel terkait
1) Seleksi Pada Tanaman Menyerbuk Sendiri “Efektivitas Metode Seleksi
Pedigree dan Modified Bulk pada Tiga Populasi Sorgum (Sorghum bicolor
[L.] Moench) (Dewi Andriani et al, 2019)”
Sorgum merupakan salah satu sumber pangan pokok terpenting di
dunia, terutama di wilayah Afrika, Amerika, dan Asia (FAOSTAT, 2017)
termasuk beberapa provinsi di Indonesia. Saat ini sorgum dikembangkan
sebagai sumber pangan untuk substitusi beras, olahan berbasis tepung, sumber
pakan dan bahan bakar (Suarni, 2012; Dahlberg et al., 2011).
Perbaikan potensi hasil sorgum masih menjadi target utama dalam
kegiatan pemuliaan. Metode seleksi yang umum digunakan dalam pemuliaan
tanaman menyerbuk sendiri dengan tujuan untuk mendapatkan galur murni
berdaya hasil tinggi adalah seleksi pedigree dan bulk (Roy, 2000). Seleksi
pedigree, yaitu seleksi dilakukan pada generasi awal dan dengan pencatatan
sehingga silsilah galur diketahui. Seleksi pedigree didasarkan pada
penampilan individu terbaik dari famili terbaik. Seleksi bulk adalah seleksi
yang melibatkan seleksi alam sejak generasi awal sampai dilakukan seleksi
oleh pemulia pada generasi lanjut.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa genotype dan varietas
pembanding berbeda nyata untuk semua karakter yang diamati, kecuali umur
panen. Galur-galur F6 berbeda nyata pada karakter tinggi tanaman, umur
berbunga, panjang malai, diameter malai, bobot biji permalai, dan bobot 100
biji. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai tengah antar
genotipe, varietas pembanding, dan galur-galur F6 sorgum. Perbedaan nilai
tengah menunjukkan adanya keragaman fenotipe pada karakter sorgum yang
dapat disebabkan oleh keragaman faktor genetik, lingkungan, atau interaksi
faktor genetik dan lingkungan.
Proporsi keragaman faktor genetik terhadap keragaman fenotip dapat
dilihat dari nilai heritabilitas. Nilai heritabilitas dalam penelitian ini berkisar
antara 0.54 hingga 0.98. Berdasarkan Stanfield (1983), heritabilitas semua
karakter tergolong tinggi, kecuali karakter umur panen. Nilai heritabilitas
yang tinggi diharapkan diikuti nilai koefisien keragaman genetik yang luas.
Nilai koefisien keragaman genetik dalam penelitian ini berkisar 1.39% hingga
25.15%.
Keragaan populasi tiga F6 yang terdiri dari galur-galur hasil seleksi
pedigree dan modified bulk terdapat pada Tabel 3. Tinggi tanaman galur-galur
F6 berkisar antara 123.8-293.7 cm. Diameter batang galur-galur F6 sorgum
berkisar antara 19.0-26.2 mm. Jumlah daun galur-galur F6 sorgum berkisar
10-17 helai daun. Umur berbunga galur-galur F6 sorgum berkisar antara 56-
77 HST. Panjang malai galur-galur F6 sorgum berkisar antara 15-27 cm.
Diameter malai galur-galur F6 sorgum berkisar antara 41.8-71.1 mm. Ukuran
malai yang panjang dan berdiameter besar akan memberikan jumlah biji yang
lebih besar dan dapat meningkatkan potensi hasil sorgum. Bobot biji per malai
galur-galur F6 sorgum berkisar antara 20.9-87.4 g dan bobot 100 biji berkisar
antara 1.8-3.4 g. Terdapat banyak galur yang memiliki bobot biji per malai
dan bobot 100 biji setara dan lebih besar dibandingkan dengan varietas
pembanding.
Bakteri yang tergolong kedalam gram negatif ini memiliki sebuah plasmid
yang besar yang disebut plasmid-Ti yang membawa gen penyandi faktor virulensi
penyebab infeksi bakteri ini pada tanaman. Untuk memulai pembentukan A.
tumefaciens harus menempel terdahulu pada permukaan sel inang dengan
memamfaatkan polisakarida yang dibutuhkan tanaman kemudia akan digunakan
untuk mengkolonisasi atau menguasai sel tanaman (Silitonga et al., 2014).
b. Identifikasi keragaman
Keragaman genetic dapat didentifikasikan pada beberapa fase genetika antara
lain:
1) Fase penotifik, dimana keragaman dapat diidentifikasi melalui pengamatan
visual, maupun pengukuran dengan alat bantu tertentu (timbangan, jangka
sorong, colorchart).
2) Fase protein dan senyawa kimia. Pengamatan harus dilakukan dengan
berbagai alat bantu, misalnya kandungan vitamin dengan metode khusus,
kemanisan buah dengan refrakctometer, kandungan chlorofil, kandungan
senyawa fungsional, hingga keragaman kandungan enzim dengan analisis
isozyme.
3) Fase sintesis protein, dimana keragaman dapat diidentifikasi pada tahap RNA
yang terbentuk dengan analisis Northern blot, maupun protein yang terbentuk
melalui analisis Western Blot. Bahkan saat ini sudah dikembangkan alat untuk
mengetahui susunan asam amino pada protein.
4) Pada tingkat DNA. Identifikasi keragaman pada susunan DNA memberikan
hasil yang akurat karena tidak dipengaruhi oleh lingkungan, dan fase
pertumbuhan tanaman. Beberapa alat bantu identifikasi keragaman DNA dan
kelebihan serta kekurangannya disajikan dalam tabel berikut ini.
Penggunaan kultur anther atau serbuk sari karet dapat digunakan untuk
menghasilkan tanaman haploid atau haploid ganda, pemetaan gen, transformasi
genetik, dan pembentukan klon-klon baru. Kultur protoplas sendiri adalah
merupakan biakan sel yang telah dihilangkan dinding selnya. Sel ini selanjutnya
digunakan untuk hibridisasi somatik. Dalam hibrida somatik, dua sel tanaman
dapat difusikan menjadi satu sel, kemudian diregenerasikan menjadi tanaman
lengkap. Teknik protoplas diharapkan dapat memperluas keragaman genetik dan
mendapatkan klon-klon unggul baru tanaman karet. Perkembangan penelitian
ekplorasi gen memanfaatkan teknologi rekayasa genetik pada tanaman karet
diharapkan dapat mempercepat proses perbaikan genetik tanaman karet, terutama
dalam meningkatkan produksi lateks, hasil kayu, toleransi terhadap cekaman
abiotic atau biotik, bahkan produksi protein rekombinan.
d. Marka molekuler
Upaya seleksi terhadap suatu sifat, sering dihambat adanya pengaruh
lingkungan yang besar terhadap sifat yang akan menjadi target, atau masalah
waktu. Oleh karena itu dibutuhkan alat bantu untuk melakukan seleksi yang
akurat, tidak dipengaruhi lingkungan, jenis organ dan jaringan, fase pertumbuhan
dan waktu dibutuhkan untuk mendeteksi sifat yang akan dipilih (pada tanaman
buah dan perkebunan dibutuhkan waktu yang lama).
Salah satu pendekatan adalah seleksi pada tingkat DNA, atau enzymatic
dengan penanda genetic yang akurat. Penanda ini disebut marka molekuler. Hal
ini bisa dilakukan karena adanya perbedaan dalam pola keterpautan genetik.
Syarat Marka Genetik:
1) Marka Genetik mampu membedakan kedua tetua dengan jelas. Marka DNA
melalui perbedaan pita mampu melakukan hal tersebut.
2) Perbedaan sifat yang dimiliki oleh tetua dapat diamati dengan tingkat akurasi
yang sama dengan pada tetuanya. Hal ini dapat dilakukan oleh marka
molekuler
- Warna bunga dapat membedakan kedua tetua dan warna pada tetua akan
sama pada turunannya, maka warna bunga dapat dijadikan marka.
- Tinggi tanaman dapat dibedakan antar tetua, tetapi tinggi turunan dengan
konstitusi genetic yang sama, belum pasti sama dengan tetuanya, sehingga
tinggi tanaman tidak sesuai dengan kriteria diatas.
Penanda Acak
Random Amplified Polymorphism DNA (RAPD)
Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)
Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP)
Simple Sequence Repeat (SSR)/Microsatellites
Penanda Spesifik
Sequence Characterized Amplification Region (SCAR)
Expressed Sequence Tags (EST)
Single Nucleotide Polymorphism (SNP)
Hal ini terlihat dengan adanya variasi koefisien kesamaan antar sampelsampel
DNA supejohn transgenik yaitu dari 0.39 – 0.88 dan rata-rata koefisien kesamaan
yaitu 0,63 (63%) atau keragaman genetik seluruh sampel sebesar 37%.
Dendrogram kesamaan jarak genetik penanda RAPD dari kesepuluh sampel DNA
supejohn transgenic subkultur ke 25 dapat dilihat pada Gambar 1.
e. Perakitan tanaman transgenik
Strategi: Memotong dan menempel gen target kedalam genom tanaman untuk
menghasilkan tanaman dengan sifat baru. Mirip mengedit video tape untuk
merubah skenario.
Sasaran: Menghilangkan batas gene pool, dan membuat metode efisien dalam
perbaikan sifat varietas elit.
Pada dasarnya perakitan tanaman transgenik adalah sebagai berikut:
1) Penyediaan gene. Upaya mendapatkan gen target yang akan dipindahkan,
yang disebut dengan gene cloning. Selanjutnya gen tersebut dikemas kedalam
wadah berupa rantai DNA yang disebut plasmid. Tahapan ini merupakan
tahapan yang sering jadi penghambat, karena gene cloning sering kali tidak
berhasil dalam jangka waktu yang pendek (Isolasi gen ketahanan terhadap
ToMV dibutuhkan waktu 20 tahun).
2) Introduksi gen. Upaya menyisipkan gen kedalam genom target. Dilakukan
dengan dua pendekatan yaitu dengan bantuan bakteri Agrobacterium
tumefaciens (transformation), atau dengan menempelkan gene pilihan
kepartikel emas dan ditembakan ke massa sel dari genotype target (particle
bombardment/ gene shooting).
3) Seleksi sel. Tahapan mendapatkan sel yang sudah disisipi dengan gen baru,
dilakukan dengan menumbuhkan pada media yang diberi agen penseleksi,
sehingga tanaman yang dapat tumbuh diasumsikan sudah disisipi gen baru.
Selanjutnya dikonfirmasi dengan marka DNA.
4) Reproduksi menjadi tanaman sempurna. Sel yang sudah disisipi gen baru
harus direproduksi menjadi tanaman fungsional yang dapat diamati penotifnya
untuk memastikan gen tersebut mampu berexpresi secara normal, sehingga
dapat bermanfaat sesuai tujuan pengembangan.