Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH KEPERAWATAN JIWA II

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN

KORBAN PERKOSAAN
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini, semakin banyak kasus pelecehan seksual dan perkosaan yang menimpa
anak-anak dan remaja. Kasus pelecehan seksual dan perkosaan sebagian besar menimpa anak-
anak dan remaja putri. Kasus pelecehan seksual dan perkosaan dimulai dari anak-anak yang
masih di bawah umur (Anonim, 2006), pelecehan seks di sekolah (Anonim, 2006), bahkan
kepala sekolah yang seharusnya memberi contoh pada murid-muridnya melakukan pelecehan
seksual kepada siswi-siswinya (Anonim,2007), walikota yang menghamili ABG (Anonim,
2007), hingga personel tentara perdamaian pun melakukan pelecehan seksual (Anonim,
2006).

Pelecehan seksual pada dasarnya adalah setiap bentuk perilaku yang memiliki
muatan seksual yang dilakukan seseorang atau sejumlah orang namun tidak disukai dan tidak
diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan akibat negatif, seperti:
rasa malu, tersinggung, terhina, marah, kehilangan harga diri, kehilangan kesucian, dan
sebagainya, pada diri orang yang menjadi korban (Supardi, S.& Sadarjoen, 2006).

Walaupun sebagian besar korban pelecehan seksual dan perkosaan adalah wanita,
akan tetapi dalam beberapa kasus, laki-laki juga dapat menjadi korban pelecehan seksual yang
umumnya dilakukan oleh laki-laki juga. Pada sebagian besar kasus, perkosaan dilakukan oleh
orang sudah sangat dikenal korban, misalnya teman dekat, kekasih, saudara, ayah (tiri
maupun kandung), guru, pemuka agama, atasan, dan sebagainya. Sedangkan sebagian kasus
lainnya, perkosaan dilakukan oleh orang-orang yang baru dikenal dan semula nampak sebagai
orang baik-baik yang menawarkan bantuan, misalnya mengantarkan korban ke suatu tempat.

Menurut Sadarjoen dalam tulisannya yang dimuat dalam sebuah situs internet,
pelecehan seksual yang terjadi pada anak, memang tidak sesederhana dampak psikologisnya.
Anak akan diliputi perasaan dendam, marah, penuh kebencian yang tadinya ditujukan kepada
orang yang melecehkannya dan kemudian menyebar kepada obyek-obyek atau orang-orang
lain (Supardi, S.& Sadarjoen, 2006).

Pelecehan seksual dan perkosaan dapat menimbulkan efek trauma yang mendalam
pada para korbannya. Korban pelecehan seksual dan perkosaan juga dapat mengalami
gangguan stres akibat pengalaman traumatis yang telah dialaminya. Gangguan stres yang
dialami korban pelecehan seksual dan perkosaan seringkali disebut Gangguan Stres Pasca
Trauma (Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apakah yang dimaksud dengan korban perkosaan?
2. Apa saja tanda dan gangguan stress pasca erkosaan?
3. Apa saja tanda dan gejala korban perkosaan?
4. Apa saja batasan karakteristik
5. Apa saja permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan korban pemerkosaan?
6. Apa saja kemungkinan perilaku anak-anak dan remaja yang mengalami trauma?
7. Bagaimana pengobatan pada korban pemerkosaan?
8. Apa saja beban psikologis dan kesehatan korban pemerkosaan?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

1. Tujuan umum
1) Untuk mengetahui yang dimaksud dengan korban perkosaan?
2) Untuk mengetahui Apa saja tanda dan gangguan stress pasca erkosaan?
3) Untuk mengetahui Apa saja tanda dan gejala korban perkosaan?
4) Untuk mengetahui Apa saja batasan karakteristik
5) Untuk mengetahui Apa saja permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan
korban pemerkosaan?
6) Untuk mengetahui Apa saja kemungkinan perilaku anak-anak dan remaja yang
mengalami trauma?
7) Untuk mengetahui Bagaimana pengobatan pada korban pemerkosaan?
8) Untuk mengetahui Apa saja beban psikologis dan kesehatan korban pemerkosaan?
2. Tujuan Khusus
Sebagai syarat untuk mendapatkan nilai tugas mata kuliah keperawatan jiwa
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian

Perkosaan (rape) merupakan bagian dari tindakan kekerasan (violence), sedangkan


kekerasan dapat berupa kekerasan secara fisik, mental, emosional dan hal-hal yang sangat
menakutkan pada korban. Perkosaan adalah suatu penetrasi penembusan penis ke vagina
perempuan yang tidak dikehendaki, tanpa persetujuan dan tindakan itu diikuti dengan
pemaksaan baik fisik maupun mental.

a. Pengertian pemerkosaan berdasarkan Pasal 381 RUU KUHP :


1. Seorang laki-laki dengan perempuan bersetubuh, bertentangan dengan kehendaknya,
tanpa persetubuhan atau dengan persetubuhan yang dicapai melalui ancaman atau
percaya Ia suaminya atau wanita dibawah 14 tahun dianggap perkosaan.
2. Dalam keadaan ayat (1), memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut
perempuan, benda bukan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan.
Perkosaan adalah tindakan kekerasaan atau kejahatan seksual berupa
hubungan seksual yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan dengan kondisi
atas kehendak dan persetujuaan perempuan, dengan persetujuan perempuan namun
dibawah ancaman, dengan persetujuan perempuan namun melalui penipuan. Dalam
KUHP pasal 285 disebutkan perkosaan adalah kekerasan atau ancaman kekerasan,
memaksa seseorang perempuan bersetubuh dengan dia (laki-laki) diluar pernikahan.

Kalimat korban perkosaan menurut arti leksikal dan gramatikal adalah suatu
kejadian, perbuatan jahat, atau akibat suatu kejadian, atau perbuatan jahat. Perkosaan
adalah Menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, menggagahi,
merogol. (Mendikbud,2010: 525, 757)

3.1 Gangguan Stres Pasca Trauma

Seorang psikiater di Jakarta yang bernama W. Roan menyatakan trauma berarti cidera,
kerusakan jaringan, luka atau shock. Sementara trauma psikis, dalam Psikologi diartikan sebagai
kecemasan hebat dan mendadak akibat suatu peristiwa dilingkungan seseorang yang melampaui
batas kemampuannya untuk bertahan, mengatasi atau menghindar (Roan, W., 2003).

Gangguan stress pasca trauma (Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)) merupakan suatu
sindrom kecemasan, labilitas autonomic, ketidakrentanan emosional, dan kilas balik dari
pengalaman yang amat pedih itu setelah stress fisik maupun emosi yang melampaui batas
ketahanan orang biasa (Kaplan et al., 1997). Menurut National Institute of Mental Health
(NIMH), definisi PTSD adalah gangguan berupa kecemasan yang bisa timbul setelah seseorang
mengalami suatu peristiwa yang mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya. Peristiwa yang
menimbulkan trauma ini bisa berupa serangan kekerasan, bencana alam yang menimpa manusia,
kecelakaan atau perang (Anonim, 2005)

Sedangkan Hikmat mengatakan bahwa PTSD adalah sebuah kondisi yang muncul setelah
pengalaman luar biasa yang mencekam, mengerikan, dan mengancam jiwa seseorang seperti
bencana alam, kecelakaan hebat, sexual abuse (kekerasan seksual), atau perang (Hikmat, 2005).

4.1 Tanda dan Gejala

Terdapat stressor yang berat dan jelas (kekerasan, perkosaan), yang akan menimbulkan
gejala penderitaan yang berarti bagi hampir setiap orang. Penghayatan yang berulang-ulang dari
trauma itu yang dibuktikan oleh terdapatnya paling sedikit satu dari hal berikut :

1. ingatan berulang dan menonjol tentang peristiwa itu;


2. mimpi-mimpi berulang dari peristiwa itu;
3. timbulnya secara tiba-tiba perilaku atau perasaan seolah-olah peristiwa traumatik itu sedang
timbul kembali, karena berkaitan dengan suatu gagasan atau stimulus/rangsangan
lingkungan.
4. Penumpulan respons terhadap atau berkurangnya hubungan dengan dunia luar (“psychic
numbing” atau “anesthesia emotional”) yang dimulai beberapa waktu sesudah trauma, dan
dinyatakan paling sedikit satu dari hal berikut :
5. berkurangnya secara jelas minat terhadap satu atau lebih aktivitas yang cukup berarti;
6. perasaan terlepas atau terasing dari orang lain;
7. afek (alam perasaan) yang menyempit (constricted affect) atau afek depresif (murung,
sedih, putus asa).
Paling sedikit ada dua dari gejala-gejala berikut ini yang tidak ada sebelum trauma
terjadi, yaitu :
1. kewaspadaan atau reaksi terkejut yang berlebihan;
2. gangguan tidur (disertai mimpi-mimpi yang menggelisahkan);
3. perasaan bersalah karena lolos dari bahaya maut, sedangkan orang lain tidak, atau merasa
bersalah tentang perbuatan yang dilakukannya agar tetap hidup;
4. hendaya (impairment) daya ingat atau kesukaran konsentrasi
5. penghindaran diri dari aktivitas yang membangkitkan ingatan tentang peristiwa traumatik
itu
6. peningkatan gejala-gejala apabila dihadapkan pada peristiwa yang menyimbolkan atau
menyerupai peristiwa traumatik itu
5.1 Batasan Karakteristik
1. Fase akut
a. Respons somatic
 Peka rangsang gastrointerstinal (mual, muntah, anoreksia)
 Ketidaknyamanan genitourinarius (nyeri, pruritus)
 Ketegangan otot-otot rangka (spasme, nyeri).
b. Respons psikologis
 Menyangkal
 Syok emosional
 Marah
 Takut – akan mengalami kesepian, atau pemerkosa akan kembali
 Rasa bersalah
 Panik melihat pemerkosa atau adegan penyerangan
c. Respons seksual
 Tidak percaya pada laki-laki
 Perubahan dalam perilaku seksual
2. Fase jangka panjang
Setiap respons pada fase akut dapat berlanjut jika tidak pernah terjadi resolusi
a. Respons psikologis
 Fobia
 Mimpi buruk atau gangguan tidur
 Ansietas
 Depresi
6.1 Permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan korban pemerkosaan
1. Panic attack (serangan panik)

Anak / remaja yang mempunyai pengalaman trauma dapat mengalami serangan panik
ketika dihadapkan / menghadapi sesuatu yang mengingatkan mereka pada trauma. Serangan
panik meliputi perasaan yang kuat atas ketakutan atau perasaan tidak nyaman yang menyertai
gejala fisik maupun psikologis. Gejala fisik meliputi jantung berdebar-debar, berkeringat,
gemetar, sesak nafas, sakit dada, sakit perut, pusing, merasa kedinginan, badan panas, mati
rasa.

2. Perilaku menghindar
Menghindari hal-hal yang dapat mengingatkan penderita pada kejadian traumatis.
Kadang-kadang penderita mengaitkan semua kejadian dalam seluruh kehidupannya setiap
hari dengan kejadian trauma, padahal kondisi kehidupan sekarang jauh dari kondisi trauma
yang pernah dialaminya. Hal ini seringkali menjadi lebih parah sehingga penderita menjadi
takut untuk keluar rumah dan harus ditemani oleh orang lain jika harus keluar rumah.

3. Depresi

Banyak orang menjadi depresi setelah mengalami pengalaman trauma dan menjadi
tidak tertarik dengan hal-hal yang disenanginya sebelum peristiwa trauma. Mereka
mengembangkan perasaan-perasaan yang tidak benar, perasaan bersalah, menyalahkan diri
sendiri, dan merasa bahwa peristiwa yang dialaminya adalah merupakan kesalahannya,
walaupun semua itu tidak benar.

4. Membunuh pikiran dan perasaan

Kadang-kadang orang yang depresi berat merasa bahwa kehidupannya sudah tidak
berharga. Hasil penelitian menjelaskan bahwa 50 % korban kejahatan mempunyai pikiran
untuk bunuh diri. Jika anda dan orang yang terdekat dengan anda mempunyai pemikiran
untuk bunuh diri setelah mengalami peristiwa traumatik, segeralah mencari pertolongan dan
berkonsultasi dengan para profesional.

5. Merasa disisihkan dan sendiri

Perlunya dukungan dari lingkungan sosialnya tetapi mereka seringkali merasa sendiri
dan terpisah. Karena perasaan mereka tersebut, penderita kesulitan untuk berhubungan
dengan orang lain dan mendapatkan pertolongan. Penderita susah untuk percaya bahwa orang
lain dapat memahami apa yang telah dia alami.

6. Merasa tidak percaya dan dikhianati

Setelah mengalami pengalaman yang menyedihkan, penderita mungkin kehilangan


kepercayaan dengan orang lain dan merasa dikhianati atau ditipu oleh dunia, nasib atau oleh
Tuhan.

7. Mudah marah

Marah dan mudah tersinggung adalah reaksi yang umum diantara penderita trauma.
Tentu saja kita dapat salah kapan saja, khususnya ketika penderita merasa tersakiti, marah
adalah suatu reaksi yang wajar dan dapat dibenarkan. Bagaimanapun, kemarahan yang
berlebihan dapat mempengaruhi proses penyembuhan dan menghambat penderita untuk
berinteraksi dengan orang lain di rumah dan di tempat terapi.

8. Gangguan yang berarti dalam kehidupan sehari-hari

Beberapa gangguan yang terkait dengan fungsi sosial dan gangguan di sekolah dalam
jangka waktu yang lama setelah trauma. Seorang korban kejahatan mungkin menjadi sangat
takut untuk tinggal sendirian. Penderita mungkin kehilangan kemampuannya dalam
berkonsentrasi dan melakukan tugasnya di sekolah. Bantuan perawatan pada penderita sangat
penting agar permasalahan tidak berkembang lebih lanjut.

9. Persepsi dan kepercayaan yang aneh

Adakalanya seseorang yang telah mengalami trauma yang menjengkelkan, seringkali


untuk sementara dapat mengembangkan ide atau persepsi yang aneh (misalnya : percaya
bahwa dia bisa berkomunikasi atau melihat orang-orang yang sudah meninggal). Walaupun
gejala ini menakutkan dan menyerupai halusinasi dan khayalan, gejala tersebut seringkali
bersifat sementara dan hilang dengan sendirinya.

Kemungkinan perilaku anak-anak dan remaja yang mengalami trauma :

Saat perlu ditangani


Usia Korban Akibat yang normal Reaksi ketika sedang stress
oleh tenaga profesional

1-5 tahun Menghisap jempol,


Keinginan menyendiri
mengompol, kurang dapat Menangis tidak terkontrol
secara berlebihan
mengontrol diri

Tidak mengenal waktu. Gemetaran karena Tidak ada respon


Ingin menunjukkan ketakutan, tidak bisa terhadap perhatian
kemandirian bergerak khusus

Takut gelap atau binatang,


Berlarian ketakutan tanpa
sehingga merasa terteror di
arah
malam hari

Tidak mau lepas dari Terlalu ketakutan dan tidak


pegangan orang tua mau ditinggal sendirian
Perilaku agresif (kembali
Rasa ingin tahu, eksploratif menghisap jari atau
mengompol lagi)

Tidak dapat menahan


Amat sensitif dengan suara
kencing maupun buang air
dan cuaca
besar

Kesulitan bicara Bingung, panik

Perubahan selera makan Sulit makan

Perilaku regresif yang jelas


5-11 tahun Rasa gelisah, ketakutan terlihat (menjadi lebih
kekanak-kanakan)

Mengeluh Gangguan tidur

Senang menempel kepada


orang tua atau yang Ketakutan akan cuaca
dianggap dekat

Pusing, mual, timbul


Pertanyaan yang agresif masalah penglihatan dan
pendengaran

Berkompetisi dengan
sebayanya/saudaranya Ketakutan yang tidak
untuk mencari perhatian beralasan
orang tua/guru

Menolak untuk masuk


Menghindar atau malas ke sekolah, tidak bisa
sekolah konsentrasi, dan senang
berkelahi

Mimpi buruk, dan takut Tidak dapat beraktivitas


gelap dengan baik

Menyendiri dari kawan-


kawan

Hilang minat/konsentrasi di
sekolah

Remaja awal Gangguan tidur Menarik diri, menyendiri Disorientasi dan lupa
(11-14 tahun) terhadap sesuatu

Depresi, kesedihan, dan Depresi berat dan tidak


Tidak ada nafsu makan
membayangkan bunuh diri mau ketemu orang

Menjadi pemberontak di
Memakai obat-obatan
rumah atau tidak mau Perilaku agresif
terlarang
mengerjakan tugasnya

Permasalahan kesehatan Tidak bisa merawat


(kulit, buang air besar, Depresi dirinya (makan, minum,
pegal-pegal, pusing) mandi)

Remaja Masalah psikosomatis


(gatal, sulit buang air besar, Bingung
(14-18 tahun) asma)

Halusinasi, ketakutan
Menarik diri dan
Pusing/perasaan tertekan akan membunuh diri
menyendiri
sendiri atau orang lain

Perilaku antisosial Tidak dapat


Gangguan selera makan dan (mencuri, agresif, dan memutuskan hal-hal
tidur mencari perhatian dengan yang paling mudah
bertingkah) sekalipun

Mulai mengidentifikasikan
diri dengan kawan sebaya, Menarik diri dan tidur Terlalu
ingin menyendiri dengan terlalu pulas atau ketakutan terobsesi/dikuasai oleh
menghindar dari acara di waktu malam satu pikiran
keluarga

Protes, apatis

Perilaku yang tidak


Depresi
bertanggung jawab

Tidak bisa berkonsentrasi

7.1 Pengobatan

Ada dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan korban pemerkosaan, yaitu dengan
menggunakan farmakoterapi dan psikoterapi.
1.Farmakoterapi

Mulai terapi obat hanya dalam hal kelanjutan pengobatan pasien yang sudah dikenal. Terapi
dengan anti depresiva pada gangguan stress pasca traumatik ini masih kontroversial. Obat yang
biasa digunakan adalah benzodiazepin, litium, camcolit dan zat pemblok beta – seperti
propranolol, klonidin, dan karbamazepin. Obat tersebut biasanya diresepkan sebagai obat yang
sudah diberikan sejak lama dan kini dilanjutkan sesuai yang diprogramkan, dengan kekecualian,
yaitu benzodiazepin – contoh, estazolam 0,5 – 1 mg per os, Oksanazepam10-30 mg per os,
Diazepam (valium) 5 – 10 mg per os, Klonazepam 0,25 – 0,5 mg per os, atau Lorazepam 1- 2 mg
per os atau IM – juga dapat digunakan dalam UGD atau kamar praktek terhadap ansietas yang
gawat dan agitasi yang timbul bersama gangguan stres pasca traumatik tersebut (Kaplan et al,
1997).

1) Psikoterapi
a. Anxiety Management

Pada anxiety management, terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan untuk


membantu mengatasi gejala korban pemerkosaan dengan lebih baik melalui :

b. Relaxation Training Yaitu belajar untuk mengontrol ketakutan dan kecemasan secara
sistematis dan merelaksasikan kelompok otot-otot utama
c. Breathing retraining Yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan-lahan, santai dan
menghindari bernafas dengan tergesa-gesa yang menimbulkan perasaan tidak nyaman,
bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala
d. Positive thinking dan self-talk Yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran negatif dan
mengganti dengan pikiran positif ketika menghadapi hal-hal yang membuat stress
(stresor).
e. Assertiveness Training Yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan
emosi tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain.
f. Thought Stopping Yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang
memikirkan hal-hal yang membuat kita stress (Anonim, 2005).
g. Cognitive therapy

Terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang


mengganggu emosi dan mengganggu kegiatan-kegiatan kita. Misalnya seorang korban
kejahatan mungkin menyalahkan diri sendiri karena tidak hati-hati. Tujuan kognitif terapi
adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa
pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian
mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih
seimbang (Anonim, 2005).

h. Exposure therapy

Pada exposure terapi, terapis membantu menghadapi situasi yang khusus, orang
lain, obyek, memori atau emosi yang mengingatkan pada trauma dan menimbulkan
ketakutan yang tidak realistik dalam kehidupan sehari-hari. Terapi ini dapat berjalan
dengan dua cara:

i. Exposure in the imagination

Terapis bertanya kepada penderita untuk mengulang-ulang cerita secara detail


kenangan-kenangan traumatis sampai mereka tidak mengalami hambatan untuk
menceritakannya.

j. Exposure in reality

Terapis membantu untuk menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi ingin
dihindari karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat (misalnya : kembali ke rumah
setelah terjadi perampokan di rumah). Ketakutan itu akan bertambah kuat jika kita
berusaha untuk mengingat situasi tersebut dibanding berusaha untuk melupakannya.
Pengulangan situasi yang disertai penyadaran yang berulang-ulang akan membantu kita
menyadari bahwa situasi lampau yang menakutkan tidak lagi berbahaya dan kita dapat
mengatasinya (Anonim, 2005).

k. Play therapy

Terapi bermain digunakan untuk menerapi anak-anak dengan trauma. Terapis


menggunakan permainan untuk memulai topik yang tidak dapat dimulai secara langsung.
Hal ini dapat membantu anak-anak untuk lebih merasa nyaman dalam berproses dengan
pengalaman traumatiknya (Anonim, 2005).

l. Support  Group Therapy

Seluruh peserta dalam Support Group Therapy merupakan korban perkosaan, yang
mempunyai pengalaman serupa (misalnya korban bencana tsunami, korban gempa bumi)
dimana dalam proses terapi mereka saling menceritakan tentang pengalaman traumatis
mereka, kemdian mereka saling memberi penguatan satu sama lain (Swalm, 2005).

m. Terapi Bicara
Sejumlah studi penelitian membuktikan bahwa terapi berupa saling berbagi cerita
mengenai trauma mampu memperbaiki kondisi kejiwaan penderita. Dengan berbagi
pengalaman, korban bisa memperingan beban pikiran dan kejiwaan yang dipendamnya
selama ini. Bertukar cerita dengan sesama penderita membuat mereka merasa senasib,
bahkan merasa dirinya lebih baik dari orang lain. Kondisi ini memicu seseorang untuk
bangkit dari trauma yang dideritanya dan melawan kecemasan (Anonim, 2005).

8.1 Beban Psikologis dan Kesehatan Korban Pemerkosaan

Kondisi, dampak, dan tantangan yang dihadapi tiap korban pemerkosaan berbeda satu
sama lain. Merasa takut, cemas, panik, shock, atau bersalah adalah hal yang wajar. Luka yang
mereka rasakan dapat menetap dan berdampak hingga seumur hidup. Banyak korban yang
merasa kehilangan kepercayaan diri dan kendali atas hidup mereka sendiri. Hal ini juga dapat
membuat mereka kesulitan mengungkapkan yang terjadi pada diri mereka, meski cerita mereka
sangat dibutuhkan untuk menindak pelaku. Berbagai perasaan yang campur aduk dan situasi
rumit tersebut akan membawa dampak bagi kesehatan dan psikologis mereka.

1.Beban Psikologis

Tindak pemerkosaan pasti mendatangkan trauma bagi yang mengalaminya. Respons


tiap orang terhadap pemerkosaan yang menimpanya pasti berbeda dengan munculnya
berbagai perasaan yang menjadi satu dan bahkan dapat baru terlihat lama setelah peristiwa
tersebut terjadi. Berikut ini adalah beberapa perubahan psikologis yang umumnya dialami
korban.

a. Menyalahkan diri sendiri

Sikap menyalahkan diri sendiri adalah kondisi yang paling umum dialami
korban pemerkosaan. Sikap inilah yang paling menghambat proses penyembuhan.
Korban pemerkosaan dapat berisiko menyalahkan diri sendiri karena dua hal:

 Menyalahkan diri karena perilaku. Mereka menganggap ada yang salah dalam
tindakan mereka sehingga akhirnya mengalami tindakan pemerkosaan. Mereka akan
terus merasa untuk seharusnya berperilaku berbeda sehingga tidak diperkosa.
 Menyalahkan diri karena merasa ada sesuatu yang salah di dalam diri mereka sendiri
sehingga mereka pantas mendapatkan perlakuan kasar.

Sayangnya orang-orang terdekat, seperti pasangan, belum tentu dapat mendukung pulihnya
kondisi pasien. Sebagian kerabat korban mungkin merasa tidak dapat menerima kenyataan atau
justru menyalahkan sehingga korban makin berada dalam posisi yang sulit.
Kebanyakan korban pemerkosaan juga tidak dapat dengan mudah diyakinkan bahwa ini
bukanlah salah mereka. Rasa malu ini kemudian berhubungan erat dengan gangguan lain, seperti
pola makan, kecemasan, depresi, mengonsumsi minuman keras dan obat-obatan terlarang, serta
gangguan mental lain. Kondisi ini dapat diatasi dengan terapi perilaku kognitif dalam melakukan
reka ulang proses penyusunan fakta dan logika dalam pikiran.

2.Bunuh diri

Kondisi stres pascatrauma membuat korban pemerkosaan lebih berisiko untuk memutuskan
bunuh diri Tindakan ini terutama dipicu oleh rasa malu dan merasa tidak berharga.

a. Kriminalisasi korban pemerkosaan


Pada budaya dan kelompok masyarakat tertentu, korban pemerkosaan dapat menjadi
korban untuk kedua kalinya karena dianggap telah berdosa dan tidak layak hidup. Mereka
diasingkan dari masyarakat, tidak diperbolehkan menikah, atau diceraikan (jika telah
menikah). Dalam kelompok masyarakat lain, kriminalisasi pun dapat terjadi ketika korban
disalahkan karena dianggap perilaku atau cara berpakaiannya yang menjadi penyebab
diperkosa.

Selain itu, korban berisiko mengalami hal-hal lain seperti depresi, merasa seakan-
akan peristiwa tersebut terulang terus-menerus, sering merasa cemas dan panik, mengalami
gangguan tidur dan sering bermimpi buruk , sering menangis, menyendiri, menghindari
pertemuan dengan orang lain, atau sebaliknya tidak mau ditinggal sendiri. Ada kalanya
mereka menarik diri dan menjadi pendiam, atau justru menjadi pemarah.

b. Efek terhadap Fisik Korban

Selain luka psikologis, korban pemerkosaan membawa luka pada tubuhnya.


Sebagian mungkin terlihat, namun sebagian lagi barangkali baru dapat dideteksi beberapa
waktu kemudian. Sementara secara fisik mereka dapat terlihat mengalami perubahan pola
makan atau gangguan pola makan. Tubuh mereka bisa terlihat tidak terawat, berat badan
turun, dan luka pada tubuh seperti memar atau cedera pada vagina.

Berikut beberapa kondisi yang umum terjadi pada korban pemerkosaan:

 Penyakit menular seksual (PMS)

Penetrasi vagina yang dipaksakan membuat terjadinya luka yang membuat


virus dapat masuk melalui mukosa vagina. Kondisi ini lebih rawan terjadi pada
anak atau remaja yang lapisan mukosa vaginanya belum terbentuk dengan kuat.
Meski belum ada tanda-tanda yang terasa, namun korban pemerkosaan
sebaiknya memeriksakan diri untuk mendeteksi kemungkinan terkena penyakit
menular seksual Infeksi seperti HIV (virus yang menyebabkan AIDS) dapat
ditangani dengan post-exposure prophylaxis (PEP), yaitu perawatan profilaksis
setelah tubuh terpapar penyakit. Namun perawatan ini harus dilakukan sesegera
mungkin.

 Penyakit lain
Peradangan pada vagina atau Vaginitis
Infeksi atau pendarahan pada vagina atau anus.
Gangguan hasrat seksual hipoaktif (hypoactive sexual desire disorder/HSDD):
keengganan esktrem untuk berhubungan seksual atau justru menghindari
semua atau hampir semua kontak seksual.
 Nyeri saat berhubungan social disebut juga dyspareunia.
 Vaginismus: kondisi yang memengaruhi kemampuan wanita untuk merespons
penetrasi ke vagina akibat otot vagina yang berkontraksi di luar kontrol.
 Infeksi kantung kemih Nyeri panggul kronis.
 Kehamilan yang tidak diinginkan

Kehamilan adalah salah satu kondisi dan konsekuensi terberat yang mungkin
terjadi pada korban pemerkosaan. Belum berhasil menyembuhkan diri sendiri, mereka
harus dihadapkan pada kenyataan adanya kehidupan lain di dalam tubuhnya yang
sebenarnya tidak mereka harapkan. Kondisi psikologis wanita yang buruk dapat
membuat bayi berisiko tinggi mengalami kondisi kelainan atau lahir premature

Dampak fisik mungkin dapat sembuh dalam waktu lebih singkat. Namun dampak
psikologis dapat membekas lebih lama. Peran keluarga, kerabat, dokter, dan terapis akan
menjadi kunci dari kesembuhan dan ketenangan bagi mereka yang menjadi korban
pemerkosaan.

Peran Perawat

1. Pentingnya mengkomunikasikan empat ucapan berikut ini pada korban perkosaan :


a. Saya prihatin hal ini terjadi padamu
b. Anda aman disini
c. Saya senang anda hidup
d. Anda tidak bersalah. Anda adalah koban. Ini bukan kesalahan anda. Apapun keputusan yang
anda buat pada saat pengorbanan adalah hak seseorang karena anda hidup. Korban yang telah
diperkosa secara seksual takut terhadap kehidupannya dan harus diyakinkan kembali
keamanannya. Ia mungkin juga sangat ragu-ragu dengan dirinya dan menyalahkan diri
sendiri, dan penyataan-pernyataan ini membangkitkan rasa percaya secara bertahap dan
memvalidasi harga diri.
2. Jelaskan setiap prosedur pengkajian yang akan dilakukan  dan mengapa. Pastikan bahwa
pengumpulan data dilakukan dalam perawatan, cara tidak menghakimi, untuk menurunkan
ketakutan atau ansietas dan untuk meningkatkan rasa percaya.
3. Pastikan bahwa pasien memiliki privasi yang adekuat untuk semua intervensi-intervensi segera
pasca-krisis. Cobakan sedikit mungkin orang yang memberikan perawatan segera atau
mengumpulkan bukti segera. Pasien pasca-trauma sangat rentan. Penambahan orang dalam
lingkungannya meningkatkan perasaan rentan ini dan bertindak  meningkatkan ansietas.
4. Dorong pasien untuk menghitung jumlah serangan. Dengarkan, tapi tidak menyelidiki.
Mendengarkan dengan tidak menghakimi memberikan kesempatan untuk katarsis bahwa pasien
perlu memulai pemulihan. Jumlah yang rinci mungkin dibutuhkan untuk tindak   lanjut secara
legal, dan seorang klinisi sebagai pembela pasien, dapat menolong untuk mengurangi trauma dari
pengumpulan bukti.
5. Diskusikan dengan pasien siapa yang dapat dihubungi untuk memberikan dukungan atau bantuan.
Berikan informasi tentang rujukan setelah perawatan. Karena ansietas berat dan rasa takut, pasien
mungkin membutuhkan bantuan dari orang lain selama periode segera pasca-krisis. Berikan
informasi rujukan tertulis untuk referensi selanjutnya (mis., psikoterapis, klinik kesehatan jiwa,
kelompok pembela masyarakat.
6. Discharge Planning

Hasil yang diharapkan dari pemberian asuhan keperawatan pada anak dengan penganiayaan
seksual (sexual abuse) antara lain:

a. Anak tidak mengalami ansietas panik lagi.


b. Anak mendemonstrasikan derajat percaya kepada perawat primer.
c. Anak menerima perhatian dengan segera terhadap cedera fisiknya.
d. Anak memulai perilaku yang konsisten terhadap respons berduka.
e. Anak mendapatkan perhatian segera untuk cedera fisiknya jika ada.
f. Anak menyatakan secara verbal jaminan keamanannya dengan segera.
g. Anak mendiskusikan situasi kehidupannya dengan perawat primer.
h. Anak mampu menyatakan secara verbal pilihan –pilihan yang tersedia untuk dirinya yang dari
hal ini ia menerima bantuan.
i. Anak mendemosntrasikan rasa percaya kepada perawat utama melalui mendiskusikan
perlakuan penganiayaan melalui penggunaan terapi bermain.
j. Anak mendemonstrasikan suatu penurunan dalam perilaku agresif.

 
ASUHAN KEPERAWATAN

I. Kasus

Seorang Mrs.S berusia 11 tahun datang ke RSJ di antar oleh keluarga dengan keluhan
bahwa si anak melakukan percobaan bunuh diri. Ibu pasien mengatakan bahwa anaknya
menjadi korban pemerkosaan. ibu mengatakan beberapa hari sebelumnya pasien
mengungkapkan bahwa dia telah membuat aib keluarga dan mengatakan dirinya tidak berguna
lagi. Ibu mengatakan saat ini anaknya mengalami trauma berat dan ketika ibu pasien masuk ke
kamarnya ibu pasien melihat si anak mengkonsumsi narkotika. Ibu juga mengatakan bahwa si
anak tidak mau beraktivitas seperti biasa, mudah curiga dan emosi kepada orang lain sehingga
tidak mau berinteraksi dengan orang sekitar dan mengurung diri dikamar. Saat dilakukan
pengkajian pasien tidak mau di ajak berkomunikasi, tidak menatap lawan bicara, lebih banyak
menunduk dan pasien tampak ketakutan.

II. Pengkajian
a. Anamnesa

Nama : Mrs.S

Umur : 11 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Faktor presipitasi : Ibu mengatakan bahwa anaknya menjadi korban


pemerkosaan

Factor fisiologis : Pasien tampak lemas

Factor psikologis : Pasien tampak ketakutan Pasien tampak panic

Pasien mudah curiga kepada orang lain

Pasien mengatakan membaut aib keluarga

Pasien mengatakan bahwa dinya tidak berguna lagi

Perilaku : Pasien tidak mau beriteraksi kepada orang lain

Respon emosional : Pasien mudah emosi


Analisa Data

No Data Pasien Masalah Keperawatan


1 DS : Resiko bunuh diri
Keluarga mengatakan bahwa pasien
melakukan pencobaan bunuh diri
Ibu mengatakan bahwa pasien menjadi
korban pemerkosaan
Ibu mengatakan bahwa melihat anaknya
mengkonsumsi narkotika pasca kejadian
pemerkosaan

DO :
-
2 DS : Isolasi sosial
Ibu mengatakan bahwa pasien mudah curiga
kepada orang lain
Ibu mengataan pasien tdak mau beriteraksi
kepada orang lain
Ibu mengatakan pasien mengurung diri di
kamar

DO :
Pasien tidak mau berkomunikasi
Pasien tampak ketakutan
3 DS : Harga diri rendah
Pasien mengatakan bahwa dia telah membuat
aib keluarga
Pasien mengatakan bahwa dirinya sudah
tidak berguna lagi
Keluarga mengatakan pasien tidak mau
beraktivitas seperti biasanya

DO :
Pasien tidak mau menatap lawan bicara
Pasien tampak menunduk
Pohon masalah

Effect Bunuh Diri

Care Problem Resiko Bunuh Diri

Isolasi social

Causa Harga Diri Rendah

b. Diagnosa
1.Resiko bunuh diri
2.Isolasi social
3.Harga diri rendah

c. Intervensi

N Diagnose
Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
o Keperawatan
1 Resiko bunuh Pasien mampu : Setelah 1 x SP 1
diri mengidentifikasi pertemuan, pasien Identifikasi penyebab,
penyebab dan mampu : tandadan gejala serta
tanda perilaku Menyebutkan akibat dari perilaku
kekerasan penyebab, tanda, kekerasan
menyebutkan gejala, dan akibat Latih cara fisik 1 : tarik
jenis perilaku perilaku kekerasan nafas dalam
kekerasan yang Memperagakan Masukkan dalam jadwal
pernah dilakukan cara fisik 1 untuk harian pasien
menyebutkan mengontrol
akibat dari perilaku kekerasan
perilaku
kekerasan yang
dilakukan
menyebutkan cara
mengontrol
perilaku
kekerasan
Setelah 2 x
pertemuan, pasien
SP 2
mampu:
Evaluasi kegiatan yang
Menyebutkan
lalu (sp 1)
kegiatan yang
Latih cara fisik 2: pukul
sudah dilakukan
kasur atau bantal
Memperagakan
Masukkan dalam jadwal
cara fisik untuk
harian pasien
mengontrol
perilaku kekerasan
Setelah 3 x
SP 3
pertemuan, pasien
Evaluasi kegitan yang
mampu :
lalu (sp 1 dan 2)
Menyebutkan
Latih secara
kegiatan yang
social/verbal
sudah dilakukan
Menolak dengan baik
Memperagakan
Masukkan dalam jadwal
cara social/ verbal
pasien
untuk mengontrol
perilaku kekerasan
Setelah 4 x SP 4
pertemuan, pasien Eveluasi kegiatan yang
mampu : lalu (sp 1,2 dan 3)
Menyebutkan Latih secara spiritual
kegiatan yang (bedoa dan sholat)
sudah dilakukan Masukkan dalam jadwal
Memperagakan harian pasien
cara spiritual
Setelah 5 x SP 5
pertemuan, pasien Evaluasi kegiatan yang
mampu: lalu (sp 1,2,3 dan 4)
Menyebutkan Latih patuh obat:
kegiatan yang (Minum obat secara
sudah dilakukan teratur dengan 5B dan
Memperagakan susun jadwal minum
cara patuh obat. obat secara teratur)
Masukkan dalam jadwal
harian pasien

2 Isolasi social Pasien mampu : Setelah melakukan SP 1


Menyadari 3 kali pertemuan Identifikasi penyebab
penyebab iolasi pasien mampu : Siapa yang satu rumah
social membina dengan pasien
Berinteraksi hubungan saling Siapa yang dekat dengan
dengan orang lain percaya pasien
menyadari Siapa yang tidak dekat
penyebab isolasi dengan pasien
social, keuntungan Tanyakan keuntungan
dan kerugian dan kerugian
berinteraksi dengan berinteraksi dengan
orang lain. orang lain
Melakukan Tanyakan pendapat
interaksi dengan pasien tentang kebiasaan
orang lain secara berinteraksi dengan
bertahap. orang lain
Tanyakan apa yang
menyebabkan pasien
tidak ingin berinteraksi
dengan orang lain
Diskusikan keuntungan
bila pasien memiliki
banyak teman dan
bergaul akrab dengan
mereka
Diskusikan kerugian bila
pasien hanya mengurung
diri dan tidak bergaul
dengan orang lain
Jelaskan pengaruh
isolasi social terhadap
kesehatan fisik pasien.
Latih berkenalan
Jelaskan kepada klien
cara berinteraksi dengan
orang lain
berikan contoh
berinteraksi dengan
orang lain
beri kesampatan pasien
untuk mempratekkan
interaksi didepan
perawat
masukkan jadwal
kegiatan pasien.
SP 2
evaluasi kegiatan yang
lalu (SP 1)
latih berhubungan social
secara bertahap
masukkan dalam jadwal
kegiatan pasien
SP 3
evaluasi kegiatan yang
lalu (SP 1 dan 2)
latih cara berkenalan
denga 2 atau lebih
masukkan dalam jadwal
kegiatan pasien
3 Harga diri Pasien mampu : Setelah 3 x SP 1
rendah Mengidentifikasi pertemuan, pasien Identifikasi kemampuan
kemampuan dan mampu : positif yang dimiliki
asfek positif yang Mengidentifikasi Diskusikan bahwa
dimiliki kemampuan aspek pasien masih memiliki
Menilai positif yang sejumlah kemampuan
kemampuan yang dimiliki dan asfek positif
dapat digunakan Memiliki Beri pujian yang
Menetapkan/mem kemampuan yang realistis dan hindari
ilih kegiatan yang dapat digunakan bertemu dengan
sesuai dengan Memilih kegiatan penilaian negative
kemampuan yang sesuai Nilai kemampuan yang
Melatih kegiatan kemampuan dilakukan saat ini
yang sudah Melakukan Diskusikan dengan
dipilih, sesuai kegiatan yang pasien kemampuan yang
kemampuan sudah dipilih masih digunakan saat ini
Merencanakan Merencanakan Bantu pasien
kegiatan yang kegiatan yang menyebutkannydan
sudah dilatihnya sudah dipilih memberikan penguatan
terhadap kemampuan
yang masih digunakan
pada saat ini
Perlihatkan respon yang
kondusif dan menjadi
pendengar yang aktif
Pilih kemampuan yang
akan dilatih
SP 2
Evaluasi kegiatan yang
lalu (sp 1)
Pilih kemampuan kedua
yang dapat dilakukan
Latih kemampuan yang
dipilih
Masukkan dalam jadwal
kegiatan pasien
SP 3
Evaluasi kegiatan yang
lalu (sp 1 dan 2)
Memilih kemampuan
ketiga yang dapat
dilakukan
Masukkan dalam jadwal
kegiatan pasien

d. Implementasi

Hari/tanggal NO DX Implementasi
1 Resiko SP 1
bunuh diri MengIdentifikasi penyebab, tandadan gejala serta akibat dari
perilaku kekerasan
Latih cara fisik 1 : tarik nafas dalam
Masukkan dalam jadwal harian pasien

SP 2
MengEvaluasi kegiatan yang lalu (sp 1)
Latih cara fisik 2: pukul kasur atau bantal
Masukkan dalam jadwal harian pasien
SP 3
MengEvaluasi kegitan yang lalu (sp 1 dan 2)
Latih secara social/verbal
Menolak dengan baik
Masukkan dalam jadwal pasien

SP 4
MengEveluasi kegiatan yang lalu (sp 1,2 dan 3)
Latih secara spiritual (bedoa dan sholat)
Masukkan dalam jadwal harian pasien

SP 5
MengEvaluasi kegiatan yang lalu (sp 1,2,3 dan 4)
MeLatih patuh obat:
(Minum obat secara teratur dengan 5B dan susun jadwal
minum obat secara teratur)
Masukkan dalam jadwal harian pasien

2 Isolasi social Mengidentifikasi penyebab


Siapa yang satu rumah dengan pasien
Siapa yang dekat dengan pasien
Siapa yang tidak dekat dengan pasien
menanyakan keuntungan dan kerugian berinteraksi dengan
orang lain
menanyakan pendapat pasien tentang kebiasaan berinteraksi
dengan orang lain
menanyakan apa yang menyebabkan pasien tidak ingin
berinteraksi dengan orang lain
Diskusikan keuntungan bila pasien memiliki banyak teman dan
bergaul akrab dengan mereka
mendiskusikan kerugian bila pasien hanya mengurung diri dan
tidak bergaul dengan orang lain
Menjelaskan pengaruh isolasi social terhadap kesehatan fisik
pasien.
Latihan berkenalan
Menjelaskan kepada klien cara berinteraksi dengan orang lain
Memberikan contoh berinteraksi dengan orang lain
Memberi kesampatan pasien untuk mempratekkan interaksi
didepan perawat
masukkan jadwal kegiatan pasien.
SP 2
Mengevaluasi kegiatan yang lalu (SP 1)
latihan berhubungan social secara bertahap
masukkan dalam jadwal kegiatan pasien
SP 3
Mengevaluasi kegiatan yang lalu (SP 1 dan 2)
Latihan cara berkenalan denga 2 atau lebih
masukkan dalam jadwal kegiatan pasien
3 Harga diri SP 1
rendah Mengdentifikasi kemampuan positif yang dimiliki
Mendiskusikan bahwa pasien masih memiliki sejumlah
kemampuan dan asfek positif
Memberi pujian yang realistis dan hindari bertemu dengan
penilaian negative
Menilai kemampuan yang dilakukan saat ini
Mendiskusikan dengan pasien kemampuan yang masih
digunakan saat ini
Membantu pasien menyebutkannydan memberikan penguatan
terhadap kemampuan yang masih digunakan pada saat ini
Perlihatkan respon yang kondusif dan menjadi pendengar yang
aktif
Pilih kemampuan yang akan dilatih
SP 2
Mengevaluasi kegiatan yang lalu (sp 1)
Pilih kemampuan kedua yang dapat dilakukan
Melatih kemampuan yang dipilih
Masukkan dalam jadwal kegiatan pasien
SP 3
Mengevaluasi kegiatan yang lalu (sp 1 dan 2)
Memilih kemampuan ketiga yang dapat dilakukan
Masukkan dalam jadwal kegiatan pasien
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Ketika seseorang mengalami kekerasan atau pelecehan secara seksual baik itu
secara fisik maupun psikologis, maka kejadian tersebut dapat menimbulkan suatu trauma
yang sangat mendalam dalam diri seseorang tersebut terutama pada anak-anak dan remaja.
Dan kejadian traumatis tersebut dapat mengakibatkan gangguan secara mental, yaitu Post
Traumatic Stress Disorder (PTSD). Tingkatan gangguan stress pasca trauma berbeda-beda
bergantung pada seberapa parah kejadian tersebut mempengaruhi kondisi psikologis dari
korban.
Untuk menyembuhkan gangguan stress pasca trauma pada korban kekerasan atau
pelecehan seksual diperlukan bantuan baik secara medis maupun psikologis, agar korban
tidak merasa tertekan lagi dan bisa hidup secara normal kembali seperti sebelum kejadian
trauma. Dan pendampingan itu sendiri juga harus dengan metode-metode yang benar
sehingga dalam menjalani penyembuhan atau terapi korban tidak mengalami tekanan-
tekanan baru yang diakibatkan dari proses pendampingan itu sendiri.
1. Pembahasan Kasus
Pada kasus di atas seorang anak perempuan yang merasa telah membuat aib
keluarganya tidak berguna lagi dan ibu mengatakan saat ini anaknya mengalami
trauma berat dan ketika ibu pasien masuk ke kamarnya ibu pasien melihat si anak
mengkonsumsi narkotik akibat dari pemerkosaan yang diterimanya sesuai dengan
jurnal yang di temukan bahwa kekerasan seksual cenderung menimbulkan,dampak
traumatis baik pada anak maupun orang dewasa (faulkner, 2003 dalam zahra, 2007)
Faulkner, 2003 dalam zahra, 2007 mengemukakan sejumlah data bahwa 31%
narapidana perempuan di amerika merupakan korban kekerasan seksual di masa kecil
mereka, seperti, 95% pekerja seks remaja merupakan korban kekerasan seksual anak,
40% penyerang seksual dan 76% pemerkosa berantai mengalami kekerasan seksual di
masa anak-anaknya. Pengalaman traumatis dan perasaan buruk akan diri sendiri ini
menyebabkan korban tidak dapat melupakan kekerasan seksual dialaminya dan dapat
menjadi gangguan stres yang disebut PTSD
2. Pembahasan intervensi
Kelompok mendapatkan tiga diagnosa dari dari kasus di atas yang pertama
itu adalah resiko bunuh diri intervensinya adalah identifikasi penyebab dan tanda
gejala akibat dari prilaku kekerasannya, latih pasien untuk relaksasi nafas dalam, latih
pasien untuk memukul kasur dan bantal jika mengalami kekambuhan, dan latih
dengan cara spiritual berdoa, shalat sedangkan di jurnal juga di temukan bahwa terapi
mendekatkan diri kepada tuhan bisa membantu pemulihan pasien.
Untuk diagnosa ke dua adalah isolasi social intervensinya adalah Tanyakan
keuntungan dan kerugian berinteraksi dengan orang lain, Tanyakan pendapat pasien
tentang kebiasaan berinteraksi dengan orang lain, Tanyakan apa yang menyebabkan
pasien tidak ingin berinteraksi dengan orang lain, Diskusikan keuntungan bila pasien
memiliki banyak teman dan bergaul akrab dengan mereka, Diskusikan kerugian bila
pasien hanya mengurung diri dan tidak bergaul dengan orang lain, Jelaskan pengaruh
isolasi social terhadap kesehatan fisik. Terapi yang di berikan pada pasien isolasi
social ini lebih mengarah kepada terapi kognitif sedangkan pada jurnal juga di
jelaskan bahwa terapi kognitif juga bisa mengatasi gangguan stress (PTSD) yang di
rasakan oleh korban pemerkosaan. Sedangkan untuk diagnosa ketiga yaitu harga diri
rendah pada intervensi juga lebih mengarah pada terapi kognitif sama seperti
diagnosa kedua. ini adalah cara pemulihan dari jurnal Ada pula terapi yang biasa
digunakan untuk PTSD yaitu cognitive-behavioral therapy (CBT), exposure
techniques, somatic experiencing, sensorimotor therapy, craniosacral therapy, eye
movement desensitization and reprocessing (EMDR) (Pratt, 2010)

 
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. 2008. Halusinasi . Dimuat dalam. http://harnawatiaj.wordpress.com/ [Diakses : 12


Oktober 2019] 
2. Kusumawati dan Hartono . 2010 . Buku Ajar Keperawatan Jiwa . Jakarta : Salemba Medika
3. Stuart dan Sundeen . 2005 . Buku Keperawatan Jiwa . Jakarta : EGC .
4. Keliat Budi Ana. 1999. Proses  Keperawatan Kesehatan Jiwa edisi I. Jakarta : EGC
5. Nita Fitria. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan untuk 7 Diagnosis Keperawatan Jiwa Berat. Jakarta:
Salemba Medika.
6. Rasmun, (2001). Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan
Keluarga. Konsep, Teori, Asuhan Keperawatan dan Analisa Proses Interaksi (API). Jakarta :
fajar Interpratama.
7. Yosep , iyus. 2011. Kepera/watan Jiwa. Bandung : PT. Refika Aditama

Anda mungkin juga menyukai