Anda di halaman 1dari 3

Anggota Kelompok 2 :

Arif Darwis
Samharira
Asyrianti Rasymi (Moderator)
Dessy Ul Hijrah (Pemateri)
Sinnarita (Notulen)
Pertanyaan :
1. Pada kasus tersebut bentuk pelanggaran kode etik apa yang dilakukan oleh apoteker
(Lisna_kelompok 2)
Dijawab oleh (Asyrianti Rasymi)
2. Seperti yang kita ketahui bahwa setiap puskesmas harus memiliki TTK, sedangkan ada
beberapa puskesmas yang tidak memiliki TTK, bagaimana cara anda menyikapi dengan
kasus tersebut.
(Ni Made Sriwahyuni_Kelompok 3)
Dijawab oleh (Dessy Ul Hijrah
MENURUT PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 51 TAHUN 2009
TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN
Pasal 33 (1)
(1) Tenaga Kefarmasian terdiri atas:
a. Apoteker; dan
b. Tenaga Teknis Kefarmasian.
(2) Tenaga Teknis kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri dari
Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah
Farmasi/Asisten Apoteker.
Pasal 38 (1)
(1) Standar pendidikan Tenaga Teknis Kefarmasian harus memenuhi ketentuan
peraturan perundangundangan yang berlaku di bidang pendidikan.
(2) Peserta didik Tenaga Teknis Kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk dapat menjalankan Pekerjaan Kefarmasian harus memiliki ijazah dari
institusi pendidikan sesuai peraturan perundang-undangan.
(3) Untuk dapat menjalankan Pekerjaan Kefarmasian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), peserta didik yang telah memiliki ijazah wajib memperoleh rekomendasi
dari Apoteker yang memiliki STRA di tempat yang bersangkutan bekerja.
(4) Ijazah dan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib diserahkan
kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk memperoleh izin kerja.
Pasal 51 (1)
(1) Pelayanan Kefarmasian di Apotek, puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit
hanya dapat dilakukan oleh Apoteker.
(2) Apoteker sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki STRA.
(3) Dalam melaksanakan tugas Pelayanan Kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Apoteker dapat dibantu oleh Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah memiliki
STRTTK.
Dalam pelaksanaan pelayanan kefarmasian apoteker dapat melimpahkan kewenangan
terhadap tenaga kefarmasian lainnya yaitu apoteker sejawatnya atau tenaga teknis kefarmasian
sebagai orang yang di beri pelimpahan kewenangan, untuk menghindari kesalahan dalam
memberikan pelimpahan kewenangan maka apoteker harus tetap berpedoman seperti yang
diatur dalam UU No.36 tahun 2014 Pasal 65 ayat (3) dimana pelimpahan tindakan
/kewenangan memenuhi :
a. Tindakan yang dilimpahkan termasuk dalam kemampuan dan keterampilan yang telah
dimiliki oleh penerima pelimpahan;
b. Pelaksanaan tindakan yang dilimpahkan tetap di bawah pengawasan pemberi pelimpahan;
c. Pemberi pelimpahan tetap bertanggung jawab atas tindakan yang dilimpahkan sepanjang
pelaksanaan tindakan sesuai dengan pelimpahan yang diberikan; dan
d. Tindakan yang dilimpahkan tidak termasuk pengambilan keputusan sebagai dasar
pelaksanaan tindakan.
Pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan atau peraturan di
bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga apoteker untuk menjalankan
profesinya harus mempunyai Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA yang dikeluarkan oleh
Menteri Kesehatan melalui Komite Farmasi Nasional)/Konsil Tenaga Kesehatan dan diwajibkan
pula memiliki Surat Ijin Kerja Apoteker (SIKA) atau Surat Ijin Praktik Apoteker (SIPA) yang
dikeluarkan di tingkat Kabupaten/Kota. Pemerintah juga mengatur batas kewenangan serta
kewajiban tenaga kesehatan, apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang
bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.
Bentuk pelanggaran administratif apoteker yang dapat menyebabkan malpraktik apoteker jika:
1) Apoteker tidak taat pada regulasi yang dibuat pemerintah.
2) Apoteker praktek tidak memeiliki STRA yang masih berlaku
3) Apoteker praktek tidak mempunyai Surat Izin Praktek/Kerja
4) atau ketidaklengkapan perizinan
Penegakan hukum pada pelanggaran administrasi seperti peringatan sampai pencabutan izin.

Anda mungkin juga menyukai