Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

RHINITIS ALERGI

Disusun Oleh
Namira Karimah
NPM : 102120061

Pembimbing
dr. Eni Nuraeni, M.Kes., Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT-KL


RSUD DR. SOEDARSO PONTIANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BATAM
PONTIANAK
2021

1
LEMBAR PERSETUJUAN

Telah disetujui referat dengan judul:

RHINITIS ALERGI

Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT - KL

Telah disetujui,
Pontianak, Juli 2021

Pembimbing, Penulis

dr. Eni Nuraeni, M.Kes., Sp. THT-KL Namira Karimah


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah mencurahkan nikmat dan
karunia-Nya sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini. Shalawat
dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi besar Muhammad shalallahu „alaihiwasallam,
yang telah membawa manusia dari zaman jahiliah ke alam yang penuh ilmu pengetahuan
ini.
Alhamdulillah berkat kemudahan yang diberikan Allah subhanahuwata‟ala, penulis
dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Rhinitis Alergi”. Dalam penyusunan laporan
kasus ini, penulis mendapatkan beberapa hambatan serta kesulitan. Akan tetapi dengan
bantuan dari berbagai pihak hal tersebut dapat teratasi. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan laporan kasus ini, terutama kepada dr. Eni Nuraeni,
M.Kes., Sp. THT-KL selaku pembimbing. Semoga segala bantuan yang penulis terima
akan mendapat balasan yang setimpal dari Allah subhanahuwata‟ala.

Adapun penulisan laporan kasus ini dibuat sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti kegiatan kepaniteraan klinik senior bagian Ilmu Penyakit THT - KL di Rumah
Sakit Umum Daerah Dokter Soedarso Pontianak.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan masih banyak kekurangan dan jauh
dari kesempurnaan, oleh karena itu Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
ditujukan untuk membangun.

Pontianak, Juli 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Rhinitis Alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh adanya reaksi

alergi pada pasien yang mempunyai riwayat atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi

dengan alergen yang sama.

Rhinitis alergi merupakan salah satu penyakit atopik yang paling umum.

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa prevalensi rhinitis alergi bervariasi

antara 10% dan 58,5% menurut wilayah geografis. Tingkat rhinitis alergi pada orang

dewasa telah dilaporkan sekitar 21% di Eropa, 25% di Kanada, 27% di Korea

Selatan, dan 32% di Uni Emirat Arab. Prevalensi rhinitis alergi di Indonesia

berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 2009 mencapai 1,5-12,3% dan

cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya.

Diagnosis awal diperoleh dari anamnesis (riwayat penyakit) yang teliti dan

pemeriksaan fisik yaitu inspeksi, pemeriksaan rinoskopi anterior dan nasoendoskopi.

Selanjutnya diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan yang menunjukkan adanya

IgE baik di kulit maupun di darah (tes alergi). Eliminasi alergen masih merupakan

terapi utama dalam penatalaksanaan rhinitis alergi, akan tetapi dalam prakteknya

tidak mudah untuk dilaksanakan.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Rhinitis Alergi

Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi

pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama

serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan

alergen spesifik tersebut.

Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)

tahun 2011 adalah Kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa

gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh

Ig E.

2. Epidemiologi Rhinitis Alergi

Studi-studi epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi dari rinitis alergi

telah meningkat secara progresif di negara-negara yang lebih maju, dan saat ini

mempengaruhi hingga 40% populasi di dunia; dengan 23%-30% dari populasi yang

terpengaruhi di Eropa, dan 12%-30% dari populasi yang terpengaruhi di Amerika

Serikat. Tetapi, informasi yang tersedia di negara-negara berkembang masih sedikit

dibandingkan dengan negara-negara yang lebih maju. Prevalensi rinitis alergi di

Indonesia memiliki rentang antara 1,5 - 12,3%, Jakarta 26,71%, dan cenderung

meningkat setiap tahunnya. Rinitis alergi, walaupun tidak mematikan, dapat

menurunkan kualitas hidup dan mengganggu pekerjaan termasuk kemampuan belajar


pada remaja dan anak-anak. Rhinitis alergi menurunkan kualitas hidup karena dapat

menyebabkan kelelahan, sakit kepala, gangguan tidur, dan gangguan kognitif.

3. Patofisiologi Rhinitis Alergi

Peningkatan jumlah bakteri dalam tubuh dan infeksi akan memicu sistem imun

berupa limfosit dan histiosit (makrofag) untuk menyerang jaringan yang terinfeksi.

Pada tahap ini, manifestasi klinis mungkin muncul sebagai keterlibatan saraf disertai

dengan penurunan sensasi. Apabila tidak didiagnosis dan diobati pada tahap awal,

keadaan lebih lanjut akan ditentukan oleh kekuatan respon imun pasien.

Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap

sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi.

Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu:

1. Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang

berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya.

2. Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang

berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas) setelah

pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau

monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan

menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses,

antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul

HLA kelas II membentuk kom-plek peptida MHC kelas II (Major Histo-

compatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0).
Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang

akan mengaktifkan ThO untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2.Th 2 akan

menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13

dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B

menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah

akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor Ig E di permukaan sel mastosit atau

basofil (sel mediator) sehingga ke dua sei ini menjadi aktif. Proses ini disebut

sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang

sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan

mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecah-nya dinding sel) mastosit

dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk

(Preformed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly

Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4),

Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai

sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony

Stimulating Factor) dll. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat

(RAFC).

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga

menim-bulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan

menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan

permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung

tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf


Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi

pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang

menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini

tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak

6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan

jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di

mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte

Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada sekret hidung.

Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan

eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic

Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP)

dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen),

iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau

yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.

4. Etiologi Rhinitis Alergi

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas :

1. Alergen inhalan, yaitu alergen yang masuk bersama dengan udara

pernafasan, misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu

binatang, serta jamur.

2. Alergen ingestan, yaitu alergen yang masuk ke saluran cerna, berupa

makanan misalnya susu, telur, coklat, ikan, dan udang.


3. Alergen injektan, yaitu alergen yang masuk melalui suntikan atau tusukan,

misalnya penisilin atau sengatan lebah.

4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan

mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan

5. Klasifikasi Rhinitis Alergi

Dahulu rhinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat

berlangsungnya, yaitu:

1. Rhinitis alergi musiman (seasonal, hay fever,polinosis).

Di Indonesia tidak dikenal rhinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang

mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen)

dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat ialah polinosis atau rino

konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan

mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).

2. Rhinitis alergi sepanjang tahun (perennial).

Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa variasi

musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering

ialah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan.

Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen diluar

rumah (outdoor). Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak

dan biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan

pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perenial lebih ringan diban-

dingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka

komplikasinya lebih sering ditemukan.


Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari

WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001,

yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :

1. Intermiten (kadang – kadang)

Bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.

2. Persisten/menetap

Bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu

Sedangkan untuk derajat berat ringannya penyakit, rhinitis alergi dibagi

menjadi :

1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,

bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu

2. Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

6. Diagnosis Rhinitis Alergi

1. Anamnesis

a) Gejala hidung: hidung berair, hidung tersumbat, hidung gatal dan bersin

berulang. Gejala pada umumnya muncul di pagi hari atau malam hari.

b) Gejala mata seperti mata merah, gatal dan berair.

c) Gejala lain: batuk, tenggorok gatal, gangguan konsentrasi, dan gangguan tidur.

Penderita yang disertai asma dapat ditemukan keluhan sesak napas dan mengi
2. Pemeriksaan
fisik

a) Pada anak sering ditemukan tanda khas : bayangan gelap di daerah bawah mata

(allergic shiner), sering menggosok-gosok hidung dengan punggung tangan

(allergic salute), dan gambaran garis melintang di bagian dorsum hidung

(allergic crease).

b) Gambaran khas pada rongga hidung: mukosa hidung edema, berwarna pucat

atau livid, disertai sekret encer banyak. Dapat ditemukan juga konka inferior

yang hipertrofi.

3. Pemeriksaan penunjang

a) Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan kadar IgE spesifik dengan cara ELISA (enzyme linked immuno

sorbent assay test) atau RAST (radio immuno sorbent test) sangat bermakna

untuk diagnosis, namun harus berkorelasi dengan gejala klinis.

b) Pemeriksaan jumlah eosinofil sekret hidung hanya sebagai pelengkap.

c) Skin End-Point Titration (SET) dilakukan untuk allergen inhalan dengan

menyuntikkan allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat

kepekatannya. Keuntungan SET, selain allergen penyebab juga derajat alergi

dapat diketahui.
7. Tatalaksana Rhinitis Alergi

Tatalaksana rhinitis alergi merupakan kombinasi dari 4 modalitas:

1. Farmakoterapi

Obat diberikan berdasarkan dari klasifikasi diagnosis rhinitis alergi (sesuai

algoritma WHO-ARIA 2008). Obat diberikan selama 2-4 minggu, kemudian

dievaluasi ulang ada/tidak adanya respons. Bila terdapat perbaikan, obat diteruskan

lagi 1 bulan. Obat yang direkomendasikan sebagai berikut.

a) Antihistamin oral generasi kedua atau terbaru. Pada kondisi tertentu dapat

diberikan antihistamin yang dikombinasi dekongestan, antikolinergik

intranasal atau kortikosteroid sistemik.

b) Kortikosteroid intranasal

c) Anti leukotrien (zafirlukast /montelukast), anti lgE, DNA rekombinan.

2. Penghindaran alergen dan kontrol lingkungan

Bersamaan dengan pemberian obat, pasien diedukasi untuk menghindari atau

mengurangi jumlah alergen pemicu di lingkungan sekitar. Membuat kondisi

lingkungan senyaman mungkin dengan menghindari stimulus non spesifik (asap

rokok, udara dingin dan kering).

3. Imunoterapi

Apabila tidak terdapat perbaikan setelah farmakoterapi optimal dan penghindaran

allergen yang optimal, maka dipertimbangkan untuk pemberian imunoterapi secara

subkutan atau sublingual (dengan berbagai pertimbangan khusus). Imunoterapi ini

diberikan selama 3-5 tahun untuk mempertahankan efektifitas terapi jangka

panjang.
4. Operatif

Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konkan inferior), konkoplasti

atau multiple outfracture, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior

hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai

AgNO3 25% atau triklor asetat.

Guideline Diagnosis dan Pengobatan Rhinitis

Alergi Guideline Diagnosis dan Pengobatan

Rhinitis Alergi
8. Komplikasi Rhinitis Alergi

Komplikasi rhinitis alergi yang sering ialah:

1. Polip hidung

Beberapa peneliti mendapatkan bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor

penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.

2. Otitis media efusi yang sering residiual utama pada anak-anak

3. Sinusitis paranasal

9. Prognosis Rhinitis Alergi

Rhinitis alergi jarang menimbulkan keadaan yang membahayakan jiwa,

sehingga prognosis pada pasien ini cenderung baik selama tidak terjadi komplikasi

dan penyakit komorbid yang berat. Walau demikian, penyakit ini memiliki dampak

penurunan kualitas hidup yang signifikan bagi pasien jika tidak terkontrol.
BAB III

KESIMPULAN

Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi pada mukosa hidung yang

disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien dengan riwayat atopi yang sebelumnya

sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya mediator-mediator

kimia pada saat terpapar kembali dengan alergen tersebut.

Berdasarkan cara masuknya, rhinitis alergi disebabkan oleh allergen inhalan,

ingestan, injektan, dan kontaktan. Gejala klinis pasien yang menderita rhinitis alergi

biasanya sangat spesifik yaitu bersin-bersin, pilek encer, hidung buntu, gatal di

hidung disertai mata gatal dan berair.

Untuk menegakkan diagnosis diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Tatalaksana utama pada rhinitis alergi adalah menghindari

kontak allergen penyebabnya.


DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu

Kesehatan THT-KL FK UI. Dalam: Gangguan Pendengaran dan Kelainan

Telinga. Edisi ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2016.

2. Kef K, Guven S. The Prevalence of Allergic Rhinitis and Associated Risk Factors

Among University Students in Anatolia. J of Asthma and Allergy. 2020 : 13 ; 589–

597

3. Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher

Indonesia. Panduan praktik klinis (PPK): Panduan praktik klinis tindakan

(PPKT) dan clinical pathway (CP). Vol 2. Jakarta: Pengurus Pusat PERHATI-

KL;2016. 16 p.

4. World Health Oganizatio. Allergic Rhinitis and its Impact to Asthma (ARIA)

[internet]. WHO; 2008.

Anda mungkin juga menyukai