Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

HUKUM PERDATA ISLAM

‘’ WASIAT DAN RUANG LINGKUPNYA’’

Dosen Pengampu :
Hatoli,S.Sy,MH

Oleh :
RAHMAWATI
Nim :
301.2020.004

SEMESTER III
KELOMPOK : 14

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM SULTAN MUHAMMAD SYAFIUDDIN
SAMBAS
2022 M/ 1443 H
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbilalamin, puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan
berbagai karunia dan nikmat yang tiada tara ke pada seluruh makhluk Nya terutama manusia.
Demikian pula salam dan shalawat kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang
merupakan panutan kita semua pada akhir zaman. Dengan keyakinan itu penulis dapat
menyelesaikan kewajiban akademik dalam mata kuliah Hukum Perdata Islam.
Salah satu persyaratan akademik yang dilaksanakan oleh Institut Agama Islam Sultan
Muhammad Syafiuddin Sambas untuk mewujudkan mahasiswa edukatif dan kreatif dalam
matakuliah Hukum Perdata Islam, diwajibkan untuk membuat makalah dengan judul “Wasiat
dan Ruang Lingkupnya”. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan Makalah ini terdapat
banyak kekurangan, untuk itu dengan senang hati penulis mengharapkan saran dan kritik untuk
membangun demi kesempurnaan laporan ini di kemudian hari.
Akhir kata penulis berharap agar makalah ini dapat menjadi masukan yang bermanfaat,
khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya. Semoga segala jerih payah kita bernilai
ibadah disisi Allah SWT, Aamiin.

Sambas, 2 Januari 2022

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................................
DAFTAR ISI.................................................................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN.............................................................................................................
A. Latar Belakang....................................................................................................................
B. Rumusan Masalah...............................................................................................................
C. Tujuan Masalah...................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................................
A. Pengertian Wasiat...............................................................................................................
B. Dasar Hukum Wasiat..........................................................................................................
C. Rukun dan Syarat-syarat Wasiat.........................................................................................
D. Wasiat menurut KHI...........................................................................................................
E. Wasiat Wajibah...................................................................................................................
BAB III PENUTUP.......................................................................................................................
A. Kesimpulan.........................................................................................................................
B. Saran....................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................
BAB I
PENDAHUALUAN
A. Latar Belakang
Wasiat adalah amanah yang diberikan seseorang menjelang ajalnya atau dia membuat
dan berwasiat dalam keadaan sedang sehat, artinya bukan ketika menjelang ajal.Wasiat dapat
dipandang sebagai bentuk keinginan pemberi wasiat yang ditumpahkan kepada orang yang
diberi wasiat.Oleh karena itu, tidak semua wasiat berbentuk harta.1Adapula wasiat yang
berkaitan dengan hak kekuasaan yang akan dijalankan sesudah ia meninggal dunia, misalnya
seorang berwasiat kepada orang lain supaya mendidik anaknya kelak, membayar utangnya ,
atau mengembalikan barang pinjamannya sesudah si pemberi wasiat itu meninggal dunia.
Hak kekuasaan yang diserahkan hendaklah berupa harta, hak kekuasaan yang bukan berupa
harta tidak sah diwasiatkan. Misalnya menikahkan anak perempuannya karena kekuasaan
walisetelah ia meninggal dunia berpindah kepada wali yang lain menurut susunan wali yang
sudah di tentukan.
Demi terjaminnya wasiat dikemudian hari, orang yang berwasiat hendaknya menjadikan
sebagai saksi sekurang-kurangnya dua orang yang adil.2
Wasiat sah bila dilakukan oleh seorang mukallaf yang merdeka atas kehendak sendiri.
Tidak sah wasiat dilakukan anak kecil , orang gila dan budak sekalipun statusnya makatab
tanpa seizing dari tuannya, dan tidak sah pula dilakukan oleh orang yang dipaksa .
Wasiat termasuk perjanjian yang diperbolehkan, yang di dalamnya pemberi wasiat boleh
mengubah wasiatnya, atau menarik kembali apa yang dia kehendaki dari wasiatnya, atau
menarik kembali apa yang akan diwasiatkan. Penarikan kembali atau yang dikenal dengan
istilah ruju’ dapat berupa ucapan atau perbuatan misalnya dengan menjual objeknya.3
Apabila dilihat dari pandangan ilmu hukum, bahwa wasiat merupakan perbuatan hukum
sepihak ( merupakan pernyataan sepihak ), jadi dapat saja wasiat dilakukan tanpa dihadiri
oleh penerima wasiat, dan bahkan dapat saja dilakukan dalam bentuk tertulis.4

1
Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris ( Bandung: Pustaka Setia, 2009 ), h.343
2
Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, h. 344
3
Abd Shomad, Hukum Islam ( Jakarta: Kencana, 2010 ), h.357
4
Suhrawardi K Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam( Edisi ke-2 ; Jakarta: Sinar Grafika, 2009),
h. 47
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Wasiat
2. Apa dasar hokum wasiat
3. Rukun dan Syarat-syarat wasiat
4. Bagaimana Wasiat menurut KHI
5. Bagaimana Wasiat Wajibah
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Wasiat
Wasiat menurut bahasa artinya menyambungkan, berasal dari kata washasy syai-a
bikadzaa, artinya “ dia menyambungkan’’. Dikatakan demikian karena seorang yang
berwasiat berarti menyambungkan kebaikan dunianya dengan kebaikan akhirat. Wasiat
adalah pesan tentang suatu kebaikan yang akan dijalankan sesudah orang meninggal dunia. 5
Menurut syara’, wasiat adalah mendermakan suatu hak yang pelaksanaannya dikaitkan
sesudah orang yang bersangkutan meninggal dunia.
Wasiat adalah pemberian secara penuh kesadaran akan haknya terhadap harta miliknya
yang akan diperoleh orang yang menerimanya setelah terjadinya kematian si pemberi wasiat.
Pendapat lain mengatakan wasiat adalah pesan terakhir dari seseorang yang mendekati
kematiannya, dapat berupa pesan tentang apa yang harus dilaksanakan para penerima wasiat
terhadap harta peninggalannya atau pesan lain diluar harta peninggalan.6
Wasiat sah bila dilakukan oleh seorang mukallaf yang merdeka atas kehendak
sendiri.Tidak sah wasiat yang dilakukan anak kecil, orang gila dan budak, sekalipun
statusnya makatab tanpa seizin dari tuannya dan tidak sah pula bila dilakukan oleh orang
yang di paksa. Dalam masalah wasiat ini orang yang sdang mabuk disamakan kedudukannya
dengan orang mukallaf ( yakni sah wasiatnya ).
Wasiat dapat ditujukan kepada siapa saja sesuai denga kehendak orang yang berwasiat,
bahkan kepada bayi yang masih dalam kandungan pun hukumnya boleh.Hanya jika bayi
yang dilahirkan meninggal dunia, maka wasiatnya tidak dapt dilakukan.
Agar wasiat yang disampaikan oleh pemberi wasiat mudah diamalkan.Orang yang diberi
wasiat harus jelas namanya, ciri-cirinya bahkan tempat tinggalnya. Karena jika orang yang
dimaksudkan tidak jelas identitasnya, pelaksanaan wasiat akan menemukan kesulitan unutk
melaksanakan wasiat yang bersangkutan. 7
Jika wasiat dilakukan untuk ahli waris dan melebihi sepertiga harta waris, pelaksanannya
harus mendapat persetujuan dari ahli waris lainnya. Artinya, wasiat tersebut dapat

5
Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, h. 343
6
Moh Muhibbin dan Abdul Wahis, Hukum Kewarisan Islam ( Jakarta: Sinar Grafika, 2009 ), h. 145
7
Moh Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, h. 145
digugurkan jika ahli waris yang lain tidak menyetujuinya. Jika wasiat menyangkut harta yang
jumlahnya melebihi sepertiga, karena ahli waris tidak menyetujuinya maka wasiat yang
dilaksanakan cukup yang sepertiganya saja. Jika yang menyetujui wasiat lebih dari sepertiga
itu hanya salah seorang dari ahli waris, wasiat dihukum sah untuk jumlah kelebihan yang
sesuai dengan bagiannya.Jika seorang ahli waris yang mempunyai hak tasharruf mutlak
menyetujui wasiat lebih dari sepertiga, persetujuannya itu merupakan izin untuk
melaksanakan wasiat lebih dari sepertiga.

B. Dasar Hukum Wasiat


Dasar hukum wasiat dalam hukum kewarisan islam, yakni al-qur’an surah al-baqarah
ayat 180 dan surah Al-Maidah ayat 106.8
Al-Maidah ayat 106 :
‫واٱلَّ ِذينَ ٰيَٓأَيُّهَا‬
۟ ُ‫ض َر إ َذ بَ ْينِ ُك ْم َش ٰهَ َدةُ َءامن‬
َ ِ َ ‫ت أَ َح َد ُك ُم َح‬ ُ ْ‫صيَّ ِة ِحينَ ْل َمو‬ ِ ‫ان َءا َخ َر أَوْ ِّمن ُك ْم َع ْد ٍل َذ َوا ْثنَا ِن ْٱل َو‬ ِ ‫أَنتُ ْم إِ ْن ُك ْم َغي ِْر ِم ْن‬
‫ض َر ْبتُ ْم‬
َ ‫ضٱ فِى‬ ِ ْ‫صبَ ْت ُكم أْل َر‬ َ ٰ َ ‫صيبَةُ فَأ‬
ِ ‫صلَ ٰو ِةٱ بَ ْع ِد ِم ۢن نَهُ َماتَحْ بِسُو ْل َموْ تِٱ ُّم‬
َّ ‫َولَوْ ثَ َمنًا بِ ِهىنَ ْشت َِر ال تَ ْبتُ ْم رْ ٱ إِ ِن للَّ ِهٱبِفَيُ ْق ِس َما ِن ل‬
َ‫لْ َءاثِ ِمينَٱ لَّ ِمنَ إِ ًذا إِنَّآ للَّ ِهٱل َش ٰهَ َدةَ نَ ْكتُ ُم َواَل قُرْ بَ ٰى َذا َكان‬
Terjemahnya :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian,
sedang ia akan berwasiat maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil
diantara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam
perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu
setelah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama
Allah, jika kamu ragu-ragu: “(demi Allah) kami tidak akan membeli dengan sumpah ini
harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak
(pula) kami menyembunyikan persaksian Allah. Sesungguhnya kami kalau demikian tentulah
termasuk orang-orang yang berdosa.”

C. Rukun dan Syarat-syarat Wasiat


A. Rukun (Unsur) wasiat yaitu :
1. Pemberi wasiat
2. Penerima Wasiat

8
Sayyid Sabiq Pengantar : Imam Hasan Al-Bana, Fiqh Sunnah Hlm : 472
3. Harta atau Barang yang diwasiatkan
4. Ijab Qabul9
Rukun wasiat adalah pernyataan Ijab Qabul dari orang yang mewasaitkan. Ijab bisa
dilakukan dengan setiap perkataan yang keluar dari mulut sipemberi wasiat, selama
perkataannya tersebut menunjukkan kepemilikan atas sesuatu setelah dirinya meninggal
dunia Misalnya “ Aku wasiatkan ini kepada si Fulan setelah aku mati ,” “Aku berikan
kepadanya,” atau,” aku menjadikanya sebagai pemilik barang itu sepeninggalanku,”
sedangkan untuk Qabul itu sendiri apabila wasiat ditunjukkan kepada orang tertentu karena
sangat perlu memerlukan qabul dari orang yang diberi wasiat setelah si pemberi wasiat mati,
atau qabul dari walinya apabila orang yang diberi wasiat belum mempunyai kecerdasan.
Adapun wasiat juga boleh mengubah wasiatnya, atau menarik kembali dari wasiat yang
telah diberikan. Penarikan tersebut harus dinyatakan dengan ucapan, misalnya dia
mengatakan, “Aku tarik kembali wasiatku “. Dan juga diperbolehkan penarikan kembali
wasiat denga perbuatan, misalnya tindakan orang yang mewasiatkan terhadap apa yang
diwasiatkan dengan mengeluarkan wasiat dari pemiliknya seperti dia menjual wasiat
tersebut.10

B. Syarat-syarat Wasiat :
1. Syarat Mushi (pemberi wasiat) adalah orang yang berakal dan sudah dewasa,
mukallaf, dan tidak dipaksa oleh orang lain. Menurut Kompilasi Hukum Islam, syarat
pewasiat telah berumur 21 tahun, berakal sehat, dan tidak ada paksaan.11 Alasan yang
mendasar mengapa rukun pertama menyaratkan dengan syarat diatas bertujuan agar
terhindar dari tipu daya dan kekeliruan dalam berwasiat.
2. Syarat Musha Lahu (Penerima Wasiat) syaratnya yaitu :
a. Dia bukan ahli warias yang memberikan wasiat
b. Orang yang diberi wasiat ada pada saat memberi wasiat mati, baik mati secara
benar-benar maupun mati secara perkiraan.
c. Penerima wasiat tidak membunuh orang yang diberi wasiat.12
9
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Mazhab, Jakarta: Basrie Press, 1994, hal 247
10
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Mazhab, Jakarta: Basrie Press, 1994. Hal 245
11
Pasal 194 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam
12
Sayyid Sabiq, Pengantar : Syaikh Aidh Al-Qarni, Ringkasan Fiqh sunnah (Jakarta, Pustaka AL-Kautsar )
Hlm : 958
Menurut Kompilasi Hukum Islam, wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui
oleh semua ahli waris, yang dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis
dihadapan dua orang saksi atau di hadapan notaris.13
D. Wasiat Menurut KHI
Kompilasi hukum islam Indonesia khususnya dalam ketentuan yang terdapat dalam Buku
II Bab V pasal 194 dan 195 menyebutkan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi dalam
pelaksanaan pewasiatan tersebut yaitu, a) pewasiat harus orang yang telah berumur 21 tahun,
berakal sehat dan didasarkan kepada kesukarelaannya. b) harta benda yang diwasiatkan harus
merupakan hak si pewasiat, c) peralihan hak terhadap barang/benda yang diwasiatkan adalah
setelah si pewasiat meninggal dunia.14
KHI umumnya mengambil pendapat sunni, hanya saja dengan sedikit perbedaan dan
perluasan penambahan.
Batalnya wasiat, sesuai dengan putusan Hakim bahwa si penerima wasiat : a)
dipersalahkna membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewasiat, b)
dipersalahakan seccara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah
melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman lima tahun penjara atau atau hukuman
yang lebih berat, c) dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk
membuat atau mencabut mengubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat, d)
dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat dari pewasiat
(pasal 197).
Apabila surat wasiat dalam keadaan tertutup maka penyimpanannya ditempat notaris
yang membuatnya atau ditempat lain (pasal 203) kemudian tentang wasiat yang harus dibuka
dihadapan notaris (pasal 204), dalam keadaan perang seseorang dapat berwasiat dihadapan
komandan dan dua saksi (pasal 205) sebagaimana mereka yang melewati perjalanan laut
dihadapan nahkoda atau mualim kapal atau penggantinya dihadapan dua saksi (pasal 206)
dan wasiat tidak diperbolahkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan atau
kepada orang yang memberi tuntunan kerohanian sewaktu ia menderita sakit hingga
meninggalnya kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasanya (pasal 207)
wasiat tidak berlaku bagi notaris dan saksi-saksi pembuat akta tersebut (pasal 208)

13
Pasal 195 ayat (3 dan 4) Kompilasi Hukum Islam.
14
uhrawardi K Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam ( Jakarta: Sinar Grafika, 2001 ), h.44
Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal 176-193 sedang orang tua
angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah maksimal 1/3 dari harta warisan
anak angkatnya, dan terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah
maksimal 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya (pasal 209).15

E. Wasiat Wajibah
Wasiat wajibah dimaksudkan adalah kepada orang yang bukan ahli waris tetapi kepada
mereka yang karena tidak tergolong ahli waris seperti cucu laki-laki atau perempuan pancar
perempuan (anak-anak dari anak perempuan yang meninggal) atau kepada cucu laki-laki atau
perempuan pancar laki-laki (anak-anak dari anak laki-laki pewaris yang meninggal), mereka
terhijab karena adanya anak laki-laki pewaris langsung (sdr.lelaki ayah mereka/cucu). Maka
untuk mereka berhak menerima wasiat wajibah tanpa harus adanya persetujuan ahli waris
ataupun pewaris sendiri sebelumnya ketika ia hidup.
Batas maksimal wasiat wajibah adalah 1/3 dari harta peninggalan, apabila pewaris
sebelumnya telah mewasiatkan kepada mereka harta yang kurang 1/3 bagian, maka secara
yuris harus dicukupkan 1/3 harta dan apabila wasiat tersebut melebihi dari batas maksimal
1/3 harta, selebihnya merupakan wasiat akhtiarah, dimana adanya keharusan persetujuan ahli
waris, apakah ahli waris menyetujuinya berarti mereka akan mendapatkan kelebihan dari 1/3
harta dan sebaliknya jika kelebihan tersebut tidak disetujui ahli waris maka kelebihan
tersebut diambil untuk dijadikan tambahan dari harta pewarisan bagi ahli waris.16

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
15
A Sukri Sarmadi, Transendendi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, h. 257-259
16
A Sukri Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, h. 260
Wasiat adalah pemberian secara penuh kesadaran akan haknya terhadap harta miliknya
yang akan diperoleh orang yang menerimanya setelah terjadinya kematian si pemberi wasiat.
Pendapat lain mengatakan wasiat adalah pesan terakhir dari seseorang yang mendekati
kematiannya, dapat berupa pesan tentang apa yang harus dilaksanakan para penerima wasiat
terhadap harta peninggalannya atau pesan lain diluar harta peninggalan.
Wasiat adalah amanah yang diberikan seseorang menjelang ajalnya atau dia membuat
dan berwasiat dalam keadaan sedang sehat, artinya bukan ketika menjelang ajal.Wasiat dapat
dipandang sebagai bentuk keinginan pemberi wasiat yang ditumpahkan kepada orang yang
diberi wasiat.Oleh karena itu, tidak semua wasiat berbentuk harta. Adapula wasiat yang
berkaitan dengan hak kekuasaan yang akan dijalankan sesudah ia meninggal dunia, misalnya
seorang berwasiat kepada orang lain supaya mendidik anaknya kelak, membayar utangnya ,
atau mengembalikan barang pinjamannya sesudah si pemberi wasiat itu meninggal dunia.
Hak kekuasaan yang diserahkan hendaklah berupa harta, hak kekuasaan yang bukan berupa
harta tidak sah diwasiatkan. Misalnya menikahkan anak perempuannya karena kekuasaan
walisetelah ia meninggal dunia berpindah kepada wali yang lain menurut susunan wali yang
sudah di tentukan.

DAFTAR PUSTAKA
Burgerlijk Wetboek ( Kitab Undang-Undang Hukum Perdata )
Lubis, Suhrawardi K dan Simanjuntak, Komis.Hukum waris islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2001
Lubis, Suhrawardi K dan Simanjuntak, Komis.Hukum Waris Islam. Edisi ke-2; Jakarta: Sinar
Grafika, 2009
Muhibbin, Moh dan Wahid, Abdul.Hukum Kewarisan Islam.Jakarta: Sinar Grafika, 2009
Sarmadi, Sukris. Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 1997
Saebani, Beni Ahmad.Fiqih Mawaris. Bandung: Pustaka Setia, 2009
Shomad, Abd. Hukum Islam. Jakarta: Kencana, 2010

Anda mungkin juga menyukai