Anda di halaman 1dari 8

HUBUNGAN BISNIS

(1) Pengertian hubungan bisnis


Hubungan antara satu orang atau lebih yang dilakukan karena mempunyai kepentingan
dan tujuan ekonomi untuk saling mencari keuntungan satu sama lain. Tujuan lain seperti
untuk mempercepat proses pemasaran produknya ke masyarakat luas. Ada juga yang
bertujuan membantu pihak lain karena tidak diizinkannya pihak lain memasarkan produknya
di suatu negara. Namun ada pula yang melakukannya karena ketidakmampuannya untuk
berbisnis, ataupun masalah permodalannya.

(2) Agen perusahaan/distributor


Latar belakang terjadinya hubungan bisnis keagenan ini di sebabkan oleh adanya pihak
luar negeri yang tidak di perbolehkan untuk menjual barangnya secara langsung baik ekspor
maupun impor di indonesia. Hubungan bisnis dengan nama keagenan dan dengan nama
distributor adalah berbeda.namun dalam praktik bisnis sehari-hari keduanya biasa di
gabungkan.
Pernyataan berikutnya adalah apakah perbedaanya antara agen/distributor dengan
makelar dan komisioner ?
Makelar adalah seorang yang pekerjaanya adalah bertindak sebagai perantara dalam
suatu transaksi bisnis antara pihak-pihak yang bersangkut.
Dalam perjanjianya bisnis yang diadakan antara agen dengan distributor dengan
prinsipanya,biasanya dengan membuat kontrak tertulis yang isinya di tentukan oleh para
pihak Sesuai dengan kepentingan para pihak tersebut,asal saja tidak bertentangan dengan
hukum dan kesusilaan sesuai pasal 1388KUHPerdata.
Dalam perjanjian bisnis yang diadakan antara agen/ distributor dengan prinsipalnya,
biasanya dilakukan dengan membuat suatu kontrak tertulis yang isinya ditentukan oleh para
pihak sesuai dengan kepentingan para pihak tersebut, asal tidak bertentangan dengan
hukum dan kesusilaan Bila pihak asing ingin menunjuk seorang agen/ distributor di
Indonesia, maka menurut Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 77/Kp/III/78,
tanggal 9 MAret 1978, ditentukan lamanya perjanjian harus dilakukan untuk jangka waktu 3
tahun.
Dalam perjanjian juga para pihak biasanya akan merumuskan swecara jelas peristiwa
apa-apa saja yang menjadi perselisihan yang memberikan dasar masing-masing pihak untuk
memutuskan perjanjian keagenan /distributor di antara mereka,biasanya yang di
katagorikan sebagai events of defauls antara lain adalah :
1. Apabila agen distributor lalai melaksanakan kewajibanya,sebagai tercantum dalam
perjanjian keagenan/distributor termaksud kewajiban melakukan pembayaran.
2. Apabila agen /distributor melaksanakan apa yang sebenarnya tidak boleh di lakukan
3. Apabila para pihak jatuh pailit
4. Keadaan-keadaan lain yang menyebabkan para pihak tidak dapat melaksanakan apa
yang Menjadi kewajibanya
Hal yang perlu di perhatikan dala suatu perjanjian keagenan/distributor adalah adanya
pilihna hukum yang di pakai para pihak.sebab dalam hukum international kita kenal adanya
asa pilhan hukum (choice of law)

(3) Makelar
Makelar adalah seorang pedagang perantara yang diangkat oleh pejabat yang
berwenang untuk itu. Ia menyelenggarakan perusahaan dengan melakukan pekerjaan atas
amanat dan nama orang lain dengan mendapat upah atau provisi tertentu. Sebelum
diperbolehkan melakukan pekerjaannya itu, ia harus bersumpah di hadapan Pegadilan
Negeri yang termasuk dalam wilayah hukumnya.
Menurut Abdulkadir Muhammad, makelar seperti yang disebutkan dalam definisi
tersebut tidak lagi dijumpai dalam dunia praktik. Hal ini dapat dilihat dalam praktik di Bursa
Efek. Untuk dapat menjalankan kegiatan sebagai pedagang perantara di Bursa Efek, mereka
harus mendapatkan izin usaha terlebih dahulu dari Bapepam. Namun tidak disyaratkan
untuk mengangkat sumpah terlebih dahulu sebagaimana disebutkan dalam KUHD.
Hubungan hukum antara makelar dengan si pemberi amanat didasarkan pada kontrak
penyuruhan atau pemberian kuasa biasa. Hal ini dapat dilihat dari elemen atas amanat (op
order) dan atas nama (op naam) sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 62 KUHD.

(4) Komisioner
Komisioner adalah perusahaan yang pekerjaannya membuat kontrak atas amanat orang
lain, tetapi ketika komisioner membuat kontrak tersebut, ia melakukannya atas namanya
sendiri. Dalam melaksanakan amanat tersebut, komisioner mendapatkan upah atau provisi
dari si pemberi amanatnya.

(5) Franchising
       Kata Franchise sebenarnya berasal dari bahasa prancis yang berarti bebas atau lebih
lengkap lagi bebas dari perhambatan (free from servitude). Dalam bidang bisnis franchise
berarti kebebasan yang di peroleh seseorang wirausaha  untuk menjalankan sendiri usaha
tertentu di wilayah tertentu. Ada 4 hal yang menonjol dalam hal pemasaran konsep
franchise yaitu Product, Price, Place/distribution dan Promotif.
A. Karakteristik Dasar Franchise
 Harus ada suatu perjanjian atau kontrak tertulis
 Franchisor harus melakukan pelatihan dalam segala aspek
 Franchisor di perbolehkan mengunakan nama hak dagang
 Franchisor harus mengadakan  investasi yang berasal dari sumber dananya
sendiri
 Franchisor berhak secara penuh mengelolah bisnisnya sendiri
 Franchisor membayae fee atau royalti kepada franchisor
 Franchisee berhak memperoleh derah pemasaran
Transaksi yang terjadi antara franchisor dengan franchisee bukan merupakan transaksi
yang terjadi antara cabang perusahaan induk yang sama,atau antara individu dengan
perusahaan yang di kontrolnya, Contoh-contoh yang paling terkenal dalam bisnis franchising
ini adalah Mac Donald’s, fizza HUT, Texas, es teler 77 dll
B. Keuntungan dan Kerugian Kegiatan Frinchise
1. Keuntungan
 Diberkanya latihan
 Diberikanya bantuan finansial dari franchisor
 Di berikanya penggunaan nama perdagangan
2. Kerugian
 Adanya perogram pelatihan
 Perincihan setiap hari  tentang penyelenggaraan perusahaan sering di
abaikan
 Hanya sedikit sekali kebebasan
 Pada bisnis franchise jarang mempunyai hak untuk menjual perusahaan
kepada pihak ketiga tanpa terlebih dahulu menawarkanya kepada
franchisor dengan harga yang sama

(6) Sewa Beli


Sewa Beli (hire purchase) adalah jual beli barang di mana penjual melaksanakan
penjualan barang dengan cara memperhitungkan setiap pembayaran yang dilakukan oleh
pembeli dengan pelunasan atas harga barang yang telah disepakati bersama dan yang diikat
dalam suatu perjanjian, serta hak milik atas barang tersebut baru beralih dari penjual
kepada pembeli setelah jumlah harganya dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual.
Mengenai sewa beli ini, Suharnoko, S.H., MLI. mengatakan bahwa beli-sewa adalah
perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (“KUHPer”).Akan tetapi karena Buku III KUHPer menganut sistem terbuka, maka
para pihak boleh membuat perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam KUHPer.
Perjanjian yang diatur secara khusus dalam Buku III KUHPer disebut perjanjian nominat
sedangkan perjanjian yang tidak diatur dalam Buku III KUHPer disebut perjanjian innominat.
Menurut ketentuan Pasal 1319 KUHPer, setiap perjanjian nominat maupun perjanjian
innominat tunduk pada ketentuan umum hukum perjanjian. Dengan demikian perjanjian
beli-sewa sebagai suatu perjanjian innominat juga tunduk kepada ketentuan umum tentang
perjanjian seperti misalnya syarat sahnya perjanjian dan tentang wanprestasi.
Suharnoko menjelaskan beli-sewa adalah suatu perjanjian campuran dimana terkandung
unsur perjanjian jual beli dan perjanjian sewa menyewa. Dalam perjanjian beli-sewa selama
harga belum dibayar lunas, maka hak milik atas barang tetap berada pada si penjual sewa,
meskipun barang sudah berada di tangan pembeli sewa. Hak milik baru beralih dari penjual
sewa kepada pembeli sewa setelah pembeli sewa membayar angsuran terakhir untuk
melunasi harga barang.
 
(7) Jual beli angsuran
Akan tetapi, perlu diketahui bahwa sewa beli berbeda dengan jual beli dengan
angsuran. Dr. Munir Fuady, S.H., M.H., LL.M. menjelaskan bahwa perbedaan terpenting di
antara keduanya adalah tentang saat beralihnya hak dari penjual kepada pembeli.
Pada sewa beli beralihnya hak (levering) terjadi pada saat seluruh cicilannya lunas
terbayarkan. Jadi sebelum harganya lunas seluruhnya, kedudukan pembeli sewa hanya
sebagai penyewa belaka. Dan berubah menjadi pembeli setelah habis angsurannya.
Sementara pada jual beli dengan angsuran, hak atas barang sudah beralih (levering) dari
penjual kepada pembeli setelah transaksinya terjadi walaupun saat itu harga belum
seluruhnya dibayar.
Mengenai perbedaan ini, Dr. Munir Fuady, S.H., M.H., LL.M., mengatakan bahwa kecuali
untuk bentuk operating lease, maka bentuk transaksi yang paling mirip dengan leasing
adalah transaksi sewa beli. Walaupun antara leasing dan sewa beli mirip, tetapi ada
beberapa perbedaan di antara keduanya, yaitu:
1. Dalam sewa beli, lessee otomatis (“demi hukum”) jadi pemilik barang di akhir masa
sewa, sementara pada leasing, kepemilikan lessee tersebut hanya terjadi apabila
hak opsinya dilaksanakan oleh lessee.
2. Pihak lessor dalam leasing hanya bermaksud untuk membiayai perolehan barang
modal oleh lessee, dan barang tersebut tidak berasal dari pihak lessor, tetapi dari
pihak ketiga atau dari pihak lessee itu sendiri. Tetapi pada sewa beli,
pihak lessor bermaksud melakukan semacam investasi dengan barang yang
disewakan itu dengan uang sewa sebagai keuntungannya. Karena itu, biasanya
barang tersebut berasal dari milik pembeli sewa beli sendiri.
3. Leasing termasuk dalam salah satu metode pembiayaan yang diperkenankan
dilakukan oleh perusahaan pembiayaan, sementara sewa beli tidak termasuk
kegiatan lembaga pembiayaan.
Melihat pada penjelasan di atas, terlihat bahwa dalam leasing adalah hak opsi bagi
penyewa guna usaha untuk membeli barang tersebut atau tetap menyewanya saja. Ini
berarti penyewa guna usaha menjadi pemilik dari barang tersebut apabila ia melaksanakan
hak opsinya. Sedangkan dalam sewa beli, jika pembeli telah selesai membayar lunas harga
yang telah disepakati, maka hak milik barang berpindah kepada pembeli.

(8) Hak tanggungan


Hak tanggungan menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 UUHT adalah “hak tanggungan atas
tanah beserta benda-benda yang berkaitan atas tanah, yang selanjutnya disebut hak
tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan
dengan tanah tersebut, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan
diutamakan kreditur tertentu dengan kreditur-kreditur lainnya”. Di samping itu, Pasal 51
UUPA, telah menegaskan jaminan atas tanah, yang menyatakan bahwa hak tanggungan
yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan tersebut
dalam Pasal 25, 33, dan 39 diatur dengan undang-undang.
Prinsipnya, Hak Tanggungan itu merupakan lembaga hak jaminan kebendaan atas hak
atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lain. Jaminan yang diberikan yaitu hak yang
diutamakan atau mendahulu dari krediturkreditur lainnya bagi kreditur pemegang hak
tanggungan. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUHT menyebutkan bahwa Hak atas Tanah yang
dapat dibebani dengan Hak Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna
Bangunan.
Di dalam suatu perjanjian hak tanggungan ada dua pihak yang mengikatkan diri, yaitu
Pemberi Hak Tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menjaminkan objek hak tanggungan
(debitur dan Pemegang Hak Tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menerima Hak
Tanggungan sebagai jaminan dari pihutang yang diberikannya. Ketentuan Pasal 8 dan Pasal
9 UUHT memuat ketentuan mengenai subjek Hak Tanggungan, yaitu sebagai berikut :
1. Pemberi Hak Tanggungan, adalah orang perorangan atau badan hukum yang
mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak
tanggungan pada saat pendaftaran hak tanggungan itu dilakukan;
2. Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perorangan atau badan hukum yang
berkedudukan sebagai pihak yang mendapatkan pelunasan atas pihutang yang
diberikan

(9) Gadai/Pawn
Istilah gadai berasal dari terjemahan dari kata pand (bahasa Belanda)
atau pledge atau pawn (bahasa Inggris) yang berarti menggadaikan. Pengertian gadai
tercantum dalam Pasal 1150 KUHPerdata. Menurut pasal 1150 KUHPerdata disebutkan
“Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak,
yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya,
dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari
barang tersebut  secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya, dengan
kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk
menyelamatkan setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan”.
Secara singkat dan mudah Gadai adalah hak yang diperoleh kreditur atas suatu benda
bergerak atas suatu hutang. Pengertian gadai yang tercantum dalam pasal 1150 KUHPerdata
ini sangat luas, tidak hanya mengatur tentang pembebanan jaminan atas barang bergerak,
tetapi juga mengatur tentang kewenangan kreditur untuk mengambil pelunasannya dan
mengatur eksekusi barang gadai, apabila debitur lalai dalam melaksanakan kewajibannya.
Menurut penulis sedikitnya ada tiga unsur yang tercantum dalam pengertian gadai.
Unsur-unsur yang tercantum dalam pengertian gadai adalah , Subjek gadai yaitu kreditur
dan debitur, Objek gadai, yaitu barang bergerak, dan Adanya kewenangan kreditur, adalah
kewenangan untuk melakukan pelelangan terhadap  barang debitur. Subjek gadai terdiri
dari dua pihak, yaitu pemberi gadai dan penerima gadai. Pemberi gadai yaitu orang atau
badan hukum yang memberikan jaminan dalam bentuk benda bergerak selaku gadai kepada
penerima gadai untuk pinjaman uang yang diberikan kepadanya atau pihak ketiga.
Walaupun pada prakteknya sangat jarang sekali ada pihak ketiga yang diberikan kuasa oleh
pemberi gadai atas namanya. Penerima gadai adalah orang atau badan hukum
yang menerima gadai sebagai jaminan untuk pinjaman uang yang diberikannya kepada
pemberi gadai. Objek dari gadai adalah benda bergerak baik yang berwujud ataupun tidak
berwujud.
Setelahnya apa saja kewajiban serta hak penerima dan pemberi gadai ?
Hak Pemberi Gadai (Pasal 1156 KUHPerdata) :
1) Menerima Uang gadai dari penerima gadai.
2) Berhak atas barang gadai, apabila hutang pokok, bunga dan biaya lainnya telah
dilunasinya.
3) Berhak menuntut kepada pengadilan supaya barang gadai dijual untuk melunasi
hutang-hutangnya.
Kewajiban Pemberi Gadai (Pasal 1157 KUHPerdata) :
1) Menyerahkan barang gadai kepada penerima gadai.
2) Membayar pokok dan sewa modal kepada penerima gadai.
3) Membayar biaya yang dikeluarkan oleh penerima gadai untuk menyelamatkan
barang-barang gadai.
Hak Penerima Gadai dalam (Pasal 1155 KUHPerdata) :
1) Menerima angsuran pokok pinjaman dan bunga sesuai dengan waktu yang
ditentukan.
2) Menjual barang gadai, jika pemberi gadai tidak memenuhi kewajibannya setelah
lampau waktu atau setelah dilakukan peringatan untuk pemenuhan janjinya.
Kewajiban Penerima Gadai dalam (Pasal 1154, 1156, 1157 KUHPerdata) :
1) Menjaga barang yang digadaikan sebaik-baiknya.
2) Tidak diperkenankan mengalihkan barang yang digadaikan menjadi miliknya,
walaupun pemberi gadai wanprestasi (Pasal 1154 KUHPerdata).
3) Memberitahukan kepada pemberi gadai (debitur) tentang pemindahan barang-
barang gadai (Pasal 1156 KUHPerdata).
4) Bertanggung jawab atas kerugian atau susutnya barang gadai, sejauh itu terjadi
akibat kelalaiannya (Pasal 1157 KUHPerdata).
Bagaimana dengan gadai yang terjadi di masyarakat pada umumnya ? Praktek gadai
pada masyarakat terjadi pada umumnya yaitu individu dengan individu bahkan hanya terjadi
secara lisan saja. Bagaimana keabsahan gadai dibawah tangan tersebut ? Gadai adalah
perjanjian yang sifatnya tambahan, artinya perjanjian gadai hanya akan ada bila sebelumnya
telah ada perjanjian pokoknya, yaitu hutang piutang. Mari kita lihat syarat sahnya sebuah
perjanjian pada Pasal 1320 KUHPerdata yaitu Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
dalam suatu perjanjian, Kecakapan untuk membuat suatu perikatan dalam artian sudah
dewasa, Adanya suatu hal tertentu yang diperjanjikan, dan Hal yang diperjanjikan adalah
suatu sebab yang halal artinya tidak dilarang oleh aturan. Mencermati dari Pasal 1320
KUHPerdata tersebut gadai antar individu adalah sah. 
Permasalahan yang sering terjadi dimasyarakat  adalah ketika pemberi gadai tidak dapat
memenuhi kewajibannya kepada penerima gadai dalam rentang waktu yang telah
disepakati bersama, maka kebiasaan salah yang terjadi pertama, adalah penerima gadai
beranggapan barang yang diserahkan pemberi gadai menjadi miliknya (penerima gadai). Hal
ini pun diamini oleh pemberi gadai karena ketidaktahuan. Padahal pada Pasal 1154
KUHPerdata ditegaskan Dalam hal debitur atau pemberi gadai tidak memenuhi kewajiban-
kewajiban, kreditur atau penerima gadai tidak diperkenankan mengalihkan barang yang
digadaikan itu menjadi miliknya. Dalam hal pemberi gadai mampu memenuhi kewajibannya,
tidak jarang terjadi penerima gadai mengalihkan barang yang digadaikan tanpa
sepengetahuan pemberi gadai kepada orang lain karena berbagai alasan, tentu saja hal ini
tidak dibenarkan. Selain beberapa hal tersebut masih ada kebiasaan keliru lainnya yaitu
ketika barang digadaikan dipakai atau dinikmati fungsinya oleh penerima gadai, padahal
barang yang diserahkan ke penerima gadai tersebut hanyalah sebagai jaminan agar pemberi
gadai melaksanakan prestasinya.

(10) Fiduciare Eingendom Overdracht (Jaminan Fidusia)


Jaminan Fidusia Merupakan Perjanjian Ikutan, menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UU 42/1999”) jaminan fidusia adalah hak
jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda
tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia sebagai agunan bagi
pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima
fidusia terhadap kreditor lainnya.
Disebutkan dalam Pasal 4 UU 42/1999 bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian
ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk
memenuhi suatu prestasi. Yang dimaksud dengan "prestasi" dalam ketentuan ini adalah
memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, yang dapat dinilai
dengan uang. Karena jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan, berarti ada perjanjian
pokok yang menjadi induk dari perjanjian jaminan fidusia. Sebagai contoh jika perjanjian
pokoknya adalah perjanjian utang piutang, maka jaminan fidusia bisa menjadi perjanjian
ikutan dari perjanjian utang piautang tersebut. Pembebanan benda (dalam hal ini mobil)
dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan
akta jaminan fidusia. Pembuatan akta jaminan fidusia, dikenakan biaya yang besarnya diatur
lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Objek Fidusia Pada Penguasaan Debitur. Debitur adalah pihak yang mempunyai utang
karena perjanjian atau undang-undang. Apakah barang yang merupakan objek fidusia ada
pada penguasaan debitur? Jawabannya adalah iya. Sebagaimana dijelaskan bahwa
berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU 42/1999:
Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan
ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam
penguasaan pemilik benda.
Berkitan dengan objek fidusia tetap berada dalam pengusaan pemilik benda ini, Pasal 20
UU 42/1999 mengatur sebagai berikut:
Jaminan Fidusia tetap mengikuti Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia dalam
tangan siapapun Benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang
menjadi obyek Jaminan Fidusia.
Dalam Penjelasan Pasal 20 UU 42/1999 disebutkan bahwa ketentuan ini mengikuti
prinsip "droit de suite" yang telah merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan
Indonesia dalam kaitannya dengan hak mutlak atas kebendaan (in rem).
Jadi, benda milik debitur yang dijaminkan secara fidusia tetap ada pada penguasaan
debitur tersebut.
Eksekusi Apabila Cidera Janji dalam Jaminan Fidusia apabila debitur cidera janji maka
menurut Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999 penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual
benda yang menjadi obyek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri. Hal serupa juga
disampaikan oleh Frieda Husni Hasbullah dalam bukunya Hukum Kebendaan Perdata: Hak-
Hak yang Memberi Jaminan (hal.79), salah satu ciri jaminan fidusia adalah kemudahan
dalam pelaksanaan eksekusinya yaitu apabila pihak pemberi fidusia cidera janji. Oleh karena
itu, dalam UU 42/1999 dipandang perlu diatur secara khusus tentang eksekusi jaminan
fidusia melalui lembaga parate eksekusi. Apabila debitur cidera janji menurut Pasal 15 ayat
(3) UU 42/1999. Apabila debitur atau pemberi fidusia cidera janji (wanprestasi), eksekusi
terhadap objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara yang terdapat dalam Pasal 29
ayat (1) UU 42/1999, yaitu:
Apabila debitor atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap Benda yang menjadi
obyek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara:
1. pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (2)
oleh Penerima Fidusia;
2. penjualan Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima
Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya
dari hasil penjualan;
3. penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan
Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang
menguntungkan para pihak.
Jadi berdasarkan penjelasan tersebut maka cara-cara eksekusi benda yang menjadi objek
jaminan fidusia, yaitu:
 Pelaksanaan titel eksekutorial;
 Menjual atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum;
 Penjualan di bawah tangan.

Anda mungkin juga menyukai