Anda di halaman 1dari 14

JOURNAL READING

“Kortikosteroid untuk Pasien Anak dengan Syok Sepsis”

(Corticosteroids for pediatric septic shock patients)

Pembimbing :

dr. Dian Rahma Ekowati, Sp.A, M.Sc.

Disusun oleh :
Kharismayanti Fatimatuzzahro
2017730061

KEPANITERAAN KLINIK STASE PEDIATRI


RSUD SEKARWANGI SUKABUMI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2021
Kortikosteroid untuk Pasien Anak dengan Syok Sepsis
(Pediatrica Indonesiana, March 2019)
Irene Yuniar, Vembricha Nindya Manusita, Sonya Leonardy Low

ABSTRAK
Latar belakang: Syok sepsis masih menjadi penyebab utama kematian pada anak
dan penyebab utama anak dirawat di PICU (pediatric intensive care unit).
Tatalaksananya adalah dengan resusitasi cairan adekuat, dilanjutkan dengan infusi
katekolamin jika dibutuhkan. Terapi dengan kortikosteroid disarankan untuk
tatalaksana syok refraktor katekolamin, meskipun hal ini masih menjadi
kontroversi karena dinyatakan tidak bermanfaat pada beberapa penelitian.
Tujuan: Untuk menilai penggunaan kortikosteroid pada pasien anak dengan syok
sepsis di RS Cipto Mangunkusumo.
Metode: Penelitian ini dilakukan dengan studi cross-sectional, dengan inklusi
seluruh pasien usia 1 bulan – 18 tahun dengan syok sepsis selama periode
penelitian (Januari 2014-Juli 2018) yang dirawat di PICU, RS Cipto
Mangunkusumo, Jakarta. Pengambilan data diambil melalui rekam medis berupa
usia, jenis kelamin, status imunologis, port d’entrée sepsis, penggunaan inotropic
dan vasopressor, ventilator, jenis kortikosteroid, lama rawat inap (length of
stay/LoS), dan outcome mortalitas. Hasil: Dari 217 anak dengan syok sepsis,
sebanyak 12 pasien (5,5%) diterapi dengan kortikosteroid. Kortikosteroid yang
paling sering diberikan adalah hidrokortison (80%), dengan loading dose 2
mg/kgBB, dilanjutkan dengan dosis infusi 2-50 mg/kgBB/hari secara kontinu.
Hampir seluruh pasien (11/12) diterapi dengan kortikosteroid hingga pasien
meninggal. Median durasi penggunaan kortikosteroid adalah 2 hari (range 1-7),
median jumlah inotropik dan vasopressor yang digunakan adalah 3 agen (range 2-
4), median lama rawat inap adalah 3 hari (range 1-9), dan tingkat mortalitas
sebanyak 100%.
Kesimpulan: Hanya sebagian kecil pasien anak dengan diagnosis syok sepsis
yang diterapi dengan kortikosteroid. Tingkat mortalitas mereka adalah 100%.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengevaluasi manfaat dari terapi
kortikosteroid pada pasien anak dengan syok sepsis. [Paediatr Indones.
2019;59;67-71]
Kata kunci: kortikosteroid; mortalitas; syok sepsis pada anak; syok sepsis.

Latar belakang

Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam nyawa yang


disebabkan oleh disregulasi respon host terhadap infeksi. Sepsis masih menjadi
salah satu penyebab utama kematian dan penyebab utama anak dirawat di PICU
(pediatric intensive care unit). The World Health Organization (WHO)
melaporkan persentase kejadian mortalitas pada anak dibawah 4 tahun dengan
diagnosis sepsis adalah sebesar 80%. Berdasarkan data rekam medis di Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2009, kejadian sepsis pada anak
yang menyebabkan anak masuk PICU adalah sebesar 19,3% dan tingkat
mortalitasnya sebesar 10%. 5-30% kasus sepsis anak dapat berkembang menjadi
syok sepsis. Rusmawatiningtyas dkk. melaporkan tingkat mortalitas pada anak
dengan syok sepsis di PICU adalah sebesar 88,2%.
The American College of Critical Care Medicine (ACCM)
mengembangkan sebuah algortima resusitasi inisial dengan cairan kristaloid atau
koloid sebanyak 20 ml/kgBB dan dapat diulang hingga 60 ml/kgBB sampai
terjadi peningkatan perfusi, kecuali apabila terjadi ronkhi atau hepatomegali.
Untuk syok refraktor cairan (fluid refractory shock), harus diberikan vasopressor
dan inotropik. Jika syok tidak juga membaik, kemungkinan syok berkembang
menjadi syok resisten katekolamin atau syok refraktor katekolamin. Kondisi ini
berkaitan dengan adanya insufisiensi adrenal, dimana tubuh membutuhkan input
kortikosteroid; seperti hidrokortison.
Beberapa D Wong dkk. menyarankan untuk mempertimbangkan kembali
penggunaan kortikosetroid pada syok resisten katekolamin karena efek
sampingnya yang berupa perdarahan saluran cerna, penyembuhan luka yang
lambat, hiperglikemia, dan imunosupresi. Atkinson dkk. melaporkan bahwa input
kortikosteroid pada anak dengan syok sepsis refraktor tidak bermanfaat.
Di RSCM, penggunaan kortikosteroid untuk syok sepsis pada anak belum
dipelajari dengan baik. Dengan demikian, kami bertujuan untuk menilai terapi
kortikosteroid pada syok sepsis pediatri. Hal ini dilakukan untuk melihat
prognosis atau outcome sebagai pertimbangan tatalaksana pada syok sepsis
pediatri di masa yang akan datang.
Metode

Penelitian ini dilakukan dengan metode cross-sectional dengan data rekam


medis pasien di RSCM. Subjek adalah anak-anak usia 1 tahun hingga 18 tahun
yang di-diagnosis syok sepsis di UGD/PICU RSCM pada periode Januari 2014
hingga Juli 2018. Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah pasien dengan RM
yang tidak lengkap. Data yang diambil dari RM adalah usia, jenis kelamin, statuis
imunologi, port d’entrée sepsis, penggunaan inotropik dan vasopressor, serta
ventilasi mekanis. Jenis, dosis, dan durasi dari terapi kortikosteroid dikumpulkan
dari semua subjek. Outcome data-nya adalah lama rawat inap (hospital LoS) dan
mortalitas.

Hasil

Dari Januari 2014 hingga Juli 2019, sebanyak 217 anak didiagnosis
dengan syok sepsis di RSCM, dengan 132 anak adalah pasien laki-laki (60,8%).
12 pasien diterapi dengan kortikosteroid untuk syok sepsisnya, 8 diantaranya
adalah laki-laki (67%). Median usia subjek adalah 165 bulan (range 11 – 553
bulan). 6 pasien termasuk kategori imunokompromis, dengan masing-masing 2
pasien SLE (systemic lupus erythematosus), 2 pasien gizi buruk, 1 pasien dengan
diagnosis limfoma dan gizi buruk, dan 1 pasien lagi sedang mengkonsumsi obat
imunosupresan post-transplantasi liver. Sumber sepsis pada subjek adalah dari
saluran pernapasan (6/12), organ abdominal (5/12), dan saluran urogenital (1/12).
Karakteristik pasien dituliskan dalam Tabel 1.
Tabel 1.
Karakteristik pasien anak dengan syok sepsis yang diterapi dengan kortikosteroid
Variabel (N=12)
Median usia (range), bulan 165 (11-533)
Jenis kelamin, n
Laki-laki 8
Perempuan 4
Status imunitas, n
Imunokompromis 6
Non-imunokompromis 6
Port d’entrée sepsis, n
Saluran pernapasan 6
Organ abdominal 5
Saluran urogenital 1
Jenis kortikosteroid yang paling sering diberikan adalah hidrokortison
(83%). Satu pasien diberikan dexametason sebagai pengganti hidrokortison. Satu
pasien lagi diberikan hidrokortison, kemudian dilanjutkan dengan
metilprednisolon sebagai pengganti hidrokortison. Loading dose hidrokortison
sebanyak 2 mg/kg (setara dengan 50 mg/m2), dilanjutkan dengan dosis infusi
sebanyak 2-50 mg/kg/hari (setara dengan 50-1250 mg/m2/hari) secara kontinu.
Dalam penelitian ini, dosis maksimum hidrokortison yang tercatat sebanyak 48
mg/kg/hari (setara dengan 1125 mg/m2/hari). Dosis penggunaan dexametason
sebanyak 1,8 mg/m2/24 jam. Satu pasien diberikan hidrokortison dengan dosis 2
mg/kg/hari (setara dengan 50 mg/m2/hari) yang kemudian ditingkatkan secara
perlahan hingga 4 mg/kg/hari dalam satu hari, setelah itu diberikan
metilprednisolon dengan dosis 0,4 mg/kg/hari (setara dengan 10 mg/m2/24 jam)
yang kemudian ditingkatkan secara perlahan hingga 0,8 mg/kg/hari (setara dengan
20 mg/m2/hari).
Dosis kortikosteroid disesuaikan saat pemberian terapi dilakukan.
Kebanyakan pasien (58,3%) mengalami peningkatan dosis kortikosteroid secara
perlahan hingga mereka meninggal. Tetapi, satu pasien (8.3%) mengalami
penurunan dosis (tapering down/tapering off) hingga obat dihentikan pada terapi
hidrokortison selama 7 hari pemberian. Hampir seluruh pasien (92%) masih
menerima terapi kortikosteroid hingga pasien meninggal. Tabel 2 menunjukkan
median durasi penggunaan kortikosteroid adalah 2 hari (range 1-7). Median
jumlah inotropik dan vasopressor yang digunakan adalah 3 agen (range 2-4).
Median lama rawat inap pasien dengan syok sepsis yang diterapi dengan
kortikosteroid adalah 3 hari (range 1-9) dan tingkat mortalitasnya adalah 100%.

Tabel 2.
Outcome dari pasien anak dengan syok sepsis yang diterapi dengan kortikosteroid
Outcome (N=12)
Median durasi penggunaan kortikosteroid (range), hari 2 (1-7)
Median jumlah agen inotropic dan vasopressor yang 3 (2-4)
digunakan (range)
Median lama rawat inap/LoS (range), hari 3 (1-9)
Ventilator, n 12
Mortalitas, n 12
Diskusi

Jumlah pasien anak dengan syok sepsis yang diberikan kortikosteroid


hanya 12 pasien dari total 217 pasien (5,5%) dalam periode 4 tahun di RSCM.
Terapi kortikosteroid diberikan ketika syok tidak teratasi setelah pemberian
minimal 2 agen vasopressor dan inotropik. Sebaliknya, Chrysostomos dkk.
menuliskan banyak pasien dengan syok sepsis yang diterapi dengan kortikosteroid
karena pemberian kortikosteroid tidak bergantung pada jumlah inotropik dan
vasopressor yang diberikan, tetapi pada durasi pemberian inotropic dan
vasopressor. Mereka menemukan bahwa inisiasi awal pemberian kortikosteroid
setelah 9 jam pemberian vasopressor dan inotropik dapat menghasilkan prognosis
yang baik dibandingkan dengan inisiasi lambat pada pemberian kortikosteroid
untuk pasien dengan syok sepsis resisten katekolamin.
Kami menemukan penggunaan agen inotropik dan vasopresson yang
cukup tinggi sebelum pemberian kortikosteroid pada subjek penelitian, dengan
median sebanyak 3 obat (range 2-4). Meskipun terapi kortikosteroid biasanya
baru diberikan ke pasien yang syoknya belum teratasi setelah kombinasi ≥ 2 agen
inotropik dan vasopressor dengan dosis maksimum, sebenarnya tidak ada protokol
standar kapan dapat dimulainya terapi kortikosteroid pada kasus tersebut. Menon
dkk. melaporkan bahwa terapi kortikosteroid diberikan pada pasien yang telah
diberikan minimal 2 infusi vasoaktif dan 50 ml/kg cairan resusitasi. Nichols dkk.
melaporkan jumlah penggunaan vasopressor dan inotropik yang lebih sedikit,
[median 2 (range 1-2)]. Dalam penelitian mereka, kortikosteroid diberikan pada
pasien dengan kebutuhan infusi katekolamin secara kontinu selama ≥ 6 jam,
dilanjutkan dengan inisial resusitasi cairan kristaloid dan/atau koloid sebanyak ≥
60 ml/kg. Cut-off untuk memulai terapi kortikosteroid bukanlah berdasarkan
jumlah katekolamin yang diberikan, tetapi berdasarkan durasi infusi katekolamin.
Nichols dkk. juga melaporkan katekolamin yang digunakan tersebut adalah
dopamine > 5µg/kg/min, vasopressin, dan berapapun dosis dari dobutamin,
epinefrin, norepinefrin, phenylephrine, atau milrinone.
Kami menuliskan bahwa terapi kortikosteroid diberikan tanpa
pemeriksaan level kortisol pasien, sesuai dengan panduan Surviving Sepsis
Campaign yang menyatakan bahwa pada syok resisten katekolamin, pemberian
hidrokortison harus

diberikan segera tanpa pemeriksaan level kortisol pasien. Nichols dkk. juga
menyatakan hal yang sama. Sebaliknya, Casartelli dkk. menyimpulkan bahwa
pengujian kadar kortisol harus dilakukan untuk menentukan perlu atau tidaknya
pemerian kortikosteroid pada syok sepsis.
Jenis kortikosteroid yang paling sering digunakan pada penelitian ini
adalah hidrokortison (10/12). Hal ini serupa dengan penelitian sebelumnya yang
menuliskan bahwa 78% subjek penelitian mereka diberikan hidrokortison, 16%
metilprednisolon, dan 6% dexametason. Namun, pada penelitian lainnya juga
menyebutkan bahwa 53% subjeknya diberikan hidrokortison, 29% dexametason,
14% metilprednisolon, dan 4% prednisolon.
Penelitian Gibbison dkk. juga menuliskan bahwa hidrokortison merupakan
pilihan terapi kortikosteroid terbanyak untuk mengatasi syok sepsis resisten
katekolamin, karena manfaat dari hidrokortison adalah meningkatkan
permeabilitas kapiler dan aktivitas kardiovaskuler. Selain itu, hidrokortison
memiliki resiko efek samping yang paling rendah—seperti hiperglikemia, infeksi
berat, dan perdarahan saluran cerna—dibandingkan dengan kortikosteroid jenis
lain. Pemberian hidrokortison dapat mempengaruhi kadar kortisol pada syok
sepsis resisten katekolamin, sedangkan deksametason tidak.
Kami mencatatkan loading dose hidrokortison sebanyak 2 mg/kg,
dilanjutkan dengan 2-50 mg/kg/hari dosis infuse. Inisial loading dose tersebut
serupa dengan penelitian yang dilakukan Menon, dkk. yang memberikan dosis
hidrokortison sebanyak 2 mg/kg. Dosis infusi hidrokortison pada penelitian
mereka adalah sebanyak 1 mg/kg yang diberikan setiap 6 jam dan dihentikan
setiap 8 jam sampai infusi vasoaktif dihentikan selama 12 jam. Nichols dkk
melaporkan dosis inisial hirokortison sebanyak ≥ 50 mg/m2 (atau ≥ 1mg/kg)
dilanjutkan dengan dosis
≥ 50 mg/m2/hari (atau ≥ 1mg/kg/hari).

Median durasi pemberian kortikosteroid pada subjek penelitian ini adalah


2 hari (range 1-7 hari), dengan 11 dari 12 pasien masih diberikan kortikosteroid
hingga meninggal. Durasi maksimumnya serupa dengan penelitian Menon dkk.,
dimana dituliskan bahwa kortikosteroid diberikan maksimum dalam 7 hari untuk
menghindari supresi adrenal. Namun, Nichols dkk. melaporkan median
penggunaan kortikosteroid pada penelitian mereka adalah 4 hari (range 2-4) pada

kelompok random cortisol level (rSTC) < 18µg/dL dan 4 hari (range 2-5) pada
kelompok rSTC ≥ 18 µg/dL. Atkinson dkk. juga mencatatkan median durasi
penggunaan kortikosteroid yang lebih tinggi, yaitu 5 hari (range 3-7 hari).
Pada penelitian ini, tingkat mortalitas sangat tinggi (100%) dengan median
lama rawat inap selama 3 hari (range 1-9). Tingkat mortalitas yang tinggi
mungkin disebabkan karena derajat penyakit subjek yang sangat berat. Hal
tersebut diindikasikan dengan banyaknya penggunaan agen vasopressor dan
inotropik [median 3 (range 2-4)] dan tingginya penggunaan ventilator pada 100%
subjek penelitian. Menon dkk. menuliskan mortalitas sebanyak 2% pada pasien
yang diberi terapi kortikosteroid, dengan lama rawat di PICU selama 8,3 hari
(range 3,7-15). Median skor PELOD (Pediatric Logistic Organ Dysfunction) pada
penelitian mereka adalah 6 pada kelompok yang diberikan kortikosteroid, dengan
65,2% penggunaan ventilator. Menurut Dewi Metta dkk., skor PELOD yang
mencapai angka 20 dapat meningkatkan mortalitas hingga 50%. Nichols dkk.
menunjukkan tingkat mortalitas sebanyak 24% pada pasien syok sepsis dengan
stress dose terapi hidrokortison, dengan median lama rawat inap selama 10 hari
(range 5-20). Median skor PRISM III (Pediatric Risk of Mortality) dalam 12 jam
adalah 16 (range 10-12) dan 88% subjek mendapatkan ventilator. Vineet Popli
dkk. menunjukkan PRISM III memiliki efek bifasik dengan durasi rawat inap.
Penelitian mereka menujukkan lama rawat inap meningkat seiring dengan
peningkatan skor PRISM III sampai skor mencapai 14; sedangkan pada skor 19,
lama rawat inap menurun secara perlahan karena adanya peningkatan derajat
penyakit menjadi lebih berat sehingga tingkat mortalitas hampir mencapai 100%.
Beberapa panduan merekomendasikan penggunaan kortikosteroid pada
syok resisten katekolamin, tetapi, kami menuliskan bahwa terapi tersebut tidaklah
bermanfaat, karena 100% pasien yang mendapatkan terapi kortikosteroid
meninggal. Menon dkk. menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan
secara statistik pada outcomes-nya, ataupun efek yang merugikan antara
kelompok yang diberi hidrokortison dengan kelompok yang diberi placebo.
Selanjutnya, Nichols dkk. menyatakan bahwa terapi hidrokortison dengan stress
dose pada anak dengan syok sepsis resisten katekolamin berkaitang dengan
outcome yang buruk. Sebagai tambahan, 2 penelitian sebelumnya melaporkan
bahwa terapi kortikosteroid adjuvan pada kasus sepsis anak berat tidak
menunjukkan adanya perbaikan. Menurut penelitian pediatri meta-analisis yang
dilakukan Menon dkk. juga menuliskan bahwa tidak ada manfaat terapi
kortikosteroid untuk mengataasi syok.
Disamping kurangnya bukti yang mendukung, sebuah penelitian yang
dilakukan di Kanada mengungkapkan bahwa hampir seluruh pediatric intensivist
(91,4%) akan memberikan kortikosteroid pada pasien dengan syok persisten yang
telah diberikan cairan sebanyak 60 ml/kg dan diberikan ≥ 2 pengobatan vasoaktif.
Kemungkinan alasan untuk penggunaan kortikosteroid dalam sepsis adalah efek
farmakologisnya yang dinilai bermanfaat pada sistem kardiovaskular dan sebagai
anti-inflamasi. Namun, pemberian kortikosteroid dengan dosisi tinggi pada syok
sepsis berkaitan dengan tingkat infeksi yang tinggi pula, seperti infeksi candida
yang meluas dan hospital-acquired pneumonia. Efek samping lain yang mungkin
terjadi adalah hiperglikemia, perdarahan, penyakit kritis neuropati/myopati, dan
hipernatremia. Penggunaan kortikosteroid juga dikaitkan dengan supresi gen yang
berperan mengatur imunitas adaptif (immunosupresan).
Kesimpulan
Pada penelitian ini sedikit pasien anak dengan syok sepsis yang diberikan
terapi kortikosteroid, mayoritas hidrokortison. Tingkat mortalitas pasien yang
diberikan terapi kortikosteroid adalah 100% dan lama rawat inapnya singkat.
Kortikosteroid tidak terlalu bermanfaat untuk populasi pasien sepsis pada
penelitian ini.

P (patient/clinical problem) Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang


mengancam nyawa yang disebabkan oleh
disregulasi respon host terhadap infeksi. Sepsis
masih menjadi salah satu penyebab utama
kematian dan penyebab utama anak dirawat di
PICU (pediatric intensive care unit).
I (intervention) Penggunaan kortikosteroid pada pasien anak
dengan syok sepsis di RS Cipto Mangunkusumo.
C (Comparison) Tidak ada perbandingan atau kontrol yang
digunakan sebagai pembanding dari intervensi
yang dilakukan.
O (Outcome) Tingkat mortalitas pasien yang diberikan terapi
kortikosteroid adalah 100% dan lama rawat
inapnya singkat. Kortikosteroid tidak terlalu
bermanfaat untuk populasi pasien sepsis pada
penelitian ini.
Validity Analysis

1. Apakah awal penelitian didefinisikan dengan jelas dan penelitian berjalan sesuai aturan
penelitian?
Ya, awal penelitian didefinisikan dengan jelas dan berjalan sesuai aturan penelitian.
2. Apakah outcome dinilai secara objektif?

Ya, hasil yang didapat pada jurnal ini didapatkan dari penilaian yang objektif dan sesuai
dengan kriteria penelitian yang ditentukan.
3. Apakah semua pasien yang masuk dalam penelitian diperhitungkan dalam kesimpulan
akhir dan semua dianalisis sesuai dengan alokasi awalnya?
Ya, semua pasien diperhitungkan dalam kesimpulan akhir—yaitu sedikitnya jumlah
pasien anak syok sepsis yang diberi kortikosteroid, dari variabel jenis kortikosteroid,
tingkat mortalitas, lama rawat inap, hingga manfaat terapi kortikosteroid itu sendiri—dan
semua dianalisis sesuai dengan alokasi awalnya.

Importance Analysis

1. Apakah penelitian ini penting dilakukan di tempat kita?

Ya, karena perlunya mengetahui efektivitas pengobatan syok sepsis refraktor katekolamin
pada anak dengan kortikosteroid, akibat kurangnya penelitian yang benar-benar jelas
mengenai manfaat kortikosteroid untuk mengatasi syok sepsis refraktor katekolamin.

Applicability Analysis

1. Apakah karakteristik pasien kita mirip dengan subjek yang ditelaah?

Ya, karena banyaknya kejadian syok sepsis pada pasien anak menyebabkan karakteristik
pasien pada penelitian juga serupa dengan pasien di Departemen Kesehatan Anak.
2. Apakah hasil penelitian ini dapat diterapkan di tempat kita?

Pada hasil penelitian ini dituliskan bahwa kortikosteroid tidak terlalu bermanfaat untuk
populasi pasien sepsis pada penelitian ini karena tingkat mortalitasnya mencapai 100%.
Tetapi hal ini juga tidak sesuai dengan penelitian lain yang menuliskan tingkat
mortalitasnya hanya 2%. Jadi untuk hasilnya masih belum jelas apakah bisa diterapkan
atau tidak, tetapi tatalaksana untuk syok sepsis refraktor katekolamin umumnya memang
menggunakan kortikosteroid.
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief A, Chairulfatah A, Alam A, Pudjiadi A, Malisie RF, Hadinegoro SR.


Pedoman nasional pelayanan kedokteran Ikatan Dokter Anak Indonesia: diagnosis
dan tatalaksana sepsis pada anak. Jakarta: Badan penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2016. p.1-47.
2. Jaramillo-Bustamante JC, Marín-Agudelo A, Fernández- Laverde M, Bareño-
Silva J. Epidemiology of sepsis in pediatric intensive care units: first Colombian
multicenter study. Pediatr Crit Care Med. 2012;13:501-8.
https://doi.org/10.1097/pcc.0b013e31823c980f
3. Bryce J, Boschi-Pinto C, Shibuya K, Black RE, WHO Child Health Epidemiology
Reference Group. WHO estimates of the cause of death in children. Lancet.
2005;365:1147-52. https://doi.org/10.1016/s0140- 6736(05)71877-8
4. Saraswati DD, Pudjiadi AH, Djer MM, Supriyatno B, Syarif DR, Kurniati N.
Faktor risiko yang berperan pada mortalitas sepsis. Sari Pediatri. 2014;15:281-8.
https://doi.org/10.14238/sp15.5.2014.281-8
5. Rusmawatiningtyas D, Nurnaningsih. Mortality rates in pediatric septic shock.
Paediatrica Indonesiana.2016;56:304-10. https://doi.org/10.14238/pi56.5.2016.304-10
6. de Oliveira CF. Early goal-directed therapy in treatment of pediatric septic shock
Shock. 2010;34:44-7. https://doi.org/10.1097/shk.0b013e3181e7e6d5
7. Pizarro CF, Troster EJ, Damiani D, Carcillo JA. Absoolute and relative adrenal
insufficiency in children with septic shock. Crit Care Med. 2005;33:855-9.
https://doi.org/10.1097/01.ccm.0000159854.23324.84
8. Wong HR, Cvijanovich NZ, Allen GL, Thomas NJ, Freishtat RJ, Anas N, et al.
Corticosteroids are associated with repression of adaptive immunity gene
programs in pediatric septic shock. Am J Respir Crit Care Med. 2014;189:940-6.
https://doi.org/10.1164/rccm.201401-0171oc

9. Atkinson SJ, Cvijanovich NZ, Thomas NJ, Allen GL, Anas N, Bigham MT, et al.
Corticosteroids and pediatric septic shock outcomes: a risk stratified analysis.
PLoS ONE. 2014;9:112702. https://doi.org/10.1371/journal. pone.0112702
10. Katsenos CS, Antonopoulou AN, Apostolidou EN, Ioakeimidou A, Kalpakou GT,
Papanikolaou MN, et al. Early administration of hydrocortisone replacement after
the advent of septic shock: impact on survival and immune response. Crit Care
Med. 2014;42:1651-7. https://doi.org/10.1097/ccm.0000000000000318.
11. Menon K, McNally DM, O’Hearn K, Acharya A, Wong HR, Lawson M, et al. A
randomized controlled trial of corticosteroids in pediatric septic shock: a pilot
feasibility study. Pediatr Cric Care Med. 2017;18:505-12.
https://doi.org/10.1097/pcc.0000000000001121
12. Nichols B, Kubis S, Hewlett J, Yehya N, Srinivisan V.

13. Hydrocortisone therapy in catecholamine-resistant pediatric septic shock: a


pragmatic analysis of clinician practice and association with outcomes. Pediatr
Crit Care Med.2017;18:406-14. https://doi.org/10.1097/pcc.0000000000001237
14. Dellinger PR, Carlet JM, Masur H, Gerlach H, Calandra T, Cohen J, et al.
Surviving Sepsis Campaign guidelines for management of severe sepsis and
septic shock. Crit Care Med. 2004;32:859-73.
https://doi.org/10.1097/01.ccm.0000117317.18092.e4
15. Casartelli CH, Garcia PC, Piva JP, Branco RG. Adrenal insufficiency in children
with septic shock. J Pediatr (Rio J). 2003;79:169-76.
https://doi.org/10.2223/jped.1093.
16. Zimmerman JJ, Williams MD. Adjunctive corticosteroid therapy in pediatric
severe sepsis: observations from the RESOLVE study. Pediatr Crit Care Med.
2011;12:2-8. https://doi.org/10.1097/pcc.0b013e3181d903f6
17. Gibbison B, Lopez-Lopez JA, Higgins JP, Miller T, Angelini GD, Lightman SL,
et al. Corticosteroids in septic shock: a systematic review and network meta-
analysis. Crit Care. 2017;21:78. https://doi.org/10.1186/s13054-017- 1659-4

18. Menon K, McNally D, Choong K, Sampson M. A systematic review and meta-


analysis on the effect of steroids in pediatric shock. Pediatr Crit Care Med.
2013;14:474-80. https://doi.org/10.1097/pcc.0b013e31828a8125
19. Menon K, McNally JD, Choong K, Ward RE, Lawson ML, Ramsay T, et al. A
survey of stated physician practices and beliefs on the use of steroids in pediatric
fluid and/or vasoactive infusion-dependent shock. Pediatr Crit Care Med.
2013;14:462-6. https://doi.org/10.1097/pcc.0b013e31828a7287
20. Davis AL, Carcillo JA, Aneja RK, Deymann AJ, Lin JC, Nguyen TC, et al.
American College of Critical Care Medicine clinical practice parameters for
hemodynamic support of pediatric and neonatal septic shock. Crit Care Med.
2017;45:1061-93. https://doi.org/10.1097/ccm.0000000000002573
21. Metta D, Soebardja D, Hudaya D. The Use of Pediatric Logistic Organ
Dysfunction (PELOD) scoring system to determine the prognosis of patients in
pediatric intensive care units. Peadiatrica Indonesiana. 2006; 46: 1-6.
https://doi.org/10.14238/pi46.1.2006.1-6
22. Popli V, Kumar A. Validation of PRISM III ( Pediatric Risk of Mortality) scoring
system in predicting risk of mortality in a pediatric intensive care unit. IOSR
Journal. 2018;17: 81-7.

Anda mungkin juga menyukai