Anda di halaman 1dari 26

Obat Kortikosteroid Dan Imunosupresan

dr. Raafika Studiviani, MMR

OBAT KORTIKOSTEROID
Kortikosteroid merupakan obat yang mempunyai khasiat dan indikasi klinis yang sangat
luas. Kortikosteroid sering disebut sebagai life saving drug. Manfaat dari preparat ini cukup
besar tetapi karena efek samping yang tidak diharapkan cukup banyak, maka dalam
penggunaannya dibatasi termasuk dalam bidang dermatologi kortikosteroid merupakan
pengobatan yang paling sering diberikan kepada pasien. Kortikosteroid adalah derivat dari
hormon kortikosteroid yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Hormon ini dapat mempengaruhi
volume dan tekanan darah, kadar gula darah, otot dan resistensi tubuh.
Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu
glukokortikoid dan mineralokortikoid. Berbagai jenis kortikosteroid sintetis telah dibuat dengan
tujuan utama untuk mengurangi aktivitas mineralokortikoidnya dan meningkatkan aktivitas
antiinflamasinya, misalnya deksametason yang mempunyai efek antiinflamasi 30 kali lebih kuat
dan efek retensi natrium lebih kecil dibandingkan dengan kortisol. Berdasarkan cara
penggunaannya kortikosteroid dapat dibagi dua yaitu kortikosteroid sistemik dan kortikosteroid
topikal. Kortikosteroid topikal adalah obat yang digunakan di kulit pada tempat tertentu dan
merupakan terapi topikal yang memberi pilihan untuk para ahli kulit dengan menyediakan
banyak pilihan efek pengobatan yang diinginkan, diantaranya termasuk melembabkan kulit,
melicinkan, atau mendinginkan area yang dirawat.
Sebagian besar khasiat yang diharapkan dari pemakaian kortikosteroid adalah sebagai
antiinflamasi, antialergi atau imunosupresif. Karena khasiat inilah kortikosteroid banyak
digunakan dalam bidang dermatologi. Dibidang dermatologi pada umumnya lebih ditekankan
sebagai obat antialergi. Terapi dengan obat ini bukan merupakan terapi kausal melainkan terapi
pengendalian atau paliatif saja, kecuali pada insufisiensi korteks adrenal. Sejak kortikosteroid
digunakan dalam bidang dermatologi, obat tersebut sangat menolong penderita. Berbagai
penyakit yang dahulu lama penyembuhannya dapat dipersingkat, misalnya dermatitis, penyakit
berat yang dahulu dapat menyebabkan kematian, misalnya pemfigus, angka kematiannya dapat

1
ditekan berkat pengobatan dengan kortikosteroid, demikian pula sindrom Stevens-Jhonson yang
berat dan nekrolisis epidermal toksik.
Pengobatan berbagai penyakit kulit dengan menggunakan kortikosteroid sudah menjadi
kegiatan sehari-hari di setiap poliklinik penyakit kulit. Sejak salap hidrokortison asetat pertama
kali dilaporkan penggunaannya oleh Sulzberger pada tahun 1952, perkembangan pengobatan
dengan kortikosteroid berjalan dengan pesat. Semakin maju ilmu pengetahuan semakin banyak
pula ditemukan berbagai jenis kortikosteroid yang dapat digunakan dengan berbagai keunggulan
dan efek samping yang semakin sedikit. Hal ini berkat kemajuan dalam pengetahuan mengenai
mekanisme kerja serta pemahaman patogenesis berbagai penyakit, khususnya mengenai
peradangan kulit. Dengan berbagai kemajuan ini, pemakaian kortikosteroid menjadi semakin
rasional dan efektif.
A. DEFINISI
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian korteks
kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang
dilepaskan oleh kelenjar hipofisis. Hormon ini berperan pada banyak sistem fisiologis pada
tubuh, misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan
inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah
laku.
Kelenjar adrenal terdiri dari 2 bagian yaitu bagian korteks dan medulla, sedangkan bagian
korteks terbagi lagi menjadi 2 zona yaitu fasikulata dan glomerulosa. Zona fasikulata
mempunyai peran yang lebih besar dibandingkan zona glomerulosa. Zona fasikulata
menghasilkan 2 jenis hormon yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Golongan
glukokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya terhadap penyimpanan glikogen
hepar dan khasiat anti-inflamasinya nyata, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air
dan elektrolit kecil atau tidak berarti. Prototip untuk golongan ini adalah kortisol dan
kortison, yang merupakan glukokortikoid alam. Terdapat juga glukokortikoid sintetik,
misalnya prednisolon, triamsinolon, dan betametason.
Golongan mineralokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya terhadap
keseimbangan air dan elektrolit menimbulkan efek retensi Na dan deplesi K, sedangkan
pengaruhnya terhadap penyimpanan glikogen hepar sangat kecil. Oleh karena
itu mineralokortikoid jarang digunakan dalam terapi. Prototip dari golongan ini

2
adalah desoksikortikosteron. Umumnya golongan ini tidak mempunyai khasiat anti-inflamasi
yang berarti, kecuali 9 α-fluorokortisol, meskipun demikian sediaan ini tidak pernah
digunakan sebagai obat anti-inflamasi karena efeknya pada keseimbangan air dan elektrolit
terlalu besar. Berdasarkan cara penggunaannya kortikosteroid dapat dibagi dua yaitu
kortikosteroid sistemik dan kortikosteroid topikal.
B. FARMAKOLOGI
Semua hormon steroid sama-sama mempunyai rumus
bangun siklopentanoperhidrofenantren 17-karbon dengan 4 buah cincin yang diberi label A–
D. Modifikasi dari struktur cincin dan struktur luar akan mengakibatkan perubahan pada
efektivitas dari steroid tersebut. Atom karbon tambahan dapat ditambahkan pada posisi 10
dan 13 atau sebagai rantai samping yang terikat pada C17. Semua steroid termasuk
glukokortikosteroid mempunyai struktur dasar 4 cincin kolestrol dengan 3 cincin heksana
dan 1 cincin pentana.
Hormon steroid adrenal disintesis dari kolestrol yang terutama berasal dari plasma.
Korteks adrenal mengubah asetat menjadi kolestrol, yang kemudian dengan bantuan enzim
diubah lebih lanjut menjadi kortikosteroid dengan 21 atom karbon dan androgen lemah
dengan 19 atom karbon. Sebagian besar kolesterol yang digunakan untuk steroidogenesis ini
berasal dari luar (eksogen), baik pada keadaan basal maupun setelah pemberian ACTH.
Dalam korteks adrenal kortikosteroid tidak disimpan sehingga harus disintesis terus
menerus. Bila biosintesis berhenti, meskipun hanya untuk beberapa menit saja, jumlah yang
tersedia dalam kelenjar adrenal tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan normal. Oleh
karenanya kecepatan biosintesisnya disesuaikan dengan kecepatan sekresinya. Berikut adalah
tabel yang menunjukkan kecepatan sekresi dan kadar plasma kortikosteroid terpenting pada
manusia.

Kecepatan sekresi Kadar plasma


dalam keadaaan (μg/100ml)
optimal (mg/hari) Jam 08.00 Jam 16.00
Kortisol 20 16 4
Aldosteron 0,125 0,01 -

3
Pada pemeriksaan sampel dengan tes saliva sebanyak 4 kali dalam satu hari yaitu
sebelum sarapan pagi hari, siang, sore hari dan pada malam hari sebelum tidur. Pada pagi
hari kadar kortisol yang paling tinggi dibandingkan waktu lainnya yang membuat orang
menjadi lebih semangat dalam menjalani aktivitasnya. Orang yang ssehat pengeluaran
kortisol mengikuti kurva dimana dapat dibuat grafik mulai menurunnya kadar kortisol hingga
kadar terendah yaitu pada pukul 11 malam dibuktikan dengan seseorang yang dapat
beristirahat dengan cukup.
C. MEKANISME KERJA
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul
hormon memasuki jaringan melalui membran plasma secara difusi pasif di jaringan target,
kemudian bereaksi dengan reseptor steroid. Kompleks ini mengalami perubahan bentuk, lalu
bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi
RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini merupakan perantara efek
fisiologis steroid. Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, hormon steroid merangsang
transkripsi dan sintesis protein spesifik; pada jaringan lain, misalnya sel limfoid dan fibroblas
hormon steroid merangsang sintesis protein yang sifatnya menghambat atau toksik terhadap
sel-sel limfoid, hal ini menimbulkan efek katabolik.
Metabolisme kortikosteroid sintetis sama dengan kortikosteroid alami. Kortisol (juga
disebut hydrocortison) memiliki berbagai efek fisiologis, termasuk regulasi metabolisme
perantara, fungsi kardiovaskuler, pertumbuhan dan imunitas. Sintesis dan sekresinya
diregulasi secara ketat oleh sistem saraf pusat yang sangat sensitif terhadap umpan balik
negatif yang ditimbulkan oleh kortisol dalam sirkulasi dan glukokortikoid eksogen (sintetis).
Pada orang dewasa normal, disekresi 10-20 mg kortisol setiap hari tanpa adanya stres. Pada
plasma, kortisol terikat pada protein dalam sirkulasi. Dalam kondisi normal sekitar 90%
berikatan dengan globulin-2 (CBG/ corticosteroid-binding globulin), sedangkan sisanya
sekitar 5-10% terikat lemah atau bebas dan tersedia untuk digunakan efeknya pada sel target.
Jika kadar plasma kortisol melebihi 20-30%, CBG menjadi jenuh dan konsentrasi kortisol
bebas bertambah dengan cepat. Kortikosteroid sintetis seperti dexametason terikat dengan
albumin dalam jumlah besar dibandingkan CBG.
Waktu paruh kortisol dalam sirkulasi, normalnya sekitar 60-90 menit, waktu paruh dapat
meningkat apabila hydrocortisone (prefarat farmasi kortisol) diberikan dalam jumlah besar,

4
atau pada saat terjadi stres, hipotiroidisme atau penyakit hati. Hanya 1% kortisol diekskresi
tanpa perubahan di urin sebagai kortisol bebas, sekitar 20% kortisol diubah menjadi kortison
di ginjal dan jaringan lain dengan reseptor mineralokortikoid sebelum mencapai
hati. Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula kerja dan
lama kerja juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan ikatan
protein. Prednison adalah prodrug yang dengan cepat diubah menjadi prednisolon bentuk
aktifnya dalam tubuh.
Kortisol dan analog sintetiknya dapat mencegah atau menekan timbulnya gejala inflamasi
akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik, atau alergen. Secara mikroskopik obat ini
menghambat fenomena inflamasi dini yaitu edema, deposit fibrin, dilatasi kapiler, migrasi
leukosit ke tempat radang dan aktivitas fagositosis.  Selain itu juga dapat menghambat
manifestasi inflamasi yang telah lanjut yaitu proliferasi kapiler dan fibroblast, pengumpulan
kolagen dan pembentukan sikatriks. Hal ini karena efeknya yang besar terhadap konsentrasi,
distribusi dan fungsi leukosit perifer dan juga disebabkan oleh efek supresinya
terhadap cytokyne dan chemokyne imflamasi serta mediator inflamasi lipid dan glukolipid
lainnya. Inflamasi, tanpa memperhatikan penyebabnya, ditandai dengan ekstravasasi dan
infiltrasi leukosit kedalam jaringan yang mengalami inflamasi. Peristiwa tersebut diperantarai
oleh serangkaian interaksi yang komplek dengan molekul adhesi sel, khususnya yang berada
pada sel endotel dan dihambat oleh glukokortikoid. Sesudah pemberian dosis tunggal
glukokortikoid dengan masa kerja pendek, konsentrasi neutrofil meningkat, sedangkan
limfosit, monosit dan eosinofil dan basofil dalam sirkulasi tersebut berkurang
jumlahnya. Perubahan tersebut menjadi maksimal dalam 6 jam dan menghilang setelah 24
jam. Peningkatan neutrofil tersebut disebabkan oleh peningkatan aliran masuk ke dalam
darah dari sum-sum tulang dan penurunan migrasi dari pembuluh darah, sehingga
menyebabkan penurunan jumlah sel pada tempat inflamasi.
Glukokortikoid juga menghambat fungsi makrofag jaringan dan sel penyebab antigen
lainnya. Kemampuan sel tersebut untuk bereaksi terhadap antigen dan mitogen diturunkan.
Efek terhadap makrofag tersebut terutama menandai dan membatasi kemampuannya untuk
memfagosit dan membunuh mikroorganisme serta menghasilkan tumor nekrosis factor-a,
interleukin-1, metalloproteinase dan activator plasminogen. Selain efeknya terhadap fungsi

5
leukosit, glukokortikoid mempengaruhi reaksi inflamasi dengan cara menurunkan sintesis
prostaglandin,leukotrien dan platelet-aktivating factor. 
Efek katabolik dari kortikosteroid bisa dilihat pada kulit sebagai gambaran dasar dan
sepanjang penyembuhan luka. Konsepnya berguna untuk memisahkan efek ke dalam sel atau
struktur-struktur yang bertanggungjawab pada gambaran klinis ; keratinosik (atropi
epidermal, re-epitalisasi lambat), produksi fibrolas mengurangi kolagen dan bahan dasar
(atropi dermal, striae), efek vaskuler kebanyakan berhubungan dengan jaringan konektif
vaskuler (telangiektasis, purpura), dan kerusakan angiogenesis (pembentukan jaringan
granulasi yang lambat). Khasiat glukokortikoid adalah sebagai anti radang setempat, anti-
proliferatif, dan imunosupresif. Melalui proses penetrasi, glukokortikoid masuk ke dalam inti
sel-sel lesi, berikatan dengan kromatin gen tertentu, sehingga aktivitas sel-sel tersebut
mengalami perubahan. Sel-sel ini dapat menghasilkan protein baru yang dapat membentuk
atau menggantikan sel-sel yang tidak berfungsi, menghambat mitosis (anti-proliferatif),
bergantung pada jenis dan stadium proses radang. Glukokotikoid juga dapat mengadakan
stabilisasi membran lisosom, sehingga enzim-enzim yang dapat merusak jaringan tidak
dikeluarkan.
Glukokortikoid topikal adalah obat yang paling banyak dan tersering dipakai. Efektifitas
kortikosteroid topikal bergantung pada jenis kortikosteroid dan penetrasi. Potensi
kortikosteroid ditentukan berdasarkan kemampuan menyebabkan vasokontriksi pada kulit
hewan percobaan dan pada manusia. Jelas ada hubungan dengan struktur kimiawi. Kortison,
misalnya, tidak berkhasiat secara topikal, karena kortison di dalam tubuh mengalami
transformasi menjadi dihidrokortison, sedangkan di kulit tidak menjadi proses itu.
Hidrokortison efektif secara topikal mulai konsentrasi 1%. Sejak tahun 1958, molekul
hidrokortison banyak mengalami perubahan. Pada umumnya molekul hidrokortison yang
mengandung fluor digolongkan kortikosteroid poten. Penetrasi perkutan lebih baik apabila
yang dipakai adalah vehikulum yang bersifat tertutup. Di antara jenis kemasan yang tersedia
yaitu krem, gel, lotion, salep, fatty ointment (paling baik penetrasinya). Kortikosteroid hanya
sedikit diabsorpsi setelah pemberian pada kulit normal, misalnya, kira-kira 1% dari dosis
larutan hidrokortison yang diberikan pada lengan bawah ventral diabsorpsi. Dibandingkan
absorpsi di daerah lengan bawah, hidrokortison diabsorpsi 0,14 kali yang melalui daerah
telapak kaki, 0,83 kali yang melalui daerah telapak tangan, 3,5 kali yang melalui tengkorak

6
kepala, 6 kali yang melalui dahi, 9 kali melalui vulva, dan 42 kali melalui kulit scrotum.
Penetrasi ditingkatkan beberapa kali pada daerah kulit yang terinfeksi dermatitis atopik ; dan
pada penyakit eksfoliatif berat, seperti psoriasis eritodermik, tampaknya sedikit sawar untuk
penetrasi.
Efektivitas kortisteroid bisa akibat dari sifat immunosupresifnya. Mekanisme yang
terlibat dalam efek ini kurang diketahui. Beberapa studi menunjukkan bahwa kortikosteroid
bisa menyebabkan pengurangan sel mast pada kulit. Hal ini bisa menjelaskan penggunaan
kortikosteroid topikal pada terapi urtikaria pigmentosa. Mekanisme sebenarnya dari efek
anti-inflamasi sangat kompleks dan kurang dimengerti. Dipercayai bahwa kortikosteroid
menggunakan efek anti-inflamasinya dengan menginhibisi pembentukan prostaglandin dan
derivat lain pada jalur asam arakidonik. Mekanisme lain yang turut memberikan efek anti-
inflamasi kortikosteroid adalah menghibisi proses fagositosis dan menstabilisasi membran
lisosom dari sel-sel fagosit.
D. KLASIFIKASI
Meskipun kortikosteroid mempunyai berbagai macam aktivitas biologik, umumnya
potensi sediaan alamiah maupun yang sintetik ditentukan oleh besarnya efek retensi natrium
dan penyimpanan glikogen di hepar atau besarnya khasiat anti-inflamasinya. Sediaan
kortikosteroid sistemik dapat dibedakan menjadi tiga golongan berdasarkan masa kerjanya,
potensi glukokortikoid, dosis ekuivalen dan potensi mineralokortikoid.
Tabel Perbandingan Potensi Relatif Dan Dosis Ekuivalen Beberapa Sediaan
Kortikosteroid
Potensi Dosis
Lama
Kortikosteroid Glukokortikoi ekuivalen
Mineralkortikoid kerja
d (mg)*
Glukokortikoid
Kortisol 1 1 S 20
(hidrokortison)
Kortison 0,8 0,8 S 25
6-α-metilprednisolon 0,5 5 I 4
Prednisone 0,8 4 I 5
Prednisolon 0,8 4 I 5
Triamsinolon 0 5 I 4
Parametason 0 10 L 2
Betametason 0 25 L 0,75
Deksametason 0 25 L 0,75

7
Mineralokortikoid
Aldosteron 300 0.3 S -
Fluorokortison 150 15.0 I 2.0
Desoksikortikosteron 20 0.0 - -
asetat 
Keterangan:
* hanya berlaku untuk pemberian oral atau IV.
S = kerja singkat (t1/2 biologik 8-12 jam)
I  = intermediate, kerja sedang (t1/2 biologik 12-36 jam)
L = kerja lama (t1/2 biologik 36-72 jam)
Pada tabel diatas terlihat bahwa triamsinolon, parametason, betametason, dan
deksametason tidak mempunyai efek mineralokortikoid. Hampir semua golongan kortikosteroid
mempunyai efek glukokortikoid. Pada tabel ini obat disusun menurut kekuatan (potensi) dari
yang paling lemah sampai yang paling kuat. Parametason, betametason, dan deksametason
mempunyai potensi paling kuat dengan waktu paruh 36-72 jam. Sedangkan kortison dan
hidrokortison mempunyai waktu paruh paling singkat yaitu kurang dari 12 jam. Harus diingat
semakin kuat potensinya semakin besar efek samping yang terjadi.
Efektifitas kortiksteroid berhubungan dengan 4 hal yaitu vasokonstriksi, antiproliferatif,
immunosupresif dan antiinflamasi. Steroid topikal menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah
di bagian superfisial dermis, yang akan mengurangi eritema. Kemampuan untuk menyebabkan
vasokontriksi ini biasanya berhubungan dengan potensi anti-inflamasi, dan biasanya
vasokontriksi ini digunakan sebagai suatu tanda untuk mengetahui aktivitas klinik dari suatu
agen. Kombinasi ini digunakan untuk membagi kortikosteroid topikal mejadi 7 golongan besar,
diantaranya Golongan I yang paling kuat daya anti-inflamasi dan antimitotiknya (super poten).
Sebaliknya golongan VII yang terlemah (potensi lemah).
Berikut Tabel Penggolongan Kortikosteroid Topikal Berdasarkan Potensi Klinis
Klasifikasi Nama Dagang Nama Generik
Golongan 1: (super poten) Diprolene ointment 0,05% betamethason dipropionate
Diprolene AF cream
Psorcon ointment 0,05% diflorasone diacetate
Temovate ointment 0,05% clobetasol propionate
Temovate cream
Olux foam
Ultravate ointment 0,05% halobetasol propionate
Ultravate cream

8
Golongan II: (potensi Cyclocort ointment 0,1% amcinonide
tinggi) Diprosone ointment 0,05% betamethasone dipropionate
Elocon ointment 0,01% mometasone fuorate
Florone ointment 0,05% diflorasone diacetate
Halog ointment 0,01% halcinonide
Halog cream
Halog solution
Lidex ointment 0,05% fluocinonide
Lidex cream
Lidex gel
Lidex solution
Maxiflor ointment 0,05% diflorasone diacetate
Maxivate ointment 0,05% betamethasone dipropionate
Maxivate cream
Topicort ointment 0,25% desoximetasone
Topicort cream
Topicort gel 0,05% desoximetasone

Golongan III: (potensi Aristocort A ointment 0,1% triamcinolone acetonide


tinggi) Cultivate ointment 0,005% fluticasone propionate
Cyclocort cream 0,1 amcinonide
Cyclocort lotion
Diprosone cream 0,05% betamethasone dipropionate
Flurone cream 0,05% diflorosone diacetate
Lidex E cream 0,05% fluocinonide
Maxiflor cream 0,05% diflorosone diacetate
Maxivate lotion 0,05% betamethasone dipropionate
Topicort LP cream 0,05% desoximetasone
Valisone ointment 0,01% betamethasone valerate

Golongan IV: (potensi Aristocort ointment 0,1% triamcinolone acetonide


medium) Cordran ointment 0,05% flurandrenolide
Elocon cream 0,1% mometasone furoate
Elocon lotion
Kenalog ointment 0,1% triamcinolone acetonide
Kenalog cream
Synalar ointment 0,025% fluocinolone acetonide
Westcort ointment 0,2% hydrocortisone valerate

Golongan V: (potensi Cordran cream 0,05% flurandrenolide


medium) Cutivate cream 0,05% fluticasone propionate
Dermatop cream 0,1% prednicarbate
Diprosone lotion 0,05% betamethasone dipropionate
Kenalog lotion 0,1% triamcinolone acetonide
Locoid ointment 0,1% hydrocortisone butyrate

9
Locoid cream
Synalar cream 0,025% fluocinolone acetonide
Tridesilon ointment 0,05% desonide
Valisone cream 0,1% betamethasone valerate
Westcort cream 0,2% hydrocortisone valerate

Golongan VI: (potensi Aclovate ointment 0,05% aclometasone


medium) Aclovate cream
Aristocort cream 0,1% triamcinolone acetonide
Desowen cream 0,05% desonide
Kenalog cream 0,025% triamcinolone acetonide
Kenalog lotion
Locoid solution 0,1% hydrocortisone butyrate
Synalar cream 0,01% fluocinolone acetonide
Synalar solution
Tridesilon cream 0,05% desonide
Valisone lotion 0,1% betamethasone valerate

Golongan VII: (potensi Obat topical dengan


lemah) hidrokortison, 
dekametason,
glumetalone,
prednisolone, dan
metilprednisolone

E. PENGGUNAAN KLINIK
Kortikosteroid topikal dengan potensi kuat belum tentu merupakan obat pilihan untuk
suatu penyakit kulit. Perlu diperhatikan bahwa kortikosteroid topikal
bersifat paliatif dan supresif terhadap penyakit kulit dan bukan merupakan pengobatan
kausal. Biasanya pada kelainan akut dipakai kortikosteroid dengan potensi lemah contohnya
pada anak-anak dan usia lanjut, sedangkan pada kelainan subakut digunakan kortikosteroid
sedang contonya pada dermatitis kontak alergik, dermatitis seboroik dan dermatitis
intertriginosa. Jika kelainan kronis dan tebal dipakai kortikosteroid potensi kuat contohnya
pada psoriasis, dermatitis atopik, dermatitis dishidrotik, dan dermatitis numular.
Pada dermatitis atopik yang penyebabnya belum diketahui, kortikosteroid dipakai dengan
harapan agar remisi lebih cepat terjadi. Yang harus diperhatikan adalah kadar kandungan
steroidnya. Dermatosis yang kurang responsif terhadap kortikosteroid ialah lupus
eritematousus diskoid, psoriasis di telapak tangan dan kaki, nekrobiosis lipiodika
diabetikorum, vitiligo, granuloma anulare, sarkoidosis, liken planus, pemfigoid, eksantema

10
fikstum. Erupsi eksematosa biasanya diatasi dengan salep hidrokortison 1%. Pada penyakit
kulit akut dan berat serta pada eksaserbasi penyakit kulit kronik, kortikosteroid diberikan
secara sistemik.
Pada pemberian kortikosteroid sistemik yang paling banyak digunakan adalah prednison
karena telah lama digunakan dan harganya murah. Bila ada gangguan hepar digunakan
prednisolon karena prednison dimetabolisme di hepar menjadi prednisolon. Kortikosteroid
yang memberi banyak efek mineralkortikoid jangan dipakai pada pemberian long term (lebih
daripada sebulan). Pada penyakit berat dan sukar menelan, misalnya toksik epidermal
nekrolisis dan sindrom Stevens-Jhonson harus diberikan kortikosteroid dengan dosis tinggi
biasa secara intravena. Jika masa kritis telah diatasi dan penderita telah dapat menelan diganti
dengan tablet prednisone.
Pengobatan kortikosteroid pada bayi dan anak harus dilakukan dengan lebih hati-hati.
Penggunaan pada anak-anak memiliki efektifitas yang tinggi dan sedikit efek samping
terhadap pemberian kortikosteroid topikal dengan potensi lemah dan dalam jangka waktu
yang singkat. Sedangkan pada bayi memiliki risiko efek samping yang tinggi karena kulit
bayi masih belum sempurna dan fungsinya belum berkembang seutuhnya. Secara umum,
kulit bayi lebih tipis, ikatan sel-sel epidermisnya masih longgar, lebih cepat menyerap obat
sehingga kemungkinan efek toksis lebih cepat terjadi serta sistem imun belum berfungsi
secara sempurna Pada bayi prematur lebih berisiko karena kulitnya lebih tipis dan angka
penetrasi obat topikal sangat tinggi. Pada geriatri memiliki kulit yang tipis sehingga
penetrasi steroid topikal meningkat. Selain itu, pada geriatric juga telah mengalami  kulit
yang atropi sekunder karena proses penuaan. Kortikosteroid topikal harus digunakan secara
tidak sering, waktu singkat dan dengan pengawasan yang ketat.
Kortikosteroid topikal tidak seharusnya dipakai sewaktu hamil kecuali dinyatakan perlu
atau sesuai oleh dokter untuk wanita yang hamil. Pada kasus kelahiran prematur, sering
digunakan steroid untuk mempercepat kematangan paru-paru janin (standar
pelayanan). Percobaan pada hewan menunjukkan penggunaan kortikosteroid pada kulit
hewan hamil akan menyebabkan abnormalitas pada pertumbuhan fetus. Percobaan pada
hewan tidak ada kaitan dengan efek pada manusia, tetapi mungkin ada sedikit resiko apabila
steroid yang mencukupi di absorbsi di kulit memasuki aliran darah wanita hamil terutama
pada penggunaan dalam jumlah yang besar, jangka waktu lama dan steroid potensi

11
tinggi. Analisis yang baru saja dilakukan memperlihatkan hubungan yang kecil tetapi penting
antara kehamilan terutama trisemester pertama dengan bimbing sumbing. Kemungkinannya 1
% dapat terjadi cleft lip atau cleft palate saat penggunaan steroid selama kehamilan.
Kortikosteroid sistemik yang biasa digunakan pada saat kehamilan adalah prednison dan
kortison. Sedangkan untuk topikal biasa digunakan hidrokortison dan betametason. Begitu
juga pada waktu menyusui, penggunaan kortikosteroid topikal harus dihindari dan
diperhatikan.Belum diketahui dengan pasti apakah steroid topikal diekskresi melalui ASI,
tetapi sebaiknya tidak digunakan pada wanita sedang menyusui.
Kortikosteroid dapat menyebabkan gangguan mental bagi penggunanya. Rata-rata dosis
yang dapat menyebabkan gangguan mental adalah 60 mg/hari, sedangkan dosis dibawah 30
mg/hari tidak bersifat buruk pada mental penggunanya. Bagi pengguna yang sebelumnya
memiliki gangguan jiwa dan sedang menggunakan pengobatan kortikosteroid sekitar 20%
dapat menginduksi timbulnya gangguan mental sedangkan 80% tidak.
F. DOSIS DAN MEKANISME PEMBERIAN
Pada saat memilih kortikosteroid topikal dipilih yang sesuai, aman, efek samping sedikit
dan harga murah, disamping itu ada beberapa faktor yang perlu di pertimbangkan yaitu jenis
penyakit kulit, jenis vehikulum, kondisi penyakit yaitu stadium penyakit, luas/tidaknya lesi,
dalam/dangkalnya lesi dan lokalisasi lesi. Perlu juga dipertimbangkan umur penderita.
Steroid topikal terdiri dari berbagai macam vehikulum dan bentuk dosis. Salep
(ointments) ialah bahan berlemak atau seperti lemak, yang pada suhu kamar berkonsistensi
seperti mentega. Bahan dasar biasanya vaselin, tetapi dapat pula lanolin atau minyak. Jenis
ini merupakan yang terbaik untuk pengobatan kulit yang kering karena banyak mengandung
pelembab. Selain itu juga baik untuk pengobatan pada kulit yang tebal contoh telapak tangan
dan kaki. Salep mampu melembabkan stratum korneum sehingga meningkatkan penyerapan
dan potensi obat. Krim adalah suspensi minyak dalam air. Krim memiliki komposisi yang
bervariasi dan biasanya lebih berminyak dibandingkan ointments  tetapi berbeda pada daya
hidrasi terhadap kulit. Banyak pasien lebih mudah menemukan krim untuk kulit dan secara
kosmetik lebih baik dibandingkan ointments. Meskipun itu, krim terdiri dari emulsi dan
bahan pengawet yang mempermudah terjadi reaksi alergi pada beberapa pasien. Lotion
(bedak kocok) tediri atas campuran air dan bedak, yang biasanya ditambah dengan gliserin
sebagai bahan perekat, lotion mirip dengan krim. Lotion  terdiri dari agents yang membantu

12
melarutkan kortikosteroid dan lebih mudah menyebar ke kulit. Solution tidak mengandung
minyak tetapi kandungannya terdiri dari air, alkohol dan propylene glycol. Gel komponen
solid pada suhu kamar tetapi mencair pada saat kontak dengan kulit. Lotion, solution, dan gel
memiliki daya penyerapan yang lebih rendah dibandingkan ointment tetapi berguna pada
pengobatan area rambut contoh pada daerah scalp dimana lebih berminyak dan secara
kosmerik lebih tidak nyaman pada pasien.
Pada umumnya dianjurkan pemakaian salep 2-3 x/hari sampai penyakit tersebut sembuh.
Perlu dipertimbangkan adanya gejala takifilaksis. Takifilaksis ialah menurunnya respons
kulit terhadap glukokortikoid karena pemberian obat yang berulang-ulang berupa toleransi
akut yang berarti efek vasokonstriksinya akan menghilang, setelah diistirahatkan beberapa
hari efek vasokonstriksi akan timbul kembali dan akan menghilang lagi bila pengolesan obat
tetap dilanjutkan. Lama pemakaian kortikosteroid topikal sebaiknya tidak lebih dari 4-6
minggu untuk steroid potensi lemah dan tidak lebih dari 2 minggu untuk potensi kuat.
Ada beberapa cara pemakaian dari kortikosteroid topikal, yakni :
1. Pemakaian kortikosteroid topikal poten tidak dibenarkan pada bayi dan anak.
2. Pemakaian kortikosteroid poten orang dewasa hanya 40 gram per minggu, sebaiknya
jangan lebih lama dari 2 minggu. Bila lesi sudah membaik, pilihlah salah satu dari
golongan sedang dan bila perlu diteruskan dengan hidrokortison asetat 1%.
3. Jangan menyangka bahwa kortikosteroid topikal adalah obat mujarab (panacea) untuk
semua dermatosis. Apabila diagnosis suatu dermatosis tidak jelas, jangan pakai
kortikosteroid poten karena hal ini dapat mengaburkan ruam khas suatu dermatosis.
Tinea dan scabies incognito adalah tinea dan scabies dengan gambaran klinik tidak
khas disebabkan pemakaian kortikosteroid.
Kortikosteroid secara sistemik dapat diberikan secara intralesi, oral, intramuskular,
intravena. Pemilihan preparat yang digunakan tergantung dengan keparahan penyakit. Pada
suatu penyakit dimana kortikosteroid digunakan karena efek samping seperti pada alopesia
areata, kortikosteroid yang diberikan adalah kortikosteroid dengan masa kerja yang panjang.
Kortikosteroid biasanya digunakan setiap hari atau selang sehari. Initial dose yang
dugunakan untu mengontrol penyakit rata-rata dari 2,5 mg hingga beberapa ratus mg setiap
hari. Jika digunakan kurang dari 3-4 minggu, kortikosteroid diberhentikan tanpa tapering off.
Dosis yang paling kecil dengan masa kerja yang pendek dapat diberikan setiap pagi untuk

13
meminimal efek samping karena kortisol mencapai puncaknya sekitar jam 08.00 pagi dan
terjadi umpan balik yang maksimal dari seekresi ACTH. Sedangkan pada malam hari
kortikosteroid  level yang rendah dan dengan sekresi ACTH yang normal sehingga dosis
rendah dari prednison (2,5 sampai 5mg) pada malam hari sebelum tidur dapat digunakan
untuk memaksimalkan supresi adrenal pada kasus akne maupun hirsustisme.
Pada pengobatan berbagai dermatosis dengan kortikosteroid, bila telah mengalami
perbaikan dosisnya diturunkan berangsur-angsur agar penyakitnya tidak mengalami
eksaaserbasi, tidak terjadi supresi korteks kelenjar adrenal dan sindrom putus obat. Jika
terjadi supresi korteks kelenjar adrenal, penderita tidak dapat melawan stress. Supresi terjadi
kalau dosis prednison melebihi 5 mg per hari dan kalau lebih dari sebulan. Pada sindrom
putus obat terdapat keluhan lemah, lelah, anoreksia dan demam ringan yang jarang melebihi
39ºC.
Penggunaan glukokortikoid jangka panjang yaitu lebih dari 3 sampai 4 minggu perlu
dilakukan penurunan dosis secara perlahan-lahan untuk mencari dosis pemeliharaan dan
menghindari terjadi supresi adrenal. Cara penurunan yang baik dengan menukar dari dosis
tunggal menjadi dosis selang sehari diikuti dengan penurunan jumlah dosis obat. Untuk
mencegah terjadinya supresi korteks kelenjar adrenal kortikosteroid dapat diberikan selang
sehari sebagai dosis tunggal pada pagi hari (jam8), karena kadar kortisol tertinggi dalam
darah pada pagi hari. Keburukan pemberian dosis selang sehari ialah pada hari bebas obat
penyakit dapat kambuh. Untuk mencegahnya, pada hari yang seharusnya bebas obat masih
diberikan kortikosteroid dengan dosis yang lebih rendah daripada dosis pada hari pemberian
obat. Kemudian perlahan-lahan dosisnya diturunkan. Bila dosis telah mencapi 7,5 mg
prednison, selanjutnya pada hari yang seharusnya bebas obat tidak diberikan kortikosteroid
lagi. Alasannya ialah bila diturunkan berarti hanya 5 mg dan dosis ini merupakan dosis
fisiologik. Seterusnya dapat diberikan selang sehari.
Berikut Berbagai Penyakit Yang Dapat Diobati Dengan Kortikosteroid Beserta Dosisnya
Nama penyakit Macam kortikosteroid dan dosisnya sehari
Dermatitis Prednison 4x5 mg atau 3x10mg
Erupsi alergi obat ringan Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg
SJS berat dan NET Deksametason 6x5 mg
Eritrodermia Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg

14
Reaksi lepra Prednison 3x10 mg
DLE Prednison 3x10 mg
Pemfigoid bulosa Prednison 40-80 mg
Pemfigus vulgaris Prednison 60-150 mg
Pemfigus foliaseus Prednison 3x20 mg
Pemfigus eritematosa Prednison 3x20 mg
Psoriasis pustulosa Prednison 4x10 mg
Reaksi Jarish-Herxheimer Prednison 20-40 mg

Dosis yang tertulis ialah dosis patokan untuk orang dewasa menurut pengalaman, tidak
bersifat mutlak karena bergantung pada respons penderita. Dosis untuk anak disesuaikan
dengan berat badan / umur. Jika setelah beberapa hari belum tampak perbaikan, dosis
ditingkatkan sampai ada perbaikan.
G. MONITOR
Dasar evaluasi yang digunakan sebelum dilakukan pengobatan kortikosteroid  untuk
mengurangi potensi terjadinya efek samping adalah riwayat personal dan keluarga dengan
perhatian khusus kepada penderita yang memiliki predisposisi diabetes, hipertensi,
hiperlipidemia, glaukoma dan penyakit yang terpengaruh dengan pengobatan steroid.
Tekanan darah dan berat badan harus tetap di ukur. Jika dilakukan pengobatan jangka lama
perlu dilakukan pemeriksaan mata, test PPD, pengukuran densitas tulang spinal dengan
menggunakan computed tomography (CT), dual-photon absorptiometry, atau dual-energy x
ray absorptiometry (DEXA).
Sedangkan selama penggunan kortikosteroid tetap perlu dilakukan evaluasi diantaranya
menanyakan kepada pasien terjadinya poliuri, polidipsi, nyeri abdomen, demam, gangguan
tidur dan efek psikologi. Penggunaan glukokortikoid dosis besar mempunyai kemungkinan
terjadinya efek yang serius terhadap afek bahkan psikosis. Berat badan dan tekanan darah
tetap selalu di monitor. Elektrolit serum, kadar gula darah puasa, kolesterol, dan trigliserida
tetap diukur dengan regular. Pemeriksaan tinja perlu dilakukan pada kasus darah yang
menggumpal. Selain itu, pemeriksaan lanjut pada mata karena ditakutkan terjadinya katarak
dan glaukoma.

15
Berikut Hal-Hal Yang Perlu Di Monitor Selama Penggunaan Glukokortikoid Jangka
Panjang
No Efek samping Monitor
.
1. Hipertensi Tekanan darah
2. Berat badan meningkat Berat badan
3. Reaktivasi infeksi PPD, (12 hari setelah pemakaian prednison)
4. Abnormalitas metabolik Elektrolit, lipid, glukosa (t.u penderita diabetes dan
hiperlipidemia) 
5. Osteoporosis Densitas tulang
6. Mata 
        Katarak Pemeriksaan slit lamp (setiap 6 sampai 12 bulan)
        Glaukoma Tekanan intraokular (saat bulan pertama dan ke
7. Ulkus peptik enam)
Pertimbangkan pengunaan antagonis H2 atau proton
8. Supresi kelenjar adrenal pump inhibitor
Dosis tunggal di pagi hari, periksa serum kortisol
pada jam 8 pagi sebelum tapering off.

H. EFEK SAMPING
Kortikosteroid merupakan obat yang mempunyai khasiat dan indikasi klinis yang sangat
luas. Manfaat dari preparat ini cukup besar tetapi karena efek samping yang tidak diharapkan
cukup banyak, maka dalam penggunaannya dibatasi.
Berikut Efek Samping Kortikosteroid Sistemik Secara Umum
Tempat Macam efek samping
1.      Saluran cerna Hipersekresi asam lambung, mengubah proteksi gaster, ulkus
peptikum/perforasi, pankreatitis, ileitis regional, kolitis ulseratif.
2.      Otot Hipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu.
3.      Susunan sarafpusat Perubahan kepribadian (euforia, insomnia, gelisah, mudah
tersinggung, psikosis, paranoid, hiperkinesis, kecendrungan bunuh
4.      Tulang diri), nafsu makan bertambah.
Osteoporosis,fraktur, kompresi vertebra, skoliosis, fraktur tulang
5.      Kulit panjang.
Hirsutisme, hipotropi, strie atrofise, dermatosis akneiformis, purpura,
6.      Mata telangiektasis.
7.      Darah Glaukoma dan katarak subkapsular posterior
8.      Pembuluh darah Kenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfosit
9.      Kelenjar adrenal Kenaikan tekanan darah
bagian kortek Atrofi, tidak bisa melawan stres
10.  Metabolisme
protein, KH dan Kehilangan protein (efek katabolik), hiperlipidemia,gula meninggi,
lemak obesitas, buffalo hump, perlemakan hati.

16
11.  Elektrolit
Retensi Na/air, kehilangan kalium (astenia, paralisis, tetani, aritmia
12.  Sistem immunitas kor)
Menurun, rentan  terhadap infeksi, reaktivasi Tb dan herpes simplek,
keganasan dapat timbul.

Efek samping pada tulang terjadi umumnya pada manula dan wanita saat menopause.
Efek samping lain adalah sindrom cushing yang terdiri atas muka bulan,buffalo
hump, penebalan lemak supraklavikula, obesitas sentral, striae atrofise, purpura, dermatosis
akneformis dan hirsustisme. Selain itu juga gangguan menstruasi, nyeri kepala,
psedudotumor serebri, impotensi, hiperhidrosis, flushing, vertigo, hepatomegali dan keadaan
aterosklerosis dipercepat. Pada anak memperlambat pertumbuhan.
1.  EFEK SAMPING DARI PENGGUNAAN SINGKAT STEROIDS SISTEMIK
Jika sistemik steroids telah ditetapkan untuk satu bulan atau kurang, efek samping yang
serius jarang. Namun masalah yang mungkin timbul berikut:
a. Gangguan tidur
b. Meningkatkan nafsu makan
c. Meningkatkan berat badan
d. Efek psikologis, termasuk peningkatan atau penurunan energi
Jarang tetapi lebih mencemaskan dari efek samping penggunaan singkat dari
kortikosteroids termasuk: mania, kejiwaan, jantung, ulkus peptik, diabetes dan nekrosis
aseptik yang pinggul.
2. EFEK SAMPING PENGGUNAAN STEROID DALAM JANGKA WAKTU YANG
LAMA
a. Pengurangan produksi cortisol sendiri. Selama dan setelah pengobatan steroid, maka
kelenjar adrenal memproduksi sendiri sedikit cortisol, yang dihasilkan dari kelenjar di
bawah otak-hypopituitary-adrenal (HPA) penindasan axis. Untuk sampai dua belas
bulan setelah steroids dihentikan, kurangnya respon terhadap steroid terhadap stres
seperti infeksi atau trauma dapat mengakibatkan sakit parah.
b. Osteoporosis terutama perokok, perempuan postmenopausal, orang tua, orang-orang
yang kurang berat atau yg tak bergerak, dan pasien dengan diabetes atau masalah paru-
paru. Osteoporosis dapat menyebabkan patah tulang belakang, ribs atau pinggul
bersama dengan sedikit trauma. Ini terjadi setelah tahun pertama dalam 10-20% dari

17
pasien dirawat dengan lebih dari 7.5mg Prednisone per hari. Hal ini diperkirakan
hingga 50% dari pasien dengan kortikosteroid oral akan mengalami patah tulang.
c. Penurunan pertumbuhan pada anak-anak, yang tidak dapat mengejar ketinggalan jika
steroids akan dihentikan (tetapi biasanya tidak)
d. Otot lemah, terutama di bahu dan otot paha
e. Jarang, nekrosis avascular pada caput tulang paha (pemusnahan sendi pinggul)
f. Meningkatkan diabetes mellitus (gula darah tinggi)
g. Kenaikan lemak darah (trigliserida)
h. Redistribusi lemak tubuh: wajah bulan, punuk kerbau dan truncal obesity
i. Retensi garam: kaki bengkak, menaikkan tekanan darah, meningkatkan berat badan 
dan gagal jantung
j. Kegoyahan dan tremor
k. Penyakit mata, khususnya glaukoma (peningkatan tekanan intraocular) dan katarak
subcapsular posterior
l. Sakit kepala dan menaikkan tekanan intracranial
m. Peningkatan resiko infeksi internal, terutama ketika dosis tinggi diresepkan (misalnya
tuberkulosis)
n. Ulkus peptikum, terutama pada pengobatan yang menggunakan anti-inflamasi
o. Ada juga efek samping dari mengurangi dosis; termasuk kelelahan, sakit kepala, nyeri
otot dan sendi dan depresi
Pada pengobatan jangka panjang harus waspada terhdap efek samping, hendaknya
diperiksa tekanan darah dan berat badan (seminggu sekali) terutama pada usia diatas 40
tahun dan pemeriksaan laboratorium Hb, jumlah leukosit, hitung jenis, L.E.D, urin
lengkap kadar Na dan K dalam darah, gula darah (seminggu sekali), foto toraks, apakah
ada tuberkulosis paru (3bulan sekali).
Pada penggunan kortikosteroid topikal efek samping dapat terjadi apabila :
a. Penggunaan kortikosteroid topikal yang lama dan berlebihan
b. Penggunaan kortikosteroid topikal dengan potensi kuat atau sangat kuat atau
penggunaan sangat oklusif
Efek samping yang tidak diinginkan adalah berhubungan dengan sifat potensiasinya, tetapi
belum dibuktikan kemungkinan efek samping yang terpisah dari potensi, kecuali mungkin

18
merujuk kepada supresi dari adrenokortikal sistemik. Dengan ini efek samping hanya bisa
dielakkan sama ada dengan bergantung pada steroid yang lebih lemah atau mengetahui
dengan pasti tentang cara penggunaan, kapan, dan dimana harus digunakan jika
menggunakan yang lebih paten. Secara umum efek samping dari kortikosteroid topikal
termasuk atrofi, striae atrofise, telangiektasis, purpura, dermatosis akneformis,
hipertrikosis setempat, hipopigmentasi, dermatitis peroral.
Beberapa penulis membagi efek samping kortikosteroid kepada beberapa tingkat yaitu :
a. EFEK EPIDERMAL
 Penipisan epidermal yang disertai dengan peningkatan aktivitas kinetik dermal,
suatu penurunan ketebalan rata-rata lapisan keratosit, dengan pendataran dari
konvulsi dermo-epidermal. Efek ini bisa dicegah dengan penggunaan tretinoin
topikal secara konkomitan
 Inhibisi dari melanosit, suatu keadaan seperti vitiligo, telah ditemukan. Komplikasi
ini muncul pada keadaan oklusi steroid atau injeksi steroid intrakutan
b. EFEK DERMAL
 Terjadi penurunan sintesis kolagen dan pengurangan pada substansi dasar. Ini
menyebabkan terbentuknya striae dan keadaan vaskulator dermal yang lemah akan
menyebabkan mudah ruptur jika terjadi trauma atau terpotong. Pendarahan
intradermal yang terjadi akan menyebar dengan cepat untuk menghasilkan suatu
blot hemorrhage. Ini nantinya akan terserap dan membentuk jaringan parut stelata,
yang terlihat seperti usia kulit prematur. Terjadi penurunan sintesis kolagen dan
pengurangan pada substansi dasar. Ini menyebabkan terbentuknya striae dan
keadaan vaskulator dermal yang lemah akan menyebabkan mudah ruptur jika
terjadi trauma atau terpotong. Pendarahan intradermal yang terjadi akan menyebar
dengan cepat untuk menghasilkan suatu blot hemorrhage. Ini nantinya akan
terserap dan membentuk jaringan parut stelata, yang terlihat seperti usia kulit
prematur. Terjadi penurunan sintesis kolagen dan pengurangan pada substansi
dasar. Ini menyebabkan terbentuknya striae dan keadaan vaskulator dermal yang
lemah akan menyebabkan mudah ruptur jika terjadi trauma atau terpotong.
Pendarahan intradermal yang terjadi akan menyebar dengan cepat untuk

19
menghasilkan suatu blot hemorrhage. Ini nantinya akan terserap dan membentuk
jaringan parut stelata, yang terlihat seperti usia kulit prematur.
c. EFEK VASKULER
 Vasodilatasi yang terfiksasi. Kortikosteroid pada awalnya menyebabkan
vasokontriksi pada pembuluh darah yang kecil di superfisial.
 Fenomena rebound. Vasokontriksi yang lama akan menyebabkan pembuluh darah
yang kecil mengalami dilatasi berlebihan, yang bisa mengakibatkan edema,
inflamasi lanjut, dan kadang-kadang pustulasi.
Terjadi efek samping bergantung pada dosis, lama pengobatan macam kortikosteroid.
Pada pendek (beberapa hari/minggu) umumnya tidak terjadi efek samping yang gawat.
Sebaliknya pada pengobatan jangka panjang (beberapa bulan/tahun) harus diadakan
tindakan untuk mencegah terjadi efek tersebut, yaitu :
 Diet tinggi protein dan rendah garam
 Pemberian KCl 3 x 500 mg sehari untuk orang dewasa, jika terjadi defisiensi K
 Obat anabolik
 ACTH diberikan 4 minggu sekali, yang biasanya kami berikan ialah ACTH
sintetik yaitu synacthen depot sebanyak 1 mg (qoo IU). Pada pemberian
kortikosteroid dosis tinggi dapat diberikan seminggu sekali
 Antibiotik perlu diberikan jika dosis prednison melebihi 40 mg sehari
 Antasida
Kontraindikasi pada kortikosteroid terdiri dari kontraindikasi mutlak dan relatif. Pada
kontraindikasi absolut, kortikosteroid tidak boleh diberikan pada keadaan infeksi
jamur yang sistemik, herpes simpleks keratitis, hipersensitivitas biasanya kortikotropin
dan preparat intravena. Sedangkan kontraindikasi relatif kortikosteroid dapat diberikan
dengan alasan sebagai life saving drugs.  Kortikosteroid diberikan disertai dengan
monitor yang ketat pada keadaan hipertensi, tuberculosis aktif, gagal jantung, riwayat
adanya gangguan jiwa, positive purified derivative, glaucoma, depresi berat, diabetes,
ulkus peptic, katarak, osteoporosis, kehamilan.

20
OBAT IMUNOSUPRESAN
A. PENGERTIAN
Imunosupresan adalah kelompok obat yang digunakan untuk menekan respon imun
seperti pencegah penolakan transpalansi, mengatasi penyakit autoimun dan mencegah
hemolisis rhesus dan neonatus. Sebagain dari kelompok ini bersifat sitotokis dan digunakan
sebagai antikanker. Immunosupresan merupakan zat-zat yang justru menekan aktivitas sistem
imun dengan jalan interaksi di berbagai titik dari sistem tersebut. Titik kerjanya dalam proses-
imun dapat berupa penghambatan transkripsi dari cytokin, sehingga mata rantai penting dalam
respon-imun diperlemah. Khususnya IL-2 adalah esensial bagi perbanyakan dan diferensial
limfosit, yang dapat dihambat pula oleh efek sitostatis langsung. Lagi pula T-cells bisa
diinaktifkan atau dimusnahkan dengan pembentukan antibodies terhadap limfosit.\
Imunosupresan digunakan untuk tiga indikasi utama yaitu, transplanatasi organ, penyakit
autoimun, dan pencegahan hemolisis Rhesus pada neonatus.
B. MEKANISME KERJA DAN PILAHAN OBAT IMUNOSUPRESAN
Mekanisme Kerja obat imunosupresan berdasarkan penghambatan/supresi reaksi umum secara
dini. Pada literatur, menunjukkan bahwa tempat kerja obat imunosupresan dalam mengatasi
Selain dengan obat, imunosupresi dapat juga diperoleh dengan memanipulasi jumlah Ag dan
Ab dalam tubuh. Penggunaan imunosupresan bertujuan untuk mendapatkan toleransi spesifik
(terarah), yaitu toleransi terhadap suatu antigen tertentu saja. Alasan dikehendakinya suatu
toleransi spesifik, dan bukan umum, ialah karena toleransi umum dapat membahayakan
individunya; khusunya memudahkan timbulnya penyakit infeksi berat. Tetapi sayangnya
toleransi spesifik seringkali sulit dicapai. Perlu dimengerti bahwa bila Ag masih terdapat
dalam tubuh, reaksi imunologik akan muncul kembali dengan penghentian pemberian
imunosupresan.
Efek imunosupresi dapat dicapai dengan salah satu cara berikut:
1. Menghambat proses fagositosis dan pengolahan Ag menjadi Ag imunogenik oleh
makrofag
2. Menghambat pengenalan Ag oleh sel limfoid imunokompeten
3. Merusak sel limfoid imunokompeten
4. Menekan diferensiasi dan proliferasi sel imunokompeten, sehingga tidak terbentuk sel
plasma penghasil Ab, atau sel T yang tersensitisasi untuk respons imun selular

21
5. Menghentikan produksi Ab oleh sel plasma, serta melenyapkan sel T yang tersensitisasi
yang telah terbentuk. Beberapa imunosupresan mempengaruhi berbagai reaksi respons
imun, umpamanya reaksi inflamasi
Secara praktis, di klinik penggunaan obat imunosupresan berdasarkan waktu pemberiannya.
Untuk itu respons imun dibagi dalam dua fase.
Fase pertama adalah fase induksi, yang meliputi :
1. Fase pengolahan Ag oleh makrofag, dan pengenalan Ag oleh limfosit imunokompeten
2. Fase proliferasi dan diferensiasi sel B dan sel T, masing-masing untuk respons imun
humoral dan selular..
Fase kedua adalah fase produksi, yaitu fase sintesis aktif Ab dan limfokin.
Berdasarkan fase-fase tersebut di atas, imunosupresan dibagi dalam tiga kelas :
1. Imunosupresan kelas I
Harus diberikan sebelum fase induksi, yaitu sebelum terjadi perangsangan oleh Ag. Jadi
kerjanya adalah merusak limfosit imunokompeten (limfolitik). Contohnya: alkilator
radiomimetic dan kortikosteroid (sinar X juga bekerja pada fase ini). Jika diberikan setelah
terjadi perangsangan oleh Ag, biasanya tidak diperoleh efek imunosupresif sehingga
respons imun dapat berlanjut terus.
2. Imunosupresan kelas II
Harus diberikan dalam fase induksi; biasanya satu atau dua hari setelah perangsangan oleh
Ag berlangsung. Obat golongan ini bekerja menghambat proses diferensiasi dan
proliferasi sel imunokompeten, misalnya antimetabolit. Jika diberikan sebelum adanya
perangsangan oleh Ag, umumnya tidak memperlihatkan efek imunosupresif; malahan
sebaliknya, beberapa obat tersebut justru dapat meningkatkan respons imun, umpamanya
azatioprin dan metotreksat. Bagaimana mekanisme terjadinya hal yang disebut
belakangan belum diketahui dengan pasti.
3. Imunosupresan kelas III
memiliki sifat imunosupresan kelas I maupun kelas II. Jadi golongan ini dapat
menghasilkan imunosupresi bila diberikan sebelum maupun sesudah adanya perangsangan
oleh Ag.

22
Pilahan Imunosupresan Dapat Dilihat Dalam Tabel Di Bawah Ini

Kelas I Kelas II Kelas III

Klorambusil
Busulfan
Metotreksat
L-Melfalan
Azatioprin
D-Melfalan
6-Merkaptopurin (6-MP)
Glukokortikoid:
Sitarabin (ARA-C)
  Prednison
5-Bromo-deoksiuridin (5- Siklofosfamid
  Prednisolon BUdR)
Prokarbazin
Glukokortikoid lainnya 5-Fluoro-deoksiuridin (5-
FUdR)
Mitomisin C
5-Fluorourasil (5-FU)
Kolkisin
Vinblastin (VBL)
Fitohemaglutinin
Vinkristin (VCR)
Sinar-X
Siklosporin*

*paling efektif bila diberikan bersamaan dengan antigen


Dari obat yang tertera dalam tabel tersebut hanya beberapa saja yang telah lazim digunakan
sebagai imunosupresan, yaitu:
1. Alkilator: siklofosfamid dan klorambusil;
2. Antimetabolit: aztioprin dan 6-merkaptopurin (analog purin), metotreksat (analog folat)
3. Kortikosteroid: prednisolon, prednison
4. Siklosporin
Obat yang digunakan sebagai imunosupresan sebagian besar termasuk dalam golongan obat
kelas II, contohnya azatioprin, 6-merkaptopurin, klorambusil dan metotreksat. Efek utama
obat kelompok ini ialah menghancurkan sel yang sedang berproliferasi, maka tahap proliferasi
dan diferensiasi umumnya merupakan fase yang lebih sensitif daripada tahap lainnya. Obat-
obat ini paling efektif diberikan beberapa hari setelah berlangsungnya stimulasi Ag yaitu pada
periode dengan sensitivitas maksimal.

23
Imunosupresan kelas III yang telah banyak digunakan sampai kini hanyalah sikolofosfamid.
Efek imunosupresif dapat diperoleh bila diberikan sebelum maupun sesudah berlangsungnya
stimulasi Ag, tetapi efek ini terkuat pada pemberian beberapa hari setelah stimulasi Ag
berlangsung.
Golongan imunosupresan kelas I yang telah digunakan sampai kini hanyalah glukokortikoid,
khususnya prednisolon dan prednison.
C. OBAT-OBATAN IMUNOSUPRESAN
1. AZATIOPRIN
Nama Generik : Imustrum
Nama Dagang : Erlimpeks
Golongan :B
Per 5 ml : prebiotik 500 mg, colostrum bovine 250 mg, curcuminoid 2 mg, bubuk
dha 32 mg, lysine hci 100 mg, vit b1 3 mg, vit b2 phosphate 2 mg, vit b6 5 mg, vit b12 5
mcg, panthenol 3 mg, nicotinamide 5 mg, vit a 2000 iu, vit d 200 iu, zn (sebagai zn sulfat
7h20) 5 mg.
Indikasi : Suplemen suplemen nutrisi dan multi vitamin untuk menjaga sistem
imun dan kesehatan fungsi pencernaan pada anak.
Dosis : Anak : 4-12 tahun 10 ml 1x /hari 1-4 Tahun 5 ml 1x/hari
2. KOLSISIN
Kolsisin 0,5 mg. In: lihat dosis. Ki: penyakit saluran kemih dan jantung parch,
hipersensitif, diskrasia dash, wanita hamil. Es: kemungkinan peningkatan toksisitasi
kolsisin pads kasus disfungsi hati hares dipertimbangkan, kelemahan otot, meal, muntah,
nyeri perut atau diare, urtikaria, anemia aplastik, agranulositosis, dermatitis, purpura,
alopesia, pada dosis toksik menyebabkan diare bent, kerusakan umum pembuluh, dan
kerusakan ginjal disertai hematoria dan oliguria. Ds: artritis gout, arthritis akut: dasis awal,
4,5-1,2 mg; diikute dengan 0,5 mg i setiap 2 jam sampai rasa sakit hilang. Serangan akut:
4 ; 8 mg. Propfilaksis gout: pencegahan, 0,5 mg diberikan' sekali seminggu sampai sekali
sehari.
3. METOTREKSAT
Metotreksat. In: koriokarsinoma gestasional, korioadenoma destruens, mola hidatiform.
Profilaksis leukemia meningeal pada leukemia limfositik akut & sebagai terapi

24
pemeliharaan dalam kombinasi dengan antikanker lain. Terapi leukemia meningeal.
Sebagai terapi tunggal atau kombinasi untuk kanker payudara, kanker epidermoid kepala
& leher, kanker paru stadium lanjut (terutama jenis sel kecil & sel skuamosa). Sebagai
terapi kombinasi untuk limfoma non hodgkin stadium lanjut. Terapi simtomatik psoriasis
berat. Ki: wanita hamil dan menyusui. Alkoholisme, penyakit hati alkoholik, atau
penyakit hati kronis lainnya. Pasien dg diskrasia darah. Hipersensitivitas terhadap
metotreksat. Perh: pantau toksisitas sumsum tulang, hati, paru, ginjal. Hati-hati pd pasien
dg kerusakan fungsi ginjal, ascites, atau efusi pleura. Hati-hati penggunaan bersama ains.
Io: preparat asam folat dapat menurunkan respon terapi. Pemberian bersama
trimetoprim/sulfametoksazol pernah dilaporkan terjadi peningkatan efek samping-supresi
sumsum tulang. Dosis:. Koriokarsinoma & penyakit trofoblastik sejenis: 15-30 mg/hari
i.m. Selama 5 had. Ulangi 3-5 kali dengan periode istirahat selama e" 1 minggu.
Karsinoma payudara: 40 mg/mz i.v. Pada had ke-1 & 8. Terapi induksi leukemia: 3,3
mg/mz dalam kombinasi dengan 60 mgjmz, diberikan tiap hari. Methotrexate
diberikan'bersama antineoplastik lain untuk terapi pemelihara6n, diberikan 2 kali/minggu
setiap 14 had. Leukemia meningeal: 200-500 mcg/kgbb intratekal, interval 2-5 had.
Psoriasis: 10-25 mg/minggu i.m/i.v. Dosis tunggal. Es,.supresi sumsum tulang &
toksisitas gastrointestinal. Dlare. Umfoma malignan. Stomatitis ulseratif, leukoperiamual,
ketidaknyaman abdominal. Malaise, fatigue, ,demam & menggigil, penurunan ketahanan
terhadap infeksi. Jangka panjang: hepatotoksisitas, fibrosis, sirosis.
4. CYCLOPHOSPHAMIDE
Cyclophosphamide.In: Karsinoma paru, karsinoma payudara, karsinoma ovarium.
Limfogranulomatosis maligna, limfosarkoma, sarcoma sel retikulum, leukemia serta
myeloma multiple. KI: Penyakit sumsum tulang, hipersensitivitas, sistitis hemoragik,
wanita hamil & menyusui. Perh: leukopenia, trombositopenia, infiltrasi sel tumor pada
sumsum tulang, pernah diterapi dengan agen sitotoksik lainnya atau radioterapi, kerusakan
fungsi hati/ginjal. Dapat memicu sterilitas permanen pada anak-anak. Hitung sel darah
harus dipantau selama terapi. ES: Mual, muntah. Depresi sumsum tulang (leucopenia,
trombositopenia). Amenorrhea, azospermia, sistitis haemorrhagik steril. Alopecia.
Fibrosis & karsinoma kandung kemih pernah dilaporkan pada penggunaan jangka
panjang. Disfungsi hati, hiperpigmentasi, ulkus oral. Ds: Regimen dosis individual.

25
Dosis rendah 80-240 mg/m2 permukaan tubuh (2-6 mg/kgBB) dosis tunggal per minggu
i.v. atau dosis terbagi secara oral. Dosis menengah: 400-600 mg/m 2 (10-15 mg/kgBB)
dosis tunggal per minggu i.v. Dosis tinggi: 800-1600 mg/m 2 20-40 mg/kgBB) dosis i.v,
interval 10-20 hari.
5. SIKLOSPORIN
Siklosporin 100 mg/ml larutan obat minum; 25 mg; 50 mg; 100 mg/kapsul; 50 mg/ml
konsentrat infuse intravena (mengandung polyoxyethylated castor oil). In: Transplantasi
organ (ginjal, hati dan jantung).
6. VINCRISTINE
Vinkristin sulfat. In: Sebagai komponen kemoterapi kombinasi leukemia akut.
Kombinasi dengan kemoterapi lain untuk limfoma Hodgkin, limfoma non-Hodgkin,
neuroblastoma, rhabdomyosarkoma, sarcoma osteogenik, sarkoma Ewing, mycosis
fungoides, tumor Wilm, karsinoma payudara, serviks paru. Terapi idiopathic
trombocytopenic purpura yang refrakter terhadap kortikosteroid dan spelenektomi. KI:
Sindrom Charcot Marie-Tooth. Pasien yang menerima terapi radiasi meliputi liver. Perh:
Tidak boleh diberikan secara i.m. atau s.c. Hati-hati terjadinya kompilkasi leucopenia.
Hati-hati pemberian pada wanita hamil dan menyusui. Disarankan tidak menyusui selama
menggunakan obat ini. Sesuaikan dosis pada penderita penyakit hati atau jaundice. ES:
Neurotoksisitas, umumnya berupa neuropati perifer. Penurunan reflex tendon dalam,
parestesia perifer. Toksisitas autonom: konstipasi, ileus paralitik, gangguan fungus
saluran kemih, gangguan berkeringat, hipotensi ortostatik, kontraksi mioklonik.
Toksisitas sistem syaraf pusat. Alopesia. Mielosupresi jarang terjadi pada dosis lazim.
Mual, muntah, diare, stomatitis. IO: Allopurinol. Obat-obat yang bekerja pada sistem
syaraf perifer. Metotreksat. Ds: Dosis lazim: Anak-anak: 1,5-2 mg/m2. Dewasa: 0,4-1,4
mg/m2. Dapat diberikan dengan infuse i.v. atau injeksi langsung selama 1 menit.

26

Anda mungkin juga menyukai