Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN INDIVIDU BBDM SKENARIO 2

BBDM KELOMPOK 12
MODUL 7.1
“ Ibu Kesakitan Saat Persalinan”

Disusun oleh :

Puspo Palupi Yekti Hangujiwat

NIM 2201018120004

Tutor :
dr. Lusiana Batubara, M.Si.,Med

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONERGORO
2021
BBDM MODUL 7.1
SKENARIO 2
IBU KESAKITAN SAAT PERSALINAN
Ny. Risti pasien baru datang ke IGD membawa rujukan bidan dengan diagnosa bidan
G1P0A0 19 th hamil 9 bulan Inpartu kala I. Pasien mengatakan sudah kencang – kenceng
sering dan gerak janin berkurang. Pasien terlihat kesakitan dan saat dilakukan pemasangan
kateter terlihat urin bercampur darah. Pada pemeriksaan didapatkan TB 145 cm BB 50 Kg,
tanda vital pasien TD 120/90 mmHg, Nadi 112x/menit, RR 22x/menit, T 37 C. Pada
pemeriksaan obstetri didapatkan TFU 34 cm ~ TBJ 3565 gr. Leopold I-IV : janin I
intrauterine preskep belum masuk PAP puki, His 4-5’(50”). DJJ 170x/menit reguler. Tampak
bandle ring. Osborn test (+). VT pembukaan 4 cm, KK (+) menonjol, bagian bawah kepala
masih tinggi, UUK sulit dinilai.

I. TERMINOLOGI

1. Bandle ring :
Hubungan abnormal antara dua segmen rahim atas-bawah, dua segmen uterus yang
berhubungan dengan partus macet, normalnya 2-3 jari diatas simpisis, akibat janin
yang tidak turun. Pada Impartu kala 1.
2. Osborn test :
Untuk mengethaui apakah Ibu mengalami CPD. Dimana CPD merupakan kepala bayi
tidak mampu melewati panggul ibu. Dinyatakan positif apabila dirasakan tonjolan
pada simpisis pubis lebih dari 2 jari. Pada 36 minggu. Dengan cara mendorong kepala
janin masuk ke dalam PAP dan menilai apakah terdapat halangan atau tidak.
3. KK :
Kulit ketuban. Mengetahui keadaan kulit ketuban masih intak atau tidak.
4. Kala 1 :
Pembukaan serviks. Dibagi dalam 2 fase. Yaitu fase laten pembukaan 0-3 cm
berlangsung sekitar 8 jam. Fase kedua fase aktif yaitu pembukaan 3-10 (lengkap)
berlangsung sekitar 6 jam. Pada tahap ini ibu akan merasakan kontraksi selama 10
menit selama 20-30 detik
5. Puki :
Singkatan dari punggung kiri. Dimaksud adalah presentasi dari bayi. Dapat kita
temukan saat pemeriksaan leopold 2.
6. His 4-5’(50”) :
Merupakan kontraksi otot rahim pada persalinan, yang artinya setiap 4-5 menit terjadi
kontraksi selama 50 detik dalam 10 menit.

II. RUMUSAN MASALAH

1. Mengapa pasien merasa kencang-kencang namun gerak janin menurun?


2. Mengapa pada saat pemasangan kateter ditemukan urin bercampur darah?
3. Apa hubungan antara urin berdarah dengan fetal distress yang terjadi?
4. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik dan pemeriksaan obstreti?
5. Apakah ada hubungan tinggi badan dengan berat badan pada kasus tersebut?
6. Apakah pada kasus ini termasuk kegawatdaruratan? Jika iya mengapa?

III. BRAINSTORMING

1. Mengapa pasien merasa kencang-kencang namun gerak janin menurun?


Pada kemunculan bundle ring terjadi peningkatan aktivitas uterus maka terjadi
kontraksi yang bertahan sehingga memengaruhi sirkulasi. Akibatnya kadar oksigen
berkurang dan berakibat pada penurunan gerak janin. Didapatkan osborn test (+) -
disporposi kepala panggul - partus macet - kontraksi uterus terjadi terus menerus -
pasokan oksigen pada bayi berkurang - hipoksia janin - distress janin - gerak janin
menurun.

2. Mengapa pada saat pemasangan kateter ditemukan urin bercampur darah?


Hubungan pemasangan kateter dengan darah tersebut dapat terjadi karena peregangan
bawah rahim - VU teregang - pemasangan kateter menyebabkan perlukaan -
peregangan terus menerus dapat menjadikan perdarahan yang dapat keluar bercampur
dengan urin. Osobrn test (+) - pasien mengalami CPD - kontraksi terus menerus
menyebabkan ruptur uteri - sehingga urin bercampur dengan darah - kemungkinan
adanya penekanan pada kandung kemih.

3. Apa hubungan antara urin berdarah dengan vetal distress yang terjadi?
Adanya trauma atau infeksi pada VU - edema - menyebabkan penekanan bagian
bawah rahim - bundle ring terbentuk. Karena daya dorong ibu berkurang
kemungkinan terdapat disporposi kepala-panggul, sehingga persalinan menjadi
berkepanjangan dan dapat terjadi gangguan aliran darah untuk janin sehingga terjadi
vetal distress. Urin berdarah - tanda trauma atau infeksi - terjadi pengeluaran sitokin
pro inflamasi (prostaglandin) - menyebabkan kontraksi terus menerus sehingga terjadi
vetal distress.

4. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik dan pemeriksaan obstreti?


 TD (120/90) : normal
 RR 22x/mnt : takipneu
 HR 112x/mnt : takikardi
 T 37 derajat C : normal
 Tinggi Badan : 145 cm  perawakan pendek
 Berat Badan : 50 kg
 KU : Tampak gelisah dan kesakitan
 Bundle ring : Pada kehamilan 28 minggu, isthmus uteri berubah menjadi
segmen bawah rahim. Pada kehamilan aterm, segmen tersebut berada 1-2 cm di
atas simpisis. Saat persalinan kala 1 dan awal kala 2, batas anatara segmen bawah
dengan segmen atas rahim dinamakan lingkaran retraksi fisiologis. Saat
persalinan kala 2 apabila bagian bawah janin tidak mengalami kemajuan
sementeara segmen atas rahim berkontraksi dan menebal, segemen bawah rahim
semakin tertarik ke atas dan menjadi tipis sehingga batas antara segmen bawah-
atas akan naik ke atas. Kemudian apabila batas tersebut melewati pertengahan
dari pusar dan simpisis lingkaran retraksi fisiologis akan menjadi patologis 
dinamakan bundle ring (+). Jika dibiarkan maka batas segmen bawah rahim akan
meregang dan terjadi ruptur.
 Leopold : Satu janin intrauterin dengan presentasi kepala dan letak
punggung di sisi kiri pasien. Namun kepala janin tersebut belum memasuki PAP.
 Osborn test (+) : Apabila kepala janin tidak masuk PAP dan terdapat tonjolan
di atas simpisis, tonjolan tersebut dapat diukur dengan jari telunjuk dan jari
tengah. Apabila didapatkan pengukuran lebih dari 3 jari maka tes +. Dan dapat
didiagnosis sebagai CPD.
 His : kontraksi 4-5’ (50”), dengan durasi demikian maka pasien
dikatakan persalinan kala 1
 DJJ : 170x/menit reguler menunjukan fetal takikardi
 Kulit ketuban menonjol
 Ubun ubun kecil tidak dapat dinilai
 Perawakan pendek risiko pada ibu panggul sempit

5. Apakah ada hubungan tinggi badan dengan berat badan pada kasus tersebut?
Tinggi badan mencerminkan besar panggul ibu. Tinggi ibu  145 cm kemungkinan
panggul lebih lebar. Pada skenario tinggi ibu 145 cm kemungkinan panggul sempit
sehingga disporposi kepala panggul, maka terjadi osborn test (+), diperlukan sectio.
Salah satu faktor risiko ada pada usia ibu yang muda. Karena panggul sempit
sehingga janin susah masuk PAP menyebabkan kondisi CPD. Persalinan ditentukan
oleh 3 faktor: jalan lahir, kekuatan, janin. Pada kasus ini janin yang bermasalah. Berat
badan  50 kg – IMT >25 menyebabkan risiko persalinan macet.

6. Apakah pada kasus ini termasuk kegawatdaruratan? Jika iya mengapa?


KGD maternal : toksimia gravidarum, perdarhan, infeksi. KGD pada kaus ini
dikarenakan adanya tanda bundle ring  fetal distress. Oleh karena adanya gangguan
pada jalan lahir maupun plasenta, sehingga pada kasus ini termasuk KGD. Kondisi ini
dikarenakan janin tidak memiliki asupan oksigen yang cukup.
Selain kondisi fetal distress, ada kondisi pada ibu (bundle ring). Merupakan lingkaran
retraksi patologis. Itu adalah batas segemen bawah-atas pada ibu. Bila tidak
diselamatkan kemungkinan terjadi rupture uteri yang akan menjadi KGD.
Ibu mengalami perdarahan, yang menjadi komplikasi syok hipovolemik bila tidak
segera ditangani. Disisi lain akan menyebabkan infeksi dari adanya ruptur.
IV. PETA KONSEP
Ny. Risti
Wanita 19 tahun

G1P0A0
Uk 9 Bulan
Inpartu Kala 1

Anamnesis : Pemeriksaan Fisik


Kencang-kencang  Hematuria pada pemasangan kateter
Gerak janin berkurang  TB 145  risiko panggul sempit
 BB 50 kg
 TD  normal
 HR 112x/mnt  takikardi
 RR 22x/ mnt  takipneu
 T = 37 normal
 Obstetri
o TFU 34 cm  TBJ 3565 gr  besar
o Leopold: Janin I, intrauterin, presentasi
kepala belum masuk PAP punggung kiri
o His 4-5’(50”)  kala I aktif
Diagnosis Banding o DJJ 170x/ menit reguler  distress
o Bundle rings (+)
o Osborn test (+)  CPD
o Pembukaan 4  fase aktif
o KK menonjol
o UUK sulit dinilai
o Bagian bawah kepala masih sempit

Pemeriksaan Penunjang

Ruptur Uteri
V. SASARAN BELAJAR

1. Definisi, etiologi dan klasifikasi dari ruptur uteri


2. Patofisiologi ruptur uteri
3. Pemeriksaan penunjang ruptur uteri
4. Diagnosis banding ruptur uteri
5. Tatalaksana, rujukan, dan edukasi pada pasien ruptur uteri

VI. BELAJAR MANDIRI

1. Definisi, etiologi dan klasifikasi dari ruptur uteri


Definisi :
Rupture uteri adalah robeknya dinding uterus akibat terlampauinya daya
regang myometrium atau robeknya dinding uterus pada saat kehamilan atau persalinan
saat umur kehamilan lebih dari 28 minggu. Pecahnya bekas luka rahim biasanya
merupakan peristiwa yang mengakibatkan kematian bayi, kerusakan luas pada rahim
dan terkadang
bahkan kematian ibu karena kehilangan darah.
Ruptura uteri imminens (kerobekan rahim mengancam) adalah suatu keadaan
dimana rahim telah menunjukan tanda yang jelas akan mengalami ruptura, yakni
dijumpai lingkaran retraksi patologik BandI yang semakin tinggi melewati batas
pertengahan antara simfisis pubis dengan pusat dan segmen bawah rahim semakin
tertarik ke atas sembari dindingnya menjadi sangat tipis (beberapa milimeter).
Etiologi & Faktor risiko
 Riwayat operasi pada uterus sebelumnya, dengan paling banyak adalah bekas
sectio cesarea
 Disporporsi janin dan panggul, partus macet atau traumatic
 Kerusakan yang telah ada sebelumnya karena trauma, atau sebagai komplikasi
 persalinan pada Rahim yang masih utuh
 Persalinan lama yang mengeluh nyeri hebat pada perut bawah, diikuti dengan
syok, dan perdarahan pervaginam
 Pasien berisiko tinggi
 Faktor risiko ruptur uteri lainnya antara lain usia, paritas, persalinan lama atau
macet, persalinan dengan bantuan instrumen, dan penggunaan obat-obatan untuk
induksi atau augmentasi persalinan
Klasifikasi
a. Menurut keadaan robek
i. Ruptur uteri inkomplit (subperitoneal)
Ruptur uteri hanya pada dinding uterus yang robek sedangkan lapisan serosa
(peritoneum) utuh

ii. Ruptur uteri komplit (transperitoneal)


Rupture uteri yang selain dinding uterusnya robek, lapisan serosa
(peritoneum) juga robek sehingga dapat berada di rongga perut.

b. Menurut kapan terjadinya


i. Ruptur uteri pada waktu kehamilan (ruptur uteri gravidarum)
Ruptur uteri yang terjadi karena dinding uterus lemah yang dapat disebabkan
oleh:
- Bekas seksio sesaria
Biasanya terjadi tanpa banyak menimbulkan gejala, hal ini terjadi karena
tidak terjadi robekan secara mendadak melainkan terjadi perlahan-lahan
pada sekitar bekas luka. Daerah disekitar bekas luka lambat laun makin
menipis sehingga akhirnya benar-benar terpisah dan terjadilah ruptur uteri.
- Bekas enukleasi mioma uteri
- Bekas kuretase/ plasenta manual
- Sepsis post partum
- Hipoplasia uteri
ii. Ruptur uteri pada waktu persalinan (ruptur uteri intrapartum)
Ruptur uteri pada dinding uterus baik, tapi bagian terbawah janin tidak maju/
turun yang dapat disebabkan oleh:
- Versi ekstraksi
- Ekstraksi forcep

c. Menurut Etiologinya
i. Rupture uteri spontan (non violent)
Pada uterus normal dapat terjadi karena beberapa penyebab yang
menyebabkan persalinan tidak maju. Persalinan yang tidak maju ini dapat
terjadi karena adanya rintangan misalnya panggul sempit, hidrosefalus,
makrosomia, janin dalam letak lintang, presentasi bokong, hamil ganda, dan
tumor pada jalan lahir.
ii. Rupture uteri traumatika (violent) à factor trauma pada uterus meliputi
kecelakaan dan tindakan.
- Kecelakaan sebagai factor trauma pada uterus berarti tidak berhubungan
dengan proses kehamilan dan persalinan, misalnya trauma pada abdomen.
- Tindakan, berarti berhubungan dengan proses kehamilan dan persalinan
misalnya versi ekstraksi, ekstraksi forcep, alat – alat embriotomi, manual
plasenta, dan ekspresi/dorongan.
iii. Rupture uteri jaringan parut à terjadi karena adanya locus minoris pada
dinding uterus sebagai akibat adanya jaringan parut bekas operasi pada uterus
sebelumnya, enukleasi mioma atau miomektomi, histerektomi histerorafi,
dan lain – lain. Seksio sesarea klasik, empat kali lebih sering menimbulkan
rupture uteri daripada parut bekas operasi seksio sesarea profunda. Hal ini
terjadi karena luka pada segmen bawah uterus yang merupakan daerah uterus
yang lebih tenang dalam masa nifas dapat sembuh dengan lebih baik,
sehingga parut lebih kuat.

2. Patofisiologi ruptur uteri


Saat his korpus uteri berkontraksi dan mengalami retraksi. Dengan demikian,
dinding korpus uteri atau segmen atas rahim menjadi lebih tebal dan volume korpus
uteri menjadi lebih kecil. Akibatnya tubuh janin yang menempati korpus uteri
terdorong ke dalam segmen bawah rahim. Segmen bawah rahim menjadi lebih lebar
dan karenanya dindingnya menjadi lebih tipis karena tertarik keatas oleh kontraksi
segmen atas rahim yang kuat, berulang dan sering sehingga lingkaran retraksi yang
membatasi kedua segmen semakin bertambah tinggi .
Apabila bagian terbawah janin tidak dapat turun oleh karena suatu sebab
(misalnya: panggul sempit atau kepala besar) maka volume korpus yang bertambah
mengecil ada waktu ada his harus diimbangi perluasan segmen bawa rahim ke atas.
Dengan demikian lingkaran retraksi fisiologis semakin meninggi kearah pusat
melewati batas fisiologis menjadi patologis yang disebut lingkaran bandl (ring van
bandl). Ini terjadi karena, rahim tertarik terus menerus kearah proksimal tetapi
tertahan dibagian distalnya oleh serviks yang dipegang ditempatnya oleh ligamentum
- ligamentum pada sisi belakang (ligamentum sakrouterina), pada sisi kanan dan kiri
(ligamentum cardinal) dan pada sisi dasar kandung kemih (ligamentum
vesikouterina).

Jika his berlangsung terus menerus kuat, tetapi bagian terbawah janin tidak
kunjung turun lebih ke bawah, maka lingkaran retraksi semakin lama semakin tinggi
dan segmen bawah rahim semakin tertarik ke atas dan dindingnya menjadi sangat
tipis. Ini menandakan telah terjadi rupture uteri iminens dan rahim terancam robek.
Pada saat dinding segmen bawah rahim robek spontan dan his berikutnya datang,
terjadilah perdarahan yang banyak (rupture uteri spontanea).
Robekan segmen bawah Rahim tersebut dipercepat jika ada manipulasi dari
luar, misalnya dorongan perut yang meskipun tidak terlalu kuat. Ketika terjadi
robekan pasien merasa amat nyeri pada daerah perutnya dan his terakhir yang masih
kuat itu sekaligus mendorong sebagian atau seluruh tubuh janin ke luar ronga Rahim
ke dalam rongga peritoneum. Selain itu, usus dan omentum dapat masuk ke jalan
lahir, sehingga dapt teraba saat pemeriksaan dalam.
Rupture uteri yang tidak merobek parametrium sering terjadi pada bagian
Rahim yang longgar hubungannya dengan peritoneum, yaitu pada bagian samping
dan dekat kandung kemih. Dinding serviks yang meregang karena ikut tertarik, juga
dapat ikut robek. Robekan pada bagian samping bisa sampai melukai pembuluh –
pembuluh darah besar yang terdapat di dalam ligamentum latum. Jika robekan terjadi
pada bagian dasar ligamentum latum, arteri uterine atau cabang – cabangnya bisa
terluka disertai perdarahan yang banyak, dan di dalam perimetrium di bagian yang
mengalami perdarahan dapat terbentuk hematoma yang bedar dan menimbulkan syok
yang sering berakibat fatal.

Hematuria yang terjadi bisa disebabkan akibat partus macet → kontraksi pada
segmen atas uterus, sedangkan segmen bawah lebih pasif → terjadi retraksi
(penarikan) segmen bawah > uterus dan vesica urinaria terhubung dengan adanya
bangunan anatomis ligamentum vesicourinaria → tarikan akibat kontraksi terus-
menerus uterus akan turut menarik vesica urinaria → Batasan peregangan terlampaui
dan vesica urinaria bisa mengalami trauma atau bahkan turut rupture → pembuluh
darah banyak dan ikut putus darah masuk ke vesica urinaria → bercampur urin jadi
hematuria.
3. Pemeriksaan penunjang ruptur uteri
Pemeriksaan fisik :
Sebelum dilakukan pemeriksaan fisik perlu adanya anamnesis dan mengetahui
gambaran klinis pasien.
 Adanya riwayat partus yang lama atau macet
 Adanya riwayat partus dengan manipulasi olch penolong.
 Adanya riwayat multiparitas
 Adanya riwayat operasi pada uterus (misalnya seksio sesaria. enukleasi mioma
atau miomektomi, histerektomi, histeritomi, dan histerorafi.)

Selain itu, pasien dengan ruptur uteri menunjukkan gambaran klinis yang
khas. Ruptur menyebabkan perdarahan masif sehingga terjadi penurunan TD,
hipotensi, hingga syok hipovolemik. Bentuk kompensasi terhadap hipotensi ini adalah
takikardia dan takipnea. Darah yang membanjiri rongga peritoneum
(hemoperitoneum) dapat me-rangsang diafragma dan menimbulkan nyeri dada
menyerupai kasus emboli paru atau emboli air ketuban. Jika ruptur merupakan suatu
dehisens dari bekas SC, rasa nyeri dan perdarahan yang terjadi sering tidak signifikan
Pemeriksaan fisik luar :
 Nyeri tekan abdominal
 Perdarahan pervaginam
 Kontraksi uterus biasanya akan hilang

 Pada palpasi bagian janin mudah diraba di bawah dinding perut ibu atau janin
teraba di samping uterus

 Di perut bagian bawah teraba uterus kira – kira sebesar kepala bayi
 Denyut Jantung Janin (DJJ) biasanya negative (bayi sudah meninggal)
 Terdapat tanda – tanda cairan bebas
 Jika kejadian rupture uteri telah lama, maka akan timbul gejala – gejala
meteorismus dan defans muscular yang menguat sehingga sulit untuk meraba
bagian – bagian janin.
Pemeriksaan fisik dalam pada rupture uteri komplit :
 Perdarahan pervaginam disertai perdarahn intraabdomen, sehingga didapatkan tanda
cairan bebas dalam abdomen.
 Pada pemeriksaan pervaginal bagian bawah janin tidak teraba lagi atau teraba
tinggi dalam jalan lahir, selain itu kepala atau bagian terbawah janin dengan
mudah dapat didorong ke atas, hal ini terjadi karena seringkali seluruh atau
sebagian janin masuk ke dalam rongga perut melalui robekan pada uterus.
 Kadang – kadang kita dapat meraba robekan pada dinding Rahim dan jika jari
tangan dapat melalui robekan tadi, maka dapat diraba omentum, usus, dan bagian
janin.
 Pada kateterisasi didapatkan urin berdarah.

Pemeriksaan fisik dalam pada rupture uteri inkomplit :


 Perdarahan biasanya tidak terlalu banyak, darah berkumpul di bawah peritoneum atau
mengalir keluar melalui vagina.
 Janin umumnya tetap berada dalam uterus.
 Pada kateterisasi didapati urin berdarah.

Pemeriksaan penunjang :
Pemeriksaan penunjang untuk rupture uteri tidak terlalu signifikan, namun beberapa
pemeriksaan berikut dapat dilakukan :
a. Pemeriksaan laboratorium
 Hitung darah lengkap dan apusan darah à Batas dasar Hb dan nilai
hematokrit tidak dapat menjelaskan banyaknya kehilangan darah

 Urinalisis à Hematuria sering menunjukkan adanya hubungan dengan


perlukaan kandung kemih

 Golongan darah dan rhesusà 4-6 unit darah dipersiapkan untuk transfusi
bila diperlukan

b. USG
Tanda-tanda rupture uteri yang bisa ditemukan pada sonografi:
 Identifikasi bagian kantung amnion yang menonjol
 Defek endometrium atau myometrium
 Hematoma ekstra uterus
 Haemoperitoneum atau cairan bebas
c. MRI
Multiplanar MR imaging menunjukkan penilaian menyeluruh terhadap dinding
rahim dan rongga peritoneum

4. Diagnosis banding ruptur uteri


a. Spontaneous abortion bisa didiagnosis dengan menemukan jaringan fetal di kanal
cervix, baik dengan palpasi atau dengan visualisasi melalui pemeriksaan
spekulum pada 20 minggu pertama gestasi
b. Plasenta previa mengacu pada perlekatan plasenta pada uterus yang terletak
menutupi pembukaan cervix. Diagnosis dapat dilakukan dengan menemukan
gejala berupa perdarahan vagina yang tidak sakit serta tidak ditemani dengan
kontraksi uterus. Beberapa pasien dengan plasenta previa bisa mengalami nyeri
kontraksi seperti kram. Kebanyakan plasenta previs bisa didiagnosis melalui
USG. Tidak dianjurkan melakukan pemeriksaan digital ketika terdapat adanya
plasenta previa, karena dapat menyebabkan perdarahaan ibu yang mengancam
nyawa
c. Placenta abruption ditandai dengan adanya perdarahaan vagina, nyeri abdomen
akut, dan kontraksi kram yang berkelanjutan akibat adanya iritasi darah.
Kebanyakan placenta abruption terjadi pada usia kehamilan 25 minggu. Placental
abruption juga dapat menyebabkan timbulnya non-reassuring fetal heart rate
change. USG memiliki sensitivitas yang rendah untuk mendiagnosis placental
abruption. Jika kehilangan darah signifikan, maka abrupsi ini dapat
mengakibatkan kondisi yang mengancam jiwa baik bagi ibu maupun anak.
d. Vasa previa biasanya mengikuti plasenta previa, pembuluh darah fetal dari
umbilical cord mendekat ke serviks
e. Preterm labor merupakan labor sebelum 37 minggu, dimana biasanya itu terkait
dengan infeksi, stress, hipertensi, dan DM tidak terkontrol
f. Vaginal trauma
g. Atonia Uteri
Pasien dengan rupture uteri dapat mengalami perdarahan pervaginam dan
kontraksi uterus yang hilang. Secara klinis, pasien atonia uteri dapat
menunjukkan tanda perdarahan pervaginam juga terutama setelah kala IlI dari
persalinan. Pada atonia uteri, gejala dapat membaik dengan pemberian
uterotonika.
h. Inversio Uteri
Inversio uteri terjadi bila tenaga medis melakukan regangan tali pusat secara kuat
saat mengeluarkan plasenta. Hal ini menyebabkan segmen atas uterus tertarik dan
terlihat pada portio atau vagina. Inversio menyebabkan gangguan kontraksi uterus
sehingga akan terjadi perdarahan terus menerus. Pada pemeriksaan fisik, fundus
uteri tidak teraba.

5. Tatalaksana, rujukan, dan edukasi pada pasien ruptur uteri


Tatalaksana :
a. Tatalaksana Umum
 Pastikan jalan nafas baik  Jangan berikan makanan / cairan peroral, putar
kcpala/ badan pasien agar tidak aspirasi, jaga agar tidak hipotermia
 Pemberian oksigen 6-8 L/menit
 Mengganti volume darah yang hilang dengan pemberian infus cairan
intravena, baik NaCl 0,9% maupun Ringer laktat, sebelum pembedahan.
 Transfusi darah yang disesuaikan dengan volume cairan yang hilang hanya
apabila ada tanda pendarahan.
 Pasang kateter kandung kemih  Untuk mengukur urin yang keluar >
menilai fungsi ginjal dan kescimbangan cairan tubuh. Target urin per jam
100 mL / 4 jam atau 30 mL / jam

 Antibiotik spektrum luas dalam dosis tinggi untuk mencegah sepsis.


 Jika kondisi ibu stabil, SC perlu segera dilakukan.
b. Tatalaksana Khusus
Tindakan yang akan dipilih tergantung pada beberapa factor diantaranya
adalah :
 Keadaan umum penderita
 Jenis ruptur incompleta atau completa
 Jenis luka robekan : jelek, terlalu lebar, agak lama, pinggir tidak rata dan
sudah banyak nekrosis
 Tempat luka : serviks, korpus, segmen bawah rahim
 Perdaraban dari luka : sedikit, banyak
 Umur dan jumlah anak hidup
 Kemampuan dan ketrampilan penolong

Bila keadaan umum mulai baik, tindakan selanjutnya adalah melakukan


laparatomi dengan tindakan jenis operasi :

 Jika tepi robekan tidak nekrotik, reparasi uterus dilakukan dengan


histerorafia sebab ia membutuhkan waktu yang lebih singkat dengan
perdarahan yang lebih sedikit dibandingkan histerektomi.
 Apabila uterus tidak dapat diperbaiki, reparasi dilakukan dengan histerektomi
subtotal. Jika robekan uterus mencapai serviks dan vagina, histerektomi total
mungkin diperlukan.
c. Tindakan-Tindakan pada Ruptura Uteri
 Histerektomi

Operasi pengangkatan Rahim pada seorang wanita, histerektomi dapat


dilakukan melalui irisan pada bagian perut atau melalui vagina. Pilihan ini
bergantung pada jenis Histerektomi yang akan dilakukan, jenis penyakit yang
mendasari, dan beberapa pertimbangan lainnya.
1. Histerektomi Parsial (Subtotal), adalah rahim diangkat dengan tetap
meninggalkan serviks. Oleh karena itu, penderita masih dapat terkena Ca
Servix sehingga masih perlu pemeriksaan papsmear secara rutin
2. Histerektomi Total, adalah rahim dan serviks diangkat secara keseluruhan
3. Histerektomi Radikal, adalah mengangkat bagian atas vafina, jaringan, dan
kelenjar limfe di sekitar kandungan biasannya untuk kasus Ca tertentu
4. Histerektomi dan salphyngo-ooforektomi bilateral yakni dengan mengangkat
uterus, serviks, kedua tuba fallopi, dan kedua ovarium.

Dilakukan jika fungsi reproduksi ibu tidak dapat dipertabankan lagi, robekan
longitudinal, multipel, atau ada di bagian bawah uterus, serta kondisi buruk
yang membahayakan ibu

 Histerorafi
Histerorafi adalah tindakan operatif dengan perawatan luka dan dijahit dengan
sebaik-baiknya. Jarang sekali bisa dilakukan histerofia kecuali bila luka robekan
masih bersih dan rapi, serta pasiennya belum punya arah hidup repair uterus.
Dapat dilakukan jika kondisi klinis ibu stabil, ibu masih ingin mempertahankan
fungsi reproduksi, robekan transversal kecil, robekan tidak mencapai ligamen, ,
serviks atau paracolpos, tidak ada gangguan koagulopati dan ruptur belum
memiliki komplikasi.

Histererorafi dilakukan jika:


 Masih mengharapkan fungsi reproduksinnya
 Kondisi klinis ibu stabil
 Rupture tidak berkomplikasi
Sistem Rujukan :
Apabila bidan/dokter penolong pertama persalinan, menemukan penyulit
dalam persalinan dan ibu bersalin dikelompokkan dalam kelompok B1 (seperti pada
kasus yaitu persalinan tidak maju dan robekan uterus) , maka penolong pertama harus
memutuskan secara cepat dan tepat untuk melakukan rujukan. Dimana rujukan
diarahkan ke RS PONEK (Pelayanan Obstetrik Neonatal emergency Komprehensif)
24 jam. Rujukan pada fase ini disebut sebagai rujukan tepat waktu, namun jika ibu
sudah mengalami perdarahan maka rujukannya menjadi rujukan kasep atau rujukan
gawat darurat. Keadaan ini termasuk kegawatdaruratan obstetric, sehingga
pengambilan keputusan harus cepat dan tepat untuk mencegah mortalitas dan
kecacatan pada ibu maupun janin serta Persalinan barus segera diselesaikan.
Ibu bersalin kelompok B1 :
 Abortus iminens  Suspek KET
 Abortus inkomplet  Suspek mola hidatidosa
 Partus prematurus  Fetal distress
 Ketuban pecah dini  Prolapsusu tali pusat
 Solusio plasenta  Retensio plasenta
 Plasenta previa  Rupture perineum derajat 3 -4
 Perdarahan post partum dini  Distosia bahu
(laserasi jalan lahir, atonia uteri)  Letak lintang kasep
 Kala II tak maju  Sepsis puerpuralis
Perencanaan rujukan :
- Komunikasikan rencana rujukan pada ibu dan keluarga
- Hubungi pusat layanan kesehatan yang menjadi tujuan rujukan
- Komunikasikan data seperti nama pasien, nama tenaga perujuk, indikasi rujukan,
kondisi ibu hamil dan janin, tatalaksana sebclumnya, dan nama dan profesi tenaga
kesehatan pendamping pasien
- Mengirim berkas-berkas :
 Form rujukan
 FC RM antenatal dan kondisi saat ini
 Hasil Pemeriksaan Penunjang
 Berkas Lain (pembiayaan)
- Pastikan pasicn diberi gelang identifikasi
- Bila terdapat indikasi pasang jalur IV dengan kanul 16 atau 18
- Mulai tatalaksana sctelah diskusi dengan tenaga keschatan tujuan rujukan
- Periksa kelengkapan alat dan perlengkapan
- Sclalu siap dengan kemungkinan terburuk
- Evaluasi :

 Keadaan umum pasicn  Letak janin


 Tanda vital  Kondisi ketuban
 Presentasi  Kontraksi uterus
 Dilatasi serviks
Edukasi
 Komunikasikan kepada keluarga alasan mengapa pasien harus dirujuk karena
merupakan kondisi kegawatdaruratan yang dapat membahayakan nyawa ibu
 Meskipun pasien dapatdiselamatkan, risiko sakit dan cacat tetap tinggi, contohnya
pada operasi hosterektomi yang menyebabkan cacat permanen dan tidak dapat
mempunyai anak.
 Pasien yang dilakukan histerektomi tetapi belum memiliki anak membutuhkan
dukungan psikologis dari keluarga
 Keadaan pasien sangat mungkin berlanjut menjadi sepsis sehingga pasien harus
dirawat inap sampai kondisinya stabil
 Bila rupture uteri terjadi pada bekas seksio sesarea, perdarahan yang terjadi
minimal sehingga tidak sampai menimbulkan kematian maternal dan kematian
perinatal.
 Pada pasien yang mengalami rupture uteri spontan dalam persalinan pada Rahim
yang tadinya masih utuh akan mengakibatkan robekan yang luas disertai
perdarahan yang banyak sehingga risiko kematian ibu dan anak lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA

WHO-Kemenkes. Sistem dan Cara Rujukan. Dalam: Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan, hIm 13-19: 2013.

Rozenberg P, Goffinet F, Philppe HJ, Nisand I. Thickness of the Lower Uterine Segment: Its
Influence in the Management of Patients with Previous Cesarean Sections. Eur J
Obstet Gynecol Reprod Biol. 1999 Nov, 87 (1) : 39-45.

Gotoh H, Masuzaki H, Yoshida A, et al. Predicting Incomplete Uterine Rupture with Vaginal
Sonography during the Late Second Trimester in Women with Prior Cesarean. Obstet
Gynecol. 2000 Apr. 95(4):596-600.
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan: Pedoman
bagi Tenaga Kesehatan (1st ed.). (2013). Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
Cunningham, F. G., Leveno, K. J., Bloom, S. L., Dashe, J. S., Hofman, B. L., Casey, B. M.,
et al. (2018). Williams Obstetrics (25th ed.). McGraw-Hill Education.
Saifuddin, A. B., Rachimhadhi, T., & Wignjosastro, G. H. (2010). Ilmu Kebidanan Sarwono
Prawirohardjo (4th ed.). Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Sari, RDP. Ruptur Uteri. Juke Unila. 2015; 5(9): 110 -114

Dane B, dane C. Maternal death after uterine rupture in an unscarred uterus : a case report. J
Emerg Med. 2009; 37(4):393-5

Anda mungkin juga menyukai