Anda di halaman 1dari 34

REFERAT KEGAWATDARURATAN MEDIS DALAM BENCANA

Diajukan untuk pemenuhan tugas modul 7.1

Kegawardaruratan Medik

Disusun oleh :
PUSPO PALUPI YEKTI HANGUJIWAT
22010118120004

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2021
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..............................................Error! Bookmark not defined.


DAFTAR ISI............................................................................................................ii
DAFTAR TABEL..................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................iv
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................2
2.1 Kegawatdaruratan Medis..............................................................................2
2.1.1 Definisi.........................................................................................................2
2.1.2 Triage............................................................................................................3
2.1.3 Primary Survey.............................................................................................9
2.1.4 Secondary Survey.......................................................................................14
2.1.5 Bantuan Hidup Dasar.................................................................................16
2.2 Bencana......................................................................................................19
2.2.1 Definisi.......................................................................................................19
2.2.2 Macam Bencana.........................................................................................20
2.3 Siklus Bencana Dan Penanggulangan Bencana.........................................20
2.3.1 Pra Bencana................................................................................................22
2.3.2 Saat Bencana..............................................................................................23
2.3.3 Setelah Bencana.........................................................................................23
2.4 Kegawatdaruratan Medis Dalam Bencana.................................................24
BAB III PENUTUP...............................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................29

2
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Kategori Triage.........................................................................................................................5

3
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Single Triage.........................................................................................................................4


Gambar 2 START Triage......................................................................................................................5
Gambar 3 Pocket Mask Ventilation.....................................................................................................18
Gambar 4 Teknik Resusitasi Jantung Paru (RJP).................................................................................19
Gambar 5 Siklus Bencana....................................................................................................................21
Gambar 6 Siklus Penanggulangan Bencana.........................................................................................21
Gambar 7 Pos pelayanan medis lanjutan dasar....................................................................................25
Gambar 8 Pos pelayanan medis lanjutan standar.................................................................................26

4
BAB 1

PENDAHULUAN

Keadaan darurat dan bencana, baik yang disebabkan faktor alam maupun manusia sulit

dipersiapkan. Bencana mengacu pada suatu peristiwa yang mengganggu pelayanan

komunitas layanan penting seperti perumahan, transportasi, komunikasi, sanitasi, air, dan

perawatan kesehatan serta kondisi tersebut membutuhkan respon orang-orang diluar

komunitas yang terkena dampak. 1

Bencana merupakan suatu peristiwa yang tidak diinginkan dan biasanya terjadi secara

mendadak disertai dengan jatuhnya banyak korban. Menurut The International Disaster

Database – centre for research on epidemiologyc of disaster, dalam tiga puluh tahun terakhir

ini tren bencana alam di dunia meningkat.2

Dalam hal bencana alam, Indonesia kebetulan negara dengan potensi bencana alam yang

cukup banyak dan skalanya besar. Data dari BNPB menunjukkan bahwa setiap hari terjadi

hampir empat kali bencana di Indonesia. Jenisnya pun bermacam-macam, mulai dari gempa

bumi, tsunami, tanah longsor, erupsi gunung berapi, banjir, dan sebagainya. Dari deretan

bencana yang ditimbulkan akibat perbuatan manusia, selain yang disebutkan di atas,

peristiwa berkumpulnya masyarakat pun bisa menimbulkan bencana semacam keributan

massa dalam suatu pertunjukan musik, pertandingan olahraga, hingga peristiwa politik.

Belum lagi konflik antarwarga yang sering menimbulkan kengerian. 3

Masalah penanganan korban bencana harus lebih serius dilakukan melalui sistem yang

lebih baik lagi karena Indonesia merupakan negara yang rawan terhadap bencana. 3 Setiap tim

kesehatan baik perawat, dokter, dan tim kesehatan lainnya harus memahami konsep

manajemen bencana, dimulai dari definisi bencana, klasifikasi bencana, siklus manajemen

5
penanggulangan bencana yang menjadi dasar bagi tim bencana termasuk tim kesehatan untuk

melakukan perencanaan selama fase pra bencana, bencana, dan paska bencana.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kegawatdaruratan Medis

2.1.1 Definisi

Gawat darurat adalah suatu kondisi klinik yang memerlukan pelayanan medis.

Gawat darurat medis adalah suatu kondisi yang dalam pandangan penderita, keluarga

atau siapa pun yang bertanggung jawab dalam membawa penderita ke rumah sakit,

memerlukan pelayanan medis segera.

Adapun penderita gawat darurat memerlukan pelayanan yang diantaranya:

a. Cepat;

b. Tepat;

c. Bermutu; dan

d. Terjangkau

Terdapatnya kondisi gawat darurat ini, berlanjut hingga petugas kesehatan yang

profesional menetapkan bahwa keselamatan pasien atau kesehatannya tidak terancam.

Kondisi tersebut berkisar antara yang memerlukan pelayanan ekstensif segera dengan

rawat inap di rumah sakit dan yang memerlukan pemeriksaan diagnostik atau

pengamatan, yang setelahnya mungkin memerlukan atau mungkin juga tidak

memerlukan rawat inap (The American Hospital Association). Dalam hal tersebut

sehingga, gawat darurat merupakan suatu keadaan yang mana penderita memerlukan

pemeriksaan medis segera, apabila tidak dilakukan akan berakibat fatal bagi penderita.

Kegawatdaruratan medik dapat terjadi pada seseorang maupun kelompok orang

pada setiap saat dan dimana saja. Penderita gawat darurat adalah penderita yang

disebabkan (penyakit, trauma, kecelakaan, tindakan anestasi) yang bila tidak segera

7
ditolong akan mengalami cacat, kehilangan organ tubuh, atau meninggal. Dalam hal ini

faktor waktu sangat berperan sangat penting (time saving is life saving) atau tindakan

pada menit-menit pertama dalam menangani kegawatdaruratan medik tersebut dapat

berarti.4

2.1.2 Triage

Triase (Triage) berasal dari kata perancis yang berarti "menyeleksi". Triage adalah

usaha pemilahan korban sebelum ditangani, berdasarkan tingkat kegawatdaruratan

trauma atau penyakit dengan mempertimbangkan prioritas penanganan dan sumber daya

yang ada. Triage adalah suatu konsep pengkajian yang cepat dan terfokus dengan suatu

cara yang memungkinkan pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan serta fasilitas

yang paling efisien dengan tujuan untuk memilih atau menggolongkan semua pasien

yang memerlukan pertolongan dan menetapkan prioritas penanganannya.

Triage bencana adalah suatu sistem untuk enetapkan prioritas perawatan medis

berdasarkan berat ringannya suatu penyakit ataupun tingkat kedaruratannya, agar dapat

dilakukan perawatan medis yang terbaik kepada korban sebanyak-banyaknya, di dalam

kondisi dimana tenaga medis maupun sumber-sumber materi lainnya serba terbatas.

Proses triase berperan penting dalam mengatasi alur masuk pasien di unit gawat

darurat sehingga pasien tertangani sesuai kegawatannya dan tidak terjadi penumpukan

dalam ruang gawat darurat.

Hakikat Triage

Triage dilakukan berdasarkan:

1. Airway, Breathing, Circulation, Disability dan exposure (mengancam nyawa)

2. Berat cedera

3. Jumlah pasien

4. Sarana kesehatan yang tersedia

8
5. Harapan hidup

Metode triage

a. Single Triage

 Triage tunggal Pra-rs, Intra-rs

 Bukan korban massal

Gambar 1 Single Triage

b. START (Simple Triage and Rapid Treatment)

 Prinsip mengatasi pasien dengan ancaman nyawa, jalan nafas tersumbat,

perdarahan masif

 Korban dalam jumlah banyak

 Lama START <60 detik/pasien

 Dikembangkan berdasarkan pemikiran bahwa triage harus akurat, cepat

dan universal

 Menggunakan 4 macam observasi yaitu bisa berjalan, bernafas, sirkulasi

darah, dan tingkat kesadaran

 Prioritas kelompok merah

9
Gambar 2 START Triage

 Katergori Triage

Tabel 1 Kategori Triage

Prioritas Warna Kode Kategori Kondisi Penyakit/Luka


1 Merah I Prioritas Memerlukan pengobatan

utama dengan segera karena dalam

pengobatan kondisi yang sangat kritis yaitu

tersumbatnya jalan napas,

dyspnea, pendarahan, syok,

hilang kesadaran, penurunan

respon, trauma kepala, tension

pneumonithorax, distress

10
pernafasan, henti jantung,

cidera kepala berat, dada,

perut, luka bakar berat, patah

tulang terbuka, stroke tidak

sadar
2 Kunin II Bisa Pengobatan mereka dapat

g menunggu ditunda untuk beberapa jam

pengobatan dan tidak akan berpengaruh

terhadap nyawanya. Tanda-

tanda vital stabil.

Korban dengan resiko syok,

multiple fraktur, luka bakar

tanpa gangguan nafas,

gangguan kesadaran, cidera

vertebrata atau dada tanpa

gangguan nafas, cidera perut

tanpa syok, cidera kepala,

cidera jaringan lunak berat,

infeksi berat, luka bakar ringan


3 Hijau III Ringan Mayoritas korban luka yang

dapat berjalan sendiri mereka

dapat melakukan rawat jalan.

Fraktur minor, luka bakar

minor, cidera jaringan lunak

ringan, dislokasi extremitas,

demam, radang, ISPA,

11
lambung, gangguan psikologis
4 Hitam 0 Meninggal Korban sudah meninggal

atau tidak ataupun tanda-tanda

dapat kehidupannya terus

diselamatkan Menghilang

c. SAVE (Secondary Assessmet of Victims Endpoint)

 Dilakukan pada korban bencana, jumlah korban luar biasa, jauh

melampaui kapasitas tersedianya SDM, sarana serta jauh dari fasilitas

rumah sakit.

 Kategori korban :

 Korban – korban yang akan meninggal dengan apapun yang kita

lakukan (Unsalvageable = kemungkinan meninggal).

 Korban – korban yang akan hidup dengan apapun yang kita lakukan

(Immediate = kemungkinan hidup).

 Korban – korban yang akan mendapat keuntungan dengan tindakan –

tindakan yang dilakukan dengan sarana yaang terbatas di lapangan

(Delayed = dapat ditunda pelayanannya).

d. ATS (Australia Triage Scale)

 Semua pasien yang datang ke unit gawat darurat harus di triase.

 Oleh tenaga terlatih dan perawat berpengalaman.

 Penilaian triase dan kode ATS dialokasikan harus dicatat.

 Perawat triase harus memastikan penilaian ulang terus menerus dari

pasien yang menunggu, dan, jika gambaran klinis perubahan, pengulangan

triase pasien disesuaikan.

Klasifikasi TRIAGE berdasarkan tempat

12
 Triage di UGD

Diterapkan sehari-hari untuk assessment prioritas penanganan pasien di

UGD. Prioritas diberikan pada pasien yang paling membutuhkan. Sumber daya

tersedia dalam kualitas dan kuantitas yang cukup baik.

Prosedur Triage di UGD :

 Menilai adakah tanda emergency (ABCD).

 Penatalaksanaan segera diberikan begitu teridentifikasi satu tanda

emergency

- Jika terdapat tanda A, atasi. Jika tidak terdapat, teruskan mencari

tanda B.

- Jika terdapat tanda B, atasi. Jika tidak terdapat, teruskan mencari

tanda C.

- Jika terdapat tanda C, atasi. Jika tidak terdapat, teruskan mencari

tanda D.

- Jika terdapat tanda D, atasi.

 Bila tidak terdapat tanda emergency, dilanjutkan dengan penilaian

adakah tanda prioritas.

 Tempatkan pasien sesuai prioritasnya. Bila pasien mempunyai tanda

prioritas maka pasien ditempatkan di urutan depan penanganan.

Sementara menunggu, pasien dapat diberikan terapi suportif.

 Pasien yang tidak mempunyai tanda emergency atau tanda prioritas

kembali ke antrian untuk menunggu perawatan.

 Berpindah ke pasien berikutnya.

 Triage in-patient

13
Diterapkan sehari-hari di setting unit perawatan, misalnya ICU, kamar bedah,

dan unit rawat jalan. Prioritas diberikan pada pasien yang paling membutuhkan

pertolongan berdasarkan kriteria medis. Sumber daya tersedia dengan baik.

 Triage incident

Diterapkan pada setting kecelakaan dengan jumlah korban cukup banyak,

misalnya kecelakaan bus atau pesawat dan kebakaran. Triage diprioritaskan

untuk evakuasi dan penanganan pasien. Biasanya terdapat keterbatasan sumber

daya lokal, meskipun demikian pasien tetap dapat memperoleh penatalaksanaan

maksimal di fasilitas kesehatan.

 Triage militer

Diterapkan pada setting medan pertempuran. Terdapat keterbatasan sumber

daya, terutama bila suplai sumber daya terganggu.

 Triage bencana/ masal

Diterapkan pada setting bencana dengan korban masal yang melebihi

kemampuan sistem pelayanan kesehatan lokal dan regional. Protokol triage

bencana memprioritaskan pada penyelamatan sebagian besar korban dan

mengoptimalkan sumber daya yang tersedia.

2.1.3 Primary Survey

Semua prosedur penanganan gawat darurat, maka langkah pertama yang dilakukan

sejak detik pertama pasien masuk instalasi gawat darurat adalah pemeriksaan secara

cepat dan efisien disebut sebagai primary survey. Dasar dari pemeriksaan primary

survey adalah ABCDE, yaitu Airway (jalan nafas), Breathing (pernafasan),

Circulation (sirkulasi darah), Disability (status neurologi), dan Exposure (paparan)

a. Airway

14
- Evaluasi apakah ada tanda-tanda obstruksi jalan nafas dengan look, listen

dan feel

- Apakah pasien dapat berbicara dengan jelas?

- Buka mulut pasien dan kaji apakah ada sumbatan dijalan nafas seperti

darah, benda asing

- Evaluasi apakah ada edema di bibir, lidah dan leher

- Tanda-tanda sumbatan jalan nafas partial:

 Suara nafas stridor

 Penggunaan otot-otot pernafasan tambahan

 Pergerakan dada dan perut paradoxical

 Sianotik

Bebasnya jalan nafas paling terpenting bagi kecukupan ventilasi dan

oksigenasi. Ketika penderita tidak mampu dalam mempertahankan jalan nafas, oleh

karena itu, patensi jalan nafas harus segera dipertahankan dengan cara buatan,

diantaranya : reposisi, chin lift, jaw thrust, atau melakukan penyisipan airway

orofaringeal serta nasofaringeal

Jika pernafasannya membaik, jaga agar jalan nafas tetap terbuka dan periksa

dengan cara harus dinilai:

1. Lihat (Look) yaitu melihat pergerakan naik turunnya dada yang simetris,

jika tidak simetris maka perlu dicari kelainan intra-thorakal atau fail chest.

Amati frekuensi nafas terlalu cepat maupun lambat.

2. Dengar (Listen) yaitu mendengar adanya suara pernafasan pada auskultasi

kedua paru, vesikuler normal atau suara menghilang, adanya rhonkhi yang

menjadi petunjuk kelainan intra-thorakal.

3. Rasakan (Feel) yaitu merasakan adanya hembusan nafas

15
b. Breathing

Gangguan pernafasan (breathing) terjadi adanya gangguan bersifat sentral

maupun perifer. Kelainan perifer disebabkan karena akibat dari adanya aspirasi

atau trauma dada yang menyebabkan pneumothorax atau gangguan gerakan

pernafasan. Hal ini terjadi karena kerusakan pusat napas di otak.

Look

- Kaji apakah pasien bernafas spontan

- Kaji frekuensi nafas dan irama

- Kaji apakah pergerakan dada simetris

- Apakah ada retraksi otot pernafasan tambahan yaitu otot

sternokloidomastoid, nasal faring retraction

Listen

- Dengarkan suara paru

- Apakah ada suara nafas yang tidak normal

Feel

- Palpasi apakah ada krepitus, deformitas

Disamping itu, nilai PaO2 yang direkomendasikan >75 mmHg dan kadar

PaCO2 yaitu 35-38 mmHg. Apabila ada distress pernafasan:

- Berikan oksigen dengan bag-mask

- Intervensi untuk tension pneumothorax: needle thorakotomi di intercostae

ke 2 midclavikula

c. Circulation

Perdarahan merupakan salah satu penyebab kematian setelah truma. Pada

shock hipovolemik yang ditandai dengan tekanan darah kurang dari 90 mmHg dan

16
dapat mengalami penurunan tekanan darah yang berpengaruh terhadap tingkat

kinerja otak. Oleh sebab itu, hal yang pertama harus segera dinilai adalah

1. Tingkat kesadaran yaitu ketika volume darah menurun perfusi otak juga

berkurang yang dapat menyebabkan penurunan tingkat kesadaran.

2. Warna Kulit, yaitu berupa wajah yang keabu-abuan dan kulit ekstremitas

yang pucat merupakan tanda hipovolemia.

3. Nadi adalah pemeriksaan nadi yang dilakukan pada nadi terbesar seperti a.

femoralis dan a. karotis (kanan kiri), untuk kekuatan nadi, kecepatan dan

irama. Dalam keadaan darurat yang tidak tersedia alat-alat, maka secara

cepat dapat memperkirakan tekanan darah dengan meraba pulsasi yaitu:

- Ketika teraba pulsasi pada arteri radial, maka tekanan darah minimal 80

mmHg sistol

- Ketika teraba pulsasi pada arteri brachial, maka tekanan darah minimal

70 mmHg sistol

- Ketika teraba pulsasi pada arteri femoral, maka tekanan darah minimal

70 mmHg sistol

- Ketika teraba pulsasi pada arteri carotid, maka tekanan darah minimal

60 mmHg sistol

Pengelolaan dalam mengontrol perdarahan, Greenberg dalam Arsani, 2011

antara lain :

1. Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal Perdarahan

eksternal segera dihentikan dengan penekanan pada luka. Cairan resusitasi

yang dipakai yaitu Ringer Laktat atau NaCl 0,9℅ adanya dua jalur dari

intra vena. Pemberian cairan jangan diragukan, karena cedera sekunder

17
akibat dari hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak dibanding

edema pada otak akibat adanya pemberian cairan yang berlebihan.

2. Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah serta

konsultasi pada ahli bedah

3. Pasangkan kateter IV 2 jalur ukuran terbesar sekaligus mengambil sampel

darah untuk pemeriksaan rutin, kimia darah, tes kehamilan (pada wanita

usia subur), golongan darah dan cross-match serta Analisa Gas Darah

(BGA).

4. Berikan cairan kristaloid telah dihangatkan dengan tetesan tercepat,

pasangkan PSAG/bidai pneumatik untuk mengontrol perdarahan pada

pasien fraktur pelvis.

5. Fraktur pelvis yang mengancam nyawa, cegah adanya hipotermia dengan

posisi tidur yaitu kepala diposisikan datar, cegah head down (kepala lebih

rendah dari leher) karena dapat menyebabkan bendungan vena di kepala

serta menaikkan tekanan intracranial.

d. Disability

Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan

neurologis secara cepat dan pupil. Pemeriksaan neurologis secara cepat yaitu

dengan menggunakan metode AVPU atau GCS (Glasgow Coma Scale)

 A - Alert: pasien sadar, awas, responsive, orientasi waktu, tempat dan orang

baik

 V- verbal: Pasien berespon terhadap rangsangan verbal tapi orientasi

terhadap orang, tempat dan waktu tidak baik

 P- Pain: pasien tidak berespon terhadap rangsangan verbal, tapi berespon

terhadap rangsangan nyeri

18
 U – unresponsive: pasien tidak berespon terhadap rangangan nyeri

Dalam hal ini, penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh adanya penurunan

oksigenasi atau perfusi ke otak serta trauma langsung. Nilai pupil dilihat dari

normalnya isokor, reflek cahaya positif

e. Expossure

1. Jaga privasi dan cegah hipotermi

2. Kaji seluruh bagian tubuh pasien, kaji apakah ada memar, laserasi,

deformitas, warna kulit 

Pada exposure merupakan bagian terakhir dari primary survey, pasien harus

dibuka keseluruhan pakaiannya untuk melakukan pemeriksaan thoraks kemudian

diberikan selimut hangat, cairan intravena yeng telah dihangatkan dan ditempatkan

pada ruangan cukup hangat ini dilakukan pada saat dirumah sakit. Periksa

punggung dengan memiringkan pasien dengan cara long roll. Pemeriksaan seluruh

bagian tubuh harus segera dilakukan tindakan agar mencegah terjadinya

hiportermia. Dalam pemeriksaan penunjang ini dilakukan pada survey primer,

yaitu pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse oxymetri, foto thoraks, dan foto

polos abdomen.

2.1.4 Secondary Survey

Pemeriksaan dilakukan setelah pasien dengan keadaan stabil dan dipastikan

airway, breathing dan sirkulasidapat membaik. Prinsip survey sekunder adalah

memeriksa ke seluruh tubuh yang lebih teliti dimulai dari ujung rambut sampai ujung

kaki ( head to toe) baik pada tubuh dari bagian depan maupun belakang serta evaluasi

ulang terhadap pemeriksaan tanda vital penderita.

F: full set of vital signs

- Suhu tubuh

19
- Nadi

- Respiratory Rate

- Blood pressure

- Saturasi oksigen

- Berat badan wajib untuk bayi dan pasien anak

G: Give Comfort Measure Pain assessment (P Q R S T)

- P : Provocative/Palliative yaitu apa yang membuat terjadinya timbulnya

keluhan, hal-hal apa yangmemperingan dan memperberat keadaan atau

keluhan klien tersebut yang dikembangkan dari keluhan utama.

- Q : Quality/Quantity seberapa berat keluhan terasa, bagaimana rasanya,

berapa sering terjadinya

- R : Region/Radiation lokasi keluhan tersebut dirasakan atau ditemukan,

apakah juga penyebaran kearea lain, daerah atau area penyebarannya

- S : Severity intensitas keluhan dinyatakan dengan keluhan ringan, sedang, dan

berat

- T : Timing kapan keluhan mulai ditemukan atau dirasakan, berapa sering

dirasakan atau terjadi,apakah secara bertahap, apakah keluhan berulang-ulang,

bila berulang dalam selang waktu berawal lama hal itu untuk menetukan waktu

dan durasi

H: History Gunakan singkatan “AMPLE”

- A: Alergy

- M: medication

- P: past medical history

- L: last meal eaten

20
- E: events leading to illness/injury

2.1.5 Bantuan Hidup Dasar

Bantuan Hidup Dasar (BHD) adalah dasar untuk menyelamatkan nyawa ketika

terjadi henti jantung. Aspek dasar dari BHD meliputi pengenalan langsung terhadap henti

jantung mendadak dan aktivasi system tanggap darurat, cardiopulmonary resuscitation

(CPR) atau resusitasi jantung paru (RJP) dini, dan defibrilasi cepat dengan defibrillator

eksternal otomatis/ automated external defibrillator (AED). Pengenalan dini dan respon

terhadap serangan jantung dan stroke juga dianggap sebagai bagian dari BHD. Resusitasi

jantung paru (RJP) sendiri adalah suatu tindakan darurat, sebagai usaha untuk

mengembalikan keadaan henti napas dan atau henti jantung (yang dikenal dengan

kematian klinis) ke fungsi optimal, guna mencegah kematian biologis.

Langkah-Langkah Bantuan Hidup Dasar

1. Pada saat tiba di lokasi kejadian

Tahap ini merupakan tahapan umum pada saat tiba di suatu lokasi kejadian, baik pada

kasus trauma ataupun kasus medis.Pada saat tiba di tempat kejadian, kenali dan pelajari

segala situasi dan potensi bahaya yang ada. Sebelum melakukan pertolongan, pastikan

keadaan aman bagi si penolong.

a. Amankan keadaan

Perhatikan dahulu segala yang berpotensi menimbulkan bahaya sebelum menolong

pasien, seperti lalu lintas kendaraan, jalur listrik, asap, cuaca ekstrim, atau emosi dari

orang di sekitar lokasi kejadian. Lalu menggunakan alat perlindungan diri (APD)

yang sesuai.

b. Evaluasi ancaman bahaya

21
Bila tidak ada ancaman bahaya jangan memindahkan korban, misalnya api atau gas

beracun. Jika penolong harus memindahkan korban, maka harus dilakukan secepat

mungkin dan seaman mungkin dengan sumber daya yang tersedia.

c. Evaluasi penyebab cedera atau mekanisme cedera

Evaluasi petunjuk yang mungkin menjadi pertanda penyebab terjadinya kegawatan

dan bagaimana korban mendapatkan cederanya, misalnya terjatuh dari tangga,

tabrakan antar kendaraan, atau adanya tumpahan obat dari botolnya. Gali informasi

melalui saksi mata apa yang terjadi dan menggunakan informasi tersebut untuk

menilai apa yang terjadi. Penolong juga harus memikirkan kemungkinan korban telah

dipindahkan dari tempat kejadian, baik oleh orang di sekitar lokasi atau oleh si korban

sendiri.

d. Jumlah korban

Evaluasi pula keadaan sekitar bilamana terdapat korban lain. Jangan sekali-kali

berpikir hanya ada satu korban, oleh sebab itu sangat penting untuk segera mengamati

keadaan sekitar kejadian.

e. Meminta pertolongan

Minta bantuan ke orang sekitar tempat kejadian. Hal ini sangat penting karena akan

sangat sulit menolong pasien seorang diri, apabila ada lebih dari satu penolong maka

akan lebih efektif menangani korban, seperti pengaktivan EMS dan mengamankan

lokasi. 5

f. Evaluasi kesan awal Anda

Evaluasi gejala dan tanda yang mengindikasikan kedaruratan yang mengancam

nyawa korban, seperti adanya sumbatan jalan nafas, perdarahan dan sebagainya.

2. Hasil pemeriksaan awal

22
Dari penilaian awal ini, dapat diperoleh informasi tentang korban apakah si korban hanya

mengalami pingsan, henti napas atau bahkan henti jantung.

a. Henti napas

Jika korban tidak bernapas tetapi didapati nadi yang adekuat, maka pasien dapat

dikatakan mengalami henti napas. Maka langkah awal yang harus dilakukan adalah

mengaktifkan sistem tanggapan darurat, kemudian penolong dapat memberikan

bantuan napas. Pastikan jalan napas bersih dari sumbatan, berikan 1 kali bantuan

napas setiap 5-6 detik, dengan durasi sekitar 1 detik untuk tiap pemberian napas.

Terdapat 3 cara memberikan ventilasi yaitu dengan mouth-tomouth ventilation, pocket

mask ventilation dan bag valve mask resuscitation.

Gambar 3 Pocket Mask Ventilation

Pastikan dada korban mengembang pada setiap pemberian napas. Periksa nadi setiap 2

menit. Pemberian napas harus dilanjutkan hingga korban mulai bernapas dengan

spontan, penolong terlatih tiba, nadi korban menghilang dimana pada kasus ini

penolong harus memulai RJP dan pasangkan AED bila tersedia serta apabila keadaan

lingkungan menjadi tidak aman.

b. Henti Jantung

Jika korban tidak bernapas, nadi tidak ada dan tidak ada respon, maka pasien dapat

dikatakan mengalami henti jantung. Pada keadaan ini, langkah-langkah yang harus

dilakukan adalah mengaktifkan sistem tanggapan darurat dan menghubungi pusat

layanan kesehatan darurat terdekat. Kemudian segera melakukan RJP yang benar

23
dengan langkah-langkah sebagai berikut:- Letakkan korban pada permukaan datar dan

keras untuk memastikan bahwa korban mendapat penekanan yang adekuat.

Gambar 4 Teknik Resusitasi Jantung Paru (RJP)

2.2 Bencana

2.2.1 Definisi

Definisi bencana menurut UN-ISDR tahun 2004 menyebutkan bahwa bencana

adalah suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat, sehingga

menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari segi materi, ekonomi

atau lingkungan dan yang melampaui kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk

mengatasi dengan menggunakan sumberdaya mereka sendiri. 2

Bencana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai sesuatu yang

menyebabkan atau menimbulkan kesusahan, kerugian, penderitaan, malapetaka, dan

marabahaya.6 Bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam

dan menganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh

faktor alam atau faktor non alam maupun faktor manusia.

Menurut Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah dalam WHO

– ICN bencana adalah sebuah peristiwa, bencana yang tiba-tiba serius mengganggu

fungsi dari suatu komunitas atau masyarakat dan menyebabkan manusia, material, dan

kerugian ekonomi atau lingkungan yang melebihi kemampuan masyarakat untuk

24
mengatasinya dengan menggunakan sumber dayanya sendiri. Meskipun sering

disebabkan oleh alam, bencana dapat pula berasal dari manusia.

Dari ketiga definisi diatas dapat kita simpulkan bahwa bencana adalah suatu

keadaan yang tiba-tiba mengancam kehidupan masyarakat karena faktor alam dan/atau

non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan korban jiwa, kerusakan

lingkungan yang melebihi kemampuan masyarakat untuk mengatasinya sendiri. 2

2.2.2 Macam Bencana

Macam-macam bencana menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang

penanggulangan bencana, yaitu:

a. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian

peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami,

gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor;

b. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian

peristiwa non alam antara lain berupa gagal teknologi,gagal modernisasi. dan wabah

penyakit;

c. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian

peristiwa yang disebabkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar

kelompok atau antar komunitas masyarakat.

d. Kegagalan Teknologi adalah semua kejadian bencana yang diakibatkan oleh

kesalahan desain, pengoprasian, kelalaian dan kesengajaan, manusia dalam

penggunaan teknologi dan atau insdustriyang menyebabkan pencemaran, kerusakan

bangunan, korban jiwa, dan kerusakan lainnya.

2.3 Siklus Bencana dan Penanggulangan Bencana

Bencana yang terjadi dapat digambarkan seperti sebuah lingkaran atau kita sebut sebagai

suatu siklus, seperti diperlihatkan pada gambar berikut ini.

25
Gambar 5 Siklus Bencana

Siklus bencana dapat dibagi menjadi tiga fase yaitu fase pra bencana, fase bencana dan

fase pasca bencana. Fase pra bencana adalah masa sebelum terjadi bencana. Fase bencana

adalah waktu/saat bencana terjadi. Fase pasca bencana adalah tahapan setelah terjadi

bencana. Semua fase ini saling mempengaruhi dan berjalan terus sepanjang masa.

Siklus bencana ini menjadi acuan untuk melakukan penanggulangan bencana yang bisa

dibagi menjadi beberapa tahap seperti gambar dibawah ini.

Gambar 6 Siklus Penanggulangan Bencana

Penanganan bencana bukan hanya dimulai setelah terjadi bencana. Kegiatan sebelum

terjadi bencana (pra-bencana) berupa kegiatan pencegahan, mitigasi (pengurangan dampak),

dan kesiapsiagaan merupakan hal yang sangat penting untuk mengurangi dampak bencana.

26
Saat terjadinya bencana diadakan tanggap darurat dan setelah terjadi bencana (pasca-

bencana) dilakukan usaha rehabilitasi dan rekonstruksi.Berikut rincian tentang kegiatan

penanggulangan bencana sesuai siklus bencana.

2.3.1 Pra Bencana

a. Pencegahan

Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk

mengurangi atau menghilangkan risiko bencana, baik melalui pengurangan

ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana. Peringatan

dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada

masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh

lembaga yang berwenang

b. Mitigasi

Mitigasi ialah tindakan-tindakan yang memfokuskan perhatian pada

pengurangan dampak dari ancaman, sehingga dengan demikian mengurangi

kemungkinan dampak negatif pencegahan ialah langkah-langkah yang dilakukan

untuk menghilangkan sama sekali atau mengurangi secara drastis akibat dari

ancaman melalui pengendalian dan pengubahsuaian fisik dan lingkungan.

Tindakan-tindakan ini bertujuan untuk menekan penyebab ancaman dengan cara

mengurangi tekanan, mengatur dan menyebarkan energi atau material ke wilayah

yang lebih luas atau melalui waktu yang lebih panjang.

Kejadian bencana terhadap kehidupan dengan cara-cara alternatif yang lebih

dapat diterima secara ekologi. Kegiatan-kegiatan mitigasi termasuk

tindakantindakan non-rekayasa seperti upaya-upaya peraturan dan pengaturan,

pemberian sangsi dan penghargaan untuk mendorong perilaku yang lebih tepat, dan

upaya-upaya penyuluhan dan penyediaan informasi untuk memungkinkan orang

27
mengambil keputusan yang berkesadaran. Upaya-upaya rekayasa termasuk

pananaman modal untuk bangunan struktur tahan ancaman bencana dan/atau

perbaikan struktur yang sudah ada supaya lebih tahan ancaman bencana.

c. Kesiapsiagaan

Fase Kesiapsiagaan adalah fase dimana dilakukan persiapan yang baik dengan

memikirkan berbagai tindakan untuk meminimalisir kerugian yang ditimbulkan

akibat terjadinya bencana dan menyusun perencanaan agar dapat melakukan

kegiatan pertolongan serta perawatan yang efektif pada saat terjadi bencana.

Tindakan terhadap bencana menurut PBB ada 9 kerangka, yaitu 1. pengkajian

terhadap kerentanan, 2. membuat perencanaan (pencegahan bencana), 3. pengor-

ganisasian, 4. sistem informasi, 5. pengumpulan sumber daya, 6. sistem alarm, 7.

mekanisme tindakan, 8. pendidikan dan pelatihan penduduk, 9. gladi resik.

2.3.2 Saat Bencana

Dari sudut pandang pelayanan medis, bencana lebih dipersempit lagi dengan

membaginya menjadi “Fase Akut” dan “Fase Sub Akut”. Dalam Fase Akut, 48 jam

pertama sejak bencana terjadi disebut “fase penyelamatan dan pertolongan/pelayanan

medis darurat”. Pada fase ini dilakukan penyelamatan dan pertolongan serta tindakan

medis darurat terhadap orang-orang yang terluka akibat bencana. Kira-kira satu minggu

sejak terjadinya bencana disebut dengan “Fase Akut”. Dalam fase ini, selain tindakan

“penyelamatan dan pertolongan/pelayanan medis darurat”, dilakukan juga perawatan

terhadap orang-orang yang terluka pada saat mengungsi atau dievakuasi, serta dilakukan

tindakan-tindakan terhadap munculnya permasalahan kesehatan selama dalam

pengungsian.

2.3.3 Setelah Bencana

a. Fase Pemulihan

28
Fase Pemulihan sulit dibedakan secara akurat dari dan sampai kapan, tetapi fase

ini merupakan fase dimana individu atau masyarakat dengan kemampuannya

sendiri dapat memulihkan fungsinya seperti sedia kala (sebelum terjadi bencana).

Orang-orang melakukan perbaikan darurat tempat tinggalnya, pindah ke rumah

sementara, mulai masuk sekolah ataupun bekerja kembali sambil memulihkan

lingkungan tempat tinggalnya. Kemudian mulai dilakukan rehabilitasi lifeline dan

aktivitas untuk membuka kembali usahanya. Institusi pemerintah juga mulai

memberikan kembali pelayanan secara normal serta mulai menyusun rencana-

rencana untuk rekonstruksi sambil terus memberikan bantuan kepada para korban.

Fase ini bagaimanapun juga hanya merupakan fase pemulihan dan tidak sampai

mengembalikan fungsi-fungsi normal seperti sebelum bencana terjadi. Dengan kata

lain, fase ini merupakan masa peralihan dari kondisi darurat ke kondisi tenang.

b. Fase Rekonstruksi/Rehabilitasi

Jangka waktu Fase Rekonstruksi/Rehabilitasi juga tidak dapat ditentukan,

namun ini merupakan fase dimana individu atau masyarakat berusaha

mengembalikan fungsifungsinya seperti sebelum bencana dan merencanakan

rehabilitasi terhadap seluruh komunitas. Tetapi, seseorang atau masyarakat tidak

dapat kembali pada keadaan yang sama seperti sebelum mengalami bencana,

sehingga dengan menggunakan pengalamannya tersebut diharapkan kehidupan

individu serta keadaan komunitas pun dapat dikembangkan secara progresif.

2.4 Kegawatdaruratan Medis dalam Bencana

Manajemen kegawatdaruratan bencana secara umum

Pertolongan pertama dapat diberikan di lokasi seperti berikut:

1. Lokasi bencana, sebelum korban dipindahkan.

2. Tempat penampungan sementara

29
3. Pada “tempat hijau” dari pos medis lanjutan

4. Dalam ambulans saat korban dipindahkan ke fasilitas kesehatan

Pertolongan pertama yang diberikan pada korban dapat berupa kontrol jalan napas,

fungsi pernapasan dan jantung, pengawasan posisi korban, kontrol perdarahan, imobilisasi

fraktur, pembalutan dan usaha-usaha untuk membuat korban merasa lebih nyaman. Harus

selalu diingat bahwa, bila korban masih berada di lokasi yang paling penting adalah

memindahkan korban sesegera mungkin, membawa korban gawat darurat ke pos medis

lanjutan sambil melakukan usaha pertolongan pertama utama, seperti mempertahankan jalan

napas, dan kontrol perdarahan. Resusitasi Kardiopulmoner tidak boleh dilakukan di lokasi

kecelakaan pada bencana massal karena membutuhkan waktu dan tenaga.

Pos medis lanjutan kemudian didirikan sebagai upaya untuk menurunkan jumlah

kematian dengan memberikan perawatan efektif (stabilisasi) terhadap korban secepat

mungkin. Upaya stabilisasi korban mencakup intubasi, trakeostomi, pemasangan drain

thoraks, pemasangan ventilator, penatalaksanaan syok secara medikamentosa, analgesia,

pemberian infus, fasiotomi, imobilisasi fraktur, pembalutan luka, pencucian luka bakar.

Fungsi pos medis lanjutan ini dapat disingkat menjadi “Three ‘T’ rule” (Tag, Treat, Transfer)

atau hukum tiga (label, rawat, evakuasi).

Gambar 7 Pos pelayanan medis lanjutan dasar

Tempat perawatan ini dibagi lagi menjadi:

1. Tempat perawatan korban gawat darurat (korban yang diberi tanda dengan label merah

dan kuning). Lokasi ini merupakan proporsi terbesar dari seluruh tempat perawatan.

30
2. Tempat perawatan bagi korban nongawat darurat (korban yang diberi tanda dengan

label hijau dan hitam).

Gambar 8 Pos pelayanan medis lanjutan standar

Jika bencana yang terjadi mempunyai beberapa daerah pusat bencana, di setiap daerah

pusat bencana tersebut harus didirikan pos medis lanjutan. Dengan adanya beberapa pos

medis lanjutan ini pemindahan korban ke sarana kesehatan penerima harus dilakukan secara

terkoordinasi agar pemindahan tersebut dapat berjalan secara efisien.

Untuk mencapai efisiensi ini korban yang berasal dari berbagai pos medis lanjutan akan

dipindahkan ke satu tempat dengan fasilitas stabilisasi dan evakuasi yang lebih baik, dimana

dari tempat ini transfer selanjutnya akan dikoordinasi. Tempat penampungan korban sebelum

pemindahan ini disebut sebagai Pos Penatalaksanaan Evakuasi yang dapat berupa sebuah

“Rumah Sakit Lapangan”, Poliklinik, Rumah Sakit tipe B, atau fasilitas sejenis.

Pada beberapa keadaan tertentu seperti jika daya tampung Rumah Sakit terlampaui, atau

korban membutuhkan perawatan khusus (mis., bedah saraf), korban harus dipindahkan ke

Rumah Sakit lain yang menyediakan fasilitas yang diperlukan penderita. Pemindahan seperti

ini dapat dilakukan ke Rumah Sakit lain dalam satu wilayah, ke daerah atau provinsi lain,

atau bahkan ke negara lain. Pelayanan medis spesialistik, seperti bedah saraf, mungkin

tersedia pada rumah sakit di luar area bencana. Namun, evakuasi medis semacam ini harus

dengan hati-hati dikontrol dan terbatas bagi pasien yang memerlukan penanganan

spesialistik yang tidak tersedia pada area bencana. Kebijakan mengenai evakuasi harus

distandardisasi diantara tenaga kesehatan yang memberikan bantuan pemulihan di area

31
bencana, dan kepada rumah sakit yang akan menerima pasien. Rumah sakit darurat yang

dilengkapi petugas dan mandiri, dari pihak pemerintah, militer, palang merah atau pihak

swasta didalam negeri atau dari negara tetangga yang memiliki kultur dan Bahasa yang sama,

dapat dipertimbangkan penggunaannya dalam kasus yang ekstrim tetapi lihat masalah yang

potensial. Rumah sakit didaftarkan sesuai dengan lokasi geografiknya, dimulai dari yang

terdekat dengan lokasi bencana

32
BAB III

PENUTUP

Kejadian gawat darurat tentunya tidak bisa kita prediksi, kapanpun dan dimanapun

seseorang dapat mengalami kejadian kegawatdaruratan yang membutuhkan pertolongan

segera. Keterlambatan dalam penanganan dapat berakibat kecacatan fisik atau bahkan sampai

kematian. Kondisi ini memerlukan penanganan gawat darurat yang tepat dan segera, sehingga

pertolongan pertama pada korban/pasien dapat dilakukan secara optimal. Setiap tim

kesehatan baik perawat, dokter, dan tim kesehatan lainnya harus memahami konsep

manajemen bencana, dimulai dari definisi bencana, klasifikasi bencana, siklus manajemen

penanggulangan bencana yang menjadi dasar bagi tim bencana termasuk tim kesehatan untuk

melakukan perencanaan selama fase pra bencana, bencana, dan paska bencana.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Maulana S, Nugraha BA. Kompetensi Mahasiswa Keperawatan Bencana: Tinjauan


Literatur. J Penelit Perawat Prof. 2021;3(1):143–52.
2. Erita, Mahendra D, MRL.Batu A. Manajemen gawat darurat dan bencana. Jakarta:
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA; 2019. 148 p.
3. Prof. DR. Dr. Aryono D. Pusponegoro S (K)BD/ T, Dr. Achmad Sujudi SBM.
KEGAWATDARURATAN DAN BENCANA: Solusi dan Petunjuk Teknis
Penanggulangan Medik & Kesehatan [Internet]. 2016 [cited 2021 Sep 27]. Available
from: https://books.google.co.id/books?
hl=en&lr=&id=28fbDwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PP1&dq=kegawatan+medis+bencana
&ots=eMAYrXHr6a&sig=StuLM1ivwVNeJNEc_pc12m1B_mE&redir_esc=y#v=one
page&q&f=false
4. FATATUN ID. Penanganan Kegawatdaruratan Medik Dalam Perspektif Negara
Kesejahteraan [Internet]. Universitas Islam Indonesia; 2018. Available from:
https://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/8194
5. Irfani QI. Bantuan Hidup Dasar. Vol. 46, Cdk-277. 2019.
6. Departemen Pendidikan Nasional K. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pusat
Bahasa [Internet]. 4th ed. Vol. 1, Journal of Materials Processing Technology. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama; 2008. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.cirp.2016.06.001%0Ahttp://dx.doi.org/10.1016/j.powtec.20
16.12.055%0Ahttps://doi.org/10.1016/j.ijfatigue.2019.02.006%0Ahttps://doi.org/10.10
16/j.matlet.2019.04.024%0Ahttps://doi.org/10.1016/j.matlet.2019.127252%0Ahttp://d
x.doi.o
7. Hamarno R. Keperawatan Kegawatdaruratan dan Manajemen Bencana. Kementrian
Kesehat Republik Indones. 2016;148:148–62.
8. Tyas MDC. Keperawatan Kegawatdaruratan & Manajemen Bencana. 2016;148:148–
62.
9. Tim Departemen KMB dan KGD. Modul Kegawatdaruratan dan Manajemen Bencana.
Kalimantan Timur; 2019.

34

Anda mungkin juga menyukai