Anda di halaman 1dari 13

CAPAIAN DAN TANTANGAN MAHKAMAH AGUNG DALAM

PERADILAN DI INDONESIA

LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA

Nama : Ricky Andrian

Nim : 19.2600.053

Prodi : Hukum Tata Negara

Fakultas : Syariah

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PAREPARE


2022
Proses reformasi peradilan telah berjalan sejak tahun 2003 dengan berbagai
terobosan, di antaranya penyusunan Cetak Biru Pembaruan Peradilan, pembentukan
Tim Pembaruan Peradilan yang beranggotakan perwakilan masyarakat sipil sebagai
motor penggerak perubahan, pembentukan kebijakan yang menjamin hak masyarakat
untuk memperoleh informasi, keterbukaan informasi melalui publikasi putusan, serta
penerapan sistem kamar di Mahkamah Agung (MA) untuk mencapai kesatuan hukum
dan konsistensi putusan. Pembaruan peradilan pada dasarnya bertujuan untuk
mewujudkan independensi peradilan agar mampu memberikan pelayanan yang
berkualitas dan aksesibel. Namun, meski berbagai terobosan telah dilakukan,
kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan termasuk di dalamnya Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan, dapat dikatakan belum
membaik.1 Lembaga peradilan masih berhadapan dengan beragam persoalan seperti
intervensi kepentingan yang membawa dugaan adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Proses peradilan yang masih panjang dan berbiaya tinggi juga menunjukan adanya
kesenjangan antara program pembaruan yang telah dilakukan dengan proses “justice
delivery”, hingga menuntut adanya perubahan pada produktivitas serta kualitas layanan
dan keluaran lembaga peradilan. Beranjak dari hal tersebut, Lembaga Kajian dan
Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) bersama dengan Indonesia Corruption Watch
(ICW), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Masyarakat Pemantau Peradilan
Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI), Pusat Studi Hukum
dan Kebijakan (PSHK), Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup
Anak (PUSKAPA), serta didukung Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ 2),
Judicial Sector Support Program (JSSP), USAID CEGAH, USAID MAJu (eMpowering
Access to Justice) dan EU-UNDP SUSTAIN-Program Mendukung Pembaruan
Peradilan Indonesia memandang perlu dilaksanakannya sebuah forum berskala besar,
1
Merujuk pada pada hasil jajak pendapat Kompas pada bulan April 2015, tingkat kepercayaan publik
terhadap lembaga peradilan hanya 60% atau menurun 11% jika dibandingkan pada Januari 2015 yang
berada dalam posisi 71%. Indonesian Legal Roundtable (ILR) melalui survey Indeks Negara Hukum
(INH) tahun 2015 mendefinisikan “kepercayaan publik” tersebut, di mana salah satu indikatornya adalah
lamanya penyelesaian sengketa di pengadilan. Hasilnya, 44% responden INH berpendapat bahwa
penyelesaian sengketa di pengadilan membutuhkan waktu yang sangat lama, terutama untuk perkara
perdata, karena pelayanan pengadilan yang masih berbelit-belit dan belum profesional. Sumber: Harian
Kompas, Toto Suryaningtyas, Jajak Pendapat “Kompas”; Wajah Lembaga yang Tercoreng Kasus, edisi
Senin 5 April 2015.
yang belum pernah ada sebelumnya, untuk mempertemukan lintas pemangku
kepentingan dalam pembaruan peradilan secara regular.2 Selain bertujuan untuk
mensosialisasikan program-program pembaruan peradilan dan sebagai media pertukaran
pengetahuan terkait kemajuan pembaruan peradilan di antara pemangku kepentingan,
forum bertajuk Indonesian Judicial Reform Forum (IJRF) atau Forum Pembaruan
Peradilan Indonesia ini juga berfungsi sebagai sarana untuk mengevaluasi dampak,
efektivitas, dan efisiensi program-program pembaruan yang telah dilaksanakan, baik
terhadap aparatur peradilan maupun publik sebagai pengguna layanan peradilan secara
lebih luas. IJRF 2018 mengangkat tema “Measuring the Impact of Legal Reform to the
Judicial Service Quality.” Pemilihan tema tersebut didasarkan pada pertimbangan:
pertama, penyelenggaraan IJRF 2018 merupakan penyelenggaraan yang pertama
kalinya, dan untuk itu diharapkan dapat meletakkan pondasi awal diskusi substansial
secara reguler (sedikitnya setiap dua tahun sekali) antara pelaksana dan pemangku
kepentingan pembaruan peradilan. Kedua, pelayanan peradilan merupakan sektor yang
paling sering bersinggungan dengan kepentingan publik, di mana faktor utama penentu
tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan didasarkan pada layanan yang
telah diberikan kepada publik.

Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan sebagaimana dimaksud pada pasal 1


UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia pasal 1 :

(1) Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.

(2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang


Dasar.

2
Pasca reformasi, terdapat forum serupa yang pernah diadakan yaitu Law Summit atau pertemuan pejabat
tinggi negara di bidang hukum dan peradilan yang bertujuan membangun persamaan persepsi antar
instansi penegak hukum guna mewujudkan pembaruan hukum. Law Summit terakhir (Law Summit III)
dilaksanakan tahun 2004 dengan dihadiri Ketua MA, Menteri Kehakiman dan HAM, Jaksa Agung,
Kapolri, Ketua Komisi Pemberantasai Korupsi (KPK), Ketua Komisi Hukum Nasional serta advokat
untuk menandatangani kesepakatan rancang tindak pembaruan lembaga-lembaga penegak hukum. Law
Summit tidak banyak melibatkan masyarakat sipil maupun lembaga pendidikan hukum dan organisasi
profesi. Hal inilah yang membedakannya IJRF dengan forum-forum yang pernah dilaksanakan
sebelumnya.
(3) Negara Indonesia adalah negara hukum yang berbentuk Republik didasarkan bukan
pada kekuasaan tapi didasarkan pada hukum. 3

Sesuai dengan pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Ayat (2)
Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung Republik Indonesia
dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum,
lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata
Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. 4

Sesuai dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, pada pasal 1 angka 1 dijelaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman
adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hokum dan keasilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum
Republik Indonesia. Dengan demikian kedudukan Mahkamah Agung menjadi salah satu
pilar utama dalam menjamin terlaksananya kepastian hukum negara ini. Pasal 18
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009, menyatakan bahwa
Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung RI dan Badan
Peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan
Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dalam rangka mewujudkan bahwa
Indonesia sebagai negara hukum maka penerapan prinsip-prinsip untuk memperoleh
keadilan dan kepastian hukum harus terbuka bebas untuk seluruh lapisan masyarakat,
setiap orang berhak memperoleh keadilan melalui proses peradilan yang independen
dan tidak memihak, karena setiap orang berhak memperoleh keadilan melalui proses
peradilan yang kompeten, independen dan tidak memihak berdasarkan hukum. Dalam
rangka menjunjung tinggi sifat kemandirian Hakim dalam memutus perkara, Hakim
bebas memutuskan berdasarkan fakta dan pemahamannya terhadap hukum tanpa
pengaruh; bujukan; tekanan; ancaman; atau intervensi dari pihak mana pun atau untuk
alasan apapun, dan peradilan independen dari pengaruh eksekutif dan legislatif, hakim
3
RENCANA STRATEGIS MAKAMAH AGUNG RI 2020-2024,
https://www.mahkamahagung.go.id/media/7546

4
RENCANA STRATEGIS MAKAMAH AGUNG RI 2020-2024,
https://www.mahkamahagung.go.id/media/7546
harus mendapatkan independensi personal dan independensi substantif. Independensi
personal mengartikan bahwa syarat dan kondisi pelayanan peradilan dijamin secara
memadai untuk memastikan bahwa Hakim tidak tunduk pada kontrol eksekutif.
Independensi substantif mengartikan bahwa dalam melaksanakan fungsi yudisialnya,
Hakim tidak tunduk pada apapun selain hukum dan hati nuraninya. Kekuasaan
kehakiman secara keseluruhan harus mendapatkan otonomi dan independensi kolektif
seperti halnya eksekutif. Badan peradilan dalam melaksanakan tugasnya menyelesaikan
perkara harus memutus dengan tidak memihak, berdasarkan fakta-fakta dan sesuai
dengan hukum, tanpa pembatasan; pengaruh yang tidak tepat; bujukan; tekanan;
ancaman atau intervensi baik langsung maupun tidak langsung dari pihak mana pun atau
untuk alasan apapun. Peradilan memiliki yurisdiksi terhadap isu hukum apapun dan
harus memiliki kewenangan eksklusif untuk memutuskan apakah isu yang diajukan
kepadanya sesuai dengan kompetensinya sebagaimana didefinisikan oleh hukum. Tidak
boleh ada campur tangan yang tidak pantas atau tidak beralasan dalam proses peradilan.
Hakim dalam melaksanakan tugasnya harus memastikan hak setiap orang untuk
mendapat proses peradilan yang adil, dalam waktu yang dapat dipertanggungjawabkan
oleh pengadilan yang independen dalam menentukan hak-hak sipil atau tindak pidana
yang akan dijatuhkan. Independensi Hakim sangat dibutuhkan untuk keadilan yang
tidak memihak berdasarkan hukum. Independensi peradilan merupakan prasyarat untuk
terwujudkan negara hukum dan jaminan fundamental terhadap peradilan yang adil.
Seorang hakim harus menjunjung tinggi independesi peradilan baik dari aspek individu
maupun institusi. 5

Sebagai salah satu Lembaga kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung mempunyai


Tugas sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 pasal 28 :

(1) Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus :

a. Permohonan kasasi;

b. Sengketa tentang kewenangan mengadili;

5
RENCANA STRATEGIS MAKAMAH AGUNG RI 2020-2024,
https://www.mahkamahagung.go.id/media/7546
c. Permohonan Peninjauan Kembali putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap6

Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam pasal 24C Undang Undang Dasar 1945,
yang dimaksud dengan lembaga lembaga Negara adalah Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK),
dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dengan demikian jelas bahwa lembaga Negara
adalah badan yang diatur dalam UUD 1945, yang kewenangannya diberikan oleh UUD
1945. Kantaprawira menyebutkan lembaga lembaga Negara ini sebagai mesostruktur
politik (struktur tengah politik),“ Mesostruktur politik boleh dikatakan struktur hibrida
(hybrid structure) yaitu bersifat setengah resmi dan juga setengah tak resmi, walau
dalam kenyataannya diberi atribut atribut formal dan kewenangan berlebih. Cornelis lay
“lebih cocok menggunakan istilah sampiran Negara mengemukakan bahwa komisi
Negara pertama –tama dan terutama hadir sebagai hasil inisiatif otonom dari Negara
dalam kerangka untuk memberikan perlindungan dan kepastian bagi public.”7

Lembaga semacam Komisi Yudisial di Negara lain

Dibeberapa Negara Komisi Yudisial merupakan hal yang wajar bahkan sudah menjadi
tuntutan dalam sebuah Negara demokrasi modern. Lembaga semacam Komisi Yudisial
di tiap tiap Negara berbeda. 8 Komisi Yudisial dinegara bagian California, Amerika
Serikat disebut State of CaliforniaCommission on Judicial Performance fungsinya
menerima laporan masyarakat terhadap pelanggaran dan misconduct dari hakim di
Negara bagian California, termasuk didalamnya melakukan investigasi dan
pendisiplinan. 9 Lembaga ini ( Commission on Judicial Performance ) dibentuk karena
adanya permasalahan- permasalahan mengenai prilaku hakim didalam maupun diluar
6
RENCANA STRATEGIS MAKAMAH AGUNG RI 2020-2024,
https://www.mahkamahagung.go.id/media/7546
7
Verri Octavian. S.H., M.H. KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL DALAM PENGAWASAN
TERHADAP PRILAKU HAKIM PASCA JUDICIAL REVIEW, Jurnal Surya Kencana Satu : Dinamika
Masalah Hukum dan Keadilan Vol. 10 No. 2 Oktober 2018
8
Thohari, Assegaf dalam Jurnal Hukum Jentera Edisi 2 tahun II Juni 2004, hlm. 5 – 17.

9
Rules of the commission on Judicial Performance dalam State of California Commission on Judicial
Performance 2000 Annual Report
sidang.10 Komisi Yudisial di Perancis disebut juga dengan Conseil Superieur De La
Magistrature yang mempunyai kewenangan dalam hal rekruitmen dan promosi hakim,
dilandasi pada pengalaman sering terjadinya politisasi dan skandalilsasi dalam proses
tersebut oleh menteriserta kewenangan pendisiplinan hakim.

Komisi Yudisial Afrika Selatan yang dinamai Judicial Service Commission dengan
fungsi memberikan rekomendasi dalam hal pemberhentian hakim, mengajukan calon
ketua Mahkamah Agung, dan memberikan masukan dalam hal pengankatan ketua serta
wakil ketua Mahkamah Konstitusi. Komisi Yudisial Philipina dinamai Judicial and Bar
Council yang berfungsi memberi rekomendasi kepada Presiden mengenai pengangkatan
hakim dan Komisi Ombudsman serta menjalankan tugas- tugas lain yang ditetapkan
oleh Mahkamah Agung. Komisi Yudisial di Belanda yang disebut dengan Raad Voor de
Rechpraak dan di Irlandia dinamai Court Service memiliki kewenangan dalam hal
perencanaan, pengalokasian dan pengawasan keuangan pengadilan yang dilandasi pada
pertimbangan bahwa selama ini fungsi tersebut tidak dapat dilakukan secara baik oleh
Menteri Kehakiman.11 Mengacu pada Undang – Undang Dasar 1945, kedudukan
Komisi Yudisial secara Struktural sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi, namun demikian meskipun secara structural sama kedudukannya sederajat
dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, tetapi secara fungsional,
peranannya bersifat penunjang (Auxiliary) terhadap lembaga kekuasaan kehakiman.
Meski secara tegas fungsi Komisi Yudisial terkait dengan kehakiman, namun tidak
menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial bukan lembaga penegak
Norma Hukum ( code of law) melainkan lembaga penegak norma etik (code of ethics).12

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PPU-IV/2006

Secara universal, kewenangan pengawasan komisi yudisial tidak menjangkau hakim


agung pada mahkamah agung, karena Komisi Yudisial adalah merupakan mitra dari
Mahkamah Agung dalam melakukan pengawasan terhadap para hakim pada badan
peradilan di semua lingkungan peradilan yang ada di bawah Mahkamah Agung ; Pasal

Partial Report of the Investigasi Joint Judiciary Committee on Administration of Justice on the
10

California Judiciary (Senate of the State of California,1959)


11
Voermans, Op.Cit., hlm. 26

12
Jimly Asshiddiqie, Op.Cit., hlm. 153 – 154.
32 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yang berbunyi
sebagi berikut :

1 Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan


peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman.

2 Mahkamah Agung mengawasai tingkah laku dan perbuatan pada Hakim di semua
lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya;

Adapun usul penjatuhan sanksi terhadap Hakim menurut Pasal 21 jo Pasal 23 ayat (3)
dan ayat (4) dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diserahkan kepada Mahkamah Agung
dan kepada Hakim yang akan dijatuhi sanksi pemberhentian diberi kesempatan untuk
membela diri dihadapan Majelis Kehormatan Hakim. Di samping itu khusus mengenai
usul pemberhentian terhadap Hakim Agung dilakukanoleh Ketua Mahkamah Agung
dan kepada Hakim Agung yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri
lebih dahulu dihadapan Majelis Kehormatan Mahkamah Agung sebagaimana diatur
dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
Sedangkan bagi Hakim Mahkamah Konstitusi usul pemberhentiannya dilakukan oleh
Ketua Mahkamah Konstitusi dan kepada Hakim Konstitusi yang bersangkutan diberi
kesempatan untuk membela diri lebih dahulu dihadapan Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (3) dan ayat (4)
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, tanpa campur
tangan dari Komisi Yudisial. Hal ini berbeda dengan Hakim pada badan peradilan
dibawah Mahkamah Agung selain mensyaratkan usul penjatuhan sanksi dari Komisi
Yudisial, juga Hakim yang bersangkutan diberi kesempatan lebih dahulu untuk
membela diri dihadapan Majelis Kehormatan Hakim.

Wewenang Komisi Yudisial sebelum dan sesudah adanya Putusan Mahkamah


Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006

Sebelum adanya keputusan dari Mahkamah Konstitusi

Komisi Yudisial merupakan amanat dari UUD 1945, di dalam pasal 24B ayat 1 UUD
1945 “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan mempunyai kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”. Jo pasal 13 Undang-Undang
No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial di muat tentang wewenang Komisi
Yudisial : Mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR ; dan Menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. 13

Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a,


Komisi Yudisial juga mempunyai tugas : Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;
seleksi terhadap calon Hakim Agung; Menetapkan calon Hakim Agung; Mengajukan
calon Hakim Agung kepada DPR. Di dalam pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2004 jelas diatur bahwa yang dapat mengajukan calon Hakim Agung kepada
Komisi Yudisial antara lain : Mahkmah Agung, Pemerintah dan Masyarakat. Dari
ketentuan tersebut dapat kita simpulkan bahwa calon Hakim Agung dapat
diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu : karir dan non karir. Ini membuka
kesempatan bahwa bilamana dibutuhkan maka seseorang dapat dicalonkan menjadi
Hakim Agung tidak berdasarkan system karir kepada Komisi Yudisial (pasal 7 ayat (2)
Undnag-Undang No. 5 tahun 2004). 14

Dan mengenai pasal 13 huruf b Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan


pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan
keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Ketentuan lebih lanjut secara khusus
mengenai pengawasan diatur diatas dalam pasal 22 Undang-undang Nomor 22 Tahun
2004 Komisi Yudisial menegaskan bahwa : Dalam melaksanakan pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Komisi Yudisial : Menerima laporan
masyarakat tentang perilaku hakim; Meminta laporan secara berkala kepada badan
peradilan berkaitan dengan perilaku hakim; Melakukan pemeriksaan terhadap dugaan
pelanggaran perilaku hakim; Memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang
diduga melanggar kode etik perilaku hakim ; dan Membuat laporan hasil pemeriksaan

13
Verri Octavian. S.H., M.H. KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL DALAM PENGAWASAN TERHADAP PRILAKU
HAKIM PASCA JUDICIAL REVIEW, Jurnal Surya Kencana Satu : Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan
Vol. 10 No. 2 Oktober 2018

14
Verri Octavian. S.H., M.H. KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL DALAM PENGAWASAN TERHADAP PRILAKU
HAKIM PASCA JUDICIAL REVIEW, Jurnal Surya Kencana Satu : Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan
Vol. 10 No. 2 Oktober 2018
yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau
Mahkamah Konstitusi, serta tindakannya disampaikan kepada Presiden dan DPR. 15

ASPEK REFLEKSI UMUM PEMBARUAN PERADILAN

1. Pembaruan peradilan di lembaga pengadilan (MA dan badan-badan peradilan di


bawahnya) dilaksanakan oleh MA sejak tahun 2000, dan selanjutnya dengan
dikoordinasikan oleh Tim Pembaruan yang dibentuk oleh Ketua MA pada tahun 2004.
Tim Pembaruan terdiri dari unsur internal dan eksternal MA. Unsur eksternal dikenal
sebagai Tim Asistensi Pembaruan yang terdiri dari perwakilan masyarakat sipil,
praktisi, dan akademisi.

2. Pembaruan peradilan di lembaga pengadilan telah menghasilkan beberapa produk


besar, antara lain: Cetak Biru Pembaruan MA Tahun 2003 dan berbagai Kertas Kerja
Pembaruan Peradilan pada tahun 2005, Cetak Biru Pembaruan Peradilan Tahun 2010,
dan penerapan Sistem Kamar di MA.

3. Cetak Biru Pembaruan MA Tahun 2003 dan Kertas Kerja Pembaruan Peradilan
Tahun 2005 disusun dengan melibatkan unsur internal dan eksternal MA. Cetak Biru
dan Kertas Kerja tersebut disusun untuk merespon perubahan konstitusi, perubahan
Undang-Undang (UU) MA, dan tuntutan terhadap pembaruan di tubuh MA, sekaligus
sebagai pedoman bagi MA dalam melaksanakan pembaruan peradilan.

4. Di tahun 2010, MA mengeluarkan cetak biru jilid dua, yaitu Cetak Biru Pembaruan
Peradilan yang cakupannya lebih luas. Tidak hanya menjangkau MA, tetapi juga
pengadilan-pengadian di bawahnya. Cetak Biru ini merumuskan fokus pembaruan
peradilan dalam 5 aspek yaitu: manajemen perkara, pengawasan, kediklatan,
manajemen Sumber Daya Manusia (SDM), aset, perencanaan, dan keuangan, serta
akses terhadap keadilan.

5. Untuk merespon tuntutan publik terhadap kesatuan hukum dan konsistensi putusan,
MA menerapkan Sistem Kamar di tahun 2011. Sistem Kamar membagi para hakim

15
Verri Octavian. S.H., M.H. KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL DALAM PENGAWASAN TERHADAP PRILAKU
HAKIM PASCA JUDICIAL REVIEW, Jurnal Surya Kencana Satu : Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan
Vol. 10 No. 2 Oktober 2018
agung ke dalam kamar-kamar perkara yang sesuai dengan latar belakang keahliannya, 16
dan para hakim agung tersebut hanya akan memeriksa perkara yang sesuai dengan latar
belakang keahliannya. Penerapan Sistem Kamar di MA telah berdampak positif pada
peningkatan keahlian/spesialisasi pengetahuan hakim agung dalam memeriksa perkara,
penurunan jumlah tunggakan perkara di MA, dan efisiensi manajemen perkara.17

DAFTAR PUSTAKA

Merujuk pada pada hasil jajak pendapat Kompas pada bulan April 2015, tingkat
kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan hanya 60% atau menurun 11% jika
dibandingkan pada Januari 2015 yang berada dalam posisi 71%. Indonesian Legal
Roundtable (ILR) melalui survey Indeks Negara Hukum (INH) tahun 2015
mendefinisikan “kepercayaan publik” tersebut, di mana salah satu indikatornya adalah
16
Sebelum Sistem Kamar diberlakukan, perkara di MA didistribusikan kepada Hakim-Hakim Agung
tanpa mempertimbangkan kesesuaian antara subtansi perkara dengan latar belakang keahlian Hakim
Agung yang bersangkutan. Misal: perkara pidana diperiksa oleh Hakim Agung berlatar belakang TUN.
17
Buku Capaian tantangan dan rekomendasi pembaruan peradilan, 2018
lamanya penyelesaian sengketa di pengadilan. Hasilnya, 44% responden INH
berpendapat bahwa penyelesaian sengketa di pengadilan membutuhkan waktu yang
sangat lama, terutama untuk perkara perdata, karena pelayanan pengadilan yang masih
berbelit-belit dan belum profesional. Sumber: Harian Kompas, Toto Suryaningtyas,
Jajak Pendapat “Kompas”; Wajah Lembaga yang Tercoreng Kasus, edisi Senin 5 April
2015.

Pasca reformasi, terdapat forum serupa yang pernah diadakan yaitu Law Summit atau
pertemuan pejabat tinggi negara di bidang hukum dan peradilan yang bertujuan
membangun persamaan persepsi antar instansi penegak hukum guna mewujudkan
pembaruan hukum. Law Summit terakhir (Law Summit III) dilaksanakan tahun 2004
dengan dihadiri Ketua MA, Menteri Kehakiman dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri,
Ketua Komisi Pemberantasai Korupsi (KPK), Ketua Komisi Hukum Nasional serta
advokat untuk menandatangani kesepakatan rancang tindak pembaruan lembaga-
lembaga penegak hukum. Law Summit tidak banyak melibatkan masyarakat sipil
maupun lembaga pendidikan hukum dan organisasi profesi. Hal inilah yang
membedakannya IJRF dengan forum-forum yang pernah dilaksanakan sebelumnya.

RENCANA STRATEGIS MAKAMAH AGUNG RI 2020-2024,


https://www.mahkamahagung.go.id/media/7546

Verri Octavian. S.H., M.H. KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL DALAM


PENGAWASAN TERHADAP PRILAKU HAKIM PASCA JUDICIAL REVIEW,
Jurnal Surya Kencana Satu : Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan Vol. 10 No. 2
Oktober 2018

Thohari, Assegaf dalam Jurnal Hukum Jentera Edisi 2 tahun II Juni 2004, hlm. 5 – 17.

Rules of the commission on Judicial Performance dalam State of California


Commission on Judicial Performance 2000 Annual Report

Partial Report of the Investigasi Joint Judiciary Committee on Administration of Justice


on the California Judiciary (Senate of the State of California,1959)

Voermans, Op.Cit., hlm. 26

Jimly Asshiddiqie, Op.Cit., hlm. 153 – 154.

Sebelum Sistem Kamar diberlakukan, perkara di MA didistribusikan kepada Hakim-


Hakim Agung tanpa mempertimbangkan kesesuaian antara subtansi perkara dengan
latar belakang keahlian Hakim Agung yang bersangkutan. Misal: perkara pidana
diperiksa oleh Hakim Agung berlatar belakang TUN.
Buku Capaian tantangan dan rekomendasi pembaruan peradilan, 2018

Anda mungkin juga menyukai