Anda di halaman 1dari 306

STRATEGI GURU DALAM PENINGKATAN MUTU PEMBELAJARAN

BAGI SISWA BERKEBUTUHAN KHUSUS


(Studi Multisitus di Madrasah Ibtidaiyah Terpadu Ar-Roihan Lawang dan
Sekolah Dasar Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” Malang)

TESIS

Oleh:
SIGIT PRIATMOKO
NIM 14761025

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2017

i
STRATEGI GURU DALAM PENINGKATAN MUTU PEMBELAJARAN
BAGI SISWA BERKEBUTUHAN KHUSUS
(Studi Multisitus di Madrasah Ibtidaiyah Terpadu Ar-Roihan Lawang dan
Sekolah Dasar Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” Malang)

Tesis
Diajukan kepada
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
Menyelesaikan Magister Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah

OLEH:
SIGIT PRIATMOKO
NIM 14761025

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2017

ii
LEMBAR PERSETUJUAN UJIAN TESIS

Tesis dengan judul “Strategi Guru dalam Peningkatan Mutu Pembelajaran Bagi

Siswa Berkebutuhan Khusus (Studi Multisitus di Madrasah Ibtidaiyah Terpadu

Ar-Roihan Lawang dan Sekolah Dasar Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman”

Malang)” ini telah diperiksa dan disetujui untuk diuji.

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. H. Baharuddin, M.Pd.I Dr. Muhammad Walid, M.A


NIP. 19561231 198303 1 032 NIP. 19730823 200003 1 002

Mengetahui,
Ketua Program Studi Magister Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah

Dr. H. Suaib H. Muhammad, M.Ag


NIP: 19571231 198603 1 028

iii
LEMBAR PENGESAHAN

Tesis dengan judul “Strategi Guru dalam Peningkatan Mutu Pembelajaran Bagi
Siswa Berkebutuhan Khusus (Studi Multisitus di Madrasah Ibtidaiyah Terpadu
Ar-Roihan Lawang dan Sekolah Dasar Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman”
Malang)” ini telah diuji dan dipertahankan di depan sidang dewan penguji pada
tanggal 8 Pebruari 2017.

Dewan Penguji,

Ketua Sidang,
Dr. Samsul Susilawati, M.Pd. : _____________________________
NIP. 19760619 200501 2 005

Penguji Utama,
H. Djoko Susanto, M.Ed, Ph.D. : _____________________________
NIP.

Angota,
Prof. Dr. H. Baharuddin, M.Pd.I. : _____________________________
NIP. 19561231 198303 1 032

Angota,
Dr. Muhammad Walid, MA. : _____________________________
NIP. 19730823 200003 1 002

Mengetahui,
Direktur Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Prof. Dr. H. Baharuddin, M.Pd.I.


NIP. 19561231 198303 1 032

iv
PERSEMBAHAN

Segala puji bagi Allah SWT, atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga karya ini
dapat diselesaikan. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan
keharibaan Rasulullah SAW.

Teriring do‟a, rasa syukur dan dengan segenap kerendahan hati


kupersembahkan karya ini untuk orang-orang istimewa yang telah mengisi dan
mewarnai hidupku.

Yang tercinta kedua orang tuaku Bapak Adi dan Almarhumah Ibu Suminten, yang
telah mendidik dan membesarkanku dengan penuh cinta kasih, yang selalu
mengingatkan dan memberi dukungan kepadaku, yang tak pernah lelah selalu
mengiringi langkahku dengan do‟a-do‟a.

Saudara-saudaraku Mas Sungkono, Mas Sutrisno, Mbak Sri Amah, Siti Nur
Azizah, Hartono, Sriwijayati, Khoirur Roziqin, dan keponakan-keponakanku
Shofa Qolbiyatun Nurul Lathifah, Anggita Trismawati, Angga, dan Azharil
Fauzan, serta Syifaaiyatul Maftuukhah yang selalu memberikan semangat,
motivasi, dan dukungan yang tak terhingga.

Sahabat-sahabat seperjuangan
Para Guru dan Dosen
Almamater tercinta UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

v
MOTTO

    

“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (Q.S. Al-Insyirah: 6)1

1
Q.S. Al-Insyirah (94): 6

vi
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS PENELITIAN

vii
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, penulis ucapkan atas limpahan rahmat dan

bimbingan Allah SWT, tesis yang berjudul Strategi Guru dalam Peningkatan

Mutu Pembelajaran Bagi Siswa Berkebutuhan Khusus (Studi Multisitus di

Madrasah Ibtidaiyah Terpadu Ar-Roihan Lawang dan Sekolah Dasar

Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” Malang) Tahun Pelajaran 2016/2017

dapat terselesaikan dengan baik, semoga dapat berguna dan bermanfaat. Sholawat

serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad

SAW yang telah membimbing manusia ke arah jalan kebenaran dan kebaikan.

Selanjutnya, penulis sampaikan terima kasih dan penghargaan yang

setinggi-tingginya kepada pihak-pihak yang telah membantu dan memberikan

dukungan kepada penulis, khususnya kepada:

1. Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, Prof. Dr.

H. Mudjia Raharjo, M.Si dan Para Wakil Rektor.

2. Direktur Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim

Malang, Prof. Dr. H. Baharuddin, M.Pd.I, atas segala layanan dan fasilitas

yang telah diberikan selama penulis menempuh studi.

3. Ketua Program Studi Magister Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah

(PGMI), Dr. H. Suaib H. Muhammad, M.Ag, atas segala bimbingan, layanan,

dan segala fasilitas yang diberikan selama studi di Program Magister PGMI

Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

viii
4. Dosen pembimbing I Prof. Dr. H. Baharuddin, M.Pd.I dan dosen pembimbing

II Dr. Muhammad Walid, M.A, yang telah meluangkan banyak waktu untuk

memberikan motivasi, bimbingan, dan saran kepada penulis dalam

melakukan penelitian dan penyelesaian tesis ini.

5. Semua Staf Pengajar atau Dosen dan Semua Staf Tata Usaha Pascasarjana

Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, yang tidak

mungkin disebutkan satu per satu, yang telah banyak memberikan wawasan

keilmuan dan kemudahan selama menjalani studi.

6. Kepala Madrasah Lailil Qomariyah, S.Pd.I, Para Guru Kelas dan Guru

Pendamping Khusus (GPK) Kelas V, serta Staf Tata Usaha MIT Ar-Roihan

Kecamatan Lawang, yang telah memberikan akses untuk mendapatkan

informasi dalam upaya mendukung penelitian ini.

7. Kepala Sekolah Sony Darmawan, S.Pd, Para Guru Kelas dan Guru

Pendamping Khusus (GPK) Kelas V, serta Staf Tata Usaha SD

Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” Malang, yang telah memberikan

akses untuk mendapatkan informasi dalam upaya mendukung penelitian ini.

8. Kedua orang tua Ayahanda Adi dan Ibunda Suminten (Almarhumah) dan

saudara-saudaraku Sungkono, Hartutik, Sutrisno, Sri Ammah, Hartono, Siti

Nur Azizah, Azharil Fauzan, dan Sri Wijayati, serta Syifaaiyatul Maftuukhah,

yang tidak henti-hentinya memberikan motivasi, bantuan materiil, dan do‟a,

sehingga menjadi dorongan dalam menyelesaikan studi.

9. Bapak Dr. H. M. Ilyas Thohari, M.Pd. dan Ibu Dr. Hj. Mufidah Ch, M.Ag.

sekeluarga, Mas Ahmad Hafidh Azkia Alam, Mbak Katniar Pungkas Pinasti,

ix
Mbak Navisan Najia, Mas Naja Ikmal Najib, Mbak Izza Abhan Najida, dan si

kriwul Ahda Maula Estungkara, atas semua dukungan baik materiil, maupun

semangat yang diberikan.

10. Teman-teman seperjuangan Kelas A Magister PGMI Angkatan 2015 UIN

Maulana Malik Ibrahim yang selalu ceria dan kompak; Samsul Hadi Rahman

(Gendut), M. Taufiq Ansyori (Tuan Guru), Nurilah (IL), M. Azhar (Ega), M.

Syaiful, Syarifuddin, Lailil Mukarromah (Omah), Maria Ulfa (Maria), Nur

Rohmah (Nurman), Hefilia Anis Permatasari (Hepi), Syifaaiyatul Maftuukhah

(Cipa‟), Lely Lestari, Umi Fatmayanti, Nur Hasanah, Neny Qurrota A‟yun,

dan Wiwit Agustin Parnadi Kartiwi (Husna).

11. Teman-teman volunteer dan Keluarga Besar LP2M UIN Maulana Malik

Ibrahim, Mas Hasan, Mas Faizar, Mas Miftahus Sholehuddin, Mbak Novi

Sulistyowati, Mbak Puji Lestari, Moh Afifuddin, dan semua teman-teman

volunteer yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu.

Semoga Allah SWT membalas semua amal ibadah yang telah dilakukan

dengan ikhlas atas dukungan dan bimbingan pihak-pihak tersebut selama

penulisan tesis ini. Akhir kata, penulis berharap agar tesis ini dapat bermanfaat

bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis pada khususnya.

Malang, 20 Januari 2017


Penulis,

Sigit Priatmoko

x
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN

Penulisan transliterasi Arab-Latin dalam tesis ini menggunakan pedoman

transliterasi berdasarkan keputusan bersama Menteri Agama RI dan Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 158 Tahun 1987 dan No. 0543 b/U/1987

yang secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut:

A. Huruf

‫ا‬ = a ‫ز‬ = z ‫ق‬ = q

‫ب‬ = b ‫س‬ = s ‫ك‬ = k

‫ت‬ = c ‫ش‬ = sy ‫ل‬ = l

‫ث‬ = ts ‫ص‬ = sh ‫م‬ = m

‫ج‬ = j ‫ض‬ = di ‫ن‬ = n

‫ح‬ = h ‫ط‬ = th ‫و‬ = w

‫خ‬ = kh ‫ظ‬ = zh ‫ه‬ = h

‫د‬ = d ‫ع‬ = „ ‫ء‬ = „

‫ذ‬ = dz ‫غ‬ = gh ‫ي‬ = y

‫ر‬ = r ‫ف‬ = f

B. Vokal Panjang C. Vokal Diftong

Vokal (a) panjang =â ‫ = اًّا ْوو‬aw

Vokal (i) panjang =î ‫ = اًّا ْو‬ay


‫ي‬

Vokal (u) panjang =ŭ ‫ = اًّا ُوو‬ŭ

‫ي‬
‫ = اِا ْو‬î

xi
DAFTAR ISI

Halaman
Halaman Sampul ...................................................................................... i
Halaman Judul .......................................................................................... ii
Halaman Persetujuan ................................................................................ iii
Halaman Pengesahan ................................................................................ iv
Halaman Persembahan ............................................................................. v
Motto ........................................................................................................ vi
Surat Pernyataan Originalitas Penelitian .................................................. vii
Kata Pengantar ......................................................................................... x
Pedoman Transliterasi Arab Latin ........................................................... xi
Daftar Isi.................................................................................................... xiv
Daftar Tabel ............................................................................................. xv
Daftar Gambar .......................................................................................... xvi
Daftar Lampiran ....................................................................................... xvii
Abstrak ..................................................................................................... xviii

BAB I : PENDAHULUAN
A. Konteks Penelitian .............................................................. 1
B. Fokus Penelitian .................................................................. 8
C. Tujuan Penelitian ................................................................ 9
D. Manfaat Penelitian .............................................................. 9
E. Orisinalitas Penelitian ......................................................... 11
F. Definisi Istilah ..................................................................... 19

BAB II : KAJIAN PUSTAKA


A. Kajian Teori dalam Perspektif Islam .................................. 21
1. Strategi Guru dalam Pembelajaran Siswa
Berkebutuhan Khusus .................................................. 21
2. Peningkatan Mutu Pembelajaran .................................. 25
3. Pembelajaran Bagi Siswa Berkebutuhan Khusus ......... 30
B. Landasan Teoritik
1. Strategi Guru dalam Pembelajaran Siswa
Berkebutuhan Khusus .................................................. 33
1. Pengertian Strategi Guru dalam Pembelajaran ..... 33
2. Strategi Guru dalam Pembelajaran Siswa
Berkebutuhan Khusus ........................................... 35
2. Peningkatan Mutu Pembelajaran ................................ 38
1. Pengertian Mutu Pembelajaran ............................. 38
2. Indikator Mutu Pembelajaran ............................... 42
3. Strategi Peningkatan Mutu Pembelajaran ............. 47
3. Pembelajaran Siswa Berkebutuhan Khusus ................. 56
1. Siswa Berkebutuhan Khusus ................................ 56

xii
2.
Perencanaan Pembelajaran Siswa Berkebutuhan
Khusus .................................................................. 65
3. Pelaksanaan Pembelajaran Siswa Berkebutuhan
Khusus .................................................................. 77
4. Evaluasi Pembelajaran Siswa Berkebutuhan
Khusus .................................................................. 80
4. Peningkatan Mutu Pembelajaran Siswa Berkebutuhan
Khusus ......................................................................... 81
C. Kerangka Penelitian ............................................................ 86

BAB III : METODE PENELITIAN


A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ....................................... 89
B. Kehadiran Peneliti ............................................................ 90
C. Latar Penelitian ................................................................. 91
D. Data dan Sumber Data ...................................................... 92
E. Teknik Pengumpulan Data ............................................... 94
F. Teknik Analisis Data ........................................................ 97
G. Pengecekan Keabsahan Data ............................................ 103

BAB IV : PAPARAN DATA DAN TEMUAN


A. Paparan Data dan Temuan Situs I di MIT Ar-Roihan ........ 103
1. Profil MIT Ar-Roihan .................................................. 103
2. Pembelajaran Siswa Berkebutuhan Khusus ................. 107
3. Strategi Guru dalam Peningkatan Mutu Pembelajaran
bagi Siswa Berkebutuhan Khusus ............................... 117
4. Kendala Peningkatan Mutu Pembelajaran bagi Siswa
Berkebutuhan Khusus .................................................. 125
5. Temuan Penelitian Situs II di MIT Ar-Roihan ............ 127
B. Paparan Data dan Temuan Situs II di SD Muhammadiyah
9 “Panglima Sudirman” ...................................................... 133
1. Profil SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” .... 133
2. Pembelajaran Siswa Berkebutuhan Khusus ................. 136
3. Strategi Guru dalam Peningkatan Mutu Pembelajaran
Siswa Berkebutuhan Khusus ....................................... 143
4. Kendala Penigkatan Mutu Pembelajaran bagi Siswa
Berkebutuhan Khusus .................................................. 153
5. Temuan Penelitian Situs I di SD Muhammadiyah 9
“Panglima Sudirman” Malang ..................................... 157
C. Analisis Lintas Situs di MIT Ar-Roihan dan SD
Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” Malang .............. 164

BAB V : PEMBAHASAN
A. Pembelajaran Bagi Siswa Berkebutuhan Khusus ............... 176
B. Strategi Guru dalam Peningkatan Mutu Pembelajaran
Siswa Berkebutuhan Khusus .............................................. 190

xiii
C. Kendala Peningkatan Mutu Pembelajaran Siswa
Berkebutuhan Khusus ......................................................... 204

BAB VI : PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................... 214
B. Saran ................................................................................... 215

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN

xiv
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1.1 Orisinalitas Penelitian ................................................................................. 16

2.1 Perbandingan Metode Pembelajaran Berbasis Model Co-Teaching ........... 36

2.2 Tahapan Pembelajaran Sesuai Ranah Pencapaian Kompetensi .................. 52

2.3 Perbedaan langkah penyusunan IEP menurut Kitano dan Kirby dan
NCSE ......................................................................................................... 76

2.4 Perbedaan PPI dan RPP .............................................................................. 77

4.1 Temuan Situs I di MIT Ar-Roihan .............................................................. 135

4.2 Daftar Prestasi Siswa SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” .......... 137

4.3 Temuan Situs II di SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” .............. 165

4.4 Analisis Lintas Situs.................................................................................... 175

5.1 Perbedaan Langkah Penyusunan IEP .......................................................... 182

5.2 Budaya Religius di MIT Ar-Roihan dan SD Muhammadiyah 9 “Panglima


Sudirman” .................................................................................................. 206

xv
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
2.1 Islamic Tasawwur in Quality Management ................................................ 28

2.2 Pedoman Pendekatan Manajemen Mutu dalam Perspektif Islam ............... 30

2.3 Kerangka Penelitian ................................................................................... 88

3.1 Model Analisis Interaktif Miles dan Huberman.......................................... 99

3.2 Model Analisis Lintas Situs ........................................................................ 102

4.1 Grafik Perkembangan MIT Ar-Roihan ....................................................... 105

4.2 GPK Melakukan Bimbingan Individual Kepada Siswa Berkebutuhan


Khusus ....................................................................................................... 122
4.3 Beberapa Media Visual yang Digunakan Guru ........................................... 123

4.4 Kondisi Perpustakaan MIT Ar-Roihan ....................................................... 129

4.5 Siswa Berkebutuhan Khusus Memimpin Kelompoknya Mempresentasikan


Hasil Diskusi .............................................................................................. 143

4.6 Media Pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas V Al-Mughni.................. 148

4.7 Guru Memberikan Bimbingan Individual Kepada Siswa Berkebutuhan


Khusus......................................................................................................... 149

4.8 Catatan Hasil Rapat Koordinasi Guru Kelas V ........................................... 153

xvi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman
1. Surat Izin Penelitian di MIT Ar-Roihan ..................................................... 223
2. Surat Izin Penelitian di SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” .........224
3. Surat Keterangan Penelitian di MIT Ar-Roihan ..........................................225
4. Surat Izin Penelitian di SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” .........226
5. Profil MIT Ar-Roihan Lawang ....................................................................227
6. Profil SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” ....................................229
7. Lembar Observasi ........................................................................................234
8. Pedoman Wawancara ...................................................................................236
9. Transkrip Wawancara MIT Ar-Roihan Lawang ..........................................237
10. Transkrip Wawancara SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” ...........257
11. Instrumen Dokumentasi ...............................................................................281
12. Foto Dokumentasi MIT Ar-Roihan Lawang ................................................282
13. Foto Dokumentasi SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” ................284
14. Riwayat Hidup Peneliti ................................................................................286

xvii
ABSTRAK

Priatmoko, Sigit. 2017. Strategi Guru dalam Peningkatan Mutu Pembelajaran


bagi Siswa Berkebutuhan Khusus (Studi Multisitus di Madrasah Ibtidaiyah
Terpadu Ar-Roihan Lawang dan Sekolah Dasar Muhammadiyah 9
“Panglima Sudirman” Malang). Tesis, Program Studi Magister
Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah Pascasarjana Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Pembimbing Tesis: (I) Prof. Dr.
H. Baharuddin, M.Pd.I. (II) Dr. Muhammad Walid, M.A.
Kata Kunci: Strategi Guru, Peningkatan Mutu Pembelajaran, Siswa
Berkebutuhan Khusus
Penelitian ini bertujuan untuk memahami: (1) pelaksanaan
pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus, (2) strategi guru dalam
meningkatkan mutu pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus, dan
(3) kendala peningkatan mutu pembelajaran bagi siswa berkebutuhan
khusus.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif jenis studi kasus
dengan rancangan multisitus. Teknik pengumpulan data menggunakan
wawancara, observasi, dan dokumentasi. Data dianalisis menggunakan
model analisis interaktif yang terdiri dari data collection, data reduction,
data display, dan conclusion. Pengecekan keabsahan data dilakukan
dengan triangulasi sumber data, triangulasi teknik pengumpulan data, dan
pengecekan anggota.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) pelaksanaan
pembelajaran siswa berkebutuhan khusus di MIT Ar-Roihan menerapkan
layanan pendidikan individualisasi, sedangkan di SD Muhammadiyah 9
“Panglima Sudirman” menggunakan layanan pendidikan penuh. (2)
strategi guru untuk meningkatkan mutu pembelajaran di MIT Ar-Roihan
antara lain; penyederhanaan materi, bimbingan individual, penggunaan
media pembelajaran, meningkatkan motivasi belajar siswa, mengikuti
pelatihan, membiasakan siswa mandiri, memberikan target capaian belajar,
menjalin kerjasama dengan orangtua. Sedangkan di SD Muhammadiyah 9
“Panglima Sudirman” meliputi; penyederhanaan materi, sosialisasi kepada
siswa reguler dan orangtua, penggunaan media pembelajaran, bimbingan
individual, meningkatkan motivasi belajar, koordinasi antar guru,
mengikuti kegiatan Up-Grading, menjalin kerjasama dengan orangtua
siswa, dan menciptakan lingkungan belajar yang inklusif, (3) kendala
peningkatan mutu pembelajaran siswa berkebutuhan khusus di MIT Ar-
Roihan meliputi; kesulitan berkomunikasi dengan siswa, sikap apatis
beberapa siswa reguler dan orangtua, kurangnya peran aktif orangtua,
minimnya fasilitas penunjang. Sedangkan di SD Muhammadiyah 9
“Panglima Sudirman” meliputi; kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM),
minimnya fasilitas penunjang, kurangnya peran aktif orangtua, belum ada
bahan ajar khusus ABK, sikap apatis sebagian siswa dan orangtua, dan
ukuran ruang sumber/inklusi belum representatif.

xviii
ABSTRACT
Priatmoko, Sigit. 2017. Teacher's Strategy in Improving Students‟ Learning
Qualityfor Special Needs (Multi-site Study at Ar-Roihan Integrated
Islamic Elementary School, Lawang and Elementary School of
Muhammadiyah 9 "Panglima Sudirman" Malang). Thesis, Master of
Elementary School Teacher Education Program Study. Maulana Malik
Ibrahim State Islamic University Malang, Advisor: (I), Prof. Dr. H.
Baharuddin, M.Pd.I. (II) Dr. Muhammad Walid, M.A.
Keywords: Teacher's strategy, Learning Quality Improvement, Students with
Special Needs
This study aims to understand: (1) the learning implementation for
students with special needs, (2) teacher's strategy in improving the
learning quality for students with special needs, and (3) the obstacles in
improving learning quality for students with special needs.
This study uses qualitative case study with multi-site design. The
data collection techniques are interview, observation, and documentation.
The data are analyzed using interactive analysis model consisting of data
collection, data reduction, data display, and conclusion. The data validity
checking is done through triangulation of data source, triangulation of data
collection techniques, and members checking.
The result of this study indicate that: (1) the learning
implementation for students with special education needs atAr-
RoihanIntegrated Islamic Elementary School implements individualized
education program, while Elementary School Muhammadiyah 9
“PanglimaSudirman” implements full education program. (2) the strategies
to improve the learning quality for students with special needs atAr-
RoihanIntegrated Islamic Elementary School are materials modification,
individual guidance, instructional media use, student‟s learning motivation
improvement, teacher‟s competence improvement, accustoming students
independently, learning achievement target, and partnership with parents.
Meanwhile, the strategies applied by Elementary School of
Muhammadiyah 9 “PanglimaSudirman” are material modification,
socialization for regular students and parents, instructional media use,
individual guidance, learning motivation improvement, coordination
among teachers, Up-Grading activity, cooperation with the parents, and
inclusive learning environment. (3) The obstacles of learning quality
improvement for students with special need at Ar-RoihanIntegrated
Islamic Elementary Schoolcover difficulty of communication with the
students, apathetic attitude of some regular students and parents, lack of
parents‟role, and minimum supporting facilities. Meanwhile, the obstacles
of Elementary School of Muhammadiyah 9 “PanglimaSudirman” arelack
of human resources (HR), lack of supporting facilities, the lack of parents'
role, no special learning materials for students with special need, the
impassiveness of some students and parents, and inadequate size of
resource/inclusion room.

xix
‫مستخلص البحث‬
‫بيرياتموقو‪ ،‬سيغيت‪ .2017 .‬إسرتاتيجيا ادلدرس يف ترقية درجة التعليم لتالميذ االحتياجات اخلاصة (دراسة مواقع‬
‫متعددة يف مدرسة اإلبتدائية االسالمية التكاملية الرحيان بالوانج ومدرسة اإلبتدائية حممدية ‪" 9‬فانليما‬
‫سوديرمان" مباالنج‪ .‬األطروحة‪ .‬قسم تعليم مدرسني ادلدرسة اإلبتدائية‪ .‬كلية ال ّدراسات العليا‪ .‬جامعة‬
‫موالنا مالك إبراىيم اإلسالمية احلكومية مباالنج‪.‬‬
‫ادلشرف األول ‪ :‬الدكتور احلاج هبار الدين ادلاجستري‪ ،‬وادلشرف الثاين ‪ :‬الدكتور حممد وليد ادلاجستري‪.‬‬

‫الكليمة الرئيسية ‪ :‬إستراتيجيا المدرس‪ ،‬ترقية درجة التعليم‪ ،‬تالميذ االحتياجات الخاصة‬

‫كانت األىداف من ىذا البحث للعثور على‪ )1 ( :‬تنفيذ التعليم لتالميذ االحتياجات‬
‫اخلاصة ‪ (2 (،‬اسرتاتيجيا ادلدرسني يف ترقية التعليم لتالميذ االحتياجات اخلاصة‪ ،‬و ( ‪ )3‬عراقيل التعليم لتالميذ‬
‫االحتياجات اخلاصة‪.‬‬
‫‪.‬وقد مت مجع‬ ‫يستخدم ىذا البحث النوعية حالة نوع الدراسة مع تصميم مواقع متعددة‬
‫البيانات من خالل ادلقابالت‪ ،‬وادلالحظة‪ ،‬والوثائقية ‪.‬وقد مت حتليل البيانات باستخدام منوذج تفاعلي يتكون من‬
‫مجع البيانات‪ ،‬واحلد من البيانات‪ ،‬وعرض البيانات‪ ،‬واالستنتاج‪ .‬التحقق من صحة البيانات يتم عن طريق التثليث‬
‫من مصادر البيانات‪ ،‬وتقنيات مجع البيانات التثليث‪ ،‬وفحص األعضاء‪.‬‬
‫نتائج ىذا البحث يدل إىل ما يلي‪ )1 ( :‬تنفيذ التعليم لتالميذ االحتياجات اخلاصة يف مدرسة اإلبتدائية‬
‫أ ّن تنفيذ التعلم لتالميذ‬ ‫االسالمية التكاملية الرحيان بالوانج استخدام بنوع اخلدمات التعليمية االفرادية‪،‬‬
‫االحتياجات اخلاصة يف ومدرسة اإلبتدائية حممدية ‪" 9‬فانليما سوديرمان" مباالنج استخدام بنوع اخلدمات‬
‫التعليمية بالكامل‪ )2( ،‬اسرتاتيجيا ادلدرسني يف ترقية درحة التعليم يف مدرسة اإلبتدائية االسالمية التكاملية الرحيان‬
‫بالوانج منها‪ :‬تبسيط ادلواد‪ ،‬واستخدام الوسائل التعليمية‪ ،‬واإلرشاد الفردي‪ ،‬وزيادة الدافعية لدى التالميذ‪ ،‬واتباع‬
‫التمرينات‪ ،‬وممارسة التالميذ ادلستقلة‪ ،‬وإعطاء إجراء التعلّم‪ ،‬وإقامة شراكة مع الوالدين‪ّ .‬أما يف ومدرسة اإلبتدائية‬
‫حممدية ‪" 9‬فانليما سوديرمان" مباالنج منها ‪ :‬تبسيط ادلواد‪ ،‬واشرتاكية إىل التالميذ ووالدينهم‪ ،‬واستخدام الوسائل‬
‫التعليمية‪ ،‬واإلرشاد الفردي‪ ،‬وترقية الدافعية لدى التالميذ‪ ،‬وتنسيق بني ادلدرسني‪ ،‬واتباع نشاط"‪”Up-Grading‬‬
‫‪ ،‬وإقامة شراكة مع الوالدين‪ ، ،‬وصنع بيئة تعليمية شاملة ‪ )3(.‬عراقيل ترقية درجة التعليم لتالميذ االحتياجات‬
‫اخلاصة يف مدرسة اإلبتدائية االسالمية التكاملية الرحيان بالوانج تتكون من ‪ :‬صعوبة االتصال مع التالميذ‪،‬‬
‫والتالميذ ووالدينهم ال مبال‪ ،‬ونقص طبيعة الولدين‪ ،‬ونقص ادلرافق العمادية‪ ،‬أ ّن يف ومدرسة اإلبتدائية حممدية ‪9‬‬
‫"فانليما سوديرمان" مباالنج تتكون من ‪ :‬نقص ادلورد‪ ،‬والتالميذ ووالدينهم ال مبال‪ ،‬ونقص طبيعة الولدين‪ ،‬ونقص‬
‫ادلرافق العمادية‪ ،‬مل يوجد ادلواد التعليمية اخلاصة لتالميذ االحتياجات اخلاصة‪ ،‬ومقداره غري ممثل‪.‬‬

‫‪xx‬‬
BAB I

PENDAHULUAN

A. Konteks Penelitian

Mewujudkan proses pembelajaran yang mengacu pada pentingnya

pendidik memahami perbedaan individual peserta didik bukanlah hal yang mudah.

Guru perlu disiapkan untuk memiliki kompetensi dalam menyelenggarakan

pembelajaran yang inklusif, yaitu pembelajaran yang mampu mengakomodir

semua karakteristik, gaya belajar, dan kebutuhan siswa. Dalam dunia pendidikan,

keberadaan, peran, dan fungsi guru merupakan salah satu faktor yang sangat

signifikan. Guru merupakan bagian terpenting dalam proses belajar mengajar,

baik di jalur pendidikan formal maupun informal. Oleh sebab itu, dalam setiap

upaya peningkatan kualitas pendidikan di tanah air, tidak dapat dilepaskan dari

berbagai hal yang berkaitan dengan eksistensi guru itu sendiri.

Filosofi dan konteks sosial budaya dalam pendidikan Indonesia, telah

menempatkan fungsi dan peran guru sedemikian rupa sehingga para guru di

Indonesia tidak jarang telah di posisikan mempunyai peran ganda bahkan multi

fungsi. Mereka dituntut tidak hanya sebagai pendidik yang harus mampu

mentransformasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, tetapi sekaligus sebagai penjaga

moral bagi anak didik. Bahkan tidak jarang, para guru dianggap sebagai orangtua

kedua, setelah orangtua anak didik dalam proses pendidikan secara global.

1
2

Dalam konteks sosial budaya Jawa misalnya, kata guru sering

dikonotasikan sebagai akronim dari kata “digugu lan ditiru” (menjadi panutan

utama). Begitu pula dalam khazanah bahasa Indonesia, dikenal adanya sebuah

peribahasa yang berunyi “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Semua

perilaku guru akan menjadi panutan bagi anak didiknya. Sebuah posisi yang mulia

dan sekaligus memberi tantangan dan beban psykologis tersendiri bagi para guru,

dan di antara beban tersebut adalah tuntutan untuk terus meningkatkan mutu

pembelajaran.

Demi menjawab tantangan-tantangan tersebut, para guru dan pemangku

kepentingan lain di sektor pendidikan terus berupaya meningkatkan mutu proses

dan hasil pendidikan. Upaya-upaya yang lazim dilakukan mencakup pelatihan

dalam jabatan (in-service training), seminar, lokakarya, atau kursus penyegaran

profesionalisme. Tanpa bermaksud mengabaikan berbagai manfaat yang

diperoleh, praktik di berbagai penjuru dunia menunjukkan upaya-upaya tersebut

tidak memberikan hasil yang optimal. Kemungkinan besar, penyebabnya adalah

kenyataan bahwa upaya-upaya itu merupakan inisiatif eksternal, tidak muncul dari

dalam diri para guru. Para guru akan memperoleh lebih banyak manfaat baik

apabila inisiatif untuk melakukan perbaikan tersebut datang dari dalam diri

mereka sendiri. Mereka harus berupaya, secara mandiri atau bersama-sama,

menemukan cara-cara yang tepat untuk meningkatkan berbagai aspek pendidikan,

seperti proses belajar mengajar, kurikulum dan penilaian. Sehingga, perwujudan

pendidikan yang bermutu tidak menjadi retorika belaka.


3

Pendidikan yang bermutu dapat dilihat satu di antaranya dari kualitas

pembelajaran yang dilaksanakan di dalam kelas. Semakin efektif pembelajaran,

maka semakin bermutu pendidikan. Oleh karena itu, untuk mencapai pendidikan

yang bermutu, maka diperlukan pembelajaran yang bermutu. Oleh sebab itu, guru

sebagai agen pembelajaran di dalam kelas dituntut untuk selalu meningkatkan

kualitas pembelajarannya.

Peningkatan mutu pembelajaran merupakan konsekuensi logis dari

perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknoologi (IPTEK) yang sangat pesat.

Perkembangan IPTEK mengharuskan penyesuaian dan peningkatan proses

pembelajaran secara berlanjut dan terus menerus. Hal ini diikuti dengan perlunya

mengadakan pemutakhiran strategi dan konsep-konsep pembelajaran untuk

meningkatkan kualitas pembelajaran itu sendiri.

Upaya peningkatan kualitas pembelajaran hendaknya dilakukan dengan

paradigma pemikiran RAI: Research-Action-Improvement, yang bersifat bottom-

up, realistik-pragmatik yang diawali dengan diagnosis masalah secara nyata yang

diakhiri dengan sebuah perbaikan (improvement). Upaya perbaikan kualitas

pembelajaran demikian menuntut adanya inisiatif dan keinginan dari dalam diri

untuk mau melakukan perbaikan.2

Peningkatan mutu pembelajaran harus dilakukan di semua jenjang dan

jenis lembaga pendidikan, termasuk dalam hal ini adalah lembaga pendidikan

inklusi yang menyediakan layanan pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus

2
Ni Nyoman Padmadewi, Meningkatkan Kualitas Pembelajaran di Sekolah Dasar Kecamatan
Buleleng Melalui Pelatihan Strategi Pembelajaran dan Penelitian Tindakan Kelas, (online),
http://pasca.undiksha.ac.id/images/img_item/735.doc, diakses tanggal 21 September pukul 07.38
WIB.
4

(ABK). Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) didefinisikan sebagai anak yang

memerlukan pendidikan dan layanan khusus untuk mengembangkan potensi

kemanusiaan mereka secara sempurna. Anak luar biasa, juga dapat didefinisikan

sebagai anak berkebutuhan khusus, karena dalam rangka untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya, anak ini membutuhkan bantuan layanan pendidikan, layanan

sosial, layanan bimbingan dan konseling, dan berbagai jenis layanan lainnya yang

bersifat khusus.3

Pendidikan bagi peserta penyandang disabilitas di Indonesia telah

diwadahi melalui Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 tentang

Pendidikan Luar Biasa. Pendidikan bagi peserta didik penyandang disabilitas ini

disediakan dalam tiga jenis lembaga pendidikan, yakni: Sekolah Luar Biasa

(SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. Akan tetapi

dalam pelaksanaannya, pelayanan ini menyisakan masalah baru yang mendesak

untuk diselesaikan. Masalah tersebut adalah secara tidak disadari sistem

pendidikan SLB telah membangun tembok eksklusifisme bagi anak-anak yang

berkebutuhan khusus. Tembok eksklusifisme tersebut selama ini tidak disadari

telah menghambat proses saling mengenal antara anak-anak diffabel dengan anak-

anak non-diffabel. Akibatnya dalam interaksi sosial di masyarakat kelompok,

diffabel menjadi komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial di masyarakat.

Masyarakat menjadi tidak akrab dengan kehidupan kelompok diffabel. Sementara

kelompok diffabel sendiri merasa keberadaannya bukan menjadi bagian yang

3
Abdul Hadis, Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Autistik, (Bandung: Alfabeta, 2006), hlm. 5
5

integral dari kehidupan masyarakat di sekitarnya.4 Jika hal ini terus dibiarkan,

pendidikan menjadi tercerabut dari problem riil yang seharusnya dijawab dan

diselesaikan.

Sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah

kemudian menyediakan layanan pendidikan inklusif yang pelaksanaannya

diamanatkan kepada pemerintah daerah. Pendidikan inklusif adalah sistem

layanan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua anak belajar

bersama-sama di sekolah umum dengan memperhatikan keragaman dan

kebutuhan individual, sehingga potensi anak dapat berkembang secara optimal.

Semangat pendidikan inklusif adalah memberi akses yang seluas-luasnya kepada

semua anak, termasuk anak berkebutuhan khusus, untuk memperoleh pendidikan

yang bermutu dan memberikan layanan pendidikan yang sesuai dengan

kebutuhannya.5 Atas dasar itulah, diperlukan upaya peningkatan mutu

pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus.

Madrasah Ibtidaiyah Terpadu (MIT) Ar-Roihan Kecamatan Lawang

Kabupaten Malang dan Sekolah Dasar (SD) Muhammadiyah 9 “Panglima

Sudirman” Malang merupakan lembaga di antara lembaga-lembaga pendidikan

dasar yang menyelenggarakan pendidikan inklusi di Kabupaten Malang dan Kota

Malang. MIT Ar-Roihan terletak di Jl. Mongisidi No. 2 Kecamatan Lawang

Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur. Lembaga ini sudah berusia 7 Tahun.

Mulai awal berdiri lembaga ini sudah menerapkan K-13 sebagai metode

4
Tina Tuslina, Perkembangan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus di Indonesia,
http://www.kompasiana.com/tanamilmu/perkembangan-pendidikan-anak-berkebutuhan-khusus-di-
indonesia, diakses tanggal 12 Agustus 2016
5
Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, Departemen Pendidikan Nasional
Direktorat Jenderal Mendikdasmen Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, 2007, hlm. 9
6

pembelajaran. MIT Ar-Roihan saat ini telah menjadi sekolah unggulan baik lokal

maupun nasional. Selain itu, MIT Ar-Roihan telah banyak meraih prestasi, di

antaranya pernah mendapatkan Rekor Muri untuk penulisan Al-Qur'an terpanjang

dan menjadi sekolah inklusi yang memiliki siswa Berkebutuhan Khusus (ABK)

terbanyak di Indonesia.

Tahun ini MIT Ar-Roihan menerima 125 peserta didik yang kemudian

dibagi menjadi lima kelas, antara lain kelas Andalusia, Granada, Cordova, Murcia,

dan Persia. Masing-masing kelas berisi 25 peserta didik dengan dua atau tiga

peserta didik berkebutuhan khusus. Seperti tahun yang lalu, setiap kelas di MIT

Ar Roihan terdapat dua guru (wali kelas dan tim teaching), dan juga shadow

teacher untuk memegang peserta didik berkebutuhan khusus.6 Walaupun

tergolong sekolah baru, madrasah terpadu ini telah menghasilkan berbagai prestasi

mulai dari akademik maupun non akademik. Sehingga banyak para orang tua

murid menghendaki Yayasan Ar-Roihan mendirikan Tsanawiyah setingkat SMP

agar para putra putrinya tetap berada di sekolah yang agamis.

Sementara itu, SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” Malang yang

terletak di Jl. R. Tumenggung Suryo No.5, Rampal Celaket, Blimbing, Kota

Malang merupakan satu di antara Sekolah Dasar penyelenggara pendidikan

inklusi unggulan di Kota Malang. Berdiri tahun 1969, SD ini telah banyak meraih

prestasi, baik dari siswa maupun manajemen sekolahnya. SD Muhammadiyah 9

“Panglima Sudirman” Malang pertama kali menerima siswa berkebutuhan khusus

pada tahun 2005. Namun baru pada tahun 2008 mendapatkan legalitas formal
6
____Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS) MIT Ar Roihan Lawang-Malang 2016-2017,
https://arroihanlawang.wordpress.com/2016/07/20/pengenalan-lingkungan-sekolah-pls-mit-ar-
roihan-lawang-malang-2016-2017/, diakses tanggal 13 Agustus 2016
7

sebagai sekolah inklusi. Adapun kurikulum yang digunakan di SD

Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” Malang sudah sesuai dengan instruksi

Kemendikbud yaitu Kurikulum 2013/Kurikulum Nasional. Pembelajaran di SD ini

dilakukan oleh guru kelas dan guru matapelajaran yang dibantu oleh guru

pendamping.

Status kedua lembaga di atas sebagai penyelenggara pendidikan inklusi,

membawa implikasi terhadap pelaksanaan serta upaya-upaya untuk meningkatkan

mutu pembelajaran. Hal ini tak lepas dari heterogenitas siswa yang tinggi,

perbedaan karakteristik, ketimpangan kompetensi, serta beragam problem

kompleks lainnya terkait siswa berkebutuhan khusus. Namun demikian, guru tetap

harus mengupayakan pelaksanaan pembelajaran yang bermutu bagi semua

siswanya, termasuk dalam hal ini siswa dengan kebutuhan khusus.

Sejumlah penelitian yang telah dilakukan menggambarkan bahwa

peningkatan mutu pembelajaran merupakan hal yang mendesak untuk dilakukan.

Beberapa penelitian terdahulu tersebut antara lain; 1) Tesis Romy Andro Funny,

yang berjudul “Strategi Peningkatan Mutu Pembelajaran di Madrasah Tahfizul

Qur‟an Isy Karima Kecamatan Karangpandan Kabupaten Karanganyar” tahun

2011.7 2) Tesis Fariqah dengan judul “Manajemen Peningkatan Kualitas

Pembelajaran Pada Madrasah Tsanawiyah (Studi Kasus Pembelajaran Matematika

di Madrasah Tsanawiyah Negeri Winong Kabupaten Pati)”, tahun 2007. 8 3) Tesis

7
Romy Andro Funny, Strategi Peningkatan Mutu Pembelajaran di Madrasah Tahfizul Qur‟an Isy
Karima Kecamatan Karangpandan Kabupaten Karanganyar, Program Pascasarjana Universitas
Muhammadiyah Surakarta, 2011.
8
Fariqah, Manajemen Peningkatan Kualitas Pembelajaran Pada Madrasah Tsanawiyah (Studi
Kasus Pembelajaran Matematika di Madrasah Tsanawiyah Negeri Winong Kabupaten Pati)”,
Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang, 2007.
8

Nurul Hidayah yang berjudul “Strategi Peningkatan Mutu Pembelajaran

Matematika Dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa (Studi Multi Situs Pada

MI Muhammadiyah Salamrejo dan MI Thoriqul Huda Kerjo Kecamatan Karangan

Kabupaten Trenggalek)” tahun 2015.9 Beberapa penelitian tersebut tidak ada yang

fokus terhadap peningkatan mutu pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus.

Berdasarkan beragam persoalan di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji

bagaimana strategi yang dilakukan oleh guru, baik guru kelas, maupun guru

pendamping khusus, dalam meningkatkan mutu atau kualitas pembelajaran bagi

siswa berkebutuhan khusus. Oleh karena itu, judul dari penelitian ini adalah

“Strategi Guru dalam Peningkatan Mutu Pembelajaran Bagi Siswa Berkebutuhan

Khusus (Studi Multisitus di Madrasah Ibtidaiyah Terpadu Ar-Roihan Lawang dan

Sekolah Dasar Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” Malang)”.

B. Fokus Penelitian

1. Bagaimana pelaksanaan pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus di

MI Terpadu Ar-Roihan dan SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman”

Malang?

2. Bagaimana strategi guru untuk meningkatkan mutu pembelajaran bagi

siswa berkebutuhan khusus di MI Terpadu Ar-Roihan dan SD

Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” Malang?

9
Nurul Hidayah, Strategi Peningkatan Mutu Pembelajaran Matematika Dalam Meningkatkan
Prestasi Belajar Siswa (Studi Multi Situs Pada MI Muhammadiyah Salamrejo dan MI Thoriqul
Huda Kerjo Kecamatan Karangan Kabupaten Trenggalek), Program Pascasarjana IAIN
Tulungagung, 2015.
9

3. Bagaimana kendala peningkatan mutu pembelajaran bagi siswa

berkebutuhan khusus di MI Terpadu Ar-Roihan dan SD Muhammadiyah 9

“Panglima Sudirman” Malang?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan fokus penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui dan menganalisis pelaksanaan pembelajaran bagi siswa

berkebutuhan khusus di MI Terpadu Ar-Roihan dan SD Muhammadiyah

9 “Panglima Sudirman” Malang.

2. Mengetahui dan menganalisis strategi guru dalam peningkatan mutu

pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus di MI Terpadu Ar-Roihan

dan SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” Malang.

3. Mengetahui dan menganalisis kendala upaya peningkatan mutu

pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus di MI Terpadu Ar-Roihan

dan SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” Malang.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat secara teoritis dan

praktis, dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan peningkatan mutu

pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus, baik bagi pihak-pihak yang

terlibat langsung, maupun tidak. Adapun rincian manfaat dari penelitian ini

adalah:

1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan berbagai

informasi, mengenai konsep dan pelaksanaan upaya peningkatan mutu


10

pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus yang sedang digalakkan oleh

pemerintah, sebagai wujud dari pemerataan pendidikan dan pelaksanaan

amanat Undang-Undang Dasar.

Dengan demikian, diharapkan penelitian ini dapat memberikan

kontribusi keilmuan berupa referensi fakta dan data di lapangan mengenai

upaya-upaya peningkatan mutu pembelajaran bagi siswa berkebutuhan

khusus yang dapat menjadi bahan rujukan dalam pengembangan teori tentang

peningkatan mutu pendidikan inklusi dan penelitian berikutnya.

2. Secara Praktis

a. Bagi Lembaga Pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan sumber

informasi untuk menemukan kelebihan dan kekurangan dari upaya

peningkatan mutu pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus

yang dilaksanakan oleh MI Terpadu Ar Roihan dan SD

Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” Malang.

b. Bagi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Penelitian ini diharapkan menjadi bahan untuk mengembangkan

kajian ilmiah lebih lanjut mengenai pendidikan inklusi, terutama

dalam hal peningkatan mutu pembelajaran bagi siswa berkebutuhan

khusus di Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana

Malik Ibrahim Malang.


11

c. Bagi Pembaca dan Peneliti Selanjutnya

Apabila hasil peneltian ini dipandang baik dan layak, maka

diharapkan menjadi bahan pertimbangan dan referensi bagi

penelitian-penelitian selanjutnya. Baik dalam kasus yang serupa,

maupun kasus-kasus lain yang relevan.

E. Orisinalitas Penelitian

Kesadaran akan pentingnya pemerataan akses pendidikan bermutu bagi

penyandang disabilitas telah mendorong para ilmuwan, akademisi, dan praktisi

pendidikan untuk melakukan penelitian dan kajian ilmiah tentang praktik

penyelenggaraan pendidikan inklusi. Berikut adalah beberapa di antaranya:

Pertama, Tesis Supardjo, Mahasiswa Program Studi Magister Administrasi

Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta dengan judul “Pengelolaan

Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus Di Sekolah Dasar Penyelenggara

Pendidikan Inklusif Sekolah Dasar Negeri III Giriwono Wonogiri” tahun 2016.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: 1) perencanaan pembelajaran

anak berkebutuhan khusus, 2) pelaksanaan pembelajaran anak berkebutuhan

khusus, 3) evaluasi pembelajaran anak berkebutuhan khusus, di sekolah

penyelenggara pendidikan inklusif. Jenis penelitian deskriptif kualitatif. Tempat

penelitian di SD Negeri III Giriwono Wonogiri.10

Berdasarkan paparan di atas, dapat dilihat perbedaannya dengan penelitian

ini antara lain; 1) rancangan penelitian di atas adalah studi kasus tunggal,

sedangkan penelitian ini menggunakan studi kasus dengan rancangan multisitus.


10
Supardjo, Pengelolaan Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus Di Sekolah Dasar
Penyelenggara Pendidikan Inklusif Sekolah Dasar Negeri III Giriwono Wonogiri, 2016.
12

2) fokus utama penelitian di atas adalah berusaha mendeskripsikan pelaksanaan

pembelajaran siswa berkebutuhan khusus yang meliputi; perencanaan,

pelaksanaan, dan evaluasi, sedangkan penelitian ini berfokus mengungkap

strategi-strategi yang digunakan guru untuk meningkatkan mutu pembelajaran

bagi siswa berkebutuhan khusus.

Kedua, Tesis Muh. Widodo, Mahasiswa Program Magister Manajemen

Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta Pengembangan dengan judul

“Pengelolaan Pembelajaran pada Anak Berkebutuhan Khusus (Studi Situs pada

Anak Tuna Grahita di Sekolah Luar Biasa Negeri Sukoharjo Klaseman Gatak

Sukoharjo)” tahun 2012. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui; 1)

karakteristik anak tunagrahita dalam pembelajaran, 2) hambatan-hambatan anak

tunagrahita dalam pembelajaran, 3) solusi pembelajaran bagi anak tunagrahita,

dan 4) pengembangan pembelajaran anak tunagrahita. Penelitian ini termasuk

jenis penelitian kualitatif yang mengambil setting di sekolah segregasi yaitu

SLB.11

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui perbedaan antara penelitian

tersebut dengan penelitian ini, antara lain; 1) fokus utama penelitian tersebut

adalah berusaha mendeskripsikan pengelolaan pembelajaran anak tuna grahita,

sedangkan penelitian ini berfokus pada strategi-strategi yang digunakan oleh guru

untuk meningkatkan mutu pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus di

sekolah inklusi. 2) jenis penelitian di atas adalah studi situs, sementara penelitian

11
Muh. Widodo, Pengelolaan Pembelajaran pada Anak Berkebutuhan Khusus (Studi Situs pada
Anak Tuna Grahita di Sekolah Luar Biasa Negeri Sukoharjo Klaseman Gatak Sukoharjo), 2012.
13

ini merupakan penelitian multisitus. 3) setting penelitian di atas adalah sekolah

segregasi, sedangkan penelitian ini mengambil setting di sekolah inklusi.

Ketiga, Tesis Arie Laili Nopprima Endin, Mahasiswa Fakultas Keguruan

Dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung dengan judul “Manajemen

Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus (Studi Kasus pada Pembelajaran

Bahasa Anak Tunarungu di SLB PKK),” tahun 2014. Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui dan mendeskripsikan: 1) Sistem identifikasi dan asesmen anak

tunarungu dalam pembelajaran bahasa di SLB PKK Provinsi Lampung, 2) Proses

pembelajaran anak tunarungu dilihat dari kebijakan mutu yang digunakan,

rumusan kelulusan yang ditetapkan, pengembanagan kurikulum yang dipakai,

perencanaan pembelajarannya serta pelaksanaa pembelajaran dan evaluasi

pembelajaran bahasa anak tunarungu di SLB PKK Provinsi Lampung, 3) Hasil

yang dicapai dalam pembelajaran bahasa anak tunarungu di SLB PKK Provinsi

Lampung. Rancangan penelitian ini adalah kualitatif, dengan pendekatan

fenomenologis, sedangkan subyek penelitian ini adalah guru kelas 1, guru kelas 2

dan guru kelas 3 tingkat SDLB di SLB PKK Provinsi Lampung.12

Perbedaan penelitian di atas dengan penelitian ini antara lain; 1) fokus

penelitian tersebut adalah untuk mendeskripsikan pelaksanaan manajemen

pembelajaran bahasa pada anak tunarungu, sedangkan penelitian ini tidak hanya

sekedar mendeskripsikan pelaksanaan pembelajaran, akan tetapi berusaha

mengupas strategi-strategi yang digunakan oleh guru untuk meningkatkan mutu

pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus. 2) desain penelitian di atas

12
Arie Laili Nopprima Endin, Manajemen Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus (Studi Kasus
pada Pembelajaran Bahasa Anak Tunarungu di SLB PKK), 2014.
14

menggunakan studi kasus tunggal, sementara penelitian ini menggunakan studi

kasus dengan rancangan multisitus. 3) setting penelitian di atas adalah lembaga

pendidikan segregasi yakni SDLB, sedangkan penelitian ini mengambil setting di

lembaga penyelenggara pendidikan inklusif.

Keempat, artikel ilmiah karya Beth N. Oluka dan Gloria O. Okorie yang

berjudul “Innovative Strategies for improving Special Educational Needs for

Students with Learning Disabilities in Nigerian Schools: An Analytical Study”

yang dimuat dalam Journal of Educational Policy and Entrepreneurial Research

(JEPER), Vol.1, N0.3, November 2014, Department of Educational Foundations

(Special Education), Ebonyi State University, Nigeria. Penelitian tersebut

bertujuan untuk; 1) menentukan bagaimana sikap guru dan teman sekelas lainnya

mempengaruhi siswa penyandang cacat, 2) menentukan strategi inovatif untuk

mengorganisir pelajaran bagi siswa dengan ketidakmampuan belajar / kebutuhan

pendidikan khusus, dan 3) menentukan tantangan utama dalam menyediakan

kebutuhan pendidikan khusus bagi siswa dengan ketidakmampuan belajar dalam

pengaturan pendidikan inklusif. Desain penelitian yang digunakan adalah

kuantitatof deskriptif. Responden adalah siswa Sekolah Menengah Atas (SMA)

dengan hambatan belajar dan Guru Pendamping Khusus (GPK).13

Adapun perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian in terletak pada; 1)

penelitian tersebut hanya fokus kepada siswa dengan kesulitan belajar, sedangkan

penelitian ini fokus kepada siswa berkebutuhan khusus secara umum yang

mendapat layanan pendidikan di sekolah inklusif, 2) penelitian tersebut bertujuan


13
Beth N. Oluka dan Gloria O. Okorie, Innovative Strategies for improving Special Educational
Needs for Students with Learning Disabilities in Nigerian Schools: An Analytical Study, Journal
of Educational Policy and Entrepreneurial Research (JEPER), Vol.1, N0.3, November 2014
15

menemukan strategi inovatif untuk mengorganisir pelajaran bagi siswa dengan

ketidakmampuan belajar, sementara penelitian in bertujuan untuk menemukan

startegi guru dalam meningkatkan mutu pembelajaran bagi siswa berkebutuhan

khusus, dan 3) desain penelitian tersebut menggunakan desain kuantitatif

deskriptif sedangkan penelitian ini menggunakan desain kualitatif deskriptif,

Kelima, artikel ilmiah karya Suhail Mahmoud Al-Zoubi dan Majdoleen

Sultan Bani Abdel Rahman dengan judul “The Effect of Resource Room on

Improving Reading and Arithmetic Skills for Learners with Learning Disabilities”

yang dimuat dalam International Journal of Scientific Research in Education,

terbit bulan Desember Tahun 2012, Volume. 5, No. 4. Tujuan dari penelitian

tersebut adalah untuk mengukur pengaruh ruang sumber belajar dalam

meningkatkan kemampuan membaca dan berhitung siswa yang memiliki kesulitan

belajar. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan kemampuan membaca

dan berhitung yang signifikan antara kelompok eksperimen dan kelompok

kontrol.14

Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini, antara lain: 1) desain

penelitian tersebut adalah kuantitatif, sedangkan desain penelitian ini adalah

kualitatif, 2) fokus kajian penelitian tersebut adalah untuk mengetahui pengaruh

penggunaan Ruang Sumber dalam meningkatkan kemampuan membaca dan

berhitung, sedangkan penelitian ini fokus untuk mengkaji strategi guru dalam

meningkatkan mutu pembelajaran, 3) subjek penelitian tersebut adalah siswa

14
Suhail Mahmoud Al-Zoubi dan Majdoleen Sultan Bani Abdel Rahman dengan judul “The Effect
of Resource Room on Improving Reading and Arithmetic Skills for Learners with Learning
Disabilities”, International Journal of Scientific Research in Education, Volume. 5, No. 4
(Desember, 2012)
16

berkebutuhan khusus tipe kesulitan belajar, sedangkan subjek penelitian ini adalah

guru pendamping khusus dan keseluruhan tipe siswa berkebutuhan khusus yang

ada di latar penelitian.

Lebih jelasnya, posisi penelitian ini di antara penelitian-penelitian terdahulu

dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1.1
Orisinalitas Penelitian
Nama Peneliti,
Originalitas
No. Judul dan Tahun Persamaan Perbedaan
Penelitian
Penelitian

1 Supardjo, - Subyek - Penelitian - Penelitian ini


Pengelolaan penelitian dilakukan untuk dimaksudkan
Pembelajaran adalah anak mendeskripsika untuk mengkaji
Anak berkebutuhan n pengelolaan tentang
Berkebutuhan khusus pembelajaran bagaimana
Khusus Di anak strategi guru
Sekolah Dasar - Setting berkebutuhan dalam
Penyelenggara penelitian khusus meningkatkan
Pendidikan yang mutu
Inklusif Sekolah digunakan - Jenis penelitian pembelajaran
Dasar Negeri III adalah sekolah yang digunakan bagi siswa
Giriwono inklusi adalah studi berkebutuhan
Wonogiri, 2016. kasus tunggal khusus.
- Pendekatan
yang
digunakan
adalah
kualitatif

2 Muh. Widodo, - Subyek - Penelitian - Penelitian ini


Pengelolaan penelitian dilakukan fokus
Pembelajaran adalah anak untuk mengkaji
pada Anak berkebutuha mendeskripsik bagaimana
Berkebutuhan n khusus an strategi yang
Khusus (Studi pengelolaan digunakan
Situs pada Anak - Pendekatan pembelajaran guru untuk
Tuna Grahita di yang anak meningkatka
Sekolah Luar digunakan berkebutuhan n mutu
Biasa Negeri adalah khusus pembelajaran
Sukoharjo kualitatif tunagrahita bagi siswa
Klaseman Gatak berkebutuhan
17

Nama Peneliti,
Originalitas
No. Judul dan Tahun Persamaan Perbedaan
Penelitian
Penelitian

Sukoharjo), 2012. - Jenis khusus.


penelitian
yang
digunakan
adalah studi
situs tunggal
- Setting
penelitian
yang
digunakan
adalah SLB

3 Arie Laili - Subyek - Penelitian - Penelitian ini


Nopprima Endin, penelitian dilakukan fokus
Manajemen adalah anak untuk mengkaji
Pembelajaran berkebutuha mendeskripsik bagaimana
Anak n khusus an strategi yang
Berkebutuhan pengelolaan digunakan
Khusus (Studi - Pendekatan pembelajaran guru untuk
Kasus pada yang anak meningkatka
Pembelajaran digunakan berkebutuhan n mutu
Bahasa Anak adalah khusus pembelajaran
Tunarungu di SLB kualitatif tunarungu bagi siswa
PKK), 2014. berkebutuhan
- Jenis khusus.
penelitian
yang
digunakan
adalah studi
situs kasus
tunggal
- Setting
penelitian
yang
digunakan
adalah SLB

4 Beth N. Oluka dan - Subyek - Penelitian - Penelitian ini


Gloria O. Okorie, penelitian dilakukan fokus
Innovative adalah anak untuk mengkaji
Strategies for berkebutuha menemukan bagaimana
improving Special strategi strategi yang
18

Nama Peneliti,
Originalitas
No. Judul dan Tahun Persamaan Perbedaan
Penelitian
Penelitian

Educational n khusus pengorganisasi digunakan


Needs for Students an guru untuk
with Learning - Pendekatan pembelajaran meningkatka
Disabilities in yang yang inovatif n mutu
Nigerian Schools: digunakan untuk anak pembelajaran
An Analytical adalah berkesulitan bagi siswa
Study, 2014 kualitatif belajar berkebutuhan
khusus.
- Jenis
penelitian
yang
digunakan
adalah studi
analisis
- Setting
penelitian
yang
digunakan
adalah SMA

5 Suhail Mahmoud - Mengkaji - Penelitian - Penelitian ini


Al-Zoubi dan peningkatan fokus pada fokus
Majdoleen Sultan mutu peningkatan mengkaji
Bani Abdel pembelajara kemampuan bagaimana
Rahman, “The n untuk membaca strategi yang
Effect of Resource siswa dan digunakan
Room on berkebutuha menghitung guru untuk
Improving n khusus. siswa yang meningkatka
Reading and bermasalah n mutu
Arithmetic Skills dalam pembelajaran
for Learners with belajar. bagi siswa
Learning berkebutuhan
Disabilities” - Desain khusus.
peneltian
yang
digunakan
adalah
eksperimen
- Subjek
penelitian
adalah siswa
berkebutuhan
19

Nama Peneliti,
Originalitas
No. Judul dan Tahun Persamaan Perbedaan
Penelitian
Penelitian

khusus tipe
berkesulitan
belajar (slow
learner).

Berdasarkan paparan penelitian-penelitian terdahulu di atas, maka posisi

penelitian ini di antara penelitian-penelitian tersebut adalah pertama, core concept

dari penelitian ini adalah mendeskripsikan dan menganalisis strategi-strategi yang

digunakan guru, baik guru kelas, maupun guru pendamping khusus, dalam

meningkatkan mutu pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus. Kedua, subjek

penelitian ini adalah guru kelas, guru pendamping khusus, kepala sekolah, dan

siswa berkebutuhan khusus yang berada di kelas inklusi, sekolah berposisi sebagai

pihak eksternal yang turut memberikan pengaruh. Ketiga, siswa berkebutuhan

khusus di sini adalah semua siswa yang mendapat pelayanan pendidikan khusus di

sekolah inklusi yang menjadi latar penelitian.

F. Definisi Istilah

1. Strategi adalah sebuah program atau langkah terencana yang berdasar

pada hasil analisis internal dan eksternal, yang digunakan untuk

mencapai tujuan atau cita cita yang telah ditentukan.

2. Guru adalah tenaga pendidik profesional yang mempunyai tugas utama

mendidik, membimbing, melatih, dan mengarahkan siswa berkebutuhan

khusus. Guru dalam penelitian ini adalah Guru Pendamping Khusus/GPK


20

(shadow teacher) dan Guru Kelas yang melaksanakan pembelajaran bagi

siswa berkebutuhan khusus.

3. Mutu adalah kondisi produk (barang atau jasa) yang sesuai atau melebihi

standar yang telah ditetapkan, sesuai dengan permintaan dan kebutuhan

pelanggan, serta mampu memberikan kepuasan kepada pelanggan.

4. Pembelajaran adalah proses interaksi antara guru, siswa dan sumber

belajar yang didesain untuk mencapai tujuan yang telah di tetapkan.

5. Siswa Berkebutuhan Khusus adalah siswa yang membutuhkan pelayanan

khusus dalam belajar baik dikarenakan keterbatasan fisik dan mental

maupun karena bakat yang dimiliki. Siswa berkebutuhan khusus yang

dimaksud dalam penelitian ini adalah siswa dengan hambatan belajar

baik secara fisik, mental, maupun psikis yang mendapatkan pelayanan

pendidikan khusus oleh kedua lembaga yang menjadi situs penelitian.

Berdasarkan definisi-definisi sub-tema penelitian di atas, maka yang

dimaksud dengan “Strategi Guru dalam Peningkatan Mutu Pembelajaran Bagi

Siswa Berkebutuhan Khusus” adalah program atau langkah terencana yang

sistematis yang disusun oleh guru untuk meningkatkan efektifitas pembelajaran

dalam memenuhi kebutuhan belajar siswa berkebutuhan khusus yang sesuai

dengan standar proses yang telah ditetapkan.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori dalam Perspektif Islam

1. Strategi Guru dalam Pembelajaran Siswa Berkebutuhan Khusus

Secara kodrati dan alamiah manusia memang diciptakan dalam

keberagaman (variabilitas), baik dari keragaman kepribadian, kecakapan,

warna kulit, minat, bakat, bahkan bahasa. Hal ini sebagaimana firman Allah

dalam Surah Ar-Rum ayat 22 berikut:

      

       

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah


menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu
dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
mengetahui.”15

Keragaman ini dalam konteks pendidikan harus mampu diakomodasi

dengan baik oleh pihak penyelenggara dan penyedia layanan pendidikan

(sekolah). Guru hendaknya memahami bahwa perbedaan dalam kemampuan

tersebut memerlukan bentuk-bentuk strategi pembelajaran yang berbeda,

disamping perlakukan-perlakuan yang bersifat kolektif. Jika guru

menginginkan pembelajarannya berhasil membawa peserta didik menuju

15
Q.S. Ar-Rum (30): 22

21
22

ketuntasan pencapian kompetensi secara optimal, maka upaya-upaya

memfasilitasi peserta didik dengan aneka ragam cara baik remedy maupun

pengayaan mutlak harus dilakukan.16

Manusia (termasuk dalam hal ini siswa) dalam perspektif Islam

memiliki kedudukan yang sama. Allah SWT menyatakan bahwa semua

manusia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya.17 Satu-satunya hal

yang membedakan adalah seberapa tinggi kadar ketakwaannya. 18 Oleh sebab

itu, dalam pandangan Islam tidak ada pembedaan dalam pemberian

pembelajaran kepada siswa, baik itu siswa „normal‟ maupun siswa dengan

keterbatasan (siswa berkebutuhan khusus). Guru harus memberikan

pelayanan pembelajaran tanpa pandang bulu yaitu tidak membeda-bedakan

siswa satu dengan yang lain. Allah memberikan contoh tentang hal ini dalam

Surah „Abasa ayat 1-10.

Adapun al-Qur‟an dalam menyampaikan pokok-pokok isinya memiliki

strategi tersendiri yang mampu diterima oleh semua kalangan dan berbagai

tingkat daya nalar pembacanya. Berinjak dari hal-hal yang konkrit, dapat

disaksikan dan diakui, seperti hujan, angin, tumbuh-tumbuhan, petir dan kilat.

Kemudian beralih kepada hal-hal yang dogmatis seperti keharusan mengakui

wujud, keagungan, kekuasaan dan seluruh sifat sempurna Allah swt. semua

ini kadangkala diungkapkan dalam kalimat bertanya, baik dengan maksud

memberikan perhatian, membuat senang, mengingatkan dengan cara yang

16
Mulyono, Strategi Pembelajaran; Menuju Efektivitas Pembelajaran di Abad Global, (Malang:
UIN-Maliki Press, 2011), hlm. 126
17
Q.S At-Tiin (90): 4
18
Q.S Al-Hujuurat (49):13
23

baik. Maupun dengan maksud-maksud lain yang dapat merangsang kesan-

kesan rabbani, seperti tunduk, bersyukur, cinta dan khusyu' kepada Allah

setelah itu baru disajikan berbagai macam ibadah dan tingkah laku ideal

untuk menerapkan akhlak rabbani secara praktis.19

Terdapat beberapa metode pembelajaran dalam perspektif Islam yang

dapat diterapkan guru sesuai dengan situasi dan kondisi. Pertama, metode

dialog (al-hiwar), yaitu suatu metode pendidikan yang dilakukan dengan

percakapan atau Tanya jawab antara dua orang atau lebih secara komunikatif

mengenai suatu topik.20 Metode ini banyak digunakan Nabi Muhammad

SAW. untuk menerangkan ajaran Islam kepada para sahabat dan umat

muslim. Redaksi Al-Qur‟an sendiri juga lebih banyak bersifat dialogis dan

komunikatif daripada penyampaian melalui doktrin-doktrin formal, seperti

dalam kisah-kisah, perupamaan-perumpamaan, dan penggambaran kegaiban.

Kedua, metode cerita (al-qishash), penggunaan metode ini bertujuan

untuk menjadikan siswa memiliki kepekaan intelektual dan kepekaan

emosional. Ketiga, metode perumpamaan (al-amtsal), yaitu metode yang

digunakan untuk mengungkapkan suatu sifat dan hakikat dari realitas tertentu.

Tujuan dari penggunaan metode ini adalah mendekatkan makna (hal yang

abstrak) kepada pemahaman. Keempat, metode keteladanan (al-uswah), Al-

Qur‟an memberikan contoh tentang penggunaan metode ini dalam Surah Al-

19
Zaenal Abidin, Konsep Model Pembelajaran Dalam perspektif al-Qur‟an, (Banjarmasin : Pasca
Sarjana IAIN Antasari, 2010), hlm 181-182.
20
Masykuri Bakri & Nur Wakhid, Quo Vadis Pendidikan Islam Klasik Perspektif Intelektual
Muslim, (Surabaya: Visipress Media, 2010), hlm. 11
24

Ahzab ayat 21 yang melukiskan pribadi Nabi Muhammad SAW yang patuit

menjadi suri tauladan bagi umat Islam.

Kelima, metode sugesti dan hukuman (al-targhib wa al-tarhib), pada

metode ini, siswa dimotivasi untuk melakukan hal-hal yang baik melalui

maudhah hasanah yang memungkinkan mereka untuk mengaktualisasikan apa

yang diperintahkan guru. Sedangkan hukuman adalah sanksi implikatif dari

kesalahan yang telah siswa lakukan agar tidak mereka tidak mengulangi lagi.

Keenam, metode nasehat (al-maw‟izhah). Metode ini dimaksudkan untuk

memotivasi siswa untuk melakukan yang ma‟ruf dan menjauhi yang munkar.

Guru harus memperhatikan karakteristik siswa dalam menerpkan metode ini

seperti kompetensi, potensi, minat, bakat, kecerdasan, dan sikapnya.

Ketujuh, metode pemahaman dan penalaran (al-ma‟rifah wa al-

nazhariyyah), metode ini dilakukan dengan membangkitkan akal dan

kemampuan berpikir anak didik secara logis. Sasaran utama penggunaan

metode ini adalah kemampuan berpikir kritis dan logis. Kedelapan, metode

latihan perbuatan (al-mumarisa al-amaliyyah), yaitu metode melatih atau

membiasakan anak didik melakukan sesuatu yang baik. Melalui metode ini

anak didik diharapkan mengetahui dan sekaligus mengamalkan materi

pelajaran yang diajarkan.21 Istilah lain dari metode ini dalam terminologi

pendidikan modern adalah learning by doing. Penggunaan metode ini akan

memberikan pembelajaran yang bermakna kepada siswa karena mereka dapat

langsung menerapka apa yang sudah dipelajari di dalam kelas.

21
Masykuri Bakri & Nur Wakhid, Quo Vadis, hlm. 14-15
25

2. Peningkatan Mutu Pembelajaran

Islam sebagai pedoman kehidupan yang lurus menghendaki

pemeluknya untuk mendapatkan kehidupan yang bermutu baik di dunia

maupun di akhirat. Oleh karenanya, Islam menekankan kepada pemeluknya

untuk selalu menjaga kebaikan/kualitas dari apa yang telah diperbuat baik

kepada diri sendiri maupun kepada orang lain. Islam juga merupakan sebuah

sistem yang mencakup semua aspek kehidupan, yaitu aqidah, ibadah, dan

akhlak. Allah SWT memerintahkan manusia untuk menjadikan Islam sebagai

pedoman untuk memperoleh kebaikan dalam kehidupan di dunia maupun di

akhirat.

Konsep mutu dan peningkatan kinerja bukanlah hal baru dalam Islam,

Islam mengajarkan kepada kita untuk selalu berbuat baik (ihsan) dan

menjaga kualitas (itqan) dalam menjalankan pekerjaan22. Allah SWT.

berfirman dalam surah An-Naml ayat 88:

          

         


“Dan kamu Lihat gunung-gunung itu, kamu sangka Dia tetap
di tempatnya, Padahal ia berjalan sebagai jalannya awan.
(Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh
tiap-tiap sesuatu; Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan”23

22
Firman Shakti Firdaus, Muhammad Nasri Md. Hussain, Mohd Norhasni Mohd Asaad dan
Rushami Zien Yusoff, Quality Management Concept Based On Islamic Worldview, International
Academic Research Journal of Business and Technology, No. 1, Vol. 2, (2015), hlm. 209-210
23
Q.S. An-Naml (27): 88
26

Selain ayat tersebut, terdapat banyak hadits Nabi Muhammad SAW.

yang mendorong umat Islam untuk senantiasa meningkatkan kualitas

ibadahnya. Satu di antara hadits-hadits tersebut adalah hadits yang

diriwayatkan Bayhaqi dan Imam Muslim berikut:

‫حيب أذا‬
ّ ‫ أن اهلل تبارك وتعاىل‬: ‫أُن النّيب صلى اهلل عليو وسلم قل‬
‫عمل أحدكم عمال أن يتقنّو‬
Artinya: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: sesungguhnya
Allah Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi menyukai bila salah
seorang di antara kalian melakukan pekerjaan dengan
professional/itqan (rapi, teratur dan bagus). (H.R. Bayhaqi).

‫ول اهللِ صلى‬ ِ ‫َّاد ب ِن أَو ٍس ر ِضي اهلل تَع َاىل َعْنو َعن رس‬ ِ ‫عن أَِِب ي علَى َشد‬
َُ ْ ُ َ ُ َ َ ْ َْ ْ َ
ٍ ‫ (إِ َّن اهلل َكتب ا ِإلحسا َن علَى ُكل ش‬:‫اهلل عليو وسلم قَ َال‬
‫ فَِإذَا‬.‫يء‬ َ ‫َ َ َ ْ َ َ ِّل‬
ِ ‫َح ِسنُوا ِّل‬ ِ ِ ‫قَت ْلتم فَأ‬
َ ‫ َولْيُح َّد أ‬،َ‫الذ َْبَة‬
‫َح ُد ُك ْم‬ ْ ‫ َوإِذَا ذَ ََْبتُ ْم فَأ‬،َ‫َحسنُوا القْت لَة‬
ْ ُْ َ
‫ َولْ ُِري ْ َذبِْي َحتَوُ) رواه مسلم‬،ُ‫َش ْفَرتَو‬
Dari Abu Ya‟la Syaddad bin Aus Radhiallahu Ta‟ala „Anhu, dari
Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Salam, Beliau bersabda:
“Sesungguhnya Allah menetapkan (mewajibkan) berbuat ihsan atas
segala hal. Maka, jika kalian membunuh (dalam peperangan) maka
lakukanlah dengan cara yang baik, jika kalian menyembelih maka
lakukanlah sembelihan yang baik, hendaknya setiap kalian
menajamkan parangnya, dan membuat senang hewan sembelihannya.”
(H.R. Muslim).24

Ayat Al-Qur‟an dan Hadits tersebut mengindikasikan bahwa umat

Islam dituntut untuk selalu menjaga mutu/kualitas di setiap pekerjaan yang

mereka lakukan. Termasuk dalam hal ini adalah pekerjaan guru sebagai

pendidik, pengajar, dan pembimbing. Ia dituntut untuk bekerja secara

24
Al-Hafizh Zaki Al-Din Abd Al-Azhim Al-Mundziri, Mukhtashar Shahih Muslim, terj. Syinqithy
Djamaludin dan H.M. Mochtar, ( Cet. I; Bandung: Mizan, 2002), hlm. 719.
27

profesional dan selalu melakukan inovasi demi meningkatkan mutu

pembelajaran yang ia berikan kepada siswa.

Berdasarkan pada ayat Al-Qur‟an dan Hadits di atas, juga dapat

disimpulkan bahwa umat Islam harus selalu berlaku baik dan menghiasi

dirinya dengan karakter-karakter yang baik, seperti; mencintai pekerjaan,

auditing dan accounting, penilaian diri yang jujur, kerja tim, kerjasama dan

solidaritas antar anggota yang kesemuanya merupakan prinsip-prinsip umum

dari manajemen mutu masa kini. Beberapa peneliti memperdebatkan bahwa

istilah mutu memiliki kesamaan arti dengan istilah kelebihan dan keunggulan

dalam Al-Qur‟an dan Hadits, seperti; hasanat, toyyibat, al-ma‟ruf dan al-

khair.25

Menurut Shukri Muhammad Salleh, manajemen dalam perspektif Islam

melibatkan tiga tingkatan relasi. Ralasi-relasi ini termasuk relasi vertikal

antara manusia dengan Tuhan (hablun-minallah) dan ralasi horizontal antara

manusia dengan sumber daya alam (hablun-minal‟alam). Selain itu,

manajemen Islami harus berdasarkan tasawwur (pandangan hidup Islam) dan

epistemologi Islam. Manajemen Islami harus berlandaskan pada kepercayaan

kepada Allah SWT sebagai pencipta, manusia dan alam semesta sebagai

makhluk. Selain itu juga harus berlandaskan epistemologi Islam yang sumber

utamanya adalah Al-Qur‟an, Hadits, dan kesepakatan ulama (ijma‟).

Sehingga dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa, basic tasawwur

(pandangan hidup dasar) memuat tiga elemen dasar; pertama, hubungan

25
Firman Shakti Firdaus, Muhammad Nasri Md. Hussain, Mohd Norhasni Mohd Asaad dan
Rushami Zien Yusoff, Quality Management, hlm. 210.
28

antara manusia dengan Tuhan (hablun-minallah), kedua, hubungan antara

manusia dengan sesama manusia (hablun-minannas), dan ketiga, hubungan

antara manusia dengan alam semesta (hablun-minal‟alam). Ketiga elemen ini

akan menjadi formasi utama dari konsep mutu dalam perspektif Islam.26

Relasi-relasi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Islamic Tasawwur in
Quality Management

Allah SWT is Human is a Universe is a


The Creator Creature Creature
Hablun-minallah Hablun-
Hablun-minal‟alam
minannas
Universe
Tauhid Worship belongs to Allah
SWT

Created for
Purpose of Life Caliph
Human

Gambar 2.1 Islamic Tasawwur in Quality Management

Ketiga relasi di atas harus digunakan guru sebagai landasan dalam

meningkatkan mutu pembelajarannya. Hablum-minallah diaktualisasikan

dalam wujud niat utama mengajar adalah semata-mata untuk beribadah,

sehingga segala upaya yang dilakukan harus berlandaskan profesionalitas.

Sedangkan hablun-minannas dimaknai bahwa guru merupakan khalifah di

dalah kelas, baik buruknya hasil belajar siswa merupakan tanggungjawabnya.

Adapun untuk hablun-minal‟alam, guru harus mampu mendayagunakan

26
Firman Shakti Firdaus, Muhammad Nasri Md. Hussain, Mohd Norhasni Mohd Asaad dan
Rushami Zien Yusoff, Quality Management, hlm. 211.
29

lingkungan sekitar sebagai daya dukung dalam memberikan pembelajaran

yang berkualitas kepada siswa sekaligus menanamkan pada diri siswa bahwa

alam semesta merupakan amanah dari Allah SWT dan manusia diperintahkan

untuk menjaga dan mengelola dengan sebaik-baiknya.

Selain tasawwur (pandangan hidup) sebagaimana disebutkan di atas, di

dalam Islam juga terdapat prinsip-prinsip dan etika dalam bekerja yang perlu

untuk diperhatikan dalam melakukan upaya peningkatan mutu. Sebuah kajian

yang dilakukan oleh Nasser Al-Salmani, Everard A. van Kemenade, dan Teun

W. Hardjono tentang pendekatan manajemen mutu dalam perspektif Islam

mengemukakan bahwa terdapat tiga belas etika bekerja yang dikenal dalam

Islam. Ketiga belas etika tersebut adalah niat, ihsan, adil, Taqwa, ikhlas,

Amanah, jujur, memperbaiki diri, musyawarah, sabar, kerja tim, penyesuaian,

dan Supervisi. Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa terdapat prinsip-

prinsip yang harus dipegang dalam upaya peningkatan mutu. Prinsip-prinsip

tersebut adalah tata pemerintahan yang baik, kepemimpinan, manajemen

karyawan, fokus pelanggan, kemitraan & sumber daya, pendekatan sistem,

hasil, transparansi, tanggung jawab sosial, dan inovasi & kreativitas.27

Berdasarkan temuan di atas pedoman bagi pendekatan kualitas dalam

perspektif Islam secara garis besar dapat dijelaskan dalam Gambar 2.2 di

bawah ini. Pedoman ini terdiri dari delapan prinsip yaitu good governance,

kepemimpinan, fokus pelanggan, manajemen, hasil, kemitraan dan sumber

27
Nasser Al-Salmani, Everard A. van Kemenade, dan Teun W. Hardjono, A Quality Management
Approach from Islamic Perspective, online,
https://www.researchgate.net/publication/281746531_A_Quality_Management_Approach_from_I
slamic_Perspective, diakses pada 25 Desember 2016, pukul 18.55 WIB
30

daya karyawan, pendekatan sistematis, tanggung jawab sosial, transparansi,

dan kreativitas & inovasi. Filosofi dari pedoman dipusatkan di sekitar tata

pemerintahan yang baik yang didukung oleh prinsip-prinsip yang disebutkan

di atas untuk manajemen mutu. Ada hubungan yang saling terkait antara

prinsip-prinsip itu sendiri dan antara prinsip-prinsip dan tata pemerintahan

yang baik. Fungsi etika kerja Islam adalah untuk membuat pedoman eksplisit

di mana ia menjelaskan bagaimana masing-masing prinsip dapat dilakukan.

Misalnya, kepemimpinan dapat dilakukan dalam suatu organisasi melalui

meyakinkan niat baik, keadilan, dan kepercayaan dan semua etika lainnya.

Main Principles
Islamic Work Ethics Islamic Work Ethics

Intention (Niya) Leadershi Conscientious of self


improvement (Etqan)
p
Transpera
Stratigy
Benevolence (Ehsan) ncy Consultation (Shura)

justice (Adl) Conformity (Mutabakah)


Parnershi
Coustome
p& Good Dovernance
r Focus
Supervision (Riqabah) Resources
Patience (Sabr)

Sincerity and keeping


promises (Ekhlas) Teamwork
Outcome Employee (Ruh al jama‟a)
s s
Trust (Amanah) System
Approach Forever mindful of the
Almighty God (Taqwa)
Trustfulness (Sidq)

Innovation & creativity


Gambar 2.2 Pedoman Pendekatan Manajemen Mutu dalam Perspektif Islam

3. Pembelajaran Siswa Berkebutuhan Khusus

Islam merupakan agama universal (rahmatan lil‟alamiin) yang

menjunjung tinggi pluralisme. Oleh karena itu, di dalam Islam tidak ada
31

pembedaan (kastaisasi) terhadap pemeluknya. Semua umat Islam memiliki

hak dan kewajiban yang sama, termasuk dalam hal memperoleh pendidikan.

Sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu

Abdil Barr, bahwa semua umat Islam diwajibkan menuntut ilmu. Dalam

hadits ini, Rasulullullah tidak menyebutkan batasan-batasan bagi penuntut

ilmu. Sehingga hadits ini berlaku bagi seluruh umat Islam, termasuk anak

berkebutuhan khusus.

Allah SWT memperjelas hal tersebut dengan memberikan pelajaran

yang sungguh indah melalui diturunkannya Surah „Abasa yang berisi teguran

Allah SWT kepada Nabi Muhammad:

       


 

       

        

        

       


1. Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling,
2. karena telah datang seorang buta kepadanya
3. tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari
dosa),
4. atau Dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu
memberi manfaat kepadanya?
5. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup
6. Maka kamu melayaninya.
7. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau Dia tidak membersihkan
diri (beriman).
32

8. dan Adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera


(untuk mendapatkan pengajaran),
9. sedang ia takut kepada (Allah),
10. Maka kamu mengabaikannya.28

Sebab turunnya ayat tersebut adalah ketika Rasulullah Saw.

mengerutkan mukanya dan memalingkan diri dari seorang buta yang datang

kepadanya dan memotong pembicaraan. Ada riwayat yang menyebutkan,

pada suatu hari Abdullah Ibnu Umi Ma‟tum, seorang yang buta dan juga

putra Paman Hadijah datang kepada Nabi untuk menanyakan masalah Al-

Qur‟an dan memintanya supaya diajari tentang kitab suci itu. Ketika itu, nabi

tengah mengadakan pertemuan dengan para pemimpin Quraisy, seperti

„Uthbah bin Rabi‟ah, Syaibah ibn Rabi‟ah, Abu jahal, Umayyah bin Kalaf, al-

Walid ibn Mughirah. Nabi tengah berbicara yang bertujuan mengajak mereka

untuk memeluk Islam. Nabi kurang senang ketika tiba-tiba datang Abdullah

Ibnu Umi Ma‟tum yang memotong pembicaraan dengan mengajukan

pertanyaan. Nabi memalingkan mukanya dari tidak menjawab pertanyaan si

buta itu.

Berkenaan dengan sikap Nabi tersebut, Allah SWT. menurunkan ayat

ini, yang isinya menegur Nabi yang tidak melayani orang fakir dan buta,

sewaktu nabi melayani orang-orang terkemuka dan kaya raya. Menerima ayat

berisi teguran dari Allah SWT, Nabi pun langsung menyampaikan ayat itu

kepada para sahabatnya. Ini merupakan bukti bahwa apa yang disampaikan

oleh Nabi adalah wahyu Tuhan. Semua wahyu yang diterima dari Allah SWT,

28
Q.S. „Abasa (80): 1-10
33

Nabi selalu menyampaikannya kepada para sahabat. Sama sekali tidak ada

yang disembunyikan, meskipun isinya menegur perilaku Nabi sendiri.29

Hikmah yang dapat diambil dari ayat Al-Qur‟an di atas dalam konteks

pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus adalah bahwa; 1) guru sebagai

pendidik, pengajar, dan pembimbing tidak diperkenankan membeda-bedakan

(pilih kasih) dalam memberikan pembelajaran kepada siswa. Meskipun secara

fisik siswa tersebut mengalami kekurangan, akan tetapi mereka tetap

mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pembelajaran, 2) di balik

kekuangan yang diderita siswa berkebutuhan khusus, bisa jadi tersimpan

sebuah kelebihan yang tidak dimiliki siswa reguler yang menunggu sentuhan

dari guru untuk mengembangkannya (Q.S „Abasa: 3-4), dan 3) guru dituntut

profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik, pengajar, dan

pembimbing sehingga ia mampu memberikan layanan pembelajaran yang

berkualitas kepada semua siswanya tanpa terkendala kondisi siswa.

B. Landasan Teoritik
1. Strategi Guru dalam Pembelajaran Siswa Berkebutuhan Khusus
a. Pengertian Strategi Guru dalam Pembelajaran

Strategi merupakan sebuah cara atau sebuah metode, sedangkan

secara umum strategi memiliki pengertian suatu garis besar haluan untuk

bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan.30 Strategi

hampir sama dengan kata taktik, siasat atau politik yaitu suatu penataan

29
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur‟anul Majid An-Nur, Vol 5,
diterjemahkan oleh Nouruzzaman Shiddiqi, M.A. dan Z. Fuad Hasbi Ash Shiddiqy, (Semarang:
PT. Pustaka Rizka Putra, 2003) cet, II, h. 4491-4492
30
Syaiful Bahri Djamarah & Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rineka Cipta,
2002), hlm 5.
34

potensi dan sumber daya agar dapat efisien memperoleh hasil suatu

rancangan. Siasat merupakan pemanfaatan optimal situasi dan kondisi

untuk menjangkau sasaran.31

Strategi juga diartikan sebagai suatu garis-garis besar haluan

untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan.

Jika dihubungkan dengan belajar-mengajar, strategi bisa diartikan

sebagai pola-pola umum kegiatan guru dan anak didik dalam perwujudan

kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah digariskan.32

Merujuk pada beberapa pengertian di atas, maka strategi dapat

diartikan sebagai suatu susunan, pendekatan, atau kaidah-kaidah untuk

mencapai suatu tujuan dengan menggunakan tenaga, waktu, serta

kemudahan secara optimal. Apabila dalam konteks proses pembelajaran,

strategi adalah cara yang dipilih guru untuk menyampaikan materi

pelajaran dalam lingkungan pengajaran tertentu, yang meliputi sifat,

lingkup, dan urutan kegiatan yang dapat memberikan pengalaman belajar

kepada siswa. Strategi belajar mengajar tidak hanya terbatas pada

prosedur kegiatan, tetapi juga termasuk didalamnya materi atau paket

pengajarannya.

Guru di era pendidikan modern dituntut untuk lebih kreatif dan

inovatif dalam menyajikan pembelajaran. Terjadinya pergeseran

paradigma pembelajaran dari teacher centered menjadi student centered

membawa implikasi yang kompleks terhadap pelaksanaan pembelajaran.


31
Noeng Muhajir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial: Teori Pendidikan Pelaku Sosial
Kreatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000), hlm. 138-139.
32
Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar, hlm. 5
35

Termasuk dalam hal ini adalah pemilihan strategi yang akan digunakan

guru dalam melaksanakan pembelajaran di kelas. Guru tidak lagi

berperan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan di dalam kelas, akan

tetapi peran guru lebih sebagai fasilitator, motivator, dan mediator bagi

siswa dalam memahami materi pembelajaran yang bersumber baik dari

buku teks maupun lingkungan sekitar. Uraian berikut akan menjelaskan

strategi-strategi guru dalam melaksanakan pembelajaran.

b. Strategi Guru dalam Pembelajaran Siswa Berkebutuhan Khusus

Belajar pada hakikatnya adalah proses membangun gagasan,

pengetahuan, dan pemahaman sendiri. Oleh karena itu, kegiatan

pembelajaran hendaknya memberikan kesempatan yang seluas-luasnya

kepada peserta didik untuk melakukan hal tersebut dengan lancar dan

penuh motivasi. Tugas guru adalah memfasilitasi dan menciptakan

suasana dan iklim belajar yang melibatkan siswa secara aktif. Terdapat

berbagai cara yang dapat dilakukan oleh guru untuk membuat proses

pembelajaran menjadi aktif dan dinamis yang dapat mengasah dan

mengembangkan ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik siswa.

Berikut akan diuraikan berbagai setraegi pembelajaran yang dapat

digunakan guru untuk mengaktifkan siswa selama proses pembelajaran.

Masing-masing straegi mempunyai kelebihan dan kekurangan sendiri

tergantung pada tujuan yang hendak dicapai, ketersediaan fasilitas, dan

kondisi siswa.
36

Terdapat banyak strategi yang bisa diterapkan oleh guru dalam

melaksanakan pembelajaran siswa berkebutuhan khusus. Berikut ini

beberapa strategi pembelajaran siswa berkebutuhan khusus menurut

Jeremy Ford:33

1. Co-Teaching

Model pembelajaran ini mengharuskan guru kelas dan Guru

Pendamping Khusus (GPK) untuk bekerja bersama. Menurut Jeremy

Ford, melalui kerja sama ini guru kelas dan GPK bisa memberikan

dukungan yang lebih baik kepada siswa berkebutuhan khusus daripada

bekerja sendiri.34 Vaughn, Schumm, dan Arguelles menggambarkan

lima metode pembelajaran berbasis model Co-Teaching. Kelima

metode pembelajaran tersebut dijelaskan dalam tabel berikut:

Tabel 2.1 Perbandingan Metode Pembelajaran


Berbasis Model Co-Teaching
Metode Deskripsi Keuntungan
Seorang guru
menginstruksikan semua Siswa dengan dan tanpa
siswa, sementara guru keterbatasan dapat
One Teach, One Assist kedua menyediakan menerima bantuan pada
tambahan dukungan bagi materi pembelajaran
mereka yang yang sulit
membutuhkannya
Siswa dibagi menjadi tiga
kelompok yang terpisah Siswa dengan dan tanpa
dengan dua kelompok keterbatasan mendapat
Station Teaching bekerja dengan salah satu keuntungan yaitu
dari dua guru dan ketiga menerima instruksi
bekerja secara dalam kelompok kecil
independen
Prallel Teaching Guru merencanakan Siswa dengan dan tanpa

33
Jeremy Ford, Educating Students with Learning Disabilities in Inclusive Classrooms, Electronic
Journal for Inclusive Education, Vol. 3, No. 1 (Musim Dingin, 2013), hlm. 5-9
37

Metode Deskripsi Keuntungan


pembelajaran bersama keterbatasan
sebelum membagi siswa mendapatkan
menjadi dua kelompok, keuntungan berupa kerja
dan kemudian sama dalam kelompok
memberikan kecil, guru juga
pembelajaran yang sama diuntungkan dengan
kepada dua kelompok ini belajar dari keahlian
masing-masing
Salah satu guru
bertanggung jawab untuk
mengajar dan yang Siswa penyandang
lainnya bertanggung keterbatasan, dan siswa
jawab untuk pra- lain berjuang dengan
Alternative Teaching
mengajar dan materi yang sulit dapat
mengajarkan kembali menerima tambahan
konsep untuk siswa yang petunjuk langsung
membutuhkan dukungan
tambahan
Siswa dengan
keterbatasan khususnya
Guru memberikan
belajar dengan baik dari
instruksi bersama-sama
model perilaku yang
di kelas yang sama dan
Team Teaching diberikan, dan siswa
mengubah arah instruksi
tanpa keterbatasan
atau pemodelan perilaku
kemungkinan besar
siswa
mendapatkan
keuntungan yang sama
Diadaptasi dari Vaughn, Schumm, dan Arguelles (1997)

2. Differentiated Instruction

Model pembedaan instruksi melibatkan siswa dengan hambatan

belajar, dan siswa lain dengan beragam kebutuhan belajar, yang

disertakan dengan metode pembelajaran dan materi yang cocok untuk

kebutuhan individu mereka. Tomlinson (2001) memberikan lima

pedoman untuk berhasil menerapkan pembedaan instruksi dalam kelas

inklusif: (a) menjelaskan semua konsep kunci dan generalisasi, (b)

penggunaan penilaian sebagai alat pengajaran untuk memperpanjang,


38

tidak hanya ukuran, instruksi, (c) membuat siswa berpikir kritis dan

kreatif sesuai tujuan desain pelajaran, (d) melibatkan setiap siswa dalam

belajar, dan (e) menyediakan keseimbangan tugas antara apa yang

ditugaskan oleh guru dan dipilih oleh siswa.

3. Peer-Mediated Instruction and Interventions (PMII)

PMII adalah seperangkat strategi pengajaran alternatif yang

menggunakan siswa sebagai instruktur untuk siswa di kelas mereka.

Akibatnya, ketika PMII digunakan peran guru berubah dari penyedia

utama instruksi pembelajaran menjadi fasilitator bagi ketersediaan

instruksi rekan. Penyediaan instruksis rekan dapat berupa instruksi

langsung (misalnya, bimbingan belajar) maupun tidak langsung

(misalnya, pemodelan) dan dapat fokus pada baik pengembangan

akademis ataupun sosial-emosional.

Ketiga model pembelajaran tersebut memiliki kelebihan dan

kekurangan masing-masing. Hal ini bergantung pada jenis pelayanan model

mana yang diterapkan sekolah, apakah kelas inklusi atau kelas inklusi penuh

(full inclution).

2. Peningkatan Mutu Pembelajaran

a. Pengertian Mutu Pembelajaran

Terdapat banyak definisi tentang mutu dengan berbagai perspektif

dan konteks yang melatar belakanginya. Bapak mutu, Edward Deming

mendefinisikan mutu sebagai “a predictable degree of uniformity and

dependability at a low cost, suited to market. Sedangkan Joseph M. Juran


39

mendefinisikan mutu sebagai “fitness for use, as judge by the user.”

Kemudian Piliph B. Crosby mengatakan bahwa mutu adalah

“conformance to requirements”.35

Mutu memang sulit untuk didefiniskan. Hal ini karena setiap

individu mempunyai ukuran masing-masing dalam menentukan mutu.

Sehingga mutu amatlah subyektif. Kesulitan ini juga diungkapkan oleh

Edward Deming, ia menyatakan:

“The difficulty in defining quality is to translate future needs of

the user into measurable characteristics, so that a product can be

designed and turned out to give satisfaction at a price that the user will

pay”.36

Selain Deming, Nomi Pfeffer dan Ana Coote menyatakan bahwa

mutu merupakan konsep yang licin. Mutu mengimplikasikan hal-hal

yang berbeda pada masing-masing orang.37 Berdasarkan kesukaran

tersebut, Deming kemudian mendefinisikan mutu menurut konteks,

persepsi customer, dan kebutuhan serta kemauan customer. 38

Berdasarkan uraian tentang mutu di atas, dapat disimpulkan

secara sederhana bahwa mutu adalah kondisi barang atau jasa yang

sesuai atau melebihi standar serta mampu memberikan kepuasan dan

memenuhi kebutuhan pelanggan.

35
Soewarso Hardjosoedarmo, Total Quality Management, (Yogyakarta: Andi Offset, 2004), hlm.
68
36
Soewarso Hardjosoedarmo, Total Quality Management, hlm., 68
37
Edward Sallis, Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan, Terj. Ahmad Ali riyadi & Fahrurrozi,
(Jogjakarta: IRCiSoD, 2011), hlm., 50.
38
Soewarso Hardjosoedarmo, Total Quality Management, hlm., 68
40

Sedangkan definisi pembelajaran dapat didefinisikan secara

bahasa yakni berasal dari kata “ajar” yang berarti petunjuk yang

diberikan kepada orang supaya diketahui (diturut); kemudian diberi

imbuhan “ber-“ sehingga menjadi “belajar” yang mempunyai arti

berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu. Kata belajar kemudian

diberi imbuhan “pe-“ dan akhiran “-an” sehingga menjadi

“pembelajaran” yang mempunyai arti proses, cara, perbuatan menjadikan

orang atau makhluk hidup belajar.39 Sedangkan menurut istilah, banyak

sekali pendapat para ahli mengenai pembelajaran.

Disebutkan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional bahwa, pembelajaran adalah proses interaksi

peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan

belajar. Berdasarkan konsep tersebut, dapat dipahami bahwa

pembelajaran menuntut terjadinya komunikasi dua arah yaitu antara

pihak yang mengajar (guru) dengan pihak yang diajar (siswa).

Senada dengan pengertian di atas, Mulyasa mengemukakan

bahwa pembelajaran pada hakekatnya adalah proses interaksi antara

peserta didik dengan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan perilaku

kearah yang lebih baik. Sementara itu, Gagne mendefiniskan bahwa

pembelajaran adalah serangkaian aktivitas yang sengaja diciptakan

dengan maksud untuk memudahkan terjadinya proses belajar.40

39
http://kbbi.web.id/ajar, (online), diakses tanggal 26 September 2016, pukul 19.28 WIB.
40
Gina Dewi Lestari Nur, Pembelajaran Vokal Grup Dalam Kegiatan Pembelajaran Diri di SMPN
1 Panumbangan Ciamis, Universitas Pendidikan Indonesia, 2014, hlm. 7.
41

Pembelajaran (instruction) adalah usaha untuk membuat peserta didik

belajar atau suatu kegiatan untuk membelajarkan peserta didik.41

Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan proses interaksi antara

guru, siswa dan sumber belajar yang didesain untuk mencapai tujuan

yang telah di tetapkan. Pembelajaran pada hakekatnya adalah proses

interaksi individu dengan semua situasi yang ada di sekitarnya.

Pembelajaran merupakan akumulasi dari konsep mengajar (teaching) dan

konsep belajar (learning) yang di dalamnya terdapat komponen-

komponen yang tidak mungkin dipisahkan.

Adapun yang dimaksud mutu pembelajaran adalah ukuran yang

menunjukkan seberapa tinggi mutu interaksi guru dengan siswa

dalam proses pembelajaran dalam rangka pencapaian tujuan tertentu.

Proses interaksi ini dimungkinkan karena manusia merupakan mahluk

sosial yang membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Oleh karena

itu, keberhasilan proses pembelajaran sangat tergantung pada guru,

siswa, sarana pembelajaran, lingkungan kelas, dan budaya kelas.

Semua indikator tersebut harus saling mendukung dalam sebuah

sistem kegiatan pembelajaran yang bermutu.

Berdasarkan paradigma mutu, maka siswa dalam pembelajaran,

meminjam istilah Edward Sallis, berperan sebagai pelanggan utama

(primary customer). Oleh karena itu, dalam konteks ini sekolah sebagai
42

penyedia layanan pendidikan harus memberikan pelayanan optimal

kepada siswa untuk mencapai hasil belajar yang diinginkan. Termasuk

dalam hal ini adalah pemberian layanan pembelajaran sesuai dengan gaya

belajar dan kebutuhan siswa. Menurut Edward Sallis, lembaga

pendidikan memiliki kewajiban untuk membuat peserta didik sadar

berbagai metode pembelajaran yang tersedia bagi mereka. Mereka harus

memberikan peserta didik kesempatan untuk mencicipi belajar dalam

berbagai gaya yang berbeda. Lembaga perlu memahami bahwa banyak

peserta didik juga ingin beralih dan mix and match gaya dan harus

mencoba untuk menjadi cukup fleksibel untuk memberikan pilihan dalam

belajar.42

b. Indikator Mutu Pembelajaran

Berbicara mengenai mutu tidak lepas dari pembiacaraan tentang

standar. Sebagaimana diungkapkan pada bagian terdahulu bahwa mutu

dapat dikatakan sebagai tercapainya standar yang telah ditetapkan. Dalam

konteks pembelajaran, mutu dapat dicapai apabila pembelajaran yang

dilakukan sesuai dengan standar yang telah di tetapkan. Menurut

Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses,

dianyatakan bahwa proses Pembelajaran pada satuan pendidikan

diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang,

memotivasi pesertadidik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan

ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai

42
Edward Sallis, Total Quality Management in Education, (London: Kogan Page Ltd, 2002), hlm.
30-31
43

dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta

didik. Untuk itu setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan

pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran serta penilaian proses

pembelajaran untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas ketercapaian

kompetensi lulusan.

Sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi maka

prinsip pembelajaran yang digunakan adalah:

a. dari peserta didik diberi tahu menuju peserta didik mencari tahu;

b. dari guru sebagai satu-satunya sumber belajar menjadi belajar

berbasis aneka sumber belajar;

c. dari pendekatan tekstual menuju proses sebagai penguatan

penggunaan pendekatan ilmiah;

d. dari pembelajaran berbasis konten menuju pembelajaran berbasis

kompetensi;

e. dari pembelajaran parsial menuju pembelajaran terpadu;

f. dari pembelajaran yang menekankan jawaban tunggal menuju

pembelajaran dengan jawaban yang kebenarannya multi dimensi;

g. dari pembelajaran verbalisme menuju keterampilan aplikatif;

h. peningkatan dan keseimbangan antara keterampilan fisikal

(hardskills) dan keterampilan mental (softskills);

i. pembelajaran yang mengutamakan pembudayaan dan

pemberdayaan peserta didik sebagai pembelajar sepanjang hayat;


44

j. pembelajaran yang menerapkan nilai-nilai dengan memberi

keteladanan (ing ngarso sung tulodo), membangun kemauan (ing

madyo mangun karso), dan mengembangkan kreativitas peserta

didik dalam proses pembelajaran (tut wuri handayani);

k. pembelajaran yang berlangsung di rumah di sekolah, dan di

masyarakat;

l. pembelajaran yang menerapkan prinsip bahwa siapa saja adalah

guru, siapa saja adalah peserta didik, dan di mana saja adalah kelas;

m. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk

meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembelajaran; dan

n. Pengakuan atas perbedaan individual dan latar belakang budaya

peserta didik.43

Menurut Muljono, konsep mutu pembelajaran mengandung lima

rujukan, yaitu: (1) kesesuaian, (2) daya tarik, (3) efektivitas, (4) efisiensi,

dan (5) produktivitas pembelajaran. Penjelasan masing-masing adalah

sebagai berikut:

Pertama, kesesuaian, yaitu meliputi indikator sebagai berikut:

sepadan dengan karakterisitik peserta didik, serasi dengan aspirasi

masyarakat, maupun perorangan, cocok dengan kebutuhan masyarakat,

sesuai dengan kondisi lingkungan, selaras denagn tuntutan zaman, dan

sesuai dengan teori/prinsip, dan /atau nilai baru dalam pendidikan.

43
Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2016 Tentang Standar Proses
Pendidikan Dasar Dan Menengah.
45

Kedua, daya tarik, dengan indikator: kesempatan belajar yang

tersebar dan karena itu mudah dicapai dan diikuti, isi pendidikan yang

mudah dicerna karena telah diolah sedemikian rupa, kesempatan yang

tersedia dapat diperoleh siapa saja pada setiap saat diperlukan, pesan

yang diberikan pada saat dan peristiwa yang tepat,.

Ketiga, efektivitas pembelajaran yang sering kali diukur dengan

tercapainya tujuan, atau dapat pula diartikan sebagai ketepatan dalam

mengelola suatu situasi . atau doing the right things.

Keempat, efisiensi pembelajaran dapat diartikan sebagai

kesepadanan antara waktu, biaya dan tenaga yang dugunakan dengan

hasil yang diperoleh atau dapat dikatakan sebagai mengerjakan sesuatu

dengan benar.

Kelima, produktivitas pada dasarnya adalah keadaan atau proses

yang memungkinkan diperolehnya hasil yang lebih baik dan lebih

banyak. Produktivitas pembelajaran dapat mengandung arti: perubahan

proses pembelajaran (dari menghafal dan mengingat ke menganalisis dan

mencipta), penambahan masukan dalam proses pembelajaran (dengan

menggunakan berbagai macam sumber belajar), peningkatan intensitas

interaksi peserta didik dengan sumber belajar , atau gabugan ketigannya

dalam kegiatan belajar-pembelajaran sehingga menghasilkan mutu yang

lebih baik, keikutsertaan dalam pendidikan yang lebih luas, lulusan lebih

banyak, lulusan yang lebih dihargai oleh masyarakat, dan berkurangnya

angka putus sekolah.


46

Sedangkan menurut Adrienne Alton-Lee, pembelajaran yang

bermutu memiliki sepuluh karakteristik sebagai berikut:

1) Pembelajaran bermutu difokuskan pada prestasi siswa (termasuk

hasil-hasil sosial) dan memfasilitasi standar yang tinggi dari hasil

siswa untuk kelompok heterogen siswa.

2) praktek pedagogis memungkinkan kelas dan kelompok belajar

lainnya untuk bekerja sebagai masyarakat belajar yang peduli,

inklusif dan kohesif.

3) Hubungan yang efektif diciptakan antara sekolah dan konteks budaya

lainnya di mana siswa disosialisasikan untuk memfasilitasi

pembelajaran.

4) Pembelajaran responsif terhadap proses belajar siswa

5) Kesempatan untuk belajar efektif dan memadai

6) Beberapa konteks tugas mendukung siklus pembelajaran

7) Tujuan kurikulum, sumber daya termasuk penggunaan ICT, desain

tugas dan mengajar secara efektif selaras.

8) Memberikan umpan balik yang sesuai pada siswa keterlibatan tugas.

9) Pedagogi memberikan perhatian penuh pada tujuan belajar,

pengaturan diri, strategi metakognitif dan memberi perhatian penuh

pada diskursus siswa.


47

10) Guru dan siswa terlibat secara konstruktif dalam penilaian

berorientasi pada tujuan.44

c. Strategi Peningkatan Mutu Pembelajaran

Mutu pembelajaran merupakan bagian integral dari mutu

pendidikan secara keseluruhan. Oleh karena itu sebelum memahami

konsep mutu pembelajaran, terlebih dahulu harus diketahui konsep dasar

tentang mutu pendidikan.

Kemendikbud mendefinisikan pengertian mutu pendidikan bahwa

“mutu pendidikan adalah kemampuan sekolah dalam pengelolaan

sekolah secara operasional dan efisien terhadap komponen-komponen

yang berkaitan dengan sekolah, sehingga menghasilkan nilai tambah

terhadap komponen tersebut menurut norma atau standar yang

berlaku”.45 Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa pada

dasarnya mutu pendidikan merupakan kemampuan sekolah dalam

menghasilkan nilai tambah yang diperolehnya menurut standar yang

berlaku.

Bertitik tolak dari pemikiran tersebut, maka mutu pembelajaran

merupakan kemampuan yang dimiliki sekolah dalam penyelenggaraan

pembelajaran secara efektif dan efisien, sehingga menghasilkan manfaat

yang bernilai tinggi bagi pencapaian tujuan pengajaran yang telah

44
Adrienne Alton-Lee, Quality Teaching for Diverse Students in Schooling: Best Evidence
Synthesis, (Wllington: Ministry of education, 2003), hlm. 89
45
Kemendikbud, Petunjuk Peningkatan Mutu Pendidikan di Sekolah, (Jakarta: Kemendikbud,
2014), hlm. 7
48

ditentukan.46 Sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa peningkatan

mutu pembelajaran akan terwujud secara baik apabila dalam

pelaksanaannya didukung oleh komponen-komponen peningkatan mutu

antara lain:

1) Penampilan Guru

Komponen yang menunjang terhadap peningkatan mutu

pembelajaran adalah penampilan guru, artinya bahwa rangkaian

kegiatan yang dilakukan seorang guru dalam melaksanakan

pengajaran sangat menentukan terhadap mutu pembelajaran yang

dihasilkan. Kunci keberhasilannya mengingat bahwa guru yang

merupakan salah satu pelaku dan bahkan pemeran utama dalam

penyelenggaraan pembelajaran, sehingga diharapkan penampilan

guru harus benar-benar memiliki kemampuan, keterampilan dan

sikap yang profesional yang pada akhirnya mampu menunjang

terhadap peningkatan mutu pembelajaran yang akan dicapai.

2) Penguasaan Materi/Kurikulum

Komponen lainnya yang menunjang terhadap peningkatan

mutu pembelajaran yaitu penguasaan materi/kurikulum.

Penguasaan ini sangat mutlak harus dilakukan oleh guru dalam

menyelenggarakan pembelajaran, mengingat fungsinya sebagai

objek yang akan disampaikan kepada peserta didik. Dengan

46
Nani Rosdijati & Widyaiswara Madya, Peran dan Fungsi Guru dalam Meningkatkan Mutu
Pembelajaran, (online), http://www.lpmpjateng.go.id/web/index.php/arsip/karya-tulis-ilmiah/899-
peran-dan-fungsi-guru-dalam-meningkatkan-mutu-pembelajaran, diakses tanggal 8 Desember
2016, Pukul 01.26 WIB
49

demikian penguasaan materi merupakan kunci yang menentukan

keberhasilan dalam meningkatkan mutu pembelajaran, sehingga

seorang guru dituntut atau ditekan untuk menguasai

materi/kurikulum sebelum melakukan pengajaran di depan kelas.

3) Penggunaan Metode Mengajar

Penggunaan metode mengajar juga merupakan komponen

dalam peningkatan mutu pembelajaran yang menunjukkan bahwa

metode mengajar yang akan dipakai guru dalam menerangkan di

depan kelas tentunya akan memberikan konstribusi terhadap

peningkatan mutu pembelajaran. Dengan menggunakan metode

mengajar yang benar dan tepat, maka memungkinkan akan

mempermudah siswa memahami materi yang akan disampaikan.

4) Pendayagunaan Alat/Fasilitas Pendidikan

Kemampuan lainnya yang menentukan peningkatan mutu

pembelajaran yaitu pendayagunaan alat-fasilitas pendidikan. Mutu

pembelajaran akan baik apabila dalam pelaksanaan pembelajaran

didukung oleh alat/fasilitas pendidikan yang tersedia. Hal ini akan

memudahkan guru dan siswa untuk menyelenggarakan

pembelajaran, sehingga diharapkan pendayagunaan alat/fasilitas

belajar harus memperoleh perhatian yang baik bagi sekolah-

sekolah dalam upaya mendukung terhadap peningkatan mutu

pembelajaran.
50

5) Penyelengaraan Pembelajaran dan Evaluasi

Mutu pembelajaran ditentukan oleh penyelenggaraan

pembelajaran dan evaluasi yang menunjukkan bahwa pada

dasarnya mutu akan dipengaruhi oleh proses. Oleh karena itu guru

harus mampu mengelola pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran,

sehingga mampu mewujudkan peningkatan mutu yang optimal.

6) Pelaksanaan Kegiatan Kurikuler dan Ekstra-kurikuler

Peningkatan mutu pembelajaran dipengaruhi pula oleh

pelaksanaan kegiatan kurikuler dan ekstra-kurikuler yang

menunjukkan bahwa mutu akan mampu ditingkatkan apabila dalam

pembelajaran siswa ditambah dengan adanya kegiatan kurikuler

dan esktra-kurikuler. Kegiatan tersebut perlu dilakukan, mengingat

akan menambah pengetahuan siswa di luar pengajaran inti di kelas

dan tentunya hal ini akan menjadi lebih baik terutama dalam

meningaktkan kreativitas dan kompetensi siswa.47

Sementara itu, menurut Kemendikbud dalam hal ini Direktorat

Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, untuk dapat mencapai mutu

pembelajaran, terdapat beberapa komponen intrakurikuler yang harus

dipenuhi guru. Komponen-komponen tersebut adalah:

47
Nani Rosdijati & Widyaiswara Madya, Peran dan Fungsi Guru dalam Meningkatkan Mutu
Pembelajaran, (online), http://www.lpmpjateng.go.id/web/index.php/arsip/karya-tulis-ilmiah/899-
peran-dan-fungsi-guru-dalam-meningkatkan-mutu-pembelajaran, diakses tanggal 8 Desember
2016, Pukul 01.26 WIB
51

1) Bahan Belajar

Bahan pembelajaran yang bermutu merupakan bahan

pembelajaran yang mengintegrasikan berbagai kompetensi dari

berbagai mata pelajaran ke dalam berbagai tema. Pendekatan yang

digunakan untuk mengintegrasikan kompetensi dasar dari berbagai

mata pelajaran yaitu multidisipliner dimana integrasi muatan

lokal/nasional/global dimasukkan ke dalam setiap mata pelajaran.

Pengembangan intrakurikuler berdasarkan muatan lokal perlu

dilakukan untuk:

a) meningkatkan pemahaman peserta didik pada potensi dan

persoalan lingkungan, sosial dan budaya di wilayah tempat

tinggal;

b) membentuk sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-

nilai/aturan yang berlaku di daerah,

c) melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai kearifan lokal

untuk mendukung pendidikan bermutu;

d) meningkatkan pengetahuan tentang wilayah dimana mereka

tinggal, dan

e) membangun keterampilan peserta didik untuk mampu

mengidentifikasi persoalan, mencari solusi dan

mengembangkannya.
52

2) Model Pembelajaran

Sasaran pembelajaran mencakup pengembangan ranah sikap,

pengetahuan, dan keterampilan. Kurikulum nasional menerapkan

pembelajaran berbasis penyingkapan/penelitian (discovery/inquiry

learning) untuk memperkuat pendekatan ilmiah dan tematik terpadu

(tematik antar mata pelajaran). Proses pembelajaran dengan

pendekatan ilmiah merupakan pembelajaran yang memadukan antara

komponen pengetahuan, keterampilan dan sikap peserta didik.

Semua kegiatan pembelajaran melibatkan peserta didik secara aktif

sehingga tidak ada pembelajaran yang membosankan yang hanya

terfokus pada pendidik. Peserta didik diberi kebebasan dalam

mengkonstruksikan pemikiran, pengembangan konsep dan temuan.

Peserta didik dibiasakan mengatur dirinya untuk mendapatkan fakta-

fakta yang terjadi. Pendidik hanya sebagai fasilitator, waktu belajar

didominasi oleh peserta didik, pendidik mendorong peserta didik

untuk aktif, bertanggung jawab dalam proses-proses penemuan

pembelajaran mereka sendiri.

Tahapan pembelajaran berdasarkan ranah pencapaian dapat

dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.2 Tahapan Pembelajaran Sesuai Ranah Pencapaian


Kompetensi
Sikap Pengetahuan Keterampilan
Menerima Mengingat Mengamati
Menjalankan Memahami Menanya
Menghargai Menerapkan Mencoba
Menghayati Menganalisis Menalar
Mengamalkan Mengevaluasi Menyaji
53

Mencipta

Kegiatan pembelajaran yang dilakukan meliputi:

a) Memulai Pembelajaran

b) Mengajak peserta didik melakukan pengamatan

c) Mengajak peserta didik melakukan eksperimen

d) Mengajak peserta didik melakukan diskusi

e) Mendorong peserta didik agar berani menyampaikan

pendapat

f) Mendorong peserta didik untuk kritis/bertanya

g) Mengajari peserta didik berpresentasi

h) Memberikan tugas kepada peserta didik untuk menyiapkan

materi pembelajaran

Pelaksanaan pembelajaran merupakan implementasi dari

RPP, meliputi kegiatan pendahuluan, inti dan penutup.

a) Kegiatan pendahuluan, pendidik menyiapkan peserta didik,

memberi motivasi, mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang

mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang

akan dipelajari, menjelaskan tujuan pembelajaran dan

menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian

kegiatan sesuai silabus.

b) Kegiatan inti, menggunakan model pembelajaran, metode

pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber belajar

yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan


54

mata pelajaran. Pemilihan pendekatan tematik dan/ atau

tematik terpadu dan/atau saintifik dan/atau inkuiri dan

penyingkapan (discovery) dan/atau pembelajaran yang

menghasilkan karya berbasis pemecahan masalah (project

based learning) disesuaikan dengan karakteristik

kompetensi dan jenjang pendidikan.

c) Kegiatan penutup, pendidik bersama peserta didik baik

secara individual maupun kelompok melakukan refleksi

untuk mengevaluasi seluruh rangkaian aktivitas,

memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil

pembelajaran, melakukan kegiatan tindak lanjut dalam

bentuk pemberian tugas, baik tugas individual maupun

kelompok dan menginformasikan rencana kegiatan

pembelajaran untuk pertemuan berikutnya.

Selanjutnya untuk mendorong kemampuan peserta didik

untuk menghasilkan karya kontekstual (baik individual maupun

kelompok) maka digunakan pendekatan pembelajaran yang

menghasilkan karya berbasis pemecahan masalah (project based

learning). Dalam implementasinya, masalah yang diangkat sebagai

project adalah masalah lingkungan sekitar/ lokal, nasional maupun

global. Dalam proses pembelajaran, beban peserta didik untuk SD

Kelas IV, V dan VI adalah 36 jam per minggu dan untuk tahun I,
55

II, dan III adalah 30, 32, 34 jam per minggu. Satu jam belajar untuk

satuan pendidikan dasar adalah 40 menit.

3) Penilaian Pembelajaran

Penilaian pembelanjaan dilakukan terhadap proses maupun

hasil pembelajaran. Contoh evaluasi terhadap proses dan hasil

pembelajaran dilakukan dengan cara:

a) Proses Pembelajaran

Evaluasi terhadap penyusunan rencana pelaksanaan

pembelajaran (RPP) yang telah dilakukan oleh pendidik,

contohnya apakah: 1) muatan lokal/nasional/global telah

terintegrasi ke dalam tema/mata pelajaran yang akan dibahas

dan telah tertuang dalam RPP; 2) pendidik menuliskan model

pembelajaran yang digunakan.

Evaluasi terhadap proses pembelajaran oleh pendidik,

yaitu: 1)bagaimana pendidik menjalankan proses pembelajaran

yang mengintegrasikan muatan lokal/nasional/global dalam

setiap kegiatan pembelajaran; 2) apakah pendidik dapat

menjalankan fungsinya sebagai fasilitator; 3) bagaimana

suasana belajar yang dijalankan, antusiasme dan aktivitas

peserta didik; 4) apakah pendekatan saintifik berjalan dengan

baik.
56

b) Hasil Pembelajaran

Evaluasi hasil belajar dilakukan dengan mengukur

sikap, pengetahuan dan keterampilan peserta didik setelah

proses pembelajaran selesai dilakukan.

3. Pembelajaran Siswa Berkebutuhan Khusus


a. Siswa Berkebutuhan Khusus
1) Pengertian Siswa Berkebutuhan Khusus

Konsep anak berkebutuhan khusus (dalam penelitian ini

disebut sebagai siswa berkebutuhan khusus) memiliki arti yang lebih

luas dibandingkan dengan pengertian anak luar biasa. Anak

berkebutuhan khusus adalah anak yang dalam pendidikan memerlukan

pelayanan yang spesifik, berbeda dengan anak pada umumnya. Anak

berkebutuhan khusus ini mengalami hambatan dalam belajar dan

perkembangan, oleh sebab itu mereka memerlukan layanan

pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan belajar masing-masing

anak.48

Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menunjukkan

keadaan anak berkebutuhan khusus. Istilah anak berkebutuhan khusus

merupakan istilah terbaru yang digunakan dan merupakan terjemahan

dari children with special need yang telah digunakan secara luas di

dunia internasional. Ada beberapa istilah lain yang digunakan untuk

48
Lilik Maftuhatin, Evaluasi Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Di Kelas Inklusif
Di SD Plus Darul „Ulum Jombang, Religi: Jurnal Studi Islam, Volume 5, Nomor 2, (Oktober,
2014), hlm. 210
57

menyebut anak berkebutuhan khusus antara lain anak cacat, anak

tuna, anak berkelainan, anak menyimpang, dan anak luar biasa.

Banyak istilah yang dipergunakan sebagai variasi dari

kebutuhan khusus, seperti disability, impairment, dan handicaped.

Menurut World Health Organization (WHO), definisi masing-masing

istilah adalah sebagai berikut:

a. Impairment: merupakan suatu keadaan atau kondisi di mana

individu mengalami kehilangan atau abnormalitas psikologis,

fisiologis atau fungsi struktur anatomis secara umum pada

tingkat organ tubuh. Contoh seseorang yang mengalami

amputasi satu kakinya, maka dia mengalami kecacatan kaki.

b. Disability: merupakan suatu keadaan di mana individu

mengalami kekurangmampuan yang dimungkinkan karena

adanya keadaan impairment seperti kecacatan pada organ

tubuh. Contoh pada orang yang cacat kakinya, maka dia akan

merasakan berkurangnya fungsi kaki untuk melakukan

mobilitas.

c. Handicaped: merupakan ketidak beruntungan individu yang

dihasilkan dari impairment atau disability yang membatasi

atau menghambat pemenuhan peran yang normal pada

individu. Handicaped juga bisa diartikan suatu keadaan di

mana individu mengalami ketidakmampuan dalam

bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan. Hal ini


58

dimungkinkan karena adanya kelainan dan berkurangnya

fungsi organ individu. Contoh orang yang mengalami

amputasi kaki sehingga untuk aktivitas mobilitas atau

berinteraksi dengan lingkungannya dia memerlukan kursi

roda.49

Perubahan terminologi atau istilah anak berkebutuhan khusus

dari istilah anak luar biasa tidak terlepas dari dinamika perubahan

paradigm kehidupan masyarakat yang selalu berkembang. Masyarakat

dewasa ini melihat persoalan pendidikan anak penyandang cacat dari

sudut pandang yang lebih bersifat humanis dan holistik, dengan

penghargaan tinggi terhadap perbedaan individu dan penempatan

kebutuhan anak sebagai pusat perhatian, yang kemudian telah

mendorong lahirnya paradigma baru dalam dunia pendidikan anak

penyandang cacat dari special education ke special needs education.

Implikasinya, perubahan tersebut juga harus diikuti dengan perubahan

dalam cara pandang terhadap anak penyandang cacat yang tidak lagi

menempatkan kecacatan sebagai prioritas perhatian tetapi kepada

kebutuhan khusus yang harus dipenuhinya dalam rangka mencapai

perkembangan optimal. Dengan demikian, layanan pendidikan tidak

lagi didasarkan atas label kecacatan anak, akan tetapi harus didasarkan

pada hambatan belajar dan kebutuhan setiap individu anak atau lebih

49
Sitriah Salim Utina, Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, Tadbir; Jurnal Manajemen
Pendidikan Islam, Vol. 2, No. 1, (Februari, 2014), hlm. 73
59

menonjolkan anak sebagai individu yang memiliki kebutuhan yang

berbeda-beda.

2) Klasifikasi Siswa Berkebutuhan Khsusus

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Pasal 129 ayat

(3) menetapkan bahwa Peserta didik berkelainan terdiri atas peserta

didik yang: (a) tunanetra; (b) tunarungu; (c) tunawicara; (d)

tunagrahita; (e) tunadaksa; (f) tunalaras; (g) berkesulitan belajar; (h)

lamban belajar; (i) autis; (j) memiliki gangguan motorik; (k) menjadi

korban penyalahgunaan narkotika, obat terlarang, dan zat adiktif lain;

dan (l) memiliki kelainan lain.

Menurut klasifikasi dan jenis kelainan, anak berkebutuhan

dikelompokkan ke dalam kelainan fisik, kelainan mental, dan kelainan

karakteristik sosial.

a) Kelainan Fisik

Kelainan fisik adalah kelainan yang terjadi pada satu atau

lebih organ tubuh tertentu. Akibat kelainan tersebut timbul suatu

keadaan padafungsi fisik tubuhnya tidak dapat menjalankan

tugasnya secara normal. Tidak berfungsinya anggota fisik terjadi

pada: alat fisik indra, misalnya kelainan pada indra pendengaran

(tunarungu), kelainan pada indra penglihatan (tunanetra), kelainan

pada fungsi organ bicara (tunawicara); alat motorik tubuh,

misalnya kelainan otot dan tulang (poliomyelitis), kelainan pada

sistem saraf di otak yang berakibat gangguan pada fungsi motorik


60

(cerebral palsy), kelainan anggota badan akibat pertumbuhan yang

tidak sempurna, misalnya lahir tanpa tangan/kaki, amputasi dan

lain-lain. Untuk kelinan pada alat motorik tubuh ini dikenal dalam

kelompol tunadaksa.50

(1) Kelainan Tubuh (Tunadaksa)

Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan

gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan

struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat

kecelakaan, termasuk celebral palsy (kelayuhan otak),

amputasi (kehilangan organ tubuh), polio, dan lumpuh.

Tingkat gangguan pada tunadaksa adalah ringan yaitu

memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik tetap

masih dapat ditingkatkan melalui terapi, sedang yaitu memilki

keterbatasan motorik dan mengalami gangguan koordinasi

sensorik, berat yaitu memiliki keterbatasan total dalam gerakan

fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan fisik.

(2) Kelainan Indera Penglihatan (Tunanetra)

Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan

dalam penglihatan. Tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam

dua golongan yaitu: buta total (blind) dan low vision.

Definisi tunanetra menurut Kaufman & Hallahan

adalah individu yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi

50
Nandiyah Abdullah, Mengenal Anak Berkebutuhan Khusus, Magistra, No. 86, (Desember,
2013), hlm. 1-2
61

penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi

memiliki penglihatan. Karena tunanetra memiliki keterbataan

dalam indra penglihatan maka proses pembelajaran

menekankan pada alat indra yang lain yaitu indra peraba dan

indra pendengaran. Oleh karena itu prinsip yang harus

diperhatikan dalam memberikan pengajaran kepada individu

tunanetra adalah media yang digunakan harus bersifat taktual

dan bersuara, contohnya adalah penggunaan tulisan braille,

gambar timbul, benda model dan benda nyata. sedangkan

media yang bersuara adalah tape recorder dan peranti lunak

JAWS.

Untuk membantu tunanetra beraktivitas di sekolah luar

biasa mereka belajar mengenai orientasi dan mobilitas.

Orientasi dan Mobilitas diantaranya mempelajari bagaimana

tunanetra mengetahui tempat dan arah serta bagaimana

menggunakan tongkat putih (tongkat khusus tunanetra yang

terbuat dari alumunium).

(3) Kelainan Pendengaran (Tunarungu)

Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan

dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen.

Klasifikasi tunarungu berdasarkan tingkat gangguan

pendengaran adalah:

(a) Gangguan pendengaran sangat ringan (27-40dB)


62

(b) Gangguan pendengaran ringann (41-55dB)

(c) Gangguan pendengaran sedang (56-70dB)

(d) Gangguan pendengaran berat (71-90dB)

(e) Gangguan pendengaran ekstrim/tuli (di atas 91dB)

Karena memiliki hambatan dalam pendengaran

individu tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara

sehingga mereka biasa disebut tunawicara. Cara

berkomunikasi dengan individu menggunakan bahasa isyarat,

untuk abjad jari telah dipatenkan secara internasional

sedangkan untuk isyarat bahasa berbeda-beda di setiap negara.

saat ini dibeberapa sekolah sedang dikembangkan komunikasi

total yaitu cara berkomunikasi dengan melibatkan bahasa

verbal, bahasa isyarat dan bahasa tubuh. Individu tunarungu

cenderung kesulitan dalam memahami konsep dari sesuatu

yang abstrak. Kelainan pendengaran dapat dikelompokkan

menjadi 2 kelompok yaitu tuli (deaf) dan kurang dengar (hard

of hearing).

(4) Kelainan Bicara (Tunawicara)

Seseorang yang mengalami kesulitan dalam

mengungkapkan pikiran melalui bahasa verbal, sehingga sulit

bahkan tidak dapat dimengerti orang lain. Kelainan bicara ini

dapat bersifat fungsional di mana mungkin disebabkan karena

ketunarunguan, dan organik yang memang disebabkan adanya


63

ketidaksempurnaan organ bicara maupun adanya gangguan

pada organ motoris yang berkaitan dengan bicara.

b) Kelainan Mental

Anak kelainan dalam aspek mental adalah anak yang

memiliki penyimpangan kemampuan berpikir secara kritis, logis

dalam menanggapi dunia sekitarnya. Kelainan pada aspek mental

ini dapat menyebar ke dua arah, yaitu kelainan mental dalam arti

lebih (supernormal) dan kelainan mental dalam arti kurang

(subnormal). Kelainan mental dalam arti lebih atau anak unggul,

menurut tingkatannya dikelompokkan menjadi: (a) anak mampu

belajar dengan cepat (rapid learner), (b) anak berbakat (gifted), dan

(c) anak genius (extremely gifted). Karakteristik anak yang

termasuk dalam kategori mampu belajar dengan cepat jika hasil

kecerdasan menunjukkan, bahwa indeks kecerdasannya yang

bersangkutan berada pada rentang 110-120, anak berbakat jika

indeks kecerdsannya berada pada rentang 120-140, dan anak sangat

berbakat atau genius jika indeks kecerdasannya berada pada

rentang di atas 140.

Secara umum karakteristik anak dengan kemampuan mental

lebih, disamping memiliki potensi kecerdasan yang tinggi dalam

prestasi, juga memiliki kemampuan menonjol dalam bidang

tertentu, antara lain (1) kemampuan inteletual umum, (2)

kemampuan akademik khusus, (3) kemampuan berfikir kreatif


64

produktif, (4) kemampuan dalam salah satu bidang kesenian, (5)

kemampuan psikomotorik, dan (6) kemampuan psikososial dan

kepemimpinan.

c) Kelainan Perilaku Sosial

Kelainan perilaku atau tunalaras sosial adalah mereka yang

mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan,

tatatertib, norma sosial, dan lain-lain. Manifestasi dari mereka yang

dikategorikan dalam kelainan perilaku sosial ini, misalnya

kompensasi berlebihan, sering bentrok dengan lingkungan,

pelanggaran hukum/norma maupun kesopanan.51

Klasifikasi anak yang termasuk dalam kategori mengalami

kelainan perilaku sosial di antaranya anak psychotic dan neurotic,

anak dengan gangguan emosi dan anak nakal (delinquent).

Berdasarkan sumber terjadinya tindak kelainan perilaku sosial

secara penggolongan dibedakan menjadi: (1) tunalaras emosi, yaitu

penyimpangan perilaku sosial yang ekstrem sebagai bentuk

gangguan emosi, (2) tunalaras sosial, yaitu penyimpangan perilaku

sosial sebagai bentuk kelainan dalam penyesuaian sosial karena

bersifat fungsional.

51
Nandiyah Abdullah, Mengenal Anak Berkebutuhan Khusus, Magistra, No. 86, (Desember,
2013), hlm
65

b. Perencanaan Pembelajaran Siswa Berkebutuhan Khusus


1) Pengertian Program Pembelajaran Individual
(PPI)/Individualized Education Program (IEP)
Perencanaan pembelajaran siswa berkebutuhan khusus

menggunakan Program Pembelajaran Individual (PPI) yang pada

dasarnya merupakan dokumen tertulis yang dikembangkan dalam

suatu rencana pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus.

Berkenaan dengan hal ini Mercer and Mercer mengemukakan bahwa

“program individual menunjuk kepada suatu program pengajaran

dimana siswa bekerja dengan tugas-tugas yang sesuai dengan kondisi

dan motivasinya”. Sejalan dengan pernyataan itu Lynch menyatakan

bahwa IEP merupakan suatu kurikulum atau merupakan suatu

program belajar yang didasarkan kepada gaya, kekuatan dan

kebutuhan-kebutuhan khusus anak dalam belajar Dengan demikian

PPI pada prinsipnya adalah suatu program pembelajaran yang

didasarkan kepada kebutuhan setiap individu (anak).52 Kedua

pengertian tadi mengandung pengertian bahwa siswalah yang harus

mengendalikan program dan bukan program yang mengendalikan

siswa.

PPI atau Individualized Education Program (IEP) adalah

proses yang efektif di mana kebutuhan pendidikan khusus siswa dapat

diatasi dan di mana pendidikan yang sesuai dapat disediakan untuk dia

/ dia. Proses IEP melibatkan pengumpulan informasi yang relevan

52
E. Rocchyadi, Program Pembelajaran Individual. (online), www.file.upi.edu, diakses tanggal 7
Desember 2015, pukul 02.00
66

untuk mengidentifikasi kebutuhan belajar siswa dan kekuatan dan

pengaturan sasaran untuk belajar. Hal ini diikuti dengan pelaksanaan

intervensi yang tepat selama periode pembelajaran. Pada akhir periode

pengajaran, kemajuan siswa ditinjau. Kolaborasi antara guru dalam

sekolah dan kolaborasi antara sekolah, orang tua, dan badan-badan

dan profesional di luar sekolah adalah faktor mendasar dari proses

perencanaan individual.53

Para ahli pendidikan sepakat bahwa salah satu pijakan dalam

penyusunan program hendaknya bertitik tolak dari kebutuhan anak,

sebab anak adalah individu yang akan dibelajarkan. Oleh karenanya

masalah kebutuhan, perkembangan dan minat anak menjadi orientasi

di dalam mempertimbangkan penyusunan program.

Program Pembelajaran Individual (PPI) ini bertolak dari suatu

pandangan yang mengakui bahwa manusia merupakan mahluk

individu. Individu mengandung arti suatu kesatuan dari jiwa dan raga

(a whole being) yang tidak terpisahkan satu sama lain yang dikenal

sebagai organisme. Di dalam organisme tersebut terdapat dorongan

(drives) yang bersumber pada kebutuhan-kebutuhan dasar (basic

needs) dan merupakan daya penggerak (motivation) untuk

mempertahankan keutuhan hidupnya (survive). Dorongan, kebutuhan

dan motivasi tersebut sifatnya berbeda-beda, dalam arti memiliki ciri

khas tersendiri antara organisme yang satu dengan yang lainnya.

53
Department of Education and Science, Inclusion of Students with Special Educational Needs
Post-Primary Guidelines, (Dublin: Stationery Office, 2007), hlm. 93
67

Pandangan ini pada dasarnya menghendaki agar kegiatan proses

pembelajaran lebih bersifat individual.

Sekolah inklusif seharusnya menerapkan sistem layanan

pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus di sekolah reguler yaitu

kurikulum khusus yang dibentuk sesuai dengan kecacatan siswa.

Seorang pendidik hendaknya mengetahui program pembelajaran yang

sesuai bagi anak berkebutuhan khusus. Pola pembelajaran yang harus

disesuaikan dengan anak berkebutuhan khusus biasa disebut dengan

Individualized Education Program (IEP) atau Program Pembelajaran

Individual (PPI). Berdasarkan UNESCO bahwa “Kurikulum Program

Pendidikan Individual (PPI) atau Indivilized Educational Program

(IEP) diperuntukan bagi peserta didik yang memang tidak

memungkinkan menggunakan kurikulum reguler maupun modifikasi.

Tingkat kebutuhan pelayanan khususnya termasuk kompleks”.

Kurikulum disini terdapat kurikulum reguler yaitu kurikulum utuh,

kemudian kurikulum modifikasi yaitu kurikulum reguler yang

dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan anak dan yang terakhir yaitu

kurikulum Kurikulum Program Pendidikan Individual (PPI) atau

Indivilized Educational Program (IEP) yang dikhususkan bagi peserta

didik sesuai dengan kecacatannya.54

54
Rahmasari Dwimarta, Rancangan IEP (Individualized Educational Program) Bagi Anak
Berkebutuhan Khusus Pada Pendidikan Inklusif, Prosiding Seminar Nasional Pendidikan “Meretas
Sukses Publikasi Ilmiah Bidang Pendidikan Jurnal Bereputasi”, (Surakarta: Universitas Sebelas
Maret Surakarta dan ISPI Wilayah Jawa Tengah, 2015), hlm. 233
68

2) Langkah Penyusunan PPI

Program pembelajaran individual (PPI) disusun dengan

maksud untuk memenuhi kebutuhan setiap siswa berkebutuhan

khusus. Prosedur yang ideal untuk mengembangkan program

pembelajaran individual dikemukakan Kitano dan Kirby.

Pengembangan PPI memiliki lima aspek yaitu: pembentukan tim PPI,

menilai kebutuhan khusus anak, mengembangkan tujuan jangka

panjang dan jangka pendek, merancang metode dan prosedur

pembelajaran dan menentukan evaluasi kemajuan anak. Masing-

masing aspek akan dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, pembentukan tim PPI, anggota tim perancang PPI

idealnya bersifat multidisiplin dan terdiri dari orang-orang yang

bekerja dan memiliki informasi untuk dapat dikembangkan lebih

lanjut di dalam menyusun rancangan program secara komprehensif.

Secara umum anggota yang dimaksud dalam tim PPI adalah para guru

PLB, Kepala sekolah, Guru umum, orang tua, dan specialis lain

(seperti; konselor, speech therapist, fisio-therapis, pediatris dan

psikolog).. Dicantumkannya guru reguler karena pada awalnya IEP

diperuntukkan di sekolah umum (reguler) yang didalamnya terdapat

anak luar biasa.

Adapun untuk kondisi Indonesia, menurut Rochyadi, tuntutan

pembentukan tim seperti yang digambarkan akan mengalami kesulitan

bahkan mungkin akan menjadi hambatan proses pelaksanaan


69

pembelajaran individual. Untuk menghindari hal seperti itu maka

pembentukkan tim PPI yang dimaksud dalam buku ini anggotanya

terdiri dari para guru bersama kepala sekolah dan orang tua siswa

yang memiliki komitmen terhadap pendidikan. Pembentukkan tim

yang terdiri dari para guru, kepala sekolah dan orang tua tidak akan

mengurangi makna proses penyusunan program, karena sesungguhnya

merekalah yang sangat memahami seluk-beluk keberadaan anak.

Kedua, asesmen (menilai kebutuhan) adalah upaya yang

sistematis untuk mengetahui kemampuan, kesulitan dan kebutuhan

anak pada bidang tertentu. Hasil asesmen dapat dijadikan bahan

menyusun PPI. Asesmen untuk pendidikan ABK minimal mencakup 4

(empat) bidang. Keempat bidang tersebut adalah: bidang akademik,

bidang menolong diri, bidang sensomotorik dan bidang perilaku

adaptif. Pelaksanaan asesmen anak retardasi mental dapat dilakukan

melalui observasi dan tes psikologis Ada dua bentuk observasi yaitu:

1) observasi secara realita kehidupan anak, dan 2) observasi melalui

kondisi yang sengaja diciptakan. Asesmen untuk kepentingan program

pembelajaran dapat dilakukan oleh guru.

Ketiga, rumusan tujuan jangka panjang adalah pernyataan

tentang kinerja/perilaku yang diharapkan dapat dicapai oleh anak

dalam kurun waktu satu tahun, satu semester atau satu bulan.. Tujuan

jangka panjang bersifat luas dan belum tampak jelas hubungannya

dengan hasil asesmen. Dengan demikian dapat dimaknai bahwa tujuan


70

jangka panjang dirumuskan berdasarkan prediksi kompetensi yang

akan dikembangkan. Namun demikian, keluasan dan kedalaman

kompetensi tersebut disesuaikan dengan kemampuan anak retardasi

mental.

Keempat, mengembangkan tujuan pembelajaran.

pengembangan tujuan pembelajaran dilakukan melalui penyelarasan

antara materi yang ada dalam kurikulum dengan temuan hasil

asesmen. Posisi hasil asesmen mungkin akan diletakan di bawah, di

tengah atau di atas dari urutan materi yang terdapat dalam kurikulum,

hal ini akan tergantung kepada kondisi dan kemempuan yang

diperlihatkan oleh setiap anak. Dalam IEP tujuan pembelajaran itu

dikenal dengan istilah tujuan jangka panjang dan jangka pendek.

Tujuan jangka panjang merupakan tujuan yang akan ditempuh dalam

jangka waktu relatif panjang (lama) mungkin untuk satu semester atau

untuk satu tahun. Sementara tujuan jangka pendek atau tujuan

instraksional khusus, merupakan tujuan yang akan menuntut

terjadinya perubahan perilaku yang diharapkan dalam waktu yang

relatif singkat. Untuk itu tujuan jangka pendek ini hendaknya

dirumuskan secara spesifik (mungkin hanya menuntut satu atau dua

perilaku), jelas, mudah diukur dan bersifat kuantitatif.

Kelima, merancang metode dan prosedur pembelajaran. Proses

pembelajaran yang dirancang dalam PPI hendaknya mampu

menggambarkan bagimana setiap tujuan pembelajaran itu akan dan


71

dapat diselesaikan, serta bagaimana penilaian keberhasilan anak dalam

mencapai tujuan pembelajaran tersebut. Peroses pembelajaran

mungkin dirancang dengan cara mengelompokkan anak berdasarkan

kondisi dan karakteristik materi yang akan dibelajarkan secara

koopratif, mungkin sangat heterogen dan dikelola lebih bersifat

individual. Proses pembelajaran secara koopratif ini akan dikelola

guru sesuai kondisi dan situasi peserta didik yang dihadapinya.

Perubahan strategi atau metode sangat mungkin terus terjadi. Untuk

itu dalam mengelola proses pembelajaran, kreativitas guru menjadi

sangat menentukan.55

Penetapan kegiatan pembelajaran adalah penataan kondisi

eksternal untuk menciptakan aktivitas belaja. Kegiatan pembelajaran

dalam konteks PPI dapat dilakukan dalam 3 (tiga) tahap, yaitu: a)

kegiatan pembelajaran secara perorangan, artinya seorang guru

membelajarkan satu anak (1:1); b) kegiatan pembelajaran dalam

kelompok kecil, artinya seorang guru membelajarkan dua atau tiga

anak dalam satu kelas (1:2-3); dan c) kegiatan pembelajaran dalam

kelompok besar, artinya seorang guru membelajarkan lima lebih (1:5-

lebih), namun kurang dari 10 anak. Kegiatan belajar ABK, sebaiknya

dilaksanakan melalui praktik di lingkungan nyata, dan melalui

berbagai permaianan. Setiap siswa dibantu untuk aktif melakukan dan

55
E. Rocchyadi, Program Pembelajaran Individual. (online), www.file.upi.edu, diakses tanggal 7
Desember 2015
72

mencoba, berinteraksi dengan media pembelajaran yang disenangi

anak.56

Kelima, menentukan evaluasi kemajuan. Evaluasi kemajuan

belajar hendaknya mengukur derajat pencapaian tujuan pembelajaran

yang telah dirumuskan dalam setiap tujuan jangka pendek atau tujuan

instraksional khusus. Hal penting yang harus dicamkan dalam

melakukan evaluasi keberhasilan siswa adalah melihat terjadinya

perubahan perilaku pada diri siswa itu sendiri sebelum dan setelah

diberikan perlakuan, dan bukan membandingkan keberhasilan tingkat

pencapaian tujuan belajar yang dicapai dengan siswa lain yang ada di

kelas itu.

Metode evaluasi dapat dilakukan dengan berbagai bentuk,

apakah melalui test secara tertulis, lisan atau bersifat perbuatan yang

ditampilkan dan dicatat melalui observasi guru. Evaluasi keberhasilan

ini harus dilakukan dari dua sisi yaitu evaluasi proses dan evaluasi

hasil. Evaluasi proses dilakukan dan terjadi selama proses

pembelajaran berlangsung, sementara evaluasi hasil dilakukan setelah

pemberianmateri tuntas diselesaikan. Kedua penilaian ini memiliki

posisi dan kepentingan yang berbeda. Evaluasi proses penting dalam

kaitannya melakukan berbagai perubahan dalam strategi

56
Dede Supriyanto, Modul Pengembangan Kurikulum ABK, (Bandung: KEMENTERIAN
Pendidikan Dan Kebudayaan Pusat Pengembangan Dan Pemberdayaan Pendidik Dan Tenaga
Kependidikan Taman Kanak-Kanak Dan Pendidikan Luar Biasa),
73

pembelajaran, sementara evaluasi hasil penting untuk melihat tingkat

pencapaian keberhasilan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.57

Evaluasi pembelajaran ABK tidak harus berupa tes tertulis,

tetapi lebih bersifat observasi perilaku. Penilaian kemajuan hasil

belajar pada anak retardasi mental mencakup penilaian proses dan

hasil. Cara penilaian ini sesuai dengan autentic assesment, salah

satunya melalui portofolio. Evaluasi kemajuan hasil belajar dilakukan

sepanjang proses pembelajaran, menggunakan pengamatan dengan

checklist.

Sedangkan menurut National Council for Special Education

(NCSE), terdapat enam langkah yang harus dilakukan oleh guru dalam

menyusun IEP. Enam langkah tersebut adalah:

a) Mengumpulkan informasi

Hal ini dimungkinkan untuk mengumpulkan informasi

yang relevan tentang pembelajaran dan kemajuan siswa individu

dari berbagai sumber: melalui penilaian formal, melalui

pengamatan di sekolah, dan dari laporan profesional dari luar

sekolah, seperti psikolog, berbicara dan terapis bahasa, dan terapis

okupasi. informasi yang berguna juga dapat diperoleh dari laporan

pendidikan sebelumnya, melalui wawancara dengan siswa, dan

dari orang tua. Partisipasi aktif dari para siswa dan orang tua

mereka dalam proses pengumpulan informasi penting untuk

57
E. Rocchyadi, Program Pembelajaran Individual. (online), www.file.upi.edu, diakses tanggal 7
Desember 2015
74

pengumpulan informasi yang akurat. Lebih khususnya

menyangkut informasi yang mengarah pada identifikasi sifat dan

tingkat kemampuan siswa, keterampilan, dan bakat, sifat dan

tingkat kebutuhan pendidikan khusus mereka, dan bagaimana

kebutuhan tersebut mempengaruhi perkembangan pendidikan

mereka.

b) Menyusun pernyataan tingkat kinerja termasuk kekuatan,


kebutuhan dan dampak pada pembelajaran
Dalam rangka untuk mengkompilasi sebuah pernyataan

dari tingkat kinerja, laporan oleh para profesional dari luar

sekolah, hasil penilaian di sekolah dan semua informasi yang

relevan lain yang tersedia harus dianalisis secara hati-hati. Data

ini harus ditarik bersama-sama dan dianalisis dengan maksud

untuk membuat pernyataan dari tingkat keberadaan siswa dalam

pemeblajaran dan untuk menyetujui kebutuhan belajar prioritas

nya.

c) Identifikasi kebutuhan belajar prioritas dan kerangka


waktu untuk pencapaian target
Penyelesaian profil individu siswa sangat membantu untuk

proses identifikasi kebutuhan belajar prioritas dan batas waktu

untuk pencapaian target. Ketika Bagian 1 dari profil individu

siswa selesai informasi dasar yang diperlukan untuk menetapkan

kebutuhan belajar prioritas siswa dan kekuatan belajar nya / gaya

belajar yang tersedia. Bagian 2 dari profil individu siswa dapat


75

digunakan untuk merekam kebutuhan belajar prioritas siswa dan

merangkum kekuatan belajar dan kepentingan. Informasi ini

memberikan dasar untuk spesifikasi target belajar siswa yang

akan dicapai selama periode tidak lebih dari satu tahun.

d) Menetapkan target untuk setiap kebutuhan pembelajaran


prioritas
Setelah identifikasi kebutuhan belajar prioritas siswa,

kekuatan belajar, gaya belajar, dan minat, target atau tujuan

pembelajaran yang akan dicapai selama periode tidak lebih dari

dua belas bulan harus disepakati. Tergantung pada usia dan tahap

perkembangan pendidikan siswa, mungkin perlu untuk

memasukkannya dalam IEP rencana untuk transisi ke pengaturan

pasca-sekolah. Persiapan untuk transisi dapat dilakukan

bekerjasama dengan orang tua dan lembaga pendidikan, pusat

pelatihan atau tempat kerja yang siswa adalah karena untuk

mentransfer.

e) Identifikasi strategi dan sumber daya yang diperlukan

Identifikasi strategi dan sumber daya yang diperlukan

melibatkan kolaborasi dan kerjasama antara guru sumber, guru

utama dan guru yang memiliki tanggung jawab khusus untuk

bidang-bidang seperti belajar dukungan, bimbingan dan

konseling, pelayanan pastoral dan kurikulum. Guru dengan

tanggung jawab untuk koordinasi IEP harus berkomunikasi dan

berkolaborasi dengan orang lain baik di dalam maupun di luar


76

sekolah untuk memfasilitasi penyediaan strategi dan sumber daya

yang ditentukan.

f) Menetapkan tanggal untuk meninjau IEP

Sebuah tinjauan formal IEP harus dilakukan tidak kurang

dari sekali per tahun. Review formal harus memastikan apakah

tujuan yang ditetapkan dalam rencana telah dicapai, menentukan

apakah siswa telah menerima layanan yang ditentukan dalam IEP,

dan membuat perubahan yang diperlukan untuk rencana tersebut.

Review formal harus melibatkan guru, orang tua siswa, dan

profesional dari luar sekolah yang menyediakan layanan

dukungan kepada siswa. Serta mengevaluasi kemajuan siswa dan

keberhasilan intervensi, proses review IEP memberikan titik awal

untuk reformulasi target pembelajaran bagi siswa, yang akan

dibahas pada periode pembelajaran berikutnya.

Berdasarkan pemaparan di atas, langkah-langkah

penyusunan IEP baik menurut Kitano dan Kirby, maupun

menurut NCSE memiliki karakteristik masing-masing. Secara

garis besar perbedaan di antara keduanya dapat disajikan dalam

tabel berikut:

Tabel 2.3 Perbedaan langkah penyusunan IEP menurut


Kitano dan Kirby dan NCSE
National Council of Special
Kitano dan Kirby
Education (NCSE)
pembentukan tim PPI Mengumpulkan informasi
menilai kebutuhan khusus anak Menyusun pernyataan tingkat
kinerja termasuk kekuatan,
77

National Council of Special


Kitano dan Kirby
Education (NCSE)
kebutuhan dan dampak pada
pembelajaran
mengembangkan tujuan jangka Identifikasi kebutuhan belajar
panjang dan jangka pendek prioritas dan kerangka waktu untuk
pencapaian target
merancang metode dan prosedur Menetapkan target untuk setiap
pembelajaran kebutuhan pembelajaran prioritas
menentukan evaluasi kemajuan Identifikasi strategi dan sumber
anak daya yang diperlukan
Menetapkan tanggal untuk
meninjau IEP

Berdasarkan uraian di atas, terdapat beberapa perbedaan antara

PPI dengan RPP. Perbedaan tersebut dapat disajikan dalam tabel di

bawah ini:

Tabel 2.4 Perbedaan PPI dan RPP


(Sumber: Gunarhadi. Program Pembelajran Individual (PPI))58

Deskripsi PPI RPP


Isi Program
1. Deskripsi
keadaan siswa Ada Tidak ada
sekarang
2. Sifat Program Disusun untuk Disusun untuk semua
setiap siswa siswa dalam satu kelas
(individual) (klasikal)
Proses Penyusunan
“Student
Oriented” dimulai
“Subject Matter
dengan
Oriented” (Kuantitas
assessment
materi pelajaran yang
komprehensif,
harus diselesaikan dalam
alat evaluasi,
waktu tertentu)
koordinasi tim,
program

58
Gunarhadi, Program Pembelajran Individual (PPI), (FISIP UNS Surakarta, 2010)
78

c. Pelaksanaan Pembelajaran Siswa Berkebutuhan Khusus

Setelah program pembelajaran dibuat, selanjutnya adalah

implementasinya dalam kegiatan pembelajaran di sekolah. Dalam hal ini,

guru harus mempertimbangkan berbagai aspek dalam pelaksanaannya,

yang memungkinkan program dapat berjalan secara efektif.

Pembelajaran siswa bekebutuhan khusus dalam pendidikan inklusif

harus memperhatikan hasil identifikasi dan asesmen anak berkebutuhan

khusus. Langkah-langkah pembelajaran yang disusun dalam Program

Pembelajaran Individual (PPI) berdasakan hasil identifikasi dan asesmen

tersebut dikembangkan berbagai kemungkinan alternatif program

pelayanan sesuai dengan kebutuhannya.

Beberapa alternatif program pelayanan yang dapat dipilih sesuai

dengan kebutuhan peserta didik di antaranya adalah:59

1) Layanan pendidikan penuh

Semua anak termasuk anak berkebutuhan khusus belajar

bersama di dalam komunitas kelas yang beragam di bawah

bimbingan guru kelas, guru bidang studi atau guru lainnya.

Sedangkan peran Guru Pendidikan Khusus (GPK) bertanggung

jawab dalam pembuatan program, monitor pelaksanaan program dan

mengevaluasi hasil pelaksanaan program.

59
Prosedur Operasi Standar Pendidikan Inklusif, (Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa,
2007), hlm. 13
79

2) Layanan pendidikan yang dimodifikasi

Anak berkebutuhan khusus mengikuti proses belajar

bersama-sama anak pada umumnya dalam komunitas kelas yang

beragam di bawah bimbingan guru kelas, guru bidang studi atau guru

lainnya untuk mata pelajaran dan aktivitas yang dapat diikuti oleh

anak berkebutuhan khusus dengan baik. Sedangkan untuk GPK

berperan dalam membimbing beberapa aktivitas tertentu yang tidak

dapat diikuti anak berkebutuhan khusus dengan menggunakan

Program Pembelajaran Individual (PPI).

3) Layanan pendidikan individualisasi

Anak berkebutuhan khusus mengikuti proses belajar

bersama-sama anak pada umumnya dalam komunitas kelas yang

beragam di bawah bimbingan penuh GPK dalam melaksanakan PPI.

Adapun dalam menerapkan Program Pembelajaran Individual

(PPI), seorang guru dapat memilih salah satu diantara 3 alternatif dibawah

ini, yaitu;

1) PPI bermodul (Modular Instruction), yaitu PPI yang difasilitasi

dengan perangkat lunak. PPI ini sesuai untuk ABK yang memiliki

kemandirian belajar (1 anak : 1 perangkat lunak pembelajaran).

Anak berinteraksi secara mandiri dengan perangkat lunak

pembelajaran, sedangkan guru memberikan bantuan hanya apabila

diperlukan saja.
80

2) PPI melalui Pembelajaran Perorangan dengan Peralatan Khusus.

Pilihan ini merupakan penerapan PPI dengan penggunaan

peralatan pembelajaran khusus, yang dilengkapi dengan perangkat

lunak dan implementasinya difasilitasi oleh guru. PPI ini sesuai

untuk pembelajaran perilaku khusus (seperti: latihan berbicara,

latihan motorik, latihan membaca). Dalam Pembelajaran

Perorangan ini, anak berinteraksi dengan peralatan belajar khusus

di bawah bimbingan guru (1 anak : 1 peralatan belajar : 1 guru);

3) PPI dengan pendekatan transaksional (Transactional Instruction).

PPI ini dikembangkan dan diterapkan berdasarkan hasil asesmen

kemampuan sejumlah ABK yang setara dalam sesuatu kelompok,

yang difasilitasi dengan rancangan yang dksusun oleh guru, dan

selama proses intervensi dilakukan penyesuaian rancangan atas

dasar respon siswa terhadap tindak pembelajaran guru. Guru

melakukan pemantauan secara terus-menerus sepanjang rentang

proses pembelajaran, dan menggunakan rentetan keputusan

transaksional berdasarkan respon belajar siswa yang tidak dapat

diprediksi itu, sebagai rujukan untuk melakukan penyesuaian

sambil jalan (on-going adjustments) dalam rangka optimasi

perolehan belajar.

d. Evaluasi Pembelajaran Siswa Berkebutuhan Khusus

Hal penting yang harus diperhatikan dalam melakukan evaluasi

keberhasilan siswa berkebutuhan khusus adalah melihat terjadinya


81

perubahan perilaku pada diri siswa itu sendiri sebelum dan setelah

diberikan perlakuan, dan bukan membandingkan keberhasilan tingkat

pencapaian tujuan belajar yang dicapai dengan siswa lain yang ada di kelas

itu.

Metode evaluasi dapat dilakukan dengan berbagai bentuk, apakah

melalui test secara tertulis, lisan atau bersifat perbuatan yang ditampilkan

dan dicatat melalui observasi guru. Evaluasi keberhasilan ini harus

dilakukan dari dua sisi yaitu evaluasi proses dan evaluasi hasil. Evaluasi

proses dilakukan dan terjadi selama proses pembelajaran berlangsung,

sementara evaluasi hasil dilakukan setelah pemberian materi tuntas

diselesaikan.60

Adapun untuk prosedur pelaksanaan evaluasi hasil belajar siswa

berkebutuhan khusus sebagaimana tertulis dalam buku Prosedur operasi

standar pendidikan inklusif yang diterbitkan oleh Direktorat Pembinaan

Sekolah Luar Biasa berikut:

1) Memahami kompetensi dasar dan bentuk penilaian yang sesuai

untuk mengukur Kompetensi dasar tersebut

2) Menyusun kisi-kisi soal

3) Menyusun soal (bentuk penilaian) sesuai dengan kaidah

4) Menelaah dan merevisi soal

5) Melaksanakan penilaian dengan menggunakan soal yang telah

dikembangkan

60
Prosedur Operasi Standar Pendidikan Inklusif, (Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa,
2007), hlm. 15
82

6) Menggunakan hasil penilaian untuk umpan balik

7) Menggunakan hasil penilaian untuk keperluan administrasi, dan

pelaporan

4. Peningkatan Mutu Pembelajaran Siswa Berkebutuhan Khusus

Proses pembelajaran merupakan interaksi sistemik antara guru dengan

siswa dan lingkungan belajar. Guru memiliki pengaruh kuat dalam

peningkatan kualitas pembelajaran, untuk itu guru harus memiliki strategi-

strategi tertentu untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Kualitas

pembelajaran akan meningkat apabila guru mampu meningkatkan kualitas

belajar siswa dengan meningkatkan aktivitas dan kreativitas belajar siswa,

meningkatkan displin pada siswa, dan meningkatkan motivasi belajar pada

siswa, sehingga jika hal tersebut telah diupayakan atau diusahakan oleh guru

maka guru dan sekolah akan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran.

Keberadaan siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusi membawa

implikasi terhadap pembelajaran di dalam kelas. Guru sebagai pihak

penyelenggara pembelajaran dituntut untuk memberikan layanan belajar

maksimal kepada semua siswa tanpa terkecuali. Sehingga, pembelajaran yang

dilakukan harus mampu mengakomodir heterogenitas siswa di dalamnya.

Demikian pula dalam hal peningkatan mutu pembelajaran, guru juga harus

memberikan porsi yang sama namun dengan penanganan yang berbeda untuk

siswa berkebutuhan khusus. Hal ini mengingat karakteristik dan kebutuhan

siswa berkebutuhan khusus yang berbeda sesuai dengan hambatan yang


83

diderita. Pembelajaran juga harus mampu memberikan ruang kepada siswa

berkebutuhan khusus untuk turut berperan aktif sebagai masyarakat belajar.

Mengenai hal ini, Thomas Armstrong memberikan tujuh langkah yang

dapat dilakukan oleh guru untuk mengaktifkan kekuatan siswa berkebutuhan

khusus dalam pembelajaran;61

a. Discover your students’s strengths

Bahkan sebelum mereka datang ke kelas Anda, cari tahu tentang

kekuatan dan kemampuan siswa Anda dengan berbicara dengan guru

sebelumnya dan melihat file kumulatif (berfokus pada nilai tertinggi dan

skor tes dan komentar positif dari guru). Kemudian, mengisi persediaan

berbasis kekuatan untuk setiap siswa-dan memiliki orang tua mengisi

salah satu keluar juga.

b. Provide positive role models with disabilities

Siswa dengan kebutuhan khusus perlu belajar tentang individu

penyandang cacat yang telah sukses dalam hidup. Dengan cara ini,

mereka diharapkan dapat sampai pada kesimpulan bahwa "Jika mereka

bisa melakukannya, maka sayapun bisa!". Beberapa contoh individu

tersebut meliputi: pemenang hadiah Nobel Genetika Carol Greider

(ketidakmampuan belajar), sutradara film Steven Spielberg (ADHD), dan

ilmuwan hewan Temple Grandin (gangguan spektrum autistik).

Kemudian buatlah unit kurikulum yang berjudul, "Penyandang Cacat

61
Thomas Armstrong, 7 Ways to Bring Out the Best in Special-Needs Students, (online),
http://www.edweek.org/tm/articles/2013/04/08/fp_armstrong.html, diakses pada tanggal 4 Januari
2017, pukul 22.00
84

yang Mengubah Dunia," dan pastikan siswa juga mengambil bagian

dalam pelajaran.

c. Develop strength-based learning strategies

Setelah guru mengetahui kekuatan siswa, kemudian guru

mendesain strategi dengan memanfaatkan kemampuan mereka. Jika

seorang siswa hebat dalam menggambar tetapi memiliki kesulitan

membaca, biarkan dia menggambarkan kosa katanya. Jika seorang siswa

menunjukkan hadiah dalam merajut tetapi tidak mengerti nilai tempat,

biarkan dia merancang sepotong kain seni oleh baris merajut dari 10. Ada

ribuan ide dan proyek yang dapat dibuat dengan menggabungkan

kekuatan siswa dengan defisit belajar.

d. Use assistive technologies and Universal Design for Learning tools

Pelajari tentang aplikasi yang memanfaatkan karunia siswa

dengan kebutuhan khusus. Sediakan untuk siswa yang merupakan

memiliki kemampuan berorator tetapi tidak bisa menulis dengan baik

dengan program speech-to-text seperti Dragon Naturally Speaking,

sehingga ia dapat berbicara ke dalam komputer dan menghasilkan

tulisan. Untuk siswa dengan autisme yang suka menggunakan iPad

namun memiliki kesulitan berkomunikasi, guru dapat mengajarinya

bagaimana menggunakan sebuah aplikasi komunikasi augmentatif

alternatif seperti Proloquo2Go, sehingga dengan sentuhan beberapa

tombol dia bisa memiliki suara buatan berbicara untuknya.


85

e. Maximize the Power of your students' social networks

Begitu banyak belajar melibatkan hubungan dengan orang lain,

dan banyak siswa berkebutuhan khusus mengalami kesulitan tertentu

membangun hubungan sosial yang positif. Buatlah representasi grafis

dari jaringan teman siswa, Identifikasi hubungan baik yang kuat dan

lemah. Kemudian, pasangkan siswa dengan teman sekelas bahwa ia

memiliki hubungan yang paling positif dengan menggunakan metode-

metode peer-teaching, bimbingan lintas-usia, teman terbaik, atau

pendekatan sosial-belajar lainnya.

f. Help students envision positive future careers

Kebanyakan siswa dengan kebutuhan khusus tidak memiliki

gambaran tentang diri mereka sebagai orang dewasa yang bekerja di

masa depan, atau memiliki orang-orang terutama yang negatif.

Doronglah siswa-siswa ini dengan membantu mereka membuat

hubungan antara kekuatan mereka dan persyaratan pekerjaan tertentu

atau karir. Jadi, misalnya, siswa dengan ADHD yang mencintai

pengalaman adrenalin yang produktif mungkin berkembang dalam

pekerjaan-stimulasi tinggi seperti pemadam kebakaran. Seorang siswa

dengan kesulitan belajar yang memiliki kecenderungan untuk seni

mungkin melakukannya dengan sangat baik jika bekerja sebagai seniman

grafis.
86

g. Create positive modifications in the learning environment

Pikirkan tentang bagaimana Anda dapat membuat perubahan di

kelas yang pas dengan kekuatan tertentu dari siswa dengan kebutuhan

khusus. Sediakan untuk siswa dengan ADHD yang belajar terbaik

dengan bergerak, misalnya dengan bola yang stabil yang dapat goncang

pada saat mereka melakukan pekerjaan kelasnya. Untuk siswa dengan

Down Syndrome yang suka bercanda meniru orang lain, buatlah teater

boneka sederhana di mana ia dapat keluar dari masalah kata matematika

di depan kelas dan mendapatkan umpan balik positif.

C. Kerangka Penelitian

Mutu pembelajaran merupakan bagian penting dalam upaya peningkatan

mutu pendidikan. Hal ini karena, mutu pendidikan tidak akan terwujud apabila

pembelajaran di dalamnya tidak bermutu. Mewujudkan pembelajaran yang

bermutu merupakan tanggungjawab bersama semua elemen pendidikan. Baik itu

pemerintah, pimpinan sekolah, guru, siswa, wali murid, maupun masyarakat,

semua mempunyai peran dan fungsi masing-masing yang harus dipersatukan

dalam sebuah sinergi yang harmoni agar pelaksanaan pembelajaran dapat berjalan

efektif dan efisien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusi memiliki

karakteristik tersendiri dan berbeda dengan pembelajaran di sekolah umum.

Keberadaan siswa berkebutuhan khusus membawa implikasi di semua aspek

pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah yang bersangkutan. Satu di antaranya

adalah keberagaman karakteristik dan jenis gangguan menuntut adanya layanan


87

pendidikan yang beragam sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan siswa,

sedangkan jumlah guru dan ketersediaan waktu serta sumber daya terbatas. Selain

itu masih terdapat faktor-faktor lain yang menjadi kendala upaya sekolah dalam

memberikan layanan pendidikan bagi siswa berkebutuhan khsus.

Guru sebagai ujung tombak dan garda terdepan dalam upaya peningkatan

mutu pembelajaran dituntut untuk selalu responsif terhadap segala ancaman dan

hambatan dalam pelaksanaan pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus. Oleh

karena itu, guru memerlukan strategi yang bisa diterapkan untuk mengatasi

hambatan dan ancaman pelaksanaan peningkatan mutu pembelajaran bagi siswa

berkebutuhan khusus. Agar pelayanan pendidikan bagi siswa berkebutuhan

khusus dapat berjalan optimal.

Secara garis besar, kerangka berfikir di atas dapat digambarkan dalam

bagan sebagai berikut:


88

Implikasi Teoritis

Fokus: Grand Theory:

1. Bagaimana Pelaksanaan 1. Q.S. An-Naml ayat 8


pembelajaran bagi siswa dan H.R. Baihaqy:
berkebutuhan khusus di Peningkatan mutu
MIT Ar-Roihan Lawang
2. Kitano & Kirby,
dan SD Muhammadiyah 9
National Council of
“Panglima Sudirman”
Special Education
Malang?
(NCSE): Model
2. Bagaimana strategu guru
penyusunan
dalam meningkatkan
Individualized
mutu pembelajaran bagi
Education Program
siswa berkebutuhan
(IEP)
khusus di MIT Ar-Roihan

Temuan dan Proposisi


Strategi Guru Lawang dan SD 3. Q.S „Abasa ayat 1-10,
dalam Muhammadiyah 9 Jeremy Ford: Strategi
Peningkatan “Panglima Sudirman pembelajaran untuk
Mutu Malang? siswa berkebutuhan
Pembelajaran 3. Bagaimana kendala guru khusus
bagi Siswa dalam meningkatkan 4. Thomas Armstrong:
Berkebutuhan mutu pembelajaran bagi Strategi meningkatakan
Khusus siswa berkebutuhan kualitas pembelajaran
khusus di MIT Ar-Roihan untuk siswa
Lawang dan SD berkebutuhan khusus
Muhammadiyah 9 5. Kemendikbud: Strategi
“Panglima Sudirman” peningkatan mutu
Malang? pembelajaran
Tujuan:

1. Mengetahui dan
menganalisis Pelaksanaan
pembelajaran bagi siswa
berkebutuhan khusus?
2. Mengetahui dan
menganalisis strategi guru
dalam meningkatkan
mutu pembelajaran bagi
siswa berkebutuhan
khusus
4. Mengetahui dan
menganalisis kendala
guru dalam meningkatkan
mutu pembelajaran bagi
siswa berkebutuhan
khusus

Implikasi Praktis

Gambar 2.3 Kerangka Penelitian


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Berdasarkan fokus dari penelitian ini yakni strategi guru dalam

peningkatan mutu pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus di MI Terpadu

Ar-Roihan dan SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” Malang, maka untuk

mengungkap substansi dari fenomena tersebut diperlukan pengamatan yang

mendalam dengan setting latar yang alami (natural setting). Oleh karena itu,

pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif atau

dalam bidang pendidikan disebut sebagai pendekatan naturalistic.

Adapun alasan digunakannya pendekatan ini adalah karena pendekatan

kualitatif secara langsung menunjukkan setting dan individu-individu dalam

setting tersebut secara keseluruhan, serta tidak dipersempit menjadi variabel yang

terpisah. Selain itu, hasil penelitian yang ditampilkan apa adanya, tanpa unsur

manipulasi atau perlakuan terhadap obyek penelitian, karena mempunyai

karakterisitik; (a) naturalistic, (b) kerja lapangan, (c) instrumen utama adalah

manusia, dan (d) sifatnya deskriptif. Data yang terkumpul lebih banyak dalam

bentuk kata-kata daripada angka.62 Selain alasan tersebut, faktor lain yang

menjadi pertimbangan peneliti untuk menggunakan pendekatan kualitatif adalah

karena peneliti ingin memahami secara mendalam masalah yang diteliti, bukan

62
Slavin, Analisis Data pada Penelitian Kualitatif, Jakarta, UI, 2005, hlm. 63.

89
90

sekedar mendeskripsikan hubungan sebab akibat sebagaimana dilakukan dalam

penelitian kuantitatif.

Jenis penelitian ini adalah studi kasus (case study) dan merupakan

penelitian lapangan (field research). Penelitian lapangan merupakan satu di antara

metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif yang tidak memerlukan

pengetahuan mendalam akan literatur yang digunakan dan kemampuan tertentu

dari pihak peneliti. Penelitian lapangan biasa dilakukan untuk memutuskan ke

arah mana penelitiannya berdasarkan konteks.

Adapun rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

multisitus. Alasan digunakannya rancangan ini karena studi multisitus merupakan

satu di antara bentuk penelitian kualitatif yang dapat digunakan untuk

mengembangkan teori yang diangkat dari beberapa latar yang hampir sama.

Sehingga dapat dihasilkan teori yang dapat diterapkan di situasi yang lebih luas

dan lebih umum cakupannya.

B. Kehadiran Peneliti

Peneliti berperan sebagai instrumen kunci (key instrument) yang berperan

sebagai perencana, pelaksana, pengumpul, dan pengolah data, sekaligus sebagai

pelapor hasil penelitian. Kehadiran peneliti sebagai instrumen kunci pada

penelitian kualitatif sebagai upaya untuk memahami fokus penelitian secara

holistik dan komprehensif. Peneliti di sini tidak hanya memahami perilaku, tetapi

juga lingkungan sosial budaya sekolah secara keseluruhan.

Kehadiran peneliti dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui lebih

dalam tentang strategi yang dilakukan guru dalam menigkatkan mutu


91

pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus di MI Terpadu Ar-Roihan dan SD

Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” Malang. Adapun peran peneliti dalam

penelitian ini antara lain sebagai: 1) perencana penelitian, dalam tahap ini peneliti

menyusun rencana penelitian yang meliputi; proposal penelitian, menentukan

lokasi penelitian, observasi pra penelitian, dan menjalin silaturrahim dengan

informan (Kepala MI Terpadu Ar -Roihan dan SD Muhammadiyah 9 “Panglima

Sudirman” Malang), 2) pengumpul data, dalam tahap ini peneliti dengan

menggunakan metode dan teknik pengumpulan data yang sudah ditentukan,

menggali data dari sumber data, 3) penganalisis data, setelah data terkumpul,

kemudian peneliti mereduksi dan melakukan analisis untuk menjawab fokus

penelitian, dan 4) pelapor penelitian, hasil analisis kemudian diinterpretasikan dan

dikomparasikan dengan teori-teori yang digunakan, hasilnya kemudian disusun

dalam laporan penelitian.

C. Latar Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di MI Terpadu Ar-Roihan yang terletak di

Jl. Monginsidi No. 2 Kecamatan Lawang Kabupaten Malang dan SD

Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” yang terletak di Jl. R. Tumenggung

Suryo No.5, Rampal Celaket, Klojen, Kota Malang sebagai dua di antara lembaga

pendidikan dasar yang telah menyelanggarakan pendidikan inklusi di Kabupaten

Malang. Satu di antara faktor yang menjadi pertimbangan peneliti dalam memilih

dua lembaga ini sebagai lokasi penelitian adalah karena belum banyak lembaga

pendidikan, terutama pendidikan dasar di Kabupaten Malang yang benar-benar

menyelenggarakan pendidikan inklusi. Selain itu, sudah banyak prestasi yang


92

diraih oleh kedua lembaga ini, meskipun menyelenggarakan pendidikan inklusi.

Sehingga menarik untuk dikaji bagaimana strategi peningkatan mutu

pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus yang diterapkan di kedua lembaga

tersebut.

D. Data dan Sumber Data Penelitian

Data adalah keterangan atau bahan nyata yang dapat dijadikan dasar kajian

(analisis atau kesimpulan), data dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu data

kualitatif dan data kuantitatif. Sedangkan, jika dilihat dari sumbernya, data dapat

dibedakan menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah

data yang diperoleh secara langsung dari sumbernya, seperti informan, situs sosial

atau peristiwa-perintiwa yang diamati, dan sejenisnya. Sedangkan, data sekunder

adalah data yang diperoleh dari informan yang telah diolah oleh pihak lain atau

data yang bukan diusahakan sendiri pengumpulannya oleh peneliti, seperti biro

statistik, majalah-majalah, dan keterangan-keterangan atau publikasi lainnya.63

Adapun data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data yang

sesuai dengan fokus penelitian, yaitu tentang strategi guru dalam meningkatkan

mutu pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus di MI Terpadu Ar-Roihan

Kecamatan Lawang Kabupaten Malang dan SD Muhammadiyah 9 “Panglima

Sudirman” Kota Malang. Data tersebut dibagi menjadi dua, yaitu data primer dan

sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah hasil observasi terhadap strategi

guru dalam meningkatkan mutu pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus di

MI Terpadu Ar-Roihan Kecamatan Lawang Kabupaten Malang dan SD

63
Marzuki, Metodologi Riset, (Yogyakarta: BPEF-UII, 2000), hlm. 55-56.
93

Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” Kota Malang, hasil wawancara dengan

informan (guru kelas, Guru Pendamping Khusus (GPK), dan kepala

madrasah/sekolah). Sedangkan, data sekunder dalam penelitian ini berupa

dokumen perangkat pembelajaran, kurikulum, dan data statistik MI Terpadu Ar-

Roihan Kecamatan Lawang Kabupaten Malang dan SD Muhammadiyah 9

“Panglima Sudirman” Kota Malang.

Sumber data adalah subyek dari mana data diperoleh. Sumber data utama

dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data

tambahan, seperti dokumen dan lain-lain.64 Sumber data dapat berupa informan,

dokumen-dokumen, maupun foto. Adapun sumber data dalam penelitian ini antara

lain:

1. Informan

Informan dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua, yaitu informan

kunci (key informan) dan informan non-kunci (non-key informan). Informan

kunci dalam penelitian ini adalah Guru Kelas V MI Terpadu Ar-Roihan

Kecamatan Lawang Kabupaten Malang dan SD Muhammadiyah 9 “Panglima

Sudirman” Kota Malang. Tipe atau jenis gangguan yang diderita siswa Kelas

V di MIT Ar-Roihan adalah gangguan konsentrasi (ADD/ADHD) dan

keterlambatan berbicara/speech delay. Sedangkan, tipe atau jenis gangguan

yang diderita siswa Kelas V di SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman”

adalah gangguan konsentrasi (ADD/ADHD), slow learner, dan short time

64
Lexy J. Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, hlm. 157.
94

memory. Adapun informan non-kunci dari penelitian ini adalah kepala

sekolah, staf, dan siswa dari kedua lembaga tersebut.

2. Aktivitas atau tindakan

Aktivitas atau tidakan yang dimaksud di sini adalah segala bentuk

aktivitas, tindakan, dan perilaku informan yang berhubungan dengan

peningkatan mutu pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus di MI

Terpadu Ar-Roihan Kecamatan Lawang Kabupaten Malang dan SD

Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” Kota Malang.

3. Dokumen

Sumber data dokumen ini dapat berupa dokumen kurikulum,

perangkat pembelajaran, data statistik, serta foto hasil dokumentasi kegiatan

MI Terpadu Ar-Roihan Kecamatan Lawang Kabupaten Malang dan SD

Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” Kota Malang.

E. Teknik Pengumpulan Data

Agar memperoleh data yang valid dan memiliki reliabilitas yang tinggi,

maka dalam penelitian ini digunakan beberapa teknik pengumpulan data sebagai

berikut:

1. Wawancara (Interview)

Wawancara adalah percakapan antara dua orang atau lebih, dalam

konteks ini adalah peneliti dan informan, dengan teujuan tertentu. Ada

beberapa jenis wawancara yang bisa digunakan dalam penelitian kualitatif,

namun dalam penelitian ini, jenis wawancara yang digunakan adalah

wawancara semiterstruktur dengan alasan jenis wawancara ini tergolong ke


95

dalam kategori wawancara mendalam (indepth interview), dimana dalam

pelaksanaannya lebih bebas dibandingkan dengan wawancara terstruktur.

Wawancara semiterstruktur digunakan untuk menggali informasi

berkaitan dengan: 1) pelaksanaan pembelajaran bagi siswa berkebutuhan

khusus di MI Terpadu Ar-Roihan Kecamatan Lawang Kabupaten Malang dan

SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” Kota Malang, 2) strategi guru

dalam meningkatkan mutu pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus di

MI Terpadu Ar Roihan Kecamatan Lawang Kabupaten Malang dan SD

Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” Kota Malang. Adapun informan

yang menjadi sumber dari data ini adalah Wali kelas dan Guru Pendamping

Khusus (GPK) di MI Terpadu Ar-Roihan Kecamatan Lawang Kabupaten

Malang dan SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” Kota Malang dan

wakilnya, dan 3) kendala peningkatan mutu pembelajaran bagi siswa

berkebutuhan khusus di MI Terpadu Ar-Roihan Kecamatan Lawang

Kabupaten Malang dan SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” Kota

Malang.

2. Observasi (Observation)

Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia

dengan menggunakan pancaindera mata sebagai alat bantu utamanya selain

pancaindera lainnya, seperti telinga, penciuman, mulut, dan kulit. Karena itu,

observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya

melalui hasil kerja panca indra mata serta dibantu dengan pancaindra
96

lainnya.65 Jadi metode ini digunakan untuk mengamati kejadian-kejadian

yang berhubungan dengan masalah yang diangkat dalam penelitian baik

kejadian sebelum penelitian, maupun saat penelitian. Dalam observasi

diperlukan ingatan terhadap observasi yang telah dilakukan sebelumnya.

Penggunaan teknik observasi ini dimaksudkan untuk memperoleh data

sesuai dengan fokus penelitian secara holistik dan komprehensif. Peneliti

terlibat langsung atau berpartisipasi aktif dalam aktivitas dan kegiatan

informan. Semua data yang ditemukan selama pengamatan kemudian dicatat

dalam lembar observasi. Sedangkan, untuk peristiwa-peristiwa lain yang tidak

terekam dalam lembar observasi akan dimasukkan ke dalam catatan lapangan.

Adapun hal-hal yang diobservasi dalam penelitian ini adalah (1)

pelaksanaan pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus di MI Terpadu

Ar-Roihan Kecamatan Lawang Kabupaten Malang dan SD Muhammadiyah 9

“Panglima Sudirman” Kota Malang, (2) strategi guru dalam meningkatkan

mutu pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus di MI Terpadu Ar-

Roihan Kecamatan Lawang Kabupaten Malang dan SD Muhammadiyah 9

“Panglima Sudirman” Kota Malang, dan (3) kendala peningkatan mutu

pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus di MI Terpadu Ar-Roihan

Kecamatan Lawang Kabupaten Malang dan SD Muhammadiyah 9 “Panglima

Sudirman” Kota Malang.

65
M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu
Sosial Lainnya,Cetakan Ke-V, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 118.
97

3. Dokumentasi

Penggunaan teknik ini adalah untuk memperoleh dokumen yang

diperlukan yang meliputi dokumen kurikulum, perangkat pembelajaran, dan

sata statistik MI Terpadu Ar-Roihan Kecamatan Lawang Kabupaten Malang

dan SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” Kota Malang.

Beberapa alasan mengapa teknik ini dugunakan antara lain; pertama,

sumber data ini selalu tersedia sehingga mudah diakses. Selain itu

penggaliannya tidak membutuhkan banyak biaya dan waktu. Kedua, sumber

data dokumentasi merupakan sumber data yang stabil keakuratannya dalam

menggambarkan data masa lampau dan sekarang. Selain itu, data yang

diperoleh bisa dengan mudah dicek keabsahannya. ketiga, sumber ini

merupakan peryantaan yang legal yang dapat memenuhi akuntabilitas.

F. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis

data yang diperoleh dari wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain,

sehingga mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang

lain.66

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan daalam tiga tahap, yaitu;

sebelum memasuki lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan.

Sebelum memasuki lapangan, analisis dilakukan untuk menentukan fokus

penelitian, sehingga fokus masih bersifat sementara. Namun, pada penelitian kali

ini, analisis data lebih difokuskan selama proses di lapangan bersamaan dengan

66
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2011), hlm.
244
98

pengumpulan data dan setelah selesai pengumpulan data, yakni selama

penyusunan laporan penelitian. Oleh karena rancangan penelitian ini adalah

multisitus, maka analisis data dalam penelitian ini dibagi ke dalam dua tahap,

yaitu analisis data situs tunggal dan analisis data lintas situs.

1. Analisis Data Situs Tunggal

Tahap analisis situs tunggal dimulai dengan menelaah seluruh data

yang telah terkumpul dari hasil observasi, wawancara, catatan lapangan, dan

dokumentasi, guna meningkatkan pemahaman penelitian tentang persoalan

yang sedang diteliti di masing-masing lapangan. Data yang diperoleh dari

situs tunggal pertama yaitu MIT Ar-Roihan, akan dianalisa secara induktif

konseptual sebagai langkah menemukan proposisi, selanjutnya menyusun

teori substantif, kemudian masuk pada proses analisis data pada situs

kedua yaitu data yang diperoleh dari SD Muhammadiyah 9 “Panglima

Sudirman”.

Prosedur analisis data dalam penelitian ini bersifat induktif dengan

menggunakan model Miles dan Huberman yaitu interactive model. Aktivitas

dalam analisis data ini yaitu data collection, data reduction, data display, dan

kemudian diakhiri dengan verifikaasi atau penarikan kesimpulan

(conclusions: drawing/verifying).
99

Gambar 3.1 Model Analisis Interaktif Miles dan Huberman

a. Pengumpulan Data/Data Collection

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan menggunakan

metode wawancara, observasi, dan dokumentasi. Penggunaan metode

disesuaikan dengan jenis data yang diperlukan. Misalnya, untuk

mengetahui kesesuaian pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus di

MI Terpadu Ar-Roihan Kecamatan Lawang Kabupaten Malang dan SD

Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” Kota Malang dengan standar

proses yang telah ditetapkan pemerintah, digunakan metode observasi

dan dokumentasi. Pengumpulan data dilakukan sampai semua data yang

dibutuhkan untuk menjawab fokus penelitian terpenuhi.

b. Reduksi Data/Data Reduction

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, penyederhanaan,

pengabstrakan, dan transformasi data kasar muncul dari catatan-catatan


100

tertulis di lapangan.67 Reduksi data berlangsung terus-menerus sampai

laporan akhir lengkap tersusun.68

Reduksi data penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan

hasil catatan selama observasi, hasil catatan wawancara dengan

informan, dan hasil pencatatan dokumentasi. Data yang sudah terkumpul

kemudian dipilah sesuai dengan fokus penelitian ini, yakni pelaksanaan

pembelajaran begi siswa berkebutuhan khusus, strategi guru dalam

meningkatkan mutu pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus, dan

kendala peningkatan mutu pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus

di MI Terpadu Ar-Roihan Kecamatan Lawang Kabupaten Malang dan

SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” Kota Malang. Selanjutnya,

dilakukan reduksi data, agar data hal-hal pokok yang ada dalam data

mentah dapat diketahui. Sehingga data dapat memberikan gambaran yang

jelas dan memudahkan peneliti dalam melakukan analisis dan

interpretasi.

c. Display Data

Display data yaitu membuat rangkuman dalam bentuk uraian

(deskriptif) secara tersusun dan sistematis, sehingga hubungan antara data

yang satu dengan yang lainnya dapat dilihat dengan jelas sebagai suatu

keseluruhan yang utuh dan menyeluruh. Display data selain berupa

67
Mattew B. Milles dan A. Michael Huberman, Qualitative Data Analysis, (Terj. Jetjep Rohendi
Rohidi, Analisis Data Kualitatif), (Jakarta: UI Press, 1992), hlm. 16.
68
Wahidmurni, Cara Mudah Menulis proposal dan Laporan Penelitian Lapangan, Pendekatan
Kualitatif dan Kuantitatif: Skripsi, Tesis, dan Disertasi, (Malang: UM Press, 2008), hlm. 41.
101

narasi, juga bisa berupa matrik atau grafik. Setiap data yang sudah

direduksi dapat disajikan untuk dianalisis atau disimpulkan sementara.

Pada tahap ini, peneliti melakukan pengorganisasian data yang

sudah direduksi ke dalam bentuik teks naratif, kemudian apabila

diperlukan data tersebut diringkas ke dalam tabel, bagan, dan diagram

untuk memudahkan analisis dan interpretasi. Data ini mencakup hasil

observasi, wawancara, dan dokumentasi.

d. Penarikan Kesimpulan/Verification

Penarikan kesimpulan awal masih bersifat sementara, dan akan

mengalami perubahan, apabila tidak ditemukan bukti-bukti konkrit yang

kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data selanjutnya. Tetapi

jika kesimpulan awal yang dikemukakan sudah didukung oleh bukti-

bukti yang valid dan konsisten, maka kesimpulan tersebut merupakan

kesimpulan yang kredibel.

Peneliti pada tahap ini melakukan uji kebenaran terhadap setiap

makna yang dimunculkan data. Ketiga tahapan dalam proses analisis data

(reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan) berjalan secara

simultan. Sehingga, sejak awal memasuki lapangan dan selama proses

pengumpulan data peneliti menganalisis dan menggali makna dari data yang

dikumpulkan yang meliputi pola, tema, hubungan persamaan, hal-hal yang

sering timbul, dan sebagainya yang kemudian dituangkan dalam kesimpulan

awal yang masih bersifat tentatif.


102

2. Analisis Data Lintas Situs

Analisis lintas situs dimaksudkan untuk membandingkan temuan-

temuan yang diperoleh dari masing-masing situs, tempat dan subjek

penelitian sekaligus sebagai proses memadukan temuan antar situs. Subjek-

subjek penelitian tersebut diasumsikan memiliki karakteristik yang sama.

Kegiatan analisis lintas situs dalam penelitian ini dapat dijelaskan dengan

diagram konteks sebagai berikut:

Situs I MIT Ar-Roihan Situs II SD Muhammadiyah 9


Lawang “Panglima Sudirman”

Analisis Situs I Analisis Situs II

Temuan Situs I Temuan Situs II

Analisis Lintas Situs Temuan Substantif &


Temuan Formal

Membandingkan Situs I & 2 Proposisi

Gambar 3.2. Model Analisis Lintas Situs

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis multisitus

meliputi:
103

a. Menggunakan pendekatan induktif konseptualis yang dilakukan dengan

membandingkan dan memadukan temuan konseptual dari masing-masing

kasus individu;

b. Hasil dari membandingkan dan memadukan temuan konseptual dari

masing-masing kasus individu dijadikan dasar untuk menyusun

pernyataan konseptual atau proposisi-proposisi multikasus;

c. Mengevaluasi kesesuaian proposisi dengan fakta yang dijadikan acuan;

d. Mengkonstruksi ulang proposisi-proposisi sesuai dengan fakta dari

masing-masing individu, dan

e. Mengulangi proses ini sampai sebagaimana diperlukan atau sampai batas

kejenuhan.69

G. Pengecekan Keabsahan Data

Agar data yang diperoleh dari lokasi penelitian mempunyai kredibilitas

tinggi dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka peneliti melakukan

pengecekan keabsahan data. Adapun langkah-langkah yang ditempuh adalah (1)

triangulasi sumber data dan triangulasi teknik pengumpulan data, (2) pengecekan

anggota, dan (3) diskusi sejawat dan arahan dosen pembimbing.

Triangulasi merupakan proses untuk mendapatkan data valid melalui

penggunaan variasi instrumen. Peneliti menggunakan triangulasi sumber data dan

metode. Triangulasi sumber data dilakukan dengan membandingkan informasi

yang diperoleh dari wawancara, observasi, dan dokumentasi. Misalnya, peneliti

membandingkan hasil wawancara dengan informan kunci (guru kelas 5 MI

69
Yin. R. K, Studi Kasus, Desain dan Metode, Terjemah oleh M. Jazi Muzakir, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1987), hlm. 47-53
104

Terpadu Ar-Roihan Kecamatan Lawang Kabupaten Malang dan SD

Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” Kota Malang) dengan informan non-

kunci seperti kepala sekolah, staf karyawan, dan sebaliknya. Sedangkan, untuk

triangulasi metode peneliti yaitu membandingkan antara hasil observasi dengan

hasil wawancara atau dengan hasil dokumentasi.

Teknik lain yang digunakan untuk memeriksa keabsahan data dalam

penelitian ini adalah pengecekan anggota (member check). Pengecekan anggota

dilakukan dengan cara peneliti mendatangi setiap informan dan menunjukkan data

hasil wawancara dan observasi termasuk hasil interpretasi peneliti. Para informan

diminta untuk membaca kembali, memberikan komentar, menambah atau

mengurangi bila dipandang perlu.

Selain teknik triangulasi dan pengecekan anggota, peneliti juga

menggunakan teknik diskusi sejawat untuk memeriksa keabsahan data. Teknik ini

dilakukan baik dengan orang yang telah berpengalaman dalam penelitian

kualitatif, yang dalam hal ini adalah dosen pembimbing, maupun dengan rekan

mahasiswa Magister Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah Program Pascasarjana

UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Langkah yang ditempuh yaitu; peneliti

menyajikan data yang sudah diinterpretasi dan dianalisis kepada dosen

pembimbing dan kepada rekan mahasiswa. Peneliti kemudian meminta tanggapan

mengenai data yang sudah disajikan. Diskusi ini dimaksudkan untuk mengetahui

tingkat cakupan data, apakah terlalu sempit atau terlalu luas, apakah data sudah

relevan dengan fokus penelitian atau belum.


105

BAB IV
PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

A. Paparan Data dan Temuan Situs I di MIT Ar-Roihan


1. Profil MIT Ar-Roihan
Madrasah Ibtidaiyah Terpadu Ar-Roihan merupakan satu-satunya MI

Terpadu dengan label inklusi yang ada di kecamatan Lawang Kabupaten

Malang. Sekolah ini berdiri pada tahun 2008 di bawah naungan YLPI Ar-

Roihan, terletak di Jl. Monginsidi No. 2 Kecamatan Lawang Kabupaten

Malang. Meskipun tergolong sebagai sekolah yang masih baru tetapi kualitas

sekolah ini, baik dari segi manajemen maupun pembelajaran, sudah sangat

baik dan mendapat apresiasi yang baik dari masyarakat sekitar, hal ini

terbukti dari grafik jumlah siswa yang terus bertambah dari tahun ke tahun

berikut ini:

Grafik Perkembangan MIT Ar-Roihan


600 535
452
500 395
319
Jumlah

400
300 231
171 Jumlah Siswa
200 111
100 6 9 12 16 18 20 23 Rombel
59 74 78
21 30 42 41 13 11 16
0 2 4 2 5 Guru
Tenaga Pendidik

Tahun Pelajaran

Gambar 4.1 Grafik Perkembangan MIT Ar-Roihan


106

MIT Ar-Roihan didirikan oleh Lailil Qomariyah, S.Pd.I yang juga

menjabat sebagai Kepala Madrasah sampai sekarang. Untuk Wakil Kepala

Madrasah bidang Kurikulum dijabat oleh Ibu Miftachul Khotimah.

Sedangkan, jumlah guru yang mengajar di MIT Ar-Roihan Lawang

berjumlah 78 orang, jumlah guru yang termasuk banyak untuk sekolah

setingkat SD. Guru di madrasah ini terdiri dari wali kelas, guru mata

pelajaran, team teaching yang membantu proses pembelajaran di kelas

bersama wali kelas, dan shadow teacher sebagai guru pendamping untuk

ABK.

Sejak awal berdiri, MIT Ar-Roihan menerima Anak Berkebutuhan

Khusus (ABK). Meskipun belum dibekali fasilitas dan tenaga pendidik yang

berpengalaman untuk menangani ABK, namun MIT Ar-Roihan tetap

bertekad memberikan pelayanan kepada setiap anak yang mendaftar, tanpa

memandang fisik dan psikis anak. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh

kepala madrasah, Ibu Lailil Qomariyah, S.Pd.I berikut:

“Tahun awal berdiri 2008, semua anak yang masuk ya kita


terima. Kondisinya apapun kita terima. Nah begitu sudah
masuk, baru tahu kok anak ini berbeda ya, anak ini kok begini
ya, terus kita observasi, kita teliti. Oh, ternyata ini yang
namanya berkebutuhan khusus. Anaknya begini-begini, harus
ada penanganan khusus, ada treatmen-treatmen sendiri. Karena
kita sudah tahu anak ini kesulitan belajar, kalau di kelas
begini-begini, mengganggu temannya dan sebagainya, justru
akhirnya kita meneliti apa yang terjadi dengan anak ini.”70

Hal senada juga dinyatakan Miftachul Chotimah, S.Pd I, Wakil

Kepala Madrasah Bidang Kurikulum:

70
Lailil Qomariyah, Wawancara (Malang, 20 Oktober 2016)
107

“Sejak awal berdiri MIT Ar-Roihan sudah menerapkan


pendidikan inklusi, akan tetapi belum mendapatkan legalitas
secara formal sebagai sekolah penyelenggara pendidikan
inklusi.”71

Menghadapi keadaan seperti itu, MIT Ar-Roihan kemudian mencari

cara untuk memberikan pelayanan optimal kepada siswa berkebutuhan

khusus tersebut. Sebagaimana dinyatakan Kepala MIT Ar-Roihan, Lailil

Qomariyah, S.Pd.I, pihak madrasah kemudian bertanya kepada wali murid,

bagaimana riwayat kelahiran siswa, sehingga guru mengetahui bagaimana

mengkondisikan siswa supaya siap mengikuti Kegiatan Belajar Mengajar

(KBM). Selain itu, guru juga harus mengkondisikan siswa lainnya supaya

bisa menerima.

Lebih lanjut Lailil Qomariyah, S.Pd.I menyatakan, untuk bisa

memberikan pelayanan optimal kepada siswa berkebutuhan khusus, beliau

melakukan upaya antara lain; (1) sosialisasi kepada guru-guru untuk

menyampaikan bahwa anak-anak seperti ini menghadapi masalah dan sekolah

perlu membantu bukan menolak, apalagi mengeluarkan. Kalau kita nggak

punya ilmunya, ya kita cari bagaimana ilmunya. (2) sosialisasi ke masyarakat

dan wali murid untuk menyadarkan bahwa anak-anak seperti ini juga

merupakan amanah dari Allah SWT dan kewajiban orang tua untuk

merawatnya.. Pada awalnya tidak semua wali murid menerima anak-anak

ABK belajar satu kelas dengan anak mereka. Untuk mengatasi hal tersebut,

MIT Ar-Roihan kemudian mengumpulkan wali murid untuk melakukan

sosialisasi. Sebagaimana yang dinyatakan Kepala MIT Ar-Roihan:

71
Miftachul Chotimah, S.Pd I, Wawancara (Malang, 20 Oktober 2016)
108

“Andaikan anak-anak itu terjadi pada diri kita sendiri


bagaimana? Kan orang tua ndak ada yang tahu anaknya tiba-
tiba lahir seperti itu. Begitu dapat amanah dari Allah anaknya
seperti itu, apa yang harus kita lakukan? Menolak? Atau mau
dibuang? Kan nggak mungkin. Kita pasti akan menerimanya
dengan rela atau terpaksa. Tapi setelah kita terima kan kita
harus cari, apa ini yang menyebabkan, bagaimana cara
penanganannya? Otomatis kan kita harus cari ilmu.” 72

Setelah sosialisasi kepada guru-guru dan wali murid selesai, langkah

selanjutnya, menentukan penanganan-penanganan khusus yang dibutuhkan

siswa untuk dapat mengikuti KBM. Misalnya, siswa tidak bisa belajar di

kelas yang ramai, maka guru harus mengkondisikan kelas, atau mungkin

siswa tidak bisa kalau harus dilakukan pembelajaran secara klasikal, tapi dia

bisanya individual, atau juga mungkin siswa hanya bisa belajar sedikit-

sedikit, maka guru harus menurunkan indikatornya.

Berbagai prestasi telah diraih MIT Ar-Roihan baik di tingkat

kecamatan, maupun Kabupaten. Seperti pada tanggal 30 Oktober 2016 lalu,

Ekstrakurikuler Robotik berhasil meraih dua gelar sekaligus. Masing- masing

Fabio Kelas III Istambul dengan juara 2 Construction dan Kafka Kelas V

Bukhara dengan juara 2 lomba Robotik dalam perhelatan Regional

Competition Edu Fun Fair yang diselenggarakan di Hotel Istana

Tulungagung.73

Adapun struktur keorganisasian MIT Ar-Roihan adalah sebagai

berikut:74

72
Lailil Qomariyah, Wawancara (Malang, 20 Oktober 2016)
73
Observasi di MIT Ar-Roihan, 15 Oktober 2016
74
Dokumen Profil Madrasah MIT Ar-Roihan 2016
109

Ketua Yayasan : Farid Afandi


Kepala Madrasah : Lailil Qomariyah, S.Pd. I
Ketua Komite : Fahruddin Alamsyah, S.Kom
Sekretaris : Deviana Ernawati, S.Pd.I
Bendahara : Laili Infitamala
Kepala UKS : Lu‟lu‟il Mahfudhoh, S.Psi
Kepala Perpustakaan : Hanis Ratnasari, S.Pd.I
Ketua Takmir Putri : Nur Eliya Yulianti
Ketua takmir Putra : Nurul Huda
Waka Bidang Tahfidz : Toha Luqoni, S.Sos
Koordinator Rumah Tangga : Ari Wahyuni, S.Pd
Waka Bidang Humas : Redite Kurniawan, S.Pd
Waka Bidang Sarpras : Yuniar Kamelia, S.Pd
Waka Bidang Kesiswaan : Kustono, S.Pd
Waka Bidang Litbang : Yuni Padmi Sarianingsih, SH
Waka Bidang Kurikulum : Miftachul Chotimah, S.Pd.I

2. Pembelajaran Siswa Berkebutuhan Khusus


a. Perencanaan Pembelajaran
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) untuk siswa

berkebutuhan khusus atau biasa disebut Individualized Education

Program (IEP) di MIT Ar-Roihan disusun berdasarkan pada Kompetensi

Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) yang ada dalam kurikulum.

Penyusunannya dilakukan oleh Guru Pendamping Khusus (GPK) atau

Shadow Teacher di awal tahun pelajaran. Hal ini sebagaimana

dinyatakan GPK Althaf Dainrifki Adiwidya, siswa penderita Attention


110

Deficit Hyperactive Disorder (ADHD) Kelas V Aligart, Abdul Malik,

S.Pd sebagai berikut:

“Untuk tahun ini diminta langsung dibuat di awal tahun.


Kadang ya repot juga, soalnya kepotong-kepotong dengan
kerjaan lain, karena saya juga merangkap sebagai
operator. Kalau sudah kepotong gitu ya, mulai lagi agak
berat.”75

Adapun untuk tahap penyusunannya antara lain:

1) Analisis KI dan KD

Tahap ini dilakukan untuk menentukan KI dan KD mana yang

bisa diajarkan kepada siswa yang bersangkutan. Pertimbangan dalam

tahap analisis ini antara lain karakter atau tipe kebutuhan siswa, waktu

dan tingkat kesukaran materi.

Adapun acuan dalam penyusunan IEP antara lain, dokumen

kurikulum, buku siswa, dan buku guru. Berdasarkan hasil wawancara

dengan GPK, terdapat beberapa perbedaan langkah dalam menganalis

KD. Abdul Malik, S.Pd misalnya, ia lebih memilih menggunakan buku

siswa daripada buku guru. Dalam tahap analisis ini, Abdul Malik, S.Pd

langsung melihat materi di buku siswa, setelah itu ia mencocokkan

dengan KD yang terdapat dalam kurikulum. Jika ada materi yang

kemungkinan siswa tidak bisa memahami, maka KD yang sesuai dengan

materi tersebut tidak dicantumkan dalam IEP. Hal ini sebagaimana

diungkapkan oleh Abdul Malik, S.Pd sebagai berikut:

“Acuan yang saya gunakan ya buku paket tadi itu, tapi


cuma diambil KI dan KDnya saja, yang membedakan

75
Abdul Malik, Wawancara (Malang, 13 Oktober 2016)
111

nanti pada pembelajarannya. Misalnya, materi IPA yang


rangkaian listrik. Jika teman-temannya menerima materi
pengertian rangkaian listrik seri, dia hanya saya jelaskan
bahwa rangkaian listrik seri itu bentuknya begini, paralel
begini, yang penting dia bisa membedakan mana seri dan
mana paralel itu saja. KI dan KD memang ada, tapi saya
biasanya lebih banyak melihat ke materi. Jadi saya baca
dulu materinya, dia bisa apa nggak, kalau nggak, materi
itu masuk KD mana, maka KD itu saya coret, karena
materinya sesuai dengan kemampuan dia.”76

2) Penurunan Indikator Pembelajaran

Pada tahap ini, GPK menyusun indikator pembelajaran

berdasarkan KD yang telah dianalisis. Indikator yang disusun tidak sama

dengan indikator untuk siswa reguler. Muatan dalam indikator diturunkan

dan disesuaikan dengan karakteristik siswa.77 GPK untuk Rifki Lamsi,

siswa penderita disleksia Kelas V Allepo, Rizky Wahyuni, S.Pd.I,

menyatakan:

“Kita pakai pengurangan indikator. Iya analisis KD dulu.


Materi yang kemungkinan dia bisa saya ambil, tapi
ternyata kalau materi yang saya ambil dia belum tuntas,
saya cancel. Indikator didapat dari silabus, jadi kita punya
silabus sendiri. Jadi di IEP itu termasuk silabus.”78

Senada dengan Rizki Wahyuni, S.Pd.I. di atas, Abdul Malik,

S.Pd. menyatakan:

“Untuk mapel-mapel seperti Bahasa Arab, dia nulis aja


kan kesulitan, teman-temannya belajar Bahasa Arab ya
sudah saya ambil belajar nulis tok, jadi misalnya hurufnya
dipisah-pisah, dia disuruh nyambung. Sangat sederhana.
Terus kaya‟ perkalian dan pembagian misalnya, teman-
temannya pembagian gitu, misalnya porogapit, ya dia

76
Abdul Malik, Wawancara (Malang, 13 Oktober 2016)
77
Rahmanitia Nadiatus Salichah, Wawancara (Malang, 17 Oktober 2016)
78
Rizki Wahyuni, Wawancara (Malang, 17 Oktober 2016)
112

pembagiannya pembagian yang misalnya 2 x 5 kan 10,


terus 10 : 2 berapa gitu.”79

3) Persetujuan Koordinator Inklusi, Wali Murid dan Kepala Madrasah

Setelah IEP selesai disusun, langkah berikutnya adalah

mengajukannya kepada Koordinator Inklusi untuk mendapat persetujuan.

Selanjutnya, Koordinator Inklusi mengajukan IEP kepada wali murid

untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu direvisi atau tidak.

Langkah terakhir sebelum, IEP diterapkan adalah mengajukannya kepada

kepala madrasah. Sebagaimana dinyatakan Abdul Malik, S.Pd berikut:

“Kalau IEP itu kan kita buat, kemudian kita kumpulkan ke


koordinator inklusi, kalau sudah disetujui, kemudian
diperlihatakan kepada wali murid dulu, karena harus ada
tanda tangan Guru Pendamping, wali murid dan Kepala
Madrasah. Karena sebenarnya di luar IEP itu kan ada
pelayanan khusus, seperti sensori motorik, jadi bagaimana
melatih keseimbangan anak-anak seperti ini di kelas biar
dia nggak lari-lari terus.”80

Berdasarkan paparan data hasil wawancara dan dokumentasi di atas

dapat diketahui bahwa perencanaan pembelajaran siswa berkebutuhan

khusus di MIT Ar-Roihan menggunakan Individualized education

Program (IEP) yang disusun secara individual oleh tiap Guru

Pendamping Khusus (GPK). Tahap-tahap penyusunan IEP di MIT Ar-

Roihan meliputi; 1) Analisis KI dan KD, 2) Penurunan Indikator

Pembelajaran, dan 3) Persetujuan Koordinator Inklusi, Wali Murid dan

Kepala Madrasah.

79
Abdul Malik, Wawancara (Malang, 13 Oktober 2016)
80
Abdul Malik, Wawancara (Malang, 13 Oktober 2016)
113

b. Pelaksanaan Pembelajaran

Pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus dilaksanakan di

dalam kelas bersama dengan siswa reguler. Selama proses pembelajaran,

siswa didampingi oleh Guru Pendamping Khusus (GPK). Peran GPK

adalah menjelaskan materi yang disampaikan guru kelas dengan bahasa

yang lebih sederhana. Hal ini dilakukan, jika materi yang dipelajari

dikelas sesuai dengan yang tercantum dalam IEP. Akan tetapi, jika siswa

tidak bisa mengikuti materi di kelas. GPK memberi materi sendiri sesuai

dengan IEP.

Guru Pendamping Khusus tidak menyiapkan siswa secara khusus

untuk mengikuti pembelajaran. Hal ini karena siswa berkebutuhan

khusus di Kelas V MIT Ar-Roihan sudah bisa mengikuti kelas dan ikut

melaksanakan tata tertib kelas. Sebagaimana dinyatakan oleh GPK Ainun

Rifki, siswa penderita Attention Deficit Hyperactive Disorder (ADHD)

Kelas V Aligart, Abdul Malik, S.Pd :

“Kalau sekarang sih, kita sudah tidak perlu menyiapkan


secara khusus. Sekarang kan dia udah agak ngerti ya,
misalnya ketika terlambat, teman-temannya sudah sholat
dhuha, tapi dia belum, dia langsung sholat dhuha dulu.
Karena sudah terbiasa gitu, ya nggak perlu menyiapkan
secara khusus.”81

Senada dengan Abdul Malik, S.Pd di atas, Rizky Wahyuni, S.Pd.I

juga menyatakan, bahwa beliau tidak harus menyiapkan Rifki Lamsy

secara khusus untuk dapat mengikuti Kegiatan Belajar Mengajar (KBM)

di kelas. Rifki Lamsy sudah bisa mengikuti pembelajaran dan peraturan

81
Abdul Malik, Wawancara (Malang, 13 Oktober 2016)
114

kelas. Kecuali, jika Rifki Lamsy sedang tidak mau belajar, maka GPK

harus sebisa mungkin mengkondisikan siswa dan menumbuhkan kembali

motivasi belajarnya. Menurut penuturan Rizky Wahyuni, S.Pd.I, satu di

antara perilaku Rifki Lamsy yang masih sulit ditangani GPK adalah

perilaku moody-nya. Jika sudah hilang mood, seharian ia tidak mau

belajar. Selain itu, ketika Rifki Lamsy sedang menyukai suatu materi, dia

tidak mau belajar materi yang lain. Sedangkan, GPK tidak bisa

memaksakan siswa untuk mengikuti pembelajaran. Oleh karena itu, GPK

harus menuruti dahulu kemauan siswa, agar motivasi belajarnya

kembali.82

Selama kegiatan pembelajaran, siswa berkebutuhan khusus

didampingi GPK. Hal-hal yang tidak bisa dipahami siswa dijelaskan

GPK dengan bahasa sederhana, dengan cara mengambil pokok-pokok

materinya saja. Sedangkan, jika siswa benar-benar tidak bisa mengikuti

materi kelas, GPK memberikan materi sesuai dengan IEP, yaitu dengan

indikator yang sudah diturunkan83. Hal ini seperti yang diungkapkan

Abdul Malik, S.Pd berikut:

“Untuk mapel-mapel seperti Bahasa Arab, dia nulis aja


kan kesulitan, teman-temannya belajar Bahasa Arab ya
sudah saya ambil belajar nulis tok, jadi misalnya hurufnya
dipisah-pisah, dia disuruh nyambung. Sangat sederhana.
Terus kaya‟ perkalian dan pembagian misalnya, teman-
temannya pembagian gitu, misalnya porogapit, ya dia
pembagiannya pembagian yang misalnya 2 x 5 kan 10
terus, 10 : 2 berapa gitu. Kebetulan anak ini sudah hafal
perkalian sampai dengan 10. Cuma kalau dibalik misalnya

82
Rizki Wahyuni, Wawancara (Malang, 17 Oktober 2016)
83
Observasi di Kelas V Alighar MIT Ar-Roihan, 13 Oktober 2016
115

6 x 8 = 42, terus ditanya 8 x 6 berapa, itu tidak bisa. Ya


kalau gitu, biasanya saya tulis dulu di papan, seperti
perkalian 2 kotak terus hasilnya gitu. Misalnya, 6 x 8 = 42,
baru bawahnya saya tulis, 6 x berapa = 42 kaya‟ gitu dulu.
Berapanya saya kasih simbol kotak biasanya. Baru 42
dibagi 6, tapi baru sebatas itu, untuk lebih besar dan lebih
kecil masih kesulitan. Tapi kalau saya pakai istilah mana
yang lebih banyak, dia tahu. Tapi ya agak sulit juga kalau
ngajarkan matematika dengan istilah mana yang lebih
banyak.”84

Sementara itu, Rizki Wahyuni, S.Pd.I menyatakan, untuk

memahamkan materi kepada Rifki Lamsy, ia harus menyederhanakan

kalimat-kalimat yang ada di dalam materi dan soal-soal. Kalimat dalam

materi harus langsung pada intinya. Berikut adalah pernyataan dari GPK

untuk Rifki Lamsy, siswa penderita disleksia Kelas V Allepo, Rizky

Wahyuni, S.Pd.I:

“Kalau di tematik kan bobotnya terlalu besar, untuk


memahami kalimat dari yang kompleks. Tematik itu kan
sulit. Jadi saya mempermudahnya menjadi tidak terlalu
panjang, misalnya “apa yang dimaksud dengan siklus air”
itu saja dia sudah bingung. Jadi saya sederhanakan,
misalnya menjadi “siklus air adalah…” gitu dia baru bisa.
Kalimatnya sederhana, tidak terlalu panjang, jadi langsung
pada intinya. Untuk pembelajaran tetap mengikuti kelas,
jadi misalnya ada kerja kelompok mengerjakan soal dan
jawabannya ini-ini, ya saya ulang lagi.”85

Pelibatan siswa berkebutuhan khusus dalam proses pembelajaran

juga dilakukan oleh guru kelas. Pelibatan ini dalam bentuk pemberian

pertanyaan tentang materi pembelajaran. Perilaku siswa berkebutuhan

khusus juga diperhatikan guru kelas, terutama ketika GPK sedang tidak

bisa mendampingi. Guru kelas menegur dan mengarahkan siswa, jika

84
Abdul Malik, Wawancara (Malang , 13 Oktober 2016)
85
Rizki Wahyuni, Wawancara (Malang, 17 Oktober 2016)
116

berperilaku yang mengganggu teman sekelasnya. Selain itu, jika

pembelajaran memerlukan siswa untuk berkelompok, guru juga

mengikutsertakan siswa berkebutuhan khusus ke dalam kelompok-

kelompok siswa.86

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi di atas dapat

diketahui bahwa, pelaksanaan pembelajaran siswa berkebutuhan khusus

di MIT Ar-Roihan dilakukan sendiri oleh GPK namun tetap berada

dalam satu kelas dengan siswa reguler. Pembelajaran disesuaikan dengan

IEP yang telah disusun sebelumnya. Tidak terdapat persiapan khusus

untuk siswa. Pelibatan siswa dalam kegiatan pembelajaran belum begitu

terlihat karena siswa lebih dominan berinteraksi dengan GPK.

c. Evaluasi Pembelajaran

Evaluasi pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus dibagi

dalam tiga jenis. Pertama, Evaluasi formatif yang dilakukan berdasarkan

rubrik penilaian yang disusun dalam IEP. Pelaksanaan evaluasi ini

dilakukan setiap akhir pembahasan suatu pokok bahasan/topik, dan

dimaksudkan untuk mengetahui sejauh manakah proses pembelajaran

telah berjalan sebagaimna yang direncanakan. Sama dengan evaluasi

pada umumnya, evaluasi formatif untuk siswa berkebutuhan khusus juga

mencakup tiga aspek kompetensi inti yaitu sikap, kognisi, dan

keterampilan.

86
Observasi di Kelas V Alighar dan Kelas V Aleppo MIT Ar-Roihan
117

Penilaian aspek sikap atau afektif dilakukan saat siswa mengikuti

pembelajaran. Guru mengamati sikap dan perilaku siswa saat kegiatan

pembelajaran di kelas berlangsung. Catatan hasil pengamatan tersebut

kemudian menjadi bahan penilaian yang nantinya dimasukkan ke dalam

raport siswa. Selain menggunakan rubrik penilaian dalam IEP, guru juga

menyesuaikan penilaian sikap siswa berkebutuhan khusus dengan siswa

reguler. Hal ini karena sikap dan perilaku siswa berkebutuhan khusus di

Kelas V MIT Ar-Roihan secara umum tidak jauh berbeda dengan siswa

reguler. Mengenai hal ini, Rizki Wahyuni, S.Pd.I menyatakan:

“Ya misalnya pas guru sudah menerangkan dia masih


umek (gaduh), nah itu masuk jadi bahan penilaian. Sudah
3 kali perintah, dia tidak melaksanakan, masuk juga. Ooh
berarti kurang kedisiplinannya.”87

Adapun untuk penilaian pada aspek kognitif, guru menggunakan

rubrik penilaian yang terdapat dalam IEP. Kalimat dan bahasa soal

disederhanakan dan didasarkan pada indikator pembelajaran yang sudah

diturunkan. Sedangkan untuk aspek psikomotorik, penilaian dilakukan

dengan memebrikan tugas proyek kepada siswa namun dengan

modifikasi dan penyederhanaan. Selain itu, GPK juga memberikan

bimbingan dan arahan selama siswa mengerjakan tugas, seperti

menjelaskan maksud dari kalimat perintah atau cara mengerjakan tugas

tersebut. Seperti yang dinyatakan Rizki Wahyuni, S.Pd.I berikut:

“Ya kadang pas ada tugas membuat keterampilan gitu, dia


sering manggil-manggil saya, nanya “bu ini apa?” ya saya
tunjukkan saja bagaimana cara membuatnya. Karena dia

87
Rizki Wahyuni, Wawancara (Malang, 17 Oktober 2016)
118

untuk pemahaman sulit, saya biasanya pakai mind map.


Jadi seperti bagan-bagan gitu. Untuk bahasa Indonesia,
kemarin kan ada tugas wawancara, ya gitu membuat
pertanyaannya tidak bisa, belum bisa membuat kalimat
pertanyaan. Terus saya beri tahu tentang 5w + 1H dan
nanya ke temannya bagiamana cara untuk bertanya.
Pertanyaannya dari saya. Pokoknya yang kesulitan itu
mapel seperti bahasa Indonesia, IPA, IPS, PKn. Kalau IPA
masih bisa digambar.”88

Kedua, Evaluasi Sumatif yaitu Ujian Tengah Semester (UTS) dan

Ujian Akhis Semester (UAS). Pelaksanaan evaluasi ini bersamaan

dengan siswa reguler. Mengenai hal ini, Wakil Kepala Madrasah Bidang

Kurikulum, Miftachul Chotimah, S.Pd.I menyatakan:

“kita evaluasi sumatifnya bersama dengan siswa reguler,


tapi soalnya Shadow (GPK) sendiri yang membuat karena
belum ada soal khusus dari Kemenag Kabupaten
Malang.”89

Ketiga, Evaluasi Diagnostik, yaitu evaluasi yang digunakan untuk

mengetahui kelebihan-kelebihan dan kelemahan yang ada pada siswa

sehingga dapat diberikan perlakuan yang tepat. Evaluasi ini dilakukan

untuk mengetahui perkembangan siswa, apakah sudah bisa “dilepas”

(tanpa GPK) atau belum. Sebagaimana diungkapkan oleh Wakil Kepala

Madrasah Bidang Kurikulum, Miftachul Chotimah, S.Pd.I berikut:

“iya, kita ada, tapi tidak secara khusus siswa disuruh


mengerjakan soal. Biasanya kita cukup mengamati saja,
dia sudah bisa ini atau menghadapi masalah ini. Selain itu,
kita juga menggunakan nilai harian sebagai acuan
perkembangan siswa.”90

88
Rizki Wahyuni, Wawancara (Malang, 17 Oktober 2016)
89
Miftachul Chotimah, Wawancara (Malang, 20 Oktober 2016)
90
Miftachul Chotimah, Wawancara (Malang, 20 Oktober 2016)
119

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi di atas, diketahui

bahwa evaluasi untuk siswa berkebutuhan khusus di MIT Ar-Roihan

terdiri dari tiga jenis, yaitu formatif yang dilaksanakan setiap selesai

penyampaian satu pokok materi, sumatif yang dilaksanakan setiap akhir

semester dengan menggunakan instrument yang disusun sendiri oleh

GPK, dan evaluasi diagnostic yang digunakan untuk mengetahui

perkembangan siswa berkebutuhan khusus baik dalam segi akademik

maupun psikisnya.

3. Strategi Guru dalam Meningkatkan Mutu Pembelajaran bagi Siswa


Berkebutuhan Khusus
Secara umum, strategi peningkatan mutu pembelajaran bagi siswa

berkebutuhan khusus di MIT Ar-Roihan dapat diklasifikasikan sebagai

berikut:

a. Penyederhanaan Materi Pembelajaran

Sebagaimana dipaparkan data hasil observasi dan wawancara di

atas, bahwa untuk meningkatkan pemahaman siswa berkebutuhan khusus

terhadap materi pembelajaran, Guru Pendamping Khusus (GPK)

melakukan penyederhanaan materi yang dirumuskan dalam Individual

Education Program (IEP). Seperti yang dilakukan Ibu Rizki Wahyuni,

S.Pd.I, beliau melakukan penurunan indikator pembelajaran ketika

menyusun IEP. Penurunan indikator ini atas dasar pertimbangan

kompleksitas materi dan tipe gangguan yang diderita siswa berkebutuhan

khusus. Abdul Malik, S.Pd menyatakan:


120

“Misalnya materi IPA yang rangkaian listrik. Jika teman-


temannya menerima materi pengertian rangkaian listrik
seri, dia hanya saya jelaskan bahwa rangkaian listrik seri
itu bentuknya begini, paralel begini, yang penting dia bisa
membedakan mana seri dan mana paralel, itu saja.”91

Contoh lain, misalnya materi skala bagi siswa bernama Althaf

Dain Rifqi Adiwidya penderita Gangguan Kosentrasi dan Hiperaktif

(ADHD) kelas V Alighar terlalu sulit, maka GPK Abdul Malik, S.Pd

menurunkan materi skala menjadi penyederhanaan pecahan.

Pertimbangan langkah ini adalah masih terdapat kesamaan antara materi

skala dengan penyederhanaan pecahan. Ia menambahkan:

“Kadang pas di kelas materinya terlalu sulit bagi dia, ya


saya ambilkan materi kemarin. Tapi saya nggak bisa
ngambilkan dari buku lain, kadang saya karang sendiri.
Soalnya kadang di juga protes “lho teman-teman sudah
belajar itu, kok saya belum? Kenapa?” saya yang bingung
menjawab. Terkadang kalau dia nggak bisa mengerjakan,
saya ajak belajar yang lain dulu, “ayo kita belajar ini dulu”
tapi dia protes, “lho kenapa belajar ini, kenapa saya nggak
bisa?” Jadi tergantung pada tingkat kesulitan materi.”92

Hal senada dilakukan Rizki Wahyuni, S.Pd.I GPK Rifki Lamsy,

siswa penderita gangguan disleksia kelas V Allepo. Beliau memaparkan,

untuk pembelajaran tematik, karena bobotnya terlalu besar bagi siswa,

dikarenakan terdapat banyak kalimat-kalimat yang menuntut pemahaman

tingkat lanjut. Maka dari itu, GPK mempermudahnya menjadi tidak

terlalu panjang, misalnya “apa yang dimaksud dengan siklus air” menjadi

91
Abdul Malik, Wawancara (Malang, 13 Oktober 2016)
92
Abdul Malik, Wawancara (Malang, 13 Oktober 2016)
121

“siklus air adalah…”. Kalimat harus sederhana tidak terlalu panjang, dan

langsung pada intinya.93

b. Bimbingan Invidual

Bimbingan individual dilakukan selama kegiatan pembelajaran

berlangsung. GPK duduk di samping siswa dan merespon setiap

pertanyaan siswa terkait materi pembelajaran. Selain itu, GPK juga selalu

menkondisikan siswa, agar tidak gaduh dan mengganggu siswa yang

lain.94

Adapun jika siswa berkebutuhan khusus tetap tidak bisa

menyerap materi dengan maksimal, langkah yang dilakukan GPK adalah

dengan mengajak siswa keluar kelas, kemudian GPK menjelaskan materi

mana yang masih belum dipahami siswa. Tujuannya adalah untuk

memusatkan konsentrasi dan fokus siswa terhadap materi pembelajaran.

Meskipun terkadang siswa menolak untuk diajak keluar, karena merasa

diperlakukan tidak adil seperti teman-temannya yang tetap belajar di

dalam kelas. Sebagaimana dinyatakan Rizki Wahyuni, S.Pd.I:

“saya ajak belajar di luar kelas. Pernah suatu hari saya


praktekkan ketika Lamsy mengalami kesulitan memahami
materi pembelajaran, saya ajak keluar terus saya jelaskan
ulang setelah itu saya beri soal. Ternyata dia bisa
menjawab hampir semua soal. Tapi kadang dia protes,
kenapa dia harus belajar di luar sedangkan teman-
temannya tidak, kenapa dia tidak bisa seperti teman-
temannya.”95

93
Rizki Wahyuni, Wawancara (Malang, 17 Oktober 2016)
94
Observasi di Kelas V Alighar dan Kelas V Allepo MIT Ar-Roihan, 17 Oktober 2016
95
Abdul Malik, Wawancara (Malang, 13 Oktober 2016)
122

Hal serupa dilakukan Abdul Malik, S.Pd, untuk menjelaskan

materi tentang kerusakan alam, ia harus mengajak siswa keluar kelas. Hal

ini karena dibutuhkan media pembelajaran berupa video, agar siswa

dapat memahami materi dengan cepat dan maksimal, sedangkan di dalam

kelas sedang berlangsung pembelajaran. Sehingga dikhawatirkan jika

penggunaan media video di dalam kelas akan mengganggu proses

pembelajaran.

Gambar 4.2 GPK Melakukan Bimbingan Individual Kepada Siswa


Berkebutuhan Khusus
c. Penggunaan Media Pembelajaran

Sebagian besar hambatan yang dihadapi siswa berkebutuhan

khusus dalam hal memahami materi pembelajaran adalah pemahaman

terhadap maksud kalimat yang cenderung abstrak dan membutuhkan

penalaran tingkat tinggi. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, GPK di

MIT Ar-Roihan menggunakan media pembelajaran sebagai alat bantu

untuk memperjelas dan mempermudah pemahaman siswa.

Adapun media pembelajaran yang sering digunakan adalah media

visual dan audio-visual, seperti gambar dan video. Penggunaan media ini
123

disesuaikan dengan materi yang sedang dipelajari. Selain itu, dalam

menggunakan media, terutama yang berbasis video, GPK harus

mengajak siswa keluar kelas, agar tidak mengganggu siswa lainnya.

Selain gambar dan video, GPK juga menggunakan mind map

untuk mempermudah siswa memahami materi pembelajaran.

Sebagaimana dinyatakan Rizki Wahyuni, S.Pd.I:

“Karena dia untuk pemahaman sulit, saya biasanya pakai


mind map. Jadi seperti bagan-bagan gitu. Untuk Bahasa
Indonesia, kemarin kan ada tugas wawancara, ya gitu
membuat pertanyaannya tidak bisa, belum bisa membuat
kalimat pertanyaan. Terus saya beri tahu tentang 5w + 1H
dan nanya ke temannya bagaimana cara untuk bertanya.”96

Gambar 4.3 Beberapa Media Visual yang Digunakan Guru

d. Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa

Beberapa langkah yang ditempuh guru dalam meningkatkan

motivasi belajar siswa berkebutuhan khusus antara lain:

1) Pemberian reward (penghargaan) dan punishment (hukuman)

96
Rizki Wahyuni, Wawancara, (Malang, 17 Oktober 2016)
124

Sama halnya dengan siswa regular, guru juga memberikan

penghargaan dan hukuman kepada siswa berkebutuhan khusus. reward

(penghargaan) diberikan apabila siswa mampu mengerjakan suatu soal

atau berhasil melaksanakan suatu pekerjaan sesuai dengan arahan atau

instruksi guru. Bentuk reward (penghargaan) bermacam-macam.

Misalnya yang diterapkan Rizqi Wahyuni, S. Pd.I terkadang memberikan

hadiah berupa barang, seperti kopyah yang diberikan pada saat siswa

menerima raport, namun dengan catatan apakah poin yang didapatkan

siswa mencukupi atau tidak.97

Adapun untuk punishment (hukuman) diberikan ketika siswa

tidak melakukan perintah guru atau tidak berperilaku sesuai dengan yang

diharapkan. Hukuman yang diberikan tidak berupa tindakan fisik, tetapi

berupa peringatan peringatan. Sebagaimana dituturkan Abdul Malik,

S.Pd berikut:

“Kadang kalau misalnya dia lari-lari gitu, saya pura-pura


pegang HP, terus saya rekam dia, kan dia takut kalau saya
adukan ke mamanya. Kalau tahu saya merekam gitu, dia
langsung ngajak belajar.”98

Hukuman bagi siswa berkebutuhan khusus juga mengikuti

peraturan kelas. Hal ini dilakukan jika pelanggaran yang dilakukan siswa

bersifat umum dan sesuai dengan peraturan kelas. Misalnya ketika siswa

gaduh dan mengganggu temannya, maka poinnya akan dikurangi.99

2) Nasehat/pesan moral

97
Rizki Wahyuni, Wawancara, (Malang, 17 Oktober 2016)
98
Abdul Malik, Wawancara (Malang, 13 Oktober 2016)
99
Observasi di Kelas V Alighar dan Kelas V Allepo MIT Ar-Roihan, 20 Oktober 2016
125

Langkah lain yang dilakukan oleh guru untuk meningkatkan

motivasi belajar siswa berkebutuhan khusus adalah dengan memberikan

pujian, nasehat serta motivasi agar siswa tidak minder. Seperti yang

dilakukan Abdul Malik, S.Pd, ia memberikan nasehat dan mengingatkan

siswa agar perilaku yang buruk dihilangkan. Ia menyatakan:

“Saya ingatkan aja, kalau dia nggak serius belajar, nanti


nggak naik kelas. Biasanya saya tanya “kamu mau teman-
teman sudah kelas 6 tapi kamu masih kelas 5?”, dia jawab
“nggak mau.”

Hal senada juga dilakukan Rizqi Wahyuni, S.Pd.I, sebagaimana ia

tuturkan berikut ini:

“Kadang saya bilang “ya udah besok kalau sudah kelas 6


tidak sama bu Rizki lagi, tunjukkan kalau Lamsy bisa”.
Kadang kalau moodnya sedang turun, dia bilang “Aku ini
beda, kenapa aku nggak belajar sendiri seperti teman-
teman yang lain?” kadang dia nangis. Pas lagi nggak kita
urusi gitu, dia nangis.”100

e. Mengikuti Pelatihan Guru Pendamping Khusus

Strategi lain yang dilakukan GPK untuk meningkatkan mutu

pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus di MIT Ar-Roihan adalah

dengan mengikuti pelatihan Guru Pendamping Khsusus/Shadow Teacher

yang dilaksanakan setiap hari sabtu. Pelatihan rutin ini dikoordinir Ema

Fitriyah, S.Pd, Koordinator Inklusi MIT Ar-Roihan. Kegiatan ini selain

berfungsi sebagai sarana peningkatan kompetensi GPK dalam menangani

siswa berkebutuhan khusus, juga sebagai sarana bertukar pikiran dan

pengalaman selama mengajar. Kegiatan rutin ini dilaksanakan di gedung

100
Rizki Wahyuni, Wawancara, (Malang, 17 Oktober 2016)
126

inklusi MIT Ar-Roihan dengan bekerja sama dengan Dinas PLB

Kabupaten Malang.101

Selain pelatihan di madrasah sendiri, peningkatan kompetensi

guru pendamping juga dilakukan melalui pengikutsertaan dalam

workshop dan pelatihan di luar madrasah.

f. Membiasakan Siswa Mandiri

Langkah ini dilakukan, agar siswa tidak selalu bergantung kepada

guru. Diharapkan ke depannya siswa tidak lagi memerlukan dampingan

dan arahan dari guru, baik dalam hal belajar, maupun kegiatan sehari-hari

ketika di sekolah. Sehingga siswa bisa mengikuti kelas sebagaimana

siswa regular pada umumnya. Oleh karena itu, untuk membiasakan siswa

mandiri, GPK harus memulai dari hal-hal yang kecil seperti

membiasakan siswa memperhatikan uang yang ia belanjakan.102 Seperti

yang dilakukan Abdul Malik, S.Pd. berikut:

“Kaya tadi kan saya datang terus menanyakan uang saku


Rifki, nanti ketika istirahat saya nanya dia mau beli apa,
habisnya berapa, nanti uangnya sisa berapa. Untung sih
semester ini dia sudah bisa agak ditinggal, nggak perlu
selalu saya tungguin, kalau dulu itu kalau dia ke kantin
beli jajan, habis bayar terus ditinggal. Dia nggak tau uang
yang harus dibayarkan berapa, kembaliannya berapa,
makanya saya dampingi ketika ke kantin. Ya kalau
penjualnya baik, artinya mau mengembalikan uang
kembaliannya, tapi kalau di toko lain kan kita nggak tahu.
Untuk membiasakan dia ya, saya suruh nanya harganya
berapa. Misalnya, harganya 1.500, biasanya saya suruh
pilih uang 2.000 atau 1.000, dia pilih keduanya digabung.
Tapi kalau ada 2000 dan 1.500 dia langsung pilih 1.500.”

101
Lailil Qomariyah, Wawancara, (Malang, 20 Oktober 2016)
102
Observasi di Kelas V Alighar, 13 Oktober 2016
127

g. Memberikan Target Capaian Belajar

Agar siswa lebih termotivasi, GPK memberikan dorongan berupa

pemberian target-target yang harus dicapai siswa. Jika siswa berhasil

menyelesaikan tugas sesuai dengan target yang ditetapkan, GPK

kemudian memberikan reward, misalnya dengan memperbolehkan siswa

istirahat lebih awal. Namun, jika siswa tidak bisa memenuhi target, siswa

tidak diperbolehkan istirahat terlebih dahulu.103

4. Kendala Peningkatan Mutu Pembelajaran Bagi Siswa Berkebutuhan


Khusus
a. Kesulitan Berkomunikasi dengan Siswa
Satu di antara kendala yang dihadapi GPK dalam meningkatkan

mutu pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus adalah komunikasi

dengan siswa. Rata-rata background pendidikan guru bukan berasal dari

lulusan psikologi. Bahkan masih ada guru yang lulusan SMA. Kesulitan

ini dialami terutama ketika berhadapan dengan siswa yang menderita

gangguan keterlambatan bicara (speech delay), gangguan

konsentrasi/ADHD, dan autis.104

b. Mental Labil Siswa

Kendala ini dihadapi ketika siswa sedang marah, sedih, dan hilang

kendali. Pada saat kondisi seperti ini, siswa tidak bisa dipaksakan untuk

mengikuti pembelajaran. Seperti yang dialami Rizqi Wahyuni, S.Pd.I,

ketika Lamsy sedang marah dan kehilangan motivasi untuk belajar,

dalam satu hari pernah tidak mau belajar sama sekali. Hal demikian juga

103
Wawancara Rizki Wahyuni, S.Pd I, GPK Kelas V Aleppo, 17 Oktober 2016
104
Observasi di Kelas V Alighar dan Kelas V Allepo MIT Ar-Roihan, 17 Oktober 2016
128

dialami Abdul Malik, S.Pd. ketika Althaf Dain Rifki sedang tidak mood

untuk belajar, maka dalam sehari ia tidak bisa dipaksakan untuk

belajar.105

c. Kurangnya Peran Aktif Orangtua

Tidak semua orangtua menyadari keterbatasan yang dimiliki

anaknya. Beberapa di antaranya menuntut anaknya harus bisa menguasai

materi pelajaran dan mendapat nilai sekian. Ada pula orang tua yang

jarang memonitoring perkembangan anaknya. Hal ini seperti yang

dialami Lamsy, orang tua dan keluarga jarang memonitoring capaian

belajarnya. Ketika mendapatkan PR dari sekolah, Lamsy jarang bisa

mengerjakan sendiri, karena tidak dibantu orangtua atau saudaranya.

Sebagaimana diungkapkan Rizki Wahyuni berikut:

“Kalau saya selalu memperhatikan kalau di rumah dia


belajar apa nggak., soalnya orang tuanya tidak pernah
ngecek. Kan harus seimbang belajar di sekolah dan di
rumah. Pernah itu saya kasih PR, saya tanya siapa yang
mengerjakan? Dia bilang “saya sendiri bu”, lha bundanya
kemana? “mama sibuk” dibantu kakak ya ngerjakannya.
Besoknya saya kasih PR nggak dikerjakan, besoknya lagi
Cuma satu dikerjakan. Mungkin, karena di catatan lamsi
kan saya tulis dia kalu menulis itu lama, kalau tulisannya
sudah nggak rapi ganti halaman. Jadi harus rapi. Mungkin
orang tuanya bingung di situ, anaknya dibelajari apa kok
loncat-loncat. Jadi mungkin seperti itu saya
106
melihatnya.”

d. Sarana dan Prasarana Masih Belum Memadai

Sebagai sekolah yang masih tergolong baru, MIT Ar-Roihan

belum memiliki fasilitas lengkap meskipun dari sisi manajerial sudah

105
Observasi di Kelas V Alighar dan Kelas V Allepo MIT Ar-Roihan, 17 Oktober 2016
106
Rizki Wahyuni, Wawancara (Malang, 17 Oktober 2016)
129

memadai. Terutama sarana dan prasarana untuk melayani siswa

berkebutuhan khusus. Fasilitas khusus yang tersedia hanya berupa ruang

kelas khusus untuk memberikan latihan keseimbangan bagi siswa

berkebutuhan kusus yang disebut ruang sumber. Adapun perpustakaan

masih sangat memprihatinkan, karena berada di ruang kecil dan pengap.

Selain itu, toilet dan playground juga masih belum tersedia fasilitas

bermain yang dikhususkan untuk siswa berkebutuhan khusus. Sehingga

ketika siswa bermain, terkadang GPK harus mendampingi.107

Gambar 4.4 Kondisi Perpustakaan MIT Ar-Roihan

Berdasarkan hasil wawancara, observasi, dan dokumentasi

sebagaimana dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa beberapa

kendala yang selama ini dihadapi GPK dalam meningkatkan mutu

pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus antara lain: kesulitan

107
Observasi MIT Ar-Roihan tanggal 15 Oktober 2016
130

berkomunikasi dengan siswa, mental labil siswa, kurangnya peran aktif

orangtua dan minimnya sarana dan prasaran penunjang.

5. Temuan Situs I di MIT Ar-Roihan


a. Pelaksanaan Pembelajaran Siswa Berkebutuhan Khusus di MIT
Ar-Roihan
Pelaksanaan pembelajaran siswa berkebutuhan khusus di MIT Ar-

Roihan dilaksanakan dengan menggunakan model layanan pendidikan

individualisasi. Model layanan ini mengharuskan adanya pendampingan

individual untuk masing-masing siswa berkebutuhan khusus. Sehingga

jumlah Guru Pendamping Khusus (GPK) di MIT Ar-Roihan disesuaikan

dengan jumlah siswa berkebutuhan khusus. GPK bertugas memberikan

bimbingan selama kegiatan belajar mengajar di kelas berlangsung. Selain

itu, untuk materi-materi yang siswa tidak bisa mengikuti, GPK

merancang sendiri materi pembelajaran dengan cara melakukan

gradasi/penurunan tingkat kesukaran materi pembelajaran. Hal ini

berlaku untuk siswa dengan hambatan ringan seperti disleksia, speech

delay, ADHD, dan slow learner. Sedangkan, untuk siswa dengan

hambatan berat seperti autis, cerebral palsy, GPK melakukan gradasi di

semua materi pembelajaran.

Tahap pembelajaran diawali dengan penyusunan Individualized

Education Program (IEP) sebelum semester dimulai. Pada tahap ini,

GPK melakukan analisis terhadap Kompetensi Inti (KI), Kompetensi

Dasar (KD), dan materi pembelajaran yang ada di buku siswa untuk

diturunkan dan disesuaikan dengan tingkat kemampuan kognitif siswa.


131

Sebelum IEP diterapkan, terlebih dahulu GPK melakukan koordinasi

dengan orang tua siswa dan kepala madrasah. Penyusunan IEP dilakukan

sendiri oleh GPK dan tidak dilakukan secara kolektif. Hal ini karena

tidak ada tim IEP di MIT Ar-Roihan.

Tahap berikutnya adalah menerapkan IEP dalam kegiatan

pembelajaran. Kegiatan pembelajaran dilakukan sendiri oleh GPK di

dalam kelas bersama siswa reguler. Pelibatan siswa berkebutuhan khusus

dalam kelas disesuaikan dengan kondisi dan materi yang sedang

dipelajari dengan porsi yang tidak terlalu banyak. Adapun bagi siswa

yang belum bisa masuk kelas, pembelajaran dilakukan di ruang

sumber/ruang inklusi.

Tahap terakhir adalah evaluasi pembelajaran. Pelaksanaan

evaluasi disesuaikan dengan rubrik penilaian yang tercantum dalam IEP.

Terdapat tiga jenis evaluasi, yaitu formatif, sumatif, dan diagnostik.

Evaluasi formatif dilakukan setelah selesai pemberian suatu materi

pembelajaran, evaluasi sumatif dilakukan setelah semester selesai (UAS),

di MIT Ar-Roihan tidak menerapkan evaluasi tengah semester (UTS).

Sedangkan, evaluasi diagnostik dilakukan untuk mengetahui

perkembangan siswa berkebutuhan khusus. Pemberian nilai menjadi

wewenang GPK untuk kemudian diserahkan kepada wali kelas.


132

b. Strategi Guru dalam Peningkatan Mutu Pembelajaran Siswa

Berkebutuhan Khusus di MIT Ar-Roihan

Berdasarkan paparan data, ditemukan bahwa strategi yang

dilakukan guru dalam meningkatkan mutu pembelajaran siswa

berkebutuhan khusus adalah:

Pertama, penyederhanaan materi. Langkah ini dilakukan pada

saat penyusunan IEP. Guru melakukan analisis terhadap KI, KD, dan

materi pembelajaran di buku siswa untuk disesuaikan dengan

kemampuan kognitif siswa yang berdasarkan pada hasil asesmen awal.

Kedua, bimbingan individual. Dalam rangka meningkatkan pemahaman

siswa terhadap materi yang sedang dipelajari, GPK melakukan

bimbingan individual, baik pada saat pembelajaran berlangsung, maupun

di luar jam pelajaran apabila diperlukan.

Ketiga, penggunaan media visual, seperti gambar, video, dan alat

peraga. Langkah ini dilakukan GPK untuk menjelaskan materi-materi

yang sulit apabila hanya dijelaskan menggunakan kata-kata. Misalnya,

materi bencana alam atau bentuk rangkaian listrik, siswa sulit memahami

apabila penjelasan tidak didukung dengan media, seperti gambar atau

video. Keempat, meningkatkan motivasi belajar siswa. Langkah ini

dilakukan GPK untuk mengembalikan semangat belajar siswa yang

hilang. Bentuk-bentuk pemberian motivasi yang dilakukan yaitu

memberikan reward apabila siswa berperilaku baik, memberikan

hukuman (punishment) apabila siswa berperilaku menyimpang atau


133

melanggar tata tertib kelas, memberikan pujian, dan melibatkan siswa

dalam kegiatan-kegiatan kelompok bersama siswa reguler.

Kelima, membentuk lingkungan belajar yang kondusif. Strategi

yang dilakukan adalah melakukan sosialisasi kepada siswa reguler untuk

selalu bersikap baik kepada siswa berkebutuhan khusus. Hal ini

dilakukan, agar suasana pembelajaran di dalam kelas menjadi lebih

nyaman bagi siswa berkebutuhan khusus. Keenam, mengikuti pelatihan

guru. Kegiatan ini diadakan oleh madrasah secara rutin setiap bulan.

Dalam rangka meningkatkan kompetensi diri, GPK mengikuti kegiatan

ini dan menerapkan hasil yang diperoleh dalam pembelajaran.

Ketujuh, membiasakan siswa mandiri. Strategi ini dilakukan GPK

untuk melatih kemandirian siswa, dengan harapan suatu saat siswa sudah

tidak lagi memerlukan pendampingan khusus dan bisa mengikuti

pembelajaran di kelas seperti siswa pada umumnya. Kedelapan,

mematok target kompetensi. Upaya ini dilakukan, agar siswa lebih

disiplin dan memiliki tujuan yang jelas dalam belajar.

c. Kendala Peningkatan Mutu Pembelajaran bagi Siswa

Berkebutuhan Khusus di MIT Ar-Roihan

Sebagai madrasah inklusi yang tergolong baru, MIT Ar-Roihan

terus berupaya meningkatkan mutu baik dari segi manajemen maupun

pelayanan pendidikan kepada semua siswanya. Predikat sebagai

madrasah inklusi percontohan di Kabupaten Malang semakin memacu

MIT Ar-Roihan untuk terus berbenah diri. Demikian pula dalam hal
134

pembelajaran untuk siswa berkebutuhan khusus, MIT Ar-Roihan terus

berupaya memberikan pembelajaran yang bermutu, tanpa adanya

pembedaan (pilih kasih). Akan tetapi dalam realitanya, masih terdapat

beberapa kendala yang menjadi penghambat guru dalam melaksanakan

pembelajaran terutama bagi siswa berkebutuhan khusus.

Beberapa kendala yang dihadapi GPK dalam melaksanakan

pembelajaran siswa berkebutuhan khusus antara lain; Pertama, kesulitan

memahami sikap dan komunikasi siswa. Hal ini dikarenakan sebagian

besar latar belakang pendidikan GPK bukan dari pendidikan luar biasa.

Bahkan masih terdapat GPK yang berlatar pendidikan SMA atau

sederajat. Kedua, sikap apatis beberapa siswa reguler dan orang tua

siswa terhadap siswa berkebutuhan khusus. Masih adanya sikap ini

berimbas pada kondisi kejiwaan siswa berkebutuhan khusus. Misalnya,

masih ada siswa yang melakukan bullying terhadap siswa berkebutuhan

khusus atau tidak bersedia berada satu kelompok dengan siswa

berkebutuhan khusus.

Ketiga, kurangnya peran aktif orang tua. Belum semua orang tua

menyadari keterbatasan anaknya, beberapa di antaranya masih menuntut

anaknya untuk menguasai kompetensi sebagaimana siswa reguler. Selain

itu, masih terdapat beberapa orang tua yang kurang melakukan kontrol

terhadap perkembangan belajar anaknya. Mereka pasrah sepenuhnya

kepada GPK dalam hal pendidikan untuk anaknya.


135

Keempat, sarana dan prasarana yang belum memadai, seperti

ukuran ruang sumber/inklusi belum representatif, sehingga menyebabkan

tidak maksimal dalam penggunaannya. Selain itu, ukuran perpustakaan

yang kecil dan pengap juga menjadi satu di antara faktor penghambat

GPK dalam melaksanakan pembelajaran untuk siswa berkebutuhan

khusus.

Tabel 4.1
Temuan Situs I di MIT Ar-Roihan

Fokus Temuan Penelitian

- Model layanan pendidikan yang diterapkan


adalah model layanan pendidikan
individualisasi.
- Pelaksana pembelajaran adalah Guru
Pendamping Khusus (GPK).
- Sebagian besar latar belakang pendidikan
GPK tidak linear dengan persyaratan
profesi.
- Pengembangan PPI disesuaikan dengan
hasil asesmen awal siswa.
- Pengembang PPI adalah GPK masing-
masing siswa.
- Pengembangan PPI dilakukan sebelum
Pembelajaran Siswa
masuk semester baru.
Berkebutuhan Khusus
- Selama pembelajaran siswa didampingi
GPK.
- Pembelajaran disesuaikan dengan PPI.
- Pembelajaran dilaksanakan di dalam kelas
dan di luar kelas sesuai dengan kebutuhan.
- Materi pembelajaran disederhanakan sesuai
dengan kemampuan siswa.
- Terdapat tiga jenis evaluasi, yaitu formatif,
sumatif, dan diagnostik.
- Instrumen soal pada evaluasi formatif dan
sumatif dibuat sendiri oleh GPK.
- Indikator soal disederhanakan sesuai
dengan kemampuan siswa.

Strategi Guru dalam - Melakukan pendekatan personal.


Meningkatkan Mutu - Memberikan motivasi.
136

Fokus Temuan Penelitian

Pembelajaran Siswa - Sosialisasi kepada siswa reguler dan orang


Berkebutuhan Khusus tua tentang bagaimana bersikap kepada
siswa berkebutuhan khusus.
- Membuat jadwal pemakaian ruang sumber.
- Memanfaatkan sumber belajar yang ada.
- Melakukan pembelajaran di luar kelas.

- Kesulitan memahami sikap dan komunikasi


siswa.
- Sikap apatis beberapa siswa reguler dan
Kendala Peningkatan Mutu
orang tua siswa.
Pembelajaran Siswa
- Kurangnya peran aktif orangt.ua
Berkebutuhan Khusus
- Ukuran ruang sumber/inklusi belum
representatif.
- Perpustakaan kecil dan pengap.

B. Paparan Data dan Temuan Situs II di SD Muhammadiyah 9 “Panglima


Sudirman” Malang
1. Profil SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman”
SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” didirikan pada tanggal 1

Januari 1969. Sekolah ini terletak di Jl. R. Tumenggung Suryo No. 5

Kelurahan Rampal Celaket, Kecamatan Klojen, Kota Malang di bawah

binaan Universitas Muhammadiyah Malang. Sejak awal berdiri, SD

Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” belum menjadi sekolah inklusi, baru

pada tahun 2005 sekolah ini menerima siswa berkebutuhan khusus dan

mendapatkan legalitas formal sebagai sekolah penyelenggara program inklusi

pada tahun 2008 dari Dinas Pendidikan Kota Malang.108

Berbagai prestasi sudah dicapai SD Muhammadiyah 9 “Panglima

Sudirman”, baik oleh sekolah, maupun siswa-siswinya. Satu di antara bukti

108
Sony Darmawan, Wawancara (Malang, 15 Nopember 2016)
137

prestasi sekolah ini adalah keberhasilannya mendapatkan akreditasi A dan

termasuk dalam sekolah inklusi yang berprestasi. Hal ini terbukti dengan

terus bertambahnya jumlah siswa berkebutuhan khusus yang diterima.

Terdapat 18 Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dengan beragam jenis dan

karakteristik pada tahun pelajaran 2016/2017. Adapun prestasi siswanya

dapat dilihat dari banyaknya piala yang dipajang di lemari yang diletakkan di

depan kantor Tata Usaha (TU). Prestasi yang terbaru diraih oleh siswa-siswi

SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” antara lain; (1) juara umum

lomba SD Muhammadiyah dan Aisyiyah se Kota Malang dalam rangka Milad

Muhammadiyah, (2) lolos lomba O2SN Provinsi dalam bidang olahraga

futsal, atletik dan MTQ, (3) juara 1, 2, dan 3 lomba deklamasi yang

diselenggarakan Dinas Pariwisata Kota Malang. Selain prestasi tersebut,

prestasi siswa-siswi SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” dapat dilihat

pada tabel berikut:

Tabel 4.2
Daftar Prestasi Siswa SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman”

No. Jenis Lomba Peserta Hasil Keterangan


Nabil
Juara
Smart MIPA Ahmad
1 Primagama Tugu,
1. Competition Zulfahmi
13 Oktober 2013
2013 Rafandi Juara
Ramadhan 3
Khailila Juara
Arumdapta 1
SMPK Frateran C-21,
2. Mewarna Fauzan
Juara 3 November 2013
Yusuf
2
Prasetyo
Nadya Alya Primagama Semanggi
Try Out Juara
3. Banafsaj Soekarno Hatta,
Kepahlawanan 1
10 November 2013
4. Pildacil Nadya Alya Juara Gebyar Muharram SMP
138

No. Jenis Lomba Peserta Hasil Keterangan


Banafsaj 1 Muhammadiyah 3, 30
Nindya Juara November 2013
Shafa L N 2
Menggambar Khailila Juara
5.
dan Mewarna Arumdapta 1
Riham Juara
6. Fashion Muslim
Abdillah 1

SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” Malang menerapkan

Kurikulum 2013 yang didasarkan pada Standar Isi dan Standar Kompetensi

Lulusan dari BSNP dilengkapi dengan kurikulum keagamaan (Al-Islam,

Kemuhammadiyahan, dan Bahasa Arab) dari majelis Dikdasmen

Muhammadiyah. SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” Malang

menerapkan sistem pendidikan terpadu berbasis karakter Islami, yaitu

memadukan pengembangan intelektual, emosional, sosial, dan spiritual.

Kegiatan tersebut dilaksanakan melalui kegiatan kurikuler, ekstrakurikuler,

pembiasaan, pembimbingan, pelatihan, dan keteladanan, baik di dalam kelas,

maupun di luar kelas, dengan memanfaatkan berbagai sumber belajar yang

ada. Kegiatan pembelajaran dilaksanakan secara integratif, tematik, dan

kontekstual, dengan menerapkan berbagai strategi secara variatif.109

Adapun untuk jumlah siswa SD Muhammadiyah 9 “Panglima

Sudirman” tahun pelajaran 2016/2017 sebanyak 553 anak (laki-laki sebanyak

292 anak dan perempuan sebanyak 261 anak). Dari jumlah tersebut, 18 di

antaranya adalah siswa dengan kebutuhan khusus. Siswa tersebut dibagi ke

dalam 20 Rombongan Belajar.

109
Dokumen Profil SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman”
139

2. Pembelajaran Siswa Berkebutuhan Khusus

Pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus dilaksanakan

terintegrasi dengan siswa reguler. Siswa berkebutuhan khusus mendapat

perlakuan dan kesempatan, serta porsi partisipasi yang sama dalam kegiatan

belajar mengajar. Setiap kelas (termasuk kelas 5 yang menjadi subyek

penelitian ini) terdapat dua guru, yaitu wali kelas dan guru pendamping. Wali

kelas bertugas sebagai guru kelas, sedangkan guru pendamping bertugas

mengkondisikan siswa. Guru Pendamping Khusus (GPK) bertugas sebagai

observer perkembangan siswa berkebutuhan khusus saja. Hal ini karena

sebagian besar siswa berkebutuhan khusus di kelas atas sudah bisa mengikuti

kegiatan kelas. Sehingga tidak memerlukan pengawasan, pembimbingan, dan

pendampingan secara intens. Pelaksanaan pembelajaran siswa berkebutuhan

khusus diserahkan sepenuhnya kepada guru kelas dan guru pendamping.110

Jumlah GPK di SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” sebanyak

2 orang. Sedangkan jumlah siswa berkebutuhan khusus yang harus ditangani

sebanyak 18 siswa. Sehingga agar lebih efisien, GPK hanya memfokuskan

pendampingan pada siswa dengan gangguan berat, seperti Autis dan

Tunagrahita. Selain itu, menurut Eka Susantin, S.Pd, diharapkan dengan

langkah seperti ini siswa berkebutuhan khusus akan lebih bisa mandiri dan

tidak ketergantungan dengan guru.

“Targetnya adalah anak-anak itu mandiri, kemudian


mempunyai perilaku yang sesuai dengan harapan kita, baiklah
minimal. Kemudian untuk yang akademik itu kita sesuaikan

110
Observasi Kelas V Al-Mughni, 8 Nopember 2016
140

dengan kemampuan siswa. Jadi kita tidak memaksakan


levelnya dia harus sama dengan reguler, mboten.”111

a. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) khusus atau yang biasa

disebut Individual Education Program (IEP) bagi siswa berkebutuhan

khusus di SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” hanya dibuat

untuk siswa dengan gangguan berat, seperti Autis, Tunagrahita, dan

Tunadhaksa. Adapun RPP untuk siswa dengan gamgguan ringan, seperti

slow learner, Attention Deficit Hyperactive Disorder (ADHD), dan short

time memory terintegrasi dengan RPP bagi siswa reguler. Baik indikator,

tujuan, langkah pembelajaran, dan evaluasi semua sama112. Hal ini

karena ketika siswa berkebutuhan khusus dimasukkan ke dalam kelas

reguler, mereka sudah mendapatkan rekomendasi legal dari pihak

berwenang (psikolog). Louis Ifka A, M.Pd guru Kelas V Al-Mughni

menyatakan:

“Kalau siswa ABK sudah masuk kelas reguler kan paling


tidak sudah dilegalkan untuk masuk di kelas reguler, jadi
memang itu yang harus sekolah kuatkan bahwa ketika
sudah masuk sini sudah ada rekomendasi untuk masuk
sekolah (kelas) reguler, kalau memang tidak, seperti
Tunadhaksa gitu ya, sama seperti Tunanetra kan tidak
mungkin masuk kelas reguler, karena anaknya kan tidak
bisa. Jadi paling tidak untuk yang tingkatnya parah itu
parameternya banyak, parahnya yang bagaimana, paling
tidak yang sudah masuk kelas reguler ini dia pernah
mengenyam sekolah SLB atau sekolah khusus, setelah
mendapatkan rekomendasi layak untuk di sekolah (kelas)
reguler kami menerima.”113

111
Eka Susantin, Wawancara (Malang, 14 Nopember 2016)
112
Observasi Kelas V Al-Mughni, 8 Nopember 2016
113
Louis Ifka Arishinta, Wawancara (Malang, 13 Nopember 2016)
141

Adapun langkah-langkah penyusunan RPP sama dengan RPP

pada umumnya, yaitu analisis KI dan KD, perumusan indikator dan

tujuan pembelajaran, penyusunan materi pembelajaran, pemilihan

strategi dan metode pembelajaran, perumusan langkah-langkah

pembelajaran, serta penyusunan rubrik penilaian. Penyusunan RPP

dilakukan di awal semester, tepatnya ketika liburan semester dan

dilakukan dengan cara kolaborasi guru kelas V. Setelah RPP selesai,

disusun kemudian diajukan kepada Kepala Sekolah untuk diperiksa dan

dievaluasi, apakah terdapat kekurangan atau tidak. Sumber acuan utama

penyusunan RPP adalah buku guru, karena dalam buku guru tersebut

sudah tersedia langkah-langkah pembelajaran, guru tinggal menganalisis,

kemudian menyesuaikan dengan kebutuhan di lapangan. Sebagaimana

dinyatakan Mushodiqul Umam, S.Pd, guru Kelas V As-Salam berikut:

“Analisis KD iya, kita di setiap pertemuan dalam satu


minggu itu selalu mengadakan istilahnya pembekalan atau
persiapan pembelajaran, dengan cara menganalisis KD,
indikator, jadi seperti itu selalu kita lakukan rutin setiap
hari Senin-Selasa kita ketemu dengan tim. Kebetulan
karena di sini ABKnya tidak yang sangat berat sekali,
materi tetap seperti itu, tetapi kemudian di kegiatan
pembelajaran sehari-hari ini, kita sederhanakan melihat
realitasnya.”114

Berdasarkan hasil wawancara di atas, diketahui bahwa

perencanaan pembelajaran untuk siswa berkebutuhan khusus di SD

Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” menggunakan Rencana

Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) reguler untuk siswa dengan hambatan

114
Mushodiqul Umam, Wawancara (Malang, 15 Nopember 2016)
142

ringan seperti slow learner dan ADHD. Sedangkan untuk siswa dengan

gangguan berat seperti autis, tunadhaksa, tunagrahita, cerebral palsy,

tunanetra mengguanakan RPP Modifikasi.

b. Pelaksanaan Pembelajaran

Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa pembelajaran bagi

siswa berkebutuhan khusus dengan gangguan ringan di SD

Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” dilaksanakan terintegrasi

dengan siswa reguler. Sebagaimana diterapkan di kelas V, karena semua

siswa berkebutuhan khusus di kelas tersebut memiliki karakteristik yang

hampir sama, yaitu mengalami kesulitan dalam belajar, sedangkan dalam

aspek pergaulan atau sosialisasi tidak terdapat masalah yang cukup

signifikan. Sehingga, pembelajaran dilaksanakan bersama dengan siswa

reguler. Selama proses pembelajaran, tidak ada guru pendamping khusus

(GPK) yang mendampingi. Siswa berkebutuhan khusus mengikuti

pembelajaran sebagaimana siswa lainnya.115

Semua guru kelas di kelas V, baik Kelas Al-Mughni, As-Salam,

maupun Al-Latif, menuturkan bahwa tidak ada persiapan khusus bagi

siswa ABK agar bisa mengikuti pembelajaran. Mereka dilibatkan dalam

apersepsi sebagaimana siswa reguler. Seperti yang diungkapkan

Mushodiqul Umam, S.Pd, guru kelas di kelas Al-Latif berikut:

“Untuk Shaka tidak ada persiapan khusus, sama seperti


yang lain. Dia juga beberapa kali saya suruh maju ke
depan memimpin do‟a. Jadi kita itu setiap kali memulai

115
Observasi Kelas Al-Mughni, As-Salam, dan Al-Latif
143

pembelajaran anak-anak ke depan memimpin do‟a, dan itu


akan saya pilih acak, kalau kebetulan dia bertugas ya
bertugas. Contoh lagi, kapan hari tugas sholat dhuha, dia
saya tunjuk jadi imam, ya bisa dan harus bisa. Jadi untuk
porsi-porsi seperti itu kita samakan. Jadi secara
keseluruhan aktivitas dia sama.”116

Pelibatan siswa berkebutuhan khusus dalam kegiatan pembelajaran

menjadi satu di antara prioritas utama guru. Hal ini dilakukan agar siswa

tidak merasa eksklusif, karena mendapatkan perlakuan yang berbeda dari

teman-temannya. Bentuk-bentuk pelibatan siswa yang dilakukan berupa;

(1) pemberian kesempatan siswa memimpin do‟a sebelum pembelajaran

dimulai, (2) menjadi imam sholat dhuha, (3) menjadi bagian kelompok

belajar, (4) mewakili kelompoknya mempresentasikan hasil diskusi, dan

(5) mengerjakan soal di papan tulis. Pelaksanaan pembelajaran di SD

Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” dimulai hari Senin sampai

dengan Jum‟at. Hari Sabtu diisi kegiatan ekstrakurikuler.117

Gambar 4.5 Siswa Berkebutuhan Khusus Memimpin


Kelompoknya Mempresentasikan Hasil Diskusi

Hasil wawancara, observasi, dan dokumentasi di atas menunjukkan

bahwa pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus di SD


116
Mushodiqul Umam, Wawancara (Malang, 15 Nopember 2016)
117
Observasi Kelas Al-Mughni, As-Salam, dan Al-Latif
144

Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” dilaksanakan terintegrasi

dengan siswa reguler. Selama kegiatan pembelajaran, siswa

berkebutuhan khusus tidak didampingi GPK. Peran GPK hanya sebatas

observer, evaluator, dan mediator.

c. Evaluasi Pembelajaran

Evaluasi bagi siswa berkebutuhan khusus mencakup tiga ranah

kompetensi, yaitu afektif, kognitif, dan psikomotorik. Evaluasi bagi

siswa berkebutuhan khusus di SD Muhammadiyah 9 “Panglima

Sudirman” dapat dibagi ke dalam tiga jenis. Pertama, Evaluasi formatif,

yaitu evaluasi yang dilakukan setiap selesai pembahasan suatu materi

pembelajaran. Pelaksanaan evaluasi ini dilakukan setiap akhir

pembelajaran dan ketika selesai pembahasan suatu pokok materi. Selain

itu, evaluasi formatif juga dilaksanakan setiap hari Senin setelah upacara

bendera. Tujuan evaluasi ini adalah untuk mengetahui tingkat

pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran yang dipelajari

seminggu sebelumnya. Evaluasi formatif mencakup tiga ranah

kompetensi, yaitu afektif, kognitif, dan psikomotorik. Evaluasi ranah

afektif tidak jauh berbeda dengan siswa reguler, karena siswa

berkebutuhan khusus di kelas V memiliki sikap yang hampir sama

dengan siswa reguler. Sehingga, evaluasinya disamakan dan sesuai

dengan rubrik penilaian yang tercantum dalam RPP.

Adapun untuk evaluasi ranah kognitif, soal yang diberikan lebih

sederhana jika dibandingkan siswa reguler. Baik bentuk, struktur, jumlah


145

dan tingkat kesukaran soal berbeda dengan siswa reguler. Gradasi ini

dilakukan berdasarkan pertimbangan kemampuan siswa dalam

memahami materi. Seperti yang diterapkan Mushodiqul Umam, S.Pd,

berikut:

“Tiga ranah kompetensi itu kita terapkan tetapi dengan


standar minimum, makanya saya katakan, khusus
penilaian kita bedakan karena inklusi dari KKMnya juga
kita bedakan, materinya sama penyederhanan, baik itu
kalimat panjang dijadikan pendek, baik itu dibantu dengan
gambar atau dengan clue-clue lain supaya dia dapat
memahami soal dengan baik. Untuk penilaian sikap sama.
Sikap Shaka ini kan bagus. Sikapnya bagus, sosialnya
bagus. Jadi tidak ada masalah di situ. Kalau penilaian
kognitif dan psikomotorik itu yang paling kita bedakan,
karena kan dia mempunyai kendala di situ, short time
memory.”118
Kedua, evaluasi sumatif, yaitu Ujian Tengah Semester (UTS) dan

Ujian Akhir Semester (UAS). Pelaksanaan evaluasi ini bersamaan

dengan siswa reguler. Terdapat dua model soal yang diberikan, yaitu soal

dari Dinas Pendidikan Kota Malang dan soal dari sekolah yang dibuat

oleh guru. Kedua soal tersebut disederhanakan sesuai dengan tingkat

kemampuan siswa. Penyusunan soal oleh guru kelas dilakukan melalui

rapat koordinasi bersama Guru Pendamping Khusus (GPK) sebelum

UAS dilaksanakan. Guru kelas mendampingi siswa dan memberikan

arahan apabila terdapat soal yang tidak dipahami siswa.

Ketiga, evaluasi diagnostik yaitu evaluasi yang dilakukan untuk

mengetahui perkembangan siswa berkebutuhan khusus. Evaluasi ini

berupa observasi dan catatan harian yang dilakukan guru kelas dan guru

118
Mushodiqul Umam, Wawancara (Malang, 15 Nopember 2016)
146

pendamping khusus (GPK). Guru kelas melakukan evaluasi bersamaan

ketika melakukan penilaian. Sedangkan, GPK melakukan evaluasi

berdasarkan laporan guru kelas.

3. Strategi Guru dalam Peningkatan Mutu Pembelajaran bagi Siswa


Berkebutuhan Khusus
a. Modifikasi materi
Masih minimnya ketersediaan modul khusus untuk siswa

berkebutuhan khusus, disiasati guru dengan cara menyederhanakan

materi pembelajaran ketika kegiatan belajar mengajar sedang

berlangsung. Modul khusus hanya tersedia untuk siswa dengan gangguan

berat, seperti Autis, Tunadhaksa, Tunagrahita, dan sebagainya.

Sedangkan, untuk siswa dengan gangguan ringan, seperti di Kelas V

yaitu short time memory dan slow learner belum tersedia. Langkah yang

dilakukan guru adalah memanggil siswa, kemudian guru menerangkan

materi pembelajaran yang sama dengan siswa reguler, akan tetapi lebih

disederhanakan. Mushodiqul Umam, S.Pd menuturkan:

“Kaya‟ Shaka ini penyederhanaannya materi, dari tingkat


kerumitan agak diturunkan, jumlah dikurangi dari yang
standar, misalkan seandaianya di evaluasi itu ada 40, dia
35 seperti itu, dan untuk beberapa materi yang sifatnya dia
butuh penalaran, kita bantu. Karena harapan kita ke depan,
nanti dia bisa dengan program yang kita lakukan itu
berujung pada kemandirian.”119

Langkah serupa juga diterapkan guru di Kelas V lainnya (Al-

Mughni dan As-Salam). Modifikasi materi masih bersifat insidental,

dalam artian, guru tidak mempersiapkan secara khusus materi yang harus

119
Mushodiqul Umam, Wawancara (Malang, 15 Nopember 2016)
147

dipelajari siswa berkebutuhan khusus. Sebagaimana disebutkan di atas,

guru memodifikasi materi pada saat proses pembelajaran, jika memang

diperlukan.

b. Sosialisasi

Sosialisasi dilakukan baik kepada siswa, warga sekolah, maupun

orangtua siswa. Sosialisasi bertujuan untuk menghilangkan sikap apatis

dan underestimate terhadap siswa berkebutuhan khusus. Sosialisasi

kepada siswa dilakukan guru, baik ketika di kelas, maupun di luar jam

pelajaran. Guru selalu mengingatkan kepada siswa reguler, bahwa siswa

berkebutuhan khusus juga memiliki hak yang sama dengan mereka .

Upaya ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan dan iklim belajar

yang nyaman, baik bagi siswa reguler, maupun siswa berkebutuhan

khusus. Sedangkan, sosialisasi kepada guru dan warga sekoah dilakukan

ketika akhir semester, yaitu melalui kegiatan Up-Grading. Sekolah

mengahadirkan narasumber-narasumber untuk memberikan pemahaman

kepada guru dan warga sekolah mengenai ABK dan bagaimana

menanganinya.

Adapun sosialisasi kepada orangtua dilakukan guru secara

personal, maupun melalui forum ketika pengambilan raport. Selain itu,

sosialisasi juga dilakukan dengan cara menyisipkannya pada saat

diadakan kegiatan-kegiatan yang mendatangkan wali murid, baik itu

dilakukan oleh kepala sekolah sendiri, maupun dengan mengundang

narasumber.
148

c. Penggunaan Media Pembelajaran

Penggunaan media pembelajaran bertujuan untuk mempermudah

siswa berkebutuhan khusus memahami materi pembelajaran yang sedang

dipelajari. Pemanfaatan media ini dilakukan tidak hanya untuk membantu

siswa berkebutuhan khusus, tetapi juga siswa reguler. Namun terkadang,

siswa berkebutuhan membutuhkan media khusus yang berbeda dengan

siswa reguler. Hal ini karena tingkat kecepatan siswa berkebutuhan

khusus dalam memahami materi, berbeda dengan siswa reguler.

Sehingga guru harus memberikan treatment khusus, seperti membuatkan

media pembelajaran. Sebagaimana yang dilakukan Mushodiqul Umam,

S.Pd, untuk memahamkan cara penulisan Aksara Jawa siswa

berkebutuhan khusus di kelasnya, beliau membuat media khusus

berbentuk wayang.

Gambar 4.6 Media Pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas


V Al-Mughni
d. Bimbingan Individual

Bimbingan individual dilakukan guru ketika; (1) siswa

berkebutuhan khusus mengalami kesulitan dalam memahami materi


149

pembelajaran. Guru memanggil atau mendekati siswa untuk memberikan

penjelasan mengenai materi pelajaran dengan menggunakan bahasa yang

sederhana dan mudah dimengerti. Sementara itu, guru pendamping

melanjutkan pembelajaran bagi siswa reguler.120 (2) siswa melanggar tata

tertib, (3) siswa kehilangan motivasi belajar,121 (4) siswa berkebutuhan

khusus mempunyai masalah dengan siswa reguler, yang mengakibatkan

siswa terganggu konsentrasi belajarnya, dab (5) siswa mengerjakan soal

evaluasi, baik itu evaluasi formatif, maupun sumatif.

Gambar 4.7 Guru Memberikan Bimbingan Individual


Kepada Siswa Berkebutuhan Khusus

e. Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa

Pemberian motivasi dilakukan oleh guru untuk meningkatkan dan

mengembalikan semangat belajar siswa. Selain itu, juga untuk

memberikan kepercayaan diri kepada siswa, sehingga siswa tidak merasa

120
Observasi di Kelas Al-Latif, 14 Nopember 2016
121
Mita Kurnia Pristiwa Yuni, Wawancara (Malang, 8 Nopember 2016)
150

minder ketika bergaul dengan siswa reguler. Upaya pemberian motivasi

dilakukan guru melalui;

1) Bimbingan personal, yaitu dengan cara memanggil siswa pada saat

jam istirahat atau pada waktu proses pembelajaran, guru dituntut

untuk memiliki kepekaan atau sensitivitas terhadap sikap siswa

ketika di kelas. Sehingga, guru harus mengetahui kenapa siswa

sedih, kenapa siswa murung, dan sebagainya. Ketika mengetahui

sikap siswa berbeda dari biasanya, guru kemudian mendekati dan

melakukan bimbingan secara personal. Louis Ifka A, M.Pd

menyatakan:

“Pendampingan personal dengan memberikan kata-


kata bahwa perilakunya harus selalu baik,
semangatnya harus selalu baik, karena dia tahu
posisinya kalau kurang mampu, ketika dia tahu dia
merasa terpuruk dan merasa tidak pede, sehingga kita
harus support itu bahwa kalau pengen bisa ya belajar
dengan baik, dikurangi melamunnya. Istilahnya
melamun, jadi sebenarnya dia lepas konsentrasi,
beberapa kali kerlip mata ke atas dalam jangka waktu
lama langsung kita tegur “jangan berperilaku seperti
ini”.122
2) Memberikan akses dan kesempatan yang sama besar kepada siswa

berkebutuhan khusus untuk berpartisipasi dalam kegiatan belajar

mengajar. Mushodiqul Umam, S.Pd menyatakan:

“Saya secara pribadi sama sekali tidak membedakan


dalam hal pelayanan atau paling tidak diistimewakan,
tidak, saya anggap sama. Kita sampaikan kepada
teman-temannya. Dia dalam hal seperti itu kita kasih
porsi yang sama. Kecuali dalam hal penalaran dan
berhitung ya, tapi kalau dalam konteks keseharian
tetap kita samakan, biar dia tidak merasa terlalu
122
Louis Ifka Arishinta, Wawancara (Malang, 13 Nopember 2016)
151

eksklusif begitu. “kenapa saya harus begini?” kenapa


saya harus seperti itu?”123
3) Memberikan reward ketika siswa mampu menyelesaikan tugas

melebihi apa yang diperintahkan guru, mampu menjawab kuis yang

diberikan, dan berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan.

Reward yang diberikan berupa pujian, sanjungan atau hadiah berupa

snack atau barang-barang yang bermanfaat. 124

f. Koordinasi Antar Guru

Koordinasi dilakukan secara rutin setiap hari Senin sampai

dengan Kamis ketika siswa sedang mengaji pada jam ke-1 dan ke-2.

Koordinasi rutin dilakukan oleh tim guru kelas di masing-masing jenjang

kelas. Adapun di Kelas V, rapat koordinasi dilakukan oleh tim guru

Kelas V yaitu Louis Ifka Arishinta.,M.Pd (Wali Kelas V Al-Mughni),

Entin Wardhah, S.Pd (Guru Pendamping Kelas V Al-Mughni),

Mushodiqul Umam, S.Pd (Wali Kelas V Al-Latif), Ghisella Tri A, S.Pd

(Guru Pendamping Kelas V Al-Latif), Mita Kurnia Pristiwa Yuni, S.Pd

(Wali Kelas V As-Salam), dan Wiwin, S.Pd (Guru Pendamping Kelas V

As-Salam).

Tujuan dilakukannya rapat koordinasi adalah untuk membahas

persiapan pembelajaran selama seminggu ke depan. Semua hal yang

perlu dipersiapkan, seperti perangkat pembelajaran, sumber belajar,

media pembelajaran, strategi dan metode pembelajaran, serta kendala-

123
Mushodiqul Umam, Wawancara (Malang, 15 Nopember 2016)
124
Observasi di Kelas V As-Salam, 10 Nopember 2016
152

kendala yang mungkin dihadapi selama pembelajaran.125 Apabila dalam

rapat koordinasi membahas hal-hal terkait siswa berkebutuhan khusus,

atau misalnya terjadi masalah dengan siswa berkebutuhan khusus, tim

guru kelas mengundang Guru Pendamping Khusus (GPK), Eka Susantin,

S.Pd untuk meminta rekomendasi langkah-langkah penanganan yang

akan diterapkan.126

Hasil rapat koordinasi kemudian dikomunikasikan kepada Kepala

Sekolah dan Wali Murid melalui Paguyuban pada hari Jum‟at. Hal-hal

yang dibutuhkan, seperti media dan sumber belajar juga dikomunikasikan

kepada paguyuban melalui Short Message System (SMS) atau melalui

telepon dan media sosial seperti Blackberry Messager (BBM) atau

Whatsapp (WA). Kemudian pada hari Sabtu, paguyuban membawakan

alat-alat dan media pembelajaran yang dibutuhkan selama seminggu ke

depan.127

125
Wawancara dengan semua Guru Kelas V SD Muhammadiyah 9
126
Eka Susantin, Wawancara (Malang, 15 Nopember 2016)
127
Louis Ifka Arishinta, Wawancara (Malang, 15 Nopember 2016)
153

Gambar 4.8 Catatan Hasil Rapat Koordinasi Guru Kelas V

g. Mengikuti Kegiatan Up-Grading

Up-Grading adalah kegiatan pembekalan dan peningkatan

kompetensi guru yang dilaksanakan setiap akhir semester dengan cara

menghadirkan narasumber-narasumber yang berkompeten di bidangnya

masing-masing. Kegiatan ini diikuti perangkat sekolah, semua guru dan

karyawan. Seperti yang dilaksanakan untuk menyambut semester II tahun

pelajaran 2015/2016 lalu, untuk meningkatkan pengetahuan dan

keterampilan, serta kompetensi guru, sekolah mengundang para

narasumber yang kompeten di bidangnya, antara lain adalah Djoko

(Programmer/Guru IT MAN 3 Malang), Muqoddas (Sesepuh

Muhammadiyah Cabang Blimbing), Lise (Dosen UMM dan Konsultan

Pendidikan), Samsul (Mantan Pengawas Diknas, Asesor tingkat SLTP


154

Provinsi Jatim), dan Sis Sugiyono (Pengurus Dikdasmen Kota Malang).

Materi yang disampaikan oleh narasumber adalah Program Nilai,

Kemuhammadiyahan, KKM dan Metode Pembelajaran, Perbedaan Her

dan Remidial, serta Pembinaan Guru oleh Dikdasmen.128

h. Menjalin Kerjasama dengan Orangtua Siswa

Kerjasama dengan orangtua siswa dilakukan guru, baik melalui

paguyuban, maupun secara personal. Kerjasama melalui paguyuban

dilakukan dalam hal mempersiapkan perlengkapan pembelajaran bagi

siswa. Sedangkan, kerjasama secara personal dilakukan oleh guru secara

rutin untuk melaporkan perkembangan siswa berkebutuhan khusus, baik

dalam aspek akademik, maupun dalam aspek sosial, psikologis,

kebiasaan siswa, dan pergaulan dengan siswa lainnya. Kerjasama ini

dilakukan dengan harapan orangtua juga ikut proaktif memberikan

bimbingan, dampingan, dan pengawasan terhadap siswa berkebutuhan

khusus, tidak hanya dalam hal perkembangan akademik/kognitif, namun

juga dalam hal perkembangan psikologis siswa.129

i. Menciptakan Lingkungan Belajar yang Nyaman

Hampir tidak ada perbedaan suasana kelas inklusi di SD

Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” dengan kelas reguler pada

umumnya. Sekilas tidak nampak bahwa di kelas tersebut terdapat siswa

berkebutuhan khusus. Siswa reguler dan siswa berkebutuhan khusus

bergaul dan bermain bersama. Peneliti tidak menemukan perilaku

128
http://sdm9mlg.sch.id/
129
Louis Ifka Arishinta, Wawancara (Malang, 15 Nopember 2016)
155

bullying terhadap siswa berkebutuhan khusus. Bahkan siswa

berkebutuhan khusus berteman baik dengan siswa reguler.130 Eka

Susantin, S.Pd menuturkan:

“Kadang yang belum itu karena tidak ada ABKnya di situ.


Karena mungkin tidak tahu ya harus bagaimana, kalaupun
sudah ada pengalaman di kelas sebelumnya kan di kelas 4
kita rolling, kita acak gitu. Jadi yang dulunya tidak tahu
temannya ABK, jadi tahu mungkin jadi sedikit aneh, tapi
kalau yang sudah biasa ya fine-fine aja. Ya sekarang ini
anak-anak karena jumlahnya yang besar nggeh ada yang
mayoritas memang sudah mulai terbiasa, cuma ya
akhirnya itu misalkan menyuruh ABK ngomong ini,
ngomong ini gitu yang tidak sesuai, atau kurang panteslah.
Nah itu yang perlu kita sosialisasikan.”131
Kondisi ini terwujud, karena guru secara terus menerus

memberikan pengertian dan membiasakan siswa reguler dan siswa

berkebutuhan khusus bekerja bersama dalam satu kelompok. Sehingga,

tidak ada rasa canggung di antara mereka.132

4. Kendala Peningkatan Mutu Pembelajaran bagi Siswa Berkebutuhan


Khusus
a. Kurangnya Sumberdaya Manusia (SDM)
Sebagaimana disebutkan di atas, jumlah siswa berkebutuhan

khusus di SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” sebanyak 18

siswa. Jumlah yang lumayan besar itu tidak diimbangi dengan tenaga

Guru Pendamping Khusus yang memadai. Total hanya terdapat dua GPK

di SD Muhammadiyan 9 “Panglima Sudirman”. Padahal idealnya, rasio

130
Observasi di Kelas V Al-Latif, 9 Nopember 2016
131
Eka Susantin, Wawancara (Malang, 15 Nopember 2016)
132
Mushodiqul Umam, Wawancara (Malang, tanggal 15 Nopember 2016)
156

perbandingan jumlah GPK dengan jumlah siswa berkebutuhan khusus

yang diatangani adalah 1 : 3 (1 GPK menangani 3 ABK).133

Kekurangan sumber daya ini diakibatkan masih minimnya minat

lulusan Perguruan Tinggi (PT) untuk mengabdikan diri memberikan

layanan paripurna kepada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Banyak

faktor yang melatarbelakangi fenomena ini, satu di antaranya adalah

ketidakseimbangan gaji dengan beban kerja. Sebagaimana dituturkan

Sony Darmawan, S.Pd, Kepala SD Muhammadiyan 9 “Panglima

Sudirman” :

“Kalau yang menjadi faktor utamanya adalah tentunya


pada sumberdaya. Karena untuk mencari guru pendidikan
khusus itu kan memang juga sulit, jarang diminati.
Kemudian, sumberdaya itu tidak hanya mampu pada
materinya, juga mempunyai jiwa sosial yang tinggi,
karena menangani anak-anak itu, guru saja itu sudah luar
biasa, tapi untuk menangani anak-anak itu butuh guru
kuadrat dari sisi kesabarannya, ketelatenannya,
perhatiannya, kasih sayangnya, harus ekstra dibandingkan
guru. Guru saja kan harus memiliki jiwa yang saya
sebutkan, tetapi untuk menangani siswa khusus itu harus
sentuhannya beda. Kalau guru biasa, guru bidang studi
saja, lewat sudah itu. Sehingga, memang diperlukan
kepedulian, perhatian.”134
Jumlah yang tidak sebanding tersebut menyebabkan GPK di SD

Muhammadiyan 9 “Panglima Sudirman” hanya memfokuskan

penanganan kepada siswa dengan gangguan berat, seperti ADHD, Autis,

Tunagrahita, dan lain-lain. Sedangkan, siswa dengan gangguan ringan,

133
Eka Susanti, Wawancara (Malang, 15 Nopember 2016)
134
Sony Darmawan, Wawancara (Malang, 15 nopember 2016)
157

seperti slow learner, penanganannya diserahkan kepada guru kelas

dengan pengawasan GPK.135

b. Minimnya Fasilitas Penunjang

Jumlah siswa berkebutuhan yang besar sebagaimana disebutkan

di atas juga tidak diimbangi ketersediaan sarana dan prasarana yang

mencukupi. Eka Susantin, S.Pd menyatakan walaupun sudah tersedia

ruang inklusi, akan tetapi dalam pemanfaatannya harus berbagi dengan

pemanfaatan untuk hal lain. Ruang inklusi tersebut terkadang digunakan

untuk kegiatan ekstrakurikuler, kadang digunakan untuk kegiatan yang

bersifat kondisional dan insidental, misalnya kegiatan pembelajaran

Kelas VI. Hal ini karena letak ruang inklusi berada disebelah ruang kelas

VI. Eka Susantin, S.Pd menambahkan:

“Delapan puluh persen memang kita pakai, cuma kadang-


kadang kondisinya ini nggeh kurang nyaman untuk anak-
anak, ketika datang kotor, tidak siap pakai begitu. Tapi ya
Alhamdulillah, saya masih bersyukur, masih tersedia
ruang inklusi.”136

c. Kurangnya Peran Aktif Orangtua

Komunikasi dengan orangtua siswa di Kelas V SD

Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman Malang” rata-rata tidak terdapat

kendala yang cukup berarti. Hanya ada sedikit masalah di Kelas V Al-

Mughni, yaitu dikarenakan orangtua siswa sudah bercerai dan sudah

sibuk dengan pekerjaan masing-masing, maka pada saat ada pemanggilan

135
Eka Susanti, Wawancara (Malang, 15 Nopember 2016)
136
Eka Susanti, Wawancara (Malang, 15 Nopember 2016)
158

wali murid dari guru kelas, sering kali mereka tidak bisa datang. Louis

Ifka A, M.Pd menyatakan:

“Sudah beberapa kali pemanggilan nggak datang, cuma


kalau lewat WA selalu ada respon. Karena ini latar
belakang ya, yang satu ayahnya meninggal (Raihan), yang
satu cerai, ibunya harus kerja keras. Setiap ada
pemanggilan, alasannya keluar kota terus. David tinggal
sama ibunya, tapi yang jemput bapaknya. Satu kali
bapaknya pernah datang. Saya panggil bapaknya datang,
tapi bapaknya tidak bisa melakukan apa-apa, karena si
anak ini ada di ibu, dia hanya menjemput. Bapaknya
mengantar ke rumah ibu, posisi si ibu tidak di rumah,
hanya ada kakaknya.”137
Ketidaklancaran komunikasi ini mengakibatkan tidak adanya

“gayung bersambut” dari pihak orangtua terhadap upaya-upaya

pendampingan yang dilakukan guru di sekolah. Padahal seharusnya,

upaya yang sudah dilakukan guru di sekolah disambung (dilanjutkan)

oleh orangtua ketika siswa di rumah.

Selain permasalahan tersebut, beberapa orangtua masih memiliki

keengganan untuk menerima kondisi anaknya yang berkebutuhan khusus.

Mereka merasa malu, jika anaknya disebut Anak Berkebutuhan Khusus

dan harus bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB), sedangkan jika

disekolahkan di sekolah umum, kemampuan anak tidak mencukupi

standar Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang diterapkan sekolah.

Sebagai akibatnya, orang tua menuntut dan memaksakan siswa harus

mencapai KKM, padahal kemampuan kognisi siswa tidak mencukupi.138

137
Louis Ifka Arishinta, Wawancara (Malang, 15 Nopember 2016)
138
Sony Darmawan, Wawancara (Malang, 15 Nopember 2015)
159

d. Belum ada bahan ajar khusus ABK

Karakteristik siswa berkebutuhan khusus yang berbeda dengan

rata-rata siswa reguler menjadi kendala tersendiri bagi guru kelas dalam

memberikan pembelajaran. Kemampuan pemahaman siswa berkebutuhan

khusus yang berada di bawah siswa reguler, mengharuskan guru

menyederhanakan materi pembelajaran sesuai dengan tingkat

kemampuan siswa. Begitu pula untuk soal-soal penilaian harus

diturunkan/disederhanakan sesuai dengan tingkat berpikir siswa

berkebutuhan khusus.

Hal tersebut menjadi kendala, karena guru mengalami kesulitan

membagi waktu antara melaksanakan pembelajaran dan

menyederhanakan materi dan soal yang diberikan kepada siswa

berkebutuhan khusus. Mita Kurnia Pristiwa Yuni, S.Pd menyatakan,

seringkali kehabisan waktu sebelum sempat memberikan penjelasan dan

soal khusus untuk siswa berkebutuhan khusus di kelasnya. Selain itu,

pada mata pelajaran-mata pelajaran tertentu, guru mengalami kesulitan

untuk menyederhanakan materi pokoknya, seperti Bahasa Arab, Bahasa

Inggris, dan Kemuhammadiyahan. Sehingga, dibutuhkan modul khusus

untuk menigkatkan efektivitas pembelajaran.139

e. Sikap Apatis Sebagian Siswa dan Orangtua

Tidak semua siswa reguler dan orangtua menerima keberadaan

siswa berkebutuhan khusus. Sikap-sikap seperti menganggap siswa

139
Mita Kurnia Pristiwa Yuni, Wawancara (Malang, 9 Nopember 2016)
160

berkebutuhan khusus tidak bisa apa-apa, masih ditunjukkan oleh

sebagian siswa dan orangtua. Eka Susantin, S.Pd menuturkan, bahwa

biasanya siswa yang bersikap apatis adalah mereka yang belum terbiasa

dengan keberadaan siswa berkebutuhan khusus, karena di kelas mereka

tidak ada siswa berkebutuhan khusus. Sehingga, mereka tidak

mengetahui bagaimana bersikap yang tepat terhadap siswa berkebutuhan

khusus. Satu di antara kebiasaan siswa reguler adalah menyuruh siswa

berkebutuhan khusus berkata-kata yang tidak pantas, seperti mengumpat,

berkata kotor, dan sebagainya.140

5. Temuan Situs II di SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman”


a. Pelaksanaan Pembelajaran Siswa Berkebutuhan Khusus di SD
Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman”
Model pelayanan pendidikan di SD Muhammadiyah 9 “Panglima

Sudirman” memadukan antara pelayanan pendidikan penuh dan

modifikasi. Pelayanan pendidikan penuh diperuntukkan bagi siswa

berkebutuhan khusus dengan hambatan ringan, seperti ADHD, slow

learner, dan short memory. Sedangkan, layanan pendidikan modifikasi

diperuntukkan bagi siswa berkebutuhan khusus dengan hambatan berat,

seperti Autis. Pembelajaran siswa berkebutuhan dilaksanakan terintegrasi

dengan siswa reguler.

Tahap pembelajaran diawali dengan penyusunan Rencana

Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Penyusunan RPP dilakukan sebelum

masuk semester baru. Tahap ini dilakukan secara kolektif bersama tim

140
Wawancara Eka Susantin, (Malang, 15 Nopember 2016)
161

guru masing-masing kelas. Hal ini dilakukan dengan tujuan pembelajaran

di masing-masing jenjang kelas memiliki arah tujuan yang sama. Wali

kelas di SD Muhamadiyah 9 “Panglima Sudirman” tidak menyusun IEP

untuk siswa berkebutuhan khusus dengan gangguan ringan. IEP hanya

disusun untuk siswa dengan hambatan berat.

Pada tahap pelaksanaan pembelajaran, siswa berkebutuhan khusus

turut serta berpartisipasi sebagaimana siswa reguler. Perlakuan berbeda

diberikan guru, apabila siswa berkebutuhan khusus mengalami kesulitan

dalam memahami materi pelajaran. Perlakuan tersebut berupa pemberian

bimbingan khusus dengan menyederhanakan materi pelajaran atau

menjelaskan kembali dengan bahasa yang sederhana sesuai dengan

tingkat kemampuan kognitif siswa.

Tahap selanjutnya adalah evaluasi pembelajaran. Pada tahap ini,

guru melakukan penyederhanaan soal sesuai dengan kemampuan siswa.

Selain itu, guru juga menambahkan gambar untuk memperjelas maksud

dari soal. Evaluasi pembelajaran siswa berkebutuhan khusus terdiri dari

tiga macam, yaitu evaluasi formatif, sumatif, dan diagnostik. Evaluasi

formatif dilakukan setelah selesai pemberian suatu materi pembelajaran,

evaluasi sumatif dilakukan setelah semester selesai (UAS), terdapat dua

jenis evaluasi sumatif di SD Muhammadiyah 9 “Panglima Suidrman”

yaitu evaluasi dari sekolah dan dari Dinas Pendididikan Kota Malang.

Kedua jenis evaluasi tersebut menggunakan soal dengan kadar kesukaran

yang disesuaikan dengan kemampuan siswa berkebutuhan khusus.


162

Sedangkan, evaluasi diagnostik dilakukan untuk mengetahui

perkembangan siswa berkebutuhan khusus. Pemberian nilai menjadi

wewenang wali kelas.

GPK di SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” bertugas

sebagai observer dan mitra wali kelas dalam memantau perkembangan

siswa berkebutuhan khusus. Selain itu, GPK hanya memfokuskan

penanganan kepada siswa dengan hambatan berat saja.

b. Strategi Guru dalam Peningkatan Mutu Pembelajaran Siswa


Berkebutuhan Khusus di SD Muhammadiyah 9 “Panglima
Sudirman”
Beberapa strategi yang digunakan oleh guru untuk meningkatkan

mutu pembelajaran siswa berkebutuhan khusus di SD Muhammadiyah 9

“Panglima Sudirman” adalah pertama, penyederhanaan materi. Strategi

ini dilakukan guru untuk mempermudah siswa berkebutuhan khusus

memahami materi pelajaran. Kedua, sosialisasi kepada siswa reguler dan

orangtua tentang bagaimana bersikap kepada siswa berkebutuhan khusus.

Tujuan penerapan strategi ini adalah untuk menanamkan sikap peduli dan

saling menghargai dalam diri siswa reguler dan menumbuhkan motivasi

bagi siswa berkebutuhan khusus.

Ketiga, penggunaan media pembelajaran. Media digunakan untuk

membantu siswa berkebutuhan khusus memahami materi pembelajaran

yang sulit. Media pembelajaran yang digunakan berupa gambar, video,

alat peraga, dan lingkungan sekitar siswa. Keempat, bimbingan

individual. Strategi ini hanya dilakukan guru, apabila siswa mengalami


163

kesulitan dalam memahami materi pelajaran. Namun, jika siswa bisa

mengikuti dan memahami materi pelajaran sendiri, maka guru tidak

memberikan pendambingan personal. Kelima, meningkatkan motivasi

belajar siswa. Beberapa langkah yang dilakukan oleh guru untuk

meningkatkan motivasi siswa, antara lain melalui pelibatan dalam

kelompok-kelompok belajar, menunjuk siswa menjadi pemimpin do‟a

bersama, memberi reward, memberi hukuman, memberikan pujian, dan

memberi nasehat-nasehat positif.

Keenam, koordinasi antar guru. Strategi ini dilakukan untuk

mensinkronkan kegiatan pembelajaran sesama kelas. Guru juga

melibatkan GPK dan BK untuk mengkonsultasikan langkah-langkah

pembelajaran yang akan diberikan kepada siswa berkebutuhan khusus.

Ketujuh, mengikuti kegiatan peningkatan kompetensi. Satu di antara

kegiatan peningkatan kompetensi yang selalu diikuti guru dalam rangka

meningkatkan pelayanan kepada siswa berkebutuhan khusus adalah Up-

Grading. Kegiatan ini dilaksanakan setiap akhir semester dengan

mengundang narasumber yang berkompeten di bidangnya.

Kedelapan, menjalin kerjasama dengan orangtua siswa. Langkah

ini dilakukan, agar apa yang telah dipelajari siswa di sekolah dapat

diterapkan di rumah dengan bimbingan orangtua. Sehingga,

pembelajaran akan semakin bermakna. Kesembilan, menciptakan

lingkungan belajar yang nyaman. Langkah yang dilakukan guru antara

lain; menggunakan metode pembelajaran interaktif, memancing siswa


164

untuk berpartisipasi aktif dalam pembelajaran, menggunakan media

pembelajaran yang menarik, dan menggunakan lingkungan sekitar untuk

melaksanakan pembelajaran.

c. Kendala Peningkatan Mutu Pembelajaran bagi Siswa


Berkebutuhan Khusus di SD Muhammadiyah 9 “Panglima
Sudirman”
Beberapa kendala yang dihadapi guru dalam melaksanakan

pembelajaran siswa berkebutuhan khsusus antara lain; Pertama, jumlah

GPK belum memadai. Jumlah GPK di SD Muhammadiyah 9 “Panglima

Sudirman” sebanyak 2 orang, sedangkan jumlah siswa berkebutuhan

khusus yang harus ditangani sebanyak 18 siswa. Jumlah yang tidak

sebanding ini menyebabkan penanganan tidak maksimal. Sehingga,

penanganan siswa berkebutuhan khusus dengan hambatan ringan yang

sudah bisa mengikuti kelas diserahkan kepada wali kelas masing-masing.

Kedua, minimnya fasilitas penunjang. Kualitas ruang inklusi yang

belum memadai, serta pemanfaatannya yang masih bercampur dengan

kegiatan lain menjadi kendala bagi guru untuk memberikan pembelajaran

bermutu kepada siswa berkebutuhan khusus. Ketiga, kurangnya peran

aktif orangtua. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan orangtua

kurang memberikan peran aktif dalam pembelajaran siswa berkebutuhan

khusus. Faktor-faktor tersebut antara lain; kesibukan dalam pekejaan,

sehingga kurang meluangkan waktu untuk memonitoring perkembangan

belajar siswa, sikap belum sepenuhnya menerima kenyataan bahwa


165

anaknya memiliki hambatan dalam belajar, terlalu khawatir terhadap

anaknya jika belajar bersama siswa normal, dan konflik rumah tangga.

Keempat, belum tersedia bahan ajar khusus ABK. Karakteristik

siswa berkebutuhan khusus yang berbeda dengan siswa reguler

membutuhkan adanya bahan ajar khusus yang sesuai dengan kemampuan

mereka. Akan tetapi, hal ini belum terdapat di SD Muhammadiyah 9

“Panglima Sudirman”. Guru harus membagi waktu antara

menyederhanakan materi pembelajaran untuk siswa berkebutuhan khusus

dan menyiapkan bahan ajar untuk siswa reguler. Kelima, sikap apatis

sebagian siswa dan orangtua. Masih adanya sikap apatis ini

menyebabkan siswa berkebutuhan khusus merasa minder dan inferior,

sehingga berakibat pada hilangnya motivasi dan semangat belajar

mereka.

Tabel 4.3
Temuan Situs II di SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman”

Fokus Temuan Penelitian


- Model layanan pendidikan yang diterapkan
adalah model layanan pendidikan penuh dan
modifikasi.
- Pelaksana pembelajaran adalah Guru Kelas
untuk siswa gangguan ringan dan Guru
Pendamping Khusus (GPK) untuk siswa
gangguan berat.
Pembelajaran Siswa - Sebagian besar latar belakang pendidikan
Berkebutuhan Khusus Guru Kelas dan GPK bukan sarjana psikologi.
- PPI hanya disusun untuk siswa dengan
gangguan berat.
- Siswa dengan gangguan ringan mengikuti RPP
kelas.
- Pengembangan PPI disesuaikan dengan hasil
asesmen awal siswa.
- Pengembang PPI adalah GPK, sedang RPP
166

Fokus Temuan Penelitian


adalah guru kelas.
- Pengembangan PPI dan RPP dilakukan
sebelum masuk semester baru.
- Selama pembelajaran siswa tidak didampingi
GPK. Pendampingan hanya untuk siswa
dengan gangguan berat.
- Pembelajaran disesuaikan dengan PPI dan
RPP.
- Pembelajaran dilaksanakan di dalam kelas dan
di luar kelas sesuai dengan kebutuhan.
- Materi pembelajaran disederhanakan sesuai
dengan kemampuan siswa.
- Terdapat tiga jenis evaluasi, yaitu formatif,
sumatif, dan diagnostik.
- Instrumen soal pada evaluasi formatif dan
sumatif dibuat sendiri oleh GPK.
- Indikator soal disederhanakan sesuai dengan
kemampuan siswa.
- Kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM).
- Minimnya fasilitas penunjang.
Kendala Peningkatan Mutu - Kurangnya peran aktif orangtua.
Pembelajaran Siswa - Belum ada bahan ajar khusus ABK.
Berkebutuhan Khusus - Sikap apatis sebagian siswa dan orangtua.
- Ukuran ruang sumber/inklusi belum
representatif.
- Penyederhanaan materi.
- Sosialisasi kepada siswa reguler dan orangtua
tentang bagaimana bersikap kepada siswa
berkebutuhan khusus.
Strategi Guru dalam
- Penggunaan media pembelajaran.
Peningkatan Mutu
- Bimbingan individual.
Pembelajaran Siswa
- Memberikan motivasi.
Berkebutuhan Khusus
- Koordinasi antar guru.
- Mengikuti kegiatan Up-Grading.
- Menjalin kerjasama dengan orangtua siswa.
- Menciptakan lingkungan belajar yang nyaman.

C. Analisis Data Lintas Situs di MIT Ar-Roihan dan SD Muhammadiyah 9


“Panglima Sudirman”
Berdasarkan paparan data dan temuan penelitian di masing-masing situs

dan dilanjutkan dengan analisis lintas situs, secara umum temuan penelitian
167

mengenai strategi guru dalam peningkatan mutu pembelajaran siswa

berkebutuhan khusus di MIT Ar-Roihan dan SD Muhammadiyah 9 “Panglima

Sudirman” adalah berikut:

1. Pembelajaran Siswa Berkebutuhan Khusus

Pembelajaran siswa berkebutuhan khusus di MIT Ar-Roihan dan SD

Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” disesuaikan dengan model layanan

pendidikan yang diterapkan. Model layanan yang diterapkan di MIT Ar-

Roihan adalah layanan pendidikan individualisasi. Sehingga, masing-masing

siswa berkebutuhan memiliki Guru Pendamping Khusus (GPK). Sedangkan,

SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” menerapkan dua model layanan,

yaitu layanan pendidikan penuh dan layanan pendidikan modifikasi.

Layanan pendidikan penuh diterapkan untuk siswa berkebutuhan

khusus dengan hambatan ringan, seperti slow learner dan penderita short

term memory. Sedangkan, layanan pendidikan modifikasi diterapkan untuk

siswa dengan hambatan berat, seperti Autis, Tunarungu, dan Tunawicara.

Penyusunan perencanaan pembelajaran untuk siswa berkebutuhan

khusus di kedua lembaga berbeda, sesuai dengan kebutuhan. Perencanaan

pembelajaran di MIT Ar-Roihan menggunakan Individualized Education

Program (IEP) yang disusun masing-masing GPK sesuai dengan hambatan

yang diderita siswa. Sedangkan, di SD Muhammadiyah 9 “Panglima

Sudirman” tidak menggunakan IEP, melainkan menggunakan Rencana

Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) pada umumnya. Siswa berkebutuhan

khusus mengikuti materi pembelajaran yang sama dengan siswa reguler.


168

Perlakuan berbeda diberikan, ketika siswa berkebutuhan khusus mengalami

kesulitan dalam memahami materi. Adapun untuk siswa dengan hambatan

ringan digunakan RPP modifikasi yang disesuaikan dengan jenis hambatan

yang diderita siswa.

Adapun untuk pelaksanaan pembelajaran di kedua lembaga memiliki

kesamaan, yaitu dilaksanakan di dalam kelas bersama siswa reguler. Akan

tetapi, terdapat beberapa perbedaan mendasar, antara lain; 1) pembelajaran di

MIT Ar-Roihan dilakukan oleh GPK dan mengacu pada IEP, sedangkan, di

SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” dilakukan oleh wali kelas dan

guru mata pelajaran bersama siswa reguler dengan mengacu pada RPP, 2)

selama pembelajaran siswa berkebutuhan khusus di MIT Ar-Roihan

didampingi oleh GPK masing-masing, sedangkan, di SD Muhammadiyah 9

“Panglima Sudirman” hanya dilakukan ketika siswa mengalami kesulitan

memahami materi.

Pada aspek evaluasi, terdapat persamaan di antara kedua lembaga,

yaitu dalam hal penurunan indikator/instrumen soal. Adapun perbedaannya

adalah evaluasi sumatif di MIT Ar-Roihan dilakukan oleh masing-masing

GPK, demikian pula dalam hal pemberian nilai menjadi wewenang GPK.

Sedangkan, di SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” pelaksanaan

evaluasi dilakukan oleh sekolah (guru) dan Dinas Pendidikan Kota Malang.

2. Strategi Guru dalam Peningkatan Mutu Pembelajaran Siswa


Berkebutuhan Khusus
Demi mewujudkan pembelajaran yang bermutu bagi siswa

berkebutuhan khusus, GPK, wali kelas, dan guru mata pelajaran di MIT Ar-
169

Roihan dan SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” terus melakukan

upaya perbaikan proses pembelajaran, satu di antaranya adalah dengan

menerapkan beberapa strategi berikut:

a. Penyederhanaan materi

Tujuan penyederhanaan materi adalah untuk mempermudah siswa

memahami materi pelajaran. GPK di MIT Ar-Roihan menyederhanakan

materi pada saat menyusun IEP. Sehingga, pembelajaran yang dilakukan

menggunakan materi yang sudah disederhanakan dalam IEP. Sedangkan,

penyederhanan materi di SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman”

dilakukan pada saat proses pembelajaran berlangsung. Guru memberikan

bimbingan individual kepada siswa dengan menyederhanakan materi

sesuai dengan kemampuan siswa.

b. Penggunaan media pembelajaran

Sebagaimana umumnya anak-anak usia sekolah dasar, siswa

berkebutuhan khusus juga berada pada fase bepikir konkrit. Mereka juga

mengalami kesulitan dalam memahami materi pelajaran yang menuntut

adanya proses berpikir tinggi, seperti menalar, menyimpulkan, berhitung,

dan sebagainya. Oleh karena itu, guru di kedua lembaga menyiasati hal

ini dengan menggunakan media pembelajaran sebagai sarana untuk

mengantarkan siswa pada pemahaman. Media-media yang biasa

digunakan oleh guru, antara lain gambar, video, alat peraga, dan

lingkungan sekitar. Mengenai hal ini, tidak terdapat perbedaan di antara

kedua lembaga.
170

c. Bimbingan Individual

Bimbingan individual diberikan untuk membantu siswa memhami

materi-materi yang sulit dan ketika siswa sedang mengalami masalah

individu. GPK di MIT Ar-Roihan memberikan bimbingan individual

setiap saat selama proses pembelajaran. Hal ini sesuai dengan model

pelayanan yang diberikan (individualisasi). Sedangkan, di SD

Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman”, guru tidak selalu memberikan

bimbingan individual kepada siswa berkebutuhan khusus. Bimbingan

dilakukan hanya dalam kondisi-kondisi tertentu, sebagaimana disebutkan

di atas. Hal ini selain sesuai dengan model pelayanan yang diberikan,

juga untuk memberikan siswa ruang bersosialisasi dengan sesama

temannya.

d. Memberikan Motivasi

Pemberian motivasi dilakukan oleh guru dengan tujuan untuk

meningkatkan semangat belajar siswa, membantu siswa menyelesaikan

masalah yang sedang dihadapi, dan menghindarkan siswa dari sikap

rendah diri. Baik di MIT Ar-Roihan, maupun di SD Muhammadiyah 9

“Panglima Sudirman”, tidak terdapat perbedaan signifikan tentang

strategi guru dalam memberikan motivasi kepada siswa berkebutuhan

khusus. Strategi yang dilakukan oleh guru di kedua lembaga, antara lain;

memberikan reward apabila siswa berhasil melampaui ekspektasi guru,

memberikan hukuman/punishment, apabila siswa menunjukkan perilaku


171

menyimpang atau melanggar tata tertib, memberikan pujian, dan

memberikan nasihat.

Strategi pemberian motivasi di atas dilakukan oleh guru di kedua

lembaga. Selain strategi-strategi tersebut, guru di SD Muhammadiyah 9

“Panglima Sudirman” juga menggunakan strategi lain untuk

meningkatkan motivasi siswa, yaitu dengan memberikan kesempatan dan

akses yang sama kepada siswa berkebutuhan khusus untuk berpartisipasi

dalam pembelajaran. Langkah yang dilakukan, antara lain; melibatkan

siswa dalam diskusi kelompok, menyuruh siswa berkebutuhan khusus

mewakili kelompoknya untuk mempresentasikan hasil diskusi, menyuruh

siswa memimpin do‟a dan sholat dhuha.

e. Sosialisasi

Sosialisasi ini dilakukan untuk menghilangkan sikap apatis dan

underestimate terhadap siswa berkebutuhan khusus. Tidak terdapat

perbedaan di kedua lembaga dalam melakukan sosialisasi. Cara yang

dilakukan, antara lain dengan memberikan pengertian dan pemahaman

kepada siswa reguler tentang bagaimana seharusnya bersikap dan

memperlakukan siswa berkebutuhan khsusus. Selain itu, sosialisasi juga

dilakukan kepada orangtua siswa, ketika guru bertemu langsung dalam

acara pengambilan raport.

f. Memanfaatkan Lingkungan Sekitar Sebagai Sumber Belajar

Sesuai dengan kurikulum yang diterapkan di kedua lembaga,

yaitu Kurikulum 2013 (K-13), pembelajaran yang dilakukan


172

memprioritaskan pelibatan lingkungan sekitar siswa sebagai sumber

belajar (contextual teaching and learning). Selain itu, dengan

menggunakan K-13, maka pembelajaran yang dilakukan harus

menggunakan pendekatan saintifik scientific approach) yang

menggunakan lima prinsip utama, yaitu mengamati, menanya, mencoba,

mengasosiasikan, dan mengkomunikasikan.

Adapun dalam memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber

belajar bagi siswa berkebutuhan khusus, GPK MIT Ar-Roihan

mewujudkannya dalam bentuk mengajak siswa mengamati lingkungan

sekitar sesuai dengan materi yang sedang dipelajari, misalnya materi

bunga, GPK mengajak siswa mengamati jenis-jenis bunga yang terdapat

di lingkungan sekolah, kemudian melakukan tanya jawab dengan siswa.

Lima prinsip saintifik hanya diterapkan pada batas mengamati saja, hal

ini dikarenakan kemampuan siswa belum mencukupi untuk melakukan

tahap berpikir yang lebih tinggi lainnya. Kegiatan ini dilakukan terpisah

dengan siswa reguler, karena materi yang diajarkan tidak sama.

Sementara di SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman”, guru

mengajak siswa berkebutuhan khusus bersama-sama siswa reguler

berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Kegiatan ini dilakukan dalam

bentuk kunjungan kelas/outing class. Selama kegiatan berlangsung, guru

tidak memberikan perlakuan berbeda kepada siswa berkebutuhan khusus.

Sehingga siswa berbaur dan bersosialisasi dengan siswa reguler lainnya.


173

g. Menjalin Kerjasama Dengan Orangtua Siswa

Strategi ini dilakukan dengan tujuan mengajak orangtua berperan

aktif dalam memperkuat pemahaman dan pengetahuan yang telah

diperoleh siswa di sekolah. Guru di MIT Ar-Roihan dan SD

Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” melakukan komunikasi intensif

dengan orang tua siswa, baik melalui tatap muka, maupun melalui media

handphone dan media sosial.

h. Koordinasi Antar Guru

Koordinasi antar guru ini hanya peneliti temukan di SD

Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman”. Kegiatan ini rutin dilakukan

tiap hari Senin sampai dengan Rabu oleh wali kelas di tiap-tiap jenjang

kelas. Tujuan dari koordinasi ini adalah untuk merumuskan pembelajaran

selama satu minggu ke depan. Selain itu, dalam koordinasi ini, guru juga

mengadakan konsultasi kepada GPK dan Guru Bimbingan dan Konseling

(BK) terkait perkembangan siswa berkebutuhan khusus. Hasil dari

koordiansi kemudian didisposisikan kepada orang tua siswa melalaui

paguyuban dan kepada kepala sekolah.

i. Mengikuti Kegiatan Peningkatan Kompetensi Guru

Kegiatan peningkatan kompetensi yang diikuti oleh guru MIT Ar-

Roihan dan SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” diadakan oleh

lembaga masing-masing dan pemerintah. Di MIT Ar-Roihan, GPK

secara rutin setiap hari sabtu satu bulan sekali mengikuti pelatihan yang

diadakan madrasah. Dalam kegiatan ini, pihak madrasah mengundang


174

ahli di bidang pendidikan luar biasa. Sedangkan, di SD Muhammadiyah

9 “Panglima Sudirman” kegiatan peningkatan kompetensi dilaksanakan

setiap akhir semester yang dinamakan dengan Up-Grading.

j. Menciptakan Lingkungan Belajar yang Inklusif

Suasana belajar yang nyaman adalah suasana belajar yang inklusif

dan mampu mengakomodir semua keberagaman individu di dalam kelas.

Dalam rangka mewujudkan suasana belajar inklusif ini, guru/wali kelas

di SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” secara terus menerus

memahamkan siswa reguler tentang bagaimana bersikap dan

memperlakukan siswa berkebutuhan khusus dengan benar. Satu di antara

upaya yang dilakukan adalah melibatkan siswa reguler dan siswa

berkebutuhan khusus untuk bekerjasama dalam satu kelompok.

3. Kendala Peningkatan Mutu Pembelajaran bagi Siswa berkebutuhan

Khusus

Kendala yang dialami, baik GPK, wali kelas, maupun guru mata

pelajaran di MIT Ar-Roihan dan SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman”

dalam melaksanakan pembelajaran siswa berkebutuhan khusus secara garis

besar dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1) kendala yang bersifat

individual, yang meliputi; kesulitan memahami komunikasi siswa, sikap dan

perilaku siswa berkebutuhan khusus, background pendidikan guru yang tidak

berasal dari psikologi atau pendidikan luar biasa. 2) kendala dari lingkungan,

yang meliputi; masih adanya beberapa siswa reguler dan orangtua siswa yang

bersikap apatis terhadap siswa berkebutuhan khusus, kurangnya peran aktif


175

orangtua. 3) kendala sarana dan prasarana, seperti ruang sumber/inklusi yang

belum representatif, bahkan di SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman”

GPK harus bergantian dengan kelas VI untuk meggunakannya.

Tabel 4.4
Analisis Lintas Situs

Temuan Lintas
Fokus Situs I Situs II
Situs
- Model layanan - Model layanan Pembelajaran siswa
pendidikan yang pendidikan yang berkebutuhan khusus
diterapkan adalah diterapkan adalah dilakukan
model layanan model layanan berdasarkan model
pendidikan pendidikan penuh layanan yang
individualisasi. dan modifikasi. digunakan. Untuk
- Pelaksana - Pelaksana model pelayanan
pembelajaran pembelajaran pendidikan
adalah Guru adalah Guru Kelas individualisasi,
Pendamping untuk siswa pembelajaran
Khusus (GPK). gangguan ringan dilakukan oleh Guru
- Sebagian besar dan Guru Pendamping Khusus
latar belakang Pendamping (GPK) dengan
pendidikan GPK Khusus (GPK) berlandaskan pada
tidak linear untuk siswa dokumen
Proses dengan gangguan berat. individualized
Pembelajaran persyaratan - Sebagian besar Education Program
Siswa profesi. latar belakang (IEP), sedangkan
Berkebutuhan - Pengembangan pendidikan Guru untuk model layanan
Khusus PPI disesuaikan Kelas dan GPK pendidikan penuh
dengan hasil bukan sarjana pembelajaran
asesmen awal psikologi. dilakukan oleh guru
siswa. - PPI hanya disusun kelas dan guru
- Pengembang PPI untuk siswa bidang studi dengan
adalah GPK dengan gangguan mengacu pada
masing-masing berat. Rencana
siswa. - Siswa dengan Pelaksanaan
- Pengembangan gangguan ringan Pembelajaran.
PPI dilakukan mengikuti RPP
sebelum masuk kelas.
semester baru. - Pengembangan
- Selama PPI disesuaikan
pembelajaran dengan hasil
siswa didampingi asesmen awal
GPK. siswa.
176

Temuan Lintas
Fokus Situs I Situs II
Situs
- Pembelajaran - Pengembang PPI
disesuaikan adalah GPK,
dengan PPI. sedangkan RPP
- Pembelajaran adalah guru kelas.
dilaksanakan di - Pengembangan
dalam kelas dan PPI dan RPP
di luar kelas dilakukan sebelum
sesuai dengan masuk semester
kebutuhan. baru.
- Materi - Selama
pembelajaran pembelajaran
disederhanakan siswa tidak
sesuai dengan didampingi GPK.
kemampuan Pendampingan
siswa. hanya untuk siswa
- Terdapat tiga dengan gangguan
jenis evaluasi, bera.t
yaitu formatif, - Pembelajaran
sumatif, dan disesuaikan
diagnostik. dengan PPI dan
- Instrumen soal RPP.
pada evaluasi - Pembelajaran
formatif dan dilaksanakan di
sumatif dibuat dalam kelas dan di
sendiri oleh GPK. luar kelas sesuai
- Indikator soal dengan kebutuhan.
disederhanakan - Materi
sesuai dengan pembelajaran
kemampuan disederhanakan
siswa. sesuai dengan
kemampuan
siswa.
- Terdapat tiga jenis
evaluasi, yaitu
formatif, sumatif,
dan diagnostik.
- Instrumen soal
pada evaluasi
formatif dan
sumatif dibuat
sendiri oleh GPK.
- Indikator soal
disederhanakan
sesuai dengan
177

Temuan Lintas
Fokus Situs I Situs II
Situs
kemampuan
siswa.
- Penyederhanaan - Penyederhanaan Strategi guru dalam
materi. materi. peningkatan mutu
- Bimbingan - Sosialisasi kepada pembelajaran siswa
individual. siswa reguler dan berkebutuhan
- Penggunaan orangtua tentang khusus meliputi;
media bagaimana penyederhanaan
pembelajaran. bersikap kepada materi, penggunaan
- Meningkatkan siswa media
motivasi belajar berkebutuhan pembelajaran,
siswa. khusus. bimbingan
- Mengikuti - Penggunaan individual,
Strategi Guru pelatihan Guru media meningkatkan
dalam Pendamping pembelajaran. motivasi belajar
Peningkatan Mutu Khusus. - Bimbingan siswa, sosialisasi,
Pemebelajaran - Membiasakan individual. memanfaatkan
Siswa siswa mandiri. - Meningkatkan lingkungan sekitar
Berkebutuhan - Memberikan motivasi belajar sebagai sumber
Khusus target capaian siswa. belajar, menjalin
belajar. - Koordinasi antar kerjasama dengan
- Menjalin guru. orang tua siswa,
kerjasama - Mengikuti koordinasi antar
dengan orangtua kegiatan Up- guru, mengikuti
siswa. Grading. kegiatan
- Menjalin peningkatan
kerjasama dengan kompetensi guru,
orangtua siswa. dan menciptakan
- Menciptakan lingkungan belajar
lingkungan belajar yang inklusif.
yang inklusif.
- Kesulitan - Kurangnya Kendala
memahami sikap Sumberdaya pembelajaran siswa
dan komunikasi Manusia (SDM). berkebutuhan
siswa. - Kurangnya peran khusus terdiri dari
Kendala - Sikap apatis aktif orangtua. tiga jenis, yaitu (1)
Pembelajaran beberapa siswa - Belum ada bahan kendala yang
Siswa reguler dan ajar khusus ABK. bersifat individual,
Berkebutuhan orangtua siswa. - Sikap apatis seperti kompetensi
Khusus - Kurangnya peran Sebagian siswa guru yang kurang,
aktif orangtua. dan orangtua. sikap dan mental
- Ukuran ruang - Ukuran ruang siswa berkebutuhan
sumber/inklusi sumber/inklusi khusus, (2) kendala
belum belum dari lingkungan
178

Temuan Lintas
Fokus Situs I Situs II
Situs
representatif. representatif. seperti sikap apatis
- Perpustakaan siswa reguler dan
kecil dan pengap. orangtua, kurangnya
peran serta orangtua
siswa, dan (3)
kendala sarana dan
prasarana, yang
meliputi ruang
inklusi belum
representatif.
179

BAB V

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

Pada bagian ini, dipaparkan diskusi antara teori yang menjadi landasan

peenlitian dengan hasil analisis peneliti mengenai data dan temuan penelitian

terkait: (1) pelaksanaan pembelajaran siswa berkebutuhan khusus, (2) kendala

yang dihadapi guru dalam meningkatkan mutu pembelajaran bagi siswa

berkebutuhan khusus, dan (3) strategi guru dalam meningkatkan mutu

pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus.

A. Pembelajaran Siswa Berkebutuhan Khusus

1. Perencanaan Pembelajaran

Satu di antara kunci keberhasilan dalam mencapai tujuan atau impian

adalah adanya perencanaan yang matang. Termasuk dalam hal ini adalah

kegiatan pembelajaran. Pelaksanaan pembelajaran akan berjalan efektif dan

efisien, apabila didukung oleh Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

yang matang dan sistematis. Hal ini karena kegiatan pembelajaran merupakan

sebuah sistem yang terdiri dari banyak komponen-komponen yang saling

bertautan satu sama lain. Satu di antara komponen tersebut adalah

perencanaan pembelajaran (RPP).

Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013 menyatakan bahwa Rencana

RPP adalah rencana pembelajaran yang dikembangkan secara rinci dari suatu

materi pokok atau tema tertentu yang mengacu pada silabus. RPP mencakup:

(1) data sekolah, mata pelajaran, dan kelas/semester; (2) materi pokok; (3)
180

alokasi waktu; (4) tujuan pembelajaran, KD dan indikator pencapaian

kompetensi; (5) materi pembelajaran; metode pembelajaran; (6) media, alat

dan sumber belajar; (7) langkah-langkah kegiatan pembelajaran; dan (8)

penilaian.141

Setiap guru di setiap satuan pendidikan berkewajiban menyusun RPP

untuk kelas di mana guru tersebut mengajar. Pengembangan RPP dapat

dilakukan pada setiap awal semester atau awal tahun pelajaran, dengan

maksud agar RPP telah tersedia terlebih dahulu dalam setiap awal

pelaksanaan pembelajaran. Pengembangan RPP dapat dilakukan secara

mandiri atau secara berkelompok melalui musyawarah guru mata pelajaran

(MGMP) atau melalu forum Kelompok Kerja Guru (KKG) dengan melalui

supervisi kepala sekolah atau guru senior yang ditunjuk oleh kepala

sekolah/madrasah.

RPP dalam konteks pendidikan khusus disebut dengan Perencanaan

Program Pembelajaran Individual (PPI) atau sering juga disebut Individual

Education Program (IEP). Program Pembelajaran Individual (PPI) pada

dasarnya merupakan dokumen tertulis yang dikembangkan dalam suatu

rencana pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus. Perbedaan mendasar

antara RPP dan PPI terletak pada dasar penyusunan, tujuan yang diharapkan,

sifat, dan proses penyusunan. Gunarhadi menyatakan, PPI disusun dengan

berpusat pada siswa (student oriented), yakni berdasarkan pada hasil asesmen

kebutuhan siswa (need assessment), sedangkan, RPP berdasarkan pada hasil

141
Permendikbud Nomor 81 A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum
181

analisis materi (subject matter oriented). Selain itu, PPI bersifat individual,

yakni disusun khusus untuk satu siswa berkebutuhan khusus, sedangkan RPP

bersifat klasikal.

Mercer dan Mercer mengemukakan bahwa “program individual

menunjuk kepada suatu program pengajaran, dimana siswa bekerja dengan

tugas-tugas yang sesuai dengan kondisi dan motivasinya”. Sejalan dengan

pernyataan itu Lynch menyatakan, bahwa IEP/PPI merupakan suatu

kurikulum atau merupakan suatu program belajar yang didasarkan kepada

gaya, kekuatan, dan kebutuhan-kebutuhan khusus anak dalam belajar. Dengan

demikian, PPI pada prinsipnya adalah suatu program pembelajaran yang

didasarkan kepada kebutuhan setiap individu (anak). Kedua pengertian tadi

mengandung pengertian bahwa siswalah yang harus mengendalikan program

dan bukan program yang mengendalikan siswa. Para ahli pendidikan sepakat

bahwa salah satu pijakan dalam penyusunan program hendaknya bertitik tolak

dari kebutuhan anak, sebab anak adalah individu yang akan dibelajarkan.142

Pijakan utama tersebut juga diterapkan oleh Madrasah Ibtidaiyah

Terpadu (MIT) Ar-Roihan dan Sekolah Dasar (SD) Muhammadiyah 9

“Panglima Sudirman” dalam menyusun dan mengembangkan IEP. Akan

tetapi, terdapat perbedaan di antara keduanya. MIT Ar-Roihan menyusun dan

mengembangkan IEP untuk semua siswa berkebutuhan khusus tanpa

terkecuali, baik siswa dengan gangguan berat, maupun ringan. IEP di MIT

Ar-Roihan disusun dan dikembangkan oleh Guru Pendamping Khusus (GPK)


142
Dede Supriyanto, Modul Pengembangan Kurikulum ABK, (Bandung: KEMENTERIAN
Pendidikan Dan Kebudayaan Pusat Pengembangan Dan Pemberdayaan Pendidik Dan Tenaga
Kependidikan Taman Kanak-Kanak Dan Pendidikan Luar Biasa), hlm. 39
182

masing-masing siswa dan tidak melibatkan tim IEP. Hal ini karena di MIT

Ar-Roihan tidak dibentuk Tim penyusun IEP. Pengembangan PPI dilakukan

sebelum semester baru dimulai. Adapun tahapan-tahapan penyusunan IEP di

MIT Ar-Roihan adalah; (1) GPK melakukan analisis terhadap Kompetensi

Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) yang ada dalam kurikulum dan materi

pembelajaran dalam Buku Siswa, (2) GPK memilah KD dan

menyederhanakan materi disesuaikan dengan kemampuan kognitif siswa, (3)

Draft IEP, kemudian dikoordinasikan kepada wali murid untuk mengetahui

apakah terdapat hal-hal yang perlu direvisi, (4) Draft IEP kemudian diajukan

kepada kepala madrasah untuk diperiksa dan disahkan, dan (5) GPK

menerapkan IEP yang telah disahkan kepala madrasah.

Mengacu pada langkah-langkah penyusunan IEP di MIT Ar-Roihan di

atas, jika dibandingkan dengan langkah-langkah menurut Kitano & Kirby dan

National Council of Special Education (NCSE) maka terdapat beberapa

perbedaan fundamental di antara ketiganya. Perbedaan tersebut nampak

dalam tabel berikut:

Tabel 5.1
Perbedaan Langkah Penyusunan IEP

National Council of MIT Ar-Roihan


Kitano dan Kirby Special Education
(NCSE)
Mengumpulkan informasi Asesmen kebutuhan
Pembentukan tim PPI
siswa
Menyusun pernyataan Menganalisis KI dan
tingkat kinerja termasuk KD
Menilai kebutuhan
kekuatan, kebutuhan dan
khusus anak
dampak pada
pembelajaran
Mengembangkan Identifikasi kebutuhan Menyederhanakan
183

National Council of MIT Ar-Roihan


Kitano dan Kirby Special Education
(NCSE)
tujuan jangka panjang belajar prioritas dan materi pelajaran
dan jangka pendek kerangka waktu untuk sesuai dengan
pencapaian target kemampuan siswa
Menetapkan target untuk Mengkoordinasikan
Merancang metode dan
setiap kebutuhan draft IEP kepada
prosedur pembelajaran
pembelajaran prioritas orang tua siswa
Identifikasi strategi dan Mengkoordinasikan
Menentukan evaluasi
sumber daya yang draft IEP kepada
kemajuan anak
diperlukan
Menetapkan tanggal untuk Menerapkan IEP
meninjau IEP

Format IEP di MIT Ar-Roihan tidak berbeda jauh dengan RPP,

perbedaannya hanya terletak pada indikator pembelajaran yang lebih

sederhana (diturunkan) dan terdapat profil siswa berkebutuhan khusus berikut

jenis hambatan yang diderita. Penurunan indikator pembelajaran ini

disesuaikan dengan karakteristik, gaya belajar dan kebutuhan siswa.

Sementara itu di SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman”,

pengembangan IEP hanya dilakukan untuk siswa berkebutuhan khusus

dengan gangguan berat seperti Autis, Tunadhaksa, down syndrome, dan

sebagainya. Sedangkan, untuk siswa dengan gangguan ringan, seperti slow

learner, gangguan konsentrasi (ADD/ADHD), dan gangguan daya ingat,

GPK tidak melakukan pengembangan IEP, melainkan terintegrasi ke dalam

RPP untuk siswa reguler. Hal ini karena siswa dengan gangguan ringan sudah

bisa mengikuti kegiatan pembelajaran dan tata tertib di kelas. Sehingga tidak

diperlukan pengembangan IEP untuk membelajarkan siswa. Selain itu, siswa

berkebutuhan khusus yang sudah masuk ke kelas reguler sudah mendapatkan


184

rekomendasi dari ahli atau instansi yang berwenang (psikolog atau rumah

sakit).

Adapun langkah-langkah penyusunan RPP pada kelas inklusi di SD

Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman”, yaitu: (1) guru melakukan analisis

terhadap Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) yang terdapat

dalam kurikulum dan buku guru, (2) menyusun indikator dan tujuan

pembelajaran, (3) menentukan strategi dan metode serta teknik pembelajaran,

(4) menyusun langkah-langkah pembelajaran, (4) menyusun rubrik penilaian,

(5) guru mengajukan draft RPP kepada kelas sekolah, dan (6) guru

menerapkan RPP yang telah disahkan kepala sekolah dalam pembelajaran.

2. Pelaksanaan Pembelajaran

Setelah program pembelajaran individual (PPI) dibuat, selanjutnya

adalah mengimplementasikannya dalam kegiatan pembelajaran. Guru, dalam

hal ini harus mempertimbangkan berbagai aspek yang memungkinkan

program dapat berjalan secara efektif.

Keberhasilan sekolah dalam menyediakan pendidikan inklusif untuk

siswa berkebutuhan khusus tergantung pada signifikansi perencanaan

organisasional keseluruhan sekolah dan efektivitas berbagai setrategi

pengajaran dan pembelajaran yang diterapkan oleh guru di kelasnya.

Lingkungan yang cocok bagi siswa ini dicirikan dengan struktur dan

organisasi, memiliki susunan perabot yang sesuai, materi pembelajaran yang


185

cocok, penyajian kurikulum yang berkaitan, dan memberikan kemudahan

akses terhadap pekerjaan siswa.143

Selama kegiatan pembelajaran, guru bukan hanya berperan sebagai

pengajar, lebih dari itu adalah sebagai fasilitator dan motivator. Kegiatan

pembelajaran juga harus dimonitor dan dievaluasi setiap saat untuk melihat

perkembangan atau kemajuan yang dicapai siswa, melalui observasi ataupun

tes. Secara periodik dapat dilakukan tes informal guna memberikan umpan

balikan, agar pelaksanaan program menjadi lebih baik. Adapun dalam

menerapkan Program Pembelajaran Individual (PPI), menurut Ishartiwi,

seorang guru dapat memilih satu di antara tiga alternatif di bawah ini, yaitu;

a. PPI bermodul (Modular Instruction), yaitu PPI yang difasilitasi dengan

perangkat lunak. PPI ini sesuai untuk ABK yang memiliki kemandirian

belajar (1 anak: 1 perangkat lunak pembelajaran). Anak berinteraksi

secara mandiri dengan perangkat lunak pembelajaran, sedangkan guru

memberikan bantuan hanya apabila diperlukan saja.

b. PPI melalui Pembelajaran Perorangan dengan Peralatan Khusus. Pilihan

ini merupakan penerapan PPI dengan penggunaan peralatan

pembelajaran khusus, yang dilengkapi dengan perangkat lunak dan

implementasinya difasilitasi oleh guru. PPI ini sesuai untuk pembelajaran

perilaku khusus (seperti: latihan berbicara, latihan motorik, latihan

membaca). Dalam Pembelajaran Perorangan ini, anak berinteraksi

143
Department of Education and Science, Inclusion of Students with Special Educational Needs
Post-Primary Guidelines, (Dublin: Stationey Office, 2007), hlm. 103
186

dengan peralatan belajar khusus di bawah bimbingan guru (1 anak : 1

peralatan belajar : 1 guru);

c. PPI dengan pendekatan transaksional (Transactional Instruction). PPI ini

dikembangkan dan diterapkan berdasarkan hasil asesmen kemampuan

sejumlah ABK yang setara dalam sesuatu kelompok, yang difasilitasi

dengan rancangan yang disusun oleh guru, dan selama proses intervensi

dilakukan penyesuaian rancangan atas dasar respon siswa terhadap tindak

pembelajaran guru. Guru melakukan pemantauan secara terus-menerus

sepanjang rentang proses pembelajaran, dan menggunakan rentetan

keputusan transaksional berdasarkan respon belajar siswa yang tidak

dapat diprediksi itu, sebagai rujukan untuk melakukan penyesuaian

sambil jalan (on-going adjustments) dalam rangka optimasi perolehan

belajar.

Adapun dalam pelaksanaan pembelajaran di kedua lembaga tersebut

telah sesuai dengan pedoman pembelajaran yang dikeluarkan oleh Direktorat

Pembinaan Sekolah Luar Biasa. Beberapa alternatif program pelayanan yang

dapat dilakukan sekolah menurut Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa

antara lain:144

a. Layanan pendidikan penuh

Semua anak termasuk anak berkebutuhan khusus belajar bersama di

dalam komunitas kelas yang beragam di bawah bimbingan guru kelas, guru

bidang studi atau guru lainnya. Sedangkan, peran Guru Pendidikan Khusus

144
Prosedur Operasi Standar Pendidikan Inklusif, (Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa,
2007), hlm. 13
187

(GPK) bertanggung jawab dalam pembuatan program, monitor pelaksanaan

program dan mengevaluasi hasil pelaksanaan program.

b. Layanan pendidikan yang dimodifikasi

Anak berkebutuhan khusus mengikuti proses belajar bersama-sama

anak pada umumnya dalam komunitas kelas yang beragam di bawah

bimbingan guru kelas, guru bidang studi atau guru lainnya untuk mata

pelajaran dan aktivitas yang dapat diikuti oleh anak berkebutuhan khusus

dengan baik. Sedangkan, untuk GPK berperan dalam membimbing beberapa

aktivitas tertentu yang tidak dapat diikuti anak berkebutuhan khusus dengan

menggunakan Program Pembelajaran Individual (PPI).

c. Layanan pendidikan individualisasi

Anak berkebutuhan khusus mengikuti proses belajar bersama-sama

anak pada umumnya dalam komunitas kelas yang beragam di bawah

bimbingan penuh GPK dalam melaksanakan PPI.

Pengembangan IEP/PPI di MIT Ar-Roihan dan SD Muhammadiyah 9

“Panglima Sudirman” menggunakan pendekatan transaksional. PPI yang

diterapkan kedua lembaga merupakan pengembangan dari hasil assessment

terhadap kemampuan siswa berkebutuhan khusus. Namun, terdapat perbedaan

cukup signifikan di antara keduanya. Pembelajaran siswa berkebutuhan

khusus di MIT Ar-Roihan belum sepenuhnya terintegrasi dengan siswa

reguler. Oleh karena jumlah GPK dan siswa berkebutuhan khusus di MIT Ar-

Roihan seimbang, maka setiap siswa berkebutuhan khusus didampingi 1

GPK. Sehingga, selama kegiatan pembelajaran berlangsung, siswa


188

didampingi oleh GPK. Terkadang siswa mengikuti materi kelas, namun

terkadang GPK memberikan pembelajaran sendiri dengan materi yang sudah

disederhanakan sesuai dengan kemampuan kognisi siswa. Pemberian materi

khusus ini dilakukan melalui pendampingan personal.

Model pembelajaran seperti yang diterapkan di MIT Ar-Roihan di atas

selain memiliki dampak positif yaitu siswa dapat memahami materi secara

optimal, namun di sisi lain model ini berdampak pada aspek psikologis siswa,

meskipun tidak signifikan. Dampak psikologis ini terutama dialami siswa

dengan gangguan ringan seperti di Kelas V. Siswa menjadi ketergantungan

dengan GPK. Misalnya, siswa kelas V Alighar, Althaf Dainrifki Adiwidya,

ketika GPKnya tidak bisa mendampingi, ia tidak mau belajar mengikuti kelas.

Selain itu, siswa menjadi tidak percaya diri untuk bergaul dengan siswa

lainnya. Siswa juga pernah melakukan protes kepada GPK mengenai hal ini.

Sementara itu, pelaksanaan pembelajaran di SD Muhammadiyah 9

“Panglima Sudirman” dilakukan oleh guru kelas, GPK hanya bertindak

sebagai observer, serta lebih memprioritaskan penanganan pada siswa dengan

gangguan berat. Sehingga, untuk siswa berkebutuhan khusus yang sudah bisa

mengikuti kelas, GPK menyerahkan penanganan kepada guru kelas. Langkah

ini ditempuh karena keterbatasan jumlah tenaga GPK di SD Muhammadiyah

9 “Panglima Sudirman”.

Pelaksanaan pembelajaran siswa berkebutuhan khusus di SD

Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” menjadi satu dengan siswa reguler

dan disesuaikan dengan RPP kelas. Masing-masing kelas terdapat dua guru,
189

yaitu guru kelas dan guru pendamping yang bertugas membantu guru kelas

mengkondisikan siswa ketika kegiatan pembelajaran berlangsung.

Selama pembelajaran, guru hanya memberikan pendampingan apabila

siswa mengalami kesulitan. Langkah ini dilakukan dengan tujuan; (1) untuk

melatih kemandirian siswa. Melalui langkah ini, siswa tidak lagi menjadi

ketergantungan kepada guru. langkah ini terbukti berhasil dengan adanya

perkembangan yang cukup signifikan pada aspek psikologis siswa. Seperti

yang dialami siswa kelas V Al-Mughni, M. David Indra Adiyatama, penderita

gangguan pemusatan perhatian (ADD) dan siswa Kelas V Al-Latif, Shaka

Satria Kusuma penderita gangguan daya ingat (short time memory). Kedua

siswa tersebut saat ini sudah tidak membutuhkan pendampingan intensif dari

guru kelas, maupun GPK. Berbeda ketika mereka masih di kelas III dan IV,

guru kelas dan GPK harus memberikan pendampingan yang intensif. (2)

menghindarkan siswa dari perasaan minder dan eksklusif. Adanya perlakuan

khusus berupa pendampingan individual secara intens setiap saat juga

memberikan dampak negatif terhadap psikologis siswa. Mereka semakin

merasa berbeda dengan teman-temannya dan pada akhirnya menjadikan siswa

minder dan tidak percaya diri untuk bergaul dengan siswa lain.

Pelaksanaan pembelajaran di kedua lembaga di atas disebut Jeremy

Ford sebagai strategi pembelajaran Co-Teaching (mengajar bersama). Strategi

ini mengharuskan adanya kerjasama antara guru kelas dan guru pendamping

khusus dalam melaksanakan pembelajaran. Melalui kerjasama ini, guru dapat

lebih leluasa membantu siswa berkebutuhan khusus dalam mengikuti


190

kegiatan pembelajaran. Meskipun demikian, belum terlihat model

pembelajaran siswa berkebutuhan khusus yang sistemik di kedua lembaga

tersebut. Hal ini terlihat dari;

1) Penyusunan IEP di MIT Ar-Roihan tidak melibatkan Tim PPI

melainkan disusun sendiri oleh masing-masing GPK. Sementara di

SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” GPK menggunakan

RPP modifikasi untuk siswa dengan hambatan berat dan RPP tanpa

modifikasi untuk siswa dengan hambatan ringan yang disusun oleh

guru kelas.

2) Format IEP di MIT Ar-Roihan sama dengan RPP pada umumnya,

hanya terdapat penambahan profil siswa berkebutuhan khusus

berikut hambatan yang diderita. Demikian pula RPP di SD

Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman”.

3) Selama kegiatan pembelajaran siswa berkebutuhan khusus di MIT

Ar-Roihan lebih banyak berinteraksi dengan GPK daripada dengan

sesama siswa. Sedangkan, di SD Muhammadiyah 9 “Panglima

Sudirman” terjadi sebaliknya, guru membiarkan siswa bernteraksi

dengan siswa lainnya.

4) Pelibatan siswa berkebutuhan khusus di MIT Ar-Roihan dalam

kegiatan pembelajaran masih belum berjalan maksimal. Hal ini

karena siswa lebih dominan menghabiskan waktu dengan GPK.

Berbanding terbalik dengan SD Muhammadiyah 9 “Panglima


191

Sudirman”, guru memprioritaskan keterlibatan siswa berkebutuhan

khusus dalam pembelajaran.

5) Koordinasi antara wali kelas dan GPK di MIT Ar-Roihan belum

nampak. Sedangkan, di SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman”,

GPK berperan sebagai konsultan bagi guru kelas tentang berbagai

hal terkait siswa berkebutuhan khusus. Guru kelas lebih banyak

berkoordinasi dengan guru pendamping di tiap-tiap kelas.

6) Latar belakang pendidikan sebagian besar guru baik di MIT Ar-

Roihan maupun SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” tidak

sesuai.

3. Evaluasi Pembelajaran

Sistem penilaian yang diterapkan di sekolah dengan seting pendidikan

inklusif, yaitu sistem penilaian yang fleksibel. Penilaian yang disesuaikan

dengan kompetensi semua anak termasuk anak berkebutuhan khusus.

Penilaian dapat berupa data kuantitatif dan kualitatif. Penerapan sistem

evaluasi di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif tergantung terhadap

kurikulum yang dipakai di sekolah itu, artinya jika sekolah memakai

kurikulum duplikasi, maka sistem evaluasinya pun disamakan dengan yang

diberlakukan anak pada umumnya. Dan jika, sekolah itu memakai kurikulum

modifikasi tentunya sistem evaluasinya pun harus dimodifikasi sesuai dengan

kondisi dan kebutuhan siswa berkebutuhan khusus. Perubahan tersebut bisa

berkaitan dengan soal ujian, perubahan dalam waktu evaluasi, teknik cara

evaluasi, atau tempat evaluasi, dan lain-lain. Termasuk juga bagian dari
192

modifikasi evaluasi adalah perubahan dalam kriteria kelulusan, sistem

kenaikan kelas, bentuk raport, ijazah dan lain-lain.145

Pelaksanaan evaluasi pembelajaran siswa berkebutuhan khusus di

MIT Ar-Roihan dan SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” disesuaikan

dengan kurikulum, Program Pembelajaran Individual (PPI), dan Rencana

Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang digunakan. Evaluasi mencakup tiga

ranah kompetensi, yaitu afektif, kognitif, dan psikomotorik. Selain itu,

pelaksanaan evaluasi juga disesuaikan dengan jenis pelayanan yang diberikan

kepada siswa berkebutuhan khusus. Oleh karena MIT Ar-Roihan menerapkan

layanan pendidikan individualisasi, maka wewenang melakukan evaluasi dan

memberikan nilai berada di tangan GPK. Guru kelas hanya menerima laporan

hasil evaluasi dari GPK. Sedangkan untuk SD Muhammadiyah 9 “Panglima

Sudirman” evaluasi dilakukan sendiri oleh guru kelas. Pelaksanaan evaluasi

dilakukan bersama dengan siswa reguler, akan tetapi bentuk instrumen soal

yang diberikan kepada siswa berekebutuhan khusus lebih sederhana. Hal ini

tergantung pada kondisi dan karakteristik hambatan siswa, untuk siswa

dengan gangguan berat, menggunakan sistem penilaian modifikasi,

sedangkan, untuk siswa dengan gangguan ringan mengikuti sistem penilaian

yang berlaku di sekolah. Hal yang membedakan adalah tingkat kesukaran,

jumlah, dan struktur soal.

Evaluasi dilakukan dalam dua bentuk yaitu evaluasi proses dan hasil

pembelajaran. Kedua bentuk evaluasi ini memiliki fungsi masing-masing.


145
Lilik Maftuhatin, Evaluasi Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus (SBK) di Kelas Inklusif
di SD Plus Darul 'Ulum Jombang, Jurnal Studi Islam, Volume 5, Nomor 2, (Oktober, 2014), hlm.
9
193

Evaluasi proses dilakukan selama proses pembelajaran, yaitu dalam bentuk

guru mengamati tingkah laku siswa meliputi bagaimana siswa bersikap

kepada sesama, sikap siswa ketika guru menjelaskan materi, dan sikap siswa

ketika mendapatkan tugas dari guru. Hasil evaluasi ini berfungsi untuk

mengetahui tingkat perkembangan siswa. Adapun evaluasi hasil dilakukan

ketika suatu materi selesai atau tuntas. Fungsi evaluasi ini adalah untuk

mengetahui perkembangan kognisi siswa.

B. Strategi Guru dalam Meningkatkan Mutu Pembelajaran bagi Siswa

Berkebutuhan Khusus

Mutu pembelajaran merupakan tingkat keberhasilan suatu pembelajaran

dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pembelajaran yang bermutu adalah

pembelajaran yang efektif dalam mencapai standar kompetensi dan tujuan yang

telah ditetapkan. Beberapa upaya yang dilakukan guru kelas dan GPK di MIT Ar-

Roihan dan SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” untuk meningkatkan

mutu pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus dapat diuraikan sebagai

berikut:

1. Penyederhanaan/Modifikasi Materi

Modifikasi materi dilakukan dengan menyederhanakan materi

pembelajaran untuk mempermudah siswa berkebutuhan khusus memahami

materi pembelajaran. Penyederhanaan materi di MIT Ar-Roihan dan SD

Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” dilakukan dengan mengacu pada

hasil assessment siswa. Sehingga materi pembelajaran disesuaikan dengan

kebutuhan siswa. Materi yang disederhanakan diambil dari Buku Siswa.


194

Upaya ini dilakukan guru karena terbatasnya sumber belajar atau modul

khusus untuk siswa berkebutuhan khusus yang sesuai dengan karakteristik

dan jenis gangguan yang diderita siswa.

Modifikasi bahan ajar pendidikan inklusif adalah cara penyesuaian

bagian integral kurikulum dengan pendekatan individual untuk proses

pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah umum yang memiliki peserta

didik berkebutuhan khusus. Unsur pelaksana yang terlibat dalam membuat

modifikasi bahan ajar dalam pendidikan inklusif adalah guru umum dengan

Guru Pendidikan Khusus (GPK) atau guru Sekolah Luar Biasa.146 Namun

dalam realitanya, modifikasi materi di MIT Ar-Roihan hanya dilakukan oleh

GPK sendiri, tidak melibatkan guru kelas. Sedangkan, di SD Muhammadiyah

9 “Panglima Sudirman” GPK hanya melakukan modifikasi materi untuk

siswa dengan hambatan berat, sedangkan modifikasi materi untuk siswa

dengan hambatan ringan dilakukan oleh guru kelas.

2. Penggunaan Media Pembelajaran

Media Pembelajaran merupakan satu di antara komponen penting

pembelajaran yang harus dipenuhi agar proses pembelajaran berjalan efektif

dan efisien. Media pembelajaran berperan memperjelas informasi yang

disampaikan guru, serta menyampaikan informasi yang tidak bisa

diungkapkan oleh guru. Melalui penggunaan media, materi pembelajaran

yang abstrak akan menjadi lebih konkrit bagi siswa, terutama siswa di tingkat

sekolah dasar. Termasuk dalam hal ini adalah siswa berkebutuhan khusus.

146
Dewi Asiyah, Dampak Pola Pembelajaran Sekolah Inklusi Terhadap Anak Berkebutuhan
Khusus, Gema Wiralodra, Vol. VII, No. 1, (Juni, 2015), hlm. 7
195

Keterbatasan yang diderita oleh siswa berkebutuhan khusus menyebabkan

mereka mengalami hambatan-hambatan dalam memahami materi

pembelajaran. Namun, perlu diingat oleh guru, bahwa penggunana media

pembelajaran harus disesuaikan dengan jenis hambatan siswa. Selain itu,

media yang digunakan tidak hanya berbeperan sebagai alat bantu, akan tetapi

juga harus dapat berfungsi sebagai alat pengajaran.

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara, ditemukan bahwa

penggunaan media pembelajaran untuk siswa berkebutuhan khusus di MIT

Ar-Roihan dan SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” sudah

disesuaikan dengan jenis hambatan siswa. Misalnya, yang dilakukan oleh

guru Kelas V Al-Latif SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman”, untuk

membantu siswa penderita gangguan daya ingat dalam memahami dan

menghafal Aksara Jawa, guru membuat media dengan gambar-gambar

wayang. Sementara di MIT A-Roihan, guru menggunakan media visual

berupa video untuk memahamkan, serta memusatkan perhatian siswa

penderita gangguan konsentrasi.

Berdasarkan uraian di atas, dalam menggunakan media pembelajaran

guru harus mempertimbangkan karakteristik dan gaya belajar siswa, terlebih

untuk siswa berkebutuhan khusus. Tidak sembarang media pembelajaran

sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan siswa. Selain itu, dalam memilih

media untuk kepentingan pembelajaran menurut Sudjana & Rivai sebaiknya

memperhatikan kriteria-kriteria sebagai berikut; a) ketepatannya dengan

tujuan pelajaran; artinya media pembelajaran dipilih atas dasar tujuan-tujuan


196

instruksional yang telah ditetapkan. Tujuan-tujuan instruksional yang

berisikan unsur pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis lebih memungkinkan

digunakannya media pembelajaran, b) dukungan terhadap isi bahan ajar;

artinya bahan ajar yang sifatnya fakta, prinsip, konsep dan generalisasi sangat

memerlukan bantuan media, agar lebih mudah dipahami siswa, dan c)

kemudahan memperoleh media; artinya media yang diperlukan mudah

diperoleh, setidak-tidaknya mudah dibuat oleh guru pada waktu mengajar.147

3. Bimbingan Individual

Penerapan model layanan di masing-masing lembaga membawa

implikasi yang berbeda. MIT Ar-Roihan yang menerapkan pelayanan

pendidikan individualisasi berimplikasi pada kebutuhan tenaga pengajar

(GPK) yang tinggi sesuai dengan jumlah siswanya. Sehingga akan berdampak

pada anggaran belanja lembaga. Selain itu, adanya pendampingan yang

intensif secara terus menerus kepada siswa akan berdampak pada kondisi

psikologis siswa. Siswa merasa minder, eksklusif, inferior, dan merasa rendah

diri karena perlakuan spesial yang diterimanya. Dampak ini terjadi terutama

pada siswa dengan gangguan ringan seperti slow learner, speech delay, dan

ADD. Hal ini disebabkan siswa dengan gangguan jenis tersebut secara

kognisi dan psikologis sama dengan siswa reguler pada umumnya. Dampak

lain yang juga terjadi adalah lambatnya perkembangan kemandirian siswa

karena selalu bergantung kepada GPK. Adapun dampak positif dari jenis

147
Yuyus Suherman, Pengembangan Media Pembelajaran Bagi ABK, Makalah disampaikan pada
Diklat Profesi Guru PLB Wilayah X Jawa Barat Bumi Makmur, Lembang Bandung, 2008
197

layanan ini adalah perkembangan siswa lebih terkontrol karena setiap saat

dimonitor oleh GPK.

Sedangkan, untuk jenis layanan pendidikan penuh dan layanan

pendidikan modifikasi SD Muhammadiyah 9 ”Panglima Sudirman” memiliki

dampak, antara lain; layanan pendidikan penuh yang meminimalkan

pendampingan individual berdampak pada kontrol perkembangan siswa

berkebutuhan khusus dengan gangguan ringan tidak berjalan maksimal

dengan baik, karena GPK memfokuskan pelayanan kepada siswa dengan

gangguan berat. Hal ini didukung oleh background pendidikan dari masing-

masing guru kelas yang bukan berasal dari sarjana psikologi atau pendidikan

Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Adapun dampak positifnya adalah

kemandirian siswa dapat berkembang lebih cepat, karena tidak bergantung

kepada guru, selain itu, siswa bisa lebih leluasa bergaul dengan teman

sekelasnya, karena tidak merasa diistimewakan.

4. Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa

Pergeseran paradigma pendidikan/pembelajaran telah menempatkan

guru tidak hanya sebagai pengajar, lebih dari itu, guru juga berperan sebagai

fasilitator, motivator, katalisator, dan mediator. Peran guru sebagai motivator

sangat diperlukan siswa, agar tetap memiliki semangat dalam belajar. Kelas

yang didalamnya dipenuhi siswa dengan motivasi tinggi untuk belajar akan

menjadi kelas yang lebih hidup dan dinamis. Sehingga akan tercipta iklim

belajar yang nyaman bagi siswa. Oleh karena itu, guru harus kreatif dalam

menumbuhkan motivasi belajar siswa.


198

Bentuk-bentuk upaya pemberian motivasi sangat beragam, seperti

memberikan pujian, melibatkan siswa, memberi reward dan punishment,

nasehat, dan lain sebagainya. Mental siswa berkebutuhan khusus yang masih

labil menuntut guru untuk mampu memberikan motivasi ketika siswa sedang

dalam kondisi tidak mood atau kehilangan semangat belajar. Adapun bentuk-

bentuk upaya pemberian motivasi kepada siswa berkebutuhan khusus yang

dilakukan guru di MIT Ar-Roihan dan SD Muhammadiyah 9 “Panglima

Sudirman” antara lain:

a) Memberikan pujian,

b) Melibatkan siswa dalam proses pembelajaran,

c) Memberikan penghargaan berupa barang atau perlakuan khusus,

d) Memberikan hukuman apabila siswa melanggar tata tertib atau

berperilaku menyimpang, dan

e) Memberikan nasehat ketika siswa sedang merasa sedih dan tertekan.

5. Sosialisasi

Sosialisasi yang dilakukan oleh guru kelas maupun GPK di MIT Ar-

Roihan dan SD Muhammadiyah 9 “panglima Sudirman” dimaksudkan untuk

memberikan pemahaman kepada siswa reguler tentang bagaimana bersikap

dan memperlakukan siswa berkebutuhan khusus dengan benar. Sosialisasi ini

dilakukan secara terus menerus baik di dalam, maupun di luar proses

pembelajaran. Cara yang ditempuh pun beragam, mulai dari sosialisasi secara

verbal dengan memberikan nasihat-nasehat positif, memperkuat empati siswa

reguler terhadap siswa berkebutuhan khusus dengan menyuruh siswa reguler


199

membantu siswa berkebutuhan khusus memahami materi-materi

pembelajaran yang dirasa sulit (tutor sebaya/peer teaching), dan

membiasakan siswa reguler berinteraksi dan bekerjasama dengan siswa

berkebutuhan khusus.

Strategi ini, jika dicermati dengan seksama, lebih tepat diisitilahkan

sebagai strategi penanaman karakter. Melalui strategi ini, diharapkan siswa

memiliki karakter-karakter positif yang pada muaranya akan mendukung

terciptanya suasana belajar yang nyaman dan inklusif bagi semua siswa.

Berkaitan dengan ini, karakter-karakter utama yang perlu dikembangkan oleh

guru untuk mendukung peningkatan mutu pembelajaran, antara lain; religius,

jujur, toleransi, demokratis, menghargai prestasi, bersahabat, peduli

lingkungan, peduli sosial, dan tanggungjawab.

Adapun langkah yang ditempuh GPK dan guru kelas di MIT Ar-

Roihan dan SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” dalam menanamkan

karakter sebagaimana disebutkan di atas perlu didukung dengan langkah-

langkah yang sistemik mulai dari perencanaan (penyusunan Silabus dan RPP,

dan penyusunan bahan ajar), pelaksanaan pembelajaran, dan evaluasi. Ketiga

tahap pembelajaran ini harus menempatkan penanaman karakter sebagai

landasan utama. Melalui langkah yang lebih sistematis ini, hasil dari

implementasi strategi penanaman karakter yang dilakukan oleh guru menjadi

lebih terukur dan terarah.


200

6. Memanfaatkan Lingkungan Sekitar Sebagai Sumber Belajar

Pergeseran paradigma pembelajaran dari teacher centered menjadi

student centered membawa implikasi terhadap model dan strategi

pembelajaran yang dieterapkan oleh guru. Proses pembelajaran harus

menyajikan konteks dunia nyata ke dalam kelas, sehingga siswa mengalami

pembelajaran yang bermakna. Selain itu, diberlakukannya Kurikulum 2013

juga memberikan tuntutan dan tantangan baru bagi guru. Sebagai

penyelenggara pembelajaran, guru dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif

dalam menyampaikan materi pembelajaran kepada siswa. Termasuk dalam

hal ini adalah kreatif dan inovatif dalam menghadirkan sumber-sumber

belajar bagi siswa.

Lingkungan merupakan satu di antara sekian banyak bahan yang bisa

dimanfaatkan oleh guru sebagai sumber belajar bagi siswa. Lingkungan

merupakan sumber belajar yang kaya dan menarik untuk siswa. Lingkungan

bisa menjadi tempat yang menyenangkan bagi siswa. Misalnya, pada saat

belajar di kelas siswa diperkenalkan oleh guru mengenai binatang, dengan

memanfaatkan lingkungan siswa akan dapat memperoleh pengalaman yang

lebih banyak lagi tentang binatang. Guru dapat membawa kegiatan-kegiatan

yang biasanya dilakukan di dalam ruangan kelas ke alam terbuka dan

menjadikan lingkungan sebagai sumber belajar.

Lingkungan yang disebut sebagai sumber belajar adalah tempat atau

ruangan yang dapat mempengaruhi siswa. Tempat dan ruangan tersebut ada

yang dirancang khusus untuk tujuan pengajaran, misalnya gedung sekolah


201

ruang perpustakaan dan laboratorium, studio, dan sebagainya. Selain itu, ada

juga tempat atau ruangan yang bukan dirancang secara khusus atau hanya

dimanfaatkan sebagai sumber belajar untuk tujuan pengajaran, seperti gedung

peninggalan sejarah, bangunan industri, lingkungan pertanian, lingkungan

masyarakat, museum, pasar, tempat rekreasi, dan lain-lain.

Selain lebih variatif dan menyenangkan, kegiatan pembelajaran

dengan memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar juga mampu

meningkatkan hasil belajar siswa terutama pada materi-materi yang berkaitan

langsung dengan lingkungan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Wahyu

Dini Kustanti menemukan bahwa pemanfaatan lingkungan sebagai sumber

belajar mampu meningkatkan rata-rata hasil belajar siswa. Selain itu,

keaktifan siswa dalam pembelajaran juga meningkat.148

7. Menjalin Kerjasama dengan Orangtua Siswa

Peningkatan mutu pembelajaran merupakan tanggungjawab bersama.

Sehingga diperlukan kerjasama dan sinergi yang kuat dari berbagai pihak.

Keterlibatan pemerintah, masyarakat, orangtua, siswa, guru, staf, dan kepala

sekolah/madrasah merupakan hal yang mutlak diperlukan.

Demi mewujudkan hal tersebut, GPK di MIT Ar-Roihan dan guru

kelas di SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” terus mempererat

kerjasama baik di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah terutama

dengan orangtua siswa. Adapun bentuk-bentuk kerjasama dengan orangtua

siswa yang dijalin guru di kedua lembaga tersebut, antara lain:


148
Wahyu Dini Kustanti, Pemanfaatan Lingkungan Sebagai Sumber Belajar untuk Meningkatkan
Keaktifan dan Hasil Belajar Geografi Kelas XI-IPS 3 di SMAN I Lawang Kabupaten Malang,
(Pendidikan Geografi, Universitas Negeri Malang, 2013), hlm. 6
202

a) Koordinasi persiapan pembelajaran (IEP dan RPP), baik secara langsung,

maupun melalui paguyuban wali murid (SD Muhammadiyah 9

“Panglima Sudirman”)

b) Melaporkan perkembangan siswa baik dengan bertatap muka langsung

maupun melalui telepon seluler.

c) Mengkomunikasikan masalah-masalah yang dihadapi siswa di sekolah.

d) Mengajak orangtua berperan aktif mendukung penerapan hasil

pembelajaran yang telah dilakukan di sekolah.

8. Koordinasi Antar Guru

Bentuk koordinasi secara formal antara guru kelas dan Guru

Pendamping Khusus (GPK) di MIT Ar-Roihan Lawang belum terlihat jelas.

Sebagaimana disebutkan pada bagian terdahulu, bahwa dalam merumuskan

Individualized Education Program (IEP) dan melakukan modifikasi materi,

GPK melakukannya sendiri tanpa keterlibatan guru kelas. Selain itu, di MIT

Ar-Roihan Lawang juga belum ada Tim IEP. Masing-masing GPK menyusun

sendiri IEP meskipun terdapat siswa dengan karakteristik atau jenis hambatan

yang hampir sama. Padahal, sebagaimana disebutkan dalam pedoman

penyelenggaraan pendidikan inklusi tahun 2007, tugas GPK adalah (1)

menyusun instrument asesmen pendidikan bersama-sama dengan guru kelas

dan guru mata pelajaran, (2) membangun sistem koordinasi antara guru, pihak

sekolah, dan orangtua peserta didik, (3) melaksanakan pendampingan ABK

pada kegiatan pembelajaran bersama-sama dengan guru kelas/guru bidang

studi, (4) memberikan bantuan layanan khusus bagi anak-anak berkebutuhan


203

khusus yang mengalami hambatan dalam mengikuti kegiatan pembelajaran di

kelas umum, berupa remidi ataupun pengayaan, (5) memberikan bimbingan

secara berkesinambungan dan membuat catatan khusus kepada anak-anak

berkebutuhan khusus selama mengikuti kegiatan pembelajaran, yang dapat

dipahami jika terjadi pergantian guru, dan (6) memberikan bantuan (berbagi

pengalaman) pada guru kelas dan/atau guru mata pelajaran agar mereka dapat

memberikan layanan pendidikan kepada anak-anak berkebutuhan khusus.149

Adapun bentuk koordinasi antar guru di SD Muhammadiyah 9

“Panglima Sudirman” sudah terlihat jelas. Sebagaimana diuraikan pada

bagian terdahulu, koordinasi antar guru di lembaga ini diwujudkan dalam

kegiatan rapat rutin mingguan bersama guru kelas lain. Rapat rutin ini

dilakukan untuk mempersiapkan kegiatan pembelajaran selama satu minggu

ke depan. Hasil rapat kemudian dikoordinasikan kepada orangtua siswa

melalui paguyuban wali murid dan kepada kepala sekolah. GPK di sekolah

ini berperan sebagai konsultan bagi guru kelas dan guru bidang studi dalam

hal penanganan siswa berkebutuhan khusus. GPK bersama guru bimbingan

dan konseling (BK) bertugas memonitor perkembangan siswa berkebutuhan

khusus dan memberikan bantuan kepada guru kelas dan guru mata pelajaran,

baik berupa rekomendasi maupun tindakan langsung terkait pembelajaran

siswa berkebutuhan khusus.

149
Dieni Laylatul Zakia, Guru Pembimbing Khusus (GPK): Pilar Pendidikan Inklusi, Prosiding
Seminar Nasional Pendidikan: "Meretas Sukses Publikasi Ilmiah Bidang Pendidikan Jurnal
Bereputasi", (Surakarta: Universita Sebelas Maret & ISPI Wilayah Jawa Tengah, 2015), hlm. 114
204

9. Mengikuti Kegiatan Peningkatan Kompetensi Guru

Guru sebagai pendidik profesional memiliki tugas utama yaitu:

mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan

mengevaluasi peserta didik. Sebagai sebuah profesi, guru dalam menjalankan

tugas-tugasnya dituntut untuk selalu profesional. Oleh karena itu, empat

kompetensi dasar guru yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian,

kompetensi, sosial, dan kompetensi profesional mutlak diperlukan.

Berdasarkan PP No. 19 Tahun 2005, untuk menjadi guru yang

profesional, seseorang harus memenuhi baik kualifikasi maupun kompetensi

sebagai sebuah profesi. Persyaratan kualifikasi seorang guru adalah sarjana,

sedangkan persyaratan kompetensinya ditetapkan melalui Standar

Kompetensi. Pendidik yang profesional mampu mengelola belajar siswa

secara efektif hingga mencapai minimal standar kualifikasi yang telah

ditetapkan. Pendidik yang profesional juga adalah mereka yang inovatif,

kreatif, dan mampu melahirkan gagasan-gagasan segar untuk mendorong

belajar siswa secara optimal. Sistem keprofesian guru ini menuntut kepada

setiap guru untuk mewujudkan kapasitas, perilaku, dan karya-karya

profesional untuk memacu lebih cepat lagi peningkatan mutu pendidikan.150

Berkaitan dengan konteks pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus,

tugas dan tanggung jawab guru untuk melayani pendidikan anak-anak

berkebutuhan sangat berat. Tanggung jawab yang dibebankan adalah; (1)

melakukan setting program untuk identifikasi, assessment, dan mengajar


150
Dasim Budimansyah, Merefleksi Mutu Profesional Guru, Makalah Disampaikan dalam
Seminar Pendidikan Diselenggarakan STKIP PGRI Kediri 20 Maret 2010, (Bandung: Universitas
Pendidikan Indonesia, 2010), hlm. 2
205

siswa; (2) berpartisipasi dalam screening, assesment, dan evaluasi siswa; dan

(3) melakukan kolaborasi dengan staf dalam merancang dan melaksanakan

pembelajaran. Menyadari begitu beratnya tugas dan tanggung jawab guru di

sekolah inklusi, maka guru di MIT Ar-Roihan Lawang dan SD

Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” Malang terus berusaha

meningkatkan kompetensi diri demi manyajikan pembelajaran yang bermutu

untuk siswa.

Bentuk peningkatan kompetensi guru di MIT Ar-Roihan Lawang dan

SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” Malang dilakukan dengan cara

mengikuti kegiatan-kegiatan peningkatan kompetensi guru yang berupa

seminar, pelatihan, workshop, lokakarya, dan sertifikasi guru. Selain itu,

pihak sekolah juga memberikan biaya pendidikan kepada guru untuk

memperdalam pengetahuan dan pemahaman tentang inklusi dan anak

berkebutuhan khusus. Kasus ini ditemukan di MIT Ar-Roihan, menurut

penuturan kepala madrasah, secara berkala guru pendamping khusus (GPK)

diikutkan program pendidikan luar biasa. Diharapkan setelah mengikuti

program pendidikan tersebut, guru dapat memberikan pembelajaran yang

bermutu kepada siswa berkebutuhan khusus.

Adapun di SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman”, peningkatan

kompetensi guru dilakukan melalui kegiatan Up-Grading yaitu pelatihan

secara berkala setiap akhir semester dengan mendatangkan ahli-ahli

pendidikan. Kegiatan ini ditujukan untuk semua guru, baik guru kelas, guru

mata pelajaran, maupun GPK. Sedangkan, peningkatan kompetensi untuk


206

GPK secara khusus yaitu dengan mengikutkan GPK pada pelatihan-pelatihan

yang diadakan oleh pemerintah maupun perguruan tinggi.

10. Menciptakan Lingkungan Belajar yang Inklusif

Lingkungan belajar bagi siswa berkebutuhan khusus harus

mencerminkan keadilan sosial, seperti adanya sikap saling menghormati,

peduli, penghargaan, kesetaraan, dan empati yang secara langsung atau tidak

langsung memperkuat pribadi dan karakter siswa. Demi mewujudkan

lingkungan belajar yang inklusif, pembudayaan sikap-sikap di atas perlu guru

lakukan secara terus menerus sehingga tertanam kuat dalam diri siswa. Baik

siswa berkebutuhan khusus sendiri maupun siswa reguler. Dengan demikian,

akan tercipta lingkungan dan iklim belajar yang nyaman dan kondusif bagi

semua siswa.

Kedua lembaga yang menjadi latar penelitian ini terus berusaha

membangun sebuah lingkungan dan iklim belajar yang kondusif, nyaman, dan

inklusif bagi siswa dalam rangka meningkatkan mutu pembelajaran. Selain

kondusif dan nyaman, lingkungan belajar di kedua lembaga ini juga

menjunjung nilai-nilai religius. Berikut adalah paparan nilai-nilai religius

yang dikembangakan di kedua lembaga:

Tabel 5.2
Budaya Religius di MIT Ar-Roihan dan SD Muhammadiyah 9 “Panglima
Sudirman”
SD Muhammadiyah 9
Nilai MIT Ar-Roihan
“Panglima Sudirman”
- Shalat Dhuha. - Shalat Dhuha berjama‟ah.
- Membaca Asma‟ul - Shalat Dhuhur berjama‟ah.
Nilai-nilai
Husna. - Belajar membaca Al-Qur‟an.
Islami
- Belajar membaca Al- - Mencium tangan guru.
Qur‟an. - Berkata dan berperilaku
207

SD Muhammadiyah 9
Nilai MIT Ar-Roihan
“Panglima Sudirman”
- Mencium tangan guru. sopan.
- Berkata dan berperilaku
sopan.
- Menanamkan nilai - Menanamkan nilai
kebersamaan, saling kebersamaan, saling
menghargai, dan peduli menghargai, dan peduli
Kemanusiaan
terhadap sesama secara terhadap sesama secara terus
terus menerus dalam menerus dalam kegiatan
kegiatan pembelajaran. pembelajaran.
- Berbaris sebelum - Pengurangan poin bagi siswa
masuk kelas. yang terlambat dan
- Pengurangan poin bagi melanggar tata tertib kelas.
Kedisiplinan
siswa yang terlambat
dan melanggar tata
tertib kelas.

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa dalam rangka

meningkatkan mutu pembelajaran (termasuk untuk siswa berekebutuhan

khusus) baik MIT Ar-Roihan maupun SD Muhammadiyah 9 “Panglima

Sudirman” selalu mengedepankan penanaman karakter-karakter Islami dalam

diri siswa. Melalui strategi ini, tercipta lingkungan belajar yang nyaman bagi

semua siswa sehingga pembelajaran yang dilaksanakan bisa berjalan

maksimal dan mampu mencapai tujuan yang diharapkana. Keberadaan siswa

berkebutuhan khusus di kedua lembaga juga berperan sebagai sarana guru

dalam mendidik dan membentuk karakter peduli, saling menghormati,

empati, toleransi, dan sebagainya.

C. Kendala Peningkatan Mutu Pembelajaran Siswa Berkebutuhan Khusus

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara serta pengecekan dokumen,

yang dilakukan pada tahap pengumpulan data, didapati bahwa kendala atau

hambatan yang dihadapi guru dalam melaksanakan pembelajaran siswa


208

berkebutuhan khusus di MIT Ar-Roihan dan SD Muhammadiyah 9 “Panglima

Sudirman” dapat dibagi ke dalam tiga kategori:

1. Siswa

Kendala ini muncul dari dalam diri siswa sendiri. Sebuah studi yang

dilakukan oleh Nissa Tarnoto tentang pemasalahan-permasalahan yang

dihadapi sekolah penyelenggara pendidikan inklusi pada tingkat SD (Sekolah

Dasar) mengungkapkan bahwa Permasalahan-permasalahan yang muncul

terkait siswa yang dikemukakan guru, antara lain; ABK dengan permasalahan

berbeda dan memerlukan penanganan yang berbeda (35,29%), ABK

mengalami kesulitan mengikuti materi pelajaran (21,18%), sikap ABK yang

belum bisa mengikuti aturan, sehingga mengganggu proses KBM (20%),

permasalahan siswa regular terhadap ABK (14,71%), dan permasalahan

terakhir yang muncul terkait siswa adalah jumlah ABK yang melebihi Kuota

dalam tiap kelasnya (8,82%).151

Adapun kendala yang muncul dari siswa di MIT Ar-Roihan dan SD

Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman”, antara lain:

a) Kemampuan berkomunikasi

Kendala ini muncul terutama pada siswa dengan gangguan

keterlambatan bicara/speech delay. Seperti yang dialami Rifki Lamsy, siswa

Kelas V Aleppo MIT Ar-Roihan. Guru mengalami kesulitan memahami

ucapan dan perkataan siswa. J. David Smith menyatakan, masalah-masalah

bahasa seringkali menyangkut kesulitan memahami orang lain, berbicara

151
Nissa Tarnoto, Permasalahan-Permasalahan yang Dihadapi Sekolah Penyelenggara Pendidikan
Inklusi pada Tingkat SD, HUMANITAS, Vol. 13 No. 1 .(2016), hlm. 55-56
209

yang jelas, menemukan kata yang benar untuk mengungkapkan ide dan

kebutuhannya, serta kurang kemampuan dalam mengatur bahasa untuk

mendapatkan komunikasi yang efektif.152

b) Kondisi psikis siswa

Siswa berkebutuhan khusus memiliki emosi/psikis yang kurang stabil.

Terutama siswa dengan gangguan emosi/tunagrahita, misalnya ADHD

destruktif, siswa dengan gangguan ini sangat mudah marah dan berdampak

destruktif bagi lingkungan sekitarnya. Aspek psikis lain yang menjadi

kendala adalah sikap minder, inferior, rendah diri, kurang percaya diri, dan

kehilangan motivasi untuk belajar. Kendala ini juga berkaitan erat dengan

lingkungan tempat siswa belajar. Misalnya, apabila kondisi lingkungan

menjadi tidak nyaman bagi siswa. Seperti mendapat tekanan dari orangtua

atau teman, masalah dengan GPK, atau suasana hati siswa sedang tidak baik.

Pada saat kondisi seperti ini, GPK memilih untuk tidak memaksakan siswa

mengikuti pembelajaran. Siswa dibiarkan bertindak sesukanya agar mood

belajarnya kembali. Kondisi ini lebih sering dihadapi GPK di MIT Ar-

Roihan.

c) Siswa kesulitan mengikuti pelajaran

Kendala umum yang sering dihadapi guru dalam menangani siswa

berkebutuhan khusus adalah kemampuan siswa dalam memahami materi

pembelajaran. Kendala ini terutama dialami siswa dengan perkembangan

kognitif lambat, seperti autis, slow learner, disleksia, dan retardasi mental.

152
J. David Smith, Inklusi, Sekolah Ramah untuk Semua, Terj. Oleh Denis & Ny. Enrica,
(Bandung: Penerbit Nuansa, 2006), hlm. 80
210

d) Jumlah siswa berkebutuhan khusus yang besar

Kendala ini ditemukan di SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman”

yang memiliki jumlah siswa berkebutuhan khusus yang tidak sebanding

dengan jumlah Guru Pendamping Khusus (GPK). Jumlah siswa berkebutuhan

khusus di SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” sebanyak 18 anak,

sedangkan, jumlah GPK hanya 2 orang. Hal ini menyebabkan penanganan

terhadap siswa berkebutuhan khusus tidak maksimal.

2. Guru

Beberapa di antara kendala yang berasal dari guru, antara lain;

pertama, jumlah Guru Pendamping Khusus (GPK) yang tidak seimbang

dengan jumlah siswa berkebutuhan khusus. Hal ini terutama terjadi di SD

Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman”. Kedua, latar belakang pendidikan

guru tidak sesuai. Kedua lembaga mengalami kendala ini, baik GPK, maupun

guru kelas mempunyai latar pendidikan yang tidak sesuai. Implikasi dari

ketidaksesuaian latar belakang pendidikan ini menyebabkan guru mengalami

kesulitan memahami komunikasi dan kondisi psikis siswa berkebutuhan

khusus.

3. Lingkungan Sekolah

Lingkungan sekolah dan kelas yang tidak ramah dan inklusif akan

menimbulkan ketidaknyamanan dalam belajar. Lingkungan sekolah dan kelas

di MIT Ar-Roihan dan SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” sudah

cukup ramah, inklusif, dan kondusif bagi siswa berkebutuhan khusus. Akan

tetapi, masih terdapat beberapa siswa yang bersikap apatis terhadap siswa
211

berkebutuhan khusus. Adanya sikap demikian ini mengakibatkan siswa

berkebutuhan khusus semakin merasa inferior. Sehingga menyebabkan

mereka kehilangan motivasi belajar dan kepercayaan diri dalam pergaulan.

4. Orangtua

Kendala lingkungan lainnya berasal dari keluarga siswa berkebutuhan

khusus sendiri. Masih adanya orangtua yang kurang berperan aktif dalam

memantau perkembangan anaknya menyebabkan pembelajaran yang

dilakukan guru di sekolah tidak tertanam sepenuhnya. Padahal penelitian

menunjukkan, bahwa orangtua dan keluarga merupakan faktor penting dalam

pendidikan anak, khususnya bagi anak-anak yang beresiko gagal di sekolah.

Sejumlah penelitian menunjukkan, bahwa pengaruh dan dukungan yang

diberikan keluarga dapat secara langsung berpengaruh pada perilaku anak di

sekolah, pada nilai mereka, dan kemungkinan mereka lulus.153 Selain itu,

masih ada pula orangtua yang berlebihan mengkhawatirkan anaknya berada

satu kelas dengan siswa reguler. Mereka khawatir anaknya mendapat perilaku

negatif dari teman-temannya yang “normal”. Di sisi lain, masih terdapat

beberapa orangtua siswa reguler yang belum sepenuhnya menerima

keberadaan siswa berkebutuhan khusus. Bahkan menurut penuturan Kepala

MIT Ar-Roihan dan SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” beberapa

orangtua siswa melakukan protes, karena anaknya berada dalam satu kelas

dengan siswa berkebutuhan khusus.

153
Vern Jones dan Louise Jones, Manajemen Kelas Komprehensif, terj. Intan Irawati, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 145
212

5. Sarana dan prasarana

Sarana dan prasarana pendidikan inklusif adalah perangkat keras,

maupun perangkat lunak yang dipergunakan untuk menunjang keberhasilan

pelaksanaan pendidikan inklusif pada satuan pendidikan tertentu. Sarana dan

prasarana di kedua lembaga memang sudah dapat dikatakan memadai, akan

tetapi, untuk sarana khusus bagi siswa berkebutuhan khusus masih belum

representatif. Misalnya, pemakaian ruang inklusi di SD Muhammadiyah 9

“Panglima Sudirman” harus bergantian dengan pemanfaatan dalam hal yang

lain. Padahal jumlah siswa berkebutuhan khusus cukup besar, yaitu 18 siswa.

Sedangkan, di MIT Ar-Roihan, kondisi perpustakaan masih belum memadai.

Perpustakaan menempati sebuah ruang sempit dan pengap.

Pada hakekatnya semua sarana dan prasarana pendidikan pada satuan

pendidikan tertentu dapat dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan

inklusif, tetapi untuk mengoptimalkan proses pembelajaran perlu dilengkapi

aksesibilitas bagi kelancaran mobilisasi anak berkebutuhan khusus. Sehingga

dengan demikian, kedua lembaga tersebut masih harus meningkatkan kualitas

dan kelengkapan sarana dan prasarana untuk siswa berkebutuhan khusus.

Kendala-kendala di atas, apabila dicermati lebih lanjut memiliki

keterkaitan antara satu dengan yang lain, baik dari permasalahan siswa, guru,

lingkungan sekolah, orangtua, maupun sarana dan prasaran. Pertama, terkait

permasalahan siswa, kesulitan siswa dalam mengkomunikasikan perasaan dan

gagasannya menyebabkan guru kurang bisa memahami mereka. Hal ini kemudian

berdampak pada kesulitan guru dalam menyelenggarakan pembelajaran yang


213

sesuai dengan kebutuhan siswa. Selain itu, kondisi psikis siswa dan keberagaman

karakteristik, serta jumlah yang besar membuat guru, terutama GPK mengalami

kesulitan dalam memberikan pelayanan maksimal.

Terkait permasalahan guru, masih terdapat guru yang mengeluhkan

kesulitan dalam menangani siswa berkebutuhan khusus. Hal ini disebabkan karena

kurangnya pemahaman guru tentang hal-hal terkait siswa berkebutuhan khusus.

Kurangnya pemahaman ini disebabkan karena sebagina besar guru memiliki latar

pendidikan yang tidak sesuai. Kedua, faktor lain yang turut menjadi kendala

adalah kurangnya Guru Pendamping Khusus (GPK), sehingga menyebabkan

penanganan terhadap siswa brekebutuhan khusus dilimpahkan kepada guru kelas.

Hal ini menjadikan beban tugas guru kelas semakin bertambah. Selain harus

melaksanakan pembelajaran untuk siswa reguler, guru kelas juga harus membagi

perhatian untuk siswa berkebutuhan khusus.

Ketiga, lingkungan belajar yang kurang inklusif juga menjadi kendala bagi

guru dalam melaksanakan pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus. Kondisi

ini meliputi; masih adanya warga sekolah (guru, siswa, dan staf) yang belum

sepenuhnya bisa menerima keberadaan siswa berkebutuhan khusus, hingga

munculnya perilaku bullying yang dilakukan beberapa siswa reguler. Hal ini

berdampak pada kondisi psikis siswa berkebutuhan khusus yang dapat

mengganggu pelaksanaan pembelajaran misalnya siswa merasa minder, inferior,

dan termarjinalisasi akibat perilaku bullying oleh sebagian siswa reguler.

Keempat, di sisi lain, kurangnya peran aktif beberapa orangtua siswa

dalam mendukung pembelajaran di sekolah menyebabkan hasil belajar siswa tidak


214

dapat tertanam dalam benak mereka dengan maksimal. Tingginya aktifitas dan

kesibukan orangtua menyebabkan mereka kekurangan waktu untuk memonitor

perkembangan anaknya. Bahkan, menurut penuturan salah satu GPK di MIT Ar-

Roihan, beberapa orangtua memasrahkan sepenuhnya urusan pendidikan anaknya

kepada GPK. Tentu hal ini semakin menambah beban kerja dan tanggungjawab

GPK. Padahal semestinya, orangtua turut berperan aktif mendukung pembelajaran

yang dilakukan guru di sekolah dengan cara membimbing siswa untuk

menerapkan apa yang telah dipelajari di kelas, sehingga pembelajaran menjadi

lebih bermakna dan tertanam dalam diri siswa.

Kelima, kendala-kendala di atas semakin diperparah dengan kondisi sarana

dan prasarana yang menunjang pembelajaran siswa berkebutuhan khusus yang

belum representatif. Misalnya, kondisi ruang inklusi/ruang sumber yang terlalu

kecil yang tidak bisa menampung semua siswa berkebutuhan khusus (MIT Ar-

Roihan) atau kondisi ruang yang tidak terawat dan digunakan untuk aktivitas lain

(SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman”).


215

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pada paparan data, hasil analisis, dan pembahasan yang telah

yang telah dipaparkan pada bagian terdahulu, maka secara keseluruhan hasil

penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: pertama, pelaksanaan

pembelajaran siswa berkebutuhan khusus di kedua lembaga dilaksanakan dengan

menggunakan model berbeda. MIT Ar-Roihan menerapkan layanan pendidikan

individualisasi dengan pelaksana pembelajaran adalah Guru Pendamping Khusus

(GPK), sedangkan SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” menggunakan

layanan pendidikan penuh dan modifikasi dengan pelaksana pembelajaran adalah

guru kelas atau guru mata pelajaran.

Kedua, strategi guru untuk meningkatkan mutu pembelajaran di MIT Ar-

Roihan antara lain; penyederhanaan materi, bimbingan individual, penggunaan

media pembelajaran, meningkatkan motivasi belajar siswa, mengikuti pelatihan

Guru Pendamping Khusus, membiasakan siswa mandiri, memberikan target

capaian belajar, menjalin kerjasama dengan orangtua siswa. Sedangkan di SD

Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” meliputi; penyederhanaan materi,

sosialisasi kepada siswa reguler dan orangtua tentang bagaimana bersikap kepada

siswa berkebutuhan khusus, penggunaan media pembelajaran, bimbingan

individual, meningkatkan motivasi belajar siswa, koordinasi antar guru, mengikuti


216

kegiatan Up-Grading, menjalin kerjasama dengan orangtua siswa, dan

menciptakan lingkungan belajar yang inklusif.

Ketiga, kendala yang dihadapi guru dalam meningkatkan mutu

pembelajaran siswa berkebutuhan khusus di MIT Ar-Roihan antara lain; kesulitan

berkomunikasi dengan siswa, mental labil siswa, kurangnya peran aktif orangtua,

sarana dan prasarana masih belum memadai. Sedangkan di SD Muhammadiyah 9

“Panglima Sudirman” meliputi; kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM),

minimnya fasilitas penunjang, kurangnya peran aktif orangtua, belum ada bahan

ajar khusus ABK, sikap apatis sebagian siswa dan orangtua, dan ukuran ruang

sumber/inklusi belum representatif.

B. Saran

Adapun saran-saran yang dapat disampaikan berkaitan dengan hasil

penelitian ini adalah:

1. Bagi Guru dan Sekolah

a) Penyusunan strategi peningkatan mutu pembelajaran siswa

berkebutuhan khusus oleh guru hendaknya menggunakan paradigma

manajemen mutu yaitu PDAC (Plan, Do, Check, Act), agar lebih

sistematis dan terarah, sehingga hasil yang diperoleh lebih maksimal

dan terukur;

b) Perlu adanya analisis mendalam terhadap kekuatan, kelemahan,

peluang, dan tantangan/SWOT sebelum menyusun strategi

peningkatan mutu pembelajaran;


217

c) Berbagai kendala yang ada perlu dikelola menggunakan manajemen

masalah dengan melibatkan berbagai pihak terkait seperti kepala

sekolah, guru, orangtua, staf, dan masyarakat. Adapun langkah yang

dapat ditempuh adalah dengan mengadakan Focus Group Discussion

(FGD);

d) Intensitas diskusi dan bertukar pengalaman antar guru, baik sesama

guru kelas, maupun dengan GPK perlu lebih ditingkatkan lagi;

2. Bagi Orang Tua Siswa

a) Orangtua siswa harus lebih terbuka kepada guru dan sekolah

mengenai perkembangan dan kondisi siswa berkebutuhan khusus

ketika di rumah;

b) Harus mempunyai sikap menerima, serta memahami keterbatasan

siswa berkebutuhan khusus, sehingga tidak menuntut berlebihan

terhadap siswa;

3. Bagi Pemerintah

Pemerintah dalam hal ini Kemenag, Dinas Pendidikan, dan khususnya

Dinas PLB supaya lebih meningkatkan dukungan, baik materiil (bantuan

sarana dan prasarana, penyediaan bahan ajar khusus), maupun non-materiil

(peningkatan kompetensi guru, dan sosialisasi).


218

DAFTAR PUSTAKA

____Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS) MIT Ar Roihan Lawang-Malang


2016-2017, https://arroihanlawang.wordpress.com/2016/07/20/pengenalan-
lingkungan-sekolah-pls-mit-ar-roihan-lawang-malang-2016-2017/, diakses
tanggal 13 Agustus 2016
Abdullah, Nandiyah. Mengenal Anak Berkebutuhan Khusus. Magistra. No. 86,
Desember. 2013.
Abidin, Zaenal. Konsep Model Pembelajaran Dalam perspektif al-Qur‟an.
Banjarmasin: Pasca Sarjana IAIN Antasari. 2010.
Alton-Lee, Adrienne. Quality Teaching for Diverse Students in Schooling: Best
Evidence Synthesis. Wllington: Ministry of education. 2003.
Armstrong, Thomas. 7 Ways to Bring Out the Best in Special-Needs Students.
(online), http://www.edweek.org/tm/articles/2013/04/08/fp_armstrong.html,
diakses pada tanggal 4 Januari 2017, pukul 22.00.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Tafsir Al-Qur‟anul Majid An-Nur
vol 5, diterjemahkan oleh Nouruzzaman Shiddiqi, M.A. dan Z. Fuad Hasbi
Ash Shiddiqy. Semarang: PT. Pustaka Rizka Putra. 2003.
Asiyah, Dewi. Dampak Pola Pembelajaran Sekolah Inklusi Terhadap Anak
Berkebutuhan Khusus. Gema Wiralodra. Vol. VII, No. 1. Juni, 2015.
Bakri, Masykuri & Nur Wakhid. Quo Vadis Pendidikan Islam Klasik Perspektif
Intelektual Muslim. Surabaya: Visipress Media. 2010.
Bungin, M. Burhan. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Cetakan Ke-V. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group. 2011.
Department of Education and Science. Inclusion of Students with Special
Educational Needs Post-Primary Guidelines. Dublin: Stationey Office.
2007.
Departemen Agama RI. Al-Qur‟an dan Terjemahannya. Semarang: CV. Asy
Syifa‟.
Djamarah, Syaiful Bahri & Aswan Zain. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta:
Rineka Cipta. 2002.
Dwimarta, Rahmasari. Rancangan IEP (Individualized Educational Program)
Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Pada Pendidikan Inklusif, Prosiding
Seminar Nasional Pendidikan “Meretas Sukses Publikasi Ilmiah Bidang
Pendidikan Jurnal Bereputasi”. Surakarta: Universitas Sebelas Maret
Surakarta dan ISPI Wilayah Jawa Tengah. 2015.
219

Fariqah, Manajemen Peningkatan Kualitas Pembelajaran Pada Madrasah


Tsanawiyah (Studi Kasus Pembelajaran Matematika di Madrasah
Tsanawiyah Negeri Winong Kabupaten Pati)”, Program Pascasarjana
Universitas Negeri Semarang, 2007.
Firdaus, Firman Shakti, Muhammad Nasri Md. Hussain, Mohd Norhasni Mohd
Asaad dan Rushami Zien Yusoff. Quality Management Concept Based On
Islamic Worldview. International Academic Research Journal of Business
and Technology, No. 1, Vol. 2. 2015.
Ford, Jeremy. Educating Students with Learning Disabilities in Inclusive
Classrooms. Electronic Journal for Inclusive Education. Vol. 3, No. 1
Musim Dingin. 2013.
Funny, Romy Andro. Strategi Peningkatan Mutu Pembelajaran di Madrasah
Tahfizul Qur‟an Isy Karima Kecamatan Karangpandan Kabupaten
Karanganyar. Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta,
2011.
Gunarhadi. Program Pembelajran Individual (PPI). FISIP UNS Surakarta. 2010.
Hadis, Abdul. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Autistik. Bandung:
Alfabeta. 2006.
Hardjosoedarmo, Soewarso.Total Quality Management. Yogyakarta: Andi Offset,
2004.
Hardjosoedarmo, Suhail Mahmoud dan Majdoleen Sultan Bani Abdel Rahman.
“The Effect of Resource Room on Improving Reading and Arithmetic Skills
for Learners with Learning Disabilities”. International Journal of Scientific
Research in Education. Volume. 5. No. 4. Desember. 2012.
Hasbullah. Dasar-Dasar Pendidikan. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. 2009.
Hidayah, Nurul. Strategi Peningkatan Mutu Pembelajaran Matematika Dalam
Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa (Studi Multi Situs Pada MI
Muhammadiyah Salamrejo dan MI Thoriqul Huda Kerjo Kecamatan
Karangan Kabupaten Trenggalek). Program Pascasarjana IAIN
Tulungagung, 2015.
http://kbbi.web.id/ajar, (online), diakses tanggal 26 September 2016, pukul 19.28
WIB.
Jones, Vern, dan Louise Jones. Manajemen Kelas Komprehensif. terj. Intan
Irawati. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2012.
K, Yin. R. Studi Kasus, Desain dan Metode. Terjemah oleh M. Jazi Muzakir.
Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1987.
Kemendikbud. Petunjuk Peningkatan Mutu Pendidikan di Sekolah, (Jakarta:
Kemendikbud. 2014.
Kustanti, Wahyu Dini. Pemanfaatan Lingkungan Sebagai Sumber Belajar untuk
Meningkatkan Keaktifan dan Hasil Belajar Geografi Kelas XI-IPS 3 di
220

SMAN I Lawang Kabupaten Malang. Pendidikan Geografi, Universitas


Negeri Malang,. 2013.
Lailiyah, Anisiatul. “Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) Kelas VII Tunarungu dengan Media Visual di
SLB Kemala Bhayangkari 1 Trenggalek” Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan IAIN Tulungagung, 2015.
Maftuhatin, Lilik. Evaluasi Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Di
Kelas Inklusif Di SD Plus Darul „Ulum Jombang. Religi: Jurnal Studi
Islam. Volume 5, Nomor 2. Oktober. 2014.
Malang Post, Ambil Rapor Sekaligus Membeli Karya Siswa, http://www.malang-
post.com/pendidikan/ambil-rapor-sekaligus-membeli-karya-siswa, diakses
tanggal 13 Agustus 2016.
Marzuki. Metodologi Riset. Yogyakarta: BPEF-UII. 2000.
Milles, Mattew B. dan A. Michael Huberman, Qualitative Data Analys. Terj.
Jetjep Rohendi Rohidi, Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press. 1992.
Muhajir, Noeng. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial: Teori Pendidikan
Pelaku Sosial Kreatif. Yogyakarta: Rake Sarasin. 2000.
Mulyono. Strategi Pembelajaran; Menuju Efektivitas Pembelajaran di Abad
Global. Malang: UIN-Maliki Press. 2011.
Nasser Al-Salmani, Everard A. van Kemenade, dan Teun W. Hardjono, A Quality
Management Approach from Islamic Perspective, online,
https://www.researchgate.net/publication/281746531_A_Quality_Managem
ent_Approach_from_Islamic_Perspective, diakses pada 25 Desember 2016,
pukul 18.55 WIB
Nur, Gina Dewi Lestari. Pembelajaran Vokal Grup Dalam Kegiatan
Pembelajaran Diri di SMPN 1 Panumbangan Ciamis. Universitas
Pendidikan Indonesia. 2014.
Padmadewi, Ni Nyoman. Meningkatkan Kualitas Pembelajaran di Sekolah Dasar
Kecamatan Buleleng Melalui Pelatihan Strategi Pembelajaran dan
Penelitian Tindakan Kelas. Online.
http://pasca.undiksha.ac.id/images/img_item/735.doc, diakses tanggal 21
September pukul 07.38 WIB.
Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif. Departemen Pendidikan
Nasional Direktorat Jenderal Mandikdasmen Direktorat Pembinaan Sekolah
Luar Biasa. 2007.
Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2016 Tentang
Standar Proses Pendidikan Dasar Dan Menengah.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 41 Tahun 2007
tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum
221

Prosedur Operasi Standar Pendidikan Inklusif. Direktorat Pembinaan Sekolah


Luar Biasa. 2007.
Rocchyadi, E. Program Pembelajaran Individual. (online), www.file.upi.edu,
diakses tanggal 7 Desember 2015. pukul 02.00.
Rosdijati, Nani & Widyaiswara Madya. Peran dan Fungsi Guru dalam
Meningkatkan Mutu Pembelajaran. (online).
http://www.lpmpjateng.go.id/web/index.php/arsip/karya-tulis-ilmiah/899-
peran-dan-fungsi-guru-dalam-meningkatkan-mutu-pembelajaran, diakses
tanggal 8 Desember 2016, Pukul 01.26 WIB
Sallis, Edward. Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan. Terj. Ahmad Ali riyadi
& Fahrurrozi. Jogjakarta: IRCiSoD. 2011.
Slavin. Analisis Data pada Penelitian Kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia.
2005.
Smith, J. David. Inklusi, Sekolah Ramah untuk Semua. Terj. Oleh Denis & Ny.
Enrica. Bandung: Penerbit Nuansa. 2006.
Solikah, Alfiatu. “Strategi Peningkatan Mutu Pembelajaran Pada Sekolah
Unggulan (Studi Multi Situs di MI Darul Muta‟alimin Patianrowo Nganjuk,
MI Muhammadiyah 1 Pare dan SD Katolik Frateran 1 Kota Kediri”,
Didaktika Religia, Volume 2, No. 1 Tahun 2014.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
2011.
Suherman, Yuyus. Pengembangan Media Pembelajaran Bagi ABK. Makalah
disampaikan pada Diklat Profesi Guru PLB Wilayah X Jawa Barat Bumi
Makmur. Lembang Bandung. 2008.
Supriyanto, Dede. Modul Pengembangan Kurikulum ABK. Bandung: Kementerian
Pendidikan Dan Kebudayaan Pusat Pengembangan Dan Pemberdayaan
Pendidik Dan Tenaga Kependidikan Taman Kanak-Kanak Dan Pendidikan
Luar Biasa.
Tarnoto, Nissa. Permasalahan-Permasalahan yang Dihadapi Sekolah
Penyelenggara Pendidikan Inklusi pada Tingkat SD. HUMANITAS. Vol. 13
No. 1 .2016.
Tuslina, Tina. Perkembangan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus di
Indonesia. http://www.kompasiana.com/tanamilmu/perkembangan-
pendidikan-anak-berkebutuhan-khusus-di-indonesia. diakses tanggal 12
Agustus 2016.
Utina, Sitriah Salim. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Tadbir; Jurnal
Manajemen Pendidikan Islam. Vol. 2. No. 1.Februari. 2014.
Wahidmurni. Cara Mudah Menulis proposal dan Laporan Penelitian Lapangan,
Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif: Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Malang: UM
Press. 2008.
222
223

Lampiran 1

Surat Izin Penelitian di MIT Ar-Roihan Lawang


224

Lampiran 2
Surat Izin Penelitian di SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman” Malang
225

Lampiran 3

Surat Keterangan Penelitian MIT Ar-Roihan Lawang


226

Lampiran 4

Surat Keterangan Penelitian di SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman”

Lampiran I
227

Lampiran 5

Profil MIT Ar-Roihan

1. Struktur Organisasi MIT Ar-Roihan Lawang


Ketua Yayasan : Farid Afandi
Kepala Madrasah : Lailil Qomariyah, S.Pd I
Ketua Komite : Fakhrudin Alamsyah, S.Kom
Sekretaris : Deviana Ernawati S.Pd I
Bendahara : Laili Infitamala
Waka Tahfidz : Toha Luqoni, S.Sos
Waka Humas : Redite Kurniawan, S.Pd
Waka Sarpras : Yuniar Kamelia, S.Pd
Waka Kesiswaan : Kustono, S.Pd
Waka Litbang : Yuni Padmi Srianingsih, S.H
Waka Kurikulum : Miftachul Chotimah, S.Pd I
Kepala UKS : Lu‟lu‟il Mahfudhoh, S.Psi
Kepala Perpustakaan : Hanis Ratnasari, S.Pd I
Koordinator Rumah Tangga : Ari Wahyuni, S.Pd
Koordinator Inklusi : Ema Fitriyah, S.Pd
Ketua Ta‟mir Perempuan : Nur Eliya Yulianti
Ketua Ta‟mir Laki-laki : Nurul Huda

2. Visi dan Misi


a. Visi
Terwujudnya Generasi Indonesia Global Qur‟ani
b. Misi
1) Menyelamatkan fitrah anak dengan penguatan akhidah ketauhidan
2) Menanamkan pemahaman dan keyakinan peserta didik tentang ajaran
Islam yang benar sesuai Al-Qur‟an dan Sunnah
3) Menanamkan rasa hormat dan cinta pada Al-Qur‟an
228

4) Mengembangkan kapasitas intelektual, emosional dan spiritual peserta


didik sehingga mempunyai penguasaan IPTEK yang baik dan
didukung IMTAK yang kuat serta mendukung pertumbuhan anak di
aspek social, fisik, emosi, dan budaya
5) Menanamkan rasa percaya diri peserta didik untuk mengembangkan
seluruh potensi positif yang ada pada dirinya
6) Menanamkan sikap atau perilaku (akhlak) yang mulia terhadap Allah,
sesama manusia dan alam sekitarnya
7) Menyiapkan peserta didik utnuk menjadi warga dunia yang
berwawasan global
229

Lampiran 6

Profil SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman”

1. Identitas Lembaga

Nama Lembaga : SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman”


Tahun Berdiri : 01 JANUARI 1969
NSS : 104056101112
NPSN : 20534069
Status : Swasta
Akreditasi :A
Alamat Lembaga : Jl. R. Tumenggung Suryo No. 5
- Kelurahan : Rampal Celaket
- Kecamatan : Klojen
- Kota : Malang
- Propinsi : Jawa Timur
- Telp. & Faks : 0341 – 407696
- E-mail : sdmuh9mlg@yahoo.co.id

2. Visi, Misi, dan Tujuan


a. VISI

Menjadi Sekolah Unggul yang Mampu Menghasilkan Lulusan Unggul dalam


Prestasi, Cakap dalam Kreasi dan Berkepribadian Islami

b. MISI
1) Menyelenggarakan pendidikan dan pembelajaran secara efektif, inovatif,
kreatif, menantang, menyenangkan, demokratis, dan berkeadilan.
2) Menanamkan dan membudayakan nilai-nilai Islami kepada semua
komponen sekolah
3) Menciptakan suasana akademik yang kondusif bagi pengembangan
kreativitas siswa
230

4) Menanamkan budaya mutu kepada semua komponen sekolah


5) Membantu siswa mengenali dan mengembangkan bakat dan minatnya
secara optimal.
6) Memberdayakan semua potensi sekolah dalam rangka bersama-sama
meningkatkan mutu pendidikan.
7) Meningkatkan layanan kepada pelanggan secara terus-menerus.
8) Menjalin kerja sama secara sinergis dengan berbagai instansi terkait dan
dengan masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.
9) Melaksanakan manajemen strategis dalam pengelolaan pendidikan.

c. TUJUAN
1) Meningkatkan kuantitas dan kualitas layanan input
2) Menghasilkan lulusan yang cerdas, berakhlak mulia, beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
3) Menghasilkan lulusan yang berdaya saing tinggi untuk melanjutkan ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
4) Menghasilkan lulusan yang memiliki wawasan luas dan kreatif.
5) Menghasilkan lulusan yang memiliki kepedulian terhadap kebersihan,
kesehatan, dan lingkungan.
6) Menghasilkan lulusan yang mampu mengenali dan mengembangkan
dirinya, potensi, bakat, dan minatnya sehingga menjadi insan yang kreatif
berkembang secara optimal.
7) Menghasilkan lulusan yang sehat jasmani, rohani, dan berkembang
inteleknya secara optimal dilandasi nilai-nilai Islam.
3. Program Unggulan Sekolah
a. Kerohanian
1) Pembinaan Sholat Duha
2) Pembengkapi binaan Sholat Duhur
3) Pembinaan Mengaji Metode Tilawati
4) Pembinaan Budi Pekerti
5) Pembinaan Hafalan Surat-surat pendek
231

6) Pembinaan Hafalan Doa-doa harian


7) Pembinaan Keputrian dan keputraan
b. Kesiswaan
1) Hizbul Wathan
2) Tapak suci
3) Robotic
4) Drumband
5) Menggambar dan Mewarna
6) Tari
7) Tartil Al- qur‟an
8) Bahasa Inggris
9) Pembinaan Bahasa (Drama, Pidato, Puisi, Jurnalistik)
c. Program Akademik
1) PBM Paikem, (Pembelajaran Aktif Inovatif Kreatif Efektif dan
Menyenangkan)
2) Pembinaan siswa SCP (Supporting Class Program)
3) Hacalis (Harus Membaca dan Menulis)
4) Pembelajaran keluar
5) Moving Class
d. Fasilitas Belajar Siswa
1) Tempat Ibadah (Masjid)
2) Ruang kelas yang represntatif
3) Laboratorium IPA
4) Laboratorium Bahasa Inggris
5) Laboratorium IPS
6) Laboratorium Matematika
7) Laboratorium Agama
8) Laboratorium Bahasa Indonesia
9) Laboratorium Komputer
10) Bengkel Kesenian
11) Fasilitas Multimedia
232

12) Aula
13) Lapangan Olah Raga
14) Perpustakaan
15) Kantin
16) Koperasi Sekolah
17) Kamar kecil
18) Loker untuk setiap siswa
19) Layanan bimbingan siswa (BK)
20) Layanan Dokter Keluarga
21) Layanan kesehatan siswa (UKS)
22) Tempat bermain

e. Prestasi siswa Tahun Ajaran 2013 - 2014


NO JENIS LOMBA PESERTA HASIL KETERANGAN
1. Smart MIPA Nabil Ahmad Juara 1 Primagama Tugu,
Competition 2013 Zulfahmi 13 Oktober 2013
Rafandi Juara 3
Ramadhan
2. Mewarna Khailila Juara 1 SMPK Frateran C-21,
Arumdapta 3 November 2013
Fauzan Yusuf Juara 2
Prasetyo
3. Try Out Nadya Alya Juara 1 Primgama Semanggi
Kepahlawanan Banafsaj Soekarno Hatta,
10 November 2013
4. Pildacil Nadya Alya Juara 1
Banafsaj
Nindya Shafa Juara 2
Gebyar Muharram SMP
LN
Muhammadiyah 3, 30
5. Menggambar dan Khailila Juara 1
November 2013
Mewarna Arumdapta
6. Fashion Muslim Riham Juara 1
Abdillah
233

f. Kegiatan sekolah
Hari Kelas 1 – 3 Kelas 4 – 6

Senin 06.45 – 13.00 06.45 – 14.00

Selasa 07.15 – 13.00 07.15 – 14.00

Rabu 07.15 – 13.00 07.15 – 14.00

Kamis 07.15 – 13.00 07.15 – 14.00

Jumat 07.00 – 10.45 07.00 – 10.45

Sabtu 07.15 – 11.30 07.15 – 11.30

Data Siswa Sd Muhammadiyah 9 Tahun Pembelajaran 2013/2014

Kelas Jumlah siswa

1 101

2 97

3 81

4 47

5 60

6 60
234

Lampiran 7

Lembar Observasi

LEMBAR OBSERVASI

PROSES PEMBELAJARAN SISWA BERKEBUTUHAN KHUSUS

1. Nama Guru Kelas :


2. Nama Guru Shadow :
3. Nama Siswa/Kelainan :
4. Sekolah :
5. Kelas/Semester :
6. Hari/tanggal/Jam :
7. Tema/Sub Tema :

Deskripsi Hasil
No. Aspek yang diamati
Temuan
1 Mempersiapkan siswa untuk belajar

2 Melakukan kegiatan apersepsi

3 Menguasai materi pembelajaran

4 Mengaitkan materi dengan pengetahuan lain yang relavan


Menyampaikan materi dengan jelas, sesuai dengan hierarki
5
belajar dan karakteristik siswa
6 Mengkaitkan materi dengan realitas kehidupan
Melaksanakan pembelajaran sesuai dengan kompetensi(tujuan)
7
yang akan dicapai dan karakteristik siswa
8 Menggunakan media secara efektif dan efisien

9 Memusatkan perhatian siswa

9 Menghasilkan pesan yang menarik

10 Melibatkan siswa dalam pemanfaatan media


235

11 Menumbuhkan partisipasi aktif siswa dalam pembelajaran

12 Menunjukkan sikap terbuka terhadap respon siswa

13 Menumbuhkan keceriaan dan antusiasme siswa dalam belajar

14 Memantau kemajuan belajar selama proses


Menggunakan bahasa lisan dan tuliasan secara jelas, baik dan
15
benar
16 Menyampaikan pesan dengan gaya yang sesuai

17 Menyampaikan pesan-pesan moral


Melakukan refleksi atau membuat rangkuman dengan
17
melibatkan siswa
Catatan:
236

Lampiran 8

Pedoman Wawancara

A. Pedoman Wawancara Kepala Sekolah dan Wakil Kepala Sekolah

Fokus Pertanyaan

Proses menjadi sekolah inklusi Bagaimana sejarah berdiri dan proses menjadi
sekolah inklusi?

Manajemen siswa berkebutuhan Bagaimana standar penerimaan siswa


khusus berkebutuhan khusus?

Pembelajaran Siswa Bagaimana Pembelajaran Siswa


Berkebutuhan Khusus Berkebutuhan Khusus?

Kendala Pembelajaran Siswa Kendala apa yang anda hadapi selama


Berkebutuhan Khusus melaksanakan strategi tersebut?

Startegi Peningkatan mutu Bagaimana Strategi Anda untuk


pembelajaran siswa berkebutuhan meningkatkan mutu pembelajaran bagi siswa
khusus berkebutuhan khusus?

B. Pedoman Wawancara Guru Kelas dan Guru Pendamping Khusus (GPK)

Fokus Pertanyaan
Pembelajaran Siswa Berkebutuhan Bagaimana Pembelajaran Siswa Berkebutuhan
Khusus Khusus MIT Ar-Roihan?
Bagaimana langkah menyusun IEP?
Apa saja acuan Anda dalam menyusun IEP?
Bagaimana Anda menyiapkan siswa untuk belajar?
Bagaimana Anda memotivasi siswa?
Bagaimana Anda menerapkan pendekatan
saintifik?
237

Bagaimana Evaluasi ABK?


Kendala Pembelajaran Siswa Kendala apa saja yang anda hadapi selama
Berkebutuhan Khusus melaksanakan pembelajaran bagi siswa
berkebutuhan khusus?
Startegi Peningkatan Mutu
Bagaimana Strategi Anda untuk meningkatkan
Pembelajaran Siswa Berkebutuhan
mutu pembelajaran siswa berkebutuhan khusus?
Khusus
Lampiran 9

Transkrip Wawancara MIT Ar-Roihan Lawang

Informan Lailil Qomariyah, S.Pd I


Status Kepala MIT Ar-Roihan
Informan
Lokasi Kantor Tata Usaha
Tanggal 20 Oktober 2016

Pewawancara
Fokus (P) dan Pertanyaan dan Jawaban
Informan (I)
Proses menjadi Bagaimana sejarah berdiri dan proses
P
sekolaha inklusi menjadi sekolah inklusi?
Awal itu kita tidak tahu kalau anak ini
susah, misalnya mengganggu temannya
dan lain sebagainya, justru dari itu kita
mencari tahu apa yang terjadi dengan anak
ini, kita Tanya ke orang tuanya, riwayat
kelahiran dan lain sebagainya. Dari situ
kita tahu “Oh anak ini harus begini dulu,
dibuat supaya Susana kelasnya nyaman
bagaimana, gurunya mengkondisikan di
kelas supaya teman-temannya bisa
menerima.
I Kalau kerja sama dengan dinas PLB tidak,
kita kan dulu pernah nanya ke Diknas, tapi
kita kan MI jadi dibawah naungan
Kemenag. Waktu itu belum ada MoU
antara Diknas dan Kemenag. Akhirnya kita
cari jalan sendiri. Kita ajak guru-guru studi
banding ke SLB. Kita minta tolong kalau
misalnya ada mungkin hal-hal yang salah
dalam penanganan kita barangkali mereka
bisa bantu. Kemudian kita juga cari ilmu,
saya sendiri terus guru-guru yang lain kita
ikutkan pelatihan, ikut kuliah Diploma
238

khusus untuk anak-anak ABK. Sehingga


semua guru-guru yang saya minta untuk
menjadi pendamping ABK saya kasih
bukunya. Saya minta “ayo belajar, nanti
gentian presentasi ke teman-temannya”
kita adakan pelatihan internal seminggu
sekali di sini.
Semuanya berproses, karena kita sabar ya,
bertahun-tahun. Kalau mungkin di luar ada
yang berkata “oh sekolah kok nerimo arek
ngunu, wes macem-macem lah. Omongan
yang jelek-jelek di luar itu, bisa kita tepis
dengan “oh ternyata wali murid bilang
“kita puas”. Jadi dari tahun ke tahun ada
kepuasan wali murid. Ada rasa bangga
ternyata anaknya bisa sosialisasi, anaknya
bisa mandiri dan lain sebagainya. Itu yang
menyebabkan mereka menyebarkan dari
mulut-ke mulut ke orang lain. Sampai
akhirnya kita mendapat SK dari Kemenag
menjadi madrasah inklusi pelopor.
Manajemen siswa Bagaimana standar penerimaan siswa
berkebutuhan berkebutuhan khusus?
khusus Awal berdiri tahun 2008 semua anak yang
daftar, yang masuk ya kita terima.
Kondisinya apapun kita terima. Begitu
sudah masuk baru tahu, “anak ini kok
berbeda ya, anak ini kok begini ya” terus
kita melakukan observasi, meneliti, “oh
emang ini yang namanya berkebutuhan
khusus” penanganannya begini, harus ada
treatmen-treatmen sendiri.
Pembelajaran Bagaimana Pembelajaran Siswa
P
Siswa Berkebutuhan Khusus?
Berkebutuhan Pembelajaran sesuai dengan
Khusus kebutuhannya, jadi tidak dari pemerintah
didrop langsung ke anak-anak. Kan kita
harus koreksi semua. Kalau misalnya ada
KD-KD yang anak-anak nggak butuh ya
kenapa kita kasihkan? Nggak usah, jadi
I
kira-kira mana yang dibutuhkan anak itu,
mereka mampu, mereka bisa memahami,
ya sudah kita kasih, dan itu dijadikan
praktek untuk sehari-hari. Jadi kita fokus
pada prosesnya, bukan pada nilainya.
Kita juga tidak menyebut diri sebagai
239

sekolah inklusi, tidak. Kita juga ndak tahu


waktu itu inklusi itu apa ABK itu apa, kita
sama sekali tidak tahu. Kita Cuma
berusaha memberikan pelayann yang
terbaik. Kalau anak seperti ini bagimana
pelayanannya. Lama kelamaan, setelah 4
tahun, kita baru tahu yang namanya inklusi
itu begitu, ABK itu apa penangannyannya
bagaimana, baru waktu kita mulai
administrasinya. Jadi mulai dari
assessment, proving sampai jadi
Individualized Education Program (IEP),
bagaimana menyusun raport. Sebelumya
sama dengan anak reguler, cuma
penangannya aja yang harus lebih sabar,
lebih telaten, kita kasih individual. Tapi
raport masih sama. Setelah kita belajar 3-4
tahun, kita paham, “oh kalau slow learner
indikatornya harus diturunkan, tapi bagi
anak yang tidak ada masalaha dengan
intelektualnya bisa ikut reguler. Itu
misalnya secara fisik ada hambatan, tapi
kalau secara intelektual nggak ada
masalaha, ya udah lanjut aja ikut reguler.
Wali murid sekarang sudah support,
mereka turut bangga kalau sekolah
anaknya inklusi, mereka ikut
mempromosikannya ke oaring lain. Kalau
mungkin ada satu atau dua orang yang
merasa, mungkin anakya pernah dipukul,
itu mereka ada ekspresi kecewa sedikit.
Dan itu bisa terjadi dengan anak reguler
manapun.
P Bagaimana Anda memotivasi siswa?
Kita berharapnya anak-anak ini bisa
menemukan dunia belajar mereka sesuai
dengan jiwa mereka, jiwa anak-anak.
Kalau yang selama ini sistemnya yang
masih kompetensi-kompetensi. Tuntutan
dari pemerintah yang harus begini-begini
I
itu, itu kan tuntutan dari orang-orang yang
ada di atas, nah saya pengennya suatu saat
anak-anak bisa belajar sesuai dengan
keinginan anak-anak. Yang dibutuhkan
apa. Kita, guru-guru yang disini ini yang
lebih dekat lebih tahu apa ytang
240

dibutuhkan anak-anak. “oh kamu nggak


berbakat di sana” kamu bisanya di sini”
Selama ini kan mata pelajaran semua dari
pemerintah, andaikan ada satu atau dua
mata pelajaran yang diwajibkan
pemerintah yang lainnya bisa dikelola
guru-guru sendiri berdasarkan pantauan
dan observasi guru, ya itu yang saya
harapkan. Suatu saat bisa mandiri
membuat kurikulum sendiri
Kendala Kendala apa yang anda hadapi selama
Peningkatan P melaksanakan pembelajaran bagi siswa
Mutu berkebutuhan khusus?
Pembelajaran Kesulitan-kesulitannya ya memang satu
Siswa kita harus sosialisasi ke guru-guru untuk
Berkebutuhan menyampaikan bahwa anak-anak seperti
Khusus ini mengalami masalah dan kita perlu
bantu bukan menolak apalagi
mengeluarkan. Tapi bagaimana caranya
kita bantu. Kalau kita nggak punya
ilmunya ya kita cari ilmunya. Terus yang
kedua sosisalisasi ke masyarakat, ke wali
murid. Karena wali murid juga tidak
semuanya menerima anak-anak kita. Jadi
kita datangkan, kita undang, kita
sampaikan “andaikan apa yang terjadi
pada anak-anak itu terjadi pada diri kita
sendiri, tentu kan tidak ada orang tua yang
tahu anaknya lahir seperti apa, begitu
I dapat amanah dari Allah anaknya seperti
itu, apa yang harus kita lakukan?
Menolak? Atau dibuang? Kang nggak
mungkin. Kita pasti akan menerimanya
dengan rela atau terpaksa. Setelah kita
terima kan kita harus cari apa yang
menyebabkan, terus bagaimana cara
penanganannya, kan kita memang harus
cari ilmunya. Nah kalau sosialisasi ke guru
dan wali murid sudah, baru kita carikan
penanganan-penanganan. “oh dia nggak
bisa di kelas ramai, oh dia nggak bisa
kalau dilakukan pembelajaran secara
klasikal, dia bisanya individual, dia
bisanya harus terbatas sedikit-sedikit,
indikatornya diturunkan dan lain-lain.
Kalau mindsetnya betul, jalannya bisa
241

bareng. Tapi kalau mindset gurunya masih


pakai paradigm lama, nah itu jadi kendala.
Kalau sudah bisa diklik ini mindsetnya
mendidik seperti ini, proses seperti ini
kemudian penilaiannya begini. Kalau itu di
awal sudah selesai itu biasanya kita ada
orientasi di awal. Tapi kadang ada guru
yang paham, ada juga yang bertahan
dengan paradigmanya yang lama. Itu yang
jadi kendala.
Monitoring dari kemenag belum ada,
karena kemenag itu masih baru dan kita ini
masih dijadikan percontohan. Jadi tidak
ada standar baku. Kalau anak-anak itu
nggak pakai standar karena unik, anak-
anak sendiri yang menentukan. Standar itu
malah kaya pabrik. Kalau manusia kan
punya fitrah sendiri-sendiri jadi
sebenarnya nggak bisa dibakukan. Kalau
mau buat aturan-aturan khusus untuk anak
reguler ya silahkan saja, tapi kalau kita
melihat mereka sebagai manusia secara
utuh yang memiliki kelebihan dan
kekurangan ya tidak bisa disama ratakan.
Startegi Bagaimana Strategi Anda untuk
Peningkatan mutu P meningkatkan mutu pembelajaran bagi
pembelajaran siswa berkebutuhan khusus?
siswa Untuk meningkatkan mutu pembelajaran
berkebutuhan kami menerapkan pelatihan guru bertahap,
khusus karena mahal. Saya waktu itu awal ikut
diploma satu di CAE Surabaya. CAE/
College of Allied Educator punya
Singapura. Di Indonesia baru ada di dua
tempat, di Jakarta dan Suarabaya. Saya
pertama ikut, biayanya 15 juta selama satu
tahun, Diploma satu. Kemudian ada
I seminar-seminar yang Cuma
seminggu/enam hari itu saya kirim guru-
guru. Satu orang satu juta. Itu saya kirim 8
orang. Terus selesai, ada kesempatan
berikutnya saya kirim 6 orang. Terus
begitu sampai sekarang juga begitu. Kita
masih studi banding kemana, kita
workshop kemana. Psikolog juga pernah
datang kesini. Jadi kita adakan kerjasama
dengan psikolognya. Kalau misalnya ada
242

anak-anak ABK yang oaring tuanya


memrlukan konsultasi atau anaknya harus
pemeriksaan intens. Ya kita janjian
orangnya bisanya kapan, waktu datang ke
sini wali muridnya kita undang. Nanti
setelah beberapa pertemuan ketemu
hasilnya. Mereka bayar sendiri langsung
ke psikolognya tapi kalau dikoordinir
sekolah ada diskon. Sekarang ini ada 3
guru yang saya kirim UNAIR, harinya
jum‟at sabtu minggu untuk mengikuti
diklat selama 2 bulan.
Kita berusaha semaksimal mungkin
memberikan pelayanan. Sebelum ada
akreditasi, peningkatan mutu dan lain
sebagainya, kita memang dari awal sudah
bertekat memberikan pelayanan yang
sebaik-baiknya kepada mereka. Kalau
misalnya ada complain segera kita tindak
lanjuti. Kalau misalnya ada pa-apa yang
sekiranya kurang ya kita rapatkan, kita
evaluasi, mungkin sarananya, mungkin
medianya, atau kemampuan guru-gurunya
dalam mengelola. Nah itu kita adakan
pelatihan-pelatihan khusus untuk
karyawan dan guru-guru supaya bisa
melayani dengan maksimal.
Kalau anaknya parah ya satu shadow satu
anak. Tapi kalau misalnya nggak parah ya
dua atau tiga anak satu orang.
Kalau ada guru baru, kita adakan
pelatihan. Setiap tahun ada pelatihan untuk
guru-guru baru. Cuma daaya serapnya
guru baru itu nggak sama. Ada yang mau
menerima secara terpaksa, ada yang
menerima karena paham, ada juga yang
mungkin menolak. Yang menolak itu
biasanya nggak lama, sebulan dua bulan
nggak sesuai ya pulang.
Istilah shadow itu ya 4 tahunan ini, kalau
dulu semua dilayani oleh guru reguler. Dan
di awal-awal nggak berat seperti sekarang.
243

Informan Miftachul Chotimah, S.Pd I


Status Informan Kepala MIT Ar-Roihan
Lokasi Kantor Tata Usaha
Tanggal 20 Oktober 2016

Pewawancara
Fokus (P) dan Pertanyaan dan Jawaban
Informan (I)
Proses menjadi Bagaimana sejarah berdiri dan proses
P
sekolaha inklusi menjadi sekolah inklusi?
Sejak awal berdiri MIT Ar-Roihan sudah
menerapkan pendidikan inklusi, akan
I tetapi belum mendapatkan legalitas
secara formal sebagai sekolah
penyelenggara pendidikan inklusi
Manajemen siswa Bagaimana standar penerimaan siswa
berkebutuhan berkebutuhan khusus?
khusus Sebenarnya kita ingin menerima semua
murid yang mendaftarkan diri ke sini,
apapun kondisinya. Tapi fasilitas
penunjang belum memadai. Misalnya
anak tunanetra, kita kan harus
menyiapkan fasilitas dan tenaga yang
sanggup dan mampu menanganinya, dan
itu sulit.
Pembelajaran Bagaimana Pembelajaran Siswa
P
Siswa Berkebutuhan Khusus?
Berkebutuhan Di sini menggunakan IEP ya, jadi setiap
Khusus shadow menyusun IEP di awal semester.
I Masing-masing anak di dampingi 1
shadow. Jadi yang melakukan
pembelajaran ya shadow itu.
P Bagaimana Anda memotivasi siswa?
Untuk siswa berkebutuhan khusus
memang membutuhkan perlakuan
I berbeda, dalam hal motivasi misalnya,
kadang apa yang biasa kita sampaikan
kpada siswa reguler belum tentu cocok
244

untuk siswa berkebutuhan khusus. Jadi


kita harus perhatikan apa yang
menyebabkan siswa down, cari
penyebabnya dulu
Kendala Kendala apa yang anda hadapi selama
Peningkatan Mutu P melaksanakan pembelajaran bagi siswa
Pembelajaran berkebutuhan khusus?
Siswa Pada awal-awal dulu kita harus berusaha
Berkebutuhan keras membiasakan lingkungan bisa
Khusus menerima keberadaan mereka. Dulu
masih banyak siswa bahkan orangtua
yang sinis, memandang sebelah mata
I
siswa ABK. Dari segi fasilitas juga kita
belum memadai ya, kan kita juga
terhitung sebagai sekolah baru. Tapi
Alhamdulillah sekarang sudah mulai ada
perubahan
Startegi Bagaimana Strategi Anda untuk
Peningkatan mutu P meningkatkan mutu pembelajaran bagi
pembelajaran siswa berkebutuhan khusus?
siswa Ada pelatihan rutin yang kita adakan
berkebutuhan sendiri setiap bulan. Terutama untuk
khusus guru-guru baru. Biasanya yang ngasih
materi ya koordinator inklusi sendiri
beberapa kali kita juga menghadirkan
narasumber dari luar. Kita kan ada
I
kerjasama dengan dinas PLB. Tapi itu
juga baru-baru ini, dulu belum. Kita juga
secara berkala mengirim guru-guru di sini
untuk mengikuti kursus di luar, seperti di
Surabaya. Tapi itu pun juga terbatas
karena biayanya mahal.

Informan Abdul Malik, S.Pd


Status Informan GPK Kelas V Alighar
Lokasi Teras Ruang Sumber/Inklusi
Tanggal 13 Oktober 2016

Pewawancara
Fokus (P) dan Pertanyaan dan Jawaban
Informan (I)
Pembelajaran Bagaimana Pembelajaran Siswa
P
Siswa Berkebutuhan Khusus MIT Ar-Roihan?
245

Berkebutuhan Kalau standar pembelajarannya ya IEP ini.


Khusus Kalau saya biasanya lihat materi dulu.
Misalnya materi skala, kan tidak mungkin
bagi dia karena terlalu tinggi, ya saya ubah
menjadi perbandingan kan hampir sama
karakteristiknya. Jadi, materi skala saya
buang. Jadi acuannya buku dulu, materi ini
masuk KD mana, soalnya kalau saya
mengacu pada KD nanti ribet di materinya.
“Saya kadang, untuk mapel2 seperti b. arab,
dia nulis aja kan kesulitan, teman2nya
belajar bahasa arab ya sudah saya ambil
belajar nulis tok, jadi misalnya hurufnya
dipisah-pisah dia disuruh nyambung. Sangat
sederhana. Terus kaya perkalian dan
pembagian misalnya, teman2nya pembagian
gitu, misalnya porogapit, ya dia
I
pembagiannya pembagian yang misalnya
2x5 kan 10 terus 10:2 berapa gitu.
Kebetulan anak ini sudah hapal perkalian
sampe 10. Cuma kalau dibalik misalnya
6x8=42 terus ditanya 8x6 berapa itu tidak
bisa. Ya kalau gitu, biasanya saya tulis dulu
di papan, seperti perkalian 2 kotak terus
hasilnya gitu. Misalnya 6x8=42 baru
bawahnya saya tulis, 6x berapa = 42 kaya
gitu dulu. Berapanya saya kasih symbol
kotak biasanya. Baru 42 dibagi 6 tp baru
sebatas itu, untuk lebih besar dan lebih kecil
masih kesulitan. Tapi kalau saya pakai
istilah mana yang lebih banyak dia tahu.
Tapi ya agak sulit juga kalau ngajarkan
matematika dg istilah mana yang lebih
banyak.”
P Bagaimana langkah menyusun IEP?
“KI dan KD memang ada, tapi saya
biasanya lebih banyak melihat ke materi.
Jadi saya baca dulu materinya, dia bisa apa
nggak, kalau nggak, materi itu masuk KD
mana, maka KD itu saya coret. Karena
I materinya sesuai dengan kemampuan dia.
Kadang pas di kelas materinya terlalu sulit
bagi dia, ya saya ambilkan materi kemarin.
Tapi saya nggak bisa ngambilkan dari buku
lain, kadang saya karang sendiri. Soalnya
kadang di juga protes “lho teman-teman
246

sudah belajar itu, kok saya belum?


Kenapa?” saya yang bingung menjawab.
Terkadang kalau dia nggak bisa
mengerjakan saya ajak belajar yg lain dulu,
“ayo kita belajar ini dulu” tapi dia protes,
“lho kenapa belajar ini, kenapa saya nggak
bisa?” Jadi tergantung pada tingkat
kesulitan materi.
Kalau IEP itu kan kita buat kemudian kita
kumpulkan ke koordinator inklusi, kalau
sudah disetujui kemudian diperlihatakan
kepada wali murid dulu, karena harus ada
tanda tangan Guru pendamping, wali murid
dan guru. Karena sebenarnya di luar IEP itu
ka nada pelayanan khusus seperti sensori
motorik, jadi bagaimana melatih
keseimbangan anak2 seperti ini., di kelas
biar dia nggak lari2 terus
P Apa saja acuan Anda dalam menyusun IEP?
Acuan yang saya gunakan ya buku paket
tadi itu, tp Cuma diambil KI dan KDnya
saja. Yang membedakan nanti pada
pembelajarannya. Misalnya materi IPA
yang rangkaian Listrik. Jika teman2nya
I menerima materi pengertian rangkaian
listrik seri, dia hanya saya jelaskan bahwa
rangkaian listrik seri itu bentuknya begini,
parallel begini, yang penting dia bisa
membedakan mana seri dan pana parallel
itu saja.
Bagaimana Anda menyiapkan siswa untuk
P
belajar?
Kalau sekarang sih, kita sudah tidak perlu
menyiapkan secara khusus. Sekarang kan
dia udah agak ngerti ya, misalnya ketika
I terlambat teman2nya sudah sholat dhuha
tapi dia belum, dia langsung sholat dhuha
dulu. Karena sudah terbiasa gitu, ya nggak
perlu menyiapkan secara khusus.
P Bagaimana Anda memotivasi siswa?
Saya ingatkan aja, kalau dia nggak serius
belajar nanti nggak naik kelas. Biasanya
saya tanya “kamu mau teman2 sudah kelas
I
6 tapi kamu masih kelas 5?”, dia jawab
“nggak mau”.kadang kalau misalnya dia
lari-lari gitu, saya pura-pura pegang hp,
247

terus saya rekam dia, kan dia takut kalo


saya adukan ke mamanya. Kl tahu saya
merekam gitu dia langsung ngajak belajar.
Bagaimana Anda menerapkan pendekatan
P
saintifik?
Kalau saya, biasanya yg bisa praktek ya
praktik. Yang sudah itu seperti materi
rangakaian listrik. Saya nyusunkan batre,
kabel kemudian Rifki saya suruh merangkai
sendiri. Saya suruh lihat gambar. Penerapan
saintifik menyesuaikan. Biasanya saya
janjian dulu, besok bawa ini, baru bisa
I
praktik. Soalnya kalau langsung praktek dia
nggak mau. Kalau pas praktek gitu ya saya
ajak keluar, tapi ya dia protes lagi, “lho
teman-teman nggak keluar kok, kita keluar”
gitu katanya. Dia pengen sama-sama dg
teman2nya, kalau saya paksakan dia nangis.
Dan akibatnya nggak terkontrol lagi.
P Bagaimana Evaluasi ABK?
Kebanyakan kalau penilaian tulis, rifki bisa.
Cuma ya tadi itu, bahasa harus disesuaikan
untuk materi tertentu misalnya TIK, dia
I saya suruh langsung praktik. Kalau
penilaian sikapp saya masukkan di IEP.
Jadi penilaiannya sesuai dengan apa yang
sudah tertulis di IEP.

Kendala Kendala apa yang anda hadapi selama


Pembelajaran P melaksanakan pembelajaran siswa
Siswa berkebutuhan khusus?
Berkebutuhan Menurut saya pribadi masih kurang,
Khusus terutama dalam hal pemahaman. Dia kan
sulit ya untuk memahami materi yang
dipelajari, saya belum menemukan cara
yang pas untuk dia supaya cepat memahami
I materi pelajaran. Kalau logika dia sudah
bagus. Saya tidak tahu apakah karena dia
ada kendala di bahasa.
Kalau untuk fasilitas, di ruang sumber
sudah ada. Namun pemanfaatannya yang
belum maksimal. Selain itu, waktunya juga
248

harus sesuai dengan jadwal yang ada. Kalau


dulu, dia dijadwal pas kelas 4. Tapi karena
kelas bawah itu banyak siswa yang belum
siap di kelas, makanya rata-rata dimasukkan
ke ruang sumber. Akibatnya kan siswa-
siswa ABK yang lain harus sore. Lha kalau
sore saya ngajar TIK, jadi tidak bisa. Saya
mengajak Rifki belajar di luar kelas itu
kalau pas pelajaran tematik, kalau jam
mapel pasti ngejarnya banyak

Startegi Bagaimana Strategi Anda untuk


Peningkatan P meningkatkan mutu pembelajaran siswa
Mutu berkebutuhan khusus?
Pembelajaran Untuk sementara ini saya masih fokus di
Siswa akademik, sama melakukan pembiasaan.
Berkebutuhan Kaya tadi kan saya datang terus
Khusus menanyakan uang saku Rifki, nanti ketika
istirahat saya nanya dia mau beli apa,
habisnya berapa, nanti uangnya sisa berapa.
Untung sih semester ini dia sudah bisa agak
ditinggal, nggak perlu selalu saya tungguin,
kalau dulu itu kalau dia ke kantin beli jaja,
habis bayar terus ditinggal. Dia nggak tau
uang yang harus dibayarkan berapa,
kembaliannya berapa, makanya saya
damping ketika ke kantin. Ya kalau
penjualnya baik, artinya mau
mengembalikan pengembaiannya, tapi kalau
di toko lain kan kita nggak tahu. Untuk
I
membiasakan dia ya, saya suruh nanya
harganya berapa. Misalnya harganya 1.500
biasanya saya suruh pilih uang 2000 atau
1000 dia pilih keduanya digabung. Tapi
kalau ada 2000 dan 1.500 dia langsung pilih
1.500.
Kalau untuk Rifki ya harus ada bukunya,
pokoknya dia bisa melihat secara langsung.
Makanya saya bilang tadi, dia kesulitan itu
di pelajaran seperti IPS terutama yang
berkaitan dengan sejarah. Itu yang sulit.
Selain itu juga harus menggunakan media.
Misalnya materi pengurangan, kalau
penjumlahan dia sudah bisa, materi
pengurangan harus saya buatkan media.
Biasanyan saya menggunakan video.
249

Misalnya ketika materi bencana alam, saya


putakan video. Biasanya kalau di luar itu
memang ketika harus dibimbing khusus.

Informan Rizky Wahyuni, S.Pd I


Status Informan GPK Kelas V Aleppo
Lokasi Kantor TU
Tanggal 17 Oktober 2016

Pewawancara
Fokus (P) dan Pertanyaan dan Jawaban
Informan (I)
Pembelajaran Bagaimana Pembelajaran Siswa
P
Siswa Berkebutuhan Khusus MIT Ar-Roihan?
Berkebutuhan Untuk pembelajaran ABK dilakukan oleh
Khusus Guru Pendamping Khusus atau kalau di
sini disebut shadow teacher masing-
I
masing anak. Jadi di sini setiap ABK
memiliki. Pembelajarannya di kelas tapi
tetap didampingi shadow.
P Bagaimana langkah menyusun IEP?
Kita pakai pengurangan indikator. Iya
analisis KD dulu. Materi yang
kemungkinan dia bisa saya ambil, tapi
ternyata kalau materi yang saya ambil dia
I
belum tuntas saya cancel. Indikator
didapat dari silabus, jadi kita punya
silabus sendiri. Jadi di IEP itu termasuk
silabus.
Apa saja acuan Anda dalam menyusun
P
IEP?
Buku tematiknya sendiri, biasanya saya
ambilkan soal-soal yang mudah dari buku
siswa yang dari diknas. Kalau di tematik
kan bobotnya terlalu besar, untuk
I
memahami kalimat dari yang kompleks.
Tematik itu kan sulit. Jadi saya
mempermudahnya menjadi tidak terlalu
panjang, misalnya “apa yang dimaksud
250

dengan siklus air” itu saja dia sudah


bingung. Jadi saya sederhanakan misalnya
menjadi “siklus air adalah…” gitu dia
baru bisa. Kalimatnya sederhana tidak
terlalu panjang, jadi langsung pada
intinya.
Untuk pembelajaran tetap mengikuti
kelas, jadi misalnya ada kerja kelompok
mengejakan soal dan jawabannya ini-ini,
ya saya ulang lagi.
Bagaimana Anda menyiapkan siswa untuk
P
belajar?
Kadang kalau seperti matematika, dia
nggak ikut temannya sampai angka
ratusan. Tapi kalau dia sedang suka
dengan satu materi misalnya perkalian, dia
minta belajar itu lagi. Akhirnya ya,
pelajaran yang seharusnya dipelajari
dikesampingkan dulu. Jadi saya turuti dulu
I
sampai dia ada semangat dan kemauan
untuk belajar. Kalau sudah kambuh
penyakitnya itu udah nggak bisa diapa-
apain, dia itu kaku, kalau sekali bilang
nggak, ya seharian nggak mau ngapa-
ngapain. Pernah sehari itu tidakbelajr apa-
apa, saya yang marah-marah
P Bagaimana Anda memotivasi siswa?
Biasanya saya memberi hadiah. Tapi
itupun ketika raport-an. Jadi saya
kumpulkan poinnya dia. Kadang dia
mintanya aneh-aneh seperti mainan
Tamiya. Kemarin juga sempat menagih
saya, dia bilang “katanya mau dibeliin
Tamiya?” tapi saya nggak mau. Saya
kasih yang bermanfaat aja. Kemarin saya
belikan kopyah. Tapi ya gitu kumat lagi,
I setelah diberi hadiah kumat lagi. Tapi
saya nggak mau njagain itu. Kadang saya
bilang “ya udah besok kalau sudah kelas 6
tidak sama bu Rizki lagi, tunjukkan kalau
Lamsi bisa”. Kadang kalau moodnya
sedang turun dia bi;ang “Aku ini beda,
kenapa aku nggak belajar sendiri seperti
teman-teman yang lain?” kadang dia
nangis. Pas lagi nggak kita urusi gitu, dia
nangis.
251

Tapi saya tetap ikut peraturan kelas, rame,


poinnya harus berkurang. Jadi saya
ikutkan itu.
Bagaimana Anda menerapkan pendekatan
P
saintifik?
Saya kan juga masih tahap belajar, saya
sebenarnya kan guru mapel. Bisa langsung
praktek yang mudah-mudah gitu. Jadi
meskipun dia nulisnya males, ya sudah
I saya lisan aja, tanya jawab. Itu aja untuk di
buku tematik, baca aja susah, jadi saya
tandai yang penting-penting aja. Tapi
kalau sedang suka nulis, dia mau nulis
terus.
P Bagaimana Evaluasi ABK?
Sama dengan siswa lainnya, mencakup 3
aspek itu. Sikap, pengetahuan, dan
keterampilan.
Untuk sikap, Ya misalnya pas guru sudah
menerangkan dia masih umek, nah itu
masuk jadi bahan penilaian. Sudah 3 kali
perintah, dia tidak melaksanakan, masuk
juga. Ooh berarti kurang kedisiplinanya.
Kalau untuk pengetahuan atau kognitif,
saya buatkan soal sendiri sesuai dengan
IEP. Jadi grade soalnya saya turunkan.
Kalau yang psikomotoriknya, Ya kadang
pas ada tugas membuat keterampilan gitu,
dia sering manggil-manggil saya, nanya
I
“bu ini apa?” ya saya tunjukkan saja
bagaimana cara membuatnya. karena dia
untuk pemahaman sulit, saya biasanya
pakai mind map. Jadi seperti bagan-bagan
gitu. Untuk bahasa Indonesia, kemarin
kan ada tugas wawancara, ya gitu
membuat pertanyaannya tidak bisa, belum
bisa membuat kalimat pertanyaan. Terus
saya beri tahu tentang 5w+1H dan nanya
ke temannya bagiaman cara untuk
bertanya. Pertanyaannya dari saya.
Pokokya yang kesulitan itu mapel seperti
bahasa Indonesia, IPA, IPS, PKn. Kalau
IPA masih bisa digambar

Kendala Kendala apa yang anda hadapi selama


P
Pembelajaran melaksanakan pembelajaran bagi siswa
252

Siswa berkebutuhan khusus?


Berkebutuhan Dia sering kehilangan fokus, jadi kalau
Khusus temannya rame gitu dia terganggu. Dulu
pernah saya praktekkan waktu kelas 4, dia
saya sendirikan setelah sholat dhuhur itu
dia bisa menjawab soal banyak. Tapi
justru dia tidak mau keluar (kelas), TIK
aja saya ajak praktek sendiri nggak mau,
karena pernah dia masuk ruang TIK, ada
yang bilang “eh kamu kan ABK”. Dua kali
masuk terkena kata-kata seperti itu dia
nggak mau lagi. Jadi dia tetep mau di
kelas. Untuk materi TIK sendiri kan agak
sulit dipahami, saya ambilkan materi kelas
2, tapi dia protes “lho kok materinya kelas
2?” saya bilang kita belajar yang mudah
dulu, tapi dia tetap nggak mau, maunya
materi kelas 5.
Sulit-sulit gampang, kalau saya selalu
memperhatikan kalau di rumah dia belajar
I
apa nggak., soalnya orang tuanya tidak
pernah ngecek. Kan harus seimbang
belajar di sekolah dan di rumah. Pernah
itu saya kasih PR, saya tanya siapa yang
mengerjakan? Dia bilang “saya sendiri
bu”, lha bundanya kemana? “mama sibuk”
dibantu kakak ya ngerjakannya. Besoknya
saya kasih PR nggak dikerjakan, besoknya
lagi Cuma satu dikerjakan,
Mungkin, karena di catatan lamsi kan saya
tulis dia kalu menulis itu lama, kalau
tulisannya sudah nggak rapi ganti
halaman. Jadi harus rapi. Mungkin orang
tuanya bingung di situ, anaknya dibelajari
apa kok loncat-loncat. Jadi mungkin
seperti itu saya melihatnya. Dia itu
khawatirnya tinggi. Jadi kalau tulisannya
jelek dihapus lagi, nulis lagi di halaman
lain.

Startegi Bagaimana Strategi Anda untuk


Peningkatan P meningkatkan mutu pembelajaran siswa
Mutu berkebutuhan khusus?
Pembelajaran Strategi saya ya itu tadi melalui gambar
Siswa I visual, mindmap
Berkebutuhan Ya biasanya kalau tidak bisa ikut kelas
253

Khusus saya ajak belajar di luar. Standarnya ya


IEP sama assessmen. Kan tiap raport-an
saya membuat assesmen dari pembelajaran
awal sampai akhir. Materi apa yang belum
tuntas, kesulitan dia apa saja, kadang kalau
dia nggak mood, dan nggak mau ngapa-
ngapain ya materinya saya loncati materi
yang lain dulu. Jadi misalnya kalau bahasa
Indonesia mendeskripsikan, saya ambil
yang menjawab pertanyaan.
Kalau kondisi kelasnya kondusif sih bisa
maksimal, biasanya saya target-gitu
“hayoo ini harus cepet selesai, kalau nggak
selesai nggak boleh istirahat, kalo selesai
istirahat duluan.”

Informan Rahmanitia Nadiatus Shalichah, S.Psi


Status Informan GPK Kelas V Bukhara
Lokasi Teras Ruang Sumber/Inklusi
Tanggal 17 Oktober 2016

Pewawancara
Fokus (P) dan Pertanyaan dan Jawaban
Informan (I)
Pembelajaran Bagaimana Pembelajaran Siswa
P
Siswa Berkebutuhan Khusus MIT Ar-Roihan?
Berkebutuhan Kalau Emal lebih sering di luar kelas ya,
Khusus sama saya saja. Ini semester satu kok
cocok di luar, nanti semester dua saya
coba di dalam kelas. Kadang yang ikut di
kelas itu TIK, PJOK. Kaya Emal ini kan
sebenarnya reguler, tapi ya regulernya
I ABK, teman-tmannya sudah sampai Tema
5D dia masih 5C ya nggak masalah. Dia
bakatnya di animasi, kalau pas TIK itu
bisa tanpa dampingan. Malah kadang
mengajari temannya. Kaya kemarin belajar
PPT itu, dia langsung bisa ngasih efek
transisi padahal baru sekali.
P Bagaimana langkah menyusun IEP?
Untuk KI-nya sama, KD-nya ada yang
dihilangkan, indikatornya juga saya
I
turunkan. dan dilakukan per semester.
Kalau dari pemerintah standarnya begini-
254

begini belum ada. jadi saya buat sendiri


dengan menurunkan KD, kalau ada KD
yang tidak sesuai dihilangkan, indikator
diturunkan sesuai dengan kemampuan
siswa. Nanti itu kalau sudah jadi ada tanda
tangan koordinator inklusi, wali murid,
dan orangtua siswa.
Apa saja acuan Anda dalam menyusun
P
IEP?
Bukunya anak-anak, kaya kemarin itu
pernah dapat buku dari pemerintah. tapi
I
karena tidak sama dengan bukunya anak-
anak ya tidak saya pakai. itu saja.
Bagaimana Anda menyiapkan siswa untuk
P
belajar?
Ya berdo‟a dulu, untuk persiapan seperti
apersepsi nggak mengikuti kelas, langsung
I sama saya. Kadang ya dipijat dulu
tangannya, kadang minta main ayunan
dulu.
P Bagaimana Anda memotivasi siswa?
Ya kalau misalkan kalau dia protes kenapa
materi pelajarannya nggak sama dengan
temannya ya saya bilang “nggak apa-apa,
I
nanti Emal bisa lebih pinter dari teman-
temannya”. Kadang juga saya beri reward
kaya penghapus, pensil, penggaris,
Bagaimana Anda menerapkan pendekatan
P
saintifik?
Kalau untuk emal, saintifik ada yang bisa
diterapkan, ada juga yang nggak. Cuma
sebatas mengenal, menyebutkan gitu tok.
kalau untuk memahami dan sebagainya itu
masih belum bisa. itu saja harus diulang
I
sampai berhari-hari. kadang sebelum
pindah ke materi selanjutnya, materi yang
kemarin diulang lagi. memang harus pakai
praktek, kalau cuma diterangkan tok
anaknya tolah-toleh.
P Bagaimana Evaluasi ABK?
Kan raportnya itu bentuknya angka ya,
seharusnya untuk ABK itu narasi.
misalkan menyebutkan gitu-gitu ya, kan
I
seharusnya diceritakan apakah anak sudah
baik apa belum. kalau untuk raport
bentuknya masih angka gitu.
255

Jadi kadang ada orang tua siswa reguler


yang nggak paham ABK kok bisa dapat
80 tapi anaknya kok cuma 60. sedangkan
KKMnya kan beda ya, sesuai kemampuan
anaknya. KKM itu yang menentukan ya
saya sendiri.
Evaluasi meliputi ketiga aspek
kompetensi, afektif, kognitif, dan
psikomotorik. Untuk sikap saya
sebenarnya masih kesulita, kan di raport
itu ada angkanya, skala 1,2,3 dan
seterusnya, lha kalau menilai sikap untuk
ABK kan susah. Sebenarnya ada lagi
raportnya ABK itu, bentuknya narasi.
Jadi, misalnya untuk Tema 1 anak ini
sudah mampu ini, yang belum mampu ini,
semua ditulis.

Kendala Kendala apa yang anda hadapi selama


Pembelajaran P melaksanakan pembelajaran bagi siswa
Siswa berkebutuhan khusus?
Berkebutuhan Orangtuanya ngotot untuk akademik
Khusus anaknya, sedangkan anaknya kan belum
mampu. Jadi sebenarnya menggunting itu
lebik bagus buat Emal, terus bina
kebersihan kaya gitu itu, toilet training.
Kalau di sini memang kendala ABKnya
itu di orangtua yang nggak paham dengan
I kondisi anaknya. sebenarnya paham,
Cuma mekso gitu lho ke anaknya.
Kalau dari anaknya sendiri, kadang kalau
saya menerangkan dia tolah-toleh ke
temennya gitu, nggodain temennya juga.
Kalau di rumah disuruh belajar ya males
anaknya. terus kadang kalau sedang nggak
mood gitu ya nggak bisa dipaksakan.

Startegi Bagaimana Strategi Anda untuk


Peningkatan P meningkatkan mutu pembelajaran siswa
Mutu berkebutuhan khusus?
Pembelajaran Kalau Emal biasanya pakai gambar,
Siswa kadang kalau bahasa inggris, di sini ka
Berkebutuhan nada kaya kartu-kartu kosa kata, misalkan
I
Khusus kata kerja saya ambilkan di situ. Jadi ada
gambarnya dan artinya.
Emal itu kan agak males anaknya, jadi ya
256

harus sering-sering disuruh. Tapi kadang


ya saya harus menuruti kemauan dia
supaya mau belajar. makanya saya juga
kerjasama dengan orang tuanya untuk
menggenjot hasil belajarnya. kan kalau
cuma guru sendiri ya susah.
Untuk menulis, dulu itu awal saya pegang,
tulisannya gak karuan, kaya ceker ayam
naik turun gitu. Tapi Alhamdulillah
sekarang sudah agak mending. ya Sering-
sering saya suruh main plastisin terus
meremas kertas. Memang dia agak
kesakitan gitu kalau meremas kertas.
Sering saya suruh nulis terus menebali
huruf. Kadang kalau tulisannya ngawang
lagi saya pensilnya saya kasih penghapus
biar bisa langsung menghapus kalau
tulisannya nggak beraturan lagi..
257

Lampiran 10

Transkrip Wawancara SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman”

Informan Sony Darmawan, S.Pd


Status Informan Kepala SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman”
Lokasi Kantor Kepala Sekolah
Tanggal 15 Nopember 2016

Pewawancara
Fokus (P) dan Pertanyaan dan Jawaban
Informan (I)
Proses menjadi Bagaimana sejarah berdiri dan proses
P
sekolah inklusi menjadi sekolah inklusi?
Kalau berbicara awal berdiri, kami itu kan
berdirinya tahun 69, sementara inklusi
mulai digaungkan itu kan awal tahun 2000
ya, jadi sejara inklusi di SD
muhammadiyah 9 itu berawalnya dari kita
menerima siswa yang bersifat inklusi, jadi
ada satu orang tua yang membawa
putrinya itu inklusi (ABK), kami pada
waktu itu berkewajiban untuk
menerimanya, kami tidak tahu inklusi itu
apa dan apa kami terima, setelah kami
I
terima itulah kami belajar, bertanya kepada
pihak diknas nah dari diknas diarahkan.
Nah ternyata ada komunitasnya pada
waktu itu. Itu dimulai tahun sekitar tahun
2004 atau 2005. Nah setelah kami
bergabung dalam komunitas sekolah
inklusi kami baru mengetahui ternyata di
sana ada program-programnya, pembinaan
dan sebagainya sehingga sampai kami
mendapatkan tenaga pengajarnya yaitu
guru GPK, kurang lebih mulai tahun 2005.
258

Awalnya GPK dari diknas, hanya karena


ini cikal bakal masih awal, dalam
komunitas ini ada teman-teman guru tapi
bukan pegawai negeri tetapi dia siap untuk
mengabdi di sekolah dan SK pertamanya
itu dari Diknas namun secara kepegawaian
itu diserahkan ke masing-masing sekolah
misalkan kalau yang di negeri berarti dia
menjadi sukuan kalaupun nanti di dalam
ketentuan yang berlaku bisalah dikatakan
menjadi honorer itu mengikuti saja. Kalau
yang ditempatkan di sekolah swasta
diserahkan kepada lembaga itu, misalkan
berjenjang sampai menjadi GTY nah itu
diserahkan, tidak diperpanjangpun
diserahkan. Jadi melalui SK itu, intinya
pemerintah dalam hal ini diknas membantu
melayani orang tua yang memiliki putra-
putri berkebutuhan khusus. Itu cikal
bakalnya, sehingga anak-anak yang seperti
itu, SLB bukan tempatnya kan dia butuh
sosialisasi. Kalau inklusi ditaruh di SLB
dia tidak akan berkembang karena kan
lingkungannya memang lingkungan
khusus, tidak mendukung untuk
berkembang. Ditaruh di umu harus ada
keilmuwannya. Karena kalau tidak ada
keilmuwannya, kan nuwun sewu, kalau
sekarang anak-anak kan sudah berbaur ya,
kalau awal dulu, nuwun sewu dalam tanda
petik “anak ini gila”. Jangankan ke teman-
temannya, ke orang tuanya sendiripun di
awal-awal dulu ya merasa canggung “iki
kok ono arek gak genah nok kene..hahaha”
itu tahun 2005 lho mas. Nah dari situlah
kita mengedukasi ya ke anak-anaknya, “ini
lho ada teman kita yang memang
kondisinya seperti ini, tidak seberuntung
kalian” ke orang tua juga begitu. Siapa sih
orang tua yang meminta kondisi putra
putrinya seperti itu, pada waktu itu kami
sempat mendatangkan pengawas,
narasumber, kita sampai ada semacam
parenting lah untuk menjelaskan ini lho
pentingnya, jadi pembicaraan sinis yang
muncul dari masyarakat “lho ini lho
259

sekolah kok nerima arek gak genah”.


Pernyataan-pernyataan itu kami paham
karena yang bersangkutan memang belum
paham apa itu inklusi, apa itu siswa ABK
dan harus bagaimana memperlakukannya.
Dan memang ternyata anak-anak yang
dalam tanda kutip berkebutuhan khusus, di
satu sisi memang iya, tapi di satu sisi
karena dia fokusnya memang di satu
bidang kemampuannya menjadi luar biasa
di luar kemampuan teman-teman yang
reguler.
Manajemen siswa Bagaimana standar penerimaan siswa
berkebutuhan berkebutuhan khusus?
khusus Ya ada, berbicara mengenai ketentuan
memang ada, kalau di khusus kami
memberlakukan, tentunya kami akan
menerima apabila dalam proses observasi
awal nantinya kami bisa memberikan
layanan. Jadi nuwun sewu, misalkan
sekarang ini kita menerima anak dengan
ketunaan misalnya tidak bisa berjalan, nah
kami tentunya tidak bisa memberikan
layanan, lha kenapa? Lha wong kami naik
kelasnya aja harus pakai tangga, lha kalau
pakai kursi roda kan otomatis kita belum
siap. Nah itu contoh kecil, sederhananya
seperti itu. Jadi ketunaan yang memang
sekolah tidak bisa memberikan layanan.
Bukan kami tidak mau menerima, tidak
menerimanya karena fasilitas
pendukungnya belum siap. Ada juga yang
bersifatnya itu, inklusi kan bermacam-
macam ya, kami juga pernah menerima
anak yang autisnya itu bersifat destruktif,
pertama masuk itu umurnya 8 atau 9 tahun
jadi otomatis dia badannya buesar
dibandingkan teman-temannya, itu satu,
yang kedua, masya Allah perilakunya, jadi
kalau tidak cocok sedikit mukul, kalau
nggak cocok sedikit meludah, kalau nggak
cocok sedikit ngomongnya jorok, tapi
kami terima, karena kami menganggapnya
kami bisa memberikan layanan. Dan
Alhamdulillah mulai proses dari kelas 1-6,
yang tadinya seperti yang saya sebutkan di
260

atas, itu hilang. Berubah menjadi lebih


tenang, lebih bisa mengikuti, kemudian
yang bersifat destruktif yang gampang
memukul, berbicara kotor, meludah, itu
berhenti sudah. Ya meskipun dalam artian
100% tidak. Tetapi paling tidak 75% atau
80% itu ada perubahan yang sangat
signifikan. Ada juga yang sifatnya tidak
nakal seperti itu, tapi kita tidak bisa. Kita
sampaikan kalau kita tidak mampu, kita
sampaikan ke orang tua. Atau ada lagi, kita
tidak menerima karena kita batasi dalam
satu tahunnya itu kita hanya menerima 2
siswa, sehingga kalau ada yang datang
lagi, kami menolak. Karena khawatirnya
kalau kami menangani lebih dari
kemampuan, khawatirnya kami tidak bisa
memberikan pelayanan yang optimal.
Sementara kan orang tua berharap, karena
biasanya, kondisi gitu pas di awal-awal
kami kesulitan, sudah ke skolah A sekolah
S ditolak, bertemu dengan kami, kami
terima. Di awal seperti itu, tapi sekarang
Alhamdulillah, karena Malang sudah
menerapkan sekolah ramah anak ya,
semuanya wajib menerima, tetapi wajib
menerimapun kalau sekarang ya hampir
70% sekolah dasar yang kami ketahui
sudah melaksanakan inklusi.
Pembelajaran Bagaimana Pembelajaran Siswa
Siswa P Berkebutuhan Khusus SD Muhammadiyah
Berkebutuhan 9 “Panglima Sudirman”?
Khusus Ya, setelah kita mengidentifikasi
kekhususan, kemudian dari kekhususan itu
kita menerjemahkan di dalam kegiatan
akademik pembelajaran gitu ya kita
turunkan, jadi nuwun sewu, katakanlah
meskipun dia sudah kelas 4, kelas 5 tapi
kemampuannya kelas 2, ya kita
I
memberikan materinya bukan materi kelas
2nya, tetapi pemahaman yang bertingkat
itu kita sederhanakan sampai seperti kelas
2, seperti itu, jadi tetap mengikuti
kelasnya. Yang kita butuhkan
sosialisasinya itu yang terpenting. Jadi
misalnya temannya kelas 3 ya dia kelas 3.
261

Pembelajarannya juga mengikuti kelas 3.


Mana saja yang dia bisa mengikuti
katakanlah olahraga, keseniannya, ya kita
ikuti kelas 3, tetapi materinya akademik
katakanlah matematika, IPA dan
sebagainya itu semuanya kita turunkan,
sampai seperti kelas 2, bicara teknisnya
seperti apa saya kurang paham, malah
yang diperbaiki di kurikulum 2013,
misalnya kelas 1, materi kelas 1 itu
dituntaskan sampai kelas 3, terus kelas 2
itu melanjutkan, jadi sampai kelas 6, itu
materinya kalau hitung2an normal lho ya,
itu materinya hanya sampai di kelas 3.
Karena kan per tema ya, jadi tema 1 ini
diselesaikan sekian bulan, tema 2
diselesaikan sekian bulan, itu di dalam
ketentuan sudah kita atur, itu standar
normal, kita berbicara di lapangan bisa
lebih turun lagi, ya seperti itu dia sudah
kelas 6 tapi kemampuannya seperti kelas 2
atau kelas 1 ya sudah kita beri yang sesuai
dengan kemampuan kelas 1.
P Bagaimana Anda memotivasi siswa?
Melalui tim karakter, itu semangatnya
untuk membiasakan anak-anak didik kita
itu (1) kalau habis makan harus membuang
sampahnya di tempatnya, (2) kemudian
membiasakan makan dan minum dengan
duduk, (3) kemudian mengingatkan lagi
untuk tidak jajan di luar pagar, sehingga
kami ingin menguatkan karakter berkenaan
dengan ya menjaga lingkungan berarti
kan?. Itu kan harus selalu dan terus
menerus. Jadi perangkatnya itu sudah kita
I
siapkan, ketentuannya, kita berikan ke
guru-guru untuk daya dukungnya,
kemudian dari pihak pengurus sekolah
menelurkan program itu yang real, kalau
semua diberikan (dibebankan) ke
skolah/guru itu kan tidak maksimal. Masa
guru harus setiap hari memantau, kan tidak
mungkin maka dari itu kita butuh
kerjasama, dan anak-anak diberikan tugas
itu juga menjadi sebuah motivasi karena
(1) dia kan menjadi contoh, itu belajar
262

bertanggungjawab. Jadi minimal yang


menjadi petugasnya dia harus ya itu tadi
menjadi contoh harus bertanggungjawab
terhadap apa yang menjadi tugasnya. Dan
itu memotivasi anak lainnya, “lho aku ya
kepingin menjadi duta karakter” nah itu,
akhirnya harapannya nanti emnjadi sebuah
kompetisi.
Startegi Bagaimana Strategi Anda untuk
Peningkatan mutu P meningkatkan mutu pembelajaran siswa
pembelajaran berkebutuhan khusus?
siswa Yang jelas, guru-guru yang menjadi
berkebutuhan koordinator GPK ini mempunyai latar
khusus belakang basicnya memang sudah paham
betul dengan keilmuan siswa ABK
meskipun di awal-awal jurusannya tidak
linear, katakanlah yang guru kami ini,
basicnya sastra inggris tetapi karena
beliaunya menggeluti bidang inklusi ini
selama kurang lebih 3 sampai 5 tahun, jadi
beliaunya sudah paham. Berbicara tentang
jenis keinklusian beliau paham. Kemudian
tahapan-tahapan untuk menangani anak-
anak beliau paham karena sekarang
menjadi bidangnya, untuk guru kelas, ini
kita secara periodic selalu berkoordinasi
jadi ada semacam kelompok kerja guru,
I
jadi guru inklusi ini begitu ada sesuatu di
kelasnya ada siswa inklusi dia selalu
berkoordinasi secara intensif untuk
kesehariannya, yang berkaitan dengan
tugas, yang berkenaan dengan kemajuan
penilaiannya itu berdampingan. Jadi
misalkan, O si A ini ada di kelas 3A begitu
ya sudah dari situ ada laporan secara rutin
kemudian untuk secara umum, guru-guru
secara pediodik itu tidak selalu sih, hanya
kami selalu ada yang istilahnya itu
penyegaran. Ada pelatihan-pelatiha anah
itu biasanya kita mendatangkan tim
psikolog atau dari pengawas yang memang
menangani inklusi itu kita sampaikan
bahwasannya anak-anak ini seperti apa.
Kendala Kendala apa yang anda hadapi selama
P
peningkatan mutu melaksanakan strategi tersebut?
Pembelajaran I Kalau yang menjadi factor utamanya
263

Siswa adalah tentunya pada sumberdaya karena


Berkebutuhan untuk mencari guru pendidikan khusus itu
Khusus kan memang juga sulit, jarang diminati.
Kemudian sumberdaya itu tidak hanya
mampu pada materinya juga mempunyai
jiwa social yang tinggi, karena menangani
anak-anak itu, guru saja itu sudah luar
biasa, tapi untuk menangani anak-anak itu
butuh guru kuadrat dari sisi kesabarannya,
ketelatenannya, perhatiannya, kasih
sayangnya, harus ekstra dibandingkan
guru. Guru saja kan harus memiliki jiwa
yang saya sebutkan tetapi untuk
menangani siswa khusus itu harus
sentuhannya beda. Kalau guru biasa, guru
bidang studi saja lewat sudah itu. Sehingga
memang diperlukan kepedulian, perhatian.
Yang sekarang masalah klasik itu adalah
orang tua tidak mau menerima kondisi
anaknya dalam kondisi yang inklusi. Jadi
kalau kami di awal-awal ada orang tua
yang tidak mau menerima anaknya
dianggap inklusi itu terbanyak, kalau saya
bicara di sekolah yang belum melakukan
inklusi, yang sekolah belum melaksanakan
program inklusi itu biasanya begitu karena
orang tuanya pengennya anaknya sekolah
juga tapi di SLB dia malu, di sekolah
umum ya kemampuannya tidak mungkin
sama. Di sini kami mencoba,
Alhamdulillah karena kita sudah tergabung
dengan sekolah inklusi kota malang,
kemudian kita juga mengikuti seluruh
arahan dari diknas, katakanlah mengikuti
KKG, mengikuti pembinaan, dan
mengikuti ujian dan sebagainya, ya
Alhamdulillah dengan orang tua kita tidak
ada masalah. Kalau di awal-awal sih iya,
tapi begitu sekarang masuk mulai
pendaftaran pun sudah kita Tanya, kalau
sekarang orang tua dengan jelas
menyampaikan, “mohon maaf putra saya
ini berkebutuhan khusus” orang tua
edukasinya sekarang sudah lebih
meningkat menyampaikan “bisa nggak
sekolah kami menerima siswa yang
264

kondisinya memang begini, yang memang


berkebutuhan khusus?” orang tua dengan
kesadaran sendiri.

Informan Mita Kurnia Pristiwa Yuni, S.Pd


Status Informan Wali Kelas V As-Salam
Lokasi Ruang Kelas V As-Salam
Tanggal 8 Nopember 2016

Pewawancara
Fokus (P) dan Pertanyaan dan Jawaban
Informan (I)
Pembelajaran Bagaimana Pembelajaran Siswa
Siswa P Berkebutuhan Khusus SD Muhammadiyah
Berkebutuhan 9 “Panglima Sudirman”?
Khusus Pembelajarannya sama dengan siswa pada
umumnya. Hanya materinya diturunkan
I
sesuai denan kemampuan dan kadang-
kadang kita damping kalau dia kesulitan.
P Bagaimana langkah menyusun IEP?
Kalau di sini memakai RPP karena siswa
sudah bisa mengikuti kelas. Jadi ya sama
dengan langkah penyusunan RPP pada
umumnya. Sebenarnya sih kalau saya
pengennya kalau ada anak inklusi, karena
kan memang tidak sama dengan anak lain,
ada modulnya sendiri gitu. Karena kadang
saya memang kerepotan. Dulu di kelas saya
ada 3 siswa ABK. Dengan jumlah siswa
sebegitu banyaknya ditambah ABK yang
I
macam-macam, kadang untuk buat soal
sendiri saja waktunya tidak cukup. Kadang
saya mikir gini, apa sebaiknya tim
kurikulum itu membuat modul sendiri atau
bagaimana untuk anak-anak ABK tersebut.
Sementara ini masih penyederhanaan materi
saja. Misalnya materi bagian-bagian
tumbuhan, ya tidak sedetail siswa-siswa
reguler gitu. Bukunya pun sama, siswa
regular dengan inklusi.
265

Apa saja acuan Anda dalam menyusun


P
RPP?
I Kurikulum, buku siswa, buku guru
Bagaimana Anda menyiapkan siswa untuk
P
belajar?
Kalau saya sih biasanya kalau pagi ya
I tebak-tebakan gitu apa yang kita pelajari
kemarin
P Bagaimana Anda memotivasi siswa?
Biasanya saya libatkan di dalam kelas,
kaya‟ kerja kelompok gitu, dia yang
I
mewakili kelompoknya. Kadang ya
memberi nasehat harus selalu rajin belajar
Bagaimana Anda menerapkan pendekatan
P
saintifik?
Kalau sesaintifik gitu sih nggak, kadang kita
kalau pas kita pas tematik sekali ya
saintifik, nggak tiap hari, dhea bisa
mengikuti. Karena dibisiki temennya.
Memang dia agak males dia kalau diajak
belajar. kadang kalau disuruh nulis, saya
I
catatkan di papan gitu, dia nggak selesai.
Saya beri waktu pun tidak selesai. Harus
gini “besok targetmu mengerjakan apa,
PRnya di rumah, harus ada tulisannya gitu
di buku kegiatannya. Kalau nggak gitu dia
lupa.
P Bagaimana Evaluasi ABK?
Sama saja, Cuma soalnya kami turunkan.
Jadi misalnya siswa lain soalnya 25, Dhea
hanya 15. Terus kesulitan soalnya juga
tidak sama. Kalau untuk sikap, saya
I
samakan dengan siswa reguler. Karena kan
dia sudah bisa mengikuti kelas ya. Jadi
tidak ada masalah. Untuk psikomotorik pun
sama saja.

Kendala Kendala apa yang anda hadapi selama


P
Peningkatan melaksanakan strategi tersebut?
Mutu Dhea cenderung pendiam, sosialisasi
Pembelajaran dengan teman cenderung berkurang. Akhir-
Siswa akhir ini sering menggigit jari. Kalau saya
I
Berkebutuhan menerangkan dia fokus. Tpi kalau sudah
Khusus ditanya dia nggak bisa jawab. Setiap
pelajaran seperti itu. Kemarin saya sempat
266

memanggil orang tuanya, anaknya kalau di


sekolah memang seperti itu, cenderung
pendiam. Tapi kalau di rumah beda. Dia
nyanyi-nyanyi, Kalau di rumah dia bisa
menceritakan ke orang tuanya, bahkan dia
di rumah bisa menirukan gaya saya di
rumah tapi. Bisa juga ini kendala dari
teman-temannya. Yang agak menjauh.
Kadang kalau pas belajar kelompok kurang
dilibatkan. Dia cenderung menyendiri.

Startegi Bagaimana Strategi Anda untuk


Peningkatan P meningkatkan mutu pembelajaran siswa
Mutu berkebutuhan khusus?
Pembelajaran Butuh pendekatan saja sebenarnya, harus
Siswa secara langsung secara personal. Bimbingan
Berkebutuhan personal, saya datangi, saya nasehati.
Khusus Kerjasama juga dengan orang tua. Kalau
I
Dhea ini, orang tuanya welcome ya, jadi
untuk komunikasi lancar-lancar saja.
Biasanya komunikasinya by WA, atau
SMS.

Informan Louis Ifka Arishinta, M.Pd


Status Informan Wali Kelas V Al-Mughni
Lokasi Kantor Kepala Sekolah
Tanggal 15 Nopember 2016, Pukul 08.30-09.40 WIB

Pewawancara
Fokus (P) dan Pertanyaan dan Jawaban
Informan (I)
Pembelajaran Bagaimana Pembelajaran Siswa
Siswa P Berkebutuhan Khusus SD Muhammadiyah
Berkebutuhan 9 “Panglima Sudirman”?
Khusus Pembelajarannya sama dengan siswa pada
umumnya. Hanya materinya diturunkan
I
sesuai denan kemampuan dan kadang-
kadang kita dampingi kalau dia kesulitan.
P Bagaimana langkah menyusun IEP?
Untuk sementara tidak ada RPP dulu, jadi
yang istilahnya untuk individual masing-
I
masing anak tidak ada. Untuk rpp sama
tetapi ketika pelaksanaan disesuaikan
267

dengan kebutuhan anak. Jadi ketika kita


penanganan kita sesuaikan dengan
kemampuan tapi untuk panduan RPPnya
secara legalitas tidak ada. Jadi istilahnya
dalam rangka penyederhanaan untuk RPP
kalau untuk individu kita tidak membuat.
Kalau siswa ABK sudah masuk kelas
reguler kan paling tidak sudah dilegalkan
untuk masuk di kelas reguler, jadi memang
itu yang harus sekolah kuatkan bahwa
ketika sudah masuk sini sudah ada
rekomendasi untuk masuk sekolah (kelas)
reguler kalau memang tidak seperti tuna
dhaksa gitu ya, sama seperti tuna netra kan
tidak mungkin masuk kelas reguler karena
anaknya kan tidak bisa. Jadi paling tidak
untuk yang tingkatnya parah itu
parameternya banyak, parahnya yang
bagaimana , paling tidak yang sudah masuk
kelas reguler ini dia pernah mengenyam
sekolah SLB atau sekolah khusus, setelah
mendapatkan rekomendasi layak untuk di
sekolah (kelas) reguler kami menerima.
Kalau RPP kan kita tidak membuat kalau
RPP khusus untuk dia, karena RPP itu kalau
untuk inklusi (ABK) kan istilahnya bukan
RPP tapi IEP (individual education
program). Sebenarnya itu ada langkahnya
tetapi kan RPP untuk anak inklusi (ABK)
itu kan berlaku untuk satu anak atau satu
kategori. Sementara itu tidak, di sini
memang tidak. Cuma ketika ada
kelemahan, ketika ada kesulitan, kita
melakukan gradasi/penurunan, ataupun
pendampingan khusus untuk anak tersebut.
Jadi kita di awal, biasanya kita melakukan
itu di awal semester, jadi liburan semester
digunakan untuk melengkapi seluruh
perlengkapan pembelajaran satu semester ke
depan. Jadi di liburan semester itu ada up-
grading dulu untuk melengkapi hal-hal
seperti jaringan tema, jaringan KD sampai
terbentuknya RPP.
Apa saja acuan Anda dalam menyusun
P
RPP?
I Kurikulum, buku siswa, buku guru
268

Bagaimana Anda menyiapkan siswa untuk


P
belajar?
Untuk persiapan khusus tidak ada, karena
memang mereka sebetulnya kan
pemahaman materinya itu mampu
mengikuti. Tetapi satu, dia lemah di
konsentrasi. Sehingga untuk persiapan
khusus tidak, karena untuk
permainan/metode permainan dia mampu
mengikuti dengan baik. Kemampuan
sosialnya baik, tetapi kadang yang butuh
konsentrasi penuh, yang butuh tahapan
konsentrasi penuh contohnya itu membaca.
Jadi ketika ada teknik membaca/membaca
I
bacaan kan panjang bacaannya,
konsentrasinya penuh dalam waktu yang
agak lama nah ini nggak bisa. Ketika
menjawab pertanyaan nanti jauh. Ada
pertanyaan yang dia tidak mengerti
maksudnya. Karena membacanya ada yang
lepas konsentrasi tadi nah itu aja dia.
Apalagi kalau bacaan itu bahasa daerah,
sudah bahasanya nggak ngerti,
konsentrasinya dia butuh penuh, kalau toh
dia diem itu pikirannya nggak disini, ke
yang lain.
P Bagaimana Anda memotivasi siswa?
Yang pertama adalah pendampingan
personal dengan memberikan kata-kata
bahwa perilakunya harus selalu baik,
semangatnya harus selalu baik, karena dia
tahu posisinya kalau kurang mampu, ketika
dia tahu dia merasa terpuruk dan merasa
tidak pede, sehingga kita harus support itu
bahwa kalau pengen bisa ya belajar dengan
baik, dikurangi melamunnya. Istilahnya
I melamun, jadi sebenarnya dia lepas
konsentrasi, beberapa kali kerlip mata ke
atas dalam jangka waktu lama langsung kita
tegur “jangan berperilaku seperti ini”. Atau
ketika bermain, kan dia pasti mencari yang
setipe dengan dia. Jadi yang perhatian
dengan dia, biasanya yang hampir setipe
dengan dia. Setipe itu kesukaannya hampir
sama gitu, dia reguler tapi hampir sama
perilakunya. Nah dia mencari teman yang
269

seperti itu. Nah kita support untuk


temannya ganti. Harus sering. Ketika
melamun penegurannya lebih. Jadi ketika
dia kerlip mata ke atas gitu, saya Tanya
“ngapain? Apa yang dipikirkan?. Kadang
secara klasikal, seperti kemarin, dia kalau
tidak siap buku itu dia malu.
Bagaimana Anda menerapkan pendekatan
P
saintifik?
Kalau sesaintifik gitu sih nggak, kadang kita
kalau pas kita pas tematik sekali ya
saintifik, nggak tiap hari, dhea bisa
mengikuti. Karena dibisiki temennya.
Memang dia agak males dia kalau diajak
belajar. kadang kalau disuruh nulis, saya
I
catatkan di papan gitu, dia nggak selesai.
Saya beri waktu pun tidak selesai. Harus
gini “besok targetmu mengerjakan apa,
PRnya di rumah, harus ada tulisannya gitu
di buku kegiatannya. Kalau nggak gitu dia
lupa.
P Bagaimana Evaluasi ABK?
Untuk sementara kalau evaluasi harian ikut
reguler, tapi kalau evaluasi tengah semester,
akhir semester kita gradasi sesuai dengan
kemampuannya, itu kita masukkan ke Bu
Eka sebagai tim inklusi. Ya biasanya (1)
jumlahnya berbeda, (2) structural
pembuatan soalnya berbeda, (3) kita
perjelas dengan gambar. Untuk UAS
sekolah, guru yang membuat. Tapi untuk
UAS Diknas nanti kita laporan ke sana
Diknas yang membuatkan. Kita dapat surat
dari Diknas. Tapi kalau UAS sekolah guru
I
yang membuat. Jadi ada dua model, model
reguler dan model inklusi. Itu jumlah kita
kurangi, kata-kata sulit kita terjemahkan,
ditambahkan dengan gambar. Jadi
pertimbangannya itu. Untuk penilaian
sikapnya sama. Sementara untuk
assessment sikapnya sama. Jadi kalau
terlambat sholat dhuha yo kita tulis
terlambat. David itu kan memang kontrol
tanggungjawabnya lemah, kalau Raihan
tidak. Karena untuk Raihan kan kontrol
orang tua bagus. Mungkin david itu akan
270

bagus kalau kontrol orang tua bagus. Kan


sering nggak ngerjakan tugas, david sering
gitu. Kaya kemarin tidak membawa buku
monitor sholat. Tapi orang tuanya dikabari
sekarang bahwa david sudah beberapa kali
tertulis dalam buku pelanggaran siswa, itu
buagus nanti seminggu tok, minggu
depannya balik lagi, orang tuanya harus
diingatkan lagi. Kaya kemarin ngerjakan di
luar kelas, itu hanya bentuk punishment
tanggungjawab aja. Karena memang ya
tidak tersupport.

Kendala Kendala apa yang anda hadapi selama


Pembelajaran P melaksanakan pembelajaran bagi siswa
Siswa berkebutuhan khusus?
Berkebutuhan Untuk anak inklusi kendala besarnya ketika
Khusus tidak ada gayung bersambut dari orang tua,
sehingga apa yang coba kita buat lompatan,
harapan itu tidak jalan. Sebenarnya tidak
hanya anak inklusi ya yang membutuhkan
seperti itu, apalagi untuk anak inklusi
harusnya ketika kita menerapkan seperti ini,
di rumah harusnya ini disambung. Lha
sementara kalau tidak, wah itu jadi masalah
besar. Sementara itu, kalau untuk David dan
I
Raihan kan perilaku anaknya masih bisa
tertangani ya dia tidak perusak. ABKnya
bukan ABK yang perusak. Jadi berteman
dengan temannya juga mampu. Sehingga
kalau dia tidak bisa berteman kan dia akan
sendiri, perkembangannya juga dia
mengukur sendiri, tapi kalau dengan
temannya untuk komunikasi bisa agak baik.
Oo dengan temannya bisa bermain, berarti
kan perkembangannya dari situ.

Startegi Bagaimana Strategi Anda untuk


Peningkatan P meningkatkan mutu pembelajaran siswa
Mutu berkebutuhan khusus?
Pembelajaran nggeh, kerja kelompok juga diikutkan,
Siswa media juga diikutkan. Seminggu ini
Berkebutuhan memang koordinasi kelas 5 sedang tidak
I
Khusus jalan. Biasanya kan kita koordinasi di awal,
hari senin sampai kamis batasnya
koordinasi itu digunakan untuk kegiatan
271

seminggu kedepan. Selalu ada permainan,


selalu ada media, karena koordinasi minggu
kemarin nggak jalan, jadi minggu ini
vakum. Jadi Setelah kita rapat hari senin
sampai kamis, sewaktu anak2 mengaji jam
1-2, kita rapat bersama satu tim kelas 5,
setelah itu hari jumat kita share ke
paguyuban dulu. Jadi paguyuban tahu apa
yang dilakukan seminggu ke depan nanti.
Jadi bukan paguyban datang kesini, tapi
kalu ada alat-alat atau media yang harus
disiapkan paguyuban, paguyuban datang
kesini. Hari sabtu sudah diberi media. “kami
butuh sterofoam, kami butuh ini..ini..ini..
paguyuban yang menyediakan. Paguyuban
hari sabtu sudah menyediakan untuk
minggu depan. Mungkin nanti di as-Salam
bisa dicek buku koordinasi kita bersama
selalu kita bukukan dengan tapak asto
kepala sekolah. Jadi laporannya ke kepala
sekolah, kita ada buku koordinasi. Hanya
minggu ini aja yang kita memang vakum di
situ nanti terlihat medianya. Terlihat apa
yang kita lakukan seminggu. Administrasi
mungkin di Bu Mita ya, As-Salam nanti
minta aja.
Yang jelas media diperlukan, partisipasi
anak diperlukan, support anak diperlukan,
salah satu teknik untuk mengkoordinasi
karena kita menganggap hasil pendidikan
baik ternyata diisi baik-baik itu dari hasil
koordinasi. Jadi itu salah satu trik kami
untuk meningkatkan hasil belajar siswa
dengan kita sharing bersama dengan kita
menyiapkan jauh-jauh hari kita sudah siap
dengan media pembelajaran, kita membagi
tugas, kita menggunakan media, itu dalam
rangka memaksimalkan pembelajaran.
Sementara ya pemanggilan rutin orang tua,
pelaporan rutin. Jadi sementara by WA ini
yang responnya sangat bagus, kadang nggak
masuk aja sampai lupa mamanya itu, jadi
komunikasi itu yang harus kita jalin. Karena
kalau kominaksi face to face kalau untuk
david belum bisa. Kalau mamanya raihan
ini bisa, nanti kita minta ijin untuk
272

pendampingan Raihan untuk dikonsistenkan


oleh Bu Eka, mengijinkan. Kalau David ini
kita panggil denagn surat resmi tidak mau.

Informan Mushodiqul Umam, S.Pd


Status Informan Wali Kelas V Al-Latif
Lokasi Ruang Kelas V Al-Latif
Tanggal 13 Nopember 2016

Pewawancara
Fokus (P) dan Pertanyaan dan Jawaban
Informan (I)
Pembelajaran Bagaimana Pembelajaran Siswa
Siswa P Berkebutuhan Khusus SD Muhammadiyah
Berkebutuhan 9 “Panglima Sudirman”?
Khusus Pembelajarannya sama dengan siswa pada
umumnya. Hanya materinya diturunkan
I
sesuai denan kemampuan dan kadang-
kadang kita damping kalau dia kesulitan.
P Bagaimana langkah menyusun IEP?
Iya, yang pertama perlu saya jelaskan
sebentar ya. Inklusi yang kita terapkan
seperti yang saya sampaikan kemarin dia
bisa dalam kegiatan pembelajaran itu sudah
mulai bisa mengikuti, Cuma dia agak slow
learner oleh sebab itu RPP yang dibikin
oleh kita, Tim kelas V itu sifatnya kalau
secara umum sama tetapi di situ nanti ada
penyederhanaan. Kaya Shaka ini
I penyederhanaannya materi, dari tingkat
kerumitan agak diturunkan, jumlah
dikurangi dari yang standar misalkan
seandaianya di evaluasi itu ada 40 dia 35
seperti itu, dan untuk beberapa materi yang
sifatnya dia butuh penalaran kita bantu.
Karena harapn kita ke depan nanti dia bisa
dengan program yang kita lakukan itu
berujung kemandirian. Untuk hal ini tidak
dicantumkan di RPP, tapi untuk teknis
273

pelaksanaannya Shaka seperti itu beda


dengan yang lain, karena setiap anak inklusi
mempunyai karakter yang berbeda-beda jadi
kita tidak bisa menyamakan persis dengan
yang lain. Jadi cara pembelajarannya
berbeda, namun RPP untuk Shaka sama.
Apa saja acuan Anda dalam menyusun
P
RPP?
Buku guru itu, kalau di K13 kan sudah ada
I
ya kita tinggal mengambil saja
Bagaimana Anda menyiapkan siswa untuk
P
belajar?
Untuk Shaka tidak ada persiapan khusus,
sama seperti yang lain. Dia juga beberapa
kali saya suruh maju ke depan memimpin
do‟a. jadi kita itu setiap kali memulai
pembelajaran anak-anak ke depan
memimpin do‟a, dan itu akan saya pilih
I
acak kalau kebetulan dia bertugas ya
bertugas. Contoh lagi kapan hari tugas
sholat dhuha, dia saya tunjuk jadi imam ya
bisa dan harus bisa. Jadi untuk porsi-porsi
seperti itu kita samakan. Jadi secara
keseluruhan aktivitas dia sama.
P Bagaimana Anda memotivasi siswa?
Secara pribadi, jadi kalau anak seperti ini
kita pendekatannya harus personal, kita
harus agak sensitive dalam tanda kutip
mengerti kebutuhan dia apa, kenapa dia
sedih, kenapa dia yang biasanya ceria kok
jadi muram seperti itu segera kita dekati kita
Tanya secara pribadi jadi tidak dalam forum
yang sangat besar. Misalkan ini kemarin dia
potong rambut diapakan itu, dikasih garis
gitu, nah itu kan tidak boleh. Memang kalau
I ini pelanggarannya mutlak karena memang
tidak boleh ya. makanya kita beritahukan ke
teman-temannya yang lain bahwa, teman-
temannya yang protes itu kan, saya nanya
“boleh ndak?”, teman-temannya bilang
nggak boleh ya sudah saya bilang ke shaka
berarti shaka harus nurut kepada teman-
temannya. Hari ini dia lapor ke saya “pak
saya minta potong rambutnya hari sabtu aja
ya soalnya papa kerja sama mama?” “OK”
berarti itu tanggungjawab merespon apa
274

yang saya katakan.


Bagaimana Anda menerapkan pendekatan
P
saintifik?
Ya, shaka itu seperti ini ya, yang paling
berat memang shaka itu di bagian menalar
dan berhitung. Jadi kalau yang lainnya,
Alhamdulillah dia perlahan-lahan sudah
bisa. Meskipun kemarin ada beberapa
kendala yang menulisnya yang dalam hal ini
I juga belum begitu sempurna. Jadi saya bikin
terapi, saya kesepakatan sama orang tuanya
kemarin pas memberikan tugas itu dan saya
harus tanda tangan, untuk kerapian dia.
Kemudian harapan kita adalah pada
akhirnya dia belajar dengan tulisannya
sendiri dia merasa enjoy.
P Bagaimana Evaluasi ABK?
Tiga ranah kompetensi itu kita terapkan
tetapi dengan standar minimum, makanya
saya katakan, khusus penilaian kita bedakan
karena inklusi dari KKMnya juga kita
bedakan, materinya sama penyederhanan
baik itu kalimat panjang dijadikan pendek,
baik itu dibantu dengan gambar atau
dengan clue-clue lain supaya dia dapat
I
memamhami soal dengan baik. Untuk
penilaian sikap sama. Sikap shaka ini kan
bagus. Sikapnya bagus, sosialnya bagus.
Jadi tidak ada masalah di situ. Kalau
penilaian kognitif dan psikomotorik itu
yang paling kita bedakan karena kan dia
mempunyai kendala di situ, short time
memory

Kendala Kendala apa yang anda hadapi selama


P
Peningkatan melaksanakan strategi tersebut?
Mutu Shaka Alhamdulillah tidak terlalu ada
Pembelajaran kendala karena orang tuanya selalu support.
Siswa Yang paling penting anak ABK itu adalah
Berkebutuhan kita kerja sama dengan orang tua sebtulnya.
Khusus Selama ini komunikasi dengan orang tuanya
I
sangat baik, orang tuanya sangat proaktif ya
kegiatan apapun, ekstrakurikuler juga
sangat support. Jadi Alhamdulillah tidak
terlalu terkendala. Dia perenang yang
sangat baik, di sekolah dia mengikuti ekskul
275

atletik dan sangat baik. Bagi saya sangat


baik karena di beberapa kegiatan itu
standarnya anak reguler.

Startegi Bagaimana Strategi Anda untuk


Peningkatan P meningkatkan mutu pembelajaran siswa
Mutu berkebutuhan khusus?
Pembelajaran Shaka lebih ke pendekatan personal tadi itu,
Siswa saya melihat shaka itu kemarin yang
Berkebutuhan pertama kendalanya dia dengan nulis karena
Khusus nulisnya banyak yang belum sempurna.
Yang kedua di berhitung, jadi karena
memang memorinya agak pendek jadi harus
sering kali diulang-ulang. Karena mau tidak
mau kalau nanti dia sudah menulisnya baik,
bisa memahami kalimat panjang, berhitung
bisa yang lain insya Allah mengikuti.
Intinya di situ karena sikap sudah baik ya,
saya nggak concern ke sikap lagi. Sosialnya
juga sudah baik, religinya OK. Selama ini
kalau selain itu kita bantu dengan media.
Jadi kalau kemarin contohnya di
pembelajaran bahasa jawa saya buatkan
untuk membantu shaka itu dengan gambar
I
wayang. Hanacaraka itu, kan sulit itu untuk
menghafalkan dan menuliskan itu. Kemarin
saya uji cobakan dan Alhamdulillah dia
nangkep (paham) meskipun belum
maksimal. Dan itu sering, ya anak-anak kita
arahkan saja termasuk shaka itu, memang
nggak mungkin dia mampu menuliskan
dengan baik tapi tetep kita arahkan.
sekian lama ini kita kumpul dengan guru-
guru ABK Dari situ kan kita sepakati
bentuk-bentuk penanganannya seperti apa,
materinya bagaimana. Tidak dari diknas,
tapi lebih dari itu kita menyiapkan sendiri.
Kita bersama tim ABK juga sering
mengadakan sharing, akalu begini seperti
apa untuk dari diknas sendiri selama ini
belum.

Informan Eka Susantin, S.Pd


276

Status Informan Guru Pendamping Khusus (GPK)


Lokasi Kantor Kepala Sekolah
Tanggal 14 Nopember 2016

Pewawancara
Fokus (P) dan Pertanyaan dan Jawaban
Informan (I)
Pembelajaran Bagaimana Pembelajaran Siswa
Siswa P Berkebutuhan Khusus SD Muhammadiyah
Berkebutuhan 9 “Panglima Sudirman”?
Khusus Kita menggunakan dua model kurikulum,
kalau kelas 1 sama kelas 3 itu
menggunakan K-13 modifikasi untuk
ABK. Yang I PB untuk tiga hari.
Kemudian yang kelas 1 itu model PTI, PTI
itu standar kelas 1 tapi standar TK. Kalau
kelas atas itu pakai K-13, kemudian
sistemnya lebih ke bimbingan, jadi sama
I dengan yang lain. Karena K-13 yang
modifikasi itu untuk tertentu saja,
misalnya tuna grahita kemudian ada yang
tuna netra kalau nggak salah. Kalau untuk
yang kesulitan belajar mungkin lebih ke
modifikasi karena kan tidak semua materi
mereka mengalami kesulitan, misalkan
matematika, Bahasa Indonesia, ada yang
satu-dua pelajaran masih bisa.
P Bagaimana langkah menyusun IEP?
Kebetulan kalau IEP kami tidak
menerapkan. di sini kami menggunakan
RPP seperti pada umumnya dan RPP
modifikasi untuk siswa dengan hambatan
yang berat. Kalau sementara ini di kelas 3
ada, jadi kita ngambil materi sendiri
kemudian kita kasihkan ini materi yang
sesuai dengan hambatannya, sesuai dengan
I
kemampuannya gitu ada di kelas 3, kalau
yang di kelas 5 selama ini modifikasi. Jadi
disederhanakan sama guru kelas atau kalau
tidak siswanya ini didampingi dan
dibimbing. Jadi kalau mungkin yang di
kelasnya BU Louis lebih dibimbing di
awal kemudian selanjutnya siswanya
mengerjakan sendiri.
Apa saja acuan Anda dalam menyusun
P
RPP?
277

Buku guru itu, kalau di K13 kan sudah


I
ada ya kita tinggal mengambil saja
Bagaimana Anda menyiapkan siswa untuk
P
belajar?
Kalau untuk persiapan khusus tidak ada
ya, kecuali untuk anak yang hambatannya
I
berat seperti autis kan harus dikondisikan
dulu siswanya.
P Bagaimana Anda memotivasi siswa?
Anak-anak seperti ini kan membutuhkan
pendekatan khusus. terutama ketika
menghadapi masalah. guru harus peka.
jadi begitu siswa menunjukkan tanda-
tanda kurang semangat belajar. kita harus
tanggap memberikan pendampingan.
Selain itu, siswa juga tidak perlu terlalu
dikekang, biarkan mereka bergaul dengan
siswa reguler lain. Kecuali yang ini nggeh,
anak yang mempunyai hambatan berat tadi
itu. kami berharap Anak-anak itu tetap
punya semangat untuk belajar, tetap punya
semangat untuk maju, kemudian bisa
mandiri, dan minimal punya skill, dia
punya minat apa, punya bakat apa itu yang
nantinya bisa di kembangkan di
masyarakatnya gitu. Karena kan anak-anak
I
yang berkebutuhan khusu, mohon maaf,
lebih banyak orang memandangnya
underestimate, meremehkan gitu. Apalagi
kalau sudah bilang “ABK, ABK” gitu
sensitive dianggap dia itu tidak bisa apa-
apa padahal berprestasi bisa. Dua tahun
lalu itu ada siswa ABK yang bisa reguler,
jadi kelas 5 akhir itu sudah bisa masuk
reguler. Dari kelas 4 itu sudah mulai bisa
dilepas. Dia di kelas 5 semester 2 sudah
bisa seperti yang lain. Harapnnya itu,
anak-anak punya semangat untuk
berkembang. Kadang kan sudah drop
dibilang ABK gitu. Kemudian harapannya
juga siswa yang non ABK itu bisa ikut
terlibat, bisa ikut momong lah kasarannya
seperti itu.
Bagaimana Anda menerapkan pendekatan
P
saintifik?
I Kalau untuk saintifik paling ya sebatas
278

mengamati saja. kalau untuk tahap


berpikir lebih tinggi kan mereka belum
mampu.
P Bagaimana Evaluasi ABK?
Kita ada dua model nggeh, UAS sekolah
sama UAS Diknas. UAS sekolah dari
sekolah, yang Diknas dari Diknas.
Biasanya kita ada tim, jadi tiap jenjang
kelas itu saya bekerja sama dengan
misalnya tim kelas 2 sama tim kelas 5 itu,
timnya ya guru-guru kelas 2 sama kelas 5.
Kemudian kita juga sama-sama
membahas Si A hambatannya ini
kemampuannya segini kemudian nanti
soalnya seperti apa, itu kita
komunikasikan. Biasanya kalau nggak
ketemu ya kalau pas ketemunya di kantor
terus kita koordinasi langsung. Jadi tidak
harus terpaku pada waktu. Karena kan
saya focus di kelas bawah kalau di kelas
I 4,5,6 itu delegasinya lebih ke guru kelas.
Karena memang sebagian besar tidak ada
hambatan perilaku yang mengharuskan
guru standby gitu tidak. Kalau kelas
bawah itu ada, yang autis 1 di kelas 1
sama kelas 2 tapi itu mulai kita latih untuk
lepas karena kan nggak mungkin kita
harus mengawasi terus dan anaknya biar
nggak ketergantungan sama kita.
Targetnya adalah anak-anak itu mandiri,
kemudian mempunyai perilaku yang
sesuai dengan harapan kita, baiklah
minimal. Kemudian untuk yang akademik
itu kita sesuaikan dengan kemampuan
siswa. Jadi kita tidak memaksakan
levelnya dia harus sama dengan reguler,
mboten.

Kendala Kendala apa yang anda hadapi selama


P
Pembelajaran melaksanakan strategi tersebut?
Siswa Kalau kendalanya itu gini, dengan jumlah
Berkebutuhan yang besar nggeh, jumlah ABKnya yang
Khusus banyak, dan tenaganya terbatas. Jadi
I
mungkin yang seharausnya 3:1, GPKnya 1
ABKnya 3, insya Allah lebih bisa
maksimal. Walapun mungkin di sekolah
279

lain, mungkin lebih banyak nggeh.


Jumlah ABK tahun ini total semua 18 dari
kelas 1 sampai kelas 6, tahun lalu 24
biasanya kita naik itu di tengah-tengah,
ada yang siswa pindahan ada yang
memang tiba-tiba di tengah-tengah itu ada
masalah ada hambatan belajar. Kemudian
setelah ada tes psikologi baru kemudian
ada indikasi.
Di sini saya memilih untuk focus sama
anak-anak yang jenis hambatannya
lumayan berat, autis, ADHD yang seperti
itu. Sedangkan yang kesulitan belajar itu
saya kolaborasikan dengan guru kelas.
Tapi kekurangannya adalah saya kurang
bisa mengikuti perkembangan anak, jadi
komunikasinya harus sama guru kelas. Ya
kalau tiap hari ketemu, tiba-tiba sudah ada
laporan “ini tadi begini, si ini tadi begini,
dia di kelas begini-begini” nah itu yang
terkendala. Ketika ada orang bertanya, “bu
ini perkembangannya bagaimana, nah itu
yang saya harus crosscheck ke guru kelas.
Hambatannya di situ. Kemudian sarana
prasarana, walapun sudah tersedia ruang
inklusi nggeh, tapi itu kita harus berbagi
dengan yang lain. Maksudnya kadang-
kadang dipakai untuk kegiatan ekstra,
kadang dipakai untuk kegiatan kondisional
mislanya ada kegiatan kelas 6 karena kan
lingkungannya gabung sama kelas 6. 80%
memang kita pakai, Cuma kadang-kadang
kondisinya ini nggeh kurang nyaman
untuk anak-anak, ketika datang kotor,
tidak siap pakai begitu. Tapi ya
Alhamdulillah saya masih bersyukur,
masih tersedia ruang inklusi. Kemudian
masalah buku, jadi misalnya untuk
menyederhanakan itu, ada yang siswa-
siswa yang memang modifikasi, ada yang
memang ulangan, itu misalkan buku-buku
tertentu seperti Bahasa Arab, KMd,
Bahasa Inggris, itu yang memang agak
kesulitan mislanya membuat buku ajar
tersendiri gitu.
280

Startegi Bagaimana Strategi Anda untuk


Peningkatan P meningkatkan mutu pembelajaran siswa
Mutu berkebutuhan khusus?
Pembelajaran Biasanya kita kolaborasi untuk bisa
Siswa meningkatkan kualitas siswanya karena
Berkebutuhan saya sendiri tidak banyak terlibat secara
Khusus langsung untuk di kelas 5 karena kelas 5
sendiri pendampingannya dengan guru
jadi saya bekerja sama dengan guru dan
orang tua dengan system kolaborasi jadi
misalnya anak-anak ada hambatan di
kelasnya itu baru kita sharing dengan guru
kelas kemudian kita bahas problemnya
apa, kemudian nanti kita cari solusinya
seperti apa untuk bisa mengetahui
perkembangannya bagaimana terus
hambatannya apa kita cari solusinya sama-
sama setelah itu bisa mencari hasil yang
sesuai dengan kebutuhan.
Setiap minggu juga ada koordinasi antar
guru kelas, kemudian kapan hari itu ketika
mau UAS kemudian kita komunikasikan
untuk siswa berkebutuhan khusus ini
UASnya nanti bagaimana, soalnya seperti
I
apa, apakah sudah bisa ikut reguler atau
masih tetap di ABK, disederhanakan.
Karena otomastis dari kelas 4 kemarin ada
perkembangan walaupun mungkin masih
minim nggeh tapi harapannya anak-anak
nanti di kelas 5 ini lebih baik. Setelah itu
kita koordinasi lagi, menjelang akhir
semester ini itu baru kita putuskan anak-
anak pakai ujian inklusi. Kalau untuk guru
kelas sendiri itu memang rutin seminggu
sekali Cuma itu untuk intern guru kelas,
kemudian yang berkenaan dengan siswa
berkebutuhan khusus baru guru kelas itu
koordinasi individu dengan saya,
kondisional, kalau misalnya terlibat
koordinasi rutin di kelas 5 itu kita
menyesuaikan mawon misalnya apakah
membutuhkan GPK untuk ikut koordinasi
itu baru nanti ada konfirmasi kita
diundang gitu. Karena yang saya tau
biasanya tiap kelas koordinasi.
281

Lampiran 11

Instrumen Dokumentasi

Fokus Jenis Dokumen Sumber


Profil lembaga - Sejarah Berdiri - Dokumen 1
- Susunan pengurus Kurikulum
- Data jumlah guru - Database lembaga
- Data Jumlah Siswa
- Daftar Prestasi
lembaga
- Data sarana dan
prasarana
Pembelajaran bagi siswa - Kurikulum - Tata Usaha
berkebutuhan khusus - Individualized - Guru
Education Program
(IEP) atau Rencana
Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP)
Kendala pembelajaran
bagi siswa berkebutuhan
khusus
Strategi guru untuk - Dokumentasi - Buku laporan rapat
meningkatkan mutu rancangan strategi koordinasi guru
pembelajaran bagi siswa - Dokumentasi foto - kegiatan
berkebutuhan khusus penerapan strategi guru pembelajaran di kelas
untuk meningkatkan - media pembelajaran
mutu pembelajaran
bagi siswa
berkebutuhan khusus
- Dokumentasi foto
media pembelajaran
282

Lampiran 12

Foto Dokumentasi MIT Ar-Roihan

MIT Ar-Roihan Tampak dari Depan

Gedung Belajar MIT Ar-Roihan


283

Sarana Bermain untuk Siswa MIT Ar-Roihan

Suasana Pembelajaran di MIT Ar-Roihan


284

Lampiran 13

Foto Dokumentasi SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman”

Gedung Belajar SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman”

Kata-kata motivasi dan hasil kreasi siswa


285

Berbagai prestasi siswa SD Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman”

Pelibatan Siswa Berkebutuhan Khusus dalam Pembelajaran di SD


Muhammadiyah 9 “Panglima Sudirman”
286

Lampiran 14

Riwayat Hidup Peneliti

Penulis dilahirkan di Kabupaten Bojonegoro pada


tanggal 11 Pebruari 1991 dari ayah yang bernama
Adi dan ibu bernama Suminten. Penulis merupakan
anak keempat dari tujuh bersaudara. Penulis
menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD
Negeri Pejok II Kecamatan Kepohbaru pada tahun
1997 dan lulus pada tahun 2003. Kemudian Penulis
melanjutkan pendidikan di MTs Negeri Kepohbaru
dan tamat pada tahun 2006. Penulis melanjutkan pendidikannya di MA Darul
Ulum Pasinan Baureno dan lulus pada tahun 2009. Setelah tamat MA, penulis
hijrah ke Kota Malang untuk menempuh pendidikan Strata I (S-I) di Universitas
Islam Malang (UNISMA) dan diterima di Fakultas Agama Islam (FAI) Program
Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtida‟iyah (PGMI) dan tamat tanggal 18
Oktober tahun 2014. Kemudian pada bulan Januari tahun 2015, penulis
melanjutkan pendidikannya di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang pada Program Pascasarjana dan diterima di Program Studi Magister
Pendidikan Guru Madrasah Ibtida‟iyah (PGMI). Selama menempuh pendidikan,
penulis pernah bergambung dalam beberapa organisasi pelajar dan mahasiswa, di
antaranya adalah IPNU, SAKA Wirakartika, Ketua Osis MA Darul Ulum,
Jam‟iyatul Qurro‟ wal Hufadh (JQH), dan Volunteer LP2M UIN Maulana Malik
Ibrahim Malang. Penulis sempat menjadi staf pengajar di MI Darul Ulum Pasinan
Baureno pada tahun 2008 sampai dengan 2009 dan MI An-Nur Sawahan Turen
pada tahun 2012. Penulis juga beberapa kali terlibat dalam penelitian pengabdian
kepada masyarakat, antara lain Profil Gender Kabupaten Malang tahun 2015,
2016 dan Participatori Action Research (PAR) di Kecamatan Donomulyo tahun
2016.

Anda mungkin juga menyukai