PJR Dikonversi
PJR Dikonversi
I. Definisi
Penyakit jantung reumatik (Reumatic Heart Disease) merupakan penyakit
jantung didapat yang sering ditemukan pada anak. Penyakit jantung reumatik
merupakan kelainan katup jantung yang menetap akibat demam reumatik akut
sebelumnya, terutama mengenai katup mitral (75%), aorta (25%), jarang mengenai
katup trikuspid, dan tidak pernah menyerang katup pulmonal. Penyakit jantung
reumatik dapat menimbulkan stenosis atau insufisiensi atau keduanya. Penyakit
jantung reumatik merupakan hasildari demam reumatik, yang merupakan kondisi
yang dapat terjadi 2-3 minggu setelah infeksi streptococcus betahemolyticus grup A
pada saluran nafas bagian atas.
II. Epidemiologi
Demam Rematik dapat ditemukan di seluruh dunia dan mengenai semua
umur, tetapi 90% dari serangan pertama terjadi pada umur 5-15 tahun, sedangkan
yang terjadi di bawah umur 5 tahun jarang sekali. Sebuah penelitian melaporkan
bahwa DR adalah penyebab utama penyakit jantung untuk anak usia 5-30 tahun,
DR dan PJR adalah penyebab utama kematian akibat penyakit jantung untuk usia di
bawah 45 tahun, selain itu dilaporkan bahwa 25-40% penyakit jantung disebabkan
oleh PJR untuk semua umur.
IV. Patogenesis
Streptococcus beta hemolyticus grup A dapat menyebabkan penyakit supuratif
misalnya faringitis, impetigo, selulitis, miositis, pneumonia, sepsis nifas dan penyakit
non supuratif misalnya demam rematik, glomerulonefritis akut. Setelah inkubasi 2-4
hari, invasi Streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring menghasilkan respon
inflamasi akut yang berlangsung 3-5 hari ditandai dengan demam, nyeri tenggorok,
malaise, pusing dan leukositosis.4 Pasien masih tetap terinfeksi selama berminggu-
minggu setelah gejala faringitis menghilang, sehingga menjadi reservoir infeksi bagi
orang lain. Kontak langsung per oral atau melalui sekret pernafasan dapat menjadi
media trasnmisi penyakit. Hanya faringitis Streptococcus beta hemolyticus grup A
saja yang dapat mengakibatkan atau mengaktifkan kembali demam rematik.
2
Penyakit jantung rematik merupakan manifestasi demam rematik
berkelanjutan yang melibatkan kelainan pada katup dan endokardium. Lebih dari
60% penyakit rheumatic fever akan berkembang menjadi rheumatic heart disease.
Adapun kerusakan yang ditimbulkan pada rheumatic heart disease yakni kerusakan
katup jantung akan menyebabkan timbulnya regurgitasi. Episode yang sering dan
berulang penyakit ini akan menyebabkan penebalan pada katup, pembentukan skar
(jaringan parut), kalsifikasi dan dapat berkembang menjadi valvular stenosis.
Sebagai dasar dari rheumatic heart disease, penyakit rheumatic fever dalam
patogenesisnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adapun beberapa faktor yang
berperan dalam patogenesis penyakit rheumatic fever antara lain faktor organisme,
faktor host dan faktor sistem imun.
V. Diagnosis
Rheumatic fever merupakan penyakit sistemik, pasien rheumatic fever
menunjukan keluhan yang bervariasi. Gambaran klinis pada rheumatic fever
bergantung pada sistem organ yang terlibat dan manifestasi yang muncul dapat
tunggal atau merupakan gabungan beberapa sistem organ yang terlibat.
a. Anamnesis
Sebanyak 70% remaja dan dewasa muda pernah mengalami sakit tenggorok
1-5 minggu sebelum muncul rheumatic fever dan sekitar 20% anak-anak menyatakan
pernah mengalami sakit tenggorokan. Keluhan mungkin tidak spesifik, seperti
demam, tidak enak badan, sakit kepala, penurunan berat badan, epistaksis, kelelahan,
malaise, diaforesis dan pucat. Terkadang pasien juga mengeluhkan nyeri dada,
ortopnea atau sakit perut dan muntah.4
Gejala spesifik yang kemudian muncul adalah nyeri sendi, nodul di bawah
kulit, peningkatan iritabilitas dan gangguan atensi, perubahan kepribadian seperti
gangguan neuropsikiatri autoimun terkait dengan infeksi Streptococcus, difungsi
5
motorik, dan riwayat rheumatic fever sebelumnya.4
b. Manifestasi Klinis
Untuk diagnosis rheumatic fever digunakan kriteria Jones yang pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1944, dan kemudian dimodifikasi beberapa kali. Kriteria
ini membagi gambaran klinis menjadi dua, yaitu manifestasi mayor dan minor.4
6
Manifestasi mayor Manifestasi minor
Karditis Klinis :
Poliartritis migrans - artralgia: nyeri sendi tanpa merah dan bengkak
- demam tinggi (>390 C)
Chorea sydenham Laboratorium:
Eritema marginatum - peningkatan penanda peradangan yaitu erythrocyte
Nodul subkutan sedimentation rate (ESR) atau C Reactive Protein (CRP)
- pemanjangan interval PR pada EKG
Ditambah
Bukti infeksi streptococcus beta hemolyticus grup A sebelumnya (45 hari terakhir)
- Kultur hapusan tenggorok atau rapid test antigen streptococcus beta
hemolyticus grup A hasilnya positif
- Peningkatan titer serologi antibodi streptococcus beta hemolyticus grup A.4,11
- Kriteria Mayor
Karditis
Karditis adalah komplikasi yang paling serius dan paling sering terjadi setelah
poli artritis. Pankarditis meliputi endokarditis, miokarditis dan perikarditis. Pada
stadium lanjut, pasien mungkin mengalami dipsnea ringan-sedang, rasa tak nyaman
di dada atau nyeri pada dada pleuritik, edema, batuk dan ortopnea. Pada pemeriksaan
fisik, karditis paling sering ditandai dengan murmur dan takikardia yang tidak sesuai
dengan tingginya demam. Gambaran klinis yang dapat ditemukan dari gangguan
katup jantung dapat dilihat pada tabel 2.12
Poliartritis Migrans
Merupakan manifestasi yang paling sering dari rheumatic fever, terjadi pada
sekitar 70% pasien rheumatic fever. Gejala ini muncul 30 hari setelah infeksi
Streptococcus yakni saat antibodi mencapai puncak. Radang sendi aktif ditandai
dengan nyeri hebat, bengkak, eritema pada beberapa sendi. Nyeri saat istirahat yang
semakin hebat pada gerakan aktif dan pasif merupakan tanda khas. Sendi yang paling
sering terkena adalah sendi-sendi besar seperti sendi lutut, pergelangan kaki, siku,
dan pergelangan tangan. Gejala ini bersifat asimetris dan berpindah-pindah
(poliartritis migrans). Peradangan sendi ini dapat sembuh spontan beberapa jam
sesudah serangan namun muncul pada sendi yang lain. Pada sebagian besar pasien
dapat sembuh dalam satu minggu dan biasanya tidak menetap lebih dari dua atau tiga
minggu. 12
Chorea Sydenham/Vt. Vitus’ Dance
Chorea sydenham terjadi pada 13-14% kasus rheumatic fever dan dua kali
lebih sering pada perempuan. Gejala ini muncul pada fase laten yakni beberapa bulan
setelah infeksi Streptococcus (mungkin 6 bulan). Manifestasi ini mencerminkan
keterlibatan proses radang pada susunan saraf pusat, ganglia basal, dan nukleus
kaudatus otak. Periode laten dari chorea ini cukup lama, sekitar tiga minggu sampai
tiga bulan dari terjadinya rheumatic fever. Gejala awal biasanya emosi yang lebih
labil dan iritabilitas. Kemudian diikuti dengan gerakan yang tidak disengaja, tidak
bertujuan, dan inkoordinasi muskular. Semua bagian otot dapat terkena, namun otot
ekstremitas dan wajah adalah yang paling mencolok. Gejala ini semakin diperberat
dengan adanya stress dan kelelahan, namun menghilang saat beristirahat.12
Eritema Marginatum
Eritema marginatum merupakan ruam khas pada rheumatic fever yang terjadi
kurang dari 10% kasus. 12 Ruam berbentuk anular berwarna kemerahan yang
kemudian ditengahnya memudar pucat, dan tepinya berwarna merah berkelok-kelok
seperti ular. Umumnya ditemukan di tubuh (dada atau punggung) dan ekstremitas.4
Nodulus Subkutan
Nodulus subkutan ini jarang dijumpai, kurang dari 5% kasus. Nodulus terletak
pada permukaan ekstensor sendi, terutama pada siku, ruas jari, lutut, dan persendian
kaki. Kadang juga ditemukan di kulit kepala bagian oksipital dan di atas kolumna
vertebralis. Nodul berupa benjolan berwarna terang keras, tidak nyeri, tidak gatal,
mobile, dengan diameter 0,2-2 cm. Nodul subkutan biasanya terjadi beberapa minggu
setelah rheumatic fever muncul dan menghilang dalam waktu sebulan. Nodul ini
selalu menyertai karditis rematik yang berat. 13
- Kriteria Minor
Demam biasanya tinggi sekitar 39oC dan biasa kembali normal dalam waktu
2-3 minggu, walau tanpa pengobatan. Artralgia, yakni nyeri sendi tanpa disertai
tanda-tanda objektif (misalnya bengkak, merah, hangat) juga sering dijumpai.
Artralgia biasa melibatkan sendi-sendi yang besar. Penanda peradangan akut pada
pemeriksaan darah umumnya tidak spesifik, yaitu LED dan CRP umumnya
meningkat pada rheumatic fever. Pemeriksaan dapat digunakan untuk menilai
perkembangan penyakit. 12
c. Pemeriksaan Penunjang
Adapun beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk
mendukung diagnosis dari rheumatic fever dan rheumatic heart disease adalah :
a. Pemeriksaan Laboratorium
- Reaktan Fase Akut
Merupakan uji yang menggambarkan radang jantung ringan. Pada
pemeriksaan darah lengkap, dapat ditemukan leukosistosis terutama pada fase
akut/aktif, namun sifatnya tidak spesifik. Marker inflamasi akut berupa C-
reactive protein (CRP) dan laju endap darah (LED). Peningkatan laju endap
darah merupakan bukti non spesifik untuk penyakit yang aktif. Pada
rheumatic fever terjadi peningkatan LED, namun normal pada pasien dengan
congestive failure atau meningkat pada anemia. CRP merupakan indikator
dalam menetukan adanya jaringan radang dan tingkat aktivitas penyakit. CRP
yang abnormal digunakan dalam diagnosis rheumatic fever aktif. 8
- Rapid Test Antigen Streptococcus
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi antigen bakteri Streptococcus grup A
secara tepat dengan spesifisitas 95 % dan sensitivitas 60-90 %.4
- Pemeriksaan Antibodi Antistreptokokus
Kadar titer antibodi antistreptokokus mencapai puncak ketika gejala klinis
rheumatic fever muncul. Tes antibodi antistreptokokus yang biasa digunakan
adalah antistreptolisin O/ASTO dan antideoxyribonuklease B/anti DNase B.
Pemeriksaan ASTO dilakukan terlebih dahulu, jika tidak terjadi peningkatan
akan dilakukan pemeriksaan anti DNase B. Titer ASTO biasanya mulai
meningkat pada minggu 1, dan mencapai puncak minggu ke 3-6 setelah
infeksi. Titer ASO naik > 333 unit pada anak-anak, dan > 250 unit pada
dewasa. Sedangkan anti-DNase B mulai meningkat minggu 1-2 dan mencapai
puncak minggu ke 6-8. Nilai normal titer anti-DNase B= 1: 60 unit pada anak
prasekolah dan 1 : 480 unit anak usia sekolah. 4
- Kultur tenggorok
Pemeriksaan kultur tenggorokan untuk mengetahui ada tidaknya
streptococcus beta hemolitikus grup A. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan
sebelum pemberian antibiotik. Kultur ini umumnya negatif bila gejala
rheumatic fever atau rheumatic heart disease mulai muncul.4
b. Pemeriksaan Radiologi dan Pemeriksaan Elektrokardiografi
Pada pemeriksaan radiologi dapat mendeteksi adanya kardiomegali dan
kongesti pulmonal sebagai tanda adanya gagal jantung kronik pada karditis.
Sedangkan pada pemeriksaan EKG ditunjukkan adanya pemanjangan interval PR
yang bersifat tidak spesifik. Nilai normal batas atas interval PR uuntuk usia 3-12
tahun = 0,16 detik, 12-14 tahun = 0,18 detik , dan > 17 tahun = 0,20 detik. 4
c. Pemeriksaan Ekokardiografi
Pada pasien RHD, pemeriksaan ekokardiografi bertujuan untuk
mengidentifikasi dan menilai derajat insufisiensi/stenosis katup, efusi
perikardium, dan disfungsi ventrikel. Pada pasien rheumatic fever dengan karditis
ringan, regurgitasi mitral akan menghilang beberapa bulan. Sedangkan pada
rheumatic fever dengan karditis sedang dan berat memiliki regurgitasi
mitral/aorta yang menetap. Gambaran ekokardiografi terpenting adalah dilatasi
annulus, elongasi chordae mitral, dan semburan regurgitasi mitral ke postero-
lateral. 4
d. Dasar Diagnosis
Tabel 3. Kriteria WHO 2002-2003 dalam Mendiagnosis Rheumatic Fever dan RHD11
Kategori diagnosis Kriteria
- Dua mayor
Rheumatic Fever serangan
- Atau satu mayor dan dua minor
pertama
- Ditambah bukti infeksi SBHGA sebelumnya
- Dua mayor
Rheumatic Fever serangan
- Atau satu mayor dan dua minor
ulang tanpa RHD
- Ditambah bukti infeksi SBHGA sebelumnya
- Dua minor
Rheumatic Fever serangan
- ditambah dengan bukti infeksi SBHGA
ulang dengan RHD
sebelumnya
Chorea reumatik - Tidak diperlukan kriteria mayor lainnya atau
Karditis reumatik bukti infeksi SBHGA
insidious
- Tidak diperlukan kriteria lainnya untuk
RHD
mendiagnosis sebagai RHD
VI. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien dengan rheumatic heart disease secara garis besar
bertujuan untuk mengeradikasi bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A,
menekan inflamasi dari respon autoimun, dan memberikan terapi suportif untuk gagal
jantung kongestif. Setelah lewat fase akut, terapi bertujuan untuk mencegah
rheumatic heart disease berulang pada anak-anak dan memantau komplikasi serta
gejala sisa dari rheumatic heart disease kronis pada saat dewasa. Selain terapi
medikamentosa, aspek diet dan juga aktivitas pasien harus dikontrol. Selain itu, ada
juga pilihan terapi operatif sebagai penanganan kasus-kasus parah.
a. Terapi Antibiotik
Profilaksis Primer
Eradikasi infeksi Streptococcus pada faring adalah suatu hal yang sangat
penting untuk mengindari paparan berulang kronis terhadap antigen Streptococcus
beta hemolyticus grup A. Eradikasi dari bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup
A pada faring seharusnya diikuti dengan profilaksis sekunder jangka panjang sebagai
perlindungan terhadap infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A faring yang
berulang.6
Pemilihan regimen terapi sebaiknya mempertimbangkan aspek bakteriologi
dan efektifitas antibiotik, kemudahan pasien untuk mematuhi regimen yang
ditentukan (frekuensi, durasi, dan kemampuan pasien meminum obat), harga, dan
juga efek samping.14
Penisilin G Benzathine IM, penisilin V pottasium oral, dan amoxicilin oral
adalah obat pilihan untuk terapi Streptococcus beta hemolyticus grup A faring pada
pasien tanpa riwayat alergi terhadap penisilin. Setelah terapi antibiotik selama 24 jam,
pasien tidak lagi dianggap dapat menularkan bakteri Streptococcus beta hemolyticus
group A. Penisilin V pottasium lebih dipilih dibanding dengan penisilin G benzathine
karena lebih resisten terhadap asam lambung. Namun terapi dengan penisilin G
benzathine lebih dipilih pada pasien yang tidak dapat menyelesaikan terapi oral 10
hari, pasien dengan riwayat rheumatic fever atau gagal jantung rematik, dan pada
mereka yang tinggal di lingkungan dengan faktor risiko terkena rheumatic fever
(lingkungan padat penduduk, status sosio-ekonomi rendah).14
Profilaksis Sekunder
Rheumatic fever sekunder berhubungan dengan perburukan atau munculnya
rheumatic heart disease. Pencegahan terhadap infeksi Streptococcus beta
hemolyticus grup A pada faring yang berulang adalah metode yang paing efektif
untuk mencegah rheumatic heart disease yang parah.14
Tabel 5. Obat-obatan Profilaksis Sekunder untuk Rheumatic Fever14
Agen Dosis Evidence
rating
Penicillin G benzathine Pasien berat < 27 kg (60 lb) 1A
600,000 unit IM setiap 4
minggu sekali
Pasien berat > 27 kg:
1,200,000 unit IM setiap 4
minggu sekali
Penicillin V potassium 250 mg oral 2x sehari 1B
Sulfadiazine Pasien berat < 27 kg (60 lb): 1B
0.5 g oral 1x sehari
Pasien berat > 27 kg (60 lb)
kg: 1 g oral 1x sehari
Macrolide atau antibiotik azalide Bervariasi 1C
(untuk pasien alergi penicillin dan
sulfadiazine)
e. Terapi Operatif
Pada pasien dengan gagal jantung yang persisten atau terus mengalami
perburukan meskipun telah mendapat terapi medis yang agresif untuk penanganan
rheumatic heart disease, operasi untuk mengurangi defisiensi katup mungkin bisa
menjadi pilihan untuk menyelamatkan nyawa pasien.16, 17 Pasien yang simptomatik,
dengan disfungsi ventrikel atau mengalami gangguan katup yang berat, juga
memerlukan tindakan intervensi.4
a. Stenosis Mitral: pasien dengan stenosis mitral murni yang ideal, dapat
dilakukan ballon mitral valvuloplasty (BMV). Bila BMV tak memungkinkan,
perlu dilakukan operasi.4
b. Regurgitasi Mitral: Rheumatic fever dengan regurgitasi mitral akut (mungkin
akibat ruptur khordae)/kronik yang berat dengan rheumatic heart disease
yang tak teratasi dengan obat, perlu segera dioperasi untuk reparasi atau
penggantian katup.4
c. Stenosis Aortik: stenosis katut aorta yang berdiri sendiri amat langka.
Intervensi dengan balon biasanya kurang berhasil, sehingga operasi lebih
banyak dikerjakan.4
d. Regurgitasi Aortik: regurgitasi katup aorta yang berdiri sendiri atau kombinasi
dengan lesi lain, biasanya ditangani dengan penggantian katup.4
VII. Prognosis
Pasien dengan riwayat rheumatic fever berisiko tinggi mengalami
kekambuhan. Resiko kekambuhan tertinggi dalam kurun waktu 5 tahun sejak episode
awal. Semakin muda rheumatic fever terjadi, kecenderungan kambuh semakin besar.
Kekambuhan rheumatic fever secara umum mirip dengan serangan awal, namun
risiko karditis dan kerusakan katup lebih besar. 4
Manifestasi rheumatic fever pada 80% kasus mereda dalam 12 minggu.
Insiden RHD setelah 10 tahun adalah sebesar 34% pada pasien dengan tanpa
serangan rheumatic fever berulang, tetapi pada pasien dengan serangan rheumatic
fever yang berulang kejadian RHD meningkat menjadi 60%.
DAFTAR PUSTAKA
1. Chakko S, Bisno AL. Acute Rheumatic Fever. In: Fuster V, Alexander RW,
O’Rourke et al. Hurst The Heart; vol.II; 10th ed. Mc Graw-Hill : New York,
2001; p. 1657 – 65.
2. Marijon E, Mirabel M, ,et al. Rheumatic fever. Paris: Lancet 2012; 379: 953–64
3. World Health Organization. Rheumatic fever and rheumatic heart disease WHO
Technical report series 923. Report of a WHO Expert Consultation Geneva, 29
October–1 November 2001.
4. Rilantono, LI. Penyakit Kardiovaskular (PKV). Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2013;331-335.
5. Majid Abdul. Anatomi Jantung dan pembuluh darah, Sistem Kardiovaskuler
secara Umum, Denyut Jantung dan Aktifitas Listrik Jantung, dan Jantung sebagai
Pompa. Fisiologi Kardiovaskular. Medan: Bagian Fisiologi Fakultas Kedokteran
USU. 2005; 7 -16.
6. WHO. Rhematic fever and Rheumatic Heart Disease. Report of a WHO expert
Consultation. 2004. [Online]. Melalui:
http://www.who.int/cardiovascular_diseases/resources/en/cvd_trs923.pdf
[diunduh 1 Mei 2016].
7. Luiza Guilherm, dkk. Molecular Mimicry in The Autoimmune Pathogenesis of
Rheumatic Heart Disease. Autoimmunity 2006; 39(1): 31 –39.
8. Kumar, Vinay dkk. Valvular Heart. Robbins and Cotran Pathologic Basis of
Disease. Philadelpia: Elsevier Inc. 2010.
9. Kliegman, Robert M, dkk. Rheumatic Heart Disease. Nelson Textbook of
Pediatrics, Edisi 18. Elsevier. 2007: 438.
10. Mishra T.K., Acute Rheumatic Fever and Rheumatic Heart Disease: current
scenario. JIACM. 2007;8(4):324-30.
11. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis, Ed. 2. Jakarta:Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011:41-42.
12. Essop, M.R & Omar, T. Valvular Heart Disease: Rheumatic Fever. Philadelphia:
Crawford. 2010;3:1215-1223
13. Carapetis, J., dkk. Acute Rheumatic Fever. Harrison’s Cardiovascular Medicine.
United States: The McGraw-Hill. 2010;17: 290-296.
14. Armstrong, C. AHA Guidelines on Prevention of Rheumatic Fever and
Diagnosis and Treatment of Acute Streptococcal Pharyngitis. Am Fam Physician.
2010 1;81(3):346-359.
15. Kumar, R.K., Tandon R. Rheumatic Fever & Rheumatic Heart Disease: The last
50 years. Indian J Med Res. 2013:137; 643-658.
16. Chin TK. 2014. Pediatric Rheumatic Heart disease. Medscape. [Online] Melalui:
http://emedicine.medscape.com/article/891897-overview#a0199 [diakses pada 1
Mei 2016].
17. Ciliers, A.M. Rheumatic Fever and Its Management. BMJ. 2006;333(7579):
1153-1156