Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Patah tulang atau fraktur didefinisikan sebagai hilangnya atau adanya

gangguan integritas dari tulang, termasuk cedera pada sumsum tulang,

periosteum, dan jaringan yang ada di sekitarnya. Fraktur ekstrimitas adalah

fraktur yang terjadi pada tulang yang membentuk lokasi ekstrimitas atas

(radius, ulna, carpal) dan ekstrimitas bawah (pelvis, femur, tibia,fibula,

metatarsal, dan lain-lain).4

B. Etiologi

Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae. Kuman ini bersifat obligat

intrasel, aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro, berbentuk basil Gram positif

dengan ukuran 3 – 8 μm x 0,5 μm, bersifat tahan asam dan alkohol2 . Kuman ini

memunyai afinitas terhadap makrofag dan sel Schwann, replikasi yang lambat di sel

Schwann menstimulasi cell-mediated immune response, yang menyebabkan reaksi

inflamasi kronik, sehingga terjadi pembengkakkan di perineurium, dapat ditemukan

iskemia, fibrosis, dan kematian akson.7

Mycobacterium leprae dapat bereproduksi maksimal pada suhu 27°C – 30°C,

tidak dapat dikultur secara in vitro, menginfeksi kulit dan sistem saraf kutan. Tumbuh

dengan baik pada jaringan yang lebih dingin (kulit, sistem saraf perifer, hidung,

3
cuping telinga, anterior chamber of eye, saluran napas atas, kaki, dan testis), dan tidak

mengenai area yang hangat (aksila, inguinal, kepala, garis tengah punggung.6

C. Epidemiologi

Kusta termasuk dalam salah satu penyakit menular yang angka kejadiannya

masih tinggi, misalnya di India, Brazil, dan Indonesia. Pada tahun 2004-2014

Indonesia menempati peringkat ketiga dalam jumlah kasus kusta di dunia setelah

India dan Brazil.2 Penyakit kusta merupakan masalah nasional kesehatan masyarakat,

dimana beberapa daerah di Indonesia, prevalens rate-nya masih tinggi. Data dari

Pusat Data dan Informasi mengenai Profil Kesehatan Indonesia menunjukkan

prevalensi penyakit kusta berkisar antara 0,79 hingga 0,96 per 10.000 penduduk.3

Pada tahun 2010, tercatat 17.012 kasus baru kusta di Indonesia dengan angka

prevalensi 7,22 per 100.000 penduduk sedangkan pada tahun 2011, tercatat 19.371

kasus baru kusta di Indonesia dengan angka prevalensi 8,03 per 100.000 penduduk.

Kusta lebih banyak didapatkan pada laki-laki daripada wanita, dengan perbandingan

2:1, dengan insidensi usia puncak 10-20 tahun dan 30-50 tahun, jarang terjadi pada

bayi. 4 Faktor predisposisinya adalah penduduk pada area yang endemik, memiliki

kerentanan lepra dalam darah, dan kemiskinan (malnutrisi).8

D. Klasifikasi

Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spectrum determinate pada

penyakit lepra yang terdiri atas berbagai tipe, yaitu: TT: tuberkuloid polar, bentuk

yang stabil Ti: tuberkuloid indefinite bentuk yang labil BT: borderline tuberculoid

4
bentuk yang labil BB: mid borderline bentuk yang labil BL: borderline lepromatous

bentuk yang labil Li: lepromatosa indefinite bentuk yang labil, dan LL: lepromatosa

polar, bentuk yang stabil.8

TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil.

Jadi tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni

lepromatosa 100%. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau

campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe

campuran 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak

tuberkuloidnya, sedang BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipetipe campuran

ini adalah tipe yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT maupun LL.8

Menurut WHO (1981), lepra dibagi menjadi multibasilar (MB) dan

pausibasilar (PB). Multibasilar berarti mengandung banyak basil dengan indeks

biposi (IB), ditemukan bakteri lebih dari +2, yaitu tipe LL, BL, dan BB pada

klasifikasi Ridley-Joping. Pausibasilar mengandung sedikit basil dengan IB kurang

dari +2, yaitu tipe TT, BT, dan I klasifikasi Ridley-Joping.7

5
E. Patogenesis

Cara penularan belum diketahui secara pasti hanya beranggapan dari

anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat.

Anggapan kedua adalah secara inhalasi, sebab M. Leprae dapat hidup beberapa hari

didalam droplet. Masa tunasnya sangat bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun,

rata-rata 3,5 tahun.7

Sebenarnya M. Leprae mempunyai patogenisitas dan daya invasi yang rendah,

sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan

gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan derajat infeksi

dan derajat penyakit, tidak lain disebabkan karena respon imun yang berbeda, yang

mencetuskan timbulnya granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh

sendiri atau progresif. Oleh karena itu, kusta dapat disebut sebagai penyakit

imunologik.7

Kerusakan jaringan tergantung pada sistem simunitas selular, tipe penyebaran

bakeri, adanya komplikasi reaksi lepra, dan kerusakan saraf. Afinitas pada sel

Schwann, mycobacteria berikatan dengan Domain G rantai alpha laminin 2 yang

ditemukan di saraf perifer di lamina basal. Replikasi di dalam sel ini menyebabkan

respon sistem imunitas selular yang menyebabkan reaksi inflamasi, yang

menyebabkan pembengkakan perineureum, iskemia, fibrosis, dan kematian akson.7

Pada kusta tipe LL, terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan

demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman

bermultiplikasi dengan bebas dan merusak jaringan. Pada kusta tipe TT terjadi

6
sebaliknya, kemampuan imunitas selular tinggi, sehingga makrofag mampu

menghancurkan kuman. Namun setelah kuman difagositosis, makrofag berubah

menjadi sel epiteloid dan kadang bersatu membentuk sel datia Langhans. Massa

epiteloid dapat menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya.7

Munculnya gejala kusta terjadi karena perkembangan granuloma, dan pasien

mungkin mengalami reactional state, yang dapat terjadi pada sekitar >50% pasien

tertentu. Spektrum granuloma lepra terdiri dari 1) a high-resistance tuberculoid

response (TT), 2) a low- or absent-resistance lepromatous pole (LL), 3) a dimorphic

or borderline region (BB), 4) borderline lepromatous (BL), dan 5) borderline

tuberculoid (BT). Berdasarkan dari yang paling tinggi resistensinya hingga ke yang

paling rendah resistensinya, yaitu TT, BT, BB, BL, LL.6

Respon imun terhadap M. leprae dapat menghasilkan beberapa tipe reaksi

yang berhubungan dengan status klinis. Reaksi lepra tipe 1 (downgrading and

reversal reactions), atau reaksi non-nodular terjadi pada tipe borderline ( Li, BL, BB,

BT, B ), inflamasi terjadi diantara lesi kulit yang sudah ada. Gejala klinis reaksi

reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan

atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat. Gejala neuritis akut paling

penting diperhatikan, karena sangat menentukan pemberian obat kortikosteroid, sebab

tanpa neuritis, pemberian kortikosteroid fakultatif. Reaksi tipe 2 (Erythema Nodosum

Leprosum, ENL) terjadi pada sebagian individu dengan LL, biasanya timbul setelah

pemberian terapi antilepra. Gejala klinis berupa nodus eritema, dan nyeri dengan

tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat

7
menimbulkan gejala seperti idiosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis, orkitis, dan

nefritis akut dengan proteinuria. Dapat disertai gejala konstitusi dari riingan sampai

berat bergantung status imunologik.6

Terdapat juga raksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe

lepromatosa non-nodular difus, yang disebut fenomena Lucio. Reaksi lucio

merupakan rekasi yang terjadi pada individu dengan LL yang meluas. Gambaran

klinis dapat berupa plak atau infiltrat difus, berwarna merah muda, berbentuk tidak

teratur dan nyeri. Lesi terutama di ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh.

Lesi yang berat tampak lebih eritematosa, disertai purpura, dan bula kemudian

dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan

akhirna terbentuk jaringan parut.6

8
9
F. Diagnosis

Diagnosis penyakit kusta didasarkan atas gambaran klinis, bakterioskopis,

histopatologis, dan serologis. Diantara ketiganya, dignosis klinis yang terpenting.

Antara diagnosis secara klinis dan histopatologik, terdapat kemungkinan persamaan

maupun perbedaan tipe. Oleh karena itu, diagnosa klinis harus didasarkan hasil

pemeriksaan kelainan klinis seluruh tubuh orang tersebut. Bentuk diagnosis klinis

dimulai dengan inspeksi, palpasi, lalu dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan

alat sederhana seperti jarum, kapas, tabung reaksi berisi air panas dan dingin, dan lain

sebagainya.7

- Diagnosis Klinis9

Diagnosis ditegakkan apabila terdapat satu dari tanda-tanda utama atau

kardinal (cardinal signs), yaitu:

1. Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa

2. Penebalan saraf tepi yang disertai gangguan fungsi saraf

3. Adanya basil tahan asam (BTA) dalam kerokan jaringan kulit (slit skin

smear)

Sebagian besar pasien lepra didiagnosis berdasarkan pemeriksaan klinis.

- Pemeriksaan Fisik9

10
Tanda Patognomonis

1. Tanda-tanda pada kulit

Perhatikan setiap bercak, bintil (nodul), bercak berbentuk plakat dengan

kulit mengkilat atau kering bersisik. Kulit tidak berkeringat dan berambut.

Terdapat baal pada lesi kulit, hilang sensasi nyeri dan suhu, vitiligo. Pada

kulit dapat pula ditemukan nodul.

2. Tanda-tanda pada saraf

Penebalan nervus perifer, nyeri tekan dan atau spontan pada saraf,

kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota gerak, kelemahan

anggota gerak dan atau wajah, adanya deformitas, ulkus yang sulit

sembuh.

3. Ekstremitas dapat terjadi mutilasi

Untuk kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik, simbol-simbol

pada gambar 1.5 digunakan dalam penulisan di rekam medik.

11
- Pemeriksaan Penunjang7,9

Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau

usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA ZIEHL

NEELSEN. Bakteriokopik negatif bukan berarti orang tersebut tidak

mengandung kuman M. Leprae. Pertama – tama harus ditentukan lesi di

kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu

menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10

tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua

cuping telinga bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling aktif berarti

yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga

tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada

cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae.

12
13
G. Diagnosis Banding9

Bercak eritema :

1. Psoriasis

2. Tinea circinata

3. Dermatitis seboroik

Bercak putih :

1. Vitiligo

2. Pitiriasis versikolor

3. Pitiriasis alba

Nodul :

1. Neurofibromatosis

2. Sarkoma Kaposi

3. Veruka vulgaris

Komplikasi :

1. Arthritis.

14
2. Sepsis.

3. Amiloid sekunder.

4. Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan yang

sangat kronis. Reaksi ini merupakan reaksi hipersensitivitas seluler (tipe

1/reversal) atau hipersentitivitas humoral (tipe 2/eritema nodosum

leprosum/ENL).

H. Penatalaksanaan9

1) Pasien diberikan informasi mengenai kondisi pasien saat ini, serta

mengenai pengobatan dan pentingnya kepatuhan untuk eliminasi penyakit.

2) Kebersihan diri dan pola makan yang baik perlu dilakukan.

3) Pasien dimotivasi untuk memulai terapi hingga selesai terapi dilaksanakan.

4) Terapi menggunakan Multi Drug Therapy (MDT) pada:

a. Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat MDT.

b. Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami hal-hal di bawah ini:

 Relaps

 Masuk kembali setelah default (dapat PB maupun MB)

 Pindahan (pindah masuk)

 Ganti klasifikasi/tipe

5) Terapi pada pasien PB :

15
a. Pengobatan bulanan: hari pertama setiap bulannya (obat diminum di

depan petugas) terdiri dari: 2 kapsul Rifampisin @ 300mg (600mg) dan

1 tablet Dapson/DDS 100 mg.

b. Pengobatan harian: hari ke 2-28 setiap bulannya: 1 tablet Dapson/DDS

100 mg. 1 blister obat untuk 1 bulan.

c. Pasien minum obat selama 6-9 bulan (± 6 blister).

d. Pada anak 10-15 tahun, dosis Rifampisin 450 mg, dan DDS 50 mg.

6) Terapi pada Pasien MB :

a. Pengobatan bulanan: hari pertama setiap bulannya (obat diminum di

depan petugas) terdiri dari: 2 kapsul Rifampisin @ 300mg (600mg), 3

tablet Lampren (klofazimin) @ 100mg (300mg) dan 1 tablet

dapson/DDS 100 mg.

b. Pengobatan harian: hari ke 2-28 setiap bulannya: 1 tablet lampren 50 mg

dan 1 tablet dapson/DDS 100 mg. 1 blister obat untuk 1 bulan.

c. Pasien minum obat selama 12-18 bulan (± 12 blister).

d. Pada anak 10-15 tahun, dosis Rifampisin 450 mg, Lampren 150 mg dan

DDS 50 mg untuk dosis bulanannya, sedangkan dosis harian untuk

Lampren 50 mg diselang 1 hari.

7) Dosis MDT pada anak <10 tahun dapat disesuaikan dengan berat badan :

a. Rifampisin: 10-15 mg/kgBB

b. Dapson: 1-2 mg/kgBB

16
c. Lampren: 1 mg/kgBB

8) Obat penunjang (vitamin/roboransia) dapat diberikan vitamin B1, B6, dan

B12.

9) Tablet MDT dapat diberikan pada pasien hamil dan menyusui. Bila pasien

juga mengalami tuberkulosis, terapi rifampisin disesuaikan dengan

tuberkulosis.

10) Untuk pasien yang alergi dapson, dapat diganti dengan lampren, untuk MB

dengan alergi, terapinya hanya 2 macam obat (dikurangi DDS).

Terapi untuk reaksi kusta ringan, dilakukan dengan pemberian prednison

dengan cara pemberian:9

1. 2 Minggu pertama 40 mg/hari (1x8 tab) pagi hari sesudah makan

2. 2 Minggu kedua 30 mg/hari (1x6 tab) pagi hari sesudah makan

3. 2 Minggu ketiga 20 mg/hari (1x4 tab) pagi hari sesudah makan

4. 2 Minggu keempat 15 mg/hari (1x3 tab) pagi hari sesudah makan

5. 2 Minggu kelima 10 mg/hari (1x2 tab) pagi hari sesudah makan

6. 2 Minggu keenam 5 mg/hari (1x1 tab) pagi hari sesudah makan

7. Bila terdapat ketergantungan terhadap Prednison, dapat diberikan

Lampren lepas

17

Anda mungkin juga menyukai