Disusun oleh :
A1C121021
CI INSTITUSI CI LAHAN
(…….........……..) (………......…..)
UNIVERSITAS MEGAREZKY
2021
BAB I
KONSEP MEDIS
A. DEFINISI
Traumatic brain injury (TBI) adalah bentuk cedera kepala yang mengkhusus kepada
otak yang disebabkan oleh kerusakan mendadak pada otak. Sifatnya nondegenerative dan
non congenital. TBI merupakan akibat dari adanya kekuatan mekanik eksternal mungkin
dapat mengubah kemampuan otak dalam menghasilkan keseimbangan fisik, intelektual,
emosional, gangguan traumatik yang dapat menimbulkan perubahan-perubahan fungsi
otak.
TBI terbagi menjadi 2, yaitu Open Head Injuries dan Closed Head Injuries.
Open Head Injuries: disebut juga dengan penetrating Injuries, cedera ini terjadi
ketika suatu objek masuk ke otak dan menyebabkan kerusakan pada bagian otak
Closed Head Injuries: Cedera ini akibat dari benturan dikepaladan tidak
C. ETIOLOGI
Adapun etiologi dari traumatic brain injury adalah sebagai berikut:
Trauma akibat benda tajam
Trauma akibat benda tumpul
Kecelakaan motor/mobil
Jatuh
Cedera akibat kekerasan
Kecelakaan pada saat berolahraga
D. KOMPLIKASI
Komplikasi dari traumatic brain injury meliputi:
1) Meningkatnya tekanan intrakranial (TIK).
2) Perdarahan.
3) Kejang.
4) Pasien dengan fraktur tengkorak, khususnya pada dasarnya tengkorak beresiko
terhadap bocornya cairan serebrospinal (CSS) dari hidung (rinorea) dan dari telinga
(otorea).
5) Bocor CSS kemungkinan terjadi meningitis
6) Kematian.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikel dan perubahan
jaringan otak.
2. MRI (magnetig resonan imaging)
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
3. Serebral angiography
Menunjukkan anomali sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak sekunder
menjadi udema, perdarahan dan trauma.
4. X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema), fragmen tulang.
5. CSF, lumbal fungsi
Jika diduga perdarahan sub arachnoid
6. Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan
intracranial.
7. Scree toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran.
8. AGDA (analisa gas darah arteri)
Mendeteksi ventilasi atau masalah pernafasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan
tekanan intracranial.
F. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan penderita cedera kepala ditentukan atas dasar beratnya cedera dan
dilakukan menurut urutan prioritas. Yang ideal dilaksanakan oleh suatu tim yang terdiri
dari paramedis terlatih, dokter ahli saraf, bedah asraf, radiologi, anestesi dan rehabilitasi
medik. Pasien dengan cedera kepala harus ditangani dan dipantau terus sejak tempat
kecelakaan, selama perjalanan dari tempat kejadian sampai rumah sakit, diruang gawat
darurat, kamar radiologi, sampai ke ruang operasi, ruang perawatan atau ICU, sebab
sewaktu-waktu bisa memburuk akibat aspirasi, hipotensi, kejang dan sebagainya. Macam
dan urutan prioritas tindakan cedera kepala ditentukan atas dalamnya penurunan
kesadaran pada saat diperiksa:
1. Pasien dalam keadaan sadar (GCS=15)
Pasien yang sadar pada saat diperiksa bisa dibagi dalam 2 jenis:
a. Simple head injury (SHI) Pasien mengalami cedera kepala tanpa diikuti gangguan
kesadaran, dari anamnesa maupun gejala serebral lain. Pasien ini hanya dilakukan
perawatan luka. Pemeriksaan radiologik hanya atas indikasi. Keluarga dilibatkan
untuk mengobservasi kesadaran.
b. Kesadaran terganggu sesaat Pasien mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah
cedera kepala dan pada saat diperiksa sudah sadar kembali. Pemeriksaan
radiologik dibuat dan penatalaksanaan selanjutnya seperti SHI.
2. Pasien dengan kesadaran menurun
a. Cedera kepala ringan / minor head injury (GCS=13-15) Kesadaran disoriented
atau not obey command, tanpa disertai defisit fokal serebral. Setelah pemeriksaan
fisik dilakukan perawatanluka, dibuat foto kepala. CT Scan kepala, jika curiga
adanya hematom intrakranial, misalnya ada riwayat lucid interval, pada follow up
kesadaran semakinmenurun atau timbul lateralisasi. Observasi kesadaran, pupil,
gejala fokal serebral disamping tanda-tanda vital.
b. Cedera kepala sedang (GCS=9-12) Pasien dalam kategori ini bisa mengalami
gangguan kardiopulmoner, oleh karena itu urutan tindakannya sebagai berikut:
1) Periksa dan atasi gangguan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi
2) Periksa singkat atas kesadaran, pupil, tanda fokal serebral dan cedera organ
lain. Fiksasi leher dan patah tulang ekstrimitas
3) Foto kepala dan bila perlu bagiann tubuh lain
4) CT Scan kepala bila curiga adanya hematom intracranial
5) Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, defisit fokal serebral
c. Cedera kepala berat (CGS=3-8)
Penderita ini biasanya disertai oleh cedera yang multiple, oleh karena itu
disamping kelainan serebral juga disertai kelainan sistemik.
Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut:
1) Resusitasi jantung paru (airway, breathing, circulation=ABC)
Pasien dengan cedera kepala berat ini sering terjadi hipoksia, hipotensi
dan hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu tindakan
pertama adalah:
a) Jalan nafas (Air way). Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke
belakang dengan posisi kepala ekstensi,kalau perlu dipasang pipa
orofaring atau pipa endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir
atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasograstrik untuk
menghindarkan aspirasi muntahan.
b) Pernafasan (Breathing). Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh
kelainan sentral atau perifer. Kelainan sentral adalah depresi pernafasan
pada lesi medula oblongata, pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central
neurogenik hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma
dada, edema paru, DIC, emboli paru, infeksi. Akibat dari gangguan
pernafasan dapat terjadi hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan dengan
pemberian oksigen kemudian cari danatasi faktor penyebab dan kalau
perlu memakai ventilator.
c) Sirkulasi (Circulation). Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat
mengakibatkan kerusakan sekunder. Jarang hipotensi disebabkan oleh
kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor ekstrakranial yakni berupa
hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada
disertai tamponade jantung atau peumotoraks dan syok septik.
Tindakannya adalah menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi
jantung danmengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl
starch atau darah
2) Pemeriksaan fisik Setalah ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi
kesadaran, pupil, defisit fokal serebral dan cedera ekstra kranial. Hasil
pemeriksaan fisik pertama ini dicatat sebagai data dasar dan ditindaklanjuti,
setiap perburukan dari salah satu komponen diatas bis adiartikan sebagai
adanya kerusakan sekunder dan harus segera dicari dan menanggulangi
penyebabnya.
3) Pemeriksaan radiologi
Dibuat foto kepala dan leher, sedangkan foto anggota gerak, dada danabdomen
dibuat atas indikasi. Tekanan tinggi intrakranial (TTIK) Peninggian TIK
terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom intrakranial atau
hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK sebaiknya dipasang monitor
TIK. TIK yang normal adalah berkisar 0-15 mmHg, diatas 20 mmHg sudah
harus diturunkan dengan urutan sebagai berikut:
a) Hiperventilasi Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan
ventilasi yang terkontrol, dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27-30
mmHg dimana terjadi vasokontriksi yang diikuti berkurangnya aliran
darah serebral. Hiperventilasi dengan pCO2 sekitar 30 mmHg
dipertahankan selama 48-72 jam, lalu dicoba dilepas dgnmengurangi
hiperventilasi, bila TIK naik lagi hiperventilasi diteruskan lagi selama 24-
48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan hiperventilasi periksa gas darah
dan lakukan CT scan ulang untuk menyingkirkan hematom.
b) Drainase. Tindakan ini dilakukan bil ahiperventilasi tidak berhasil. Untuk
jangka pendek dilakukan drainase ventrikular, sedangkan untuk jangka
panjang dipasang ventrikulo peritoneal shunt, misalnya bila terjadi
hidrosefalus.
c) Terapi diuretic
Diuretik osmotik (manitol 20%). Cairan ini menurunkan TIK dengan
menarik air dari jaringan otak normal melalui sawar otak yang masih
utuh kedalam ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis
pemberiannya harus dihentikan.
Loop diuretik (Furosemid). Frosemid dapat menurunkan TIK melalui
efek menghambat pembentukan cairan cerebrospinal dan menarik
cairan interstitial pada edema sebri. Pemberiannya bersamaan manitol
mempunyai efek sinergik dan memperpanjang efek osmotik serum
oleh manitol. Dosis 40 mg/hari/iv
d) Terapi barbiturat (Fenobarbital). Terapi ini diberikan pada kasus-ksus yang
tidak responsif terhadap semua jenis terapi yang tersebut diatas.
e) Steroid. Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan
tetapi menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu
sekarang tidak digunakan lagi pada kasus cedera kepala.
f) Posisi Tidur. Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi
tidurnya ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada
pada satu bidang, jangan posisi fleksi atau leterofleksi, supaya pembuluh
vena daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena otak menjadi
lancar.
BAB II
KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian Keperawatan
1. Pengumpulan data klien baik subyektif maupun obyektif pada gangguan sistem
persyarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis
injuri dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya
2. Identitas klien dan keluarga ( penanngungjawab ) : nama, umur, jenis kelamin, agama,
suku bangsa, status perkawinan, alamat golongan darah, penghasilan, hubungan klien
dengan penanggungjawab.
3. Riwayat kesehatan
Tingkat kesadaran / GCS < 15, convulsi, muntah, takipnea, sakit kepala, wajah
simetris atau tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi secret pada saluran
pernapasan, adanya liquor dari hidung dan telinga serta kejang.Riwayat penyakit
dahulu barulah diketahui dengan baik yang berhubungan dengan sistem persyarafan
maupun penyakit sistem – sistem lainnya, demikian pula riwayat penyakit keluarga
yang mempunyai penyakit menular.
4. Pemeriksaan Fisisk
a. Airway
Kaji adanya benda asing, sekret, sputum, cairan pada saluran pernapasan.
Kaji apakah lidah jatuh ke belakang sehubungan dengan penurunan kesadaran.
b. Breathing
Kaji frekuensi pernapasan.
Kaji suara nafas. Apakah ada suara nafas tambahan seperti wheezing, ronchi,
atau ralez.
Kaji gerakan dada. Apakah simetris atau tidak.
Kaji irama pernafasan. Apakah teratur atau tidak, dangkal atau dalam.
Lakukan perkusi bila memungkinkan.
Auskultasi suara nafas.
c. Circulation
Kaji TTV (suhu, nadi, tekanan darah)
Kaji apakah ada sianosis.
Kaji apakah ada perdarahan pada daerah cedera. Kaji jumlah perdarahan.
Kaji apakah ada mual dan muntah
d. Disability
Pada pasien dengan trauma kepala sedang sampai berat dapat mengalami
penurunan kesadaran. Namun pada pasien dengan cedera kepala sedang
mengalami penurunan kesadaran kurang dari 24 jam (GCS 9-12), sedangkan
pada pasien cedera kepala berat dapat mengalami koma (GCS 3- 8).
Dilatasi pupil dapat terjadi akibat peningkatan tekanan atau menyebarnya
bekuan darah pada otak sehingga mendesak otak tepatnya di korteks serebri
pada lobus oksipital.
Kejang dapat terjadi akibat kerusakan lobus frontalis dan juga akibat dari
manifestasi klinis peningkatan TIK.
e. Exposure
B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas bd gangguan neurologis
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas bd adanya jalan nafas buatan
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan otak bd kurang pengetahuan ttg faktor pemberat
(trauma)
4. Nyeri akut bd agens cedera fisik
5. Kerusakan integritas kulit bd faktor mekanik
C. Rencana atau Intervensi Keperawatan
Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan
Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek, G., Butcher, H., & Dochterman, J. (2013). Nursing Intervention Classification
(NIC), Sixth Edition. Mosby: Elsevier.
Chanon.et.al, (2013). A Trial of Intracranial-Pressure Monitoring in Traumatic Brain Injury.
The New England Journal of Medichine, 2471-2481.
Mansjoer, Arif, dkk. 2002. Kapita selekta Kedokteran Jilid I. Jakarta: Media Aesulapius
Moorhead, S., Johnson, M., L. Maas, M., & Swanson, E. (2013). Nursing outcomes
clasification (NOC) Measurement of Health Outcomes.Mosby: Elsevier.
Nanda International. (2015). Nanda International Inc. Nursing Diagnoses: Definitions &
Clasifications 2015-2017. Jakarta: EGC.
Nurarif A. H. & Kusuma H. 2015. Buku Aplikasi Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
dan Nanda Nic-Noc.Jogjakarta: Mediaction.
Smeltzer, Suzanne C. & Brenda G. B. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal – Bedah
Brunner & Suddarh Vol 2. Jakarta: EGC.
Swiftet.al,. (2012). A review of magnetic resonance imaging and diffusion tensor imaging
findings in mild traumatic brain injury. Spinger Science , 137-196.
Reekum, R. v., Cohen, T., & Wong, J. (2015). Can Traumatic Brain Injury Cause Psychiatric
Disorders. Journal of Neuropsychiatry, 316-327.