Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN JIWA
DENGAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN

NI PUTU AYU RATNA DEWI


2114901069

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN
INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI
2022
I. Kasus (masalah utama)
Risiko Perilaku Kekerasan

II. Proses Terjadinya Masalah


A. Definisi
Resiko perilaku kekerasan adalah salah satu respons marah yang diespresikan
dengan melakukan ancaman, mencederai orang lain, dan merusak lingkungan.
Respons ini dapat menimbulkan kerugian baik bagi diri sendiri, orang lain, dan
lingkungan (Keliat dkk, 2016). Perilaku kekerasan biasanya muncul perasaan marah,
jengkel, emosi, kecewa yang timbul yang ditandai dengan mengepal, melotot,
pandangan tajam, bicara keras dan kasar (Afnuhhazi, 2015). Perilaku kekerasan ini
dapat berupa muka masam, bicara kasar, menuntut dan perilaku yang kasar disertai
kekerasan (Saragih dkk, 2014).
Resiko perilaku kekerasan atau agresif adalah bentuk perilaku yang bertujuan
untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Marah merupakan
perasaan jengkel yang timbul sebagai respons terhadap kecemasan/kebutuhan yang
tidak terpenuhi yang tidak dirasakan sebagai ancaman. Resiko perilaku kekerasan
adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat
membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri maupun orang lain, disertai
dengan amuk daan gaduh gelisah yang tidak terkontrol (Kusumawati dan Hartono,
2015).
Sehingga dapat disimpulkan resiko perilaku kekerasan adalah suatu keadaan
individu yang melakukan tindakan yang dapat membahayakan/mencederai diri
sendiri, orang lain bahkan dapat merusak lingkungan disertai dengan amuk daan
gaduh gelisah yang tidak terkontrol yang bertujuan untuk melukai seseorang secara
fisik maupun psikologis.
B. Etiologi
Proses terjadinya resiko perilaku kekerasan itu dipengaruhi oleh dua faktor yaitu
faktor predisposisi dan faktor presipitasi.
1. Faktor Predisposisi
Berbagai pengalaman yang dialami tiap orang merupakan faktor predisposisi,
artinya mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan jika faktor
berikut dialami oleh individu adalah:
a. Faktor Biologis
Dalam otak sistem limbik berfungsi sebagai regulator atau pengatur
perilaku. Adanya lesi pada hipotalamus dan amigdala dapat mengurangi dan
meningkatkan perilaku agresif. Perangsangan pada sistem neurofisiologis
dapat menimbulkan respon-respon emosional dan ledakan agresif. Penurunan
norepinefrin dapat menstimulasi perilaku agresif misalnya pada peningkatan
kadar hormon testosteron atau progesteron. Pengaturan perilaku agresif adalah
dengan mengatur jumlah metabolisme biogenik amino- norepinefrin (Dalami,
dkk, 2014).
1) Neurologic factor
Beragam komponen dari system saraf seperti, sinap, neurotransmitter,
dendrit, akson terminalis mempunyai peran memfasilitasi atau menghambat
rangsangan dan pesan-pesan yang akan mempengaruhi sifat agresif. System
limbik sangat terlibat dalam menstrimulus timbulnya perilaku bermusuhan
dan respon agresif.
2) Pengaruh genetic
Adanya factor gen yang diturunkan melalui orang tua, menjadi potensi
perilaku agresif. Gen manusia terdapat dormant (potensi) agresif yang
sedang tidur akan bangun jika stimulus oleh factor eksternal. Menurut
penelitian genetic tipe karyotype XYY, pada umumnya dimiliki oleh pelaku
tindak kriminal serta orang-orang yang tersangkut hukum akibat perilaku
agresif.
3) Cyrcardian Rhytm
Cyrcardian rythm memegang peranan pada individu. Menurut
penelitian pada jam-jam tertentu manusia mengalami peningkatan cortisol
terutama pada jam-jam sibuk seperti menjelang masuk kerja dan menjelang
berakhirnya pekerjaan sekitar jam 09.00 dan jam 13.00 pada jam tertentu
orang lebih mudah terstimulasi untuk bersikap agresif.
4) Biochemistry
Faktor biokimia tubuh seperti neurotransmitter di otak (epinephrine,
norephinephrine, asetikolin dan serotonin) sangat berperan dalam
penyampaian informasi melalui system persyarafan dalam tubuh.
Peningkatan hormone androgen dan norepineprin serta penurunan serotonin
dan GABA (6 dan 7) pada cairan serebrospinal merupakan penyebab
timbulnya perilaku agresif pada seseorang.
5) Brain Area Disorder
Gangguan pada sistem limbik dan lobus temporal, sindrom otak
organik, tumor otak, trauma otak, penyakit ensepalitis, epilepsi di temukan
sangat berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindakan kekerasan.
b. Faktor Psikologis
1) Teori psikoanalisa
Agresivitas dan kekerasan dapat di pengaruhi oleh riwayat tumbuh
kembang seseorang teori ini menjelaskan bahwa adanya ketidakpuasan fase
oral antara usia 0-2 tahun dimana anak tidak mendapat kasih sayang dan
pemenuhan kebutuhan air susu yanag cukup cenderung mengembangkan
sikap agresif dan bermusuhan setelah dewasa sebagai konpensansi
ketidakpuasannya. Tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat
mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri yang
rendah.
2) Imitation Modeling and information processing theory
Menurut teori ini perilaku kekerasan bisa berkembang dalam
lingkungan yang menolerir kekerasan. Adanya contoh, model dan perilaku
yang ditiru dari media atau lingkungan sekitar memungkinkan individu
meniru perilaku tersebut. Dalam suatu penelitian beberapa anak
dikumpulkan untuk menonton tayangan pemukulan boneka dengan reward
positif, anak lain menonton tayangan mengasihi dan mencium boneka
tersebut dengan reward positif. Setelah anak-anak keluar dan diberikan
boneka ternyata masing-masing anak berperilaku sesuai dengan tontonan
yang pernah dialaminya.
3) Learning theory
Menurut teori ini perilaku kekerasan merupakan hasil belajar dari
individu terhadap lingkungan terdekatnya. Ia mengamati bagaimana respon
ibu saat marah.
c. Faktor Sosial Budaya
1) Latar Belakang Budaya
Permissive: Kontrol sosial yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan
akan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan diterima.

2) Agama dan Kenyakinan


a) Keluarga yang tidak solid antara nilai keyakinan dan praktek,serta tidak
kuat terhadap nilai-nilai baru yang rusak.
b) Kenyakinan yang salah terhadap nilai dan kepercayaan tentang marah
dalam kehidupan. Misal yakin bahwa penyakit merupakan hukuman dari
Tuhan.
3) Keikutsertaan dalam Politik
a) Terlibat dalam politik yang tidak sehat
b) Tidak siap menerima kekalahan dalam pertarungan politik)
4) Pengalaman sosial
a) Sering mengalami kritikan yang mengarah pada penghinaan.
b) Kehilangan sesuatu yang dicintai (orang atau pekerjaan).
c) Interaksi sosial yang provaktif dan konflik
d) Hubungan interpersonal yang tidak bermakna
e) Sulit memperhatikan hubungan interpersonal.
5) Peran sosial
a) Jarang beradaptasi dan bersosialisasi.
b) Perasaan tidak berarti di masyarakat.
c) Perubahan status dari mandiri ketergantungan (pada lansia)
d) Praduga negatif.
6) Adanya budaya atau norma yang menerima suatu ekspresi marah.

2. Faktor Presipitasi
Secara umum seseorang akan akan mengeluarkan respon marah apabila
dirinya merasa terancam. Ancaman tersebut dapat berupa luka secara psikis.
Ancaman dapat berupa internal dan eksternal. Contoh stressor eksternal yaitu
serangan secara psikis, kehilangan hubungan yang dianggap bermakna, dan
adanya kritikan dari orang lain. Sedangkan contoh dari stressor internal yaitu
merasa gagal dalam bekerja, merasa kehilangan orang yang dicintai, dan
ketakutan terhadap penyakit yang diderita (Muhith, 2015).
Faktor presipitasi dapat bersumber dari pasien, lingkungan atau interaksi
dengan orang lain. Kondisi pasien seperti ini kelemahan fisik (penyakit fisik),
keputusasaan, ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi
penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula dengan situasi lingkungan yang
ribut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang
dicintainya atau pekerjaan dan kekerasan merupakan faktor penyebab yang lain
interaksi yang profokatif dan konflik dapat pula memicu perilaku kekerasan
(Prabowo, 2014).
Menurut Yosep (2011) faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku
kekerasan seringkali berkaitan dengan :
a. Ekspresi diri, ingin menunjukan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti
dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian massal
dan sebagainya.
b. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melakukan
kekerasan dalam menyelesaikan konflik Ketidaksiapan seorang ibu dalam
merawat anaknya dan ketidakmampuan menempatkan dirinya sebagai seorang
yang dewasa.
d. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi
rasa frustasi.
e. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan
tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.

Menurut Dalami, dkk (2014) stressor presipitasi yang muncul pada pasien
perilaku kekerasan yaitu :
a. Ancaman terhadap fisik: pemukulan, penyakit fisik
b. Ancaman terhadap konsep diri : frustasi, harga diri rendah
c. Ancaman eksternal : serangan fisik, kehilangan orang atau benda berarti
d. Ancaman internal : Kegagalan,kehilangan perhatian

C. Rentang Respon Resiko Perilaku Kekerasan


Resiko perilaku kekerasan merupakan suatu rentang emosi dan ungkapan
kemarahan yang dimanifestasikan dalam bentuk fisik. Kemarahan tersebut merupakan
suatu bentuk komunikasi dan proses penyampaian pesan dari indivuidu. Rentang
respons kemarahan individu dimulai dari respons normal (asertif) sampai pada
respons sangat tidak normal (maladaptif). Berikut rentang respon marah menurut
(Direja, 2011).

Respon adaptif Respon maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan

Keterangan:
1. Asertif adalah mengungkapkan marah tanpa melukai orang lain, melukai perasan
orang lain atau tanpa merendahkan harga diri orang lain.
2. Frustasi adalah respon yang timbul akibat gagal mencapai tujuan atau keinginan
3. Pasif adalah respon dimana individu tidak dapat mengungkapkan perasaan yang
dialami.
4. Agresif adalah perilaku yang menyertai marah namun masih dapat dikontrol
individu.
5. Kekerasan adalah rasa marah dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan
kontrol diri. Sering juga disebut gaduh-gaduh atau amuk. Perilaku kekerasan
ditandai dengan menyentuh orang lain secara menakutkan, member kata-kata
ancaman, melukai disertai melukai pada tingkat ringan, dan yang paling berat
adalah melukai/merusak secara serius. Klien tidak mampu menegndalikan diri.
Respon terhadap marah dapat diungkapkan melalui tiga cara yaitu:
1. Mengungkapkan secara verbal
2. Menekan
3. Menantang.
Dari ketiga cara ini yang pertama adalah konstruktif sedangkan kedua adalah
destruktif. Dengan melarikan diri atau menantang akan menimbulkan rasa
bermusuhan dan bila cara ini dipakai terus menerus, maka kemarahan dapat
diekspresikan pada diri sendiri atau lingkungan dan akan tampak sebagai depresi
psikosomatik atau agresif dan mengamuk.
D. Tanda dan Gejala Resiko Perilaku Kekerasan
Data resiko perilaku kekerasan dapat diperoleh melalui observasi atau wawancara
tentang perilaku berikut (Dermawan, dkk., 2013):
a. Fisik
1) Muka merah dan tegang
2) Mata melotot/ pandangan tajam
3) Tangan mengepal
4) Rahang mengatup
5) Postur tubuh kaku
6) Jalan mondar-mandir
b. Verbal
1) Bicara kasar
2) Suara tinggi, membentak atau berteriak
3) Mengancam secara verbal atau fisik
4) Mengumpat dengan kata-kata kotor
5) Suara keras
6) Ketus
c. Perilaku
1) Melempar atau memukul benda/orang lain
2) Menyerang orang lain
3) Melukai diri sendiri/orang lain
4) Merusak lingkungan
5) Amuk/agresif
d. Emosi
1) Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman
2) Rasa terganggu, dendam dan jengkel
3) Bermusuhan, mengamuk, dan ingin berkelahi
4) Menyalahkan dan menuntut
e. Intelektual
1) Mendominasi
2) Cerewet
3) Kasar
4) Berdebat
5) Meremehkan dan sarkasme
f. Spiritual
1) Merasa diri berkuasa dan benar
2) Mengkritik pendapat orang lain
3) Menyinggung perasaan orang lain
4) Tidak perduli dan kasar.
g. Sosial
1) Menarik diri, pengasingan
2) Penolakan
3) Kekerasan
4) Ejekan dan sindiran.
h. Perhatian
1) Bolos
2) Mencuri
3) Melarikan diri
4) Penyimpangan seksual.

E. Patofisiologi Resiko Perilaku Kekerasan


Menurut Iyus Yosep (2011) kemarahan diawali oleh adanya stressor yang berasal
dari internal atau eksternal. Stressor internal seperti penyakit, hormonal, dendam,
kesal sedangkan stressor eksternal bisa berasal dari lingkungan seperti ledekan,
cacian, makian, hilangnya benda berharga, tertipu, penggusuran, bencana dan
sebagainya. Hal tersebut akan mengakibatkan kehilangan atau gangguan pada sistem
individu (disruption and loss). Hal yang terpenting adalah bagaimana individu
memaknai setiap kejadian yang menyedihkan atau menjengkelkan tersebut (personal
meaning).
Bila seseorang memberi makna positif, misalnya kemacetan adalah waktu untuk
beristirahat, penyakit adalah sarana penggugur dosa, suasana bising adalah melatih
persyarafan telinga maka ia akan dapat melakukan kegiatan secara positif
(compensatory act) dan tercapai perasaan lega (resolution). Bila ia gagal dalam
memberikan makna menganggap segala sesuatunya sebagai ancaman dan tidak
mampu melakukan kegiatan positif misalnya: olah raga, menyapu atau baca puisi saat
ia marah dan sebagainya. Maka akan muncul perasaan tidak berdaya dan sengsara
(helplessness). Perasaan itu akan memicu timbulnya kemarahan (anger). Kemarahan
yang diekspresikan keluar (exspressed outward) dengan kegiatan yang konstruktif
dapat menyelesaikan masalah. Kemarahan yang diekspresikan dengan kegiatan
destruktif dapat menimbulkan perasaan bersalah dan menyesal (guilt). Kemarahan
yang dipendam akan menimbulkan gejala psikomatis (painfull symptom). Mekanisme
terjadinya masalah dapat digambarkan melalui diagram berikut:

Provokasi
(ancaman atau kebutuhan yang tidak terpenuhi)

Stress

Cemas

Marah

Diungkapkan secara tepat/asertif Mengingkari marah/merasa kuat

Masalah teratasi Marah tidak terungkap

Marah berkepanjangan

Marah pada diri Marah pada orang


sendiri lain

Depresi Agresi

F. Mekanisme Koping
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan
stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan
yang digunakan untuk melindungi diri. Kemarahan merupakan ekspresi dari rasa
cemas yang timbul karena adanya ancaman. Beberapa mekanisme kopping yang
dipakai pada klien marah untuk melindungi diri antara lain:
1. Sublimasi, misalnya seseorang yang sedang marah melampiaskan kemarahannya
pada objek lain seperti meremas adonan kue, meninju tembok, untuk mengurangi
ketegangan akibat rasa marah.
2. Proyeksi, menyalakan orang lain mengenai kesukarannya atau keinginannya yang
tidak baik.
3. Represi, mencegah pikiran menyakitkan atau membahayakan masuk ke alam sadar.
4. Reaksi formasi, mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan, dengan
melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakan sebagai
rentangan.
5. Displacement, melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan, pada
objek yang tidak berbahaya seperti yang pada mulanya membangkitkan emosi.

G. Penatalaksanaan
1. Farmakologi
Pasien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan yang tepat.
Adapun pengobatan dengan neuroleptika yang mempunyai dosis efektif tinggi
contohnya: clorpromazine HCL yang digunakan mengendalikan psikomotornya.
Bila tidak ada dapat dipergunakan dosis efektif rendah, contoh: Trifluoperasine
estelasine, bila tidak ada juga maka dapat digunakan transquelillzer bukan obat anti
psikotik seperti neuroleptika, tetapi meskipun demikian keduannya mempunyai
efek anti tegang, anti cemas, dan anti agitasi.
2. Terapi Okupasi
Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja, terapi ini bukan
pemberian pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan kegiatan
dan mengembalikan maupun berkomunikasi, karena itu didalam terapi ini tidak
harus diberikan pekerjaan terapi sebagai bentuk kegiatan membaca koran, main
catur, setelah mereka melakukan kegiatan itu diajak berdialog atau berdiskusi
tentang pengalaman dan arti kegiatan itu bagi dirinya.
3. Terapi modalitas
Terapi modalitas keperawatan jiwa dilakukan untuk memperbaiki dan
mempertahankan sikap klien agar mampu bertahan dan bersosialisasi dengan
lingkungan masyarakat sekitar dengan harapan klien dapat terus bekerja dan tetap
berhubungan dengan keluarga, teman, dan sistem pendukung yang ada ketika
menjalani terapi (Direja, 2011). Jenis-jenis terapi modalitas adalah :
a. Psikoterapi
Merupakan suatu cara pengobatan terhadap masalah emosional terhadap pasien
yang dilakukan oleh seseorang yang terlatih dan sukarela. Psikoterapi dilakukan
agar klien mengalami tingkah lakunya dan mengganti tingkah laku yang lebih
konstruktif melalui pamhaman- pemahaman selama ini kurang baik dan
cenderung merugikan baik diri sendiri , orang lain maupun lingkungan sekitar.
b. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)
Terapi Aktivitas Kelompok sering digunakan dalam praktik kesehatan jiwa,
bahkan merupakan hal yang terpenting dari keterampilan terapeutik dalam ilmu
keperawatan. Pemimpin atau leader kelompok dapat menggunakan keunikan
individu untuk mendorong anggota kelompok untuk mengungkapkan masalah
dan mendapatkan bantuan penyelesaian masalahnya dari kelompok, perawat
juga adapatif menilai respon klien selamaberada dalam kelompok. Jenis Terapi
Aktivitas Kelompok yang digunakan pada klien dengan perilaku kekerasan
adalah Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi atau Kognitif. Terapi
yang bertujuan untuk membantu klien yang mengalami kemunduran orientasi,
menstimuli persepsi dalam upaya memotivasi proses berfikir dan afektif serta
mengurangi perilaku maladaptif. Karakteristiknya yaitu pada penderita
gangguan persepsi yang berhubungan dengan nilainilai, menarik diri dari
realitas dan inisiasi atau ide-ide negatif.
4. Peran serta keluarga
Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan perawatan
langsung pada setiap keadaan pasien. Perawat membantu keluarga agar dapat
melakukan lima tugas kesehatan yaitu, mengenal masalah kesehatan, membuat
keputusan kesehatan, memberi perawatan pada anggota keluarga, menciptakan
lingkungan keluarga yang sehat, dan menggunakan sumber daya pada masyarakat.
Keluarga yang mempunyai kemampuan mengatasi masalah akan dapat mencegah
perilaku maladaptive (primer), mengulangi perilaku maladaptive (sekunder) dan
memulihkan perilaku maladaptive dan adaptive sehingga derajat kesehatan pasien
dan keliuarga dapat ditingkatkan secara optimal.
5. Terapi Somatik
Terapi somatis adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan gangguan
jiwa dengan tujuan mengubah perilaku yang maladaptif menjadi perilaku adaptif
dengan melakukan tindakan yang ditujukan pada kondisi fisik klien. Walaupun
yang diberi perlakuan adalah fisik klien, tetapi target terapi adalah perilaku klien.
Jenis terapi somatis adalah meliputi pengikatan, ECT, isolasi dan fototerapi
(Kusumawati & Hartono, 2015).
a) Pengikatan
Merupakan terapi menggunakan alat mekanik atau manual untuk membatasi
mobilitas fisik klien yang bertujuan untuk melindungi cedera fisik pada klien
sendiri dan orang lain.

b) Terapi Kejang listrik


Terapi kejang listrik atau Electro Convulsif Therapi (ECT) adalah bentuk terapi
kepada pasien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan mengalirkan
arus listrik melalui elektroda yang ditempatkan dipelipis pasien. Terapi ini ada
awalnya untuk menangani skizofrenia membutuhkan 20-30 kali terapi biasanya
dilaksanakan setiap 2-3 hari sekali (seminggu 2 kali) dengan kekuatan arus
listrik (2-3 joule).
c) Isolasi
Merupakan bentuk terapi dengan menempatkan klien sendiri diruang tersendiri
untuk mengendalikan perilakunya dan melindungi klien, orang lain dan
lingkungan. Akan tetapi tidak dianjurkan pada klien dengan risiko bunuh diri.

III. Konsep Asuhan Keperawatan


A. Pengkajian
Pada dasarnya pengkajian pada klien perilaku kekerasan ditunjukan pada
semua aspek, yaitu biopsikososial-kultural-spiritual.
a. Aspek biologis
Respon fisiologis timbul karena kegiatan system saraf otonom bereaksi
terhadap sekresi epineprin sehingga tekanan darah meningkat, takikardi,
muka merah, pupil melebar, pengeluaran urine meningkat. Ada gejala yang
sama dengan kecemasan seperti meningkatnya kewaspadaan, ketegangan
otot seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh kaku, dan refleks cepat.
Hal ini disebabkan oleh energi yang dikeluarkan saat marah bertambah.
b. Aspek emosional
Individu yang marah merasa tidak nyaman, merasa tidak berdaya,
jengkel, frustasi, dendam, ingin memukul orang lain, mengamuk,
bermusuhan dan sakit hati, menyalahkan dan menuntut.
c. Aspek intelektual
Sebagian besar pengalaman hidup individu didapatkan melalui proses
intelektual, peran panca indra sangat penting untuk beradaptasi dengan
lingkungan yang selanjutnya diolah dalam proses intelektual sebagai suatu
pengalaman. Perawat perlu mengkaji cara klien marah, mengidentifikasi
penyebab kemarahan, bagaimana informasi diproses, diklarifikasi dan
diintegrasikan.
d. Aspek social
Meliputi interaksi social, budaya, konsep rasa percaya dan ketergantungan.
Emosi marah sering merangsang kemarahan orang lain. Klien sering kali
menyalurkan kemarahan dengan mengkritik tingkah laku yang lain sehingga
orang lain merasa sakit hati dengan mengucapkan kata-kata kasar yang
berlebihan disertai suara keras. Proses tersebut dapat mengasingkan individu
sendiri, menjauhkan diri dari orang lain, menolak mengikuti aturan.
e. Aspek spiritual
Kepercayaan, nilai dan moral mempengaruhi hubungan individu dengan
lingkungan. Hal yang bertentangan dengan norma yang dimiliki dapat
menimbulkan kemarahan yang dimanifestasikan dengan amoral dan rasa
tidak berdosa.

B. Data yang perlu dikaji


1. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
a. Data Subjektif :
1) Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
2) Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika
sedang kesal atau marah.
3) Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.
b. Data Objektif :
1) Mata merah, wajah agak merah.
2) Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai: berteriak, menjerit,
memukul diri sendiri/orang lain.
3) Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
4) Merusak dan melempar barang-barang.
2. Perilaku kekerasan
a. Data Subjektif :
1) Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
2) Klien mengatakan dendam dan jengkel
3) Klien mengatakan ingin berkelahi
b. Data Objektif
1) Mata melotot, pandangan tajam
2) Tangan mengepal
3) Rahang mengatup
4) Wajah merah dan tegang
3. Gangguan harga diri : harga diri rendah
a. Data Subjektif:
Klien mengatakan: saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa, bodoh,
mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri.
b. Data Objektif:
Klien tampak lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternatif
tindakan, ingin mencederai diri / ingin mengakhiri hidup.

C. Pohon Masalah

Effect Risiko mencederai diri sendiri,


orang lain, lingkungan

Core Problem
Perilaku Kekerasan

Isolasi Sosial

Causa Harga Diri Rendah

D. Diagnosa Keperawatan
1. Perilaku Kekerasan
2. Harga Diri Rendah
3. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
E. Intervensi

No Diagnosa Perencanaan Intervensi Rasional


. Tujuan Kriteria hasil
1 Perilaku TUM: Setelah dilakukan ...x20 - Beri salam / panggil nama - Hubungan saling
kekerasan Perilaku kekerasan menit interaksi diharapkan
pasien. percaya merupakan
menurun pasien menunjukkan
TUK: tanda-tanda - Sebutkan nama perawat landasan utama untuk
1. Pasien dapat 1.1 Pasien mau membalas
sambil berjabat tangan hubungan selanjutnya
membina hubungan
salam
saling percaya - Jelaskan maksud hubungan
1.2 Pasien mau menjabat
interaksi
tangan
- Jelaskan tentang kontrak
1.3 Pasien menyebutkan
yang akan dibuat
nama
- Beri rasa aman dan sikap
1.4 Pasien mau tersenyum
empati
1.5 Pasien ada kontak
- Lakukan kontrak singkat
mata
tapi sering
1.6 Pasien mengetahui
nama perawat
1.7 Pasien menyediakan
waktu untuk kontrak
TUK: 2.1 Pasien dapat - Beri kesempatan untuk - Beri kesempatan untuk
2. Pasien dapat
mengungkapkan mengungkapkan mengungkapkan
mengidentifikasi
perasaannya perasaannya perasaannya dapat
penyebab marah/
amuk 2.2 Pasien dapat - Bantu pasien untuk membantu mengurangi
menyebutkan perasaan mengungkapkan penyebab stress dan penyebab
marah/jengkel (dari marah/jengkel perasaaan
diri sendiri, dari marah/jengkel dapat
lingkungan/orang lain diketahui
TUK: 3.1 Pasien dapat - Observasi tanda perilaku - Untuk mengetahui hal
3. Pasien dapat
mengungkapkan kekerasan pada pasien yang dialami dan
mengidentifikasi
perasaan saat marah - Anjurkan pasien dirasakan saat jengkel
tanda perilaku
/jengkel mengungkapkan perasaan - Untuk mengetahui
kekerasan
3.2 Pasien dapat saat marah /jengkel tanda-tanda pasien
menyimpulkan tanda- - Simpulkan bersama pasien marah /jengkel
tanda jengkel/kesal tanda-tanda marah /jengkel - Menarik kesimpulan
yang dialami bersama pasien supaya
pasien mengetahui
secara garis besar
tanda-tanda marah
/jengkel
TUK: 4.1 Pasien - Anjurkan pasien - Mengekplorasi perasaan
4. Pasien dapat
menungkapkan mengungkapkan marah pasien terhadap perilaku
mengungkapkan
perilaku kekerasan yang biasa dilakukan marah yang biasa
perilaku kekerasan
yang biasa dilakukan - Bantu pasien bermain peran dilakukan
yang sering
4.2 Pasien dapat bermain sesuai perilaku kekerasan - Untuk mengetahui
dilakukan
peran dengan perilaku yang biasa dilakukan. perilaku kekerasan yang
kekerasan yang - Bicarakan dengan pasien biasa dilakukan dan
dilakukan apakah dengan cara itu bisa dengan bantuan perawat
4.3 Pasien dapat menyelesaikan masalah? bisa membedakan
mengetahui cara yang perilaku kontruktif dan
dilakukan destruktif
menyelesaikan - Dapat membantu pasien
masalah atau tidak dan menemukan cara
penyelesaian masalah
TUK: 5.1 Pasien dapat - Bicarakan akibat/ kerugian - Membantu pasien
5. Pasien dapat menjelaskan akibat
dari cara yang dilakukan untuk menilai perilaku
dari cara yang
mengidentifikasi
digunakan pasien kekerasan yang
akibat perilaku
- Bersama pasien dilakukannya
Kekerasan
menyimpulkan cara yang - Dengan mengetahui
digunakan pasien. akibat perilaku
kekerasan diharapkan
pasien dapat merubah
perilaku destruktif
yang dilakukan
menjadi perilaku yang
konstruktif
TUK: 6.1 Pasien dapat - Tanyakan pada pasien - Agar pasien dapat
6. Pasien dapat
mengidentifikasi berespon terhadap apakah ia ingin mempelajari cara yang
cara construksi kemarahan secara mempelajari cara baru lain yang konstruktif
dalam berespon konstruktif. yang sehat? - Dengan
terhadap perilaku - Beri pujian jika pasien mengidentifikasi cara
kekerasan mengetahui cara lain yang yang konstruktif dalam
sehat merespon terhadap
- Diskusikan dengan pasien kemarahan dapat
cara lain yang sehat membantu pasien
a Fisik: Tarik nafas dalam menemukan cara yang
jika sedang kesal/ baik untuk mengurangi
memukul bantal/kasur kejengkelannya
atau olahraga atau sehingga pasien tidak
pekerjaan yang stress lagi
memerlukan tenaga - Reinforcement positif
b Verbal: katakana bahwa dapat memotivasi
anda sedang pasien dan
kesal/tersinggung/jengkel meningkatkan harga
c Social: lakukan dalam dirinya
kelompok cara-cara - Berdiskusi dengan
marah yang sehat; latihan pasien untuk memilih
asentif, latihan cara yang lain sesuai
manajemen perilaku dengan kemampuan
kekerasan pasien
d Spiritual: anjurkan
pasien berdoa,
sembahyang
TUK: 7.1 Pasien dapat -Bantu pasien memilih cara -Memberikan simulasi
7. Pasien dapat
mendemonstrasikan yang paling tepat kepada pasien untuk
mendemonstrasika
cara mengontrol -Bantu pasien menilai respon perilaku
n cara mengontrol
perilaku kekerasan mengidentifikasi manfaat kekerasan secara tepat
perilaku kekerasan
- Fisik: tarik nafas yang terpilih -Membantu pasien dalam
dalam, olahraga, -Bantu keluarga pasien membuat keputusan
menyiram tanaman menstimulasi cara terhadap cara yang
- Verbal: mengatakan tersebut. (roleplay) telah dipilihnya dengan
secara langsung -Beri reinforcement positif melihat manfaatnya
tanpa menyakiti atas keberhasilan pasien -Agar pasien mengetahui
- Spiritual: dengan menstimulus cara tersebut cara marah yang
sembahyang /berdoa -Anjurkan pasien konstruktif
menggunakan cara yang -Pujian dapat
telah dipelajari sata meningkatkan motivasi
jengkel/marah dan harga diri pasien
-Agar pasien dapat
melaksanakan cara
yang telah dipilihnya
jika ia sedang kesal
atau marah
TUK: 8.1 Keluarga pasien -Identifikasi kemampuan -Kemampuan keluarga
8. Pasien mendapat
dapat: keluarga merawat pasien dalam mengidentifikasi
dukungan keluarga
- Menyebutkan cara dari sika papa yang telah akan memungkinkan
dalam mengontrol
merawat pasien dilakukan keluarga keluarga untuk
perilaku kekerasan
yang berperilaku terhadap pasien selama ini melakukan penilaian
kekerasan -Jelaskan peran serta keluarga terhadap perilaku
- Mengungkapkan dalam merawat pasien kekerasan
rasa puas dalam -Jelaskan cara merawat pasien -Meningkatkan
merawat pasien a. Terkait cara pengetahuan keluarga
mengontrol perilaku tentang cara merawat
marah secara paisen sehingga
konstruktif keluarga terlibat dalam
b. Sikap tenang, bicara perawatan pasien
tenang dan jelas -Agar keluarga dapat
c. Membantu pasien merawat pasien dengan
mengenal penyebab ia perilaku kekerasan
marah -Agar keluarga
-Bantu keluarga mengetahui cara
mendemonstrasikan cara merawat pasien
merawat pasien melalui demonstrasi
-Bantu keluarga yang dilihat keluarga
mengungkapkan secara langsung
perasaannya setelah -Mengeksplorasi perasaan
melakukan demonstrasi keluarga setelah
melakukan demonstrasi
TUK: 9.1 Pasien dapat -Jelaskan jenis-jenis obat yang -Pasien dan keluarga dapat
9. Pasien dapat
menyebutkan obat- diminum pasien pada mengetahui nama-
menggunakan obat-
obatan yang diminum keluarga nama obat yang
obatan yang
dan kegunaannya -Diskusikan manfaat minum diminum pasien
diminum dan
(jenis, waktu, dosis obat dan kerugian berhenti -Pasien dan keluarga dapat
kegunaannya (jenis,
dan efek) minum obat tanpa seizin mengetahui kegunaan
waktu, dosis dan
9.2 Pasien dapat minum dokter obat yang dikonsumsi
efek)
obat sesuai program -Jelaskan prinsip benar -Pasien dan keluarga dapat
pengobatan minum obat (nama, dosis, mengetahui prinsip
waktu dan cara minum) benar konsumsi obat
-Ajarkan pasien minta obat -Pasien memiliki
dan minum tepat waktu kesadaran pentingnya
-Anjurkan pasien melaporkan minum obat dan
pada perawat/dokter jika bersedia minum obat
merasakan efek yang tidak dengan kesadaran
menyenangkan sendiri
-Beri pujian jika pasien -Mengetahui efek samping
minum obat dengan benar sedini mungkin
sehingga Tindakan
dapat dilakukan
sesegera mungkin
untuk menghindari
komplikasi
-Reinforcement positif
dapat memotivasi
keluarga dan pasien
serta meningkatkan
harga diri
F. Implementasi

NO Klien Keluarga
1. SP 1 P SP 1 K
1. Mengidentifikasi penyebab prilaku 1. Mendiskusikan masalah yang
kekerasan. dirasakan keluarga dalam
2. Mengidentifikasi tanda dan gejala merawat klien .
prilaku kekerasan. 2. Menjelaskan pengertian prilaku
3. Mengidentifikasi prilaku kekerasan kekerasan, tanda dan gejala
yang di lakukan. prilaku kekerasan, serta proses
4. Mengidentifikasi akibat perilaku terjadinya prilaku kekerasan.
kekerasan.
5. Menyebutkan cara mengontrol prilaku
kekerasan.
6. Membantu klien mempraktekan latihan
cara mengontrol prilaku kekerasan
secara fisik 1: latihan nafas dalam.
7. Menganjurkan klien memasukkan ke
dalam kegiatan harian.
2. SP 2 P SP2 K
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian 1. Melatih keluarga mempraktikan
klien (SP1) cara merawat klien dengan resiko
2. Melatih klien mengontrol prilaku perilaku kekerasan
kekerasan dengan cara fisik 2: pukul 2. Melatih keluarga melakukan cara
kasur dan bantal merawat langsung kepada klien
3. Menganjurkan klien memasukan ke resiko perilaku kekerasan
kegiatan harian pasien
3. SP3 P SP3 K
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian 1. Membantu keluarga membuat
klien (SP1&2) jadwal aktivitas dirumah
2. Melatih klien mengontrol perilaku termasuk minum obat (discharge
kekerasan dengan cara social/verbal planning)
3. Menganjurkan klien memasukan ke 2. Menjelaskan follow up klien
dalam kegiatan harian setelah pulang
4. SP4 P
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian
klien
2. Melatih klien mengontrol prilaku
kekerasan dengan cara spiritual
3. Menganjurkan klien memasukan ke
kegiatan harian
5 SP5 P
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian
klien
2. Melatih klien mengontrol prilaku
kekerasan dengan minum obat
3. Menganjurkan klien memasukan ke
kegiatan harian

G. Evaluasi
Evaluasi dilakukan setelah melaksanakan implementasi dari rencana keperawatan
yang telah dilakukan.

IV. Diagnosa Medis


A. Definisi
Skizofrenia adalah suatu gangguan jiwa berat yang ditandai dengan penurunan
atau ketidakmampuan berkomunikasi, gangguan realitas (halusinasi atau waham),
efek tidak wajar atau tumpul, gangguan kognitif (tidak mampu berfikir abstrak) serta
mengalami kesukaran melakukan aktivitas sehari-hari (Keliat, dkk., 2016).
Skizofrenia adalah suatu bentuk psikosa fungsional dengan gangguan utama pada
proses fikir serta disharmoni (keretakan, perpecahan) antara proses fikir, afek/emosi,
kemauan dan psikomotor disertai kenyataan, terutama karena waham dan halusinasi,
asosiasi terbagi-bagi sehingga timbul inkoherensi (Direja, 2011). Skizofrenia
merupakan gangguan kejiwaan dan kondisi medis yang mempengaruhi fungsi otak
manusia, mempengaruhi fungsi normal kognitif, mempengaruhi emosional dan
tingkah laku.
Sehingga dapat disimpulkan skizofrenia adalah gangguan jiwa berat yang
menyebabkan tidak mampu mengenali realitas sehingga tidak mampu menjalankan
kehidupan sehari-hari seperti orang normal, dengan perjalanan kronis ditandai dengan
kekambuhan yang terjadi secara berulang.
B. Etiologi
Untuk mengetahui dan memahami perjalanan penyakit skizofrenia diperlukan
pendekatan yang sifatnya holistik, yaitu dari sudut organ biologik, psikodinamik,
psikoreligius, dan psikososial.
1. Organ biologik
Adanya banyak faktor yang berperan serta bagi munculnya gejala-gejala
skizofrenia. Hingga sekarang, banyak teori yang dikembangkan untuk mengetahui
penyebab skizofrenia, antara lain: faktor genetik, virus, auto-antibody, malnutrisi
(kekurangan nutrisi). Peneliti mutakhir menyimpulkan bahwa gejala skizofrenia
baru muncul bila terjadi interaksi antara gen abnormal dengan:
a) Virus atau infeksi lain selama kehamilan yang dapat mengganggu
perkembangan otak janin.
b) Menurunnya auto-antibody yang mungkin disebabkan infeksi selama
kehamilan.
c) Berbagai macam komplikasi kandungan.
d) Kekurangan gizi yang cukup berat terutama pada trimester pertama kehamilan.
Dari penelitian yang telah dilakukan pada penderita skizofrenia ditemukan
perubahan-perubahan atau gangguan pada sistem transmisi sinyal penghantar saraf
dan reseptor di sel-sel saraf otak dan interaksi zat neuro-kimia seperti dopamin dan
serotoin yang ternyata mengpengaruhi fungsi-fungsi kognitif (alam pikir), efektif
(alam perasaan) dan psikomotor (perilaku) yang terlihat dalam bentuk gejala positif
dan negati skizofrenia.
2. Genetika
Faktor genetika telah dibuktikan secara meyakinkan. Resiko masyarakat
umum 1%, pada orang tua resiko 5%, pada saudara kandung 8%, dan pada anak
12% apabila salah satu orang tua menderita skizofrenia, walaupun anak telah
dipisahkan dari orang tua sejak lahir, anak dari kedua orang tua skizofrenia 40%.
Pada kembar monozigot 47%, sedangkan untuk kembar dizigot sebesar 12%.
3. Psikodinamik
Mekanisme terjadinya skizofrenia pada diri seseorang dari sudut psikodinamik
dapat diterangkan dengan dua teori, yaitu :
a) Teori Homeostatik-deskriptif
Dalam teori ini diuraikan gambaran gejal-gejala (deskripsi) dari suatu
gangguan jiwa yang menjelaskan terjadinya gangguan keseimbangan atau
homeostatik pada diri seseorang, sebelum dan sesudah terjadinya gangguan jiwa
tersebut.
b) Teori Fasilitatif-etiologik
Dalam teori ini diuraikan faktor-faktor yang memudahkan penyebab suatu
penyakit itu muncul, bagaimana perjalanan penyakit dan penjelasan mekanisme
psikologis dari penyakit yang bersangkutan.
4. Psikoreligius
Dari sudut pandang agama Islam teori Freud tersebut sebenarnya sudah ada
hanya peristilahnya yang berbeda. Dalam islam dikenal dengan istilah nafsu yang
berfungsi sebagai dorongan atau daya tarik. Untuk melakukan kebutuhan nafsu
manusia dibekali dengan iman yang berfungsi sebagi Self Control. Dengan adanya
ini manusia dapat membedakan mana yang baik mana yang buruk, dan mana yang
halal mana yang haram dalam teori freud istilah iman sama dengan Super-Ego.
Manusia melakukan kebutuhan-kebutuhan nafsu tadi dalam bentuk perbuatan,
perilaku atau amal yang kesemuanya itu disebut sebagai akhlak. Akhlak seseorang
akan menjadi baik atau buruk tergantung dari hasil tarik menarik antara nafsu dan
iman. Dalam konsep Freud akhlak disebut Ego.
5. Psikososial
Situasi atau kondisi yang tidak kondusif pada seseorang dapat merupakan
stresor psikososial. Stresor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang
menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang, sehingga orang itu terpaksa
mengadakan penyesuaian diri untuk menanggulangi stresor (tekanan mental) yang
timbul. Kegagalan dari adaptasi ini menyebabkan timbulnya berbagai jenis
gangguan jiwa yang salah satunya adalah Skizofrenia.
C. Klasifikasi
1. Skizofrenia Simpleks
Gejala utama kadang kala emosi dan kemunduran kemauan.
2. Skizofrenia Hebefrenik
Gejala utama gangguan proses pikir gangguan kemauan dan depesonalisasi.
Banyak terdapat waham dan halusinasi. Tipe ini disebut juga disorganized type
atau kacau balau yang dimulai dengan gejala-gejala antara lain:
a. Inkoherensi yaitu jalan pikiran yang kacau, tidak dapat dimengerti apa
maksudnya. Hal ini dapat dilihat dari kata-kata yang diucapkan tidak ada
hubungannya satu dengan yang lain.
b. Alam perasaan (mood, effect) yang datar tanpa ekspresi serta tidak serasi
(incongrose) atau ketolol-tololan (silly).
c. Perilaku dan tertawa kekanak-kanakan (giggling), senyum yang menunjukan
rasa puas diri atau senyum yang hanya dihayati sendiri.
d. Waham (delusion) tidak jelas dan tidak sistimatik (terpecah) tidak terorganisir
suatu satu kesatuan.
e. Halusinasi yang terpecah-pecah yang isi temanya tidak terorganisir sebagai satu
kesatuan.
f. Perilaku aneh, misalnya menyeringai sendiri, menunjukkan gerakan-gerakan
aneh, berkelakar, pengucapan kalimat yang diulang-ulang
3. Skizofrenia Katatonik
Gejala utama pada psikomotor seperti stupor maupun gaduh gelisah.
a. Stupor katatonik, yaitu suatu pengurangan hebat dalam reaktivitas terhadap
lingkungan dan atau pengurangan dari pergerakkan atau aktivitas spontan
sehingga nampak seperti patung, atau diam membisu (mute).
b. Ekolalia atau ekopraksia (pembicaraan yang tidak bermakna).
c. Negativisme katatonik yaitu suatu penolakkan yang nampaknya tanpa motif
terhadap semua perintah atau upaya untuk menggerakkan bagian tubuh dirinya.
d. Kekakuan (rigidity) katatonik yaitu mempertahankan suatu sikap kaku terhadap
semua upaya untuk menggerakkan bagian tubuh dirinya.
e. Kegaduhan katatonik, yaitu kegaduhan aktivitas motorik (otot alat gerak) yang
nampaknya tak bertujuan dan tidak dipengaruhi oleh rangsang luar.
f. Sikap tubuh katatonik yaitu sikap (posisi tubuh) yang tidak wajar atau aneh.
4. Skizofrenia Paranoid
Gejala utama kecurigaan yang ekstrim disertai waham kejar dan kebesaran.
a. Waham (delucion) kejar atau waham kebesaran, misi atau utusan sebagai
penyelamat bangsa dunia atau agama, misi kenabian atau mesias, atau
perubahan tubuh. Waham cemburu seringkali juga ditemukan.
b. Halusinasi yang berisi kejaran atau kebeseran.
c. Gangguan alam perasaan dan perilaku, misalnya kecemasan yang tidak
menentu, kemarahan, suka bertengkar dan berdebat kekerasan. Seringkali
ditemukan kebingungan tentang identitas jenis kelamin dirinya (gender identity)
atau ketakutan bahwa dirinya diduga sebagai seorang homoseksual atau merasa
dirinya didekati oleh orang-orang homoseksual.
5. Episode Skizofrenia
Akut Kondisi akut mendadak yang disertai dengan perubahan kesadaran, kesadaran
mungkin berkabut.
6. Skizofrenia psiko-afektif
Gejala utama skizofrenia yang menonjol dengan disertai gejala depresi.
7. Skizofrenia Residul
Gejala-gejala primernya dan muncul setelah beberapa kali serangan Skizofrenia
(Direja, 2011). Tipe ini merupakan sisa-sisa (residu) dari gejala skizofrenia yang
tidak begitu menonjol. Misalnya alam perasaan yang tumpul dan mendatar serta
tidak serasi (innappropriate), penarikan diri dari pergaulan sosial, tingkah laku
eksentrik, pikiran tidak logis dan tidak rasional atau pelonggaran asosiasi pikiran.
D. Tanda dan Gejala
Tanda dan Gejala Gejala Skizofrenia adalah sebagai berikut :
1. Gejala positif
a) Waham: keyakinan yang salah, tidak sesuai dengan kenyataan, dipertahankan
dan di sampaikan berulang-ulang (waham kejar, waham curiga, waham
kebesaran).
b) Halusinasi: gangguan pemeriksaan pengindraan tanpa ada stimulus eksternal
(halusinasi pendengaran, penglihatan, pengecapan, penciuman, dan perabaan.
c) Perubahan arus pikir:
1) Arus pikir putus: dalam pembicaraan tiba-tiba tidak dapat melanjutkan isi
pembicaraan.
2) Inkoheren: berbicara tidak selaras dengan lawan bicara (bicara kacau).
3) Neologisme: menggunakan kata-kata yang hanya dimengerti oleh diri
sendiri, tetapi tidak dimengerti oleh orang lain.
d) Perubahan perilaku
1) Hiperaktif: perilaku motorik yang berlebihan
2) Agitas: perilaku yang menunjukan kegelisahan
3) Iritabilitas: mudah tersinggung (Keliat, dkk., 2016)
2. Gejala negatif
Gejala-gejala negatif yang diperlihatkan pada penderita Skizofrenia adalah sebagai
berikut:
a) Alam perasaan, gambaran alam perasaan ini dapat terlihat dari wajahnya yang
tidak menunjukan ekspresi.
b) Menarik diri, tidak mau bergaul atau kontak denagn orang lain, suka melamun.
3. Gejala primer
a) Gangguan proses pikir (bentuk, langkah dan isi pikiran)
b) Gangguan afek emosi
c) Terjadi kadang kala afek emosi
d) Emosi dan afek serta ekspresinya tidak mempunyai satu kesatuan
e) Emosi berlebihan
f) Hilangnya kemampuan untuk mengadakan hubungan emosi yang baik
g) Gangguan kemauan
1) Terjadi kelemahan kemauan
2) Perilaku negatifisme atas permintaan
3) Otomatisme: merasa fikiran atau perbuatannya dipengaruhi oleh orang lain
h) Gejala psikomotor
1) Stereotipi
2) Katelepsi: mempertahankan posisi tubuh dalam waktu yang lama
3) Autisme (Direja, 2011)
4. Gejala sekunder
a) Halusinasi
b) Waham (Direja, 2011)
E. Penatalaksanaan
Obat antipsikotik digunakan untuk mengatasi gejala psikotik (misalnya perubahan
perilaku, agitasi, agresif, sulit tidur, halusinasi, waham, proses piker kacau). Obat-
obatan untuk pasien skizophrenia yang umum diunakan adalah sebaga berikut:
1. Pengobatan pada fase akut
a. Dalam keadaan akut yang disertai agitasi dan hiperaktif diberikan injeksi :
1) Haloperidol 3x5 mg (tiap 8 jam) intra muscular.
2) Clorpromazin 25-50 mg diberikan intra muscular setiap 6-8 jam sampai
keadaan akut teratasi.
3) Kombinsi haloperidol 5 mg intra muscular kemudian diazepam 10 mg intra
muscular dengan interval waktu 1-2 menit.
b. Dalam keadaan agitasi dan hiperaktif diberikan tablet :
1) Haloperidol 2x1,5 – 2,5 mg per hari.
2) Klorpromazin 2x100 mg per hari
3) Triheksifenidil 2x2 mg per hari
2. Pengobaan fase kronis
Diberikan dalam bentuk tablet :
a. Haloperidol 2x  0,5 – 1 mg perhari
b. Klorpromazin 1 x 50 mg sehari (malam)
c. Triheksifenidil 1- 2x 2 mg sehari
3. Efek dan efek samping terapi
a. Klorpromazine
Efek : mengurangi hiperaktif, agresif, agitasi
Efek samping : mulut kering, pandangan kabur, konstipasi, sedasi, hipotensi
ortostatik.
b. Haloperidol
Efek : mengurangi halusinasi
Efek samping : mulut kering, pandangan kabur, konstipasi, sedasi, hipotensi
ortostatik.
4. Terapi Psikososial
a. Terapi perilaku
Teknik perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan ketrampilan
sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri
sendiri, latihan praktis, dan komunikasi interpersonal. Perilaku adaptif adalah
didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat ditebus untuk hal-hal yang
diharapkan, seperti hak istimewa dan pas jalan di rumah sakit. Dengan
demikian, frekuensi perilaku maladaptif atau menyimpang seperti berbicara
lantang, berbicara sendirian di masyarakat, dan postur tubuh aneh dapat
diturunkan.
b. Terapi berorintasi-keluarga
Terapi ini sangat berguna karena pasien skizofrenia seringkali dipulangkan
dalam keadaan remisi parsial, keluraga dimana pasien skizofrenia kembali
seringkali mendapatkan manfaat dari terapi keluarga yang singkat namun
intensif (setiap hari). Setelah periode pemulangan segera, topik penting yang
dibahas didalam terapi keluarga adalah proses pemulihan, khususnya lama dan
kecepatannya. Seringkali, anggota keluarga, didalam cara yang jelas mendorong
sanak saudaranya yang terkena skizofrenia untuk melakukan aktivitas teratur
terlalu cepat. Rencana yang terlalu optimistik tersebut berasal dari
ketidaktahuan tentang sifat skizofreniadan dari penyangkalan tentang keparahan
penyakitnya. Ahli terapi harus membantu keluarga dan pasien mengerti
skizofrenia tanpa menjadi terlalu mengecilkan hati. Sejumlah penelitian telah
menemukan bahwa terapi keluarga adalah efektif dalam menurunkan relaps.
Didalam penelitian terkontrol, penurunan angka relaps adalah dramatik. Angka
relaps tahunan tanpa terapi keluarga sebesar 25-50 % dan 5 - 10 % dengan
terapi keluarga.
c. Terapi kelompok
Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada rencana,
masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok mungkin terorientasi
secara perilaku, terorientasi secara psikodinamika atau tilikan, atau suportif.
Terapi kelompok efektif dalam menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa
persatuan, dan meningkatkan tes realitas bagi pasien skizofrenia. Kelompok
yang memimpin dengan cara suportif, bukannya dalam cara interpretatif,
tampaknya paling membantu bagi pasien skizofrenia.
d. Psikoterapi individual
Penelitian yang paling baik tentang efek psikoterapi individual dalam
pengobatan skizofrenia telah memberikan data bahwa terapi alah membantu dan
menambah efek terapi farmakologis. Suatu konsep penting di dalam psikoterapi
bagi pasien skizofrenia adalah perkembangan suatu hubungan terapetik yang
dialami pasien sebagai aman. Pengalaman tersebut dipengaruhi oleh dapat
dipercayanya ahli terapi, jarak emosional antara ahli terapi dan pasien, dan
keikhlasan ahli terapi seperti yang diinterpretasikan oleh pasien. Hubungan
antara dokter dan pasien adalah berbeda dari yang ditemukan di dalam
pengobatan pasien non-psikotik. Menegakkan hubungan seringkali sulit
dilakukan; pasien skizofrenia seringkali kesepian dan menolak terhadap
keakraban dan kepercayaan dan kemungkinan sikap curiga, cemas, bermusuhan,
atau teregresi jika seseorang mendekati. Pengamatan yang cermat dari jauh dan
rahasia, perintah sederhana, kesabaran, ketulusan hati, dan kepekaan terhadap
kaidah sosial adalah lebih disukai daripada informalitas yang prematur dan
penggunaan nama pertama yang merendahkan diri. Kehangatan atau profesi
persahabatan yang berlebihan adalah tidak tepat dan kemungkinan dirasakan
sebagai usaha untuk suapan, manipulasi, atau eksploitasi.
5. Perawatan di Rumah Sakit (Hospitalization)
Indikasi utama perawatan rumah sakit adalah untuk tujuan diagnostik,
menstabilkan medikasi, keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau
membunuh, prilaku yang sangat kacau termasuk ketidakmampuan memenuhi
kebutuhan dasar. Tujuan utama perawatan dirumah sakit yang harus ditegakkan
adalah ikatan efektif antara pasien dan sistem pendukung masyarakat. Rehabilitasi
dan penyesuaian yang dilakukan pada perawatan rumahsakit harus direncanakan.
Dokter harus juga mengajarkan pasien dan pengasuh serta keluarga pasien
tentang skizofrenia. Perawatan di rumah sakit menurunkan stres pada pasien dan
membantu mereka menyusun aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan rumah
sakit tergantung dari keparahan penyakit pasien dan tersedianya fasilitas
pengobatan rawat jalan. Rencana pengobatan di rumah sakit harus memiliki
orientasi praktis ke arah masalah kehidupan, perawatan diri, kualitas hidup,
pekerjaan, dan hubungan sosial. Perawatan di rumah sakit harus diarahkan untuk
mengikat pasien dengan fasilitas perawatan termasuk keluarga pasien. Pusat
perawatan dan kunjungan keluarga pasien kadang membantu pasien dalam
memperbaiki kualitas hidup.
DAFTAR PUSTAKA

Afnuhazi, Ridhyalla. (2015). Komunikasi Terapeutik dalam Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:


Goysen Publishing.

Dalami, dkk. 2014. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Jiwa. Jakarta: TIM.

Direja, A. (2011). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.

Damayanti, M & Iskandar. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: Rafika Aditama

Dermawan, Deden, Rusdi. (2013). Keperawatan Jiwa: Konsep dan Kerangka Kerja asuhan
Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Gosyen Publishing.

Kusumawati dan Hartono. (2015). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

Keliat, et al. (2016). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHN (Basic Course).
Jakarta: EGC.

Muhith A. 2015. Pendidikan Keperawatan Jiwa (Teori dan Aplikasi). Yogyakarta: Penerbit
ANDI.
Prabowo, E. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa.Yogyakarta: Nuha
Medika.
Saragih, dkk. (2014). Gambaran Tingkat Pengetahuan Dan Sikap Keluarga Tentang
Perawatan Pasien Resiko Perilaku Kekerasan Di Rumah. Diakses tanggal 8 Januari
2022

Yosep, I. (2011). Keperawatan Jiwa. Bandung : Refia Aditama

Anda mungkin juga menyukai