KEPERAWATAN JIWA
DENGAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN
2. Faktor Presipitasi
Secara umum seseorang akan akan mengeluarkan respon marah apabila
dirinya merasa terancam. Ancaman tersebut dapat berupa luka secara psikis.
Ancaman dapat berupa internal dan eksternal. Contoh stressor eksternal yaitu
serangan secara psikis, kehilangan hubungan yang dianggap bermakna, dan
adanya kritikan dari orang lain. Sedangkan contoh dari stressor internal yaitu
merasa gagal dalam bekerja, merasa kehilangan orang yang dicintai, dan
ketakutan terhadap penyakit yang diderita (Muhith, 2015).
Faktor presipitasi dapat bersumber dari pasien, lingkungan atau interaksi
dengan orang lain. Kondisi pasien seperti ini kelemahan fisik (penyakit fisik),
keputusasaan, ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi
penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula dengan situasi lingkungan yang
ribut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang
dicintainya atau pekerjaan dan kekerasan merupakan faktor penyebab yang lain
interaksi yang profokatif dan konflik dapat pula memicu perilaku kekerasan
(Prabowo, 2014).
Menurut Yosep (2011) faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku
kekerasan seringkali berkaitan dengan :
a. Ekspresi diri, ingin menunjukan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti
dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian massal
dan sebagainya.
b. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melakukan
kekerasan dalam menyelesaikan konflik Ketidaksiapan seorang ibu dalam
merawat anaknya dan ketidakmampuan menempatkan dirinya sebagai seorang
yang dewasa.
d. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi
rasa frustasi.
e. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan
tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.
Menurut Dalami, dkk (2014) stressor presipitasi yang muncul pada pasien
perilaku kekerasan yaitu :
a. Ancaman terhadap fisik: pemukulan, penyakit fisik
b. Ancaman terhadap konsep diri : frustasi, harga diri rendah
c. Ancaman eksternal : serangan fisik, kehilangan orang atau benda berarti
d. Ancaman internal : Kegagalan,kehilangan perhatian
Keterangan:
1. Asertif adalah mengungkapkan marah tanpa melukai orang lain, melukai perasan
orang lain atau tanpa merendahkan harga diri orang lain.
2. Frustasi adalah respon yang timbul akibat gagal mencapai tujuan atau keinginan
3. Pasif adalah respon dimana individu tidak dapat mengungkapkan perasaan yang
dialami.
4. Agresif adalah perilaku yang menyertai marah namun masih dapat dikontrol
individu.
5. Kekerasan adalah rasa marah dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan
kontrol diri. Sering juga disebut gaduh-gaduh atau amuk. Perilaku kekerasan
ditandai dengan menyentuh orang lain secara menakutkan, member kata-kata
ancaman, melukai disertai melukai pada tingkat ringan, dan yang paling berat
adalah melukai/merusak secara serius. Klien tidak mampu menegndalikan diri.
Respon terhadap marah dapat diungkapkan melalui tiga cara yaitu:
1. Mengungkapkan secara verbal
2. Menekan
3. Menantang.
Dari ketiga cara ini yang pertama adalah konstruktif sedangkan kedua adalah
destruktif. Dengan melarikan diri atau menantang akan menimbulkan rasa
bermusuhan dan bila cara ini dipakai terus menerus, maka kemarahan dapat
diekspresikan pada diri sendiri atau lingkungan dan akan tampak sebagai depresi
psikosomatik atau agresif dan mengamuk.
D. Tanda dan Gejala Resiko Perilaku Kekerasan
Data resiko perilaku kekerasan dapat diperoleh melalui observasi atau wawancara
tentang perilaku berikut (Dermawan, dkk., 2013):
a. Fisik
1) Muka merah dan tegang
2) Mata melotot/ pandangan tajam
3) Tangan mengepal
4) Rahang mengatup
5) Postur tubuh kaku
6) Jalan mondar-mandir
b. Verbal
1) Bicara kasar
2) Suara tinggi, membentak atau berteriak
3) Mengancam secara verbal atau fisik
4) Mengumpat dengan kata-kata kotor
5) Suara keras
6) Ketus
c. Perilaku
1) Melempar atau memukul benda/orang lain
2) Menyerang orang lain
3) Melukai diri sendiri/orang lain
4) Merusak lingkungan
5) Amuk/agresif
d. Emosi
1) Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman
2) Rasa terganggu, dendam dan jengkel
3) Bermusuhan, mengamuk, dan ingin berkelahi
4) Menyalahkan dan menuntut
e. Intelektual
1) Mendominasi
2) Cerewet
3) Kasar
4) Berdebat
5) Meremehkan dan sarkasme
f. Spiritual
1) Merasa diri berkuasa dan benar
2) Mengkritik pendapat orang lain
3) Menyinggung perasaan orang lain
4) Tidak perduli dan kasar.
g. Sosial
1) Menarik diri, pengasingan
2) Penolakan
3) Kekerasan
4) Ejekan dan sindiran.
h. Perhatian
1) Bolos
2) Mencuri
3) Melarikan diri
4) Penyimpangan seksual.
Provokasi
(ancaman atau kebutuhan yang tidak terpenuhi)
Stress
Cemas
Marah
Marah berkepanjangan
Depresi Agresi
F. Mekanisme Koping
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan
stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan
yang digunakan untuk melindungi diri. Kemarahan merupakan ekspresi dari rasa
cemas yang timbul karena adanya ancaman. Beberapa mekanisme kopping yang
dipakai pada klien marah untuk melindungi diri antara lain:
1. Sublimasi, misalnya seseorang yang sedang marah melampiaskan kemarahannya
pada objek lain seperti meremas adonan kue, meninju tembok, untuk mengurangi
ketegangan akibat rasa marah.
2. Proyeksi, menyalakan orang lain mengenai kesukarannya atau keinginannya yang
tidak baik.
3. Represi, mencegah pikiran menyakitkan atau membahayakan masuk ke alam sadar.
4. Reaksi formasi, mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan, dengan
melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakan sebagai
rentangan.
5. Displacement, melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan, pada
objek yang tidak berbahaya seperti yang pada mulanya membangkitkan emosi.
G. Penatalaksanaan
1. Farmakologi
Pasien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan yang tepat.
Adapun pengobatan dengan neuroleptika yang mempunyai dosis efektif tinggi
contohnya: clorpromazine HCL yang digunakan mengendalikan psikomotornya.
Bila tidak ada dapat dipergunakan dosis efektif rendah, contoh: Trifluoperasine
estelasine, bila tidak ada juga maka dapat digunakan transquelillzer bukan obat anti
psikotik seperti neuroleptika, tetapi meskipun demikian keduannya mempunyai
efek anti tegang, anti cemas, dan anti agitasi.
2. Terapi Okupasi
Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja, terapi ini bukan
pemberian pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan kegiatan
dan mengembalikan maupun berkomunikasi, karena itu didalam terapi ini tidak
harus diberikan pekerjaan terapi sebagai bentuk kegiatan membaca koran, main
catur, setelah mereka melakukan kegiatan itu diajak berdialog atau berdiskusi
tentang pengalaman dan arti kegiatan itu bagi dirinya.
3. Terapi modalitas
Terapi modalitas keperawatan jiwa dilakukan untuk memperbaiki dan
mempertahankan sikap klien agar mampu bertahan dan bersosialisasi dengan
lingkungan masyarakat sekitar dengan harapan klien dapat terus bekerja dan tetap
berhubungan dengan keluarga, teman, dan sistem pendukung yang ada ketika
menjalani terapi (Direja, 2011). Jenis-jenis terapi modalitas adalah :
a. Psikoterapi
Merupakan suatu cara pengobatan terhadap masalah emosional terhadap pasien
yang dilakukan oleh seseorang yang terlatih dan sukarela. Psikoterapi dilakukan
agar klien mengalami tingkah lakunya dan mengganti tingkah laku yang lebih
konstruktif melalui pamhaman- pemahaman selama ini kurang baik dan
cenderung merugikan baik diri sendiri , orang lain maupun lingkungan sekitar.
b. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)
Terapi Aktivitas Kelompok sering digunakan dalam praktik kesehatan jiwa,
bahkan merupakan hal yang terpenting dari keterampilan terapeutik dalam ilmu
keperawatan. Pemimpin atau leader kelompok dapat menggunakan keunikan
individu untuk mendorong anggota kelompok untuk mengungkapkan masalah
dan mendapatkan bantuan penyelesaian masalahnya dari kelompok, perawat
juga adapatif menilai respon klien selamaberada dalam kelompok. Jenis Terapi
Aktivitas Kelompok yang digunakan pada klien dengan perilaku kekerasan
adalah Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi atau Kognitif. Terapi
yang bertujuan untuk membantu klien yang mengalami kemunduran orientasi,
menstimuli persepsi dalam upaya memotivasi proses berfikir dan afektif serta
mengurangi perilaku maladaptif. Karakteristiknya yaitu pada penderita
gangguan persepsi yang berhubungan dengan nilainilai, menarik diri dari
realitas dan inisiasi atau ide-ide negatif.
4. Peran serta keluarga
Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan perawatan
langsung pada setiap keadaan pasien. Perawat membantu keluarga agar dapat
melakukan lima tugas kesehatan yaitu, mengenal masalah kesehatan, membuat
keputusan kesehatan, memberi perawatan pada anggota keluarga, menciptakan
lingkungan keluarga yang sehat, dan menggunakan sumber daya pada masyarakat.
Keluarga yang mempunyai kemampuan mengatasi masalah akan dapat mencegah
perilaku maladaptive (primer), mengulangi perilaku maladaptive (sekunder) dan
memulihkan perilaku maladaptive dan adaptive sehingga derajat kesehatan pasien
dan keliuarga dapat ditingkatkan secara optimal.
5. Terapi Somatik
Terapi somatis adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan gangguan
jiwa dengan tujuan mengubah perilaku yang maladaptif menjadi perilaku adaptif
dengan melakukan tindakan yang ditujukan pada kondisi fisik klien. Walaupun
yang diberi perlakuan adalah fisik klien, tetapi target terapi adalah perilaku klien.
Jenis terapi somatis adalah meliputi pengikatan, ECT, isolasi dan fototerapi
(Kusumawati & Hartono, 2015).
a) Pengikatan
Merupakan terapi menggunakan alat mekanik atau manual untuk membatasi
mobilitas fisik klien yang bertujuan untuk melindungi cedera fisik pada klien
sendiri dan orang lain.
C. Pohon Masalah
Core Problem
Perilaku Kekerasan
Isolasi Sosial
D. Diagnosa Keperawatan
1. Perilaku Kekerasan
2. Harga Diri Rendah
3. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
E. Intervensi
NO Klien Keluarga
1. SP 1 P SP 1 K
1. Mengidentifikasi penyebab prilaku 1. Mendiskusikan masalah yang
kekerasan. dirasakan keluarga dalam
2. Mengidentifikasi tanda dan gejala merawat klien .
prilaku kekerasan. 2. Menjelaskan pengertian prilaku
3. Mengidentifikasi prilaku kekerasan kekerasan, tanda dan gejala
yang di lakukan. prilaku kekerasan, serta proses
4. Mengidentifikasi akibat perilaku terjadinya prilaku kekerasan.
kekerasan.
5. Menyebutkan cara mengontrol prilaku
kekerasan.
6. Membantu klien mempraktekan latihan
cara mengontrol prilaku kekerasan
secara fisik 1: latihan nafas dalam.
7. Menganjurkan klien memasukkan ke
dalam kegiatan harian.
2. SP 2 P SP2 K
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian 1. Melatih keluarga mempraktikan
klien (SP1) cara merawat klien dengan resiko
2. Melatih klien mengontrol prilaku perilaku kekerasan
kekerasan dengan cara fisik 2: pukul 2. Melatih keluarga melakukan cara
kasur dan bantal merawat langsung kepada klien
3. Menganjurkan klien memasukan ke resiko perilaku kekerasan
kegiatan harian pasien
3. SP3 P SP3 K
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian 1. Membantu keluarga membuat
klien (SP1&2) jadwal aktivitas dirumah
2. Melatih klien mengontrol perilaku termasuk minum obat (discharge
kekerasan dengan cara social/verbal planning)
3. Menganjurkan klien memasukan ke 2. Menjelaskan follow up klien
dalam kegiatan harian setelah pulang
4. SP4 P
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian
klien
2. Melatih klien mengontrol prilaku
kekerasan dengan cara spiritual
3. Menganjurkan klien memasukan ke
kegiatan harian
5 SP5 P
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian
klien
2. Melatih klien mengontrol prilaku
kekerasan dengan minum obat
3. Menganjurkan klien memasukan ke
kegiatan harian
G. Evaluasi
Evaluasi dilakukan setelah melaksanakan implementasi dari rencana keperawatan
yang telah dilakukan.
Dalami, dkk. 2014. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Jiwa. Jakarta: TIM.
Damayanti, M & Iskandar. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: Rafika Aditama
Dermawan, Deden, Rusdi. (2013). Keperawatan Jiwa: Konsep dan Kerangka Kerja asuhan
Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Kusumawati dan Hartono. (2015). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
Keliat, et al. (2016). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHN (Basic Course).
Jakarta: EGC.
Muhith A. 2015. Pendidikan Keperawatan Jiwa (Teori dan Aplikasi). Yogyakarta: Penerbit
ANDI.
Prabowo, E. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa.Yogyakarta: Nuha
Medika.
Saragih, dkk. (2014). Gambaran Tingkat Pengetahuan Dan Sikap Keluarga Tentang
Perawatan Pasien Resiko Perilaku Kekerasan Di Rumah. Diakses tanggal 8 Januari
2022