Anda di halaman 1dari 43

MATA KULIAH : Keperawatan Gawat Darurat I

DOSEN : Abd.Risal, S.Kep, Ns, M.Kep

“MULTI TRAUMA”

DISUSUN OLEH :

SRI NURMAYATRI

(B300220002)

PUTRI SUCI PERMATA SARI. R

(B200218016)

FATIMAH USMAN

(B200218003)

PRODI KEPERAWATAN

STIKES TINGGI ILMU KESEHATAN BARAMULI PINRANG

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan
karuniaNya. sehingga saya dapat menyelesaikan tugas mata kuliah KEPERAWATAN
GAWAT DARURAT I. Pada makalah ini saya akan membahas tentang “MULTI
TRAUMA”

Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang penulis
peroleh dari berbagai sumber yang berkaitan dengan fraktur. Tak lupa penyusun
ucapkan terima kasih kepada pengajar mata kuliah KMB III atas bimbingan dan arahan
dalam penulisan makalah ini. Juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah
mendukung sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.
Penulis harap dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita
semua, dalam hal ini dapat menambah wawasan kita, khususnya bagi penulis. Memang
makalah ini masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.

Pinrang, 29 Januari 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

BAB I...........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN........................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang...................................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................................4
BAB II.........................................................................................................................................6
TINJAUN TEORI......................................................................................................................6
A. Definisi.............................................................................................................................6
B. Etiologi.............................................................................................................................6
C. Patofisilogi.......................................................................................................................6
D. Manifestasi klinis.............................................................................................................7
E. Klasifikasi........................................................................................................................7
F. Pemeriksaan Diagnostik...................................................................................................8
G. Pemeriksaan Radiologi...................................................................................................11
H. Pemeriksaan Laboratorium.............................................................................................11
I. Penilaian Pasien Trauma................................................................................................12
BAB III......................................................................................................................................32
ASUHAN KEPERAWATAN....................................................................................................32
A. Pengkajian.........................................................................................................................32
B. Diagnosa............................................................................................................................34
C. Rencana Asuhan Keperawatan..........................................................................................35
BAB III......................................................................................................................................43
PENUTUP..................................................................................................................................43
2.1 KESIMPULAN................................................................................................................43
2.2 SARAN............................................................................................................................43
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................44
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut Pasal 1 angka 24 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan (UU LLAJ), kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di Jalan
yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa
pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta
benda.

Indonesia menempati posisi 72 dengan total kematian akibat kecelakaan


sebanyak 44.594 jiwa atau dengan prosentase sebanyak 3,19 % dari total kematian
lainnya. Kasus kecelakaan lalu lintas termasuk dalam sepuluh kasus dengan
kematian tertinggi di indonesi (WHO,2014). Penyeab kecelakaan terbanyak yaitu
diakibatkan oleh pengguna jalan sebanyak 93,52 %. Kecelakaan lalu lintas dapat
berakibat fatal terhadap manusia seperti cedera ringan, cedera parah bahkan sampai
kematian.

Selain itu faktor yang tidak boleh ditinggalkan yaitu penanganan dan
pengangkutan korban kecelakaan ke rumah sakit terdekat untuk diberikan perawatan
lebih lanjut. Sehingga pelayanan ambulance yang baik juga akan berpengaruh
terhadap kelangsungan hidup korban kecelakaan lalu lintas.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana definisi Multi trauma ?
2. Bagaimana etiologi Multi trauma ?
3. Bagaimana patofisiologi Multi trauma ?
4. Bagaimana manifestasi klinis Multi trauma ?
5. Bagaimana Klasifikasi Multi trauma ?
6. Bagaimana Pemeriksaan Diagnostik Multi trauma ?
7. Bagaimana Pemeriksaan Laboratorium Multi trauma ?
8. Bagaimana Asuhan Keperawatan Multi trauma
BAB II
TINJAUN TEORI
A. Definisi
Multi trauma adalah Keadaan yang di sebabkan oleh luka atau cedera defenisi
ini memberikaan gambaran superficial dari respon fisik terhadap cedera, trauma
juga mempunyai dampak psikologis dan social. Pada kenyataannya trauma adalah
kejadian yang bersifat holistic dan dapat menyebabkan hilangnya produktif
seseorang.
B. Etiologi
Trauma dapat disebabkan oleh benda tajam,benda tumpul,atau peluru. Luka
tusuk dan luka tembak pada suatu rongga dapat di kelompokan dalam kategori luka
tembus. Untuk mengetahui bagian tubuh yang terkena,organ apa yang cedera ,dan
bagaimana derajat kerusakannya, perlu diketahui biomekanik terutama cedera pada
trauma dapat terjadi akibat tenaga dari luar berupa benturan, perlambatan
(deselerasi), dan kompresi, baik oleh benda tajam , benda tumpul, peluru, ledakan,
panas, maupun zat kimia . Akibat cedera ini dapat menybabkan cedera
muskuloskletal,dan kerusakan organ.
C. Patofisilogi
Respon metabolic pada trauma dapat dibagi dalam tiga fase.
1.      Fase pertama berlangsung beberapa jam setelah terjadinya trauma. Dalam
fase ini akan terjadi kembalinya volume sirkulasi, perfusi jaringan, dan
hiperglikemia.
2.      Pada fase kedua terjadi katabolisme menyeluruh, dengan imbang nitrogen
yang negative, hiperglikemia, dan produksi panas. Fase ini yang terjadi
setelah tercapainya perfusi jaringan dengan baik dapat berlangsung dari
beberapa hari sampai beberapa minggu, tergantung beratnya trauma,
keadaan kesehatan sebelum terjadi trauma, dan tindakan pertolongan
medisnya.
3.      Pada fase ketiga terjadi anabolisme yaitu penumpukan kembali protein dan
lemak badan yang terjadi setelah kekurangan cairan dan infeksi teratasi.
Rasa nyeri hilang dan oksigenasi jaringan secar keseluruhan sudah teratasi.
Fase ini merupakan proses yang lama tetapi progresif dan biasanya lebih
lama dari fase katabolisme karena isintesis protein hanya bisa mencapai 35
gr /hari.
D. Manifestasi klinis
1. Laserasi, memar,ekimosis
2. Hipotensi
3. Tidak adanya bising usus
4. Hemoperitoneum
5. Mual dan muntah
6. Adanya tanda “Bruit” (bunyi abnormal pd auskultasi pembuluh darah,
biasanya pd arteri karotis)
7. Nyeri
8. Pendarahan
9. Penurunan kesadaran
10. Sesak
11. Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan
limfa.Tanda ini ada saat pasien dalam posisi recumbent.
12. Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada perdarahan peritoneal
13. Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh ( pinggang ) pada
perdarahan retroperitoneal
14. Tanda coopernail adalah ekimosis pada perineum,skrotum atau labia pada
fraktur pelvis
15. Tanda balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada kuadran kiri
atas ketika dilakukan perkusi pada hematoma limfe
(Scheets, 2002 :  277-278)
E. Klasifikasi
Berdasarkan mekanismenya, yaitu :
1. Trauma tumpul
a. Biasanya disebabkan karena kecelakaan kendaraan bermotor.
b. Faktor lainnya seperti jatuh dan trauma secara mendadak
c. Hasil dari crush injury dan trauma deselerasi mengenai organ padat
(karena perdarahan) atau usus (karena perforasi dan peritonitis)
d. Limfe dan hati adalah organ yang paling sering dilibatkan
2. Trauma tajam
a. Biasanya disebabkan karena tusukan, tikaman atau tembakan senapan.
b. Mungkin dihubungkan dengan dada, diafragma dan cedera pada system
retroperitoneal.
c. Hati dan usus kecil adalah organ yang paling tersering mengalami
kerusakan.
d. Luka tusukan mungkin akan menenbus dinding peritoneum dan
seringkali merusak secara konservatif, bagaimanapun luka akibat
tembakan senapan selalu membutuhkan pembedahan dan penyelidikan
lebih awal untuk mengendalikan cedera intraperitoneal.(Catherino,
2003 : 251)
F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Trauma Tumpul
a. Diagnostik Peritoneal Lavage
DPL adalah prosedur invasive yang bisa cepat dikerjakan yang
bermakna merubah rencana untuk pasien berikutnya ,dan dianggap 98
% sensitive untuk perdarahan intraretroperitoneal. Harus dilaksanakan
oleh  team bedah untuk pasien dengan trauma tumpul multiple dengan
hemodinamik yang abnormal,terutama bila dijumpai :
a) Perubahan sensorium-trauma capitis, intoksikasi alcohol,
kecanduan obat-obatan.
b) Perubahan sensasi trauma spinal
c) Cedera organ berdekatan-iga bawah, pelvis, vertebra lumbalis
d) Pemeriksaan diagnostik tidak jelas
e) Diperkirakan aka nada kehilangan kontak dengan pasien dalam
waktu yang agak lama, pembiusan untuk cedera extraabdominal,
pemeriksaan X-Ray yang lama misalnya Angiografi
f) Adanya lap-belt sign (kontusio dinding  perut) dengan kecurigaan
trauma usus
DPL juga diindikasikan pada pasien dengan hemodinamik normal
nilai dijumpai hal seperti di atas dan disini tidak memiliiki fasilitas
USG ataupun CT Scan. Salah satu kontraindikasi untuk DPL adalah
adanya indikasi yang jelas untuk laparatomi. Kontraindikasi relative
antara lain adanya operasi abdomen sebelumnya, morbid obesity,
shirrosis yang lanjut, dan adanya koagulopati sebelumnya. Bisa dipakai
tekhnik terbuka atau tertutup  (Seldinger ) di infraumbilikal oleh dokter
yang terlatih. Pada pasien dengan fraktur pelvis atau ibu hamil, lebih
baik dilakukan supraumbilikal untuk mencegah kita mengenai
hematoma pelvisnya ataupun membahayakan uterus yang membesar.
Adanya aspirasi darah segar, isi gastrointestinal, serat sayuran ataupun
empedu yang keluar, melalui tube DPL pada pasien dengan
henodinamik yang abnormal menunjukkan indikasi kuat untuk
laparatomi. Bila tidak ada darah segar (>10 cc) ataupun cairan feses
,dilakukan lavase dengan 1000cc Ringer Laktat (pada anak-anak 
10cc/kg). Sesudah cairan tercampur dengan cara menekan maupun
melakukan rogg-oll, cairan ditampung kembali dan diperiksa di
laboratorium untuk melihat isi gastrointestinal ,serat maupun empedu.
(American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 149-150)
Test (+)  pada trauma tumpul bila 10 ml atau lebih darah
makroskopis (gross) pada aspirasi awal, eritrosit > 100.000 mm 3,
leukosit > 500/mm3 atau pengecatan gram (+) untuk bakteri, bakteri
atau serat. Sedangkan bila DPL (+) pada trauma tajam bila 10 ml atau
lebih darah makroskopis (gross) pada aspirasi awal,sel darah merah
5000/mm3 atau lebih. (Scheets, 2002 :  279-280)
b. FAST (Focused Assesment Sonography in Trauma)
Individu yang terlatih dengan baik dapat menggunakan USG untuk
mendeteksi adanya hemoperitoneum. Dengan adanya peralatan khusus di
tangan mereka yang berpengalaman, ultrasound memliki sensifitas,
specifitas dan ketajaman untuk meneteksi adanya cairan intraabdominal
yang sebanding dengan DPL dan CT abdomen Ultrasound memberikan
cara yang tepat, noninvansive, akurat dan murah untuk mendeteksi
hemoperitorium, dan dapat diulang kapanpun. Ultrasound dapat digunakan
sebagai alat diagnostik bedside dikamar resusitasi, yang secara bersamaan
dengan pelaksanaan beberapa prosedur diagnostik maupun terapeutik
lainnya. Indikasi pemakaiannya sama dengan indikasi DPL. (American
College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 150)
c. Computed Tomography (CT)
Digunakan untuk memperoleh keterangan mengenai organ yang
mengalami kerusakan dan tingkat kerusakannya, dan juga bisa untuk
mendiagnosa trauma retroperineal maupun pelvis yang sulit di diagnosa
dengan pemeriksaan fisik, FAST, maupun DPL. (American College of
Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 151)
2.      Trauma Tajam
a. Cedera thorax bagian bawah
Untuk pasien yang asimptomatik dengan kecurigaan pada diafragma
dan struktur abdomen bagian atas diperlukan pemeriksaan fisik maupun
thorax foto berulang, thoracoskopi,  laparoskopi maupun pemeriksaan CT
scan.
b. Eksplorasi local luka dan pemeriksaan serial dibandingkan dengan DPL
pada luka tusuk abdomen depan. Untuk pasien yang relatif asimtomatik
(kecuali rasa nyeri akibat tusukan), opsi pemeriksaan diagnostik yang
tidak invasive adalah pemeriksaan diagnostik serial dalam 24 jam, DPL
maupun laroskopi diagnostik.
c. Pemeriksaan fisik diagnostik serial dibandingkan dengan double atau triple
contrast pada cedera flank maupun punggung.
Untuk pasien yang asimptomatik ada opsi diagnostik antara lain
pemeriksaan fisik serial, CT dengan double atau triple contrast, maupun
DPL. Dengan pemeriksaan diagnostic serial untuk pasien yang mula-mula
asimptomatik kemudian menjadi simtomatik, kita peroleh ketajaman
terutama dalam mendeteksi cedera retroperinel maupun intraperineal untuk
luka dibelakang linea axillaries anterior. (American College of Surgeon
Committee of Trauma, 2004 : 151)
G. Pemeriksaan Radiologi
1. Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tumpul
2. Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, Thorax AP dan pelvis
AP dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan multitrauma. Rontgen foto
abdomen tiga posisi (telentang, setengah tegak dan lateral decubitus) berguna
untuk melihat adanya udara bebas dibawah diafragma ataupun udara di luar
lumen diretroperitoneum, yang kalau ada pada keduanya menjadi petunjuk untuk
dilakukan laparatomi. Hilangnya bayangan psoas menunjukkan kemungkinan
cedera retroperitoneal
3. Pemerikasaan X-Ray untuk screening trauma tajam
4. Pasien luka tusuk dengan hemodinamik yang abnormal tidak memerlukan
pemeriksaan X-Ray pada pasien luka tusuk diatas umbilicus atau dicurigai
dengan cedera thoracoabdominal dengan hemodinamik yang abnormal, rontgen
foto thorax tegak bermanfaat untuk menyingkirkan kemungkinan hemo atau
pneumothorax, ataupun untuk dokumentasi adanya udara bebas intraperitoneal.
Pada pasien yang hemodinamiknya normal, pemasangan klip pada luka masuk
maupun keluar dari suatu luka tembak dapat memperlihatkan jalannya peluru
maupun adanya udara retroperitoneal pada rontgen foto abdomen tidur.
H. Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan darah lengkap untuk mencari kelainan pada darah itu sendiri
2. Penurunan hematokrit/hemoglobin
3. Peningkatan Enzim hati: Alkaline fosfat,SGPT,SGOT,
2. Koagulasi : PT,PTT
3. MRI
4. Angiografi untuk kemungkinan kerusakan vena hepatic
5. CT Scan
6. Radiograf dada  mengindikasikan peningkatan diafragma,kemungkinan
pneumothorax atau fraktur  tulang rusuk VIII-X.
7. Scan limfa
8. Ultrasonogram
9. Peningkatan serum atau amylase urine
10. Peningkatan glucose serum
11. Peningkatan lipase serum
12. DPL (+) untuk amylase
13. Penigkatan WBC
14. Peningkatan amylase serum
15. Elektrolit serum
16. AGD (ENA,2000:49-55)

I. Penilaian Pasien Trauma

Trauma didefinisikan sebagai perpindahan energi yang terjadi dari


lingkungan ke tubuh manusia. Trauma adalah penyebab utama kecacatan di
Amerika Serikat, tercatat lebih dari 150 ribu kematian tiap tahunnya. Trauma dapat
dikategorikan sebagai kejadian yang disengaja dan tidak disengaja. Di Amerika
Serikat, trauma yang tidak disengaja menjadi penyebab utama nomor lima
timbulnya kematian di semua golongan usia dan menjadi penyebab nomor satu di
kategori usia 1-34 tahun.
Mekanisme cedra mengacu pada proses yang memungkinkan energi
berpindah dari lingkungan pada pasien yang menderita trauma. Energi merupakan
agen penyebab timbulnya cedera fisik, sedangkan tipe energi yang dapat
menimbulkan trauma adalah energi mekanik, elektrik, panas, kimia, dan radiasi.
Berdasarkan jenis energi, cedera yang disebabkan oleh energi mekanik paling
sering terjadi. Proses tersalurnya energi mekanik pada pasien bisa melalui kejadian
seperti kecelakaan, jatuh, serangan benda tumpul, penikaman, dan luka tembak.
Cedera yang diakibatkan oleh tekanan mekanik dapat dibedakan menjaadi cedera
tumpul dan penetratif. Kecelakaan kendaraan bermotor dan jatuh dapat
dikategorikan sebagai cedera tumpul, sementara luka tembak dan luka tusuk
merupakan contoh dari cedera penetratif. Tabel 4.1 menjelaskan pola cedera yang
umumnya terjadi pada pengemudi yang mengalami kecelakaan tanpa memakai alat
pengaman.
Tabel 4.1 Mekanisme dan Pola Cedera
Mekanisme Cedera Kemungkinan Pola Cedera
Tabrakan depan
Pola jaring laba-laba atau pola bull’s Patah tulang belakang daerah serviks,
eye pada kaca depan. trauma wajah.
Setir mobil tertekuk. Anterior flail chest, cidera kardiak
tumpul, pneumothoraks, cidera hati atau
limpa, gangguan aortik.
Bekas lutut pada dasboard. Patah / dislokasi lutut, femur dan
panggul.
Tabrakan samping
Kontak kepala dengan jendela samping. Patah tulang belakang daerah serviks,
cedera kepala.
Pintu terdorong ke ruang penumpang. Lateral flail chest.
Cedera hati atau limpa (tergantung sisi
yang terkena tumbukan).

Tabel 4.2 Skoring Trauma


Kemungkinan Selamat
Ukuran Skor Total Skor Persentase Pasien
Numerik Selamat (%)
Tekanan darah sistolik (mmHg)
>89 4 12 99,5
76-89 3
50-75 2 11 96,9
1-49 1
0 0 10 87,9
Laju pernapasan 9 76,6
(inspirasi spontan per menit)*
10-29 4 8 66,7
>29 3
7 63,6
6-9 2
1-5 1
6 63
0 0
*Pasien memulai bernapas sendiri, 5 45,5
tidak menggunakan ventilasi mekanis
Skor skala koma Glasgow 3 atau 4 33,3
13-15 4
2 28,6
9-12 3
6-8 2
1 25
4-5 1
3 0 0 3,7

Tabel 4.3 Penilaian primer dan sekunder bagi pasien trauma.


Komponen Penilaian Kemungkinan Intervensi
A Airway/Saluran  Dengarkan suara  Buka saluran pernapasan
pernapasan terbuka/tersumbat? menggunakan chin-lift
 Cari serpihan benda- atau manuver modified
benda, darah, jaw-thrust.
muntah, dan benda  Bersihkan saluran
asing. pernapasan, sedot dan
bersihkan dari benda-
benda asing.
 Berikan saluran
pernapasan buatan:
saluran pernapasan
orofaring atau
nasofaring, intubasi
trakea, atau saluran
pernapasan lewat proses
bedah.
B Breathing/  Amati respirasi  Berikan oksigen dengan
pernapasan spontan, chest laju tinggi melalui non-
excursion, laju dan rebreather mask.
kedalaman respirasi,  Ganti udara dengan
dan usaha untuk menggunakan tekanan
bernapas. positif (bag-valve-mask)
 Auskultasi suara  Bantu dengan
pernapasan. menggunakan intubasi
trakea atau penempatan
saluran napas lewat
proses bedah.
C Circulation/  Cari pendarahan  Lakukan penekanan/
Sirkulasi yang tampak jelas. letakkan luka di posisi
 Periksa kulit untuk yang lebih tinggi.
warna, suhu,  Masukkan dua atau lebih
kelembapan, dan kateter large-bore
capillary refill time. intravenous.
 Raba denyut nadi  Berikan bolus dari
sentral dan distal. crystalloids atau darah.
 Lakukan transfusi darah
dada.
 Gunakan splint untuk
mengontrol pendarahan.
 Fasilitasi intervensi
bedah untuk kondisi
pendarahan internal atau
eksternal yang parah.
 Sediakan resusitasi
kardiopulonary/
advanced cardiac life
support bila diperlukan.
D Disability/  Periksa akondisi  Jangan sampai pasien
Ketidakmampuan neurologis mengalami hipotensif
menggunakan atau hipoksia.
mnemonic AVPU.  Jaga dengan hati-hati
 Periksa pupil, kondisi tulang belakang.
simetris atau tidak,  Pertimbangkan
dan reaksi terhadap pemberian manitol,
cahaya. tindakan untuk
memperbaiki laju
pembuluh vena dari
otak, pembedahan atau
hiperventilasi singkat.
E Exposure and Periksa seluruh tubuh.  Lepas semua baju.
environmental  Berikan penghangat
(Pemaparan dan tubuh.
Lingkungan)
F Full set of vital  Dapatkan data-data  Mulai pengawasan
signs, five vital. kardiak berkelanjutan
interventions, and  Nilai kebutuhan dan saturasi oksigen.
family presence psikologis pasien  Pertimbangkan untuk
dan keluarga. memasukkan pipa
nasogastrik atau
orogastrik dan kateter
saluran urine.
G Give comfort Ukur tingkat kesakitan.  Berikan obat untuk nyeri
measures seperti disarankan.
 Gunakan cara
nonfarmakologis untuk
mengurangi nyeri.
History Jika pasien sadar, Dapatkan informasi MIVT
kumpulkan sejarah data dari jasa medis darurat.
medis.
Head-to-toe Lakukan pemeriksaan
H
examination dari kepala ke kaki;
inspeksi, auskultasi, dan
raba pasien dari kepala
ke kaki.
I Inspect posterior Miringkan pasien ke
surfaces satu sisi. Periksa dan
raba semua permukaan
tubuh bagian belakang.

J. Penanganan Pada Pasien Dengan Multiple Trauma

Penanganan secara sistematis sangat penting dalam penatalaksanaan pasien


dengan trauma. Perawatan penting yang menjadi prioritas adalah mempertahankan
jalan napas, memastikan pertukaran udara secara efektif, dan mengontrol
pendarahan.
Kematian akibat trauma memiliki pola distribusi trimodal. Puncak
morbiditas pertama terjadi dalam hitungan detik atau menit setelah cedera.
Kematian ini diakibatkan gangguan pada jantung atau pembuluh darah besar, otak,
atau saraf tulang belakang. Cedera seperti ini sangat parah dan jumlah pasien yang
dapat diselamatkan relatif kecil. Puncak kedua kematian terjadi dalam hitungan
menit sampai jam sesudah trauma terjadi. Kematian dalam periode ini terjadi pada
umumnya karena memar intrakranial atau pendarahan yang tidak terkontrol akibat
patah tulang panggul, robekan pada solid organ (organ padat) atau beberapa luka.
Perawatan yang diterima dalam satu jam pertama (golden period) sesudah cedera
sangat penting untuk mempertahankan nyawa pasien. The Trauma Nursing Core
Course (TNCC) dan Advanced Trauma Life Support (ATLS) menggunakan
pendekatan primary dan secondary survey. Pendekatan ini berfokus pada
pencegahan kematian dan cacat pada jam-jam pertama setelah terjadinya trauma.
Puncak morbiditas ketiga terjadi beberapa hari sampai minggu sesudah trauma.
Kematian pada periode ini terjadi karena sepsis, kegagalan beberapa organ dan
pernapasan, atau komplikasi lain.
Oleh karena kerumitan, keparahan cedera, serta kebutuhan akan evaluasi
dan intervensi secara bersamaan, pasien yang mengalami multipel trauma
memerlukan tindakan dari tim yang terkoordinasi untuk menyelamatkan pasien.
Pemimpin dalam tim mengamati jalannya usaha penyelamatan pasien. Komposisi
tim berbeda-beda dari tempat ke tempat yang lain, terapi biasanya terdiri atas paling
tidak satu satu dokter, satu perawat, dan petugas perawat tambahan.

1. Survei Primer (Primary Survey)


Penilaian awal pasien trauma terdiri atas survei primer dan survei sekunder.
Pendekatan ini ditujukan untuk mempersiapkan dan menyediakan metode
perawatan individu yang mengalami multiple trauma secara konsisten dan menjaga
tim agar tetap terfokus pada prioritas perawatan. Masalah-masalah yang
mengancam nyawa terkait jalan napas, pernapasan, sirkulasi, dan status kesadaran
pasien diidentifikasi, dievaluasi, serta dilakukan tindakan dalam hitungan menit
sejak datang di unit gawat darurat. Kemungkinan kondisi mengancam nyawa
seperti pneumothoraks, hemotoraks, flail chest, dan pendarahan dapat dideteksi
melalui survei primer. Ketika kondisi yang mengancam nyawa telah diketahui,
maka dapat segera dilakukan intervensi yang sesuai dengan masalah/ kondisi
pasien.
Pada survei primer terdapat proses penilaian, intervensi, dan evaluasi yang
bekelanjutan. Komponen survei primer adalah sebagai berikut :
A : Airway (jalan napas)
B : Breathing (pernapasan)
C : Circulation (sirkulasi)
D : Disability (defisit neurologis)
E : Exposure and environmental control (pemaparan dan kontrol
lingkungan)

A : Airway (Jalan Napas)


Penilaian jalan napas merupakan langkah pertama pada penanganan pasien
trauma. Penilaian jalan napas dilakukan bersamaan dengan menstabilkan leher.
Tahan kepala dan leher pada posisi netral dengan tetap mempertahankan leher
dengan menggunakan servical collar dan meletakkan pasien pada long spine board.
Dengarkan suara spontan yang menandakan pergerakan udara melalui pita
suara. Jika tidak ada suara, buka jalan napas pasien menggunakan chin-lift atau
manuver modified jaw-thrust. Periksa orofaring, jalan napas mungkin terhalang
sebagian atau sepenuhnya oleh cairan (darah, saliva, muntahan) atau serpihan kecil
seperti gigi, makanan, atau benda asing. Intervensi sesuai dengan kebutuhan
(suctioning, reposisi) dan kemudian evaluasi kepatenan jalan napas.
Alat-alat untuk mempertahankan jalan napas seperti nasofaring, orofaring,
LMA, pipa trakea, Combitute, atau cricothyrotomy mungkin dibutuhkan untuk
membuat dan mempertahankan kepatenan jalan napas.

B : Breathing (Pernapasan)
Munculnya masalah pernapasan pada pasien trauma sering terjadi kegagalan
pertukaran udara, perfusi, atau sebagai akibat dari kondisi serius pada status
neurologis pasien. Untuk menilai pernapasan, perhatikan proses respirasi spontan
dan catat kecepatan, kedalaman, serta usaha melakukannya. Periksa dada untuk
mengetahui penggunaan otot bantu pernapasan dan gerakan naik turunnya dinding
dada secara simetris saat respirasi.
Selain itu, periksa juga toraks. Pada kasus cedera tertentu misalnya luka
terbuka, flail chest dapat dilihat dengan mudah. Lakukan auskultasi suara
pernapasan bila didapatkan adanya kondisi serius dari pasien. Selalu diasumsikan
bahwa pasien yang tidak tenang atau tidak dapat bekerja sama berada dalam kondisi
hipoksia sampai terbukti sebaliknya.
Intervensi selama proses perawatan meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Oksigen tambahan untuk semua pasien. Bagi pasien dengan volume tidal
yang cukup, gunakan non-rebreather mask dengan reservoir 10-12 l/menit.
2. Persiapkan alat bantu pertukaran udara bila diperlukan. Gunakan bag-
valve-mask untuk mendorong tekanan positif oksigen pada pasien saat kondisi
respirasi tidak efektif. Pertahankan jalan napas efektif dengan intubasi trakea jika
diperlukan dan siapkan ventilator mekanis.
3. Pertahankan posisi pipa trakea. Begitu pasien terintubasi, pastikan posisi
pipa benar; verifikasi ulang bila dibutuhkan. Perhatikan gerakan simetris naik
turunnya dinding dada, auskultasi daerah perut kemudian paru-paru dan perhatikan
saturasi oksigen melalui pulseoximeter.
4. Bila didapatkan trauma toraks, maka perlu tindakan yang serius. Tutup
luka dada selama proses pengisapan, turunkan tekanan pneumotoraks, stabilisasi
bagian-bagian yang flail, dan masukkan pipa dada.
5. Perlu dilakukan penilaian ulang status pernapasan pasien yang meliputi
pengukuran saturasi oksigen dan udara dalam darah (arterial blood gase).

C : Circulation (Sirkulasi)
Penilaian primer mengenai status sirkulasi pasien trauma mencakup evaluasi
adanya pendarahan, denyut nadi, dan perfusi.
1. Pendarahan
Lihat tanda-tanda kehilangan darah eksternal yang masif dan tekan langsung
daerah tersebut. Jika memungkinkan, naikkan daerah yang mengalami pendarahan
sampai di atas ketinggian jantung. Kehilangan darah dalam jumlah besar dapat
terjadi di dalam tubuh.
2. Denyut nadi
Denyut nadi diraba untuk mengetahui ada tidaknya nadi, kualitas, laju, dan
ritme. Denyut nadi mungkin tidak dapat dilihat secara langsung sesudah trauma,
hipotermia, hipovolemia, dan vasokonstriksi pembuluh darah yang disebabkan
respons sistem saraf simpatik yang sangat intens. Raba denyut nadi karotid, radialis,
dan femolar. Sirkulasi dievaluasi melalui auskultasi apikal. Cari suara degupan
jantung yang menandakan adanya penyumbatan perikardial. Mulai dari tindakan
pertolongan dasar sampai dengan lanjut untuk pasien yang tidak teraba denyut
nadinya. Pasien yang mengalami trauma cardiopulmonary memiliki prognosis yang
jelek, terutama setelah terjadi trauma tumpul. Pada populasi pasien trauma, selalu
pertimbangkan tekanan pneumotoraks dan adanya sumbatan pada jantung sebagai
penyebab hilangnya denyut nadi. Kondisi ini dapat kembali normal apabila
dilakukan needle thoracentesis dan pericardiocentesis.
3. Perfusi kulit
Beberapa tanda yang tidak spesifik yaitu akral dingin, kulit basah, pucat,
sianosis, atau bintik-bintik mungkin menandakan keadaan syok hipovolemik. Cek
warna, suhu kulit, adanya keringat, dan capillary refill. Waktu capillary refill
adalah ukuran perfusi yang cocok pada anak-anak, tapi kegunaanya berkurang
seiring dengan usia pasien dan menurunnya kondisi kesehatan. Namun demikian,
semua tanda-tanda syok tersebut belum tentu akurat dan tergantung pada
pengkajian. Selain kulit, tanda-tanda hipoperfusi juga tampak pada orang lain,
misalnya oliguria, perubahan tingkat kesadaran, takikardi, dan disritmia. Selain itu,
perlu diperhatikan juga adanya penggelembungan atau pengempisan pembuluh
darah di leher yang tidak normal. Mengembalikan volume sirkulasi darah
merupakan tindakan yang penting untuk dilakukan dengan segera. Pasang IV line
dua jalur dan infus dengan cairan hangat. Gunakan blood set dan bukan infuse set
karena blood set mempunyai diameter yang lebih lebar dari infuse set sehingga
memungkinkan tetesannya lebih cepat dan apabila ingin memberikan transfusi
darah, maka bisa langsung digunakan tanpa harus diganti.
Berikan 1-2 l cairan isotonic crystalloid solution (0,9% normal saline atau
Ringer’s lactate). Pada anak-anak, pemberiannya berdasarkan berat badan yaitu 20
ml/kgBB. Dalam pemberian cairan perlu diperhatikan respons pasien dan setiap 1
ml darah yang hilang dibutuhkan 3 ml cairan crystalloids.

Pada kondisi multiple trauma sering terjadi perdarahan akibat kehilangan


akut volume darah. Secara umum volume darah orang dewasa adalah 7% dari berat
badan ideal (BBI) sementara volume darah anak-anak berkisar antara 8-9% BBI.
Jadi orang dewasa dengan berat badan 70 kg diperkirakan memiliki volume darah
sekitar 5 l. Klasifikasi perdarahan meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Perdarahan kelas 1 (kehilangan darah sampai 15%)
Gejala minimal, takikardi ringan, tidak ada perubahan yang berarti dari
tekanan darah, nadi, dan frekuensi pernapasan. Pada penderita yang sebelumnya
sehat tidak perlu dilakukan transfusi. Pengisian kapiler dan mekanisme kompensasi
lain akan memulihkan volume darah dalam 24 jam.
2. Perdarahan kelas 2 (kehilangan darah 15-30%)
Gejala klinis meliputi takikardia, takipnea, dan penurunan tekanan nadi.
Penurunan tekanan nadi ini terutama berhubungan dengan peningkatan komponen
distolik karena pelepasan katekolamin. Katekolamin bersifat inotropik yang
menyebabkan peningkatan tonus dan resistensi pembuluh darah perifer. Tekanan
sistolik hanya sedikit berubah sehingga lebih tepat mendeteksi perubahan tekanan
nadi. Perubahan sistem saraf sentral berupa cemas, ketakutan, dan sikap
bermusuhan. Produksi urine sedikit terpengaruh yaitu antara 20-30 ml/jam pada
orang dewasa. Ada penderita yang terkadang memerlukan transfusi darah, tetapi
kebanyakan masih bisa distabilkan dengan larutan kristaloid.
3. Perdarahan kelas 3 (kehilangan darah 30-40%)
Gejala klinis klasik akibat perfusi inadekuat hampir selalu ada yaitu
takikardi, takipnea, penurunan status mental dan penurunan tekanan darah sistolik.
Penderita ini sebagian besar memerlukan transfusi darah.
4. Perdarahan kelas 4 (kehilangan darah >40%)
Gejala klinis jelas yaitu takikardi, penurunan tekanan darah sistolik yang
besar dan tekanan nadi yang sempit (tekanan distolik tidak teraba), produksi urin
hampir tidak ada, kesadaran jelas menurun, kulit dingin, dan pucat. Transfusi sering
kali harus diberikan secepatnya. Bila kehilangan darah lebih dari 50% volume
darah, maka akan menyebabkan penurunan tingkat kesadaran, kehilangan denyut
nadi dan tekanan darah.

Penggunaan klasifikasi ini diperlukan untuk mendeteksi jumlah cairan


kristaloid yang harus diberikan. Berdasarkan hukum 3 for 1 rule artinya jika terjadi
perdarahan sekitar 1.000 ml, maka perlu diberikan cairan kristaloid 3 x 1.000 ml
yaitu 3.000 ml cairan kristaloid.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian cairan IV secara
agresif pada pasien trauma dapat memperburuk kondisi perdarahan pasien. Hal ini
karena dapat menurunkan hemostatic plugs yang terbentuk untuk menghentikan
pendarahan, tetapi kondisi ini hanya terjadi pada beberapa kelompok pasien saja.
Secara umum, apabila seorang pasien didapatkan dalam kondisi yang tetap tidak
stabil secara hemodinamis sesudah pemberian infus crystalloids 2-3 l, sebaiknya
pasien segera diberikan transfusi darah. Pemberian transfusi darah disesuaikan
dengan jenis dan golongan darah pasien.

D : Disability (Status Kesadaran)


Tingkat kesadaran pasien dapat dinilai dengan menggunakan mnemonic
AVPU. Sebagai tambahan, cek kondidi pupil, ukuran, kesamaan, dan reaksi
terhadap cahaya. Pada saat survei primer, penilaian neurologis hanya dilakukan
secara singkat. Pasien yang memiliki risiko hipoglikemi (misal: pasien diabetes)
harus dicek kadar gula dalam darahnya. Apabila didapatkan kondisi hipoglikemi
berat, maka diberikan Dekstrose 50%. Adanya penurunan tingkat kesadaran akan
dilakukan pengkajian lebih lanjut pada survei sekunder. GCS dapat dihitung segera
setelah pemeriksaan survei sekunder.
Mnemonic AVPU meliputi: awake (sadar); verbal (berespons terhadap
suara/ verbal); pain (berespons terhadap rangsang nyeri), dan unresponsive (tidak
berespons).

E : Exposure and Environmental Control (Pemaparan dan Kontrol


Lingkungan)
Pemaparan (Exposure)
Lepas semua pakaian pasien secara cepat untuk memeriksa cedera,
perdarahan, atau keanehan lainnya. Perhatikan kondisi pasien secara umum, catat
kondisi tubuh, atau adanya bau zat kimia seperti alkohol, bahan bakar, atau urine.
Kontrol Lingkungan (Environmental Control)
Pasien harus dilindungi dari hipotermia. Hipotermia penting karena ada
kaitannya dengan vasokonstriksi pembuluh darah dan koagulopati. Pertahankan
atau kembalikan suhu normal tubuh dengan mengeringkan pasien dan gunakan
lampu pemanas, selimut, pelindung kepala, sistem penghangat udara, dan berikan
cairan IV hangat.

2. Survei Sekunder (Secondary Survey)


Setelah dilakukan survei primer dan masalah yang terkait dengan jalan
napas, pernapasan, sirkulasi, dan status kesadaran telah selesai dilakukan tindakan,
maka tahapan selanjutnya adalah survei sekunder. Pada survei sekunder
pemeriksaan lengkap mulai dari head to toe. Berbeda dengan survei primer, dalam
pemeriksaan survei sekunder ini apabila didapatkan masalah, maka tidak diberikan
tindakan dengan segera. Hal-hal tersebut dicatat dan diprioritaskan untuk tindakan
selanjutnya. Jika pada saat tertentu, pasien tiba-tiba mengalami masalah jalan
napas, pernapasan atau sirkulasi, maka segera lakukan survei primer dan intervensi
sesuai dengan indikasi. Mnemonic yang digunakan untuk mengingat survei
sekunder ialah huruf F ke I.
F : Full Set of Vital Signs, Five Interventions, and Facilitation of Family
Presence (Tanda-tanda vital, 5 intervensi, dan memfasilitasi kehadiran
keluarga)
Full Set of Vital Signs (TTV)
Tanda-tanda vital ini menjadi dasar untuk penilaian selanjutnya. Pasien
yang kemungkinan mengalami trauma dada harus dicatat denyut nadi radial dan
apikalnya; nilai tekanan darah pada kedua lengan. Termasuk suhu dan saturasi
oksigen sebaiknya dilengkapi pada tahap ini, jika belum dilakukan.
Five Interventions (5 Intervensi)
Lima intervensi ini meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Pemasangan monitor jantung.
2. Pasang nasogastrik tube atau orogastrik tube (jika ada indikasi).
3. Pasang folley kateter (jika ada indikasi).
4. Pemeriksaan laboratorium meliputi: darah lengkap, kimia darah,
urinalysis, urine, kadar ethanol, toxicologic screens (urine, serum), clotting studies
(prothrombin time, activated partial thromboplastin time, fibrinogen, D dimer)
untuk pasien dengan yang mengalami gangguan koagulopati.
5. Pasang oksimetri.

Facilitation of Family Presence (Memfasilitasi Kehadiran Keluarga)


Memfasilitasi kehadiran keluarga berarti memberikan kesempatan untuk
bersama pasien meskipun berada dalam situasi yang mengancam nyawa, tetapi hal
ini masih menjadi hal yang kontroversial sampai sekarang. Berdasarkan
kesepakatan Emergency Nurses Association (ENA), keluarga diberikan kesempatan
untuk bersama dengan pasien selama proses invasif dan resusitasi. Rumah sakit
atau klinik yang mengizinkan kehadiran keluarga pasien harus memiliki standar
prosedur tentang bagaimana cara menenangkan, mendukung, dan memberikan
informasi pada anggota keluarga.
G : Give Comfort Measures (Memberikan Kenyamanan)
Korban trauma sering mengalami masalah yang terkait dengan kondisi fisik
dan psikologis. Metode farmakologis dan non-farmakologis banyak digunakan
untuk menurunkan rasa nyeri dan kecemasan. Dokter dan perawat yang terlibat
dalam tim trauma harus bisa mengenali keluhan dan melakukan intervensi bila
dibutuhkan.

H : History and Head-to-Toe Examination

Riwayat Pasien (History)


Jika pasien sadar dan kooperatif, lakukan pengkajian pada pasien untuk
memperoleh informasi tentang pengobatan, alergi, dan riwayat penyakit yang
bersangkutan. Anggota keluarga pasien bisa juga menjadi sumber untuk
memperoleh data ini. Informasi penting tentang kondisi sebelum sampai di rumah
sakit seperti tempat kejadian, proses cedera, penilaian pasien dan intervensi
didapatkan dari petugas EMS. Untuk mempermudah dalam melakukan pengkajian
yang berkaitan dengan riwayat kejadian pasien, maka dapat digunakan mnemonic
MIVT yaitu mechanism (mekanisme), injuries suspected (dugaan adanya cedera),
vital sign on scene (TTV di tempat kejadian), dan treatment received (perawatan
yang telah diterima).

Head-to-toe Examination (Pemeriksaan mulai dari kepala sampai kaki)


Kepala (Head)
Kepala dilakukan inspeksi secara sistematis dan dinilai adanya luka-luka
yang tampak, perubahan bentuk, dan kondisi kepala yang tidak simetris. Raba
tengkorak untuk mencari fragmen tulang yang tertekan, hematoma, laserasi,
ataupun nyeri. Perhatikan area ekimosis atau perubahan warna. Ekimosis di
belakang telinga atau di daerah periorbital adalah indikasi adanya fraktur tengkorak
basilar (fraktur basis cranii).
Berikut adalah intervensi yang dapat dilakukan :
1. Jaga kondisi pasien agar tidak terjadi hipotensi atau hipoksia.
2. Manitol dapat diberikan secara IV untuk menurunkan tekanan
intrakranial.
3. Pasien cedera kepala yang kondisinya terus memburuk, harus
dipertimbangkan pemberian terapi hiperventilasi untuk menurunkan PaCO2 dari 30-
35 mmHg.
4. Observasi tanda-tanda peningkatan TIK dan persiapkan pasien jika
diperlukan tindakan bedah.

Muka (Face)
Periksa dan perhatikan apakah terdapat luka paada wajah pasien dan kondisi
wajah yang tidak simetris. Perhatikan adanya cairan yang keluar dari telinga, mata,
hidung, dan mulut. Cairan jernih yang berasal dari hidung dan telinga diasumsikan
sebagai cairan serebrospinal sampai diketahui sebaliknya. Evaluasi kembali pupil
yang meliputi kesimetrisan, respons cahaya, dan akomodasi mata, serta periksa juga
fungsi ketajaman penglihatan. Minta pasien untuk membuka dan menutup mulut
untuk mengetahui adanya malocclusion, laserasi, gigi hilang atau goyah, dan/atau
benda asing.
Tindakan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah sebagai
berikut :
1. Scan noncontrast computerized axial tomographic.
2. Panoramic radiographic views of the jaw.
Intervensi yang dapat dilakukan adalah memberikan perawatan luka.

Leher (Neck)
Periksa kondisi leher pasien dan pastikan pada saat melakukan pengkajian
posisi leher tidak bergerak. Lakukan palpasi dan inspeksi terhadap adanya luka,
jejas, ekimosis, distensi pembuluh darah leher, udara di bawah kulit, dan deviasi
trakea. Arteri karotid juga dapat diauskultasi untuk mencari suara abnormal.
Lakukan palpasi untuk mengetahui perubahan bentuk, kerusakan, lebam, jejas di
tulang belakang. Trauma penetratif pada leher jarang mengakibatkan cedera tulang
belakang. Meski begitu, kerusakan tulang belakang sebaiknya dipertimbangkan
sampai dibuktikan sebaliknya dengan penilaian klinis atau radiografis.
Empat pengamatan radiorafis yang dibutuhkan untuk mendapatkan
gambaran tulang belakang secara utuh adalah sebagai berikut :
1. Cross-table lateral (harus tampak C1-T1).
2. Anterior-posterior.
3. Lateral.
4. Open-mouth odontoid.

Dada (Chest)
Periksa dada untuk mengetahui adanya ketidaksimetrisan, perubahan
bentuk, trauma penetrasi atau luka lain, lakukan auskultasi jantung dan paru-paru.
Palpasi dada untuk mencari perubahan bentuk, udara di bawah kulit dan area
lebam/jejas.
Diagnosis yang mungkin muncul adalah sebagai berikut :
1. Ambil portable chest radiograph jika pasien tidak dapat duduk tegak
untuk sudut posterior-anterior dan lateral.
2. Lakukan perekaman ECG 12-lead pada pasien yang diduga atau
memiliki trauma tumpul pada dada.
3. Pertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan BGA jika pasien
menunjukkan distress napas atau telah memakai ventilator mekanik.

Abdomen (Perut)
Periksa peruit untuk mengetahui adanya memar, massa, pulsasi, atau onjek
yang menancap. Perhatikan adanya pengeluaran isi perut, auskultasi suara perut di
semua empat kuadran, dan secara lembut palpasi dinding perut untuk memeriksa
adanya kekakuan, nyeri, rebound pain atau guarding.
Tindakan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah sebagai
berikut :
1. Periksa FAST (focused abdominal sonography for trauma) yaitu proses
pemeriksaan sonografi pada empat wilayah perut (perikardial, perihepatik,
perisplenik, dan pelvis) digunakan untuk mengidentifikasi cairan intraperitoneal
pada pasien dengan trauma tumpul pada perut.
2. Diagnosis peritoneal lavage (jarang digunakan karena sudah tersedia
CT-scan).
3. CT scan bagian perut (dilakukan dengan tingakat kontras medium).
4. Urutan pemeriksaan radiografis perut atau ginjal-uretra-kandung kemih.

Pelvis (Panggul)
Periksa panggul untuk mengetahui adanya pendarahan, lebam, jejas,
perubahan bentuk, atau trauma penetrasi. Pada laki-laki, periksa adanya priapism,
sedangkan pada wanita periksa adanya pendarahan. Inspeksi daerah perineum
terhadap adanya darah, feses, atau cedera lain. Pemeriksaan rektum dilakukan
untuk mengukur sphincter tone, adanya darah, dan untuk mengetahui posisi prostat.
Letak prostat pada posisi high-riding, darah pada urinary meatus, atau adanya
scrotal hematoma adalah kontraindikasi untuk dilakukannya kateter sampai
uretrogram retrograde dapat dilakukan. Untuk mengetahui stabilitas panggul
lakukan penekanan secara halus ke arah dalam (menuju midline) pada iliac crests.
Lakukan palpasi pada daerah simfisis pubis jika pasien mengeluh nyeri atau
terdengar adanya gerakan, hentikan pemeriksaan dan lakukan pemeriksaan X-rays.

Ekstremitas (Extremity)
Periksa keempat tungkai untuk mengetahui adanya perubahan bentuk,
dislokasi, ekimosis, pembengkakan, atau adanya luka lain. Periksa sensorik-motorik
dan kondisi neurovaskular pada masing-masing ekstremitas. Lakukan palpasi untuk
mengetahui adanya jejas, lebam, krepitasi, dan ketidaknormalan suhu. Jika
ditemukan adanya cedera, periksa ulang status neurovaskular distal secara teratur
dan sistematis.
Tindakan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah
pemeriksaan X-rays pada ekstremitas yang mengalami gangguan.
Intervensi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Balut bidai.
2. Perawatan luka.

I : Inspect the Posterior Surfaces (Periksa Permukaan Bagian Belakang)


Dengan tetap mempertahankan posisi tulang belakang dalam kondisi netral,
miringkan pasien ke satu sisi. Prosedur ini membutuhkan beberapa orang anggota
tim. Pemimpin tim menilai keadaan posterior pasien dengan mencari tanda-tanda
jejas, lebam, perubahan warna, atau luka terbuka. Palpasi tulang belakang untuk
mencari tonjolan, perubahan bentuk, pergeseran, atau nyeri. Pemeriksaan rektal
dapat dilakukan pada tahap ini apabila belum dilakukan pada saat pemeriksaan
panggul dan pada kesempatan ini juga bisa digunakan untuk mengambil baju pasien
yang berada di bawah tubuh pasien. Apabila pada pemeriksaan tulang belakang
tidak didapatkan adanya kelainan atau gangguan pada pasien dapat telentang, maka
backboard dapat diambil (dengan mengikuti protokol institusi).
Tindakan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah sebagai
berikut :
1. Pemeriksaan X-ray pada tulang belakang (leher, toraks, pinggang).
2. CT scan tulang belakang.
Intervensi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Jaga tulang belakang agar tidak bergeser, sampai pasien sudah normal.
2. Pertimbangkan memberi lapisan atau mengambil papan. Lihat tanda-
tanda kerusakan kulit.
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Pengkajian primer
a. Aryway (jalan nafas)
Pemeriksaan  jalan napas pada pasien multi trauma  merupakan prioritas
utama.
Usaha untuk kelancaran jalan nafas harus di lakukan dengan cara clin lift
atau jaw thrust secara manual untuk membuka jalan nafas.
b. Breathing (dan ventilasi)
Semua penderita trauma harus mendapat suplai oksigen yang tinggi kecuali
jika terdapat kontrindikasi  terhadap tindakkan ini. Bantuan ventilasi harus
dimulai jika usaha pernapasan inadekuat.
c. Circrulation (sirkulasi)
jika ada gangguan sirkulasi segera tanggani dengan pemasangan IV line.
Dan tentukan status sirkulasi dengan mengkaji nadi,mencatat Irma dan
ritmenya.
d. Disability (evaluasi neurologis)
Pantau status neurologis secara cepat meliputi tingkat kesadaran dan
GCS,dan ukur reaksi pupil serta tanda-tanda vital.

2. Pengkajian sekunder
a. Kepala
1) Inpeksi dan palpasi keseluruhan kulit kepala ;hal ini penting karna kulit
kepala biasanya tidak terlihat karna tertup rambut
2) Catat adanya pendarahan,laserasi memar,atau hematom
3) Catat adanya darah atau drainase dari telinga. Inpeksi adnya memar di
belakang telinga
4) Kaji respond an orientasi pasien akan waktu,tempat,dan diri . observasi
bagaimana pasien merespons pertanyaan dan berinteraksi dengan
lingkungan
5) Catat adanya tremor atau kejang
b. Wajah
1) Inpeksi dan palpasi tulang wajah
2) Kaji ukuran pupil dan reaksinya terhadap cahaya.catat apakah lensa kontak
terpasang ;jika ya lepaskan
3) Catat adanya darah atau drainage dari telinga,mata,hidung,atau mulut.
4) Observasi bibir ,daun telinga,dan ujung kuku terhadap sianosis
5) Cek adanya gigi yang tanggal
6) Cek adanya gigi palsu.jika ada pasien mengalami penurunan tingkat
kesadaran atau gigi palsu mempengaruhi jalan nafas,lepaskan;lalu di beri
nama dan simpan di tempat yang aman (lebih baik berikan pada
keluarganya )
7) Inpeksi lidah dan mukosa oral terhadap trauma
c. Leher
1) Observasi adanya bengkak atau deformitas di leher
2) Cek spinal servikal utuk devormitas dan nyeri pada palpasi.perhatikan
jangan menggerakkan leher atau kepala pasien dengan kemungkinan
trauma leher sampai fraktur servikal sudah di pastikan
3) Observasi adanya deviasi trakea
4) Observasi adanya distensi vena jugularis
d. Dada
1) Inpeksi dinding dada untuk kualitas dan kedalaman pernafasan ,dan untuk
kesimetriasan pergerakan .catat adanya segmen flailchest
2) Cek adanya fraktur iga padengan melakukan penekanan pada tulang iga
pada posisi lateral,lalu anterior dan posterior;manufer ini menyebabkan
nyeri pada pasien dengan fraktur iga
3) Catat keluhan pasien akan nyeri,dispnea,atau sensasi dada terasa berat
4) Catat memar,pendarahan ,luka atau emfisema subkutaneus
5) Auskultasi paru utuk kualitas dan kesemettriasan bunyi napas
e. Abdomen
1) Catat adanya distensi ,perdarahan , memar, atau abrasi , khususnya di
sekitar organ vital seperti limpa atau hati
2) Auskultasi abdomen utuk bising usus sebelum mempalpasi mengkaji
secara benar
f. Genetalia dan pelvis
1) Oservasi untuk abrasi,perdarahan,hematoma,edema,atau discharge
2) Observasi adnya gangguan kemih
g. Tulang belakang
1) Mulai tempatkan satu tangan di bawah leher pasien.dengan lembut palpasi
vertebrata.rasakan adanya deformitas,dan catat lokasinya jika terdapat
respon nyeri pada pasien
2) Perhatian : jangan pernah membalik pasien untuk memeriksa tulang
belakang sampai trauma spinal sudah di pastikan !jika anda harus
membalik pasien (misalnya luka terbuka) gunakan tehnik log-roll
3) Catat adanya keluhan nyeri dari pasien ketika mempalpasi sudut
costovertebral melewati ginjal
h. Ekstremitas
1) Cek adanya pendarahan ,edema ,pallornyeri ,atau asimetris tulang atau
sendi mulai  pada segmen proksimal pada setiap ekstremitas dan palpasi
pada bagian distal

B. Diagnosa
1. Defisit volume cairan yang berhubungan dengan hemoragi, spasium ketiga.
2. Kerusakan pertukaran gas : yang berhubungan dengan trauma pulmonal,
komplikasi pernapasan (mis, ARDS), nyeri.
3. Kerusakan integritas jaringan ; yang berhubungan dengan trauma, pembedahahn,
prusedur-prosedur invasif, imobilitas.
4. Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan; yang berhubungan dengan
penurunan curah jantung, penurunan oksigenasi, penurunan pertukaran gas.
5. Resiko tinggi terhadap infeksi : yang berhubungan dengan trauma, prosedur
invasif.
6. Resiko tinggi terhadap ansietas : yang berhubungan dengan penyakit kritis,
ketakutan akan kematian atau kecacatan, perubahan peran dalam lingkungan
sosial, ketidakmampuan yang permanen.

C. Rencana Asuhan Keperawatan


Pasien dengan trauma

Diagnosa keperawatan Kriteria hasil/ tujuan- Intervensi keperawatan


tujuan pasien
Defisit volume cairan yang Mempertahankan 1. Penggantian volume
berhubungan dengan keseimbangan cairan yang sesuai instruksi
hemoragi, spasium ketiga. optimal. kristaloid atau
koloid.
2. Pertahankan potensi
aliran IV : aliran
sentral lebih baik.
3. Pantau TD, FJ setiap
jam atau sesuai
instruksi.
4. Pantau haluaran
urine setiap jam
5. Kaji parameter
hemodinamik :
TDKP, TVS, curah
jantung,
6. Ukur berat badan
setiap hari.
7. Berikan oksigen
sesuai kebutuhan.
8. Pantau elektrolit,
HSD , faktor-faktor
koagulasi.
9. Kaji tipe dan jumlah
drainase : tandai
balutan jika ada
indikasi.
10. Jika ada indikasi :
siapkan dan pastikan
fungsi peralatan
autotransfusi.
11. Siapkan untuk
pembedahan, sesuai
dengan keperluan.
Kerusakan pertukaran gas : Mempertahnkan oksigenasi
yang berhubungan dengan yang adekuat dan 1. Kaji bunyi paru,
trauma pulmonal, keseimbangan asam-basa pernapasan, suhu
komplikasi pernapasan normal. tubuh, sensorium,
(mis, ARDS), nyeri. TVS, gas-gas darah
venous arterial dan
campuran.
2. Berikan oksigen
sesuai dengan
keperluan.
3. Bebalik, batuk, napas
dalam jika pasien
tidak pada ventilasi
mekanis.
4. Pertimbangkan
tempat tidur rotasi.
5. Pertahankan ventilasi
mekanis, sesuai
pesanan.
6. Suksion, lavage
trakeal sesuai
keperluan.
7. Bantu untuk
radiografi,
bronkoskopi, sesuai
keperluan.
8. Dapatkan spesimen
kultur, sesuai
pesanan.
9. Berikan mukolitik,
bronkodilator, sesuai
permintaan.
10. Lakukan fisioterapi
dada, drainase
postural jika tidak
ada kontraindikasi.
11. Tingkatkan kontrol
nyeri, kaji
keefektifannya.
12. Bantu saat klien
menjalani blok
interkostal atau
analgesia epidural.
13. Sedasi sesuai
permintaan, untuk
meminimalkan
kebutuhan oksigen.
14. Pertahankan dan
bantu pasien dengan
pemasangan selang
dada.
15. Siapkan untuk
trakeostomi jika
diperlukanuntuk
ventilasi jangka
panjang.
Kerusakan integritas Mempertahankan
jaringan ; yang oksigenasi yang adekuat 1. Kaji penyembuhan
berhubungan dengan dan keseimbangan asam- luka, kulit, dan
trauma, pembedahahn, basa normal. integritas jaringan.
prusedur-prosedur invasif, 2. Putar, ubah posisi
imobilitas. setiap 2 jam.
3. Pertimbangkan
penggunaan tempat
tidur dengan kasur
berisi udara.
4. Ganti pembalut,
sesuai perintah.
5. Lindungi kulit dari
drainase yang
mengiritasi.
6. Pantau cairan
aspirasi lambung
terhadap keasaman
atau perdarahan.
7. Berikan antasid,
antagonis histamin,
sesuai perintah.
8. Tingkatkan nutrisi
yang adekuat.
Mempertahankan fungsi
Resiko tinggi terhadap organ yang adekuat 1. Kaji fungsi organ :
perubahan perfusi tanda-tanda vital,
jaringan; yang haluaran urine,
berhubungan dengan sensorium, curah
penurunan curah jantung, jantung, indeks
penurunan oksigenasi, jantung.
penurunan pertukaran gas. 2. Pantau gas-gas darah
arteri dan vena
campuran,
pengiriman oksigen,
konsumsi oksigen,
pemirauan.
3. Pantau BUN ,
kreatinin, bilirubin,
dan uji fungsi hepar.
4. Kaji terhadap ikterik.
5. Siapkan untuk
dialisis jika
diperlukan.
6. Berikan agen-agen
inotropik, sesuai
perintah.
7. Pertahankan
keseimbangan cairan
yang optimal.
8. Sedasikan pasien,
sesuai perintah,
untuk menurunkan
Pasien tidak menunjukkan kebutuhan metabolik.
tanda atau gejala-gejala
Resiko tinggi terhadap infeksi. 1. Kaji tanda-tanda
infeksi : yang berhubungan vital, suhu, luka-luka,
dengan trauma, prosedur letak IV, letak drain.
invasif. 2. Pantau SDP
3. Dapatkan biakan
sesuai perintah.
4. Berikan antibiotik
sesuai perintah.
5. Ganti balutan, sesuai
perintah atau
perprotokol.
6. Bantu dengan
perubahan saluran
IV.
7. Pertahankan potensi
drain.
8. Kaji jumlah dan tipe
drainase.
9. Pantau hemodinamik
terhadap tanda-tanda
syok septik : TD,
Curahj jantung,
tahanan vaskular
sistemik.
10. Pertahankan
keseimbangan cairan
yang adekuat,
haluaran urine,
nutrisi.
11. Siapkan untuk
pemeriksaan
diagnostik,
Pasien akan pembedahan sesuai
menegekspresikan ansietas keperluan.
Resiko tinggi terhadap kepada narasumber yang
ansietas : yang sesuai. 1. Berikan lingkungan
berhubungan dengan yang mendorong
penyakit kritis, ketakutan suasana diskusi
akan kematian atau terbuka tentang isu-
kecacatan, perubahan isu emosional.
peran dalam lingkungan 2. Kerahkan sistem
sosial, ketidakmampuan pendukung pasien
yang permanen. serta libatkan
sumber-sumber ini
dengan cara yang
sesuai.
3. Berikan waktu
kepada pasien untuk
mengekspresikan
dirinya.
4. Identifikasi sumber-
sumber rumah sakit
yang mungkin untuk
dukungan
pasien/keluarganya.
5. Anjurkan komunikasi
terbuka antara
keluarga pasien
dengan perawat
tentang isu-isu
emosional.
6. Validasikan
pengetahuan dasar
pasien dan keluarga
tentang penyakit
kritis.
7. Libatkan sistem
pendukung religius
dengan cara yang
sesuai.

BAB III

PENUTUP

2.1 KESIMPULAN
Kecelakaan adalah serangkaian peristiwa dari kejadian-kejadian yang tidak
terduga sebelumnya, dan selalu mengakibatkan kerusakan pada benda, luka, atau
kematian. Secara umum ada tiga faktor utama penyebab kecelakaan; Faktor
Pengemudi (Road User), Faktor Kendaraan (Vehicle), Faktor Lingkungan Jalan
(Road Environment). Kecelakaan yang terjadi pada umumnya tidak hanya
disebabkan oleh satu faktor saja, melainkan hasil interaksi antar faktor lain.
Tindakan kedaruratan yang dapat dilakukan ketika terjadi kecelakaan yaitu
melakukan pengecekan ABC (Airway, Breathing, Circulation). Selain melakukan
ABC hal penting lainnya yaitumengevakuasi korban ke rumah sakit terdekat untuk
dilakukan tindakan lebih lanjut.
2.2 SARAN
Dengan mempelajari materi ini mahasiswa keperawatan yang nantinya
menjadi seorang perawat professional agar dapat lebih terampil ketika menemukan
pasien yang mengalami kecelakaan dan dapat melakukan pertolongan segera.
Mahasiswa dapat melakukan tindakan-tindakan emergency  untuk melakukan
pertolongan segera kepada pasien yang mengalami kecelakaan lalu lintas.

DAFTAR PUSTAKA

1.      Eliastam, Michael. 1998. PENUNTUN KEDARURATAN MEDIS, Jakarta


EGC.
2.      KM Fock, Philip Eng. 1996. PENUNTUN PENGOBATAN DARURAT.
Yokyakarta Kerjasama YAYASAN ESSENTIA MEDICA dan Andi.
Kartikawati, Dewi. 2012. Buku Ajar Dasar-Dasar Keperawatan Gawat
Darurat. Jakarta : Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai