Anda di halaman 1dari 3

COVID-19 di Antara Culture Set dan

Krisis Literasi
Baru-baru ini polisi & TNI dibuat kewalahan saat menertibkan masyarakat yang masih nongkrong di
warung, cafe dan tempat nongkrong lainnya. Penertiban itu menyusul adanya seruan dari pemerintah
kepada segenap warganya untuk sementara waktu tetap tinggal di rumah demi mencegah semakin
banyaknya penularan pandemi COVID-19. 

Nampaknya, imbauan presiden untuk menerapkan physical distancing atau menghindari kerumunan
itu masih ditanggapi dingin oleh sebagian masyarakat. Padahal, seminggu sebelumnya Presiden
memberlakukan Work From Home (WFH) bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) dan pegawai
perusahaan plat merah. Presiden tak main-main, pelajar pun tak luput diminta untuk distance learning
atau belajar dari rumah.

Meski demikian, upaya preventif pemerintah itu guna menekan laju pertumbuhan eksponensial
pandemi COVID-19 ini dinilai belum efektif. Oleh karena itu, aparat masih terus bergerak menyisir
titik-titik yang menjadi berkumpulnya warga. Siapa sangka, upaya persuasif dan dialogis aparat itu
malah diabaikan. Bahkan, aparat sempat ditertawakan saat mengimbau berkali-kali karena masyarakat
menganggap COVID-19 ini biasa-biasa saja.

Fenomena ini pun terjadi di sejumlah daerah. Tak sedikit masyarakat yang masih melakukan
rutinitasnya seperti biasa. Nongkrong, ngopi, merokok dan akses wifi untuk game online. Kopinya
hanya secangkir tapi ngobrolnya beberapa jam. Begitulah culture set kami sebagai orang timur yang
tinggal di negeri dulunya bernama nusantara. Sebelum era disrupsi, nongkrong atau nyangkruk dalam
idiom jawa sudah menjadi budaya turun temurun. 

Di era orde baru misalnya. Generasi milenial pada zaman itu juga mempunyai kebiasaan yang sama
dengan generasi milenial zaman now. Meski keberadaan kedai kopi atau warung dulunya tak
menjamur seperti sekarang. Budaya nongkrong atau jagong gayeng memang sudah melekat dan
menjadi wadah masyarakat untuk bertukar pikiran. Kopi dan rokok adalah menunya. Substansi dari
nongkrong itu sendiri adalah obrolannya. 

Mengubah kebiasaan masyarakat yang telah mendarah daging itu bukanlah perkara mudah. Seperti
adagium "hidup tak semudah membalik telapak tangan". Meski telah diingatkan berulang kali,
imbauan itu masuk ke telinga kanan dan keluar ke telinga kiri (red: dianggap angin lewat). Apalagi
masyarakat kita ini memiliki interaksi sosial budaya yang cukup dominan dibanding tipologi
masyarakat di negara-negara lain. 

Saya dengan seorang teman yang berprofesi sebagai guru pernah mengajak nongkrong warga asal
Jerman di sebuah kedai kopi dengan tujuan untuk mengenalkan budaya kami. Saat itu, ia kebetulan
menjadi native speaker di lembaga pendidikan formal. Belum genap 10 menit kami duduk, warga
Jerman itu meminta bergegas kembali ke sekolah. Menurutnya, budaya seperti ini hanyalah
membuang-buang waktu karena ia sejak kecil dididik dengan prinsip "Time is Money". 

Krisis Literasi? 

Selain faktor culture set, hal fundamental yang membuat masyarakat apatis terhadap COVID-19
adalah literasi. Definisi literasi bukan hanya sekedar menulis dan membaca saja. Sebab, literasi adalah
software yang bisa membuka cakrawala berpikir setiap orang. Dengan literasi orang tak sekedar
mengetahui apa yang kasat mata tapi bisa juga menganalisa hal-hal yang tak kasat mata. Bahkan, bisa
melakukan simulasi di kepala dan mengkalkulasi impact jangka pendek serta panjangnya. 
Berbeda dengan negara-negara lain. Negara kita ini tingkat literasinya dikenal sangat rendah. Hasil
penelitian Program for International Student Assessment (PISA) rilisan Organisation for Economic
Co-Operation and Develompent (OECD) tahun 2015 menunjukkan dari 70 negara yang disurvei,
Indonesia berada pada ranking 62. 

Maka tak berlebihan jika sastrawan besar, Pramoedya Ananta Toer melahirkan frasa "Membacalah
jika ingin tahu dunia". Pram secara eksplisit, menitipkan pesan pentingnya kepada kita bahwa dengan
membaca, membuat kita tahu isi dunia beserta fenomenanya. Dengan tingkat literasi yang tinggi,
setiap individu tentu akan memiliki cara berpikir yang out of the box dan konsep dasar dalam melihat
dunia luar beserta fenomenanya. 

Minimnya basis pengetahuan atau literasi sains inilah yang menjadikan awal ketidaktahuan
masyarakat terhadap munculnya virus dari zaman ke zaman. Virus bisa disebut benda mati karena
bisa dikristalkan. Tetapi virus juga bisa disebut sebagai makhluk hidup karena memiliki asam nukleat
(DNA/RNA) yang bisa meniru  menggandakan dirinya sendiri. Tentu dengan sifat penularannya yang
berbeda-beda. Menurut sejumlah ahli virologi, Covid-19 ini bisa menular dari orang yang sehat ke
orang yang kurang sehat. Hal semacam inilah yang jarang diketahui masyarakat. Tak heran, jika
sebagian masyarakat tetap santuy dan menganggap COVID-19 ini biasa-biasa saja.

Berbeda dengan Sars, Mers dan Ebola. Virus Corona baru ini memiliki masa inkubasi yang cukup
lama. Sebagian dari mereka juga tak menyadari bahwa penularan COVID-19 ini lebih cepat ke
seluruh dunia dibanding dengan virus-virus sebelumnya lantaran moda transportasi publik dan
infrastruktur saat ini mudah diakses masyarakat serta terkoneksi di berbagai belahan dunia. Buktinya,
baru 4 bulan terhitung munculnya COVID-19 di kota Wuhan, Hubei, Tiongkok 17 november lalu.
Covid-19 ini sudah menjangkiti di 196 negara di dunia.

Setiap harinya, kasus COVID-19 di dunia terus bertambah. Mengutip Worldometer, grafik kasus
COVID-19 ni terus naik dan tembus di angka 471.417 (26/03/20). Dengan jumlah pasien meninggal
sebanyak 21.295 dan pasien sembuh mencapai 114.642. Data tersebut menunjukkan bahwa mata
rantai penularan pandemi COVID-19 laju pertumbuhan eksponensial COVID-19 semakin tinggi dan
masih berlangsung di sejumlah negara.

Di Indonesia sendiri kasus COVID-19 sudah mencapai angka 790 dengan pasien yang sembuh
berjumlah 31 dan meninggal sebanyak 58 orang, termasuk para dokter dan tim medis yang selama ini
turut menanganinya. Tak bisa dibayangkan jika COVID-19 ini kasusnya terus bertambah di negeri
kita. Berapa banyak lagi jumlah dokter dan tim medisnya yang harus mati karena COVID-19 ini? 

Kasus COVID-19 di Italia setidaknya bisa menjadi tamparan keras bagi kita. Italia yang memiliki
kapasitas pelayanan dan teknologi medis yang lebih baik dari kita ternyata kewalahan menangani
kasus ini. Penyebabnya sepele. Warga Italia menganggap remeh COVID-19 dan tetap melakukan
rutinitasnya seperti biasa. Alhasil, pertumbuhan eksponensial COVID-19 di negara yang memiliki 2
keajaiban dunia ini signifikan. Kini, Italia sedang banjir air mata lantaran jumlah pasiennya yang
meninggal terbanyak di dunia. Sebesar 7.503 orang.

Dulu perjuangan para pahlawan di era pra kemerdekaan dalam melawan penjajah rela mengorbankan
jiwa dan raganya demi negara. Saat inilah kita sebagai pahlawan di era revolusi industri 4.0 berjuang
melawan COVID-19 dengan rela mengorbankan budaya ngopi kita di warkop atau cafe untuk diganti
ngopi di rumah demi negara. Maka tinggalah sementara waktu di rumah karena itu adalah kunci untuk
mencegah kewalahan sistem kesehatan. Jika tak memungkinkan lockdown negara, apalagi lockdown
kota, ayo lockdown ego kita dengan Stay at Home!
Sumber : IDN Times
1. Jenis Paragraf yang digunakan adalah paragraf Deduktif. Paragraf deduktif adalah jenis
paragraf yang memiliki gagasan utama atau ide pokok di awal paragraf. Gagasan utama ini
umumnya merupakan pernyataan umum dalam kalimat topik.

2. Jenis Kalimat
a. Kalimat Naratif
Saya dengan seorang teman yang berprofesi sebagai guru pernah mengajak nongkrong
warga asal Jerman di sebuah kedai kopi dengan tujuan untuk mengenalkan budaya kami.
Saat itu, ia kebetulan menjadi native speaker di lembaga pendidikan formal. Belum genap
10 menit kami duduk, warga Jerman itu meminta bergegas kembali ke sekolah.
Menurutnya, budaya seperti ini hanyalah membuang-buang waktu karena ia sejak kecil
dididik dengan prinsip "Time is Money". (Paragraf 7)
b. Kalimat Persuasif
Saat inilah kita sebagai pahlawan di era revolusi industri 4.0 berjuang melawan COVID-
19 dengan rela mengorbankan budaya ngopi kita di warkop atau cafe untuk diganti ngopi
di rumah demi negara. Maka tinggalah sementara waktu di rumah karena itu adalah kunci
untuk mencegah kewalahan sistem kesehatan. Jika tak memungkinkan lockdown negara,
apalagi lockdown kota, ayo lockdown ego kita dengan Stay at Home! (Paragraf 16)
c. Kalimat Argumentatif
Di Indonesia sendiri kasus COVID-19 sudah mencapai angka 790 dengan pasien yang
sembuh berjumlah 31 dan meninggal sebanyak 58 orang, termasuk para dokter dan tim
medis yang selama ini turut menanganinya. Tak bisa dibayangkan jika COVID-19 ini
kasusnya terus bertambah di negeri kita. Berapa banyak lagi jumlah dokter dan tim
medisnya yang harus mati karena COVID-19 ini? (Paragraf 14)

d. Deklaratif

Setiap harinya, kasus COVID-19 di dunia terus bertambah. Mengutip Worldometer,


grafik kasus COVID-19 ni terus naik dan tembus di angka 471.417 (26/03/20). Dengan
jumlah pasien meninggal sebanyak 21.295 dan pasien sembuh mencapai 114.642. Data
tersebut menunjukkan bahwa mata rantai penularan pandemi COVID-19 laju
pertumbuhan eksponensial COVID-19 semakin tinggi dan masih berlangsung di sejumlah
negara. (Paragraf 13)

3. Tanda Baca:

a. Di era orde baru misalnya. Generasi milenial pada zaman itu juga mempunyai kebiasaan
yang sama dengan generasi milenial zaman now. Setelah kalimat yang tercetak miring
sebaiknya menggunakan tanda baca koma daripada titik.

b. Meski keberadaan kedai kopi atau warung dulunya tak menjamur seperti sekarang.
Budaya nongkrong atau jagong gayeng memang sudah melekat dan menjadi wadah
masyarakat untuk bertukar pikiran. Setelah kalimat tercetak miring sebaiknya penulis
menggunakan tanda baca koma agar pembaca bisa lebih memahami maksud dari penulis.

Anda mungkin juga menyukai