Anda di halaman 1dari 12

2 STRUMA

Pembesaran kelenjar tiroid atau struma diklasifikasikan berdasarkan efek fisiologisnya,


klinis, dan perubahan bentuk yang terjadi. Struma dapat dibagi menjadi :
1) Struma Toksik, yaitu struma yang menimbulkan gejala klinis pada tubuh, berdasarkan
perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi
a. Diffusa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid meliputi seluruh lobus, seperti
yang ditemukan pada Grave’s disease.
b. Nodosa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid hanya mengenai salah satu
lobus, seperti yang ditemukan pada Plummer’s disease.
2) Struma Nontoksik, yaitu struma yang tidak menimbulkan gejala klinis pada tubuh,
berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi
a. Diffusa, seperti yang ditemukan pada endemik goiter
b. Nodosa, seperti yang ditemukan pada keganasan tiroid.6
Pembesaran kelenjar tiroid dapat disebabkan oleh :
1) Hiperplasia dan Hipertrofi
Setiap organ apabila dipicu untuk bekerja akan mengalami kompensasi dengan
cara memperbesar dan memperbanyak jumlah selnya. Demikian juga dengan
kelenjar tiroid pada saat pertumbuhan akan dipacu untuk bekerja memproduksi
hormon tiroksin sehingga lama kelamaan akan membesar, misalnya saat pubertas
dan kehamilan.
2) Inflamasi atau Infeksi
Proses peradangan pada kelenjar tiroid seperti pada tiroiditis akut, tiroiditis
subakut (de Quervain) dan tiroiditis kronis (Hashimoto).
3) Neoplasma (2,3,4)
Jinak dan ganas
Struma menimbulkan gejala klinis dikarenakan oleh perubahan kadar hormon tiroid di
dalam darah. Kelenjar tiroid dapat menghasilkan hormon tiroid dalam kadar berlebih atau biasa
disebut hipertiroid maupun dalam kadar kurang dari normal atau biasa disebut hipotiroid. Gejala
yang timbul pada hipertiroid adalah :
 Peningkatan nafsu makan dan penurunan berat badan
 Tidak tahan panas dan hiperhidrosis
 Palpitasi, sistolik yang tinggi dan diastolik yang rendah sehingga menghasilkan
tekanan nadi yang tinggi (pulsus celler) dan dalam jangka panjang dapat menjadi
fibrilasi atrium
 Tremor
 Diare
 Infertilitas, amenorrhae pada wanita dan atrofi testis pada pria
 Exophtalmus.7
Gejala yang timbul pada hipotiroid adalah kebalikan dari hipertiroid :
 Nafsu makan menurun dan berat badan bertambah
 Tidak tahan dingin dan kulit kering bersisik
 Bradikardi, tekanan sistolik yang rendah dan tekanan nadi yang lemah
 Gerak tubuh menjadi lamban dan edema pada wajah, kelopak mata dan tungkai

2.2.2 Struma Nodosa Toksik (2,3)


a. Definisi
Struma nodosa toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada salah satu lobus yang
disertai dengan tanda-tanda hipertiroid. Pembesaran noduler terjadi pada usia dewasa muda
sebagai suatu struma yang nontoksik. Bila tidak diobati, dalam 15-20 tahun dapat menjadi toksik.
Pertama kali dibedakan dari penyakit Grave’s oleh Plummer, maka disebut juga Plummer’s
disease.8
b. Patofisiologi
Penyakit ini diawali dengan timbulnya pembesaran noduler pada kelenjar tiroid yang
tidak menimbulkan gejala-gejala toksisitas, namun jika tidak segera diobati, dalam 15-20 tahun
dapat menimbulkan hipertiroid. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan dari nontoksik
menjadi toksik antara lain adalah nodul tersebut berubah menjadi otonom sendiri (berhubungan
dengan penyakit autoimun), pemberian hormon tiroid dari luar, pemberian yodium radioaktif
sebagai pengobatan.9
c. Gejala Klinis
Saat anamnesis, sulit untuk membedakan antara Grave’s disease dengan Plummer’s
disease karena sama-sama menunjukan gejala-gejala hipertiroid. Yang membedakan adalah saat
pemeriksaan fisik di mana pada saat palpasi kita dapat merasakan pembesaran yang hanya terjadi
pada salah satu lobus.9

d. Tatalaksana
Terapi yang diberikan pada Plummer’s Disease juga sama dengan Grave’s yaitu ditujukan pada
pengendalian keadaan tirotoksisitas/ hipertiroidi dengan pemberian antitiroid, seperti propil-
tiourasil ( PTU ) atau karbimazol. Terapi definitif dapat dipilih antara pengobatan anti-tiroid
jangka panjang, ablasio dengan yodium radiokatif, atau tiroidektomi. Pembedahan terhadap
tiroid dengan hipertiroidi dilakukan terutama jika pengobatan dengan medikamentosa gagal
dengan kelenjar tiroid besar. Pembedahan yang baik biasanya memberikan kesembuhan yang
permanen meskipun kadang dijumpai terjadinya hipotiroidi dan komplikasi yang minimal.9

2.2.6 Langkah-langkah Penegakkan Diagnosis Struma (2,3,4)


a. Anamnesis
Pada anamnesis, keluhan utama yang diutarakan oleh pasien bisa berupa benjolan di leher
yang sudah berlangsung lama, maupun gejala-gejala hipertiroid atau hipotiroidnya. Jika pasien
mengeluhkan adanya benjolan di leher, maka harus digali lebih jauh apakah pembesaran terjadi
sangat progresif atau lamban, disertai dengan gangguan menelan, gangguan bernafas dan
perubahan suara. Setelah itu baru ditanyakan ada tidaknya gejala-gejala hiper dan hipofungsi dari
kelenjer tiroid. Perlu juga ditanyakan tempat tinggal pasien dan asupan garamnya untuk
mengetahui apakah ada kecendrungan ke arah struma endemik. Sebaliknya jika pasien datang
dengan keluhan ke arah gejala-gejala hiper maupun hipofungsi dari tiroid, harus digali lebih jauh
ke arah hiper atau hipo dan ada tidaknya benjolan di leher.6
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik status lokalis pada regio coli anterior, yang paling pertama
dilakukan adalah inspeksi, dilihat apakah pembesaran simetris atau tidak, timbul tanda-tanda
gangguan pernapasan atau tidak, ikut bergerak saat menelan atau tidak.6
Pada palpasi sangat penting untuk menentukan apakah bejolan tersebut benar adalah
kelenjar tiroid atau kelenjar getah bening. Perbedaannya terasa pada saat pasien diminta untuk
menelan. Jika benar pembesaran tiroid maka benjolan akan ikut bergerak saat menelan,
sementara jika tidak ikut bergerak maka harus dipikirkan kemungkinan pembesaran kelenjar
getah bening leher. Pembesaran yang teraba harus dideskripsikan:
 Lokasi: lobus kanan, lobos kiri, ismus
 Ukuran: dalam sentimeter, diameter panjang
 Jumlah nodul: satu (uninodosa) atau lebih dari satu (multinodosa)
 Konsistensinya: kistik, lunak, kenyal, keras
 Nyeri: ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi
 Mobilitas: ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus sternokleidomastoidea
 Kelenjar getah bening di sekitar tiroid : ada pembesaran atau tidak
c. Pemeriksaan Penunjang (1,2,3)
Pemeriksaan laboratorium yang digunakan dalam mendiagnosis penyakit
tiroid terbagi atas :
1. Pemeriksaan untuk mengukur fungsi tiroid. Pemeriksaan untuk
mengetahui kadar T3 dan T4 serta TSH paling sering menggunakan teknik
radioimmunoassay (RIA) dan ELISA dalam serum atau plasma darah. Kadar normal T4
total pada orang dewasa adalah 50-120 ng/dl. Kadar normal untuk T3 pada orang
dewasa adalah 0,65-1,7 ng/dl.
TABEL 1. Tes Fungsi Tiroid
Serum Tiroksin Serum Triiodotironin Pengikat Hormon Tiroid Perangsang
Tiroid
Hipertiroidisme Meningkat Meningkat Meningkat
Normal atau rendah
Hipotiroidisme primer Menurun N s/d menurun Menurun
Meningkat
Hipotiroidisme sekunder Menurun Menurun Menurun
Menurun
Kehamilan Meningkat Normal
Normal
2. Pemeriksaan untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid.
Antibodi terhadap macam-macam antigen tiroid yang ditemukan pada serum penderita
dengan penyakit tiroid autoimun. Seperti antibodi tiroglobulin dan thyroid stimulating
hormone antibody
3. Pemeriksaan radiologis
 Foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea atau pembesaran
struma retrosternal yang pada umumnya secara klinis pun sudah bisa diduga. Foto
rontgen leher posisi AP dan lateral biasanya menjadi pilihan.
 USG tiroid yang bermanfaat untuk menentukan jumlah nodul,
membedakan antara lesi kistik maupun padat, mendeteksi adanya jaringan kanker
yang tidak menangkap iodium dan bisa dilihat dengan scanning tiroid.
 Scanning Tiroid dasarnya adalah presentasi uptake dari I 131 yang
didistribusikan tiroid. Dari uptake dapat ditentukan teraan ukuran, bentuk lokasi
dan yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid (distribusi dalam kelenjar).
Uptake normal 15-40% dalam 24 jam. Dari hasil scanning tiroid dapat dibedakan 3
bentuk, yaitu cold nodule bila uptake nihil atau kurang dari normal dibandingkan
dengan daerah disekitarnya, ini menunjukkan fungsi yang rendah dan sering terjadi
pada neoplasma. Bentuk yang kedua adalah warm nodule bila uptakenya sama
dengan sekitarnya, menunjukkan fungsi yang nodul sama dengan bagian tiroid lain.
Terakhir adalah hot nodule bila uptake lebih dari normal, berarti aktifitasnya
berlebih dan jarang pada neoplasma.
4. FNAB. Pemeriksaan histopatologis akurasinya 80%. Hal ini perlu
diingat agar jangan sampai menentukan terapi definitif hanya berdasarkan hasil
FNAB saja.
d. Tindakan Pembedahan
Indikasi operasi pada struma adalah :
1. Struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa
2. Struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan
3. Struma dengan gangguan kompresi
4. Kosmetik
Kontraindikasi pada operasi struma :
1. Struma toksika yang belum dipersiapkan sebelumnya
2. Struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik lain yang belum
terkontrol
3. Struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit digerakkan
yang biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang demikian biasanya sering dari
tipe anaplastik yang jelek prognosisnya. Perlekatan pada trakea ataupun laring
dapat sekaligus dilakukanreseksi trakea atau laringektomi, tetapi perlekatan dengan
jaringan lunak leher yang luas sulit dilakukan eksisi yang baik.
Pertama-tama dilakukan pemeriksaan klinis untuk menentukan apakah nodul tiroid
tersebut suspek maligna atau suspek benigna. Bila nodul tersebut suspek maligna, maka
dibedakan apakah kasus tersebut operable atau inoperable.
Bila kasus yang dihadapi adalah inoperable maka dilakukan tidakan biopsi insisi untuk
keperluan pemeriksaan histopatologis. Dilanjutkan dengan tindakan debulking dan radiasi
eksterna atau kemoradioterapi. Bila nodul tiroid suspek maligna yang operable atau suspek
benigna dapat dilakukan tindakan isthmolobektomi atau lobektomi. Jika setelah hasil PA
membuktikan bahwa lesi tersebut jinak maka operasi selesai, tetapi jika ganas maka harus
ditentukan terlebih dahulu jenis karsinoma yang terjadi.
Komplikasi pembedahan tiroid :
a. Perdarahan dari A. Tiroidea superior
b. Dispneu
c. Paralisis N. Rekurens Laryngeus. Akibatnya otot-oto laring terjadi
kelemahan
d. Paralisis N. Laryngeus Superior. Akibatnya suara penderita menjadi
lenih lemah dan sukar mengontrol suara nada tinggi, karena terjadi pemendekan pita
suara oleh karena relaksasi M. Krikotiroid. Kemungkinan nervus terligasi saat
operasi.
2.3 ANESTESI PADA PASIEN STRUMA
2.3.1 Hipertiroidisme12
1. Perioperatif
a. Pemeriksaan Fisis
Menentukan pembesaran leher karena struma :
 Tiroid berada di regio koli anterior yang mempunyai batas-batas
m.sternokleidomastoideus, m.digastrikus, dan manubrium sterni. Tiroid di luar regio
tersebut disebut sebagai tiroid ektopik atau struma aberans.
 Tiroid terdiri dari dua lobus kanan dan kiri, yang masing-masing dihubungkan oleh satu
lobus piramidalis yang berada di garis media melekat pada kartilago tiroidea dan terdapat
di fasia koli media. Karena kartilago tiroidea melekat pada trakea, maka pada pergerakan
trakea misal sewaktu menelan, maka tiroid juga ikut bergerak
 Bila terjadi pembesaran di leher yang berasal dari tiroid, akan tampak pembesaran ini
bergerak naik turun sewaktu menelan.
Manisfestasi klinis :
Berat badan menurun, Intoleransi panas, Kelemahan otot, Diare, Refleks hiperaktif,
Kecemasan, Tremor, Eksoftalmus, Goiter, Kelainan jantung (sinus takikardi, atrial fibrilasi
dan CHF).
1. Laboratorium: T4 total, T3 serum, FT4
2. BMR : 0,75 (0,74 (sistole-diastole) + N)  - 72
Nilai normal : - 10 s/d 10
3. Wayne Indek :
TABEL 2. Wayne’s Indeks
Subyektif Obyektif Ada Tidak
Dispneu d’effort +1 Tiroid teraba +3 -3
Palpitasi +2 Bruid tiroid +2 -2
Lelah +2 Eksoftalmus +2
Suka panas -5 Lid retraksi +2
Suka dingin +5 Lid lag +2
Keringat banyak +2 Hiperkinesis +4 -2
Nervous +2 Tangan panas +2 -2
Nafsu makan +3 Tangan basah +1 -1
meningkat
Nafsu makan -3 Nadi < 80 x / mnt -3
menurun
Berat badan -3 Nadi 80 -90 x/mnt -
meningkat
Berat badan menurun +3 Nadi > 90 x / mnt +3
Fibrilasi atrium +4
< 11 : Eutiroid
11 – 18 : Tidak jelas ada hipertiroid
> 19 : Hipertiroid
2. Pengobatan dan pertimbangan anestesi12
a. Kombinasi propanolol (efektif dalam mengurangi manifestasi dari aktivitas saraf
simpatis yang berlebihan, terbukti dengan denyut jantung <90 kali/menit) dan potasium
iodida (menghambat pelepasan hormon) efektif pada pasien “eutiroid” sebelum pemberian
anestesi dan pembedahan. Esmolol dapat diberikan terus-menerus secara intravena untuk
mempertahankan denyut jantung <90 kali/menit.
b. Tujuan penanganan intraoperatif adalah pencapaian anestesi yang dalam (biasanya
dengan isofluran atau desfluran) yang mencegah eksaggregasi sistem saraf simpatis yang
berespon terhadap rangsangan pembedahan. Obat-obat yang mengaktivasi sistem saraf
simpatis (ketamin, epinefrin) atau meningkatkan denyut jantung (pankuronium) tidak
dianjurkan untuk digunakan.
c. Apabila memilih anestesi regional, seharusnya tidak menambahkan epinefrin dalam
anestesi lokal.
TABEL 3. Penanganan Pasien Hipertiroid12, 13
Propiltiourasil / PTU (menghambat sintesis dan menurunkan konversi T4 ke T3
di perifer)
Iodium inorganik(sodium iodida), Kalium (Mencegah / menghalangi pelepasan
hormon)
Propanolol (menurunkan gejala overaktivitas adrenergik)
Antagonis β-adrenergik (menurunkan denyut jantung hingga <90 kali/menit)
Glukokortikoid (menurunkan pelepasan hormon dan konversi perifer T4 ke T3)
Iodium radioaktif (merusak sel-sel tiroid)
Tiroidektomi subtotal (alternatif terapi medis lain)

3. Anestesi untuk bedah tiroid (subtotal tiroidektomi) adalah alternatif tindakan pada terapi
medis lanjutan. Komplikasi bedah lebih sering terjadi pada keadaan dimana persiapan
preoperatif tidak adekuat.
Preoperatif Anestesia13
 Tunda operasi  sampai klinis dan lab eutiroid
 Diharapkan preoperatif tes fungsi tiroid Normal, HR < 85 x / mnt (saat istirahat)
 Benzodiazepin pilihan yang baik preoperatif sedasi
 Obat antitiroid dan β - adrenergik antagonis lanjut sampai hari operasi
 Bedah darurat sirkulasi hiperdinamik dapat kontrol degan titrasi esmolol.
Intraoperatif13
 Monitor fungsi kardiovaskuler dan temperatur
 Proteksi mata karena exsoftalmus beresiko terjadinya ulserasi dan abrasi kornea
 Elevasi meja operasi 15 – 20 derajat  membantu aliran vena & mengurangi perdarahan
(walaupun meningkatkan resiko emboli air pada vena)
 Intubasi
 Hindari : Ketamin, Pancuronium, Agonis adrenergik !!!
 Induksi  Tiopental, dosis tinggi bisa sebagai antitiroid
 Anestesi dalam selama laringoskopi dan stimulasi bedah  menghindari takikardi,
hipertensi aritmia ventrikular
 Pelumpuh otot  Hati-hati, dapat meningkatkan insiden miopati dan myiastenia gravis, dan
sebaiknya sebelum diberikan pelumpuh otot sebaiknnya dicoba dilakukan ventilasi terlebih
dahulu.
Post Operatif
Penyulit pasca bedah :
1. Badai (Thyroid storm)12,13
 Tanda : Hiperpireksia, takikardi, hipotensi, perubahan kesadaran (agitasi,
delirium,koma)
 Sering terjadi pada operasi pada pasien hipertiroid akut.
 Terjadi 6 – 24 jam sesudah pembedahan, tapi dapat terjadi intra operatif.
 Dibedakan dari hipertermia maligna, feokromositoma, anestesi yang tidak adekuat1
TABEL 4. Penanganan Badai Tiroid 12, 13
 Cairan intravena (hidrasi)
 Koreksi faktor pemicu (infeksi)
 Sodium iodida (250 mg per oral atau iv tiap 6 jam)
 Propiltiourasil (200-400 mg per oral atau lewat pipa nasogastrik tiap 6 jam)
 Hidrokortison (50-100 mg iv tiap 6 jam)
 Propanolol (10-40 mg oral tiap 4-6 jam) atau esmolol (titrasi) sampai HR <
100 x/menit
 Selimut dingin dan asetaminofen (meperidin, 25-50 mg iv tiap 4-6 jam dapat
digunakan untuk mengobati atau mencegah menggigil)
 Digoksin (gagal jantung kongestif dengan atrial fibrilasi dan respon ventrikel
yang cepat)

2. Kerusakan nerves larygeal recurent12,13


 Bilateral : Pasien tak mampu bicara (Afonia & stridor) Reintubasi
 Unilateral : Serak
Tes fungsi pita suara : kemampuan mengucapkan huruf (i atau e)
3. Obstruksi jalan napas setelah operasi, disebabkan oleh hematoma atau
Trakeomalasia
Akan membutuhkan intubasi trakea yang segera.12,13
4.Hipoparatiroidsme12,13
 Gejala Hipokalsemi akut akibat pengangkatan kelenjar paratiroid (12 – 72 jam post
operatif ) berupa carpo pedal syndrom sampai laringospasme.
 Terapi :
Ca Glukonas 10 %: 10 - 20 cc iv. 2 cc/menit.
5. Pneumothoraks,kemungkinan terjadi akibat eksplorasi leher.13

2.3.2 Hipotiroidisme
1. Hipotiroidisme adalah penyakit yang cukup umum (0,5-0,8% dari populasi orang dewasa)
yang terjadi akibat sirkulasi yang tidak adekuat dari T4 dan/atau T3.1 Disebabkan oleh
autoimune disease (contoh tiroiditis Hastimoto), tiroidektomi, jodium radioaktif, obat-obat
anti tiroid, defisiensi yodium, atau kelemahan aksis hipotalamus hipofise (sekunder
hipotiroidisme). Hipotiroid selama neonatus menyebabkan kreatinisme (ditandai dengan
retardasi mental dan fisik).13
TABEL 5. Gejala Hipotiroidisme 12, 13
Berat badan meningkat (gemuk)
Kelemahan otot
Konstipasi
Letargi
Intoleransi dingin
Curah jantung dan denyut jantung berkurang
Reflek-reflek menurun
Vasokonstriksi perifer
Kemampuan adhesi platelet berkurang
Anemia (perdarahan gastrointestinal)
Kemampuan konsentrasi ginjal melemah

2. Pengobatan dan pertimbangan anestesi


Preoperatif
 Pasien dengan hipotiroid berat yang tidak terkoreksi (T4 < 1 µg/dl) atau koma myxedema,
harus dibatalkan untuk operasi elektif dan harus diterapi segera dengan hormon tiroid
terutama untuk operasi emergensi.13
 Pasien yang telah dieutiroidkan biasanya menerima dosis obat tiroid pada pagi hari
pembedahan, harus di ingat bahwa rata rata preparat yang diberikan mempunyai waktu
paruh yang lama (t1/2 T4 adalah 8 hari).13
 Tidak ada bukti yang mendukung untuk menunda bedah elektif (termasuk bedah by-pass
arteri koronaria) menyebabkan perubahan hipotiroidisme ringan ke hipotiroidisme yang
sedang.12
Intraoperatif
 Pasien dengan hipotiroid lebih mudah mengalami hipotensi dengan obat-obat anestesi, sebab
obat anestesi menurunkan kardiak output, menumpulkan reflek baroreseptor dan
menurunkan volume intravaskular. Untuk ini ketamin sering dianjurkan untuk induksi.13
 Masalah lain yang dapat timbul termasuk hipoglikemia, anemia, hiponatremia,kesulitan
intubasi karena lidah yang besar, dan hipotermia karena metabolisme basal rate yang
rendah.13
 Perhatian yang cermat harus diberikan untuk mempertahankan temperatur tubuh.12
Post Operatif
 Pemulihan anestesi mungkin melambat pada pasien hipotiroid, hipotermia, depresi
pernafasan atau biotranformasi obat yang lambat.13
 Pasien harus tetap di intubasi sampai bangun dan normotermia, sebab pasien ini mudah
terjadi depresi pernafasan.13
 Obat non opioid seperti keterolak merupakan pilihan untuk nyeri pasca operasi.13

3. Koma miksedema.
Yaitu kegawat daruratan medis yang membutuhkan terapi yg cepat.Ditandai dengan
gangguan mental, hipoventilasi, hiponatremia (dari ketidaktepatan sekresi hormon anti diuretik
dan CHF.2 Sering terjadi pada pasien yang lebih tua dan mungkin dipercepat oleh infeksi,
pembedahan dan trauma.13
TABEL 6. Penanganan Miksedema 12
Intubasi trakeal dan kontrol ventilasi paru bila diperlukan
Levotiroksin (200-300 mg iv di selama 5-10 menit)
Kortisol (100 mg iv dan kemudian 25 mg iv tiap 6 jam)
Terapi cairan dan elektrolit sesuai perhitungan elektrolit serum
Monitor EKG selama terapi untuk mendeteksi terjadinya iskemia miocard dan
disritmia2
Lingkungan yang hangat untuk mempertahankan panas tubuh.

Anda mungkin juga menyukai