Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN NIKAH
Kata nikah berasal dari bahasa arab yang berarti bertemu, berkumpul. Menurut bahasa
‘nikah’ diartikan adh-dhamm (berkumpul atau bergabung) dan al ikhtilath (bercampur) 1.
Menurut  istilah  nikah ialah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan
untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga melalui aqad yang dilakukan menurut hukum
syariat  Islam. Ta’rif pernikahan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak
dan kewajiban serta tolong menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang
bukan mahram.2 Menurut UU  No : 1 tahun 1974,  Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga (keluarga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan YME. Keinginan untuk menikah adalah fitrah
manusia, yang berarti sifat pembawaan manusia sebagai makhluk Allah SWT.
Setiap manusia yang sudah dewasa dan sehat jasmani rokhaninya pasti membutuhkan
teman hidup yang berlainan jenis, teman hidup yang dapat memenuhi kebutuhan biologis yang
dapat dicintai dan mencintai, yang dapat mengasihi dan dikasihi, yang dapat diajak bekerja sama
untuk mewujudkan ketentraman, kedamaian dan kesejahteraan hidup berumah tangga.
Sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan
manusia, bukan saja antara suami istri dan keturunannya, melainkan antara dua keluarga. Betapa
tidak? Dari baiknya pergaulan antara si istri dengan suaminya, kasih-mengasihi, akan
berpindahlah kebaikan itu kepada semua keluarga dari kedua belah pihaknya, sehingga mereka
menjadi satu dalam segala urusan tolong-menolong sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan
mencegah segala kejahatan. Selain itu, dengan pernikahan seseorang akan terpelihara dari
kebinasaan hawa nafsunya.3
Rasulullah SAW bersabda : 
‫س ت َِط ْع فَ َعلَ ْي ِه‬
ْ َ‫ج َو َمنْ لَ ْم ي‬ َ ‫ص ِر َوأَ ْح‬
ِ ‫ص نُ لِ ْلفَ ْر‬ ُّ ‫ستَطَا َع ِم ْن ُك ُم ا ْلبَا َءةَ فَ ْليَتَزَ َّو ْج فَإِنَّهُ أَ َغ‬
َ َ‫ض لِ ْلب‬ ْ ‫ب َم ِن ا‬
ِ ‫شبَا‬
َّ ‫ش َر ال‬
َ ‫يَا َم ْع‬
)‫ص ْو ِم فَإِنَّهُ َلهُ ِو َجا ٌء (رواه البخارى و مسلم‬ َّ ‫بِال‬
1
Azzam, Abdul Aziz Muhammad dan Hawwas, Abdul Wahab Sayyed, Fiqih Munakahat, Jakarta: Amzah, 2014
hal.37

2
Rasyid Sulaiman, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru AlGensindo, 2009, hal. 374

3
Rasyid Sulaiman, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru AlGensindo, 2009, hal. 374
1|Page
Artinya :”Hai para pemuda, barang siapa diantara kamu telah sanggup menikah, maka nikahlah.
Karena nikah itu dapat menundukkan mata dan memelihara faraj (kelamin) dan barang siapa
tidak sanggup maka hendaklah berpuasa karena puasa itu dapat melemahkan syahwat”. (HR.
BUKHORI MUSLIM)4
‫ وشرعا عقد‬.‫ إذا تمايلت وانضم بعضها إلى بعض‬:‫وهو لغة الضم واالجتماع ومنه قولهم تناكحت األشجار‬
‫يتضمن إباحة وطئ بلفظ إنكاح أو ت زويج وه و حقيق ة في العق د مج از في ال وطء على الص حيح س ن أي‬
‫النكاح‬
Nikah menurut bahasa diartikan dengan Berkumpul menjadi satu. Termasuk dalam
hal ini ucapan seorang Arab “Pepohonan itu saling bernikah(Berkumpul menjadi
satu)”.Jika yang dimaksud si Arab tadi dengan cabangan pepohonan yang satu sama lain
saling bercondong dan berkumpul. Sedangkan menurut syara’, Nikah diartikan dengan
“Akad yang menghalalkan persetubuhan” dengan menggunakan lafadz nikah atau tajwiz.
Menurut pendapat as-Shahih bahwa kata nikah secara hakikat mempunyai makna akad,
sedangkan majaznya adalah “Persetubuhan”
Sunnah menikah bagi orang yang sangat “Butuh bersetubuh” Sekalipun dalam hal ini
dia masih sibuk dengan ibadahnya, dengan catatan ia mampu memikul biaya untuk mahar,
pakaian musim makan minum untuk istrinya yang telah menyerahkan dirinya kepada
suami dan nafkah sehari semalam setiap harinya.
Hukum sunnah menikah tersebut berdasarkan pada beberapa hadits yang tertera
dalam kitab Sunan, dimana sejumlah hadits-hadits tersebut dijelaskan di dalam kitab saya
yang berjudul Ihkamu Ahkamin Nikah. Disamping itu melakukan pernikahan juga dapat
menjaga agama seseorang dan melanggengkan keturunan. Sedangkan orang yang sangat
butuh bersetubuh tetapi tidak mampu memikul biaya di atas maka diutamakan baginya
untuk tidak melaksanakan nikah. Dan ia bisa menanggulangi gejolak syahwatnya dengan
cara berpuasa bukan menggunakan obat.
Setelah ada niat yang kuat untuk melakukan nikah, sebelum melamar, bagi kedua
belah pihak (baik calon mempelai laki-laki dan perempuan) sunnah saling melihat anggota
badan masing-masing selain aurot yang telah ditetapkan di dalam syarat-syarat sahnya
shalat. Karena dengan demikian seorang laki-laki hanya boleh melihat wanita yang bukan
budak pada bagian wajahnya saja dengan tujuan melihat kecantikan dan pada kedua
4
Rasyid Sulaiman, Fiqih Islam, 2009, Bandung: Sinar Baru AlGensindo, hal. 374
2|Page
telapak tangannya (baik dalam maupun luar). Hal ini untuk mengetahui kehalusan kulit
badannya. Apabila wanita tersebut seorang budak, maka seluruh bagian tubuhnya boleh
dilihat kecuali antara pusat dan lutut. Sedangkan bagi orang yang tidak mempunyai hasrat
bersetubuh dan tidak mampu menanggung biaya di atas maka hukum nikahnya adalah
Makruh. Nikah itu pada dasarnya dihukumi sunnah, tapi jika ada sebab Nazar, menikah
dihukumi wajib.
Untuk kehalalan melihat anggota ini (Bagian yang boleh dilihat) harus mempunyai
keyakinan bahwa wanita tersebut tidak berada dalam ikatan nikah atau ‘idah. Serta laki-
laki tersebut mempunyai keyakinan 80% bahwa lamarannya akan diterima. Bagi laki-laki
yang tidak dapat melihat wanita yang akan dilamarnya, disunnahkan mengutus seorang
perempuan untuk melihat calon istrinya lalu menggambarkan kepadanya mengenai wajah
dan gambaran telapaktangannya. Dari bahasa “Melihat” Dikecualikan memegang wanita
tersebut, maka hukumnya haram “Memegang” lantaran tidak ada hajatnya.5
B. HUKUM PERNIKAHAN
Nikah ditinjau dari segi hukum syar’i ada lima macam, secara rinci jumhur ulama menyatakan
hukum perkawinan itu dengan melihat keadaan orang-orang tertentu:
a. Wajib, bagi orang yang mampu memberi nafkah dan dia takut akan tergoda pada
kejahatan (zina)6. Hukum nikah menjadi wajib bagi sesorang yang memiliki kemampuan
biaya nikah, mampu menegakkan keadilan dalam pergaulan yang baik dengan istri yang
dinikahinya dan ia mempunyai dugaan kuat akan melakukan perzinaan apabila tidak
menikah.
b. Sunnah, bagi orang yang berkehendak serta mampu memberi nafkah dan lain-lainnya.7
c. Makruh, bagi bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah. Nikah makruh bagi
sesorang yang dalam kondisi campuran seseorang mempunyai kemampuan harta biaya
nikah dan tidak dikhawatirkan terjadi maksiat zina, tetapi dikhawatirkan terjadi
penganiayaan istri yang tidak sampai ke tingkat yakin.8
5
Fathul mu’in

6
Rasyid Sulaiman, Fiqih Islam, 2009, Bandung: Sinar Baru AlGensindo, hal. 382

7
Ibid

8
Azzam, Abdul Aziz Muhammad dan Hawwas, Abdul Wahab Sayyed, Fiqih Munakahat, Jakarta: Amzah, 2014 hal.
46
3|Page
d. Haram Bagi orang yang berniat akan menyakiti perempuan yang dinikahinya 9. bagi
orang-orang yang tidak akan dapat memenuhi ketentuan syara’ untuk melakukan
perkawinan atau ia yakin perkawinan itu tidak akan memcapai tujuan syara’, sedangkan dia
meyakini perkawinan itu akan merusak kehidupan pasangannya.
e. Mubah bagi orang-orang yang pada dasarnya belum ada dorongan untuk menikah dan
perkawinan itu tidak akan mendatangkan kemudaratan apa-apa kepada siapapun.
Seseorang dalam kondisi normal, artinya memiliki harta, tidak khawatir dirinya melakukan
maksiat zina sekalipun membujang lama dan tidak dikhawatirkan berbuat jahat terhadap
istri10. Golongan Zhahiriyah berpendapat bahwa nikah itu wajib. Sedangkan ulama
Syafi’iyah mengatakan bahwa hukum asal nikah adalah mubah, di samping ada yang
sunnah, wajib, haram dan yang makruh. 
C. HIKMAH PERNIKAHAN
Faedah yang besar dalam pernikahan adalah untuk menjaga dan memelihara perempuan
yang bersifat lemah itu dari kebinasaan, sebab seorang perempuan, apabila sudah menikah, maka
nafkahnya (biaya hidupnya) wajib ditanggung oleh suaminya. Pernikahan juga berguna untuk
memelihara kerukunan anak cucu (keturunan), sebab kalau tidak dengan menikah, tentulah anak
tidak berketentuan siapa yang akan mengurusnya dan siapa yang bertanggung jawab atasnya.
Nikah juga dipandang sebagai kemaslahatan umum, sebab kalau tidak ada pernikahan, tentu
manusia akan akan menurutkan sifat kebinatangan, dan dengan sifat itu akan timbul perselisihan,
bencana, dan permusuhan antara sesamanya, yang mungkin juga sampai menimbulkan
pembunuhan yang dahsyat.11 Tujuan pernikahan dalam Islam tidak hanya sekedar pada batas
pemenuhan nafsu seksual, tetapi memiliki tujuan tujuan penting yang berkaitan dengan social,
psikologi, dan agama. Selain hal-hal diatas, diantaranya yang terpenting lainnya adalah sebagai
berikut:
1. Memelihara Gen Manusia. Pernikahan sebagai sarana untuk memelihara
keberlangsungan gen manusia, alat reproduksi, dan regenerasi dari masa ke masa. Dengan
pernikahan inilah manusia akan dapat memakmurkan hidup dan melaksanakan tugas

9
Rasyid Sulaiman, Fiqih Islam, 2009, Bandung: Sinar Baru AlGensindo, hal. 382

10
Azzam, Abdul Aziz Muhammad dan Hawwas, Abdul Wahab Sayyed, Fiqih Munakahat, Jakarta: Amzah, 2014
hal.47

11
Rasyid Sulaiman, Fiqih Islam, 2009, Bandung: Sinar Baru AlGensindo, hal. 375
4|Page
sebagai khalifah dari Alloh. Mungkin dapat dikatakan bahwa untuk mencapai hal tersebut
dapat melalui syariat, namun cara tersebut dibenci agama. Demikian itu akan menyebabkan
terjadinya penganiayaan, saling menumpahkan darah, dan menyia-nyiakan keturunan
sebagaimana yang terjadi pada binatang12.
2. Pernikahan adalah tiang keluarga yang teguh dan kokoh. Di dalamnya terdapat hak-
hak dan kewaiban yang sacral dan religious. Seseorang akan merasa adanya tali ikatan suci
yang membuat tinggi sifat kemanusiannya, yaitu ikatan ruhani dan jiwa yang membuat
ketinggian derajat manusia dan menjadi mulia daripada tingkat kebinatangan yang hanya
menjalin cinta syahwat antara jantan dan betina. Bahkan hubungan pasangan suami istri
sesungguhnya adalah ketenangan jiwa, kasih saying dan memandang13.
3. Nikah sebagai perisai diri manusia. Nikah dapat menjaga diri kemanusiaan dan
menjauhkan dari pelanggaran –pelanggaran yang diharamkan dalam agama. Karena nikah
memperbolehkan masing-masing pasangan melakukan hajat biologisnya secara halal dan
mubah. Pernikahan tidak membahayakan bgi umat, tidak menimbulkan kerusakan, tidak
berpengaruh dalam membentuk sebab-sebab kebinatangan, tidak menyebabkan tersebarnya
kefasikan, dan tidak menerumuskan para pemuda dalam kebebasan. Alqur’an telah
memberikan isyarat sebagai berikut14:
ِِ ِِ ِ ْ ‫ُح َّل لَ ُك ْم َم ا َو َر اءَ َٰذ لِ ُك ْم أ‬
ِ ‫وأ‬
َ ‫َن َت ْب َت غُ وا بِ أ َْم َو ال ُك ْم حُمْ ص ن‬
َ‫ني َغ ْي َر ُم َس اف ح ني‬ َ
Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-peremaun) yang demikian itu jika kamu
berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina. (QS. An-Nisa’ (4): 24)
4. Melawan Hawa Nafsu. Nikah menyalurkan nafsu manusia menjadi terpelihara,
melakukan maslahat orang lain dan melaksanakan hak-hak istri dan anak-anak dan
mendidik mereka. Nikah juga melatih kesabaran terhadap akhlak istri dengan usaha yang
optimal memperbaiki dan memberikan petunjuk jalan agama. Semua manfat penikahan
diatas tergolong perbuatan yang memiliki keutamaan yang agung. Tanggung jawab laki-
laki tehadap rumah tangganya adalah tanggung jawab kepemimpinan dan kekuasaan. Istri

12
Azzam, Abdul Aziz Muhammad dan Hawwas, Abdul Wahab Sayyed, Fiqih Munakahat, Jakarta: Amzah, 2014
hal.39

13
Ibid

14
Ibid
5|Page
dan anak-anak adalah keluarga yang dipimpin. Keutamaan memimpin sangatlah agung.
Tidak rasional jika disamakan seseorang yang sibuk mengurus diri sendiri dengan orang
yang sibuk mengurus dirinya dan diri orang lain15.
D. RUKUN NIKAH
Rukun adalah bagian dari hakikat sesuatu. Rukun masuk di dalam substansinya. Adanya
sesuatu itu karena adanya rukun dan tidak adanya karena tidak ada rukun. Berbeda dengan
syariat, ia tidak masuk ke dalam substansi dan hakikat sesuatu, sekalipun sesuatu itu tetap ada
tanpa syarat, namun ekstensinya tidak diperhitungkan16.
1. Calon suami.
Dua orang yang saling melakukan aqad perkawinan, yaitu mempelai laki-laki
dan mempelai perempuan. Memilih calon suami yang baik merupakan kewajiban
bagi wali calon mempelai wanita. Seorang wanita apabila hendak memilih calon
suami hendaknya mengutamakan agamanya dan akhlaknya yang mulia, sebelum
memperhatikan yang lainnya. Sebagaimana sabda Nabi SAW. :
‫يـض‬
ٌ ِ ‫زَو ُج ْوهُ اِالَّ تَ ْف َعلُ ْوا تَ ُكنْ ِف ْتـنَةٌ ِفى ْاالَ ْر‬
َ َ‫ض َوف‬
‫سـا ٌد َع ِر‬ َ ‫اِ َذاجا َ َء ُك ْم َمنْ ت َْر‬
ِّ ُ‫ض ْونَ ِد ْيـنَهُ َو ُخلُقَهُ ف‬
)‫( رواه الترمذى‬
“ Bila ada seorang dating melamar, dan kamu senang dengan agama dan
akhlaknya, maka kawinlah dengannya, jika tidak kamu, akan terjadi fitnahdan
kerusakan dimuka bumi ini. ( H.R. Tirmidzi )
Syarat-syarat calon suami menurut ketentuan syari’at Islam adalah : beragama
Islam, jelas bahwa ia laki-laki, atas keinginan dan pilihan sendiri (tidak terkena
paksaan), tidak beristri empat (termasuk istri yang telah dicerai tetapi dalam  masa
iddah / waktu tunggu), tidak mempunyai hubungan mahram dengan calon isteri, 
tidak mempunyai isteri yang haram dimadu dengan calon isterinya, mengetahui
bahwa calon isteri itu tidak haram baginya dan tidak sedang berihram haji atau
umrah.
2. Calon isteri.

15
Azzam, Abdul Aziz Muhammad dan Hawwas, Abdul Wahab Sayyed, Fiqih Munakahat, Jakarta: Amzah, 2014
hal.41

16
Ibid, hal. 59
6|Page
Islam menganjurkan untuk memilih calon istri yang baik ada beberapa kriteria
yang harus diperhatikan seorang laki-laki agar pilihannya sesuai dengan ajaran
agama. Adapun kreteria memilih calon istri yang baik sebagaimana telah digariskan
oleh Rasulullah SAW. dalam hadits sebagai berikut :
ِ ‫اولِ َج َملِـ َها َولِ ِد ْينِ َها فَ ْظفُ ْر بِ َذا‬
‫ت ال ِّد ْي ِن‬ َ ‫ لِمـا َ لِ َها َولِ َح‬: ‫تُ ْن َك ُح ْال َم ْرأَةُ ِال ْربَ ٍع‬
َ ‫سـا بِ َه‬
)‫ك ( رواه البجارى ومسلم‬
َ ‫تَـ ِربَتْ يَدَا‬
“Memilih wanita yang hendak dinikahiitu hendaknya mencakup kreteria: karena
hartanya, karena ( kemuliaan) keturunannya, karena kecantikannya dan karena
agamanya. Maka beruntunglah yang memilih wanita yang beragama; jika tidak,
maka binasalah engkau” ( H.R. Bukhari-Muslim )17.
Syarat-syarat calon istri  yang akan dinikahi adalah :beragama Islam, jelas
bahwa ia serang perempuan, telah mendapat ijin dari walinya, tidak bersuami dan
tidak dalammasa iddah, tidak mempunyai hubungan mahram dengan calon suami,
belum pernah di li’an (dituduh zina) oleh calon suaminya, jika ia perempuan janda,
harus atas kemauan sendiri, bukan karena dipaksa oleh siapapun, jelas ada orangnya
dan tidak sedang ihram haji atau umrah.
b. Adanya wali (wali perempuan).
Keterangannya adalah sabda Nabi Saw
ُ ‫ فَنِ َك‬،‫أَيُّ َما ا ْم َرأَ ٍة نَ َك َحتْ بِ َغ ْي ِر إِ ْذ ِن َم َوالِي َها‬
‫اح َها بَا ِط ٌل‬
“Barang siapa di antara perempuan yang menikah tidak dengan izin walinya, maka
pernikahannya batal.” (Riwayat empat orang ahli hadis, kecuali Nasa’i)
‫رواه ابن ماجة و الدرقطنى‬ ‫س َها‬ ِ ‫الَتُ َز َّو ُج ا ْل َم ْرأَةُ ا ْل َم ْرأَةَ َوالَ تُزَ َّو‬
َ ‫ج ا ْل َم ْرأةُ نَ ْف‬
“Janganlah perempuan menikahkan perempuan yang lain, dan jangan pula seorang
perempuan menikahkan dirinya sendiri.” (Riwayat Ibnu Majah dan Daruqutni)
c. Adanya 2 orang saksi 
Sabda junjungan kita Saw:
‫َي َع ْد ٍل‬ َ َ‫اح إِال‬
ْ ‫بولِ ٍّي َو شَا ِهد‬ َ ‫الَ نِ َك‬
“Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.” (Riwayat Ahmad)18
d. Dilakukan dengan shighat(akad) tertentu.

17
Rasyid Sulaiman, Fiqih Islam, 2009, Bandung: Sinar Baru AlGensindo, hal. 379
7|Page
Sighat (akad) yaitu perkataan dari pihak perempuan seperti kata wali. tidak sah
nikah kecuali dengan lafadz nikah.19 Akad yaitu perkataan dari pihak wali
perempuan, seperti kata wali, “saya nikahkan engkau dengan anak saya bernama...” .
Boleh juga didahului oleh perkataan dari pihak mempelai , seperti: “Nikahkanlah
saya dengan anakmu.” Jawab wali, “Saya nikahkan engkau dengan anak saya..’
karena maksudnya sama. Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab Qabul dengan
lisan. Inilah yang dinamakan 'aqad nikah (ikatan atau perjanjian perkawinan). Bagi
orang bisu sah perkawinannya dengan isyarat tangan atau kepala yang bisa dipahami.
Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau wakilnya, sedang Qabul
dilakukan oleh mempelai laki-laki atau wakilnya20.
D. SYARAT SAH PERNIKAHAN
Syarat sah nikah adalah yang membuat akad itu patut menimbulkan beberapa hukum. Jika
satu syarat saja tidak ada, maka akadnya rusak21.
Adapun syarat dua mempelai ialah :
a.      Syarat pengantin pria
Syari'at islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon suami berdasarkan
ijtihad para ulama, ialah:
1)      Calon suami beragama islam.
2)      Terang bahwa calon suami itu betul laki-laki.
3)      Orangnya diketahui dan tertentu.
4)      Calon mempelai laki-laki itu jelas halal menikah dengan calon istri.
5) Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul calon istrinya halal
baginya.
6)      Calon suami ridha (tidak dipaksa) untuk melakukan perkawinan itu.
7)      Tidak sedang melakukan ihram.

18
Azzam, Abdul Aziz Muhammad dan Hawwas, Abdul Wahab Sayyed, Fiqih Munakahat, Jakarta: Amzah, 2014
hal.101

19
Rasjid,Sulaiman. Fiqih Islam. 2009. Bandung: Sinar Baru Algensindo , hal. 383

20
Ibid. Hal. 382

21
Azzam, Abdul Aziz Muhammad dan Hawwas, Abdul Wahab Sayyed, Fiqih Munakahat, Jakarta: Amzah, 2014
hal.100
8|Page
8) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri.
9) Tidak sedang mempunyai istri empat.
b.      Syarat calon pengantin perempuan
Wanita yang Dinikahi Bukan Mahram
Wanita yang dinikahi syaratnya bukan yang diharamkan selamanya seperti ibu dan
saudara perempuan atau haram secara temporal seperti saudara perempuan istri atau bibi
istri dan atau bibi perempuannya. Jika akad nikah tetap diselenggarakan pada wanita-
wanita tersebut padahal ia mengetahui keharamannya maka batal akad nikahnya dan akad
tersebut tidak mendapat apa-apa. Jikalau ia tidak mengetahui keharamannya, lalu mereka
tahu dikemudian hari maka bagi mereka wajib berpisah dengan segera. Jika tidak,
pengadilan yang harus memisahkan antara mereka berdua dengan paksa, jika tidak dengan
kesadaran sendiri22.
Syari'at islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon istri
berdasarkan ijtihad para ulama, ialah:
1)      Calon suami beragama islam.
2)      Terang bahwa ia wanita, bukan Khuntsa.
3)      Halal bagi calon suami.
4)      Wanita tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam 'iddah.
5)      Tidak dipaksa/ikhtiyar.
6)      Tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah.
Nabi telah memberi petunjuk tentang sifat-sifat perempuan yang baik, yaitu23:
1. Yang beragama dan menjalankannya.
2. Keturunan orang yang subur (mempunyai keturunan yang sehat).
3. Yang masih perawan.
Sabda Rasulullah saw. :
َ ‫ لِ َمـالِ َها َولِ َح‬:‫تُ ْن َك ُح ا ْل َم ْرأَةُ ألَ ْربَ ٍع‬
ِ ‫ فَا ْظفَ ْر بِ َذا‬،‫سبِ َها َولِ َج َمالِ َها َولِ ِد ْينِ َها‬
‫ت ال ِّد ْي ِن‬

22
Azzam, Abdul Aziz Muhammad dan Hawwas, Abdul Wahab Sayyed, Fiqih Munakahat, Jakarta: Amzah, 2014
hal.114

23
Rasjid,Sulaiman. Fiqih Islam. 2009. Bandung: Sinar Baru Algensindo , hal.379
9|Page
Dari Jabir, “Sesungguhnya Nabi saw. Telah bersabda, Sesungguhnya perempuan itu
dinikahi orang karena agamanya, hartanya, dan kecantikannya, maka pilihlah yang
beragama.” (Riwayat Muslin dan Tirmidzi)24
c.       Syarat-syarat wali
Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai perempuan atau wakilnya
dengan calon suami atau wakilnya. Wali hendaklah seorang lelaki, muslim, baligh, berakal
dan adil, artinya tidak fasik. Karena itu perkawinan tanpa wali dianggap tidak sah. Hal ini
dilandaskan pada hadits Nabi SAW.:
)‫(رواه الخمسة إال أنسائى‬.‫ال نكاح إال بولى‬
"Tidak ada  perkawinan tanpa wali." (HR. Al Khomsah kecuali An Nasaiy)
Wali dan saksi bertanggung jawab atas sahnya akad nikah oleh karena
itu,tidak semua orang dapat diterima menjadi saksi atau wali.tetapi hendaklah orang-orang
yang memiliki beberapa sifat sebagai berikut :
Yang dianggap sah menjadi wali mempelai perempuan ialah menurut susunan yang
akan diuraikan dibawah ini , karena wali-wali itu memang telah diketahui oleh orang yang
ada pada masa turun ayat: “Janganlah kamu menghalangi mereka menikah.” (Al-Baqarah :
232). Begitu juga Hadis Ummu Salamah yang telah berkata kepada Rasululloh, “Wali saya
tidak ada seorang pun yang dekat.25”
Semua itu tanda bahwa wali-wali itu telah diketahui atau dikenal, yaitu 26:
a.       Bapaknya
b.      Kakeknya (bapak dari bapak mempelai perempuan)
c.       Saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya.
d.      Saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya.
e.       Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya.
f.       Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya.
g.      Saudara bapak yang laki-laki (paman dari pihak bapak)
h.      Anak laki-laki pamanya dari pihak bapaknya
i.        Hakim
24
Ibid

25
Ibid. Hal. 383

26
Ibid
10 | P a g e
d.      Syarat-syarat saksi
Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang, lelaki, muslim, baligh,
berakal, melihat dan mendengar serta mengerti (faham) akan maksud akad nikah. Tetapi
menurut Hanafi dan Hambali, boleh juga saksi itu lelaki dan dua orang perempuan. Dan
menurut Hanafi, boleh dua orang buta atau dua orang fasik (tidak adil).
Selanjutnya orang tuli, orang tidur dan orang mabuk tidak boleh menjadi saksi.Sebagian
besar ulama berpendapat saksi merupakan syarat (rukun) perkawinan. Karena itu
perkawinan (akad nikah) tanpa dua orang saksi tidak sah. Inilah pendapat Syafi'i, Hanafi
dan Hambali.
1. Bersifat adil
Syarat adil pada saksi diperselisihkan di antara fuqaha’. Imam Syafi’i dan
Ahmad berpendapat, adil menjadi syarat sahnya persaksian dalam akad. Untuk
mengetahui keadilan, cukup seorang saksi tidak dikenal sebagai orang fasiq (tidak
taat). Ini maksudnya, persaksian orang yang tidak fasiq diterima, baik keadilannya
tampak jelas maupun tidak tampak27.
Golongan Syafi’I berpendapat saksi itu harus orang yang adil, sebagaimana
tersebut dalam hadis :’’ Tidak sah nikah tanpa wali dan dua orang saksi yang adil’’.
Menurut mereka ini bila perkawinan di saksikan oleh dua orang yang belum di kenal
adil tidaknya, maka ada dua pendapat tetapi menurut Syafi’I  kawin dengan saksi-
saksi yang belum di kenal adil tidaknya, hukumnya sah.
2. Laki-laki
Golongan Syafi’I dan Hambali mensyaratkan saksi haruslah laki-laki.Akad
nikah dengan saksi seorang laki-laki dan dua perempuan, tidak sah, tetapi golongan
Hanafi tidak mengharuskan syarat ini.Mereka berpendapat bahwa kesaksian dua
orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua perempuan sudah sah.
3. Harus Orang Merdeka28
Seorang saksi harus sudah Baligh dan berakal (sudah berumur 15 tahun). Tidak
sah nikah yang dipersaksikan oleh anak kecil dan orang gila. Anak kecil walaupun

27
Azzam, Abdul Aziz Muhammad dan Hawwas, Abdul Wahab Sayyed, Fiqih Munakahat, Jakarta: Amzah, 2014 hal.
111

28
Rasjid,Sulaiman. Fiqih Islam. 2009. Bandung: Sinar Baru Algensindo , hal. 384
11 | P a g e
sudah pandai (mumayyiz) tidak sah persaksiannya kepaada orang lain karena
persaksian itu semacam penguasaan (perwalian), anak kecil tidak mempunyai
penguasaan terhadap dirinya apalagi orang lain.
Abu Hanifah dan Syafi’I mensyaratkan orang yang menjadi saksi harus orang-
orang yang merdeka, tetapi Ahmad juga mengharuskan syarat ini.Dia berpendapat
akad nikah yang di saksikan dua orang budak, hukumnya sah sebagaimana sahnya
kesaksian mereka dalam masalah-masalah lain, dan karena dalam al Qur’an maupun
hadist tidak ada keterangan yang menolak seorang budak untuk menjadi saksi dan
selama dia jujur serta amanah, kesaksiannya tidak boleh di tolak.
4. Harus Orang Islam
Orang yang tidak beragama islam tidak sah menjdi wali atau saksi. Apabila
masing-masing dari suami istri beragama islam, tidak sah pernikahannya jika para
saksi bukan dari kalangan orang muslim karena kehadiran mereka tidak bermakna
penghormatan terhadap kedua pengantin yang muslim. Persaksian adaah semacam
perwalian (penguasaan), tidak ada penguasaan non muslim terhadap muslim29.
Para ahli fiqih berbeda pendapat tentang syarat-syarat menjadi saksi dalam
perkawinan bilamana pasangannya terdiri dari laki-laki dan perempuan
muslim,apakah saksinya harus beragama islam? juga mereka berbeda pendapat jika
yang laki-lakinya beragama islam, apakah yang menjadi saksi boleh orang yang
bukan islam? Menurut Ahmad, Syafi’I dan Muhammad bin Al-Hasan perkawinannya
tidak sah, jika saksi-saksinya bukan islam, karena yang kawin adalah orang islam,
sedang kesaksian bukan orang islam terhadap orang islam tidak dapat di terima.
Tetapi Abu Hanifah dan Abi Yusuf berpendapat bila perkawinan itu antara laki-laki
muslim dan perempuan ahli Kitab maka kesaksian dua orang Ahli Kitab boleh di
terima. Dan pendapat ini di ikuti oleh undang-undang perkawinan mesir.
5. Jumlah saksi
Tidak sah akad nikah disaksikan seorang laki-laki atau seorang laki-laki satu
dan perempuan satu dan tidak sah pula akad disaksikan banyak orang perempuan

29
Azzam, Abdul Aziz Muhammad dan Hawwas, Abdul Wahab Sayyed, Fiqih Munakahat, Jakarta: Amzah, 2014 hal.
109
12 | P a g e
kecuali di suatu daerah yang khusus dihuni kaum wanita 30. Jumlah saksi minimal dua
orang laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan, sehingga dalam
akad yang disunnahkan adalah adanya persaksian.
e.       Syarat-syarat ijab qabul
Shighat akad memberi makna untuk selamanya. Artinya, tidak ada kata yang
menunjukkan pembatasan waktu dalam pernikahan, baik dinyatakan maupun tidak
dinyatakan, baik dalam masa yang lama maupun pada waktu yang pendek.
Pernikahan yang dibatasi dengan waktu adalah fasid (rusak), karena tidak bertujuan
sebagaimana yang dimaksud pernikahan syar’i, yakni pergaulan yang abadi,
memperoleh keturunan dan pendidikannya. Ia bermaksud dalam pernikahan tersebut
untuk memenuhi kebutuhan sementara, masa pernikahan habis karena kebutuhannya
telah habis, Misalnya, seorang laki-laki berkata kepada seorang perempuan: “Aku
nikahi engkau selama aku tinggal di negeri ini”. Inilah yang disebut dengan nikah
mut’ah31.
Ijab dan Qabul merupakan syarat perkawinan Ijab Qabul ini dilakukan di dalam
satu majelis dan tidak boleh ada jarak yang lama antara ijab dan Qabul yang merusak
kesatuan akad dan kelangsungan akad, dan masing-masing ijab dan kabul dapat
didengar dengan baik oleh kedua belah pihak dan dua orang saksi.
Lafadz yang digunakan untuk akad nikah adalah lafadz nikah atau tazwij32,
yang terjemahannya adalah dari keduanya yaitu kawin dan nikah. Sebab kalimat-
kalimat itu terdapat di dalam Sunnah dan Kitabullah. Demikian Asy-Syafi'i dan
Hambali. Sedang Hanafi membolehkan dengan kalimat lain yang tidak dari Al-
Qur'an, misalnya menggunakan majaz yang biasa digunakan dalam bahasa sastra
atau biasa yang artinya perkawinan. Akad nikah itu wajib dihindari oleh dua orang
saksi lelaki, muslim, baligh, berakal, melihat (tidak buta), mendengar (tidak tuli) dan
mengerti tentang maksud akad nikah, dan juga adil. Saksi merupakan syarat sah
perkawinan.

30
Ibid. Hal. 107

31
Ibid. 115

32
Rasjid,Sulaiman. Fiqih Islam. 2009. Bandung: Sinar Baru Algensindo , hal. 382
13 | P a g e
Untuk terjadinya akad yang mempunyai akibat-akibat hukum pada suami istri
haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Kedua belah pihak harus tamyiz
Bila salah satu pihak ada yang gila atau masih kecil dan belum tamyiz
( membedakan benar dan salah), maka pernikahannya tidak sah.
2.      Ijab qobulnya dalam satu majlis, yaitu ketika mengucapkan ijab qobul
tidak boleh di selingi dengan kata-kata lain, atau menurut adat di anggap ada
penyelingan yang menghalangi peristiwa ijab dan qobul.
Tetapi dalam ijab dan qobul tak ada syarat harus langsung.Bilamana
majlisnya berjalan lama dan antara ijab dan qobul ada tenggang waktu, tetapi
tanpa menghalangi upacara ijab qobul, maka di anggap satu majlis.Sama
dengan ini pendapat golongan hanafi dan hambali.
4. Hendaklah ucapan qabul tidak menyalahi ucapan ijab, kecuali kalau lebih
baik dari ucapan ijabnya sendiri yang menunjukkan pernyataan persetujuannya
lebih tegas. Jika pengijab mengatakan: aku kawinkan kamu dengan anak
perempuanku anu, dengan mahar Rp 100 umpamanya, lalu qabul menyebut :
aku menerima nikahnya  dengan Rp 200 maka nikahnya sah, sebab qabulnya
memuat hal yang lebih baik ( lebih tinggi nilainya) dari yang di nyatakan
pengijab.
Akad pernikahan adalah di antara semua akad dan transaksi yang mengharuskan
saksi menurut jumhur fuqaha’, hukumnya sah menurut syara’. Akad dan transaksi
selain nikah, persaksiannya sunnah menurut pendapat mayoritas fuqaha’ 33. Perintah
mendatangkan saksi dalam jual beli hukumnya sunnah sebagaimana firman-Nya:

“Dan persaksikanlah ketika engkau berjual-beli.” (QS. Al-Baqarah (2) : 282)


Adapun tujuan persaksian adalah memelihara ingatan yang benar karena khawatir
lupa. Sedangkan persaksian dalam pernikahan hukumnya wajib karena beberapa
alasan, di antaranya yang paling penting adalah sebagai berikut:

33
Azzam, Abdul Aziz Muhammad dan Hawwas, Abdul Wahab Sayyed, Fiqih Munakahat, Jakarta: Amzah, 2014 hal.
100
14 | P a g e
a. Akad nikah menempati kedudukan yang agung dalam Islam dan dalam
aturan masyarakat untuk mengatur maslahat dunia dan agama. Oleh karena itu,
patut ditampakkan disiarkan, dan dipersaksikan khalayak ramai sebagai
kehormatan dan mengangkat derajatnya.
b. Persaksian mencegah tersiarnya isu yang tidak baik dan untuk
memperjelas perbedaan antara halal dan haram sehingga tidak ada tempat
untuk mengingkari pernikahannya.
c. Pernikahan berkaitan dengan banyak hukum yang pengaruhnya langgeng
sepanjang zaman seperti menetapkan keturunan, haramnya mertua, dan harta
warisan.

Kata-kata dalam ijab dan qabul


      Di dalam melakukan ijab qabul haruslah di pergunakan kata-kata yang dapat di
pahami oleh masing-masing pihak yang melakukan akad nikah sebagai menyatakan
kemauan yang timbul dari kedua belah pihakuntuk nikah, dan tidak boleh
menggunakan kata-kata yang samara tau kabur. Jika kata-kata dalam ijab dan qabul
dapat dig anti dengan kata-kata kiasan, maka sahlah hukumnya, seperti halnya
dengan menyatakan cerai dengan kata-kata kiasan.
Ijab qabul Bukan dengan Bahasa Arab
      Para ahli fiqih sependapat, ijab qabul boleh dilakukan dengan bahasa selain arab,
asalkan memang pihak-pihak yang berakat baik semua atau salah satunya tidak tahu
bahasa arab. Mereka berbeda pendapat bagaimana bila kedua belah pihak paham
pahasa arab dan bisa melaksanakan ijab qbulnya dengan bahasa ini.
Ibnu Qudamah dalam kitab mughni mengatakan bagi orang yang mampu
mempergunakan bahasa Arab dan ijab qabulnya, tidak sah menggunakan selain
bahasa arab. Demikian salah satu pendapat dari imam syafi’i.menurut imam Abu
Hanifah boleh, sebab ia telah menggunakan kata-kata tertentu yang di gunakan ijab
qobul sebagaimana juga dalam bahasa Arab
Ijab qabulnya Orang Bisu
      Ijab qabul orang bisu sah dengan isyaratnya, bilamana dapat di mengerti,
sebagaimana halnya akad jual belinya yang sah dengan jalan isyaratnya, karena

15 | P a g e
isyarat itu mempunyai makna yang dapat di mengerti. Tetapi kalau salah satu
pihaknya tidak memahami isyaratnya, ijab qabulnya tidak sah,sebab yang melakukan
ijab qabul hanyalah antara dua orang yang bersangkutan itu saja.
Ijab Qabulnya Orang yang Gaib (Tidak Hadir)
      Bilamana salah seorang dari pasangan pengantin tidak ada tetapi tetap mau
melanjutkan aqad nikahnya, maka wajiblah ia mengirim wakilnya atau menulis surat
kepada pihak lainnya meminta di akadnikahkan, dan pihak yang lain ini jika memang
mau menerima hendaklah ia menghadirkan para saksi dan membacakan isi suratnya
kepada mereka atau menunjukkan wakilnya kepada mereka dan mempersaksikan
kepada mereka di dalam majlisnya bahwa akad nikahnya telah di terimanya. Dengan
demikian qabulnya di anggap masih dalam satu majlis.
E. WANITA-WANITA YANG DIHARAMKAN (MUHARAMAT)/ MAHRAM
Mahram adalah Orang yang tidak halal dinikahi ada 14 macam34:
Tujuh orang dari pihak keturunan
1. Ibu dan Ibunya (nenek),ibu dari bapak, dan seterusnya sampai ke atas.
2. Anak dan cucu, dan seterusnya ke bawah.
3. Saudara perempuan seibu sebapak, sebapak, atau seibu saja.
4. Saudara perempuan dari Bapak.
5. Saudara perempuan dari Ibu.
6. Anak perempuan dari saudara laki-laki dan seterusnya.
7. Anak perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya.
Dua orang dari sebab menyusu
1. Ibu yang menyusuinya
2. Saudara perempuan sepersusuan.
Lima orang dari sebab pernikahan.
1. Ibu istri (mertua)
2. Anak tiri, apabila sudah campur dengan Ibunya.
3. Istri anak (menantu)
4. Istri Bapak (Ibu Tiri)

34
Rasjid,Sulaiman. Fiqih Islam. 2009. Bandung: Sinar Baru Algensindo , hal. 389
16 | P a g e
5. Haram menikahi dua orang dengan cara dikumpulkan bersama-sama, yaitu dua
perempuan yang ada hubungan mahram, seperti dua perempuan yang bersaudara.
F. HAK-HAK SUAMI-ISTRI
Hak-hak Istri yang wajib dilaksanakan Suami adalah sebagai berikut35:
1. Mahar
Mahar termasuk pengaruh harta yang penting dalam akad nikah. Pengertian mahar menurut
syara’ adalah sesuatu yang wajib sebab nikah atau bercampur atau keluputan yang
dilakukan secara paksa sepesrti menyusui dan ralat para saksi. Dalil kewajiban mahar dari
Al-Quran adalah Firman Alloh:

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai perempuan
dengan penuh kerelaan. (QS. An-Nisa’ (4): 4)
2. Pemberian suami kepada Istri karena berpisah (mut’ah).
3. Nafkah, tempat tingal dan pakaian.
4. Adil dalam pergaulan.
Hak-hak Suami yang harus dipenuhi oleh Istri36:
1. Mematuhi Suami
a. Taat kepada suami
b. Tidak durhaka kepada Suami
2. Memelihara kehormatan dan Harta Suami
3. Berhias untuk Suami
4. Menjadi Partner Suami
Hak-hak keduanya37
1. Kehalalan Bersenang-senang (Bersetubuh)
2. Keharaman mertua
3. Saling mewarisi
4. Mu’asyarah dengan Baik

35
Azzam, Abdul Aziz Muhammad dan Hawwas, Abdul Wahab Sayyed, Fiqih Munakahat, Jakarta: Amzah, 2014
hal.174

36
Ibid. 221

37
Ibid. Hal. 231
17 | P a g e
5. Keturunan dan Sandaran Keturunan kepada kedua orangtua
G. TALAK
Kata talak berasal dari bahasa Arab artinya menurut bahasa melepas tali ,
membebaskan dan melepaskan ikatan. Adapun talak menurut istilah syariat Islam ialah
melepaskan atau membatalkan ikatan pernikahan dengan lafadz tertentu (talak atau
sesamanya) yang mengandung arti menceraikan . Talak merupakan jalan keluar terakhir
dalam suatu ikatan pernikahan antara suami isteri jika mereka tidak terdapat lagi
kecocokan dalam membina rumah tangga. Menurut Imam Nawawi dalam bukunya
Tahdzib, Talak adalah tindakan orang terkuasai terhadap suami yang terjadi tanpa sebab
kemudian memutus nikah. Definisi pertama lebih baik, karena secara lahir ada relevansi
antara makna secara etimologi dan syar’i sedangkan definisi kedua relevansinya jauh38.
Tentang talak ini, Rasulullah bersabda :

ُ َ‫ض ا ْل َحالَ ِل اِ ٰلى هللاِ الطال‬


‫ق‬ ُ ‫ا ْب َغ‬
Artinya :
“Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah Talak.” (HR. Abu Dawud dan
Ibnu Majah dan dianggap shohih oleh Imam Al-Hakim39)
Sebagaimana keharusan yang mesti ada pada bentuk-bentuk akad dan transaksi yang
lain, untuk keabsahan talak juga mesti memenuhi rukun dan syarat itu, berbeda
pengertiannya menurut pakar hukum Islam, namun konsekwensi yang ditimbulkan
keduanya apabila tidak terpenuhi dalam suatu akad atau transaksi, relative sama, yaitu
tidak sahnya akad atau transaksi tersebut.
Dalil disyaratkannya Talak adalah dalam AlQur’an , Alloh Berfirman :

“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf
atau menceraikan dengan cara yang baik. (QS. Al-Baqarah (2) : 229)
Adapun Hukum Talak sendiri para Ulama berbeda pendapat. Pendapat yang lebih
benar adalah makruh jika tidak ada hajat yang menyebabkannya, karena talak berarti kufur
terhadap nikmat Alloh. Pernikahan itu adalah suatu nikmat dari beberapa nikmat Alloh,
38
Ibid. Hal. 255

39
Ibid. Hal. 257
18 | P a g e
mengkufuri nikmat Alloh Haram hukumnya. Talak tidak halal kecuali karena darurat ,
misalnya suami ragu terhadap perilaku istri atau hati sang suami tidak ada rasa tertarik
pada istri karena Alloh Maha Membalikkan segala Hati. Jika tidak ada hajat yang
mendorong talak berarti kufur terhadap nikmat Alloh secara murni dan buruk adab
terhadap suami, hukumnya makruh40.
RUKUN TALAK
1. Suami yang menjatuhkan talak (Pencerai)
Hak talak hanya dimiliki oleh laki – laki karena ia lebih bisa mengendalikan emosi,
dan lebih sanggup memikul beban – beban kehidupan. Sehingga, seorang laki – laki tidak
tergesa – gesa ketika harus menjatuhkan talak kepada istrinya. Ia lebih bisa mendahulukan
akal daripada perasaan. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda :

‫اق‬
ِ ‫س‬َّ ‫ق لِ َمنْ ٲَ َخ َذ بِاا‬
ُ ‫ٳِنَّ َما الطَّاَل‬
Artinya :
“ Talak itu hanyalah bagi yang mempunyai kekuatan (suami).” (HR. Ibnu Majah dan
Daruquthni)

2. Istri yang dapat di jatuhkan talak


Istri dikenai hukum talaq bila berada dalam empat keadaan.Pertama, benar – benar
ada hubungan pernikahan diantara keduanya (suami istri). Kedua, seorang istri masih
berada dalam masa iddah talak raj’i atau bainunah sughra. Ketiga, seorang istri berada
dalam masa iddah perceraian yang diakui oleh syari’at. Keempat, seorang istri berada
dalam masa iddah fasakh yang diakui oleh syari’at.
3. Kata-kata talak
Sighat talaq adalah lafal yang menyebabkan terputusnya hubungan pernikahan, baik
secara jelas (sharih) maupun sindiran (kinayah) dengan syarat harus disertai dengan adanya
niat. Namun demikian, tidak cukup hanya dengan niat saja, sebagaimana yang disabdakan
Rasulullah SAW :

.‫س َها َمالَ ْم يَتَ َكلَّ ُموا ٲَ ْويَ ْع َملُوابِ ِه‬


َ ُ‫اح َّدثَتْ بِ ِه ٲَ ْنف‬
َ ‫ٳِنَّ هللَ ت ََجا َوزَ لِئُا َّمتِي َم‬
40
Ibid. Hal. 258
19 | P a g e
Artinya :
“Sesungguhnya Allah memberikan ampunan bagi umatku apa – apa yang terdetik di dalam
hati mereka, selama mereka ucapkan atau kerjakan.” (Muttafaqun ‘Alaih)41

Syarat Talak
Suami yang menceraikan istrinya disyaratkan :
-            Telah dewasa.
-            Berakal sehat.
-            Atas kesadaran dan kehendak sendiri.
-            Ucapan talak yang dikemukakannya berdasarkan kesadaran dan kesengajaan.

AKIBAT HUKUMNYA
Talak adalah menghilangkan atau memutuskan ikatan perkawinan sehingga setelah
hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya
Macam-macam talak:
1. Talak raj’i
Talak raj’i yaitu talak dimana suami masi mempunyai hak untuk merujuk kembali
isterinya Kategori talak raj’i adalahsebagai berikut:
a. Talak mati, tidak hamil
b. Talak hidup dan hamil
c. Talak mati dan hamil
d. Talak hidup dan tidak hamil
e. Talak hidup dan belum haid
2. Talak bain
Talak bain adalah talak yang memisahkan sama sekali hubungnan suami isteri.
Talak bain terbagi menjadi dua bagian:
a. Talak bain shugra, ialah talak yang menghilangkan hak-hak rujuk dari bekas
suaminya, tetapi tidak menghilangkan hak nikah baru kepada isteri bekas isterinya
itu.Yang termasuk dalam talak bain shugra ialah:
- Talak yang dijatuhkan suaminya pada isteri yang belum terjadi dukhul(setubuh)

41
Ibid. 264
20 | P a g e
- Khulu’
Hukum talak bain shugra:
- Hilangnya ikatan nikah antara suami dan isteri
- Hilangnya hak bergaul bagi suami isteri termasuk berkhalwat (menyendiri berdua-
duaan)
- Masing-massing tidak saling mewarisi manakala meninggal
- Bekas isteri, dalam masa idah, berhak tinggal di rumah suaminya dengan berpisah
tempat tidur dan mendapat nafkah
- Rujuk dengan akat dan mahar yang baru
b. Talak bain kubra,
Adalah talak yang mengakibatkan hilangnnya hak rujuk pada bekas isteri,
walaupun kedua bekas suami isteri itu ingin melakukannya, baik di waktu idah atau
sesudahnya. Yang termasuk talak bain kubra adalah segala macam talak yang
mengandung unsur-unsur sumpah.
Hukum talak bain kubra
1. Sama dengan hukum talak bain shugra nomor 1, 2, dan 4.
2. Suami haram kawin lagi dengan istrinya, kecuali bekas istri telah kawin dengan
laki-laki lain.
I. KHULU’
Menurut fuqaha, khulu’ secara  umum, yakni perceraian dengan disertai sejumlah
harta sebagai ‘iwadh yang diberikan oleh istri kepada suami untuk menembus diri agar
terlepas dari ikatan perkawinan, baik dengan kata khulu’, mubara’ah maupun talak. Secara
khusus, yaitu talak atas dasar ‘iwadh sebagai tebusan dari istri dengan kata-
katakhulu’ (pelepasan) atau yang semakna seperti mubara’ah(pembebasan).
Khulu’ ialah penyerahan harta yang dilakukan oleh istri untuk menebus dirinya dari
(ikatan) suaminya. Menurut ulama fiqih, khulu’ adalah istri memisahkan diri dari
suaminya dengan ganti rugi kepadanya. Hukumnya boleh, tetapi makruh seperti talak
karena adanya pemutusan talak yang diperintahkan syara’. Khulu’ diperbolehkan jika ada
sebab yang menuntut, seperti suami cacat fisik atau cacat sedikit pada fisik atau suami
tidak dapat melaksanakan kewajiban hukum-hukum Alloh, seperti persahabatan yang baik

21 | P a g e
dan dalam segala pergaulan42. Jika disana tidak ada sebab yang menuntut khulu’ maka
terlarang hukumnya sebagaimana hadis yang diriwayatkan Ahmad An-Nasa’i dari Abu
Hurairah:

“Wanita yang khulu’ adalah wanita munafik. Para ulama’ menghukumi makruh”

J. MASA MENUNGGU (IDDAH)


Definisi Iddah menurut bahasa dari kata “al-‘udd” dan “al-ihsha” yang berarti bilangan
atau hitungan, misalnya bilangan harta atau hari jika dihitung satu persatu dan jumlah
keseluruhan43. Dalam istilah fuqaha’ iddah adalah masa menunggu wanita sehingga halal
bagi suami lain.Iddah sudah dikenal sejak massa jahiliyyah dan hampir saja mereka tidak
meninggalkannya. Tatkala datang Islam ditetapkan Islam karena maslahat. Iddah diantara
kekhususan kaum wanita walaupun disana ada kondisi tertentu seorang laki-laki juga
memiliki masa tunggu, tidak halal menikah kecuali habis masa iddah wanita yang dicerai.
Iddah dimulai dari tanggal berpisah atau tanggal wafat suami. Iddah wanita tercerai adalah
tiga kali suci.
Hikmah Disyariatkan Iddah44:
Mayoritas fuqaha’ berpendapat bahwa semua iddah tidak lepas dari sebagian maslahat
yang dicapai, yaitu sebagai berikut:
a. Mengetahui kebebasan rahim dari percampuran nasab.
b. Memberikan kesempatan suami agar dapat intropeksi diri dan kembali kepada istri
yang tercerai.
c. Berkabungnya wanita yang ditinggal meninggal suami untuk memenuhi dan
menghormati perasaan keluarganya.
d. Mengagungkan urusan nikah, karena ia tidak sempurna kecuali dengan terkumpulnya
kaum laki-laki dan tidak melepas kecuali dengan penantian yang lama.

42
Ibid. Hal. 298

43
Ibid. Hal.318

44
Ibid. Hal.320
22 | P a g e
KESIMPULAN
Kata nikah berasal dari bahasa arab yang berarti bertemu, berkumpul. Menurut bahasa
‘nikah’ diartikan adh-dhamm (berkumpul atau bergabung) dan al ikhtilath (bercampur). Menurut 
istilah  nikah ialah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup
bersama dalam suatu rumah tangga melalui aqad yang dilakukan menurut hukum syariat 
Islam. Ta’rif pernikahan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan
kewajiban serta tolong menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan
mahram. Hukum nikah ada Lima:
1. Wajib, bagi orang yang mampu memberi nafkah dan dia takut akan tergoda pada
kejahatan (zina)
2. Sunnah, Bagi orang yang berkehendak serta mampu memberi nafkah dan lain-
lain.
3. Mubah, bagi orang-orang yang pada dasarnya belum ada dorongan untuk menikah
dan perkawinan itu tidak akan mendatangkan kemudaratan apa-apa kepada siapapun.
4. Makruh, Bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah.
5. Haram, Bagi orang yang berniat akan menyakiti perempuan yang dinikahinya.
Hikmah pernikahan, Memelihara Gen Manusia. Pernikahan adalah tiang keluarga yang teguh
dan kokoh. Nikah sebagai perisai diri manusia. Melawan Hawa Nafsu.
Rukun dari nikah yaitu , Adanya kedua calon mempelai, Adanya Wali bagi wanita, Adanya dua
orang saksi, dan Adanya Akad.
Mahram adalah Orang yang tidak halal dinikahi ada 14 macam:
Tujuh orang dari pihak keturunan
1. Ibu dan Ibunya (nenek),ibu dari bapak, dan seterusnya sampai ke atas.
2. Anak dan cucu, dan seterusnya ke bawah.
3. Saudara perempuan seibu sebapak, sebapak, atau seibu saja.
4. Saudara perempuan dari Bapak.
5. Saudara perempuan dari Ibu.
6. Anak perempuan dari saudara laki-laki dan seterusnya.
7. Anak perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya.
Dua orang dari sebab menyusu

23 | P a g e
8. Ibu yang menyusuinya
9. Saudara perempuan sepersusuan.
Lima orang dari sebab pernikahan.
10.Ibu istri (mertua)
11.Anak tiri, apabila sudah campur dengan Ibunya.
12.Istri anak (menantu)
13.Istri Bapak (Ibu Tiri)
14.Haram menikahi dua orang dengan cara dikumpulkan bersama-sama, yaitu
dua perempuan yang ada hubungan mahram, seperti dua perempuan yang bersaudara.
Hak-hak suami-istri
6. Kehalalan Bersenang-senang (Bersetubuh)
7. Keharaman mertua
8. Saling mewarisi
9. Mu’asyarah dengan Baik
10. Keturunan dan Sandaran Keturunan kepada kedua orangtua
Kata talak berasal dari bahasa Arab artinya menurut bahasa melepas tali , membebaskan
dan melepaskan ikatan. Adapun talak menurut istilah syariat Islam ialah melepaskan atau
membatalkan ikatan pernikahan dengan lafadz tertentu (talak atau sesamanya) yang mengandung
arti menceraikan . Talak merupakan jalan keluar terakhir dalam suatu ikatan pernikahan antara
suami isteri jika mereka tidak terdapat lagi kecocokan dalam membina rumah tangga.
Khulu’ ialah penyerahan harta yang dilakukan oleh istri untuk menebus dirinya dari
(ikatan) suaminya. Menurut ulama fiqih, khulu’ adalah istri memisahkan diri dari suaminya
dengan ganti rugi kepadanya. Hukumnya boleh, tetapi makruh seperti talak karena adanya
pemutusan talak yang diperintahkan syara’.
Definisi Iddah menurut bahasa dari kata “al-‘udd” dan “al-ihsha” yang berarti bilangan
atau hitungan, misalnya bilangan harta atau hari jika dihitung satu persatu dan jumlah
keseluruhan. Dalam istilah fuqaha’ iddah adalah masa menunggu wanita sehingga halal bagi
suami lain.Iddah sudah dikenal sejak massa jahiliyyah dan hampir saja mereka tidak
meninggalkannya.

24 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai