Anda di halaman 1dari 27

ETIKA BERBICARA

Makalah ini Buat Untuk Memenuhi Tugas Mata

Kuliah Pengembangan Kepribadian

Dosen Pengampu: Dr. Sudarmi, SPd,M.Kes

Di Susun Oleh:

Mahasiswa D-lll Kebidanan Reguler

Tingkat 1 Kelompok 7

Khonita Mir’atus Solehah 2115401065

Putri Sintia. 2115401073

Riasti Agustin. 2115401079

Talia Rivcha Nabila. 2115401085

Poltekkes Kemenkes

TanjungkarangProgram Studi

Kebidanan 2021/2022
Kata Pengantar

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga

dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentu kami

tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam

semoga tercurahkankepada baginda tercinta kita Nabi Muhammad SAW yang kita nantikan

syafa’atnya di akhirat nanti.

Kami ucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat Nya, baik itu

berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga saya mampu untuk menyelesaikan

pembuatan tugas mata kuliah Pengembangan Kepribadian, dengan materi “Etika Berbicara”

Semoga tugas ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada mahasiswa lainnya.

Walaupun makalah ini memiliki banyak kekurangan, kami mohon kritik dan sarannya.

Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatu

Bandar Lampung,, 21 Januari 2022

Kelompok 7
DAFTAR ISI
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Semua orang kecuali yang tuna wicara atau tuna rungu (bisu tuli) pasti mampu berbicara.

Namun tidak setiap orang mampu berbicara dengan baik dan benar. Kalau bicara sekedar bicara,

anak kecil pun bisa. Balita usia 2-3 tahun sudah pandai berbicara, minimal dapat memanggil ayah

ibunya. Bahkan tangisan bayipun sebenarnya merupakan bentuk bicara juga.

Berbicara adalah mengeluarkan, menyusun kata-kata secara teratur melalui lisan sehingga dapat

dimengerti oleh lawan bicaranya. Bicara di sini diartikan sebagai bentuk komunikasi, dengan bicara

maka komunikasi dapat terjalin, Tetapi berkata-kata tanpa artipun sebenarnya bicara juga, hanya

saja belum dimasukan ke dalam kategori komunikasi.

Kemampuan bicara menjadi penting dalam konteks menjalin hubungan komunikasi dengan orang

lain. Dalam perkembangannya, bicara menjadi lebih ruwet karena ada batasan-batasan etika dan

aturannya. Bicara kemudian terkotak-kotak oleh kepentingan dan maksud-maksud tertentu. Setiap

aspek kehidupan memiliki aturan dan etika tersendri dalam berbicara.

Faktor utama dalam berbicara adalah bahasa. Makna bahasa sekarang lebih luas lagi, bukan

hanya merujuk pada suku bangsa tetapi sudah merambah pada disiplin ilmu. Kita sekarang tidak

hanya mengenal bahasa jawa, Madura, Sunda dan sebagainya yang berdasarkan kesukuan,

melainkan bahasa ekonomi, bahasa politik dan sebagainya dalam lingkup disiplin ilmu. Selanjutnya,

dari bahasa tadi mempengaruhi etika dan aturan bicara. Antara bahasa hukum dan bahasa ekonomi

ada aturan dan etikanya sendiri, seperti halnya bahasa Jawa dan bahasa Sunda yang di dalamnya

tidak terpisahkan oleh adat istiadat dan budaya dari mana bahasa itu berasal.

Dalam pergaulan etika berbicara itu penting, tidak boleh asal bicara. Semakin tinggi tingkat

pendidikan dan sosial, seseorang biasanya semakin tinggi pula etikanya dalam berbicara. Kelas
pendidikan dan sosial sering menjadi faktor pembeda dalam berbicara. Antara bahasa tukang becak

dan dosen jelas berbeda.

Dan bial dibolak-balik kesannya akan semakin semrawut. Kesannya akan lain. Seorang dosen

dengan strata pendidikan tinggi rasanya tidak pantas berbicara dengan gaya bahas tukang becak

yang terbiasa kasar, cespleng dan tidak mengenal unggah-ungguh. Sebaliknya, tukang becak akan

menjadi lucu bila memaksakan diri berbicara dengan langgam berbicara seorang dosen yang

cenderung ilmiah dan rumit dicerna orang biasa.

Tujuan utama berbicara adalah membuat lawan bara mengerti apa yang dikatakannya. Tidak

peduli bahasa apa yang dipakai, punya ungguh-ungguh atau tidak, yang penting orang yang diajak

berbicara menangkap dengan jelas maksudnya. Tetapi dalam perkembangannya, seiring dengan

kemajuan peradaban, mengerti saja tidak cukup. Sekarang ini, dsamping dapat dimengerti harus

pula mencerminkan etika, termasuk didalamnya adalah unggah-unggah. Apalagi di dunia timur

(oriental)yang sangat menghormati nilai-nilai kesopanan, unggah-ungguh menjadi faktor yang tak

boleh ditinggakan. Khususnya di masyarakat Jawa, Unggah-ungga memegang peranan sangat

dominan. Bahkan bahasa yang dipakaipun berlainan antara bicara kepada orang tua, adik, atasan

dan sebagainya. Orang akan semakin dihormati apabila tahu unggah-ungguh. Dan bila unggah-

ungguh itu dilanggar, adat-istiadat sudah menyiapkan sangsinya. Orang yang tidak tahu sopan-

santun dalam berbicara pasti akan dikucilkan selamanya


Rumusan Masalah

1. Etika apa saja dalam berbicara?

2. Bagaimana Prosedur dalam berbicara?

3. Bagaimana etika berbicara yang baik dan benar menurut Islam?

Tujuan

1. Untuk mengetahui etika berbicara

2. Untuk mengetahui Prosedur berbicara

3. Untuk mengetahui etika berbicara menurut Islam


BAB

2 ISI

Landasan Teori

A . Etika Berbicara

Etika berasal dari Bahasa Yunani ETHOS (jamak ta etha) yang berarti kebiasaan. Selain etika

dikenal juga Moral atau Moralitas yang dari bahasa Latin MOS (jamak mores) yang juga berarti

kebiasaan. Ada beberapa kata yang sama artinya dengan etika, yakni budi pekerti, tata krama,

akhlak, dan sopan santun.

Pengertiannya adalah berprilaku bak dan terpuji, tidak menyakitkan perasaan orang lain.

Sebagai tingkah laku atau kegiatan lainnya, berbicarapun harus memperhatikan etika atau sopan

santun. Seseorang yang pandai berbicara bila mengabaikan kesopanan dalam percakapan,

menimbulkan pandangan yang buruk atau kebosanan, bahkan kebencian. Dengan demikian,

kepandaian berbicara harus dimbangi dengan pengetahuan tentang tata kesopanan.

l. Berbicara Harus Menatap Lawan Bicara.

Yang harus anda perhatikan ketika berbicara adalah konsentrasikan diri anda sepenuhnya kepada

lawan bicara. jangan melihat ke arah lain sehingga membuat lawan bicara tersinggung. Menatap

lawan bicara sungguh-sungguh (bukan mendelik/melirik) termasuk etika berbicara yang baik.

Obyek anda adalah lawan bicara bukan yang lain. Jangan tinggalkan etika ketika anda sedang
berkomunikasi dengan orang lain. Kita sendiri juga pasti tersinggung jika ada orang lain mengajak

bicara tiba-tiba memutar hidungnya ke tempat lain. Mau menanggapi bicaranya saja sebenarnya

sudah harus disyukuri, jangan malah berpindah hati. Bicara itu bukan hanya dengan mulut, tetapi

juga dengan hati dan

seluruh tubuh kita kecuali kalau kita berbicara melalui telepon. Ketika berbicara usahakan seluruh

gerak tubuh kita mengarah ke lawan bicara sehingga kita tahu bagaimana reaksi lawan bicara ketika

membalas apa yang kita ucapkan. Kalau pandangan kita beralih ke tempat lain, kita tahu apakah

lawan bicara tulus dengan ucapannya atau tidak. Bisa jadi lawan bicara bilang setuju tetapi mimik

wajahnya dan kita tahu karena pandangan kita tidak tertuju kepadanya.

Pada saat berbicara semestinya kita seudah mempersiapkan mental kita sepenuhnya. Karena yang

kita hadapi adalah manusia yang mempunyai perasaan, bisa senang dan susah, bsa tersinggung dan

marah- marah. Oleh sebab itu, baik itu mimik maupun mata kita harus menampakan wajah yang

bersahabat dan sungguh-sungguh.

2. Suara Harus Terdengar Jelas

Dsamping kita harus menatap lawan bicara, yang tak kalah pentingnya adalah menata suara kita

agar lawan bicara dapat menangkap dengan jelas apa yang sedang kita bicarakan. Tidak boleh

terlalu terburu-buru dan jangan terlalu pelan. Usahakan suara yang keluar bisa terdengar jelas agar

lawan bicara dapat terdengar apa yang kita ucapkan.

Karena kondisi tertentu seringkali kita tidak dapat mengontrol suara kita, sehingga menjadi terlalu

cepat. Lawan bicara merasa perlu menegaskan kembali dengan bertanya balik, atau tidak ingin

didengar orang lain, kita berusaha merendahkan intonasi suara sehingga di relinga lawan bicara

terdengar seperti desis ular. Kedua-duanya bukan cara yang efektif dalam berbicara. Berbicara
dengan pelan tapi jelas terdengar. Tidak perlu terlalu keras tidak perlu terlalu lemah. Yang perlu

kita perhatikan pula adalah tingkat emosional kita. Bicaralah ketika emosi kita sedang tidak

konsentrasi. misalnya kalau kita sedang marah atau sedih, usahakan agar kemarahan atau kesedihan

tersebut tidak terlihat oleh lawan bicara.

Percuma saja kita berbicara terburu-buru sampai nafas kita tersengal-sengal lawan bicara susah

mengerti. Atau terlalu lembut seperti orang yang sedang dirundung derita berkepanjangan, sehingga

hanya terdengar seperti rintihan yang menyayat hati. Oleh karena itu hindarilah berbicara terburu-

buru atau terlalu pelan. Sebab dalam kondisi berbicara seperti itu, sulit untuk meninta respon yang

obyektif dari lawan bicara. Di samping tidak efektif, pembicaraan yang kurang terdengar jelas di

telinga lawan bicara kadang-kadang menimbulkan kejengkelan bagi lawan bicara. Maunya ingin

cepat-cepat selesai tetapi malah menimbukan persoalan baru yang tidak selesai-selesai Tentunya ini

akan merugikan diri kita sendiri.

3. Gunakanlah Tata Bahasa yang Baik dan Benar

Bahasa dapat menunjukan kualitas keprbadian dan latar belakang seseorang. Bahasa pegawai

kantor, jelas berbeda dengan orang berjualan di pasar. Salah satu unsur pembedanya terdapat dalam

pemakaian tata bahasa yang digunakan. Bahasa pegawai kantor jelas lebih punya etika dari pada

orang pasar. Bahasa anak gaul berbeda dengan bahasa ningrat keraton.

Sebelum berbicara sebaiknya kata-kata diatur terlebih dahulu. Jangan sampai di tengah kalimat tiba-

tiba putus karena kita tidak tahu apa yang akan kita bicarakan. Dan tentunya tidak boleh

menggunakan kata-kata yang kasar, apalagi yang menyinggung hati lawan bicara. Kita harus

mengetahui mana subyek, mana predikat, obyek dan keterangan dalam sebuah kalimat. Kita harus

tahu pula bagaimana menempatkan perangkat kalimat pada tempat yang benar. Jangan sampai kita
bingung dengan kalimat yang kita ucapkan sendiri. Umpamanya dengan membokk-balik kedudukan

subyek, predikat dan obyek sehingga menjadi kalimat yang tidak beraturan.

4. Jangan menggunakan Nada Suara yang Tinggi

Citra pegawai kantor adalah citra kesopanan artinya orang lain melihat pegawai kantor sebagai

orang yang tahu etika, punya tata-krama dan santun dalam segala tindak-tanduknya. Sikap dan

perilakunya mencerminkan orang berpendidikan. Kesan tersebut akan semakin membekas ketika

kita sedang berbicara. Dari pembicaraan itu orang lain akan dapat menilai, apakah kita seorang

pegawai kantor atau bukan. Gaya bicara, intonasi yang dipakai, dan tata bahasa, jelas berpengaruh

besar di telinga pendengar.

Sebaiknya kita berbicara dengan kalimat yang jelas dan intonasi yang sedang-sedang saja. Tidak

terlalu tinggi, juga tidak terlalu rendah. Tunjukan kesan bahwa kita bisa mengontrol intonasi dengan

baik. Pakailah nada suara yang datar-datar saja, sehingga setiap orang dapat mendengarnya dengan

bak. Kalau terlalu tinggi dikhawatirkan tidak semua pendengarnya dapat mendengar dengan baik.

Apalagi jika kita ditunjuk sebagai pembicara, nada suara harus benar-benar dijaga. Sebab,

pendengar dalam sebuah forum baik ceramah maupun diskusi cenderung beragam. Jika nada suara

terlalu tinggi kita akan cepat letih. Orang tidak mungkin sanggup berteriak selama satu jam terus-

menerus. Apa yang kita bicarakan sebaiknya dapat kita nikmati jangan malah menjadi beban.

Disamping itu, kurang beretika rasanya kalau kita berbicara dengan nada suara yang tinggi. Kecuali

jika kita sedang membakar semangat para anak-anak muda untuk terjun ke medan perang. Dalam

situasi yang biasa, aman dan tidak darurat, Sebaiknya nada suara kita tidak tedah tinggi.
5. Pembicaraan Mudah Dimengerti

Tujuan utama berbicara adahh untuk membuat lawan bicara mengerti apa yang sedang kita

bicarakan. Okh sebab itu, sebaiknya kita cukup toleran dengan para pendengar kita. Kita harus

panda -pandai memilih lawan bicara, sebab hal ini berkatan dengan bahasa yang kita pakai. Jangan

karena ingin dianggap sebagai pegawai kantor ke mana-mana kita selalu menggunakan bahasa

tingkat tinggi. Kita harus pandai menyesuaikan diri dengan kondisi dan latar belakang lawan bicara

yang kita hadapi. Jangan terjebak oleh keinginan untuk menjaga image atau gengsi sehingga

mengorbankan lawan bicara. Pakailah bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti. Tidak penting

anggapan orang lain terhadap diri kita, yang penting adalah orang lain mengerti terhadap apa yang

sedang kita bicarakan. Biarkan orang lainmenganggap diri kita bodoh, dan seolah-olah pitar

mereka, tau hak mereka.

Sering kita mendengar ada orang berbicara dengan menggunakan bahasa yang tinggi Padahal

pendengarnya hanya para pedagang yang tidak sempat mengikuti perkembangan jaman Memang ia

berhasil membangun kesan di tengah audiennya bahwa ia pembicara yang pandai, Tetapi ketika

ditanyakan kepada mereka apakah mereka mengerti, mereka malah bingung.

Kita semua pasti punya pengalaman yang sama ketika mengkuti khotbah Jumat. Ada khatib yang

selama khotbahnya menggunakan bahasa Arab di tengah jamaah yang seluruhnya orang Indonesia.

yakinkah anda bahwa jamaah mengerti isi khotbah tersebut? Tipsnya sebelum mengajak bicara,

ketahuilah dulu siapa lawan bicaranya. Kalau memang lawan bicara lebih mudah mengerti dengan

bahasa daerah, maka kita harus menyesuaikan diri. Dari bahasa di atas semakin mengertilah kita

bahwa ternyata berbicara itu tidak semudah yang kita bayangkan. Tetapi penulis juga tidak sedang

mengarahkan pada satu kesimpulan bahwa berbicara itu sukar. Singkatnya, sebagai pegawai

kantor kita harus tetap menjaga dengan baik etika kita dalam berbicara yang sopan.
Dalam bukunya “sopan santun berbicara dan menyimak” M. Atar Semi mengatakan setidaknya ada

lima belas perilaku yang dinilai sopan dalam berbicara. Perilaku tersebut ialah!

a) Adanya kesabaran.

Sikap sabar dalam percakapan sangatlah penting. Yang hadir atau terlibat dalam suatu percakapan

tidaklah kita sendri. Melainkan ada lawan bicara, entah terdiri dari satu atau beberapa orang.

Kesabaran yang dimaksud adalah kesabaran untuk tidak memotong pembicaraan orang lain,

menunggu giliran bicara, dalam menyimak lawan bicara menyampaikan gagasannya

b) Tidak menunjukan rasa jemu.

Dalam menghadapi lawan bicara, kita tidak boleh menunjukan rasa jemu, atau kesal. Walaupun

yang dibicarakan itu tidak sesuai dengan pendapat atau keinginan kita, namun. Dengarkanlah uraian

atau penjelasannya, kalau ada yang dirasakan tidak enak atau tidak sesuai dengan pandangan kita,

dapat kita sampaikan dengan baik dan tenang pada saat giliran kita bicara. Memperlihatkan rasa

jemu dan tidak sesuai menyinggung perasaan lawan bicara.

c) Tidak bicara terus menerus.

Dalam percakapan harus selalu diingat bahwa setiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang

sama untuk berbicara mengemukakan pendapat. Oleh sebab itu, sangat tidak sopan kalau berbicara

tanpa menghiraukan kesempatan orang lain atau lawan bicara untuk menyampaikan pendapatnya.

Kalau kita memborong kesempatan berbicara maka terlihat jelas bahwa kita adalah seseorang yang

egois yang mementingkan diri sendiri, serta suka merugikan orang lain. Kebiasaan ini merupakan

kebiasaan yang mencemarkan nama baik, dan terkesan sebagai orang yang menjemukan atau
serakah.

d) Tidak membicarakan diri sendiri.

Membicarakan diri sendiri dalam percakapan, baik mengenai kehebatan maupun kekurangan kita,

sampaikanlah hal itu sekadar saja, hanya sebagai bahan perkenalan saja, bukan untuk

membanggakan diri, seperti menceritakan kehebatan atau keberhasilan orang tua dan saudara kita

tidaklah baik, dan dapat menimbulkan kesan bahwa kita itu somnong dan merendahkan martabat

lawan bicara. Orang yang menceritakan berbagai macam kehebatan dirinya dengan maksud agar

lawan biara menjadi iri, kagum atau orang lain menghormatinya adalah sikap yang tidak terpuji.

Orang semacam ini ialah orang yang ingin kelihatan hebat dengan menyandang nama orang lain.

e) Tidak menceritakan keburukan orang lain.

Kita boleh menceritakan orang lain, asal yang diceritakan itu tentang kehebatannya. Orang lain

yang dimaksud bukan orang yang mempunyai hubungan keluarga. Yang tidak boleh ialah

menceritakan aib atau keburukan orang lain. Hal itu biasanya dinilai sebagai gosip atau menjurus

fitnah. Dalamagama pun hal itu dilarang, apalagi keburukan itu bukan atas kemauan orang yang

bersangkutan. Oleh sebab itu, hindarilah kebiasaan menceritakan aib atau keburukan orang lain

sebagai bahan pembicaraan.

f) Tidak mengolok-olok orang lain dalam pembicaraan.

Dalam pembicaraan memang sering orang berusaha mencari bahan pembicaraan yang dapat

memancing tawa. Memang baik dalam percakapan diselingi lelucon yang dapat menimbulkan

kegembiraan dan kesegaran. Tetapi yang harus dihindari ialah membuah bahan olokan itu orang

hain.

Biasanya yang dijadikan olokan tu kelemahan orang lain. Akan lebih buruk lagi yang

diolok-olok itu termasuk salah seorang yang ikut dalam percakapan. Walaupun maksudnya gurau,

tetap saja hal semacam itu tidak boleh, karena tidak ada orang yang mau dijadikan bahan tertawaan
atau bahan olokan.

g) Tidak berbicara untuk satu orang.

Kalau yang hadir dalam percakapan atau perbincangan terdiri atas banyak orang, janganlah

menunjukan pembicaraan hanya kepada seorang saja, tetapi tunjukkanlah kepada semua orang.

h) Tidak bersenda gurau pada teman karib di depan umum.

Memang biasa, kalau dua orang yang bersahabat atau dekat, apalagi teman lama bersenda gurau bila

bertemu. Namun jangan sampai senda gurau itu dilakukan didekat orang lain atau di depan umum.

Kadang-kadang ada orang yang dengan sengaja melakukan senda gurau di muka orang banyak

untuk memperlihatkan bahwa dia dekat dengan orang itu. Perilaku semacam itu merupakan perilaku

yang tidak baik. Walaupun teman akrab, namun tidak boleh bergurau tidak pada tempatnya.

i) Tidak menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing.

Bila diantara anggota percakapan ada yang tidak mengerti. Jangan menggunakan bahasa daerah atau

bahasa asing apabila di dalam percakapan yanglebih dari dua orang ada diantaranya tidak mengerti

dengan bahasa yang digunakan. Untuk itu digunakan bahasa nasional, bahasa Indonesia.

Biasanya kalau dua orang sahabat yang sekampung berbincang-bincang akan menggunakan

bahasa kampung halaman mereka. Namun apabila datang orang ketiga dalam pembicaraan itu,

sebaiknya beralih menggunakan bahasa yang dapat dipahami bersama. Cara semacam ini dinilai

sopan, karena ada usaha menghormati teman mereka yang berasal dari daerah lain.

j) Tidak berbicara tentang kecabulan.

Sebaiknya hindari menyelipkan bahan percakapan yang berisi kecabulan atau masalah seks, apalagi

kalau yang hadir itu terdiri dari beberapa kelompok umur dan terdiri dari dua jens kelamin. Hal itu

akan lebih sopan kalau kita tidak menyimpangkan pembicaraan yang bersifat “pornografi” karena
besar kemungkinan ada diantara yang hadir tidak menyukai cara seperti itu.

k) Mengambil topik pembicaraan yang disukai oleh sebagian besar peserta

percakapan.

Sebaiknya dalam percakapan yang terdiri dari banyak orang, pilihlah topik pembicaraan yang

menarik perhatian seluruh peserta, jangan memilih topik pembicaraan yang hanya disukai oleh

sebagian kecil anggota percakapan. Bila yang tertarik atau menyukai topik pembxaran itu hanya

sebagian kecil saja, dapat membuat percakapan berat sebelah dan tidak meriah, karena yang terlibat

jumlahnya terbatas.

l) Tidak menyebutkan budi baik kita.

Perbuatan baik yang pernah kita lakukan kepada orang lain sebaiknya jangan disebut-sebut dalam

percakapan atau di depan umum, apalagi didepan orang yang pernah kita tolong. Perbuatan itu akan

ada pahalanya disisi Tuhan. Orang yang pernah kita tolong tentu akan ingat dan berterima kasih.

Tetapi hal itu disebut-sebut orang banyak maka akan terlibatlah bahwa kegiatan itu dilakukan bukan

karena ikhlas melainkan untuk memperoleh balasan. Apabila budi baik dan pertolongan yang ikhlas

itu diberikan kepada orang lain, tidak perlu disebut berulang-ulang.

m) Tidak bergaya sok tahu.

Apabila betul-betul mengetahui atau menguasai suatu masalah lalu kita jelaskan kepada orang lain

yang tidak tahu, hal ini merupakan perbuatan yang sangat sopan dan terpuji. Tapi apabila ada orang

yang menyatakan atau memberikan keterangan tentang suatu yang sebenarnya da sendiri tidak

menguasai hal itu sikap semacam ini merupakan penpu diri sendri dan dapat menyesatkan orang

lain. Banyak orang yang mempunyai sifat sok tahu dengan percakapan. Dengan sikap jelek itu da
senantiasa hendak menjelaskan sesuatu hal seolah-olah dia orang pintar dan banyak ilmu. Padahal

tidak demikian. Sebaiknya sikap semacam ini dihilangkan karena dapat merugikan orang lain dan

merusak nama baik sendiri.

n) Tidak membicarakan paham politik atau agama di depan pembicaraan

yang pesertanya berbeda paham dan agama.

Boleh saja kita menggunakan topik pembicaraan tentang paham politik atau agama, apabila peserta

percakapan itu terdiri dari satu paham atau agama yang sama. Tapi kalau dalam percakapan itu

terdapat orang berbeda paham atau agama, sebaiknya jangan memilih topik percakapan tentang

paham politik atau agama. Bila hal itu dibicarakan akan dapat merusak orang yang tidak sepaham

dan berbeda agama dengan kita. Biasanya pembicaraan mengenai itu cenderung bersifat subjektif

dan berat sebelah. Hal itu dapat merusak perasaan yang lain. Topik percakapan yang menyangkut

paham aliran politi, agama, atau ras sangat sensitif sebaiknya dipilih suasana yang cocok untuk

membicarakan hal atau topik ini

0) Tidak bersikeras dengan pendapat sendiri.

Dalam percakapan, tidak baik kalau kita berpendapat bahwa jalan pikiranlah yang paling benar.

Kita tidak boleh mengotot agar lawan bicara kita menerima mentah-mentah pendapat atau pikiran

kita. Walaupun pendapat kita itu benar, namun kita jangan bersikeras untuk membeberkannya dan

menyalahkan pendapat lawan bicara. Harus disadari bahwa tidak ada suatu pendapat atau

pandangan yang selalu benar.


 Berbicara tidak sopan.

Pada dasarnya sikap yang dinilai tidak sopan di dalam suatu percakapan ialah sikap yang

berlawanan dengan sikap sopan. Kalau kita menerapkan sikap sopan, menghindari sikap tidak sopan

atau sebaliknya. Bila kita mampu menghindari hal tersebut, mudah-mudahan kita menjadi anggota

percakapan yang diterima oleh setiap pendengar yang hadir memang tidak mudah melakukannya.

Tetapi kita harus berusaha dengan sungguh-sungguh melakukan dan menghindarkan aturan

tersebut.

B. Prosedur Berbicara

Prosedur adalah rangkaian tata pelaksanaan kegiatan yang diatur secara beruutan, sehingga

terbentuk urutan kegiatan secara bertahap dalam menyelesakan suatu tujuan. Untuk dapat menjadi

pembicara yang bak, seorang pembicara harus mempersiapkan diri sebaik mungkin. Persiapan ini

menyangkut persiapan pokok pembicaraan yang akan dpilih dan hal — hal yang berhubungan

dengan kelengkapan bahan pembicaraan tersebut.

1. Memilih Topik Pembicaraan.

Topik pembicaraan merupakan salah satu penunjang keefektifan berbicara. Memilih topik

pembicaraan ini merupakan kegiatan yang pertama sekali dilakukan. Memilih topik berarti memilih

apa yang akan menjadi pokok pembicaraan. Topik diperoleh dari berbagai sumber, yaitu

pengalaman, pengamatan, pendapat penalaran, dan khayalan. Topik-topik ilmiah bersumber dari

pengalaman, pengamatan, dan penalaran. Dalam memilih topik terutama dalam pembicaraan, ada

beberapa hal yang perlu dipertimbangkan :


a. Topik yang dipilih hendaknya menarik untuk dibicarakan. Topik yang menarik akan

menimbulkan kegairahan dalam berbicara. Hal ini juga merupakan modal untuk menarik

pendengar. Pilihan topik yang menarik merupakan modal utama dalam keberhasian berbicara.

Topik ini akan lebih menarik apabila :

 Merupakan masalah yang menyangkut persoalan bersama

 Merupakan jalan keluar dari suatu persoalan yang tengah dihadapi

 Mengandung konflik pendapat

 Tidak melampaui daya tangkap pendengar, sebaliknya tidak terlalu mudah untuk

daya tangkap intelektual pendengar.

 Masalah yang dibicarakan hendaknya dapat diselesaikan dalam waktu yang disediakan.

b. Topik jangan terlalu luas dan jangan pula terlalu sempit

Topik yang terbatas akan memudahkan kita mencari informasi, sehingga masalah dapat betul-betul

dikuasai dalam hal ni akan menumbuhkan kepercayaan pada dri pembicara.

c. Topik yang dibahas hendaknya ada manfaatnya bagi pendengar, baik untuk menambah ilmu

pengetahuan atau yang berkaitan dengan profesi.

d. Janganlah mengambil topik yang sama sekali tidak diketahui

bicarakanlah topik yang diketahui dengan baik. Sehingga dapat merangsang pendengar.

Apabila topik telah ditemukan, seperti yang sudah diuraikan, topik itu harus dibatasi. Topik yang
terlalu luas tidak akan memberi kesempatan kepada kita untuk membahasnya secara mendalam,

apalagi waktu untuk berbicara terbatas. Sebaliknya topic yang sempit akan bersifat sangat khusus

dan tidak banyak manfaatnya bagi pendengar, kecuali kalau tujuannya hanya untuk melaporkan

sesuatu.

2. Menentukan Tujuan.

Membatasi topik dengan sendirinya belum membatasi maksud pembicaraan. Oleh sebab itu, harus

pula dirumuskan tujuannya. Perumusan tujuan ini akan memberikan gambaran atau perencanaan

menyeluruh yang akan mengarahkan pembicara dalam menentukan atau memilih materi yang

sesuai. Kesadaran kita akan tujuan selama proses pembxaraan, akan menjaga keutuhan

pembicaraan.

Pembicaraan tidak akan menyimpang kepada hal-hal yang tidak

berhubungan dengan pokok-pokok pembicaraan.

3. Mengumpulkan Bahan.

Jika tujuan sudah dirumuskan, tugas selanjutnya adalah mencari bahan atau materi yang diperlukan.

Yang dimaksud dengan bahan ialah semua informasi atau data yang diperlukan untuk mencapai

tujuan. Bahan tersebut mungkin berupa contoh-contoh, pengembangan, sejarah kasus, fakta,

hubungan sebab-akibat, pengujian atau pembuktian, angka-angka, kutipan-kutipan, dan lain

sebagainya yang dapat membantu pengembangan gagasan.

Bahan-bahan yang diperoleh dari berbagai sumber, sebaiknya dicatat dalam kartu-kartu informasi.

Kartu informasi ini sebaiknya dibuat dari kertas yang agak tebal. Dalam kartu ini dicantumkan
informasi dan sumber informasi. Kalau sumbernya buku, cantumkan pengarang, judul buku, data

penerbit, halaman, kutipan atau catatan. Dalam hal ini, kartu-kartu informasi dapat menolong kita

mengingatkan bahan yang dibicarakan, misalnya dalam berdiskusi.

4. Menyusun kerangka.

Langkah terakhr dalam tahap persiapan ini adalah menyusun kerangka. Dalam hal ini tujuan dan

bahan penulisan menentukan bentuknya. Menyusun kerangka berarti memecah topik kedalam

subtopik dan mungkin selanjutnya kedalam sub-subtopik yang lebih kecil. Sebelum menyusun

kerangka yang lebih terperinci, kita dapat membuat kerangka kasar. Kemudian baru dipikirkan

perinciannya.

Kerangka ini menjadi pedoman bagi kita dalam berbicara. Sehingga dapat berbicara sistematis.

Kalau sebuah pembicaraan memerlukan persiapan secara tertulis, misalnya dalam bentuk makalah,

maka kerangka ini perannya sama dengan menulis. Kerangka menjadi pedoman bagi penulis atau

pembicara. Dengan adanya kerangka pembicaraan akan terarah dan tersusun secara sistematis.

Apalagi bagi moderator dalam memberikan pengarahan.

C. Etika Berbicara yang Baik Menurut Islam

Islam memperhatikan etika berbicara dalam kehidupan sehari-hari. Etika berbicara

dimaksudkan agar tidak membuat orang lain tersinggung, sakit hati, dan sebagainya.

Mengenai etika berbicara dalam Islam, Rasulullah ‫ ﷺ‬telah memberi contohnya. Apalagi,

Rasulullah sendiri terkenal dengan kelembutannya saat berbicara. Sehingga, lawan bicara

Rasulullah banyak yang merasa dimuliakan.

Etika berbicara ini juga telah dijelaskan dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 263:
‫ِ ﺣ ِﻠ‬
ُo‫ى ﺻ و‬Bً‫ذ‬Bَ‫ ا‬Bٓ‫ﻗَ ْﻮل ﻣ ْﻌ ُﺮ ف و َﻣ ْﻐ ﺧ ّ ﱠﯾْﺘَﺒﻌُ َﮭﺎ‬
‫ﻨﻲ ْﯿ ٌﻢ‬
◌ ‫َﺪﻗَ ٍﺔ‬ ‫ِﻔ َﺮةٌ ْﯿ ٌﺮ ﻣ‬ ‫ْو‬
‫ﻏ‬ ‫ْﻦ‬

Artinya: Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi

tindakan yang menyakiti. Allah Mahakaya, Maha Penyantun.

Dalam buku Tafsir Al Misbah, M. Quraish Shihab menafsirkan ayat tersebut dengan arti lebih

baik memberi sesuatu tanpa berkata apa pun, daripada memberi tetapi setelah itu memaki-

makinya. Oleh sebab itu, etika dalam berbicara sangat penting diterapkan dalam kehidupan

sehari-hari.

Dikutip dalam jurnal Adab Bicara Dalam Prespektif Komunikasi Islam karya Hakis, setidaknya

ada 5 etika berbicara dalam Islam yang perlu diperhatikan:

1. Jujur dalam berbicara

Kejujuran dalam berbicara menunjukkan keislaman seseorang. Maka, hendaknya setiap

perkataan dilandasi dengan kejujuran.

2. Berbicara baik atau diam

Seorang muslim harus memilih perkataan yang baik. Berbicara yang baik ini bertujuan untuk

tidak menyakiti hati lawan bicara.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al Ahzab ayat 70-71 yang artinya, “Hai orang-orang

yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah perkataan yang benar. Niscaya

Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa- dosamu. dan

barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, Maka Sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan

yang besar.” (QS. Al Ahzab:70-71)

3. Tidak ghibah
Menghindari perbuatan menggunjing dan mengadu domba merupakan salah satu etika

berbicara yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana firman Allah

dalam surat Al
Hujurat ayat 12 yang artinya, “Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain.”

(QS. Al Hujurat: 12)

4. Melihat wajah lawan bicara

Jika berbicara secara langsung dengan orang lain, maka pandanglah wajahnya. Dengan

memandang wajah lawan bicara kita, maka dia akan merasa lebih dihargai.

5. Tidak berdebat

Dalam Islam, debat merupakan pintu dari terbukanya kesalahpahaman. Perdebatan memang

lumrah terjadi. Sebab, satu sama lain saling mempertahankan pendapat dan argumennya

masing- masing. Namun, hendaknya hal ini dihindari. Selain membuang-buang waktu, berdebat

juga bisa memutuskan silaturahmi serta menciptakan permusuhan.


BAB 3

PENUTU

A. Kesimpulan

Etika berasal dari Bahasa Yunani ETHOS (jamak ta etha) yang berarti kebiasaan. Selain etika

dikenal juga Moral atau Moralitas yang dari bahasa Latin MOS (jamak mores) yang juga berarti

kebiasaan. Etika berbicara diantaranya yaitu berbicara harus menatap lawan bicara, suara harus

terdengar jelas, gunakanlah tata bahasa yang baik dan benar, dam jangan menggunakan nada yang

tinggi Dalam bukunya “sopan santun berbicara dan menyimak” M. Atar Semi mengatakan

setidaknya ada lima belas perilaku yang dinilai sopan dalam berbicara. Perilaku tersebut ialah:

adanya kesabaran, tidak menunjukkan rasa jemu, tidak berbicara terus menerus, tidak

membicarakan diri sendiri, tidak menceritakan keburukan orang lain, tidak baik mengolok-olok

orang lain dalam pembicaraan, tidak berbicara untuk satu orang saja, tidak bersenda gurau pada

teman karib di depan umum, tidak menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing, tidak berbxcara

tentang kecabulan, mengambil topik pembicaraan yang disukai oleh sebagian besar peserta

percakapan, tidak menyebutkan budi baik kita, tidak bergaya sok tau, tidak membicarakan paham

politik atau agama didepan pembicaraan yang pesertanya berbeda paham dan agama, tidak

bersikeras dengan pendapat sendiri.

Prosedur adalah rangkaian tata pelaksanaan kegiatan yang diatur secara beruutan, sehingga

terbentuk urutan kegiatan secara bertahap dalam menyelesakan suatu tujuan. Prosedur kegiatan

berbicara yaitu

: Memilih topik pembicaraan, menentukan tujuan, mengumpulkan bahan dan menyusun kerangka.
B. Saran

Penulis menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,

penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.


DAFTAR PUSAKA

http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-content/uploads/2017/08/Praktikum-Konsep-Kebidanan-
dan- Etikolegal-dalam-Praktik-Kebidanan-Komprehensif.pdf

https://books.google.co.id/books?
id=Ggf1DwAAQBAJ&pg=PA58&dq=Etika+berbicara&hl=id&sa=X&ved=2
ahUKEwiV48fl35_uAhURVH0KHUmDAk4Q6AEwAHoECAEQAg#v=onepage&q=Etika%20berbicara&f=f
alse

https://books.google.co.id/books?id=PeMNEAAAQBAJ&pg=PA32&dq=Etika+berbicara&hl=id&sa=X&ved=
2ahUKEwiV48fl35_uAhURVH0KHUmDAk4Q6AEwAXoECAMQAg#v=onepage&q=Etika%20berbicara&f
=false

https://books.google.co.id/books?id=0GXtDwAAQBAJ&pg=PA114&dq=Etika+berbicara&hl=id&sa=X&ved
=2ahUKEwiV48fl35_uAhURVH0KHUmDAk4Q6AEwA3oECAYQAg#v=onepage&q=Etika%20berbicara&f
=false

https://books.google.co.id/books?id=UMvmjgygHKcC&pg=PA6&dq=Etika+berbicara&hl=id&sa=X&ved=2a
hUKEwiV48fl35_uAhURVH0KHUmDAk4Q6AEwBXoECAgQAg#v=onepage&q=Etika
%20berbicara&f=fal se

http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/tabligh/article/view/342

https://journal.ikipsiliwangi.ac.id/index.php/fokus/article/download/4319/1534

https://jurnal.umk.ac.id/index.php/JKP/article/viewFile/2611/1388

Anda mungkin juga menyukai