Anda di halaman 1dari 3

Adab Berbicara

Berbicara termasuk bagian dari komunikasi. Setiap hari pasti manusia berkomunikasi melalui
pembicaraan. Ada yang menyebutkan 75 % waktu manusia setiap harinya untuk
berkomunikasi dengan orang lain maupun dengan dirinya sendiri. Ada juga yang
menyebutkan bahwa manusia terutama perempuan dalam satu hari satu malam mampu
mengeluarkan sebanyak 20.000 kata untuk berkomunikasi. Terlepas dari benar tidaknya
pernyataan tersebut yang jelas tidak terhitung lagi banyaknya manusia mengeluarkan kata-
kata setiap harinya.

Komunikasi yang paling dasar dan paling erat di antara manusia adalah berbicara.
Menyampaikan gagasan, keinginan maupun pesan agar orang lain melakukan tindakan.
Berbicara adalah suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Manusia sejak menjadi bayi
sudah perlu berbicara. Tangisan bayi sebagai bentuk dari komunikasinya membicarakan
sesuatu. Menangis sebagai ekspresi menandakan dirinya telah hadir sebagai manusia yang
dikehendaki oleh orang-orang yang menantinya. Suara yang dikeluarkan dalam lengkingan
tangis menjadi pertanda bahwa bayi tersebut memiliki potensi kemampuan berbicara.

Seiring perkembangan umur dan fisik, berubahlah menjadi suara-suara yang bermakna.
Bantuan orang-orang di sekelilingnya, kemampuan bersuara dilatih dari hanya bentuk
rengekan secara perlahan menjadi bunyi vokal-vokal yang bermakna. Secara bertahap
menguasai bunyi-bunyi vokal yang tidak jelas menjadi jelas, meningkat dalam penguasaan
kata dan kalimat. Semakin hari menunjukkan kejelasan makna. Saat itulah orang-orang di
sekelilingnya mengatakan bahwa sang bayi telah mulai bisa berbicara. Kemampuan berbicara
akan terus tumbuh dan berkembang seiring dengan waktu dan lingkungan.

Manusia berbeda karakter berbeda pula gaya berbicaranya. Banyak yang suka berbicara dan
ada pula yang pendiam. Masing masing mempunyai kekurangan dan kelebihannya. Banyak
bicara biasanya plong pikiran dan menghadapi kehidupan tanpa beban. Namun
kekurangannya apabila banyak bicaranya banyak pula kemungkinan salahnya. Sementara
orang pendiam atau tidak banyak bicara biasanya cendrung pendendam atau bahkan sering
mengalami depresi. Kelebihan dari sedikit bicara, sedikit pula kemungkinan salah dalam
pembicaraan.

Bagaimanapun profesi dan ststus sosial, seseorang harus pandai berbicara. Guru ketika
menyampaikan ilmu kepada muridnya dengan cara berbicara. Pedagang mempromosikan
barang dagangan kepada pembeli dengan cara berbicara. Pejabat menjelaskan program kerja
kepada masyarakat atau bawahannya dengan cara berbicara. Suami berbicara kepada isteri
atau sebaliknya. Anak berbicara kepada orang tua atau sebaliknya. Begitu seterusnya
menunjukan arti peting berbicara dalam hidup ini.
Kemampuan berbicara ikut serta menghantarkan kesuksesan seseorang dalam setiap
profesinya. Terbukti banyak orang berhasil dalam tugas karena kemampuannya dalam
berbicara. Guru yang pandai berbicara lebih disegani siswanya. Penceramah yang lincah
dalam bertutur lebih disukai jamaahnya. Marketing yang mahir mengiklankan produk bisnis
akan banyak menarik perhatian konsumen. Orang tua berhasil memengaruhi anak karena
kepintarannya dalam memberi nasihat.
Kepintaran seseorang berbahasa tidak terlepas juga dari kelihaian berekspresi melibatkan
berbagai anggota tubuh. Secara spontan anggota tubuh ikut berperan mengekspresikan dan
menegaskan makna pembicaraan. Gerakan tangan, tubuh, dan raut muka secara serempak
membangun satu kesatuan ekspresi mengikuti tuturan yang keluar dari pembicara.

Berperannya raut muka, mata, hidung, bibir, alis dan gerak tubuh lainnya saat berbicara akan
memiliki makna dan arti tersendiri. Gerakan anggota tersebut menyesuaikan isi pesan
pembicaraan. Biasanya mata melotot bisa berarti marah, mata sayu dapat berarti sedih. Bibir,
muka, dan hidung dapat memberikan makna bahwa seseorang sedang serius, sedih, maupun
gembira.
Selain ekspresi tubuh saat berbicara, hal lain yang penting menjadi perhatian pembicara agar
pembicaraan mendapat tanggapan positif dan simpati pendengar. Pembicara menggunakan
bahasa yang tepat, menumbuhkan rasa percaya diri saat berbicara, menggunakan intonasi
suara sesuai situasi percakapan dan tidak memotong pembicaraan orang lain.

Pembicara memastikan ketika berbicara dengan menggunakan tata bahasa yang benar. Hal ini
penting karena akan menjadi tolok ukur kualitas pembicara. Menggunakan tata bahasa yang
tepat menunjukan kepintaran dan pengalaman pembicara. Pendengar akan mengagumi
pembicara yang fasih dalam berbahasa. Apalagi dalam pembicaraan mengutip ayat Al-Qur’an
atau bahasa asing, mesti penyebutannya dengan benar.

Pendengar belum tentu tidak paham tata bahasa, bisa jadi dia lebih tahu tentang hal itu.
Manakala pembicara salah dalam berbahasa, pendengar akan mengerti bahwa pembicara
tidak menguasai pembicaraan. Misalnya keliru dalam ejaan kata, yang semestinya “e” dia
sebut “a” atau mestinya “o” dia menyebutnya “u”. Kekeliruan dalam membaca ayat Al-
Qur’an menggambarkan pembicara tidak belajar tajwid. Kesalahan menyebut kata asing
menunjukan pembicara tidak paham kosa kata.

Dalam berbicara perlu juga pembicaranya memiliki rasa percaya diri agar tidak ada perasaan
takut yang membuat grogi. Rasa takut terkadang membuat seseorang memilih diam daripada
berbicara. Ada memang ungkapan : “diam itu emas”. Ungkapan ini benar tetapi bukan di sini
tempatnya. Manakala perlu menyampaiakan kebenaran, maka harus melalui suara dan apabila
diam tentu kebenaran tidak tersampaikan. Menambah percaya diri terlebih dahulu pebicara
menguasai materi sehingga pembicaraan terarah.

Saat berbicara perlu pula memperhatikan volume suara yang sesuai dengan situasi
percakapan. Turun naik suara pembicara membuat pendengar betah dan tidak bosan
mendengarkan. Berbeda situasi pembicaraan berbeda pula intonasi suara. Situasi marah
biasanya suara keras dan situasi senang biasanya suara rendah dan penuh homur. Jika sedang
marah suara lembut kemungkinan pembiracaan tidak berwibawa. Sebaliknya jika sedang
guyon dengan suara keras barangkali pendengar bukan terhibur tapi malah merasa tegang.

Pembicara yang professional mampu membawa perasaan pendengar melalui intonasi dan
gaya bicaranya. Bisa mengarahkan pendengar agar sedih atau agar gembira, menangis atau
tertawa. Semua tergantung keinginan pembicara. Banyak pendengar tersenyum gembira saat
mendengar pembicaraan karena pembicaranya bergaya humoris. Begitu juga ada pendengar
yang sedih dan sampai menagis sebab pembicaranya mampu membayangkang suatu resiko
kehidupan dengan intonasi yang tepat.

Dalam etika berbicara baik pada pembicaraan formal maupun non formal, tidak
diperkenankan memotong pembicaraan orang lain. Selain menggangu kunsentrasi, memotong
pembicaraan orang sama dengan tidak menghormati orang lain. Masing-masing punya hak
untuk berbicara. Kalau ingin ikut berbicara tuntaskan saja dulu orang lain berbicara atau
kalau terpaksa harus memotong sangat etis untuk permisi terlebih dahulu.

Ada 6 hal yang perlu diperhatikan.


1. Tujuan Yang Baik
Sebelum tampil, tanamkanlah niat yang baik ketika akan berbicara.
2. Persiapan Yang Matang
Bangunlah persiapan yang matang.
Mulai dari persiapan mental, data, penampilan hingga latihan berulang.
3. Mengutamakan Kejujuran
Dalam komunikasi, kepercayaan menjadi poin utama yang membuat orang mau
mendengarkan kita.
Membangun kepercayaan tidak mudah, perlu waktu.
Salah satu cara untuk membuat orang percaya adalah dengan berkata jujur.
4. Bahasa dan Penyampaian Yang Santun
Sifat komunikasi itu tidak bisa ditarik lagi.
Maka, berbicaralah yang santun.
5. Menjauhi Sikap Egosentris
Audiens yang kita hadapi unik dan sangat beragam. Maka, hindari hal-hal yang berkaitan
dengan SARA.
Bangun hal-hal positif yang membangun.
6. Menghindari Plagiarisme
Ketika Anda berbicara dan menggunakan sumber lain, maka cantumkan sumbernya sebagai
bentuk apresiasi dan menjaga kredibilitas tulisan.
Itulah etika dasar yang perlu terus kita tanamkan.

Anda mungkin juga menyukai