Anda di halaman 1dari 4

Nama : Destian Astika Sarlita

Nim : 012 101 008


Kelas :A
Prodi : Bimbingan Konseling
Kelompok :4

KLASIFIKASI ILMU DAN KINERJA ILMU

1. Klasifikasi Ilmu Al-Ghazali

Para filosof muslim membedakan ilmu kepada ilmu yang berguna dan tak
berguna. Kategori ilmu yang berguna mereka memasukkan ilmu-ilmu duniawi,
seperti kedokteran, fisika, kimia, geografi, logika, etika, bersama disiplin-disiplin
yang khusus mengenai keagamaan. Ilmu sihir, alkemi dan numerology (ilmu nujum
dengan menggunakan bilangan) dimasukkanke dalam golongan cabang ilmu yang
tidak berguna.
Klasifikasi ini memberikan makna implisit menolak adanya sekularisme, karena
wawasan Yang Kudus tidak menghalang-halangi orang untuk menekuni ilmu-ilmu
pengetahuan duniawi secara teoritis dan praktis. Secara umum ada tiga basis yang
sangat mendasar dalam menyusun secara hirarkis ilmu-ilmu metodologis, ontologis,
dan etis. Hampir ketiga kriteria ini dipakai dan diterima oleh para ilmuwan muslim
sesudahnya membuat klasifikasi ilmu-ilmu. Al-Farabi membuat klasifikasi ilmu
secara filosofis ke dalam beberapa wilayah, seperti ilmu-ilmu matematis, ilmu alam,
metafisika, ilmu politik, dan terakhir yurispedensi dan teologi dialektis. Beliau
memberi perincian ilmu-ilmu religius (Ilahiyah) dalam bentuk kalam dan fikih
lansung mengikuti perincian ilmu-ilmu filosofis, yakni matematika, ilmu alam,
metafisika dan ilmu politik.
Sedangkan Al-Ghazali secara filosofis membagi ilmu ke dalam ilmu syar’iyyah
dan ilmu aqliyyah. Oleh Al-Ghazali ilmu yang terakhir ini disebut juga sebagai ilmu
ghair syar’iyyah. Begitu juga Quthb al-Din membedakan jenis ilmu menjadi ulum
hikmy dan ulum ghair hikmy. Ilmu nonfilosofis menurutnya dipandang sinonim
dengan ilmu religius, karena dia menganggap ilmu itu berkembang dalam suatu
peradaban yang memiliki syar’iyyah (hokum wahyu).
Pemakaian istilah ghair oleh Al-Ghazali dan Quthb al-Din untuk ilmu
intelektual berarti, bagi keduanya ilmu syar’iyyah lebih utama dan lebih berperan
sebagai basis (landasan) untuk menamai setiap ilmu lainnya. Dr. Muhammad Al-Bahi
membagi ilmu dari segi sumbernya terbagi menjadi dua, pertama; ilmu yang
bersumber dari Tuhan, kedua; ilmu yang bersumber dari manusia. Al-Jurjani
membagi ilmu menjadi dua jenis, yaitu, pertama, ilmu Qadim dan kedua ilmu hadis
(baru). Ilmu Qadim adalah Ilmu Allah yang jelas sangat berbeda dari ilmu hadis
(baru) yang dimiliki manusia sebagai hamba-Nya.
Namun di sini Penulis menganggap perlu mengemukakan klasifikasi Al-
Ghazali, karena Al-Ghazali-lah sebagai peletak dasar filosofis pertama kali teori
iluminasionis dalam arti pengetahuan yang datang dari Tuhan melalui pencerahan dan
penyinaran. Dan dia berpendapat bahwa pengetahuan intuisi (ma’rifah) yang dating
dari Allah lansung kepada seseorang adalah pengetahuan yang benar. Klasifikasi Al-
Ghazali tentang ilmu syar’iyyah dan ilmu ‘aqliyyah:

a) Ilmu Syar’iyyah

Ilmu berisi tentang prinsip-prinsip dasar (al-Ushul), antara lain :


1) ilmu tentang keesaan Tuhan (al-Tauhid)
2) Ilmu tentang Kenabian
3) Ilmu tentang akhirat atau eskatologis
4) lmu tentang sumber pengetahuan religius. Yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah
(primer), ijma’, dan tradisi para sahabat (sekunder), ilmu ini terbagi menjadi
dua kategori;
 Ilmu-ilmu pengantar (ilmu alat)
 ilmu-ilmu pelengkap, terdiri dari ilmu Qur’an, ilmu riwayat al-Hadis,
ilmu ushul fiqih, dan biografi para tokoh.
2. Ilmu tentang Cabang-cabang (Furu’)

1) Ilmu tentang kewajiban manusia kepada Tuhan (Ibadah)


2) Ilmu tentang kewajiban manusia kepada masyarakat
3) Ilmu tentang kewajiban manusia kepada jiwanya sendiri (ilmu akhlak)

3. Ilmu Aqliyyah

1) Matematika: aritmatika, geometri, astronomi, dan astrologi, music


2) Logika
Fisika /Ilmu alam: kedokteran, meteorologi, mineralogi, kimia
3) Ilmu tentang wujud di luar alam, atau metafisika antara lain :
 Ontologi
 Pengetahuan tentang esensi, sifat, dan aktifitas Ilahi
 Pengetahuan tentang substansi-substansi sederhana
 Ilmu tentang dunia halus
 Ilmu tentang kenabian dan fenomena kewalian ilmu tentang mimpi
Teurgi (nairanjiyyat), ilmu ini menggunakan kekuatan-kekuatan bumi untuk
menghasilkan efek tampak seperti supernatural
Sejarah perkembangan ilmu pasca Al-Ghazali mengalami pengaruh cukup
signifikan. Bahwa pemikiran ilmu di dunia Islam cenderung kurang rasionalistik dan
lebih selaras dengan pandangan dunia al-Qur’an. Oleh karena itu banyak pemikir dan
filosof sesudahnya mengembalikan peran nalar pada posisi seimbang. Seperti Quthb
al-Din memberikan klsifikasi jenis ilmu secara garis besar menjadi ilmu Hikmat
(filosofis) dan ghair hikmat (nonfilosofis). Al-Ghazali yang sebenarnya berusaha
meratakan jalan bagi penyebaran madzhab filsafat iluminasionis (isyroqi). Sedangkan
Quthb al-Din mengacu lebih dari sekali pada basis Qur’anik Hikmat. Filsafatnya
adalah filasafat iluminasionis (Hikmat Dzauqi) yang didasarkan pada pengalaman
suprarasional atau iluminasi intelek, tetapi pada saat yang sama, dia memanfaatkan
sebaik-baiknya penalaran Diskursif. Dalam diskursus pemikiran jenis-jenis ilmu
dalam Islam tersebut di atas, pemikiran falsafi yang sangat berbeda dengan Barat.
Bentuk-bentuk pemikiran seperti Empirisme, rasionalisme, dan ilmu nasionisme telah
banyak disinggung oleh para pemikir Islam sejak awal dengan basis landasan
wawasan bahwa sumber pengetahuan adalah Yang Kudus. Namun penyebab
perbedaan di antara hal ini adalah adanya concern dan penekanan metodologis,
ontologism, dan etis dan yang memiliki kapasitas yang berbeda dan bersifat relatif.

2. Kinerja Ilmu

Dalam upaya memperoleh pengakuan, maka perlu pemahaman tentang sistem


kerja ilmu. Sehingga, ilmu akan dianggap sebagai ilmu pengetahuan (science) bukan
pengetahuan saja (knowledge). Kinerja ilmu pengetahuan dapat diukur dengan pola-
pola seperti perumusan masalah, pengamatan dan deskripsi, penjelasan, ramalan dan
kontrol. Tata kerja tersebut menjadikan suatu pengetahuan dapat terukur dan teramati
dengan baik. Melalui metode keilmuan tersebut, yang dihasilkan dari penggabungan
yang baik antara data-data empiris dan pemikiran yang rasional, memungkinkan
diperoleh teori-teori ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi umat manusia.

Dari penjelasan diatas, dapat dikatakan bahwa sumber pencapaian ilmu


pengetahuan di Barat adalah rasio yang di dukung dengan data-data empirik. Dengan
cara yang demikian, dalam sejarahnya memunculkan suatu pertentangan antara ahli
agama dengan ilmuan. Sebagai contoh, krisis yang terjadi antara pihak gereja dengan
ilmuan pada abad pertengahan terhadap kasus penemuan teori bumi. Hal inilah yang
membedakan antara pengertian ilmu pengetahuan perspektif Barat dan dalam sudut
pandang Islam. walaupun di Barat telah ditemukan berbagai metode keilmuan seperti
intuisi, falsafah hidup, dan femenologi. Namun, kasus-kasus yang sekarang
bermunculan merupakan pertanda adanya dimensi kekeringan spiritual diantara
mereka. Dalam ajaran Islam, teks al-Qur’an dan hadits serta teks nonverbal alam
natural dan sosial adalah sumber dan bahan material ilmu sebagai kesatuan entitas
mistis universum yang tak terpisahkan kecuali bagi kebutuhan analisis ilmiah rasional
materialistik.

Anda mungkin juga menyukai