Disusun oleh :
HUKUM KELUARGA
T/A 2019-2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya
makalah ini dapat kami selesaikan dengan baik dan atas kehendak-Nya
semua proses pembuatan makalah ini dapat berjalan dengan baik
dan tepat pada waktunya.
Tak ada gading yang tak retak tak ada sesuatu yang sempurna,
begitu juga dengan makalah ini, kami menyadari bahwa makalah ini
belum sempurna. Untuk itu dengan senang hati penulis menerima kritik
dan saran yang membangun dari pembaca demi perbaikan penelitian ini
untuk ke depan.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Salah satu kekayaan peradaban Islam di dalam bidang hukum yang masih jarang ditulis
adalah Kaidah Fiqih. Adapun yang sudah diperkenalkan antara lain tafsir, hadis, ushul
fiqih dan fiqih, ilmu kalam dan tasawuf. Walaupun dibidang ini pun masih terus perlu
dikoreksi, dielaborasi, dan dikembangkan sebagai alat dalam mewujudkan Islam sebagai
rahmatan li al-‘alamin.
Kaidah-kaidah Fiqih merupakan kaidah yang menjadi titk temu dari masalah-masalah
fiqih. Mengetahui kaidah-kaidah fiqih akan memudahkan akan memberikan kemudahan
untuk menerapkan fiqih dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, keadaan
dan adat kebiasaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam
menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah dalam
memberi solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dengan
tetap berpegang kepada kemaslahatan, keadilan, kerahmatan dan hikmah yang terkandung
di dalam fiqih.
Mengingat kaidah Fiqih merupakan salah satu cabang keilmuan dalam Islam yang
biasa disebut Ilmu Qawaid Al-Fiqhiyyah atau dalam terminologi lain dikenal Al-
Asybah Wa Al-Nazhair. Ilmu ini juga memenuhi prasyarat sebagai ilmu yang
independen dan memiliki teori-teori seperti pada khasanah keilmuan pada
umumnya serta ruang lingkup yang sangat luas. Adapun dalam makalah ini,
memaparkan tentang Sejarah Pertumbuhan, Perkembangan dan Pengkodifikasian Qawaid
Al-Fiqhiyyah.
BAB II
PEMBAHASAN
kaidah-kaidah fiqih merupakan kaidah yang menjadi titik temu dari masalah-masalah
fiqih. Mengetahui kaidah-kaidah fiqih akan memudahkan untuk menerapkan fiqih dalam
waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, keadaan dan adat kebiasaan yang berlainan.
Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi,
politik, budaya dan lebih mudah dalam memberi solusi terhadap problem-problem yang
terus muncul dan berkembang dengan tetap berpegang kepada kemaslahatan, keadilan,
kerahmatan dan hikmah yang terkandung di dalam fiqih.
Mengingat kaidah Fiqih merupakan salah satu cabang keilmuan dalam islam yang biasa
disebut Ilmu al-Qawaid al-Fiqhiyyah atau dalam terminologi lain dikenal al-Asybah wa
al-Nazhair. Ilmu ini juga memenuhi syarat sebagai ilmu yang independen dan memiliki
teori-teori seperti pada khasanah keilmuan pada umumnya serta ruang lingkup yang
sangat luas.
Sejarah qawa’id fiqhiyyah sebenarnya tidak terlepas dari masa terdahulu, yaitu pada masa
Nabi Muhammad SAW, masa Sahabat, dan masa Tabi’in. Pada proses munculnya
Qawaid Fiqhiyyah dapat dikelompokan dalam tiga fase yaitu:
Periode Nabi Berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 H / 12 SH-10 H). Pada
periode ini, tidak ada spesialisasi ilmu tertentu yang dikaji dari al-Qur’an dan al-Hadis.
Semangat Sahabat sepenuhnya dicurahkan kepada jihad dan mengaplikasikannya apa
yang diperoleh dari Rasulullah berupa ajaran al-Qur’an dan al-Hadis.
2. Zaman Sahabat
Pada periode ini pola pikir sahabat mulai mengalami transformasi kearah ijtihad, dimana
dalam pengambilan hukumnya itu merujuk pada al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini
disebabkan karna banyaknya persoalan baru yang tidak pernah terjadi pada masa
Rasulullah Saw. Kemudian pada periode inilah juga mencul penggunaan ra’yu, qiyas, dan
ijma Atsar (pernyataan) sahabat yang dapat dikatagorikan jawami’ al-kalim dan qawaid
fiqhiyyah diantaranya adalah sebagai berikut.
Pernyataan Umar bin Khatab ra (w.23 H) yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (w. 256 H)
dalam kitabnya Shahih al-Bukhari :
مقاطع الحقوق عند الشروط
(penerimaan hak berdasarkan kepada syarat-syarat). Atsar Umar bin Khatab ra di atas
menjadi kaidah dalam masalah syarat.
3. Zaman Tab’in
Mengenai keberadaan Qawaid Fiqhiyyah pada masa tabi’in, bisa dikatakan pada masa
ini adalah masa awal perkembangan fiqih. Dimana hal yang menonjol pada masa ini
yaitu dimulai pendasaran terhadap ilmu fiqih.
Di antara ulama yang mengembangkan kaidah fiqh pada generasi tabi’in: Abu Yusuf
Ya’kub ibn Ibrahim (113-182) karyanya yang terkenal kitab Al-Kharja, Kaidah-kaidah
yang disusun adalah: ”Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli waris
diserahkan ke Bait al- mal”
Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul Mal sebagai salah satu
lembaga ekonomi umat Islam dapat menerima harta peninggalan (tirkah atau mauruts),
apbila yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris.
Al-Nadwi menyatakan dalam bukunya al-Qawaid al-Fiqhiyyah, ulama fiqh pertama yang
mencetuskan fenomena ini ialah Abu Yusuf serta beberapa ulama yang sezaman
dengannya seperti Imam Malik, Imam al-Shafi‘i dan lain-lain[1].
Latar belakang sejarah perkembangan hukum Islam tidak mengkaji Qawa’id Fiqhiyyah
secara menyeluruh. Menurut Ali Ahmad al-Nadawi, perkembangan Qawa’id Fiqhiyya
dapat dibagi kedalam tiga fase berikut[2].
Awal mula qawaid fiqhiyah menjadi disiplin ilmu tersendiri dan dibukukan terjadi pada
abad ke 4 H dan terus berlanjut pada masa setelahnya. Hal ini terjadi ketika
kecenderungan taqlid mulai tampak dan semangat ijtihad telah melemah karena saat itu
fiqh mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Ketika itu, tantangan dan masalah-masalah yang harus dicarikan solusinya bertambah
beriringan meluasnya wilayah kekuasaan kaum muslim. Maka para Ulama
membutuhkan metode yang mudah untuk menyelesaikan masalah kemudian
muncullah kaidah-kaidah fiqih. Dalam buku kaidah-kaidah fiqih karangan. Prof.H.A.
Djazuli digambarkan bahwa skema pembentukan kaidah fiqih adalah sebagai
berikut[3].
5. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila ulama memberi fatwa terutama di
dalam hal-hal baru
Perkembangan Qawaid Al-Fiqhiyyah terjadi pada masa tabi’in. Pada periode ini adalah
masa awal perkembangan fiqh karena pada masa inilah dimulai pendasaran terhadap ilmu
fiqih. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa ada masa pendasaran ini adalah awal
dari kecenderungan fiqih untuk berada pada wilayah teori.
Setelah melewati masa pendasarannya ilmu fiqh mengalami perkembangan yang sangat
pesat. Hal ini ditandai dengan banyaknya bermunculan madzhab-madzhab yang
diantaranya adalah madzhab yang empat (Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab
Syafi’i dan Madzhab Ahmad) sebagaimana yang telah kita ketahui. Perkembangan
berikutnya mengalami perkembangan yang sangat signifikan, dari menulis,
pembukuan, hingga penyempurnaannya.
Pada abad ke-8 H, ilmu qawaid fiqhiyah mengalami masa keemasan, ditandai dengan
banyak bermunculannya kitab-kitab Qawaid fiqhiyah. Perkembangan ini terbatas hanya
pada penyempurnaan hasil karya para ulama sebelumnya, khususnya di kalangan ulama
Syafi’iyah.
Setelah melewati masa pertumbuhan, masa perkembangan dan masa kodifikasi akhirnya
tibalah pada penyempurnaan qaidah fiqih yang dilakukan oleh para pengikut dan
pendukungnya. Periode ini ditandai dengan munculnya kitab Majallah al Ahkam al
Adliyyah. Melalui pengumpulan dan penyeleksian kitab-kitab fiqih yang kemudian di
bukukan dan di gunakan sebagai sumber acuan dalam menetapkan hukum di beberapa
Mahkamah pada masa pemerintahan Sultan Al Ghazi Abdul Aziz Khan al Utsmani pada
akhir abad ke-13 H.
Kitab Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah, yang ditulis dan dibukukan setelah diadakan
pengumpulan dan penyeleksian terhadap kitab-kitab fiqh, adalah suatu prestasi yang
gemilnag dan merupakan indikasi pada kebangkitan fiqh pada waktu itu. Para tim
penyusun kitab itu sebelumnya telah mengadakan penyeleksian terhadap kitab-kitab fiqh,
lalu mengkonstruknya dalam bahasa undang-undang yang lebih bagus dari sebelumya.
Kitab Majalllat al-Ahkam al-‘Adliyyah inilah yang menyebabkan qaidah fiqh semakin
tersebar luas dan menduduki posisi yang sangat penting dalam proses penalaran hukum
fiqih[4].
Dapat ditarik dari pernyataan Muhamma az-Zarqa’ dalam kitabnya ”Syarh al-Qawa’id al-
Fiqhiyyah”. yaitu : “Seandainya tidak ada qawa’id (fiqhiyyah), tentu hukum-hukum fiqh
akan menjadi (hukum) furu’ yang berserakan dan kadang-kadang lahiriyahnya tampak
saling bertentangan; tanpa ada ushul (Kaidah) yang dapat mengokohkannya dalam
pikiran, menampakkan ‘illat-’illatnya, menentukan arah-arah pembentukannya, dan
membentangkan jalan pengqiyasan dan penjenisan padanya”.
Dapat ditarik juga dari pernyataan Imam al-Qarafi dalam kitabnya al-Furuq : “Siapa yang
berhujjah dengan hanya menghapal juz’iyyah saja, maka hujjahnya itu tidak akan ada
batasnya, serta akan menghabiskan umurnya tanpa dapat mencapai cita-cita. Sebaliknya,
siapa yang memperdalam fiqh melalui qaidah-qaidah fiqh tidak harus menghapalkan
berbagai macam cabang fiqh, karena telah tercakup oleh kulliyyah”.
b. Para Ulama dalam menyusun qawa’id fiqhiyyah terinspirasi oleh sebagian teks al-
Qur’an dan Hadits yg bersifat jawami’ al-kalim (singkat padat)