Anda di halaman 1dari 137

PENGANTAR

DIREKTUR PEMBERDAYAAN WAKAF

Bismillahirrahmanirrahim

Terlebih dahulu kami panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT,


karena atas rahmat dan karuniaNya kita dapat melakukan berbagai upaya
untuk meningkatkan, memperdalam dan memperluas pelayanan
kehidupan beragama.
Sejak terjadinya krisis multi-dimensi dalam kehidupan bangsa kita
yang dipicu oleh krisis ekonomi, peran wakaf menjadi semakin penting
sebagai salah satu instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Selain itu, kesadaran berwakaf menjadi perekat kohesi sosial
bangsa kita.
Pengelolaan wakaf tidak statis, melainkan selalu berkembang sejalan
dengan dinamika dan perubahan dalam masyarakat. Sebagai lebaga yang
memiliki tanggungjawab dalam bidang keagamaan, Depertemen Agama
berusaha terus memfokuskan perhatian pada upaya pemberdayaan harta
benda wakaf secara produktif.
Untuk itu, kehadiran buku “Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai” ini
diharapkan dapat merubah paradigma lama menjadi paradigma baru
wakaf untuk meningkatkan peran sosial wakaf di tanah air kita.
Semoga Allah SWT meridhai niat baik dan upaya yang kita lakukan
bersama. Amin

Wassalam,
Jakarta, Juli 2006
Direktur Pemberdayaan Wakaf

Dr. Sumuran Harahap, MH, MMNIP.


150
i
SAMBUTAN
DIREKTUR JENDERAL BIMAS ISLAM

Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah swt, karena atas rahmat
dan inayah-Nya kita dapat berupaya meningkatkan pelayanan kehidupan
beragama dalam bidang perwakafan.
Salah satu upaya strategis yang dilakukan Departemen Agama adalah
mengembangkan kelembagaan wakaf dan memberdayakan potensinya
untuk meningkatkan martabat masyarakat dan bangsa. Kami terus
berupaya agar pemberdayaan wakaf secara produktif dijadikan sebagai
pemicu semangat dalam membangun masa depan umat yang saat ini
sedang terpuruk.
Oleh karena itu, sebagai langkah ke depan perlu dikembangkan suatu
sistem pengelolaan dan pengembangan wakaf yang sesuai dengan
tuntutan dan perkembangan yang terjadi serta garis kebijakan Pemerintah.
Pengadaan referensi wakaf yang disusun oleh Direktorat Pemberdayaan
Wakaf tak lain merupakan bagian dari upaya mendorong wakaf memiliki
peran penting dalam kehidupan umat dan tegaknya fondasi kesejahteraan
yang nyata.
Untuk itu, kami menyambut baik penerbitan buku “Pedoman
Pengelolaan Wakaf Tunai” ini karena memuat substansi yang perlu
disosialisasikan kepada masyarakat dan lembaga-lembaga Islam yang
mengelola wakaf atau memiliki kepentingan terhadap wakaf.
Dengan kehadiran buku ini diharapkan perhatian terhadap
pemberdayaan wakaf lebih meningkat dan terarah sejalan dengan harapan
kita bersama.
Semoga Allah swt memberkati niat baik dan upaya yang kita lakukan.
Amin.
Wassalam,
Jakarta, Juli 2006
Direktur Jenderal,

Prof. Dr. Nasaruddin Umar


NIP. 150

ii

Daftar Isi

Pengantar……..
…………………………………………………………….i
Sambutan……………………………………………………
……………..ii
Daftar
Isi……………………………………………………………
……..iii

Bagian Pertama PENDAHULUAN............................1


A. Pengertian Wakaf Tunai.................................................1
B. Sejarah Wakaf Tunai......................................................4
C. Dasar Hukum Wakaf Tunai..........................................14
D. Lingkup Sasaran Pemberi Wakaf Tunai (Wakif)..........18
Bagian Kedua WAKAF TUNAI DAN
PEMBANGUNAN EKONOMI......................................31
A. Membuka Kebuntuan Wakaf........................................31
B. Wakaf Tunai dan Pemberdayaan Ekonomi...................39
C. Wakaf Tunai sebagai Dana Publik................................48
D. Wakaf Tunai sebagai Voluntary Fund..........................63
Bagian Ketiga MANAJEMEN PENGELOLAAN
WAKAF TUNAI..............................................................71
A. Sistim Mobilisasi Dana Wakaf.....................................71
B. Pengelolaan Dana dan Pembiayaan..............................76
C. Manajemen Investasi Dana...........................................86
D. Perluasan Pemanfaatan Dana........................................92
iii Bagian Keempat ...............................................................
WAKAF TUNAI DI NEGARA-NEGARA MUSLIM 101
A. Arab Saudi..................................................................107
B. Mesir...........................................................................109
C. Turki...........................................................................111
D. Bangladesh.................................................................112
E. Yordania.....................................................................114
Daftar Pustaka.................................................................120

Lampiran……………………………………………………
…………….125
iv
Bagian Pertama PENDAHULUAN

A. Pengertian Wakaf Tunai


Sejak awal, perbincangan tentang wakaf kerap
diarahkan kepada wakaf benda tidak bergerak seperti
tanah, bangunan, pohon untuk diambil buahnya dan sumur
untuk diambil airnya, sedang wakaf benda bergerak baru
mengemuka belakangan. Di antara wakaf benda bergerak
yang ramai dibincangkan belakangan adalah wakaf yang
dikenal dengan istilah cash waqf. Cash waqf diterjemahkan
dengan wakaf tunai, namun kalau menilik obyek wakafnya,
yaitu uang, lebih tepat kiranya kalau cash waqf
diterjemahkan dengan wakaf uang. Wakaf tunai adalah
wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, dan
lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
Hukum wakaf tunai telah menjadi perhatian para fuqaha’
(juris Islam). Beberapa sumber menyebutkan bahwa wakaf
uang telah dipraktikkan oleh masyarakat yang menganut
mazhab Hanafi.
Terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum wakaf
tunai. Imam Al-Bukhari (wafat tahun 2526 H)
mengungkapkan bahwa Iman Az-Zuhri (wafat tahun 124
H) berpendapat dinar dan dirham (keduanya mata uang
yang berlaku di Timur Tengah) boleh diwakafkan. Caranya
ialah dengan menjadikan dinar dan dirham itu sebagai
modal usaha (dagang), kemudian menyalurkan
keuntungannya sebagai wakaf . Wahbah Az-Zuhaili juga
1

1 Abu As-Su’ud Muhammad, Risalatu fi Jawazi Waqfi An-Nuqud


(Beirut; Dar Ibn-Hazm, 1997), hal. 20-21.
1
mengungkapkan bahwa mazhab Hanafi membolehkan
wakaf tunai sebagai pengecualian, atas dasar Istihsan bi
al-‘Urfi, karena sudah banyak dilakukan masyarakat.
Mazhab Hanafi memang berpendapat bahwa hukum yang
ditetapkan berdasarkan ‘urf (adat kebiasaan) mempunyai
kekuatan yang sama dengan hukum yang ditetapkan
berdasarkan nash (teks)2. Dasar argumentasi mazhab
Hanafi adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin
Mas’ud, r.a:

8143

“Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka


dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang
dipandang buruk oleh kaum muslimin maka dalam
pandangan Allah pun buruk”.

Cara melakukan wakaf tunai (mewakafkan uang),


menurut mazhab Hanafi, ialah dengan menjadikannya

2 DR. Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damsyik:


Dar al-Fikr, 1985, Juz VII), hal. 162.
2
modal usaha dengan cara mudharabah3 atau mubadha’ah.
Sedang keuntungannya disedekahkan kepada pihak wakaf4.
Ibn Abidin mengemukakan bahwa wakaf tunai yang
dikatakan merupakan kebiasaan yang berlaku di
masyarakat adalah kebiasaan yang berlaku di wilayah
Romawi, sedangkan di negeri lain wakaf tunai bukan
merupakan kebiasaan. Karena itu Ibn Abidin berpandangan
bahwa wakaf tunai tidak boleh atau tidak sah. Yang juga
berpandangan bahwa wakaf tunai tidak boleh adalah
mazhab Syafi’i. Menurut Al-Bakri, mazhab Syafi’i tidak
membolehkan wakaf tunai, karena dirham dan dinar (baca:
uang) akan lenyap ketika dibayarkan sehingga tidak ada
lagi wujudnya5.
Perbedaan pendapat di atas, bahwa alasan boleh dan
tidak bolehnya wakaf tunai berkisar pada wujud uang.
Apakah wujud uang itu setelah digunakan atau dibayarkan,
masih ada seperti semula, terpelihara, dan dapat
menghasilkan keuntungan lagi pada waktu yang lama?
Namun kalau melihat perkembangan sistem perekonomian
yang berkembang sekarang, sangat mungkin untuk
melaksanakan wakaf tunai. Misalnya uang yang
diwakafkan itu dijadikan modal usaha seperti yang

3 Berdasarkan prinsip Mudharabah, bank Syari’ah akan berfungsi


sebagai mitra, baik dengan penabung maupun dengan pengusaha yang
meminjam dana. Dengan penabung, bank akan bertindak sebagai mudharib
‘pengelola’, sedangkan penabung bertindak sebagai shahibul maal
‘penyandang dana’. Antara keduanya diadakan akad mudharabah yang
menyatakan pembagian keuntungan masing-masing pihak. Sedang dengan
pengusaha/peminjam dana, bank bertindak sebagai shahibul maal
(penyandang dana, baik yang berasal dari tabungan/deposito/giro/ maupun
3
dikatakan oleh mazhab Hanafi. Atau diinvestasikan dalam
wujud saham di perusahaan yang bonafide atau
didepositokan di perbankan Syari’ah, dan keuntunganya
dapat disalurkan sebagai hasil wakaf. Wakaf tunai yang
diinvestasikan dalam wujud saham

dana bank sendiri berupa modal pemegang saham), sedang


pengusaha/peminjam bertindak sebagai mudharib ‘pengelola’ karena
melakukan usaha dengan cara memutar dan mengelola dana bank. Lihat:
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah; Dari Teori ke Praktik, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2001), hal.137.
4
Wahbah Az-Zuhaili, Op. Cit, Juz x, hal. 7610.
5
Al-Bakri, I’anatu Ath-Thalibin (Kairo: Isa Halabi, tt), hal.157.
atau deposito, wujud atau lebih tepatnya nilai uang tetap
terpelihara dan menghasilkan keuntungan dalam jangka
waktu yang lama.

B. Sejarah Wakaf Tunai


Praktik wakaf telah dikenal sejak awal Islam. Bahkan
masyarakat sebelum Islam telah mempraktikkan sejenis
wakaf, tapi dengan nama lain, bukan wakaf. Karena praktik
sejenis wakaf telah ada di masyarakat sebelum Islam, tidak
terlalu menyimpang kalau wakaf dikatakan sebagai
kelanjutan dari praktik masyarakat sebelum Islam. Sedang
wakaf tunai mulai di kenal pada masa dinasti Ayyubiyah di
Mesir.

B.1. Wakaf Secara Umum


Praktik sejenis wakaf di masyarakat sebelum Islam
dibuktikan dengan adanya tempat-tempat ibadah yang

4
dibangun di atas tanah yang pekarangannya dikelola dan
hasilnya untuk membiayai perawatan dan honor yang
merawat tempat ibadah tersebut. Masjid al-Haram di
Mekkah dan masjid al-Aqsha misalnya telah dibangun di
atas tanah yang bukan hak milik siapapun, tetapi milik
Allah. Kedua masjid itu dimanfaatkan untuk kemaslahatan
umat. Pertanyaannya, kenapa masyarakat sebelum Islam
telah mempraktikkan sejenis wakaf? Di masyarakat
sebelum Islam telah dikenal praktik sosial dan di antara
praktikpraktik sosial itu adalah praktik menderma sesuatu
dari seseorang demi kepentingan umum atau dari satu
orang untuk semua keluarga.
Praktik sejenis wakaf juga dikenal di Mesir, Roma dan
Jerman. Di Mesir, Raja Ramses kedua mendermakan
tempat ibadah “Abidus” yang arealnya sangat besar. Di
dalam tradisi Mesir kuno dikenal bahwa orang yang
mengelola harta yang ditinggalkan mayyit (harta waris),
hasilnya diberikan kepada keluarganya dan keturunannya,
demikian selanjutnya yang mengelola dapat mengambil
bagian dari harta tersebut namun harta pokoknya tidak
boleh menjadi hak milik siapapun. Pengelolaan harta
tersebut dengan cara bergilir dan bergantian dimulai dari
anak yang tertua dengan syarat tidak boleh dimiliki. Praktik
seperti ini sangat jelas kemiripannya dengan praktik wakaf,
karena prinsipnya sama, yaitu pokok harta tetap kekal dan
tidak boleh menjadi hak milik siapapun. Tapi hasil dari
harta tersebut digunakan untuk kepentingan sosial.
Ada aturan di Jerman yang mengatur agar masyarakat
mengalokasikan modal kepada keluarganya dalam jangka

5
waktu tertentu untuk dikelolanya, dan harta tersebut
menjadi milik keluarga bersama atau kepemilikannya
secara bergantian dimulai dari keluarga laki-laki kemudian
keluarga perempuan dengan syarat harta tersebut tidak
boleh dijual, tidak boleh diwariskan dan tidak boleh
dihibahkan. Harta tersebut hendaknya dikelola secara baik
dan hasilnya diambil untuk kepentingan bersama. Sedang
di Roma, juga telah dipraktikkan sejenis wakaf, bahkan
dalam wujud uang.
Karena praktik sejenis wakaf yang terjadi pada
masyarakat sebelum Islam memiliki tujuan yang seiring
dengan Islam, yaitu terdistribusinya kekayaan secara adil
dan kemudian berujung pada kesejahteraan bersama, maka
Islam mengakomodirnya dengan sebutan wakaf. Pada
tahun kedua hijriah, setelah Nabi Muhammad SAW hijrah
dari Mekkah ke Madinah, disyari’atkanlah wakaf. Di
kalangan fuqaha’ (juris Islam) terdapat dua pendapat siapa
yang mempraktikkan Syari’at wakaf. Pertama, sebagian
ulama mengatakan bahwa Nabi Muhammad sendiri yang
mempraktikkan wakaf pertama kali, yaitu ketika Nabi
mewakafkan tanahnya untuk dibangun masjid di atasnya.
Argumentasi pendapat pertama ini didasarkan kepada hadis
yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari ‘Amr bin
Sa’ad bin Mu’ad, ia berkata:

6
Dan diriwayatkan dari Umar bin Syabah, dari Umar bin
Sa’ad bin Muad berkata : “Kami bertanya tentang awal
mula wakaf dalam Islam? Menurut orang-orang
Muhajirin adalah wakafnya Umar, sedang menurut orang
Anshar adalah wakafnya Nabi Muhammad SAW.” (Asy-
Syaukani: 129).
Nabi Muhammad SAW pada tahun ketiga hijriah juga
mewakafkan tujuh kebun Kurma di Madinah, di antaranya
ialah kebun A’raf, Shafiyah, Dalal, Barqah dan kebun
lainnya.
Kedua, ada juga sebagian ulama yang mengatakan
bahwa yang pertama kali mempraktikkan Syari’at wakaf
adalah Umar bin Khattab. Argumentasi ini didasarkan
kepada hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Umar ra., ia
berkata:

Dari Ibnu Umar ra. berkata : “Bahwa sahabat Umar ra.


meperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar
ra. menghadap Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk.
Umar berkata: “Hai Rasulullah SAW, saya mendapat
sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan

7
harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan
kepadaku?” Rasulullah SAW. bersabda: “Bila engkau
suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau
sadekahkan (hasilnya). “Kemudian Umar menyedekahkan
(tanahnya untuk dikelola), tidak dijual, tidak dihibahkan
dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata: “Umar
menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada
orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya,
sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi
yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya
dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi
makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk
harta” (HR. Muslim).
Setelah Umar bin Khattab mempraktikkan wakaf,
kemudian menyusul sahabat-sahabat yang lain. Di
antaranya; Abu Thalhah mewakafkan kebun
kesayangannya, kebun “Bairaha”, Abu Bakar mewakafkan
sebidang tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan kepada
anak keturunannya yang datang ke Mekkah, Usman
mewakafkan hartanya di Khaibar dan sahabat- shabat yang
lain.
Kita tidak dapat menverifikasi kedua pendapat di atas,
karena argumentasi yang dibangun keduanya hanya
didasarkan kepada hadis, namun tidak disebutkan kapan
Nabi Muhammad SAW dan Umar mempraktikkan Syari’at
wakaf. Dan juga tidak disebutkan kapan kedua hadis yang
dijadikan dasar argumen kedua pendapat itu disabdakan
oleh Nabi Muhammad. Dengan disebutkannya tahun, baik
ketika Nabi Muhammad SAW dan Umar mempraktikkan

8
Syari’at wakaf maupun tahun disabdakannya kedua hadis
tersebut, maka dapat diketahui siapa yang pertama kali
mempraktikan Syari’at wakaf.
Pada masa dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah
praktik wakaf semakin berkembang. Banyak orang yang
ingin mewakafkan hartanya. Wakaf tidak hanya
diperuntukkan kepada fakir-miskin, tetapi wakaf juga
digunakan sebagai modal untuk membangun lembaga
pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji
para stafnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa
dan mahasiswanya. Banyaknya masyarakat yang ingin
mewakafkan hartanya menarik perhatian negara untuk
mengatur dan mengelolanya. Pengaturan dan pengelolaan
wakaf yang baik akan berimplikasi tumbuhnya sektor
sosial dan ekonomi masyarakat. Dengan wakaf yang
dikelola secara baik, maka masyarakat akan sejahtera.
Pada masa khalifah Hisyam bin Abdul Malik dari
dinasti Umayyah, yang menjadi hakim di Mesir adalah
Taubah bin Ghar al-Hadramiy. Al-Hadramiy memiliki
perhatian yang besar terhadap pengembangan wakaf,
karena itu ia berinisiasi untuk membentuk lembaga
pengelola wakaf tersendiri sebagaimana lembaga lainnya
yang berada di bawah pengawasan hakim. Lembaga wakaf
inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi
wakaf di Mesir dan di negara Islam. Pada saat yang
bersamaan, hakim al-Hadramiy juga mendirikan lembaga
pengelola wakaf di Basrah, Irak. Sejak itulah lembaga
pengelola wakaf berada di bawah pengawasan Departemen
Kehakiman, sehingga wakaf dapat dikelola secara baik dan

9
hasilnya disalurkan kepada yang berhak dan membutuhkan.
Sedang pada masa dinasti Abbasiyah ada lembaga
pengelola wakaf yang disebut “Shadr al-Wuquf”. Lembaga
ini mengurus administrasi dan memilih staf pengelola
lembaga wakaf.
Kemajuan praktik dan pengelolaan wakaf yang terjadi
pada masa dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah telah
mengarah kepada praktik dan pengelolaan wakaf secara
modern. Hal ini bisa menjadi inspirasi pengembangan
wakaf sesuai dengan perkembangan masyarakat.

B.2. Wakaf Tunai


Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan
wakaf sangat menggembirakan. Pada masa ini, wakaf tidak
hanya sebatas pada benda tidak bergerak, tapi juga benda
bergerak semisal wakaf tunai. Tahun 1178 M/572 H, dalam
rangka menyejahterakan ulama dan kepentingan misi
mazhab Sunni, Salahuddin Al-Ayyuby menetapkan
kebijakan bahwa orang Kristen yang datang dari Iskandar
untuk berdagang wajib membayar bea cukai. Tidak ada
penjelasan, orang Kristen yang datang dari Iskandar itu
membayar bea cukai dalam bentuk barang atau uang?
Namun lazimnya bea cukai dibayar dengan menggunakan
uang. Uang hasil pembayaran bea cukai itu dikumpulkan
dan diwakafkan kepada para fuqaha’ (juris Islam) dan para
keturunannya.
Selain memanfaatkan wakaf untuk kesejahteraan
masyarakat seperti para ulama, dinasti Ayyubiyah juga

10
memanfaatkan wakaf untuk kepentingan politiknya dan
misi alirannya, yaitu mazhab Sunni dan mempertahankan
kekuasaannya. Dinasti Ayyubiyah juga menjadikan harta
milik negara yang berada di baitul maal sebagai modal
untuk diwakafkan demi pengembangan madzhab Sunni
untuk menggantikan mazhab Syi’ah yang dibawa dinasti
sebelumnya, dinasti Fathimiyah.
Salahuddin Al-Ayyuby juga banyak mewakafkan
lahan milik negara untuk kegiatan pendidikan, seperti
mewakafkan beberapa desa (qaryah) untuk pengembangan
madrasah mazhab Asy-Syafi’i, madrasah mazhab Maliki,
dan mazhab Hanafi dengan dana melalui model
mewakafkan kebun dan lahan pertanian, seperti
pembangunan madrasah mazhab Syafi’i dan kuburan Imam
Syafi’i dengan cara mewakafkan kebun pertanian dan
pulau al-Fil.
Mewakafkan harta milik negara seperti yang dilakukan
Salahuddin Al-Ayyubi boleh. Penguasa sebelum
Salahuddin, Nuruddin Asy-Syhaid mewakafkan harta milik
negara. Nuruddin mewakafkan harta milik negara, karena
ada fatwa yang dikeluarkan oleh ulama pada masa itu, Ibnu
‘Ishrun dan didukung oleh ulama lainnya, bahwa
mewakafkan harta milik negara hukumnya boleh (jawaz).
Argumentasi kebolehannya ialah untuk memelihara dan
menjaga kekayaan negara..
Dinasti Mamluk juga mengembangkan wakaf dengan
pesatnya. Apa saja boleh diwakafkan dengan syarat dapat
diambil manfaatnya. Tetapi yang banyak diwakafkan pada
masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan, seperti

11
gedung perkantoran, penginapan dan tempat belajar. Juga,
pada masa dinasti Mamluk terdapat hamba sahaya (budak)
yang diwakafkan untuk merawat lembag-lembaga agama.
misalnya mewakafkan budak untuk memelihara masjid dan
madrasah. Hal ini dilakukan pertama kali oleh penguasa
dinasti Usmani ketika menaklukkan Mesir, Sulaiman Basya
yang mewakafkan budaknya untuk merawat masjid.
Dinasti Mamluk memanfaatkan wakaf sebagaimana
tujuan wakaf, yaitu wakaf keluarga untuk kepentingan
keluarga, wakaf umum untuk kepentingan sosial,
membangun tempat untuk memandikan mayat dan untuk
membantu orang-orang fakir dan miskin. Wakaf yang
digunakan untuk lebih menyemarakkan syi’ar Islam adalah
wakaf untuk sarana di Haramain, Mekkah dan Madinah
seperti kain Ka’bah (kiswatul ka’bah). Raja Shaleh bin
alNasir misalnya membeli desa Bisus lalu diwakafkan
untuk membiayai kiswah Ka’bah setiap tahunnya dan
mengganti kain kuburan Nabi SAW dan mimbarnya setiap
lima tahun sekali.
Dinasti Mamluk telah merasa bahwa wakaf telah
menjadi tulang punggung dalam roda ekonominya, karena
itu mereka memberi perhatin khusus terhadap wakaf.
Bahkan mereka mengeluarkan kebijakan dengan
mensahkan Undang-undang Wakaf. Undang-undang
Wakaf pada dinasti Mamluk dimulai sejak Raja Al-Dzahir
Bibers Al-Bandaq (1260-1277 M/658-676 H), dimana
dengan Undang-undang tersebut Raja Al-Dzahir memilih
hakim untuk mengurusi wakaf dari masing-masing empat
mazhab Sunni. Pada masa kekuasaan Al-Dzahir,

12
perwakafan dibagi menjadi tiga kategori: pendapatan
negara dari hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa
kepada orang-orang yang dianggap berjasa, wakaf yang
membantu Haramain (fasilitas Mekkah dan Madinah) dan
kepentingan masyarakat umum.
Penyebarluasan peraturan perwakafan semakin intensif
dan semakin mudah dilakukan oleh kerajaan Turki Usmani.
Hal ini terjadi karena kerajaan Turki Usmani mampu
memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga Turki dapat
menguasai sebagian besar wilayah negara Arab. Kekuasaan
politik yang diraih dinasti Usmani ini secara otomatis
mempermudah dipraktikkannya Syariat Islam, misalnya
peraturan tentang perwakafan. Di antara undangundang
yang dikeluarkan pada masa dinasti Usmani ialah peraturan
tentang pembukuan pelaksanaan wakaf, yang dikeluarkan
pada tanggal 19 Jumadil Akhir tahun 1280 H. Undang-
undang tersebut mengatur tentang pencatatan wakaf,
sertifikasi wakaf, cara pengelolaan wakaf, upaya mencapai
tujuan wakaf dan melembagakan wakaf dalam upaya
realisasi wakaf dari sisi administratif dan
perundangundangan.
Tahun 1287 H juga dikeluarkan undang-undang yang
menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan
Turki Usmani dan tanah-tanah produktif yang berstatus
wakaf. Dari implementasi undang-undang tersebut di
negara Arab masih banyak tanah yang berstatus wakaf dan
dipraktikkan hingga kini.
Wakaf terus dilaksanakan di negara-negara Islam
hingga sekarang, tidak terkecuali Indonesia. Hal ini tampak

13
dari kenyataan bahwa lembaga wakaf yang berasal dari
agama Islam itu telah diterima (diresepsi) menjadi hukum
adat bangsa Indonesia sendiri. Dan juga di Indonesia
terdapat banyak benda wakaf, baik wakaf benda bergerak
atau benda tidak bergerak.
Di negara-negara Islam lainnya, wakaf mendapat
perhatian yang serius, sehingga wakaf menjadi amal sosial
yang mampu memberikan manfaat kepada masyarakat
umum. Wakaf akan terus mengalami perkembangan
dengan berbagai inovasi yang signifikan seiring dengan
perubahan zaman, semisal bentuk wakaf tunai, wakaf
HAKI (Hak Kekayaan Intelektual) dan lain-lain. Indonesia
juga menaruh perhatian yang serius terhadap wakaf. Hal ini
tampak dengan diajukannya Rancangan Undang-undang
Wakaf (RUU) yang sudah ditandatangani presiden
Megawati Sukarnoputri dan segera diundangkan dalam
waktu dekat sebagai upaya pengintegrasian terhadap
beberapa peraturan perundang-undangan wakaf yang
terpisah.

C. Dasar Hukum Wakaf Tunai


Wakaf tunai dibolehkan berdasarkan: firman Allah,
hadis Nabi dan pendapat Ulama, yaitu:
C.1. Firman Allah:
29

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang


sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta
yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan,

14
maka sesungguhnya Allah mengetahui”. (QS : Ali Imran
[3]: 92).

164

“Perumpamaan (nafakah yang dikeluarkan oleh) orang-


orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, adalah
serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh
butir, pada tiap-tiap butir menumbuhkan seratus biji.
Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang
Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (Karunianya) Lagi
Maha Mengetahui”. (QS : al-Baqarah :
261).
.

C.2. Hadis

Dari Abu Hurairah ra., sesungguhnya Rasulullah SAW


bersabda: “Apabila anak Adam (manusia) meninggal
dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara :
shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh
yang mendoakan orang tuanya”.
(HR. Muslim)

15
8833 1381
8314 4126

"Diriwayatkan dan Ibnu Umar r. a. bahwa Umar bin al


Khathab r.a. memperoleh tanah (kebun) di Khaibar; lalu
ia datang kepada Nabi s.a.w untuk meminta petunjuk
mengenai tanah tersebut. Ia berkata, “Wahai Rasulullah
Saya memperoleh tanah di Khaibãr; yang belum pernah
saya peroleh harta yang lebih baik bagiku melebihi tanah
tersebut; apá perintah Engkau (kepadaku)
mengenainya?” Nabi s.a.w. menjawab: “Jika mau, kamu
tahan pokoknya dan kamu sedekahkan (hasil)-nya.
Ibnu Umar berkata “Maka, Umar menyedekahkan tanah
tersebut, (dengan mensyaratkan) bahwa tanah itu tidak
dijual, tidak di hibahkan dan tidak diwariskan. Ia
menyedekahkan (hasilnya kepada fuqara, kerabat, riqab
(hamba sahaya, orang tertindas), sabilillah, ibnu sabil,
dan tamu. Tidak berdosa atas orang yang mengelolanya
untuk memakan dari (basil) tanah itu secara ma ‘ruf
(wajar) dan memberi makan (kepada orang lain) tanpa
menjadikannya sebagai harta hak milik

16
Rawi berkata “Saya menceritakan hadis tersebut kepada
Ibnu Sirin, lalu Ia berkata ‘ghaira mutaatstsilin malan'
(tanpa menyimpannya sebagai harta hak milik). (H.R. al-
Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi dan al-Nasa’i).

"Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a.; Ia berkata Umar r.a.


berkata kepada Nabi SAW, “Saya mempunyai seratus
saham (tanah, kebun) di Khaibar, belum pernah saya
mendapatkan harta yang lebih saya kagumi melebihi
tanah itu; saya bermaksud menyedekahkannya.” Nabi
s.aw. berkata “Tahanlah pokoknya dan sedekahkan
buahnya pada sabilillah. “(H.R. al-Nasa’ i).

C.3. Pendapat Ulama


Selain ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab
Syafi’i juga membolehkan wakaf tunai.

“Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam Syafi’i tentang


dibolehkannya wakaf dinar dan dirham (uang)”.4

4 Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, tahqiq Dr. Mahmud Mathraji,


(Beirut:
Dar al-Fikr, Juz IX, 1994), hal. 379.
17
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga
membolehkan wakaf tunai. Fatwa komisi fatwa MUI itu
dikeluarkan pada tanggal 11 Mei 2002. Argumentasi
didasarkan kepada hadis Ibn Umar (seperti yang disebutkan
di atas). Pada saat itu, komisi fatwa MUI juga merumuskan
definisi (baru) tentang wakaf, yaitu:

“Menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap


bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan
tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual,
memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan
(hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang
ada”.5

D. Lingkup Sasaran Pemberi Wakaf Tunai (Wakif)


Salah satu rukun wakaf adalah wakif (orang yang
mewakafkan harta). Wakif disyaratkan memiliki kecakapan
hukum atau kamalul ahliyah (legal competent) dalam hal
membelanjakan hartanya. Kecakapan bertindak di sini
meliputi empat kriteria sebagai berikut:

a. Merdeka
Wakaf yang dilakukan oleh seorang budak (hamba
sahaya) tidak sah, karena wakaf adalah pengguguran hak

5 Lihat keputusan komisi fatwa MUI yang dikeluarkan tanggal 11 Mei


1881, yang ditandangani K.H. Ma’ruf Amin (sebagai ketua) dan Drs.
Hasanuddin, M.Ag. (sebagai sekretaris).
18
milik dengan cara memberikan hak milik itu kepada orang
lain. Sedangkan hamba sahaya tidak mempunyai hak milik.
Budak dan apa yang dimilikinya adalah kepunyaan
tuannya. Namun, Abu Zahrah mengatakan bahwa para
fuqaha sepakat bahwa budak boleh mewakafkan hartanya
apabila mendapatkan izin dari tuannya, karena ia sebagai
wakil darinya. Bahkan ulama Adz-Dzahiri (penganut
mazhab Daud Adz-Dzahiri) menetapkan bahwa budak
dapat memiliki sesuatu yang diperoleh dengan jalan waris
atau tabarru’ (berbuat baik). Kalau budak dapat memiliki
sesuatu, berarti ia dapat pula membelanjakan miliknya itu.
Oleh karena itu, ia boleh mewakafkan, walaupun hanya
sebagai tabarru’ saja.6

b. Berakal sehat
Wakaf yang dilakukan oleh orang yang tidak berakal
seperti orang gila tidak sah hukumnya, sebab ia tidak
berakal, tidak mumayyiz dan tidak cakap melakukan akad
serta tindakann lainnya. Demikian juga tidak sah wakaf
orang yang lemah mental (idiot), berubah akal karena
faktor usia, sakit atau kecelakaan, hukumnya tidak sah
karena akalnya tidak sempurna dan tidak cakap untuk
menggugurkan hak miliknya78.

c. Dewasa (baligh)

6 Al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri, (Beirut: Dar al-Fikr, Juz II), hal. 44.
7 Asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj (Kairo: Mushtafa Halabi, Juz II,
tt), hal.
8.
19
Wakaf yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa
(baligh), hukumnya tidak sah karena ia dipandang tidak
cakap melakukan akad dan tidak cakap pula untuk
menggugurkan hak miliknya.9

d. Tidak berada di bawah pengampuan (boros/lalai)


Orang yang berada di bawah pengampuan dipandang
tidak cakap untuk berbuat kebaikan (tabarru’), maka wakaf
yang dilakukan hukumnya tidak sah. Tetapi berdasarkan
istihsan, wakaf orang yang berada di bawah pengampuan
terhadap dirinya sendiri selama hidupnya hukumnya sah.
Karena tujuan dari pengampuan ialah untuk menjaga harta
wakaf supaya tidak habis dibelanjakan untuk sesuatu yang
tidak benar, dan untuk menjaga dirinya agar tidak menjadi
beban orang lain.10
Namun ada kalanya seseorang yang mawakafkan
hartanya, tetapi wakaf tersebut tidak langsung terlaksana,
dan pelaksanaannya dikaitkan dengan kerelaan orang lain.
Ada beberapa hukum wakaf yang berkaitan dengan
masalah ini:

1. Hukum Wakaf Orang Berhutang


(a) Jika ia berada di bawah pengampuan karena hutang dan
mewakafkan seluruh atau sebagian hartanya, sedang
hutangnya meliputi seluruh harta yang dimiliki, hukum
wakafnya sah. Tetapi pelaksanaannya tergantung pada

9 Ibid, hal. 377.


10 Al-Baijuri, Op. Cit., hal 44.
20
kerelaan para krediturnya11. Apabila mereka
merelakannya, maka wakaf dapat terlaksana sebab para
kreditur telah menggugurkan hak mereka untuk
mencegah atau membatalkan wakaf si debitur, tetapi
jika mereka tidak merelakannya, wakaf tidak dapat
dilaksanakan.

Apabila hutang si wakif tidak sampai meliputi seluruh


harta yang dimiliki, maka wakafnya sah dan dapat
terlaksana atas kelebihan harta setelah dikurangi
sebagian untuk melunasi barang, sebab perbuatan
baiknya tidak merugikan para kreditur yang haknya
tergantung pada kemampuan si wakif untuk melunasi
piutang mereka.

(b) Jika ia berada di bawah pengampuan karena hutang,


dan mewakafkan atau sebagian hartanya ketika sedang
menderita sakit parah, maka hukum wakafnya seperti
hukum wakaf orang yang di bawah pengampuan karena
hutang, yakni wakafnya sah tetapi pelaksanaannya
tergantung pada kerelaan para kreditur. Apabila setelah
si wakif meninggal, para kreditur merelakannya, maka
wakafnya dapat dilaksanakan. Tetapi jika mereka tidak
merelakan, maka wakafnya tidak dapat dilaksanakan.
Dan para kreditur berhak menuntut pembatalan semua
wakafnya jika hutang si wakif meliputi seluruh harta
yang dimiliki, atau membatalkan sebagian wakaf
11 Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islami wa ‘Adillatuhu
(Damaskus:
Dar al-Fkr, tt), hal. 7625.
21
sejumlah yang dapat dipakai untuk melunasi hutang
saja, apabila hutangnya tidak meliputi harta yang
dimiliki.

Pada kedua kasus di atas terdapat persamaan, yaitu


unsur ketergantungan hak para kreditur pada
tanggungan dan harta si debitur secara bersama. Hanya
saja dalam kasus pengampuan, terlaksananya wakaf
tergantung pada ada atau tidaknya kerelaan para
kreditur saat terjadinya wakaf. Sedangkan dalam kasus
kedua, dimana si debitur tidak di bawah pengampuan
karena hutang dan mewakafkan hartanya ketika sedang
sakit parah, tidak ada ketergantungan pelaksanaannya
pada ada atau tidaknya kerelaan para kreditur kecuali
setelah si debitur meninggal dunia.

(c) Jika ia tidak di bawah pengampuan karena hutang dan


mewakafkan seluruh atau sebagian hartanya ketika
dalam keadaan sehat, maka wakafnya sah dan dapat
dilaksanakan, baik hutangnya meliputi seluruh harta
yang dimiliki atau hanya sebagian saja. Sebab dalam
kasus ini, tidak ada hak si debitur, yang ada tergantung
hak mereka pada tanggungannya saja. Dan
kemungkinan bahwa setelah wakaf terjadi si debitur
dapat melunasi semua hutangnya, sebab dia masih
sehat.
2. Wakaf Orang Sakit Parah

22
Jika ketika mewakafkan harta tersebut dia masih cakap
untuk melakukan perbuatan baik (tabarru’), maka
wakafnya sah dan dapat dilaksanakan selama dia masih
hidup, sebab selama itu penyakitnya tidak bisa dihukumi
sebagai penyakit kematian. Tetapi jika kemudian si wakif
meninggal karena penyakit yang diderita tersebut, maka
hukum wakafnya sebagai berikut:

(a) Jika meninggal sebagai debitur, maka hukum wakafnya


seperti yang telah dijelaskan dalam poin 1 di atas.
(b) Jika ia meninggal tidak sebagai debitur, maka hukum
wakaf yang terjadi ketika ia sedang sakit seperti
hukumnya wasiat. Yakni jika yang diberi wakaf bukan
ahli warisnya dan harta yang diwakafkan tidak lebih
dari 1/3 (sepertiga) hartanya, maka wakaf terlaksana
hanya sebatas sepertiga hartanya saja, sedangkan
selebihnya tergantung pada kerelaan ahli waris, sebab
kelebihan dari sepertiga harta tersebut adalah menjadi
hak milik mereka (ahli waris).

Jika yang diberi wakaf adalah ahli warisnya, maka


pelaksanaan wakafnya tergantung pada kerelaan ahli
waris lainnya yang tidak menerima wakaf, baik
wakafnya kurang dari sepertiga atau lebih dari harta
yang ditinggalkan. Jika yang diberi wakaf adalah
sebagian ahli waris dan sebagian bukan ahli waris,
maka pelaksanaan wakaf kepada ahli waris tergantung
pada kerelaan ahli waris lainnya, adapun yang bukan
kepada ahli waris, pelaksanaan wakafnya tidak

23
tergantung kepada kerelaan ahli waris selama harta
yang diwakafkan tidak lebih sepertiga hartanya.
Maksudnya ialah jika ahli waris (bukan nazhir)
merelakan, maka wakaf dapat dilaksanakan dan
manfaatnya dapat dibagikan kepada semua mauquf
‘alaih sesuai dengan syarat yang ditetapkan. Tetapi jika
mereka tidak merelakan, wakaf tersebut tetap dibagikan
kepada para mauquf ‘alaih sesuai dengan syarat yang
ditetapkan, hanya saja uang yang menjadi bagian ahli
waris kemudian dibagikan kepada seluruh ahli waris
(yang menjadi nazhir dan yang bukan) sesuai dengan
bagian masing-masing yang sesuai dengan syara’12.

Menilik persyaratan yang dibebankan kepada wakif,


tidak didapatkan bahwa harta yang dimiliki oleh seorang
wakif harus mencapai takaran tertentu sehingga ia dapat
mewakafkan sebagian hartanya. Karena itu dana wakaf,
terutama wakaf tunai dapat dihimpun dari para wakif yang
tidak terbatas dari kelompok masyarakat
tertentu, melainkan dari seluruh masyarakat
yang hendak menyerahkan sebagian hartanya sebagai
wakaf.
Dalam rangka memberi ruang gerak bagi kegiatan
perwakafan dalam era globalisasi, Bank Indonesia
menyodorkan definisi wakaf tunai, yaitu sebagai
penyerahan aset wakaf berupa uang tunai yang tidak dapat
dipindahtangankan dan dibekukan selain untuk

12 Tim Depag, Fiqih Wakaf, (Jakarta: Depag RI, 2003), hal. 24.
24
kepentingan umum yang tidak mengurangi ataupun
menghilangkan jumlah pokoknya13.
Oleh karena itu perbankan syari’ah
dapat menghimpun dana dari anggota
masyarakat yang berpenghasilan tinggi yang akan
memberikan wakaf tunainya dengan menerbitkan Sertifikat
Wakaf Tunai. Penerbitan Sertifikat Wakaf Tunai akan
membuka peluang penggalangan dana yang cukup besar
karena:
 Lingkup sasaran pemberi wakaf tunai (wakif) bisa
menjadi sangat luas dibandingkan dengan wakaf biasa.
 Sertifikat wakaf tunai dapat dibuat dalam berbagai
macam pecahan, yang disesuaikan dengan segmen
muslim yang dituju, yang kira-kira memiliki kesadaran
yang tinggi untuk beramal. Misalnya, pecahan
Rp. 10.000-, Rp. 25.000-, Rp.50.000-, Rp.100.000-, dan
seterusnya.

Muslim kelas menengah senyatanya memiliki


kesadaran yang cukup tinggi untuk beramal. Namun,
karena sarana beramal yang sesuai dengan penghasilan
mereka sangat terbatas, maka akhirnya mereka hanya
beramal pada sektor-sektor tradisional, seperti masjid,
pembangunan mushalla dan lain sebagainya.
Dengan sasaran para wakif, wakaf tunai yang tidak
terbatas seperti ini maka kita dapat membuat perkiraan
perhitungan dana wakaf tunai yang dapat dihimpun dari
masyarakat. Pertama, kita asumsikan bahwa muslim kelas

13 Bank Indonesia, Biro Perbankan Syari’ah.


25
menengah memiliki kesadaran yang cukup tinggi untuk
beramal, selama ini mereka hanya beramal melalui
sektorsektor tradisional. Karena itu jika ada lembaga wakaf
yang dikelola secara profesional, maka hal ini akan
menjadi lahan baru bagi kelas menengah untuk beramal.
Kedua, jumlah muslim kelas menengah diperkirakan
sebesar 10 juta jiwa dengan penghasilan rata-rata per-bulan
Rp. 500.000 - Rp. 10.000.000-. Ketiga, nilai sertifikat
wakaf tunai dibagi ke dalam beberapa besaran nilai mulai
Rp. 5000 hingga Rp.100.000 misalnya, sesuai dengan
besaran distribusi penghasilan muslim kelas menengah
yang ada.
Berangkat dari ketiga asumsi itu, maka paling tidak
akan didapatkan sekitar 3 triliun per tahun dari wakaf tunai.
Angka potensi wakaf tunai akan semakin besar apabila
penghitungan penghitungan potensi wakaf tunai tersebut
juga menyertakan lembaga-lembaga ekonomi selain
muslim kelas menengah. Kegiatan mobilisasi wakaf tunai
dari sektor ekonomi lainnya dapat digunakan untuk
mengurangi berbagai kebocoran dana akibat in-efesiensi
lembaga perpajakan. Sudah menjadi rahasia umum kalau
usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan efesiensi
lembaga perpajakan yang ada berjalan sangat lamban
bahkan mungkin tidak ada kemajuan. Setiap kebijakan
peningkatan penerimaan dari pajak diperkirakan selalu
menimbulkan berbagai distorsi yang mengganggu jalannya
perekonomian dan pada akhirnya konsumen yang harus
menanggung ongkosnya. Oleh karena itu, mobilisasi dana
masyarakat melalui wakaf tunai diharapkan akan mampu

26
untuk meningkatkan efesiensi kegiatan perekonomian yang
ada.
Dan juga dana wakaf tunai dapat dihimpun dari Usaha
Kecil dan Menengah serta Koperasi (UKMK) misalnya 14.
Adi Sasono (mantan Menteri Negara Koperasi dan
pemberdayaan UKMK, masa pemerintahan presiden B.J.
Habibie) memperkirakan, kalau pemerintah mau
memberdayakan kegiatan yang berasal dari UKMK, maka
kegiatan UKMK akan mampu meningkatkan penerimaan
yang dari pajak sebesar Rp. 400 triliun 15. Jika tidak seluruh
tambahan pendapatan tersebut dijadikan penerimaan
negara, tapi 2,5 % darinya dialihkan dalam bentuk wakaf
tunai, maka akan terkumpul wakaf tunai dari sektor ini
sebesar Rp. 10 triliun.
Dengan demikian jumlah wakaf tunai yang dapat
dihimpun dari 10 juta eksekutif muslim Indonesia serta dari
peningkatan kegiatan UKMK adalah sebesar Rp.13 triliun.
Analisa di atas dapat dilanjutkan bahwa potensi dana wakaf
tunai yang dapat dihimpun dari masyarakat melalui
lembaga wakaf profesional sangat besar jumlahnya. Oleh
karena pemberdayaan lembaga perwakafan yang
merupakan salah satu instrumen finansial dalam sistem

14 Wakif yang berupa institusi seperti ini memang belum dijelaskan


secara panjang lebar di dalam fiqih, tapi realitas menunjukkan bahwa setiap
lembaga usaha dapat dipastikan memiliki alokasi budget untuk kegiatan
sosial, kalau misalnya budget tersebut digunakan untuk membeli Sertifikat
Wakaf Tunai, maka dana wakaf tunai yang dapat dihimpun dari institusi
sangat besar jumlahnya.
15 Mahmudi, Mempertegas Pembangunan Ekonomi Kerakyatan,
(Harian Umum Republika, Nopember 2001)
27
ekonomi Islam mendesak untuk direalisasikan. Dan dana
wakaf yang terkumpul tersebut hendaknya dimanfaatkan
secara produktif agar supaya yang merasakan manfaat dari
dana wakaf tersebut seluruh masyarakat tanpa kecuali. Dan
pada akhirnya akan tercipta kesejahteraan lahir dan batin.
Dana wakaf yang terkumpul tersebut merupakan dana
abadi yang seyogyanya harus ada hingga akhir zaman yang
akan terus memberi manfaat bagi masyarakat maupun si
pemberi wakaf (wakif). Dapat dibayangkan betapa besar
dana wakaf yang akan terkumpul secara kumulatif dari
tahun ke tahun yang dapat dijadikan sebagai Modal Sosial
Abadi16.
Untuk merealisasikan gagasan yang baik di atas
tentunya membutuhkan langkah-langkah yang sistematis
dengan memaksimalkan sumber daya manusia yang ada
baik dari pemerintah maupun dari masyarakat

16 Mustafa E. Nasution, Wakaf Tunai: Strategi untuk


Menyejahterakan dan Melepaskan Ketergantungan Ekonomi, (Makalah
Workshop Internasioanl,
“Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Wakaf Produkstif”, di Wisma Haji
Batam, 7-8 Januari 2002), hal. 16..
28
Bagian Kedua WAKAF TUNAI DAN
PEMBANGUNAN EKONOMI

A. Membuka Kebuntuan Wakaf


Perbincangan tentang wakaf tunai mulai mengemuka
belakangan. Hal ini terjadi seiring berkembangnya sistem
perekonomian dan pembangunan yang memunculkan
inovasi-inovasi baru. Wakaf tunai sebagai instrumen
finasial (finacial instrument), keuangan sosial dan
perbankan sosial
(social finance and vuluntary sector banking), menurut
M.A. Mannan (2002) memang merupakan suatu produk
baru dalam sejarah perekonomian Islam. Instrumen finasial
yang dikenal dalam perekonomian Islam selama ini
berkisar pada murabahah17 untuk membiayai sektor
perdagangan dan mudharabah18 atau musyarakah19 untuk
membiayai investasi di bidang industri dan pertanian. Bank
juga tidak mau menerima tanah atau aset lain yang
merupakan harta wakaf untuk dijadikan jaminan. Karena

17 Penjualan dengan menggunakan prinsip murabahah adalah jual


beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati.
Penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan
suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Baca: Muhammad Syafi’i
Antonio, Bank Syari’ah,…..Op. Cit, hal. 101
18 lihat footnote No.3
19 Al-Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih
untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan
kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa
keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan. Lihat: Syafi’I Antonio, Op.Cit, hal. 90.
31
harta wakaf bukan hak milik, melainkan hak pakai terhadap
manfaat harta wakaf itu.
Selain itu, umat Islam kerap mempersepsikan wakaf
sebagai sumbangan berupa aset tetap (property of
permanent) oleh seorang muslim dengan tujuan murni
ketaqwaan. Konsep wakaf seperti yang dipahami umat
Islam ini sangat kurang, sehingga tidak dibahas dalam
berbabagi literatur ekonomi Islam. Wakaf hanya
disinggung sedikit oleh M. Umer Chappra dalam buku-
bukunya termasuk dalam bukunya yang mutakhir, The
Future of Islamic Economics, sebuah buku yang paling
komprehensif mengenai ekonomi pembangunan.
Munculnya gagasan wakaf tunai memang mengejutkan
karena berlawanan dengan persepsi umat Islam yang
terbentuk bertahun-tahun lamanya. Wakaf tunai bukan
merupakan aset tetap yang berbentuk benda tak bergerak
seperti tanah, melainkan aset lancar. Diakomodirnya wakaf
tunai dalam konsep wakaf sebagai hasil interpretasi radikal
yang mengubah definisi atau pengertian mengenai wakaf.
Tafsiran baru ini dimungkinkan karena berkembangnya
teori-teori ekonomi. Untuk mengkonsepsi wakaf tunai
sebagai bagian dari konsepsi wakaf, Majelis Ulama
Indonesia (MUI) memperkenalkan definisi baru tentang
wakaf, yaitu; “menahan harta (baik berupa aset tetap
maupun aset lancar-pen.) yang dapat dimanfaatkan tanpa
lenyap bedanya atau pokoknya, dengan cara tidak
melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut
(menjual, memberikan atau mewariskannya), untuk di

32
salurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak
haram) yang ada”.20
Kalau kita melihat hadis yang dijadikan dasar
argumentasi wakaf, ternyata wakaf itu berbeda dengan
zakat atau sadaqah, tapi masih bisa dikategorikan ke dalam
konsep infaq. Jadi, infaq mencakup wakaf. Istilah wakaf itu
sendiri tidak terdapat dalam Al-Quran, tetapi lahir dari
pandangan Nabi Muhammad SAW yang menjawab
pertanyaan Umar bin Khattab, ketika ia ingin
menginfaqkan sebidang tanahnya yang subur di Khaibar.
Nabi pada waktu itu menawarkan, bagaimana jika kebun
itu dijadikan “babon” saja dan dipelihara kekekalannya,
sedang yang dimanfaatkan adalah hasilnya. Dari sini dapat
ditarik kesimpulan, yang implisit, bahwa tanpa mengelola
tanah tersebut tidak mungkin dapat memanfaatkan
hasilnya. Dengan demikian, jika di atas tanah tersebut
langsung dibangun masjid, maka masjid tidak bisa
menghasilkan suatu produk yang dimanfaatkan. Tapi jika
tanah tersebut digarap dengan dimanfaatkan sebagai kebun
kurma misalnya, maka hasilnya dapat dimanfaatkan,
termasuk untuk membangun masjid. Kenyataannya, hasil
wakaf itu diperuntukkan untuk menyantuni fakir-miskin.
Namun sekarang ini, dalam praktiknya wakaf langsung
dikonsumsi.
Dari praktik pengamalan wakaf, dewasa ini tercipta
suatu image atau persepsi tertentu mengenai wakaf.
Pertama, wakaf itu umumnya berujud benda tidak

20 Lihat Surat Keputusan (SK) Komisi Fatwa MUI Pusat tertanggal 11


Mei 2002/ 28 Shafar 1423.
33
bergerak, terutama tanah. Kedua, dalam praktik, di atas
tanah wakaf itu biasanya didirikan masjid atau madrasah.
Ketiga, penggunaan wakaf didasarkan kepada wasiat
pemberi wakaf (wakif). Selain itu, juga terdapat penafsiran
bahwa untuk menjaga kekalannya, tanah wakaf itu tidak
boleh diperjual belikan. Akibatnya di Indonesia, bank-bank
tidak mau menerima tanah wakaf sebagai agunan
pinjaman. Padahal jika tanah wakaf bisa digunakan, maka
organisasi massa (Ormas) semacam NU, Muhammadiyah
dan universitas bisa mendapatkan dana pinjaman yang
diputarkan, dan menghasilkan sesuatu. Demikian pula,
penggunaan tanah wakaf dari wakif yang berbeda tidak
bisa digabungkan, karena seolah-olah aset wakaf telah
kehilangan identitas individual wakifnya. Padahal jika
beberapa harta wakaf bisa dikelola bersama, maka bisa
dihimpun berbagai sektor produksi untuk suatu investasi,
kalau perlu dengan menjual suatu aset wakaf untuk
dijadikan modal finansial. Penjualan harta wakaf semacam
ini, konon telah diperbolehkan di Libya, dengan catatan
dana hasil penjualan itu digabungkan dengan harta lain
yang statusnya masih merupakan harta tetap. Karena
dengan penjualan itu, maka harta wakaf secara bersama-
sama dapat menjadi aset produktif (keuntungan, uang)
yang dapat dimanfaatkan untuk umat21.
Perkembangan ekonomi dan pembangunan yang
memacu timbulnya gagasan adanya wakaf di antaranya
21 M. Dawam Rahardjo, Pengorganisasian Lembaga Wakaf dalam
Pemberdayaan Ekonomi Umat, (Makalah Workshop Internasioanl,
“Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Wakaf Produkstif”, di Wisma Haji
Batam, 7-8 Januari 2002), hal. 7. Tidak Diterbitkan.
34
karena berkembangnya sistem perekonomian Islam.
Berkembangnya sistem perekonomian Islam tidak lepas
dari “kegagalan” sistem perekonomian konvensional;
sistem ekonomi kapitalis dan sistem ekonomi sosialis.
Sistem ekonomi kapitalis gagal menjadikan masyarakat
adil dan sejahtera. Sistem ekonomi kapitalis lebih
mengutamakan keuntungan yang sebanyak-banyaknya dan
membiarkan penumpukan modal di segelintir kelompok
tertentu (pemilik modal) dan tidak distribusikan secara adil
kepada masyarakat, terutama fakir-miskin. Sistem ekonomi
kapitalis mempercayakan transaksi ekonomi ke pasar,
menihilkan peran negara dalam regulasi ekonomi, sehingga
yang terjadi bukannya persaingan yang sehat, melainkan
menyebabkan terjadinya persaingan yang timpang. Pemilik
modal besar dapat memainkan pasar, sedang pemilik modal
kecil atau konsumen harus tunduk terhadap pasar yang
ditentukan oleh pemilik modal besar. Juga, sistem ekonomi
kapitalis rentan terhadap berbagai guncangan (untuk tidak
mengatakan rentan terhadap krisis). Sebagai contoh adalah
krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997.
Keguncangan yang kerap menghantam sistem ekonomi
kapitalis karena segala transaksi ekonomi dipatok dengan
standar nilai uang dollar AS. Padahal nilai uang dollar AS
fluktuatif tergantung kondisi sosial-politik yang
melingkupinya. Ketika kondisi sosial-politik mengalami
gonjang-gonjing, maka berimplikasi terhadap
gonjangganjingnya nilai dollar AS.
Sistem ekonomi sosialis, awalnya sangat menjanjikan
kesetaraan dan pemerataan bagi seluruh masyarakat. Tapi

35
ternyata kesetaraan dan pemerataan yang dijanjikan itu
utopis belaka. Secara alamiah, manusia memang
berbedabeda sesuai dengan status sosial yang melekat pada
dirinya, karena itu otupis untuk diciptakan kesetaraan dan
pemerataan secara sama. Untuk mewujudkan kesetaraan
dan pemerataan yang diinginkan, sistem ekonomi sosialis
mengandaikan adanya campur tangan negara terhadap
regulasi ekonomi, ternyata campur tangan negara itu
bukannya menguntungkan masyarakat banyak, melainkan
menguntungkan partai yang menjadi penguasa negara.
Akhirnya yang banyak menikmati keuntungan dari sistem
ekonomi sosialis bukanlah masyarakat, melainkan
sekelompok masyarakat yang berafiliasi dengan partai
yang menjadi penguasa. Kalau Cina sekarang mengalami
kemajuan ekonomi yang pesat, walau pemerintahnya
menganut komunisme yang lazimnya menganut sistem
ekonomi sosialis, karena Cina sekarang mulai membuka
diri terhadap model ekonomi kapitalis, misalnya mentolerir
transaksi ekonomi ditentukan pasar walau negara masih
turut campur. Turut campurnya negara dalam meregulasi
transaksi ekonomi tidak lebih untuk melindungi msyarakat,
terutama fakir-miskin22.
Sedang sistem ekonomi dalam Islam tidak hanya
terkait dengan masalah ekonomi abadi manusia, melainkan
juga terkait dengan anjuran Ilahi sebagaimana termaktub
dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Selain itu sistem ekonomi
22 Untuk mengetahui lebih lanjut perbandingan tentang sistem
ekonomi kapitalis, sosialis dan Islam, baca: Prof. M. Abdul Mannan, M.A.,
Ph.D, Teori dan Praktik Ekonomi Islam, ( Yogyakarta: PT Dana Bhakti
Prima Yasa, 1997), terutama bagian IV.
36
Islam juga mengacu pada meningkatnya output dari setiap
jam kerja yang dilakukan. Telah diketahui bahwa output
perkapita, disatu pihak tergantung pada sumber daya alam
dan di lain pihak tergantung pada perilaku manusia. Tetapi
sumber daya alam saja bukan merupakan kondisi yang
cukup untuk pembangunan ekonomi, dan bukan sesuatu
yang mutlak diperlukan. Perilaku manusia memainkan
peranan yang sangat penting dalam pembangunan
ekonomi, sehingga tercipta masyarakat yang sejahtera.
Namun pembentukan perilaku manusia di negara
berkembang, termasuk Indonesia adalah suatu proses yang
menyakitkan, karena memerlukan penyesuaian dengan
lembaga-lembaga sosial, ekonomi, hukum dan politik.
Tidak seperti agama lainnya, Islam mengakui kebutuhan
metafisik maupun material dari kehidupan. Karena itu
masalah penempaan perilaku manusia di suatu negara
Islam tidaklah sesulit di negara-negara sekular.
Islam dapat diperlakukan sebagai suatu faktor dalam
pembanguan ekonomi. Di sini para ahli ekonomi harus
berperan sebagai seorang bidan, yang menolong lahirnya
hasil yang sudah berujud dari ide dan kemungkinan
terakhir yang dapat dikaitkan dengan faktor religius dan
kultural Islam. sekarang ini negara-negara Islam dalam
posisi yang lebih baik untuk melakukan usaha
pembangunan yang lebih besar, karena dua sebab:
1. Banyak sumber daya yang belum diketahui di abad
ke19. Kini telah dapat dicapai oleh negara-negara
Islam. Pada tahun 1920 sumber minyak di Timur
Tengah ditaksir hanya sebanyak lima persen dari

37
sumber minyak dunia. Sekarang angka itu diperkirakan
sejumlah delapan puluh lima persen.
2. Nilai Islam dapat digunakan untuk menyesuaikan
lembaga sosio-ekonomik dan sosio-politik yang
merugikan, dan untuk membentuk prilaku manusia.
Pengalaman pembangunan negara Islam sejak tahun
1950-an (kecuali beberapa negara Islam yang kaya
minyak) terutama di negara-negara yang paling tidak
berkembang, sangat mengecewakan. Secara relatif
dapat dikatakan bahwa negara-negara Islam yang
paling tak berkembang itu lebih miskin dari sedia kala.
Telah ditekankan bahwa penyediaan tingkat minimum
kehidupan seperti, sandang, pangan, dan perumahan
harus mendapat perhatian utama negara Islam.
Seterusnya, juga telah dikemukakan bahwa eksploitasi
sumber daya, untuk keperluan perkembangan dan alih
teknologi harus ditekankan. Namun, usaha menyeluruh
harus dilakukan untuk memajukan negara-negara Islam,
yaitu di bidang pertanian, karena sebagai negara Islam
adalah negara agraris dan juga perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.23

B. Wakaf Tunai dan Pemberdayaan Ekonomi


Dalam sistem ekonomi Islam, wakaf belum banyak
dieksplorasi semaksimal mungkin, padahal wakaf sangat
potensial sebagai salah satu instrumen untuk pemberdayaan
ekonomi umat Islam. Karena itu institusi wakaf menjadi
sangat penting untuk dikembangkan. Apalagi wakaf dapat
23 Ibid, hal.394.
38
dikategorikan sebagai amal jariyah yang pahalanya tidak
pernah putus, walau yang memberi wakaf telah meninggal
dunia.
Sepanjang sejarah Islam, wakaf telah memerankan
peran yang sangat penting dalam pengembangan
kegiatankegiatan sosial, ekonomi dan kebudayaan
masyarakat Islam. Selain itu keberadaan wakaf juga telah
banyak memfasilitasi para sarjana dan mahasiswa dengan
berbagai sarana dan prasarana yang memadai untuk
melakukan riset dan pendidikan, sehingga dapat
mengurangi ketergantungan dana pada pemerintah.
Kenyataan menunjukkan, institusi wakaf telah
menjalankan sebagian dari tugas-tugas institusi pemerintah
atau kementerian-kementerian khusus, seperti Departemen
Kesehatan, Pendidikan dan Sosial. Terdapat bukti-bukti
yang mendukung pernyataan bahwa sumbersumber wakaf
tidak saja digunakan untuk membangun perpustakaan,
ruang-ruang belajar, tetapi juga untuk membangun
perumahan siswa, kegiatan riset seperti untuk foto copy,
pusat seni dan lain-lain.
Meskipun sepanjang sejarah Islam, wakaf telah
memainkan peran yang sangat penting dalam
pembangunan masyarakat muslim, namun kita juga
menjumpai berbagai kenyataan bahwa pengelolaan wakaf
selain memperlihatkan berbagai kemajuan yang
mengagumkan, tapi juga memperlihatkan berbagai
penyelewengan. Salah urus (mis-management) kerap kali
terjadi. Oleh karenanya, strategi pengelolaan yang baik
perlu diciptakan untuk mencapai tujuan di adakannya

39
wakaf24. Wakaf hendaknya dikelola dengan baik dan
diinvestasikan ke dalam berbagai jenis investasi, sehingga
hasilnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat
banyak. Pengelolan wakaf diserahkan kepada Nazhir, baik
dari pemerintah maupun dari masyarakat25.
Tujuan utama dinvestasikannya dana wakaf adalah
untuk mengoptimalkan fungsi harta wakaf sebagai
prasarana untuk meningkatkan kualitas hidup dan
kehidupan sumber daya insani. Menurut Monzer Kahf (ahli
ekonomi Islam)26, gagasan untuk menginvestasikan dana
wakaf, misalnya untuk mengkonstruksi harta bergerak yang
diwakafkan atau untuk meninggalkan modal harta tetap
wakaf tidak dibahas dalam fikih klasik. Kahf membedakan
model investasi wakaf ke dalam dua model; model
pembiayaan harta wakaf tradisional dan model pembiayaan
secara institusional.

1. Model pembiayaan harta wakaf secara tradisional


Buku-buku fikih klasik menjelaskan bahwa
pembiayaan harta wakaf tradisional terdapat lima model
pembiayaan rekonstruksi harta wakaf, yaitu Pinjaman,
Hukr (kontrak sewa jangka panjang dengan pembayaran
24 H.A.R. dan I.H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam,
(KarachiPakistan, South Asian Publication, 1981), hal. 624-628.
25 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah sebagai Pengelola
Dana Wakaf (Makalah Workshop Internasioanl, “Pemberdayaan Ekonomi
Umat Melalui Wakaf Produkstif”, di Wisma Haji Batam, 7-8 Januari 2002),
hal. 4.
Tidak Diterbitkan.
26 Monzer Kahf, Finacing the Development of Auqaf Properti, (Kuala
Lumpur: Irti, 1998), hal. 13-38.
40
lump sum yang cukup besar dimuka), Al-Ijaritain (sewa
dengan dua pembayaran), menambah harta wakaf baru, dan
penukaran pengganti (substitusi) harta wakaf. Dari kelima
model ini hanya penambahan harta wakaf baru yang
menciptakan penambahan pada modal wakaf dan
peningkatan kapasitas produksi. Sedang empat model yang
lain lebih banyak kepada membiayai operasional dan
mengembalikan produktifitas harta wakaf seperti semula.
Pinjaman digunakan untuk membiayai operasional dan
pemeliharaan harta wakaf. Sebelum harta wakaf
dipinjamkan, maka syaratnya harus mendapat izin dari
dewan pengawas. Di dalam fikih, misalnya kita
mendapatkan pembahasan tentang pinjaman yang
dilakukan untuk merekonstruksi atau membangun kembali
harta wakaf yang telah rusak atau terbakar. Pinjaman dapat
diperoleh dari perorangan maupun dari lembaga keuangan.
Model hukr diperkenalkan oleh fuqaha’ guna
mensiasati larangan menjual harta wakaf. Daripada
menjual harta wakaf, maka Nazhir (pengelola wakaf) dapat
menjual hak dari harta wakaf dengan cara disewakan dalam
jangka waktu yang lama, dan hasil sewa harta wakaf itu
dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf.
Model Ijaratain menghasilkan sewa dalam waktu yang
lama dan terdiri dari dua bagian, yaitu pertama, berupa
uang muka lumpsum yang besar untuk merekonstruksi
harta wakaf, dan kedua, sewa tahunan. Pembayaran sewa
tahunan ini tidak dilakukan sekaligus, melainkan secara
periodik sesuai dengan masa sewa. Model ijaratain ini
hampir sama dengan hukr. Tapi titik bedanya, hukr hanya

41
digunakan untuk membiayai pemeliharaan harta wakaf
yang bersangkutan, sedang ijaratain hasil sewa dapat
dimanfaatkan sesuai dengan kesepakatan sebagaimana
tercantum dalam kontrak.
Menambah harta baru terhadap wakaf yang lama,
misalnya perluasan Masjid Nabi Muhammad SAW di
Madinah yang diperluas selama pemerintahan Khalifah
Umar, Usman, Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah.
Perluasan masjid itu dapat diartikan sebagai penambahan
harta baru terhadap harta wakaf yang lama.
Model substitusi berarti suatu pertukaran harta wakaf
yang satu dengan harta wakaf yang lain. Pertukaran ini
dilakukan karena harta wakaf yang awal tidak lagi
bermanfaat atau kurang bermanfaat. Secara prinsip
pertukaran harta wakaf ini tidak menyebabkan terjadinya
peningkatan harta wakaf, hanya dapat memproduktifkan
harta wakaf.

2. Model pembiayaan secara institusional.


Fikih terus berkembang, karena itu model transaksi
keuangan juga berkembang seiring dengan
tumbuhberkembangnya lembaga keuangan Islami. Harta
wakaf dapat diinvestasikan guna membiayai proyek-proyek
tertentu yang menguntungkan. Yang harus diperhatikan
dalam menginvestasikan dana wakaf harus berpegang
teguh pada prinsip-prinsip investasi yang Islami, yaitu
prinsip berbagi hasil, resiko, jual beli, dan sewa27.

27 H. Karnaen A. Pewawataatmadja, S.E, MPA, Alternatif Investasi


Dana Wakaf, (Makalah Workshop Internasioanl, “Pemberdayaan Ekonomi
42
Investasi dana wakaf dengan beragam modelnya
seyogyanya dilakukan oleh Nazhir profesional. Menurut
fikih ada dua pandangan terhadap posisi Nazhir dalam
kaitannya dengan masalah wakaf. Pertama, pendapat yang
mengatakan bahwa Nazhir adalah penerima, penyalur
sekaligus pengelola harta (dana) wakaf. Kedua, pendapat
yang menyatakan bahwa Nazhir hanyalah sebagai
penerima dan penyalur harta (dana) wakaf, sedangkan
pengelolaan harta (dana) wakaf harus dipisahkan dengan
wewenang penerimaan dan penyaluran untuk menghidari
adanya kemungkinan negatif (moral hazard). Menilik
kedua pendapat ini, maka Nazhir yang memungkinkan
mengelola wakaf dengan menginvestasikannya di sektor
yang menguntungkan adalah pendapat yang pertama,
sedang bagi pendapat yang kedua, siapapun yang
mengelola harta (dana) wakaf agar produktif tidak
dijelaskan.
Munculnya bank-bank Syari’ah, terutama yang
dimotori oleh bank-bank konvensional seperti BNI
Syari’ah, Mandiri Syari’ah, Danamon Syari’ah dan lainnya
menimbulkan optimisme di kalangan umat Islam dalam
kaitannya dengan pengelolaan harta (dana) wakaf secara
produktif. Untuk harta wakaf yang berujud harta tidak
bergerak seperti tanah dan bangunan, pihak bank Syari’ah
bisa menerima jika dijadikan agunan/jaminan kredit
sejumlah dana dalam rangka pengembangan harta wakaf

Umat Melalui Wakaf Produkstif”, di Wisma Haji Batam, 7-8 Januari 2002),
hal. 4.
Tidak Diterbitkan.
43
yang lain. Sedangkan kalau dalam bentuk wakaf tunai,
pihak bank langsung bisa mengelola, mengembangkan dan
menyalurkan harta (dana) wakaf yang dipercayakan kepada
bank tersebut.
Difungsikannnya perbankan Syari’ah sebagai Nazhir
setidaknya memiliki beberapa keunggulan yang diharapkan
dapat mengoptimalkan operasionalisasi harta (dana) wakaf,
yaitu: (1) Memiliki jaringan kantor; (2) Kemampuan
sebagai fund manager; (3) Pengalaman, jaringan-jaringan
informasi dan peta distribusi; dan (4) Memiliki citra positif.
Kantor perbankan Syari’ah lebih luas dibandingkan
dengan lembaga keuangan Syari’ah lainnya. Keunggulan
ini memaksimalkan peran perbankan Syari’ah dalam
mengelola harta (dana) wakaf baik langsung maupun tidak
langsung. Menurut catatan Bank Indonesia (2001),
perbankan Syari’ah memiliki jaringan kantor diseluruh
Indonesia menacapai 174 kantor dan pertumbuhan jumlah
kantor Syari’ah perbulan mencapai 2,1 persen. Fenomena
ini menjadi faktor penting di dalam mengoptimalkan
sosialisasi penggalangan dana wakaf dan penyalurannya.
Dengan jaringan kantor yang luas itu, diharap
keberadaan produk wakaf tunai akan tersosialisasi secara
maksimal, apalagi masyarakat memiliki akses yang tinggi
terhadap jasa perbankan. Sebagai implikasi dari
maksimalnya sosialisasi wakaf tunai dan jaringan kantor
yang luas, maka tahap berikutnya penggalangan dana
wakaf tunai juga akan maksimal. Begitu juga dengan
aktifitas penyalurannya, karena jaringan kantor yang luas

44
akan sangat membantu efektifitas dan efesiensi
penyampaian harta (dana) wakaf kepada mauquf ‘alaih.
Pada dasarnya, perbankan merupakan lembaga
pengelol dana (masyarakat). Karena itu, lembaga
perbankan seyogyanya memiliki kemampuan untuk
mengelola dana (fund manager). Terkait dengan wakaf
tunai, lembaga perbankan merupakan lembaga pengelola
dana wakaf yang patut dipertimbangkan, karena bisa
mempertanggungjawabkan pengelolaannya kepada publik,
terutama kepada wakif. Dengan memahami bahwa pilihan
produk keuangan Syari’ah masih terbatas di pasar dalam
negeri, maka pilihan untuk menginvestasikan dana wakaf
pada produk-produk Syari’ah di pasar internasional terbuka
lebar. Selain itu, penanaman modal di pasar internasional
juga dapat dipandang sebagai upaya memperkecil resiko,
melalui diversifikasi investasi dana. Untuk itu, efektifitas
dan optimalisasi pengelolaan dana perbankan Syari’ah
memiliki akses dan sekaligus berperan dalam pasar uang
internasional.
Pengalaman, jaringan informasi, dan peta distribusi
menjadi faktor yang sangat penting bagi perbankan
Syari’ah dalam mengoptimalkan pengelolaan dana wakaf
tunai. Jaringan informasi serta peta distribusi juga
memungkinkan untuk terbentuknya database informasi
mengenai sektor usaha maupun debitur yang akan dibiayai
termasuk oleh dana eks wakaf. Dalam kaitan dengan wakaf
tunai, maka pengelolaan wakaf tunai oleh lembaga
perbankan, tidak saja akan mengoptimalkan pengelolaan
dana wakaf, akan tetapi juga akan mengefektifkan

45
penyaluran dana wakaf tunai sesuai dengan yang
diinginkan oleh wakif.
Selain itu, pengalaman, jaringan informasi, dan peta
distribusi merupakan faktor positif bagi lembaga
pembankan Syari’ah. Sehingga diharapkan akan
menimbulkan citra poisitif terhadap gerakan wakaf tunai
itu sendiri maupun pada perbankan Syari’ah khususnya.
Pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI)
terhadap perbankan Syari’ah akan menimbulkan
akuntabilitas yang positif dari pengelolaan wakaf tersebut.
Pemunculan citra positif tersebut dipandang penting, tidak
saja utuk menyukseskan serta mengoptimalkan keberadaan
wakaf tunai, akan tetapi juga sebagai upaya untuk
menghindari citra yang kurang baik, seperti halnya yang
terjadi pada pengelolaan dana pada umumnya28.
Dengan melibatkan lembaga keuangan Syari’ah dalam
pengelolaan wakaf tunai, maka selain produktif, wakaf
akan bisa diinvestasikan ke dalam berbagai jenis investasi
yang menguntungkan. Dengan demikian, masyarakat
(mauquf ‘alaihi) yang akan merasakan manfaat dari hasil
dana wakaf semakin banyak. Akhirnya, area garapan dana
wakaf untuk digunakan memberdayakan umat Islam
semakin beragam. Wakaf juga berbeda dengan zakat, tapi
keduanya sama-sama instrumen keuangan dalam sistem
ekonomi Islam. Dalam hukum Islam wakaf tidak
diwajibkan, melainkan secara suka rela, sedang zakat

28 Tim Depag, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif


Strategis di Indonesia, (Jakarta: Depag RI, 2003), hal.52-54.
46
merupakan kewajiban terhadap seseorang ataupun terhadap
harta yang telah mencapai takaran tertentu.
Zakat wajib karena merupakan salah satu rukun Islam
yang dibebankan kepada harta kekayaan seseorang
menurut aturan tertentu. Dalam Al-Qur’an, zakat disebut
sebanyak 82 kali (A.M. Saefuddin, 1984: 68) dan selalau
dirangkaikan dengan shalat (sembahyang yang merupakan
rukun Islam kedua. Hal ini menunjukkan bahwa (lembaga)
zakat sangat penting. Sedang shalat merupakan sarana
komunikasi utama antara manusia dengan Tuhan. Zakat
yang disebut Al-Qur’an setelah shalat, adalah sarana
komunikasi utama antara manusia dengan manusia lain
dalam masyarakat. Karena itu lembaga zakat sangat
penting dalam menyusun kehidupan yang humanis dan
harmonis. Peranan zakat, baik zakat harta maupun zakat
fitrah, dalam pemerataan pendapatan akan lebih kentara
kalau dihubungkan dan dilaksanakan bersama dengan nilai
instrumental lainnya yakni pelarangan riba29.
Sedang Abdul Mannan, membedakan antara wakaf,
sadaqah dan hibah. Dari tata-cara transaksinya wakaf dapat
dipandang sebagai salah satu bentuk amal yang mirip
dengan sadaqah. Yang membedakannnya adalah dalam
sadaqah, baik substansi (asset) maupun hasil/manfaat yang
diperoleh dari pengelolaannya, seluruhnya ditransfer
(dipindahtangankan) kepada yang berhak menerimanya,
sedangkan pada wakaf, yang ditransfer hanya

29 Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam; Zakat dan Wakaf,


(Jakarta: UI Press, 1988), hal.9.
47
hasil/manfaatnya, sedangkan substansi/assetnya tetap
dipertahankan.
Sementara itu, perbedaan wakaf dengan hibah adalah,
dana hibah, substansi/assetnya dapat dipindahtangankan
dari seseorang kepada orang lain tanpa ada persyaratan,
sedang pada wakaf ada persyaratan penggunaan yang telah
ditentukan wakif. Tujuannya sama-sama dilandasi
semangat keagamaan. Dengan demikian, jelaslah bahwa
hasil yang diperoleh dari pengelolaan asset wakaf tidak
dapat dianggap sebagai zakat yang hukumnya wajib. Dan
penerima zakat telah ditetapkan oleh Al-Qur’an sebanyak 8
golongan.30 Dibandingkan dengan instrumen keuangan lain
dalam sistem ekonomi Islam, maka dana wakaf tampak
fleksibel untuk digunakan sebagai sarana pemberdayaan
terhadap umat Islam.

C. Wakaf Tunai sebagai Dana Publik


Sejak awal harus disadari bahwa wakaf, tidak
terkecuali wakaf tunai merupakan dana publik. Karena
dana wakaf dihimpun dari masyarakat luas yang dengan
suka rela menyisihkan hartanya untuk diwakafkan. Wakaf
seyogyanya dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat
luas pula. Karena itu, agar pemanfaatkan wakaf untuk
kepentingan luas maksimal, pengelolaannya harus
dilakukan secara profesional, transparan dan dapat
dipertanggungjawabkan. Tiga syarat ini (profesional,

30 Prof. Dr. M. Abdul Mannan, M.A., Ph.D., Sertifikat Wakaf Tunai,


Sebuah Inovasi Keuangan Islam (terjemahan), (Jakarta: CIBER dan PKTTI
UI, 2002), hal. 16.
48
transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan) tidak bisa
ditawar lagi dalam pengelolaan wakaf, lebih-lebih wakaf
tunai. Lembaga apapun yang telah memenuhi tiga syarat
tersebut, pantas untuk mengelola wakaf tunai. Tiga syarat
tersebut menjadi sangat penting dalam pengelolaan wakaf
tunai, karena hak wakif (pemberi wakaf) atas asset (wakaf
tunai) telah hilang. Tapi wakif sebagai konsumen dari
pengelola wakaf memiliki hak, antara lain: 1. Hak untuk
mendapatkan informsi yang benar, jelas dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; 2. Hak
untuk didengar saran dan keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang digunakan; dan 3. Hak mendapatkan pembinaan
dan bimbingan sebagai konsumen (dari lembaga pengelola
wakaf tunai). Hak yang ketiga ini penting terutama bagi
mereka yang pengetahuan agamanya tidak memadai.
Banyak masyarakat yang ingin mewakafkan hartanya tapi
mereka tidak mengetahui teknisnya. Tiga hak wakif
sebagai konsumen dari lembaga pengelola wakaf ini dapat
dipenuhi, hanya oleh lembaga yang telah memenuhi
persyaratan seperti disebutkan di atas.
Selain itu, agar wakaf tunai memberikan manfaat yang
riil terhadap masayarakat luas, seyogyanyalah lembaga
pengelola wakaf tunai menggunakan manajemen yang
profesional. Manajemen wakaf tunai melibatkan tiga pihak,
yaitu: (1) Pemberi wakaf (wakif), (2) Pengelola wakaf
(Nazhir). Nazhir ini, nantinya juga bertindak sebagai
manajer investasi, dan (3) Beneficiary (mauquf
alaihi/masyarakat yang diberi wakaf). Wakif akan
memberikan uangnya sebagai wakaf kepada lembaga

49
pengelola wakaf dan keuntungannya didistribusikan kepada
masyarakat luas yang membutuhkan. Karena itu, lembaga
pengelola wakaf tunai seyogyanya memenuhi kriteria
sebagai berikut:
 Memiliki akses yang baik kepada calon wakif
 Memiliki kemampuan untuk menginvestasikan dana
wakaf
 Mampu untuk mendistribusikan hasil/keuntungan dari
investasi dana wakaf
 Memiliki kemampuan untuk mencatat/membukukan
segala hal yang berkaitan dengan beneficiary,
misalnya rekening dan peruntukannya.
 Lembaga pengelola wakaf tunai hendaknya dipercaya
oleh masyarakat dan kinerjanya dikontrol sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
terhadap lembaga pengelola dana publik.31

Lembaga-lembaga yang dapat dipercaya dan


memenuhi kriteria untuk mengelola wakaf tunai adalah
lembagalembaga keuangan Syari’ah. Belakangan banyak
tumbuh berkembang lembaga-lembaga keuangan Syari’ah,
semisal bank Syari’ah, asuransi Syari’ah, lembaga
pembiayaan Syari’ah dan lainnya.
Tumbuh-berkembangnya lembaga-lembaga keuangan
Syari’ah di Eropa Barat dan beberapa negara Islam,
termasuk Indonesia merupakan respon terhadap gejala
surplus dolar pada tingkat global. Surplus dolar itu

31 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah sebagai Pengelola


Wakaf, Op. Cit., hal. 7.
50
membutuhkan penyaluran yang aman dan lembaga-
lembaga keuangan Syari’ah lah yang dianggap tepat untuk
menampung surplus dolar tersebut. Sedang dalam konteks
Indonesia, tumbuh-berkembangnya lembaga-lembaga
keuangan Syari’ah juga merupakan hasil kerjasama antara
para ekonom dan profesional muslim, lulusan
universitasuniversitas di Barat yang berhasil membuat
lembaga yang mampu mengelola modal. Sebagai salah satu
contoh dari hasil rekayasa teknokrasi pada tingkat
internasional adalah didirikan Islamic Development Bank
(IDB) yang berpusat di Jeddah, Saudi Arabia. Modal IDB
sebagian besar berasal dari negara-negara penghasil
minyak bumi, yang kebanyakan adalah negara-negra Islam
yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI).
Lembaga keuangan Syari’ah di Indonesia dalam
bentuk bank Syari’ah berdiri berkat upaya Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dan Ikatan Cedekiawan Muslim
seIndonesia (ICMI) pada tahun 1992. Bank Syari’ah
tersebut adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang nilai
assetnya sekarang mencapai lebih 1,5 triliun. BMI menjadi
pelopor kehadiran bank-bank Syari’ah dan lembaga
keuangan nonbank lainnya. Sekarang hampir semua bank
konvensional membuka bank Syari’ah dan juga ada
Takaful (asuransi Syari’ah) Indonesia32.
Semestinya, lembaga investasi yang bergerak di
bidang pasar modal dapat juga menjalankan fungsi Nazhir

32 Tim Depag, Perkembangan Penelolan Wakaf di Indonesia,


(Jakarta:
Depag RI, 2003), hal.69.
51
(pengelola wakaf tunai), namun hingga sekarang pasar
modal volatile. Karena itu bank, khususnya bank syariah
dianggap tepat untuk difungsikan sebagai kustodian
(tempat penitipan uang). Bahwa bank tepat untuk
dilibatkan dalam pengelolaan wakaf tunai dengan
pertimbangan sebagai berikut:
1. Memiliki akses yang baik kepada calon wakif
Calon wakif diasumsikan mereka yang memiliki
kelebihan likuiditas (memiliki anggaran keuangan yang
lebih), terlepas seberapa besar kelebihan likuiditas tersebut.
Kelebihan likuiditas masyarakat sekarang ini disimpan di
bank. Calon wakif potensial tentunya dapat diketahui oleh
bank, misalnya mengamati jumlah deposito, tabungan atau
mutasi giro yang bersangkutan, sehingga akses ke calon
wakif lebih mudah dilakukan oleh bank beserta dengan
jaringannya.

2. Memiliki kemampuan untuk melakukan investasi


Dana wakaf tunai dapat dinvestasikan dalam berbagai
jenis investasi, misalnya :
 Investasi Jangka Pendek: yaitu dalam bentuk mikro
kredit. Bank-bank telah mempunyai pengalaman dalam
bentuk kerja sama dengan pemerintah untuk
menyalurkan kredit mikro, seperti skim KPKM (Kredit
Pengusaha Kecil dan Mikro) dari Bank Indonesia (BI).
 Investasi Jangka Menengah: yaitu industri/usaha kecil.
Dalam hal ini bank di Indonesia telah terbiasa dengan
adanya beberapa skim kredit program KKPA, KKOP
dan KUK (sesuai ketentuan BI).

52
 Investasi Jangka Panjang: yaitu untuk industri
manufaktur, dan industri besar lainnya. Bank
mempunyai pengalaman dalam melakukan investasi
jangka panjang seperti investasi pabrik dan perkebunan.
Bank pun mempunyai kemampuan untuk melakukan
sindikasi dengan bank lain untuk melakukan investasi
besar33.

Dalam menginvestasikan dana wakaf, hendaknya


dipertimbangan keamanan investasi dan profitabilitas
usaha. Karena tanpa mempertimbangkan keamanan
investasi dan profitabilitas usaha, dikhawatirkan dana
wakaf tidak produktif atau bahkan mengalami penyusutan.
Karena itu sebelum melakukan investasi dana wakaf,
hendaknya dilakukan beberapa hal sebagai berikut :

a. Analisis sektor investasi yang belum jenuh, melakukan


“spreading risk” dan “risk management” terhadap
investasi yang akan dilakukan.
b. “Market survey” untuk memastikan jaminan pasar
dari output/produk investasi.
c. Analisa kelayakan investasi.
d. Analisa terhadap pihak yang akan diajak untuk
mengelola investasi.
e. Monitoring terhadap proses realisasi investasi, dan
f. Monitoring terhadap tingkat profitabilitas investasi.

33 Muhammad Syafii Antonio, Op.Cit., hal.8


53
Lembaga yang memiliki kemampuan seperti yang
disebutkan di atas adalah perbankan. Karena sifat bisnis
bank adalah menyalurkan dana dalam bentuk pembiayaan,
baik pembiayaan investasi maupun modal kerja.

3. Memiliki kemampuan untuk mengadministrasikan


rekening beneficiary.
Nazhir sebagai pihak yang diberikan amanah oleh
wakif untuk mengelola dana wakaf sekaligus memberikan
benefitnya kepada beneficiary, harus melakukan
administrasi yang baik, sehingga menjamin bahwa setiap
beneficiary mendapatkan benefit atas dana wakaf. Dalam
rangka merealisasikan pengadministrasian ini dibutuhkan
sumber daya manusia (SDM) dan teknologi yang memadai.
SDM dan teknologi yang memadai itu dimiliki oleh bank.
Karena bisnisnya bank memang mengelola rekening-
rekening nasabah. Lebih dari itu, teknologi perbankan juga
mampu menampung data base beneficiary yang akan
mendapatkan benefit (manfaat) dari dana wakaf.

4. Bank memiliki kemampuan untuk mendistribusikan


hasil investasi dana wakaf.
Manfaat atau keuntungan dari hasil investasi dana
wakaf harus didistribusikan kepada beneficiary.
Pendistribusian ini mengacu kepada persyaratan yang
diberikan oleh wakif terhadap pihak yang berhak menerima
benefit. Pengelola dana wakaf hendaknya memastikan
berapa besaran benefit yang diterima. Hal ini menuntut

54
kemampuan administrasi dan teknologi. Dan yang
mempunyai kemampuan tersebut adalah bank.
Bank-bank Syari’ah yang berkembang pesat
belakangan ini juga sudah mempunyai system profit
distribution, baik dengan konsep “pool of fund” maupun
“special invesment” (mudharabah muqayyadah) yang
tidak dimiliki oleh bank konvensional. Sistem akan mem-
back up pengelolaan dana wakaf tunai dengan
menggunakan sistem “voluntary pool of fund.” Benefit
atas dana wakaf jika diizinkan oleh wakif dapat digunakan
sebagai dana bergulir untuk pemberdayaan ekonomi lemah.
Hal ini pernah dipraktikkan oleh BMI bekerjasama dengan
Depkop dan
PKM dalam bentuk program P2KER (Proyek
Pengembangan Kemandirian Ekonomi Rakyat) dengan
kelompok binaan berupa Baitul Mal Wat Tamwil (BMT)
dan Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren) di berbagai
daerah. Pengusaha kecil yang dibina bank diharapkan dapat
mengelola usahanya secara profesional dan akhirnya
mendapatkan akses permodalan dari bank.

5. Bank memiliki kredibilitas di mata masyarakat, dan


dikontrol dengan perundang-undangan yang berlaku.
Lembaga keuangan semisal bank yang dilibatkan
dalam pengelolaan wakaf tunai harus memiliki kredibilitas
di mata masyarakat karena harus mampu menjalankan
amanah untuk melakukan investasi dan mendistribusikan
benefit atas investasi dana wakaf. Bank sekarang dikenal
luas dan dipercaya oleh masyarakat sebagai lembaga
55
investasi. Secara regulatif, bank jelas merupakan lembaga
yang “high regulated” yang diatur secara ketat oleh BI
sebagai pemegang otoritas moneter. BI menjadi deposit
masyarkat termasuk deposit wakaf. Kalau diperhatikan,
bank Syari’ah memiliki kelebihan dibandingkan dengan
bank konvensional. Karena bank Syari’ah merupakan
lembaga yang “Syari’ah high regulated”, dengan dipantau
oleh Dewan Syari’ah Nasional (DSN) dan Dewan
Pengawas Syari’ah (DPS). Pemantauan yang dilakukan
DSN dan DPS berkaitan dengan; apakah operasional dan
produk bank sayari’ah sudah seiring dengan ketentuan
Syari’ah atau tidak.
Dengan argumentasi seperti ini, tidak dipungkiri
bahwa Nazhir yang tepat mengelola wakaf tunai adalah
bank, terutama bank Syari’ah. Dalam melakukan “benefit
spending/distribution” atas investasi dana wakaf, bank
Syari’ah dapat melakukan kerjasama dengan
lembagalembaga sosial keagamaan atau lembaga amil
zakat (LAZ). Hal ini dilakukan dalam rangka melakukan
sinergi guna memberdayakan lembaga-lembaga umat.
Jaringan LAZ yang sudah terbangun dapat
dioptimalisasikan dan diharapkan meningkatkan efesiensi
biaya bank dalam hal “product delivery channel.” Bank
syariah di Indonesia telah terbukti mampu melakukan
efesiensi dalam hal “product delivery channel.”
Difungsikannya bank sebagai lembaga pengelola dana
wakaf merupakan manifestasi dari fungsi keharusan untuk
mengelola tiga sektor pelanggan/ekonomi. Yaitu corporate,
non formal dan voluntary sector. Tiga sektor yang dikelola
56
bank Syari’ah ini berbeda dengan tiga sektor yang harus
dikelola oleh bank konvensional; corporate, non formal
dan private sector. Pengelolaan tiga sektor
pelanggan/ekonomi ini, khususnya yang voluntary sector
akan semakin memperluas stake holder yang akan
menerima benefit atas usaha perbankan. Stake holder baru
yang akan menerima benefit dari dana wakaf adalah
beneficiary.
Dalam pengelolaan dana wakaf tunai, bank paling
tidak memiliki empat tujuan, yaitu:
a. Menyediakan jasa layanan perbankan dengan
menerbitkan Sertifikat Wakaf Tunai dan
memanfaatkan manajemen yang baik dalam
pengelolaan dana wakaf tunai tersebut.
b. Membantu melakukan mobilisasi tabungan sosial dan
melakukan transformasi dari tabungan sosial ke
modal.
c. Memberikan benefit kepada masyarakat, terutama
kepada masyarakat miskin melalui optimalisasi
sumber daya masyarakat yang kaya.
d. Membantu mengembangkan pasar modal sosial
(sosial capital market).34

34 Social Capital Market adalah tempat terjadinya transaksi bagi


kegiatan amal, dimana seseorang pada tempat tersebut bisa menentukan arah
penggunaan dari amal yang diserahkannya. Misalnya, dalam konteks wakaf
ini, Waqif bisa menentukan penggunaan dana wakaf tersebut sesuai dengan
kehendaknya. Misalnya, untuk pembangunan jalan, pembangunan sekolah,
pembangunan rumah sakit, dsb.
57
C.1. Operasionalisasi Sertifikat Wakaf Tunai
Sertifikat Wakaf Tunai, merupakan sebuah inovasi
instrumen finansial (Financial Instrument), Keuangan
Sosial dan Perbankan Sosial (Social Finance and
Voluntary Sector Banking) yang pertama kalinya dalam
sejarah. Pada umumnya, Wakaf selama ini dikenal terkait
dengan sumbangan berupa asset tetap (property of
permanent) oleh seorang Muslim dengan tujuan murni
ketaqwaan. Namun belakangan wakaf tunai mendapat
perhatian serius, karena ternyata juga memiliki akar yang
panjang dalam sejarah Islam. Sedang wakaf tunai sebagai
instrumen keuangan sungguh merupakan suatu produk baru
dalam sejarah Perbankan Islam. Pemanfaatan Wakaf Tunai
dapat dibedakan menjadi dua, yakni pengadaan barang
privat (private good) dan barang sosial (social good).35
Karena itu, wakaf tunai membuka peluang yang unik bagi
penciptaan investasi dibidang keagamaan, pendidikan, dan
pelayanan sosial. Tabungan dari warga yang
berpenghasilan tinggi dapat dimanfaatkan melalui
penukaran serfikat wakaf tunai. Sedangkan pendapatan
yang diperoleh dari pengelolaan wakaf tunai dapat
dibelanjakan untuk berbagi tujuan, misalnya untuk
pemeliharaan harta-harat wakaf.
Operasionalisasi sertifikat wakaf tunai dapat
dijabarkan ke dalam beberapa hal sebagai berikut :
a. Wakaf tunai harus diterima sebagai sumbangan yang
sesuai dengan tuntunan Syari’ah. Sedang bank yang

35 Prof. Abdul Mannan, MA, PhD., Sertifikat Wakaf Tunai…..Op.


Cit., hal. 30.
58
bertindak sebagai Nazhir harus mengelola wakaf
tersebut atas nama wakif.
b. Wakif memiliki kebebasan memilih; untuk tujuan apa
dana hibah yang ia berikan.
c. Wakaf tunai dilakukan dengan tanpa batas waktu dan
rekeningnya harus terbuka dengan nama yang
ditentukan oleh wakif.
d. Wakaf tunai selalu menerima pendapatan dengan
tingkat (rate) tertinggi yang ditawarkan bank dari
waktu ke waktu.
e. Kualitas wakaf tetap utuh dan hanya keuntungannya
saja yang dibelanjakan untuk tujuan-tujuan yang telah
ditentukan oleh wakif. Bagian keuntungan yang tidak
dibelanjakan akan secara otomatis ditambahkan pada
wakaf dan profit yang diperoleh akan bertambah terus.
f. Wakif dapat meminta bank untuk mempergunakan
keseluruhan profit untuk tujuan-tujuan yang telah
ditentukan.
g. Wakif dapat memberikan wakaf tunai untuk sekali
saja, atau ia dapat juga menyatakan akan memberikan
sejumlah wakaf dengan cara melakukan deposit
pertama kalinya sebesar (ditentukan kemudian).
Deposit-deposit berikutnya juga dapat dilakukan
dengan pecahan masing-masing atau kelipatannya.
h. Wakif juga dapat meminta kepada bank untuk
merealisasikan wakaf tunai pada jumlah tertentu untuk
dipindahkan dari rekening wakif kepada pengelola
harta wakaf (Nazhir).

59
i. Setiap setoran wakaf tunai harus diberikan tanda
terima dan setelah jumlah wakaf tersebut mencapai
jumlah yang ditentukan, barulah diterbitkan Sertifikat
Wakaf Tunai.
j. Prinsip dan dasar-dasar peraturan Syari’ah tentang
wakaf tunai dapat ditinjau kembali dan dapat berubah.

Kegiatan investasi sosial berupa wakaf tunai ini akan


dapat menciptakan landasan bagi terselenggaranya
pemupukan modal sosial secara permanen dan dapat
dimanfaatkan untuk membantu terlaksananya kredit
program yang akan memperkokoh bagi terciptanya
landasan moral dan sosial bagi terciptanya kesejahteraan
masyarakat. Seseorang dapat membeli Sertifikat Wakaf
Tunai untuk :

• Diri sendiri.
• Orang tua.
• Ahli waris.
• Suami/ Istri.
• Tetangga.
• Saudara kandung.
• Peningkatan standar hidup orang miskin.
• Rehabilitasi orang cacat.
• Peningkatan standar hidup masyarakat yang
berdomisili di daerah kumuh.
• Membantu pendidikan anak yatim/ piatu.
• Beasiswa.
• Pengembangan pendidikan modern.

60
• Pengembangan sekolah, madrasah, kursus, akademi
dan universitas.  Mendanai riset.
• Membantu pendidikan keperawatan.
• Riset penyakit tertentu dan membangun pusat riset.
• Mendirikan rumah sakit dan bank darah.
• Membantu program riset, pengembangan, dan
pendidikan untuk menghormati jasa para pendahulu.
• Menyelesaikan masalah-masalah sosial non-muslim.
• Membantu proyek-proyek untuk menciptakan
lapangan kerja dalam rangka menghapus kemiskinan
dan hal-hal lain yang diperbolehkan Syari’ah36.
Pembelian Sertifikat Wakaf Tunai dapat dilakukan
dengan maksud untuk memenuhi target investasi,
sedikitnya empat bidang, yaitu :
1. Kemanfaatan bagi kesejahteraan pribadi
(duniaakhirat).
Semua manusia akan kembali ke haribaan Ilahi, karena
itu tidaklah berlebihan kalau kita merenungkan sejenak,
bahwa pada saat dilahirkan kita dalam keadaan miskin dan
pada saat meninggal kita pun akan dalam keadaan miskin.
Tidak dapat disangkal lagi bahwa setelah meninggal,
semuanya akan berakhir kecuali tiga hal, yaitu : ilmu yang
bermanfaat, anak saleh, dan amal jariyah. Wakaf tunai
termasuk salah amal jariyah yang terus mengalir
pahalanya. Wakaf tunai sebagai sedekah jariyah
memainkan peranan penting bagi sesorang untuk mencapai
kesejahteraan dunia dan akhirat.

36 Ibid, hal. 41-42.


61
2. Kemanfaatan bagi kesejahteraan keluarga (dunia dan
akhirat).
Sertifikat Wakaf Tunai menawarkan peluang bagi kita
untuk dapat mewujudkan tanggung awab kepada orang tua,
istri, anak-anak, dan anggota keluarga lainnya. Sertifikat
Wakaf Tunai dapat juga dibeli untuk menjamin perbaikan
kualitas hidup generasi penerus melalui pelaksanaan
program pendidikan, pernikahan dan lain-lain. Sebab bank
akan tetap bertanggung jawab untuk mengelola profit dari
sertifikat wakaf tunai itu. karena dengan cara pengelolaan
program seperti itu, maka wakaf tunai dapat dimanfaatkan
untuk kesejahteraan generasi mendatang.

3. Pembangunan sosial
Sertifikat wakaf tunai juga manawarkan peluang yang
unik untuk membantu masyarakat. Dengan profit dari
wakaf tunai, seseorang dapat membantu bantuan yang
berharga bagi pendirian ataupun operasionalisasi
lembaglembaga pendidikan termasuk masjid, madrasah,
rumah sakit, sekolah, kursus, akademi, dan universitas.
Pembelian sertifikat ini dapat membantu terlaksananya
proyek-proyek pendidikan, riset, keagamaan, kesejahteraan
sosial, pengobatan dan perawatan kesehatan untuk orang
miskin dan untuk penghapusan kemiskinan.

4. Membangun masyarakat sejahtera


Dana yang terhimpun dari wakaf tunai akan
diinvestasikan dan hasilnya dapat memberikan jaminan
sosial kepada si miskin dan keamanan bagi si kaya.

62
Akhirnya, wakaf tunai akan menjadi wahana bagi
terciptanya kepedulian dan kasih sayang antara si kaya dan
si miskin, sehingga membantu terciptanya hubungan yang
harmonis dan kerjasama yang baik. Tidak berlebihan
kiranya kita mengharapkan bahwa melalui Sertifikat Wakaf
Tunai akan memperoleh manfaat yang banyak di bidang
ekonomi dan sosial bagi masyarakat secara keseluruhan37.

D. Wakaf Tunai sebagai Voluntary Fund


Wakaf adalah salah satu lembaga sosial Islam yang
sangat di anjurkan untuk digunakan oleh seseorang atau
lembaga sebagai sarana penyaluran rezeki yang diberikan
oleh Allah kepadanya. Wakaf dikategorikan sebagai amal
jariyah yang pahalanya akan terus mengalir walau si wakif
telah meninggal dunia. Karena harta wakaf terus
dimanfaatkan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat
banyak.
Dana wakaf dihimpun dari masyarakat secara sukarela,
karena wakaf tidak diwajibkan dalam Syari’at Islam,
melainkan hanya dianjurkan. Ayat-ayat Al-Qur’an yang
dipahami sebagai dasar dari dianjurkan wakaf adalah: “Hai
orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di Jalan Allah)
sebagian yang baik-baik dari hasil usahamu dan dari apa
yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan
janganlah kamu memilih yang buruk-buruk di antaranya
yang kamu nafkahkan….” (al-Baqarah, ayat 267). Dana

37 Tim Depag, Perkembangan Pengelolaan Wakaf…., Op.Cit., hal.


163.
63
wakaf yang dihimpun dari masyarakat tersebut diharapkan
akan jadi modal sosial abadi.
Realisasi lembaga wakaf yang profesional mendesak
untuk dilakukan karena menurut Prof. Abdul Mannan,
ekonom Islam dari Banglades38, menyebutkan bahwa
keunggulan nyata sektor voluntary Islam, termasuk wakaf
terletak pada kenyataan bahwa sektor voluntary Islam
meninggalkan warisan sejarah dan budaya yang sarat
dengan nilai-nilai keutamaan. Pada saat ini dimana
kemajuan teknologi informasi sudah begitu canggih,
kegiatan-kegiatan sektor voluntary Islam sebenarnya
memiliki potensi yang tinggi untuk dioperasionalisasikan
secara global. Dalam proses ini, bank Islam di abad ke-21
dapat memainkan peranan yang sangat penting dalam
mengaktifkan dan melembagakan kembali peran
institusiinstitusi sosial ekonomi Islam serta bermacam
instrumen redistribusi penghasilan (baik wajib maupun
sunnah) baik melalui instrumen-instrumen keuangan yang
baru maupun managemen fund seperti: Waqf Properties
Development Bond, Sertifikat Wakaf Tunai, Sertifikat
Zakat, Sertifikat Tabungan Haji,Trust Fund, dan lain-lain.
Meskipun Islam memiliki banyak kegiatan di sektor
voluntary seperti: zakat, wakaf, masjid, haji, dan yayasan-
yayasan, namun seluruh kegiatan tersebut tidak
diperhitungkan/dimasukkan dalam kalkulasi GNP (Gross
National Product). Dalam konteks dimana peluang
tantangan yang dihadapi oleh masyarakat muslim saat ini

38 Prof. M. Abdul Mannan, M.A., Ph.D., Sertifikat Wakaf Tunai,


Sebuah…., Op.Cit, hal. 12-15
64
begitu besar, maka perlakuan terhadap kegiatan-kegiatan
tersebut selama ini perlu ditelaah dan dianalisa kembali.
Dengan semakin gencarnya transformasi hubungan antara
Barat dan Timur yang disebabkan oleh: (a) Munculnya
blok ekonomi Eropa; (b) Hancurnya komunis; (c)
Berdirinya republik-republik muslim di Asia Tengah; (d)
Semakin lebarnya kesenjangan Utara-Selatan di bidang
ekonomi; (e) Keterbelakangan ekonomi serta belenggu
kemiskinan di negara-negara Islam; dan (f) Munculnya
militansi etnik dan semakin menggejalanya bahaya yang
mengancam minoritas di negara-negara non-muslim; maka
sangat perlu menghidupkan dan menumbuhkembangkan
kembali kegiatan di sektor voluntary tersebut sesuai dengan
filosofi dan semangatnya serta memanfaatkannya secara
maksimal bagi peningkatan kesejahteraan sosial dan
ekonomi masyarakat muslim dan umat manusia secara
keseluruhan. Pertanyaan mendasar terhadap masalah ini
adalah bagaimana mengoperasikan dan melembagakan
kegiatankegiatan tersebut sehingga dapat terintegrasi ke
dalam mainstream aktivitas ekonomi, mobilisasi faktor
produksi, tabungan dan investasi, serta pasar modal?
Dilihat dari perspektif ini sebenarnya banyak sekali
kegunaan dana zakat bagi proyek-proyek mudarabah yang
legal yang dapat digunakan senagai partner keungan. Zakat
dapat meredistribusikan kekayaan kepada si miskin,
meningkatkan produktifitas, realokasi exante saving
dengan mengurangi idle-cash dan mendorong produksi
melalui alokasi faktor antar sektor. Demikian juga,
perkumpulan haji dapat dipandang sebagai salah satu

65
lembaga sosial ekonomi yang penting. Sedangkan masjid,
dapat difungsikan sebagai agen pembangunan masyarakat.
Dari perspektif historis, wakaf, yang merupakan salah
satu elemen sektor voluntary yang paling kuat dalam Islam,
telah memainkan peranan penting dalam mengembangkan
pendidikan ke-Islam-an, kesehatan dan riset melalui
pendirian sekolah-sekolah, rumah sakit, madrasah,
masjidmasjid, dan perpustakaan umum.
Pada abad ke-21 ini bank-bank Islam harus bekerja
untuk melestarikan sektor voluntary Islam. Bahkan
sekarang sedang diproses pengorganisasian The Voluntary
Capital Market yang bertujuan memobilisasi dana serta
sedang mengembangkan instrumen-instrumen keuangan
yang menurut Syari’ah memiliki aturan-aturan yang
berbeda seperti:
a. Waqf Properties Development Bond (Umum dan
Khusus)
b. Cash Waqf Deposit Certificate (Umum dan Khusus)
c. Family Waqf Certificate
d. Mosque Properties Development Bond (Umum dan
Khusus)
e. Mosque Community Share
f. Quard-e-Hasana Certivicate (Umum dan Khusus)
g. Zakat/Ushar payment Certificate
h. Hajj Saving Certivicate
i. Non-Muslim Trust Properties Development Bond
(Umum dan Khusus)
j. Municipal Properties Development Bond (Umum dan
Khusus)

66
Nilai dari seluruh obligasi dan sertifikat Quard-
eHasana dapat dijamin oleh bank hingga masa pembayaran
sertifikat tersebut telah jatuh tempo.
Apa yang dipaparkan Prof. Abdul Mannan di atas
berangkat dari pengalaman Banglades, tapi tidak berarti
tidak memungkinkan untuk diterapkan atau paling tidak di
adopsi di Indonesia. Karena kondisi sosial ekonomi
Banglades dan Indonesia relatif sama. Bahkan Indonesia
merupakan negara non Islam yang rakyatnya paling banyak
menganut agama Islam.
Selain sebagai voluntry fund, wakaf tunai juga
memberikan model mutual fund melalui mobilisasi dana
abadi yang digarap melalui tantangan profesionalisme yang
amanah dalam fund management-nya di tengah keraguan
terhadap pengelolaan dana wakaf serta kecemasan krisis
investasi domistik dan sindrom capital flight. Wakaf tunai
sangat merangsang kembalinya iklim investasi kondusif
yang dilatari motivasi emosional teologis berupa niat amal
jariyah di samping pertimbangan hikmah rasional
ekonomis untuk kesejahteraan sosial. Wakaf tunai juga
strategis untuk menciptakan lahan pekerjaan dan
mengurangi pengangguran dalam aktifitas produksi yang
sangat selektif sesuai dengan kaidah Syari’ah dan
kemaslahatan. Wakaf tunai sangat potensial untuk
memberdayakan sektor riil dan memperkuat fundamental
perekonomian dan sekaligus sebagai tantangan untuk
mengubah pola dan preferensi konsumsi umat dengan filter
moral kesadaran akan solidaritas sosial sehingga tidak

67
berlaku lagi konsep pareto optimum yang tidak mengakui
adanya solusi yang membutuhkan pengorbanan dari pihak
minoritas (kaum kaya) guna meningkatkan kesejahteraan
pihak yang mayoritas (kaum miskin). Oleh karena itu,
sangat tepat bila penyaluran dana dalam bentuk
pembiayaan produktif ke sektor riil dimobilisir yang salah
satunya adalah dengan memberikan kredit mikro. Kredit
mikro diberikan melalui mekanisme kontrak investasi
kolektif (KIK) semacam reksadana Syari’ah yang
dihimpun dengan Sertifikat Wakaf Tunai (SWT) kepada
masyarakat menengah dan kecil agar memiliki peluang
usaha dan sedikit demi sedikit bangkit dari kemiskinan dan
keterpurukan akibat krisis berkepanjangan.39
Ke depan, wakaf sebagai salah satu voluntary fund
dalam Islam akan mampu menjadi pengemban amanah
Islam, yaitu terciptanya masyarakat yang adil dan sejahtera.
Bahkan bisa jadi wakaf akan menjadi instrumen keungan
alternatif dari instrumen keuangan konvensional, karena
sistem ekonomi konvensional (kapitalis dan sosialis) telah
“gagal” mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera

39 Tim Depag, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia,


Op.Cit.,
68
hal.142

69
Bagian Ketiga MANAJEMEN PENGELOLAAN
WAKAF TUNAI

A. Sistem Mobilisasi Dana Wakaf


Wakaf tunai merupakan salah satu usaha yang tengah
dikembangkan dalam rangka meningkatkan peran wakaf
dalam bidang ekonomi. Karena wakaf tunai memiliki
kekuatan yang bersifat umum dimana setiap orang bisa
menyumbangkan harta tanpa batas-batas tertentu.
Demikian juga fleksibilitas wujud dan pemanfaatannya
yang dapat menjangkau seluruh potensi untuk
dikembangkan.
Mustafa Edwin Nasution pernah membuat asumsi
bahwa jumlah penduduk muslim kelas menengah di
Indonesia sebanyak 10 juta jiwa dengan penghasilan
ratarata antara 0,5 juta – 10 juta per bulan. Dan ini
merupakan potensi yang besar. Bayangkan misalnya warga
yang berpenghasilan Rp 0,5 juta sebanyak 4 juta orang dan
setiap tahun masing-masing berwakaf Rp 60 ribu. Maka
setiap tahun akan terkumpul Rp 240 miliar. Jika warga
yang berpenghasilan 1-2 juta sebanyak 3 juta jiwa dan
setiap tahun masing-masing berwakaf 120 ribu, maka akan
terkumpul dana sebesar Rp 360 miliar. Jika warga yang
berpenghasilan 2-5 juta sebanyak 2 juta orang dan setiap
tahun masing-masing berwakaf Rp 600 ribu, akan
terkumpul dana Rp 1,2 trilyun. Dan jika warga
berpenghasilan Rp 5-10 juta berjumlah 1 juta orang dan
setiap tahun masing-masing berwakaf 1,2 juta, akan

71
terkumpul dana 1,2 trilyun. Jadi dana yang terkumpul
mencapai 3 trilyun setahun.40
Sungguh potensi yang sangat luar biasa. Terutama jika
dana itu diserahkan kepada pengelola profesional dan oleh
pengelola wakaf itu diinvestasikan di sektor yang
produktif. Dijamin jumlahnya tidak akan berkurang, tapi
bertambah bahkan bergulir. Misalnya saja dana itu
dititipkan di Bank Syari’ah yang katakanlah setiap tahun
diberikan bagi hasil sebesar 9 %, maka pada akhir tahun
sudah ada dana segar 270 miliar. Tentunya akan sangat
banyak yang bisa dilakukan dengan dana sebanyak itu.
Karenanya model wakaf tunai sangat tepat
memberikan jawaban yang menjanjikan dalam
mewujudkan kesejahteraan sosial dan membantu
mengatasi krisis ekonomi Indonesia kontemporer. Ia
sangat potensial menjadi sumber pendanaan abadi guna
melepaskan bangsa dari jerat hutang dan ketergantungan
luar negeri. Wakaf tunai sangat relevan memberikan
model mutual fund melalui mobilisasi dana abadi yang
digarap melalui tantangan profesionalisme yang amanah
dalam fund management nya di tengah keraguan terhadap
pengelolaan dana wakaf serta kecemasan krisis investasi
domestik dan sindrom capital flight. Ia sangat tepat
merangsang kembalinya iklim investasi kondusif yang
dilatari motivasi emosional teologis berupa niat amal

40 Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf Direktorat Jenderal Bimas


Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003, Fiqih Wakaf, hal. 92.

72
jariyah disamping pertimbangan hikmah rasional
ekonomis kesejahteraan sosial.41
Wakaf tunai juga sangat strategis menciptakan lahan
pekerjaan dan mengurangi pengangguran dalam aktifitas
produksi yang selektif sesuai kaedah Syari’ah dan
kemaslahtan. Ia sangat potensial untuk memberdayakan
sektor riil dan memperkuat fundamental ekonomi. Ia
seklaigus sebagai tantangan untuk mengubah pola dan
preferensi konsumsi umat dengan filter moral kesadaran
akan solidaritas sosial sehingga tidak berlaku bagi konsep
pareto optimum yang tidak mengakui adanya solusi yang
membutuhkan pengorbanan dari pihak minoritas (kaya)
guna meningkatkan kesejahteraan pihak mayoritas
(miskin).42
Karena itu, dalam rangka pengembangan secara lebih
luas, wakaf tunai harus mendapat perhatian lebih untuk
membiayai berbagai proyek sosial melalui pemberdayaan
wakaf benda tak bergerak yang selama ini menjadi beban.
Atau bisa juga melalui penyaluran kepada lembaga-
lembaga pemberdayaan ekonomi. Sebagai salah satu upaya
agar penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan produktif
ke sektor riil dimobilisir, salah satunya dengan
memberikan kredit mikro melalui mekanisme Kontrak
Investasi Kolektif

41 Ibid., hal. 93.


42 Ibid., hal. 94.

73
(KIK) semacam reksadana Syari’ah yang dihimpun
melalui Sertifikat Wakaf Tunai (SWT) kepada masyarakat
menengah dan kecil agar memiliki peluang usaha dan
sedikit demi sedikit bangkit dari kemiskinan dan
keterpurukan akibat krisis berkepanjangan.
Pemberian skim kredit mikro ini cukup mendidik
ibarat memberi kail, bukan hanya ikan, kepada rakyat dan
diharapkan dapat menciptakan kemandirian. Porsi bagi

74
hasil untuk fund manager setelah dikurangi biaya
operasional dapat disalurkan untuk kebutuhan konsumtif
dalam menunjang kesejahteraan kaum fuqara melalui
wasiat wakif (pemegang SWT) ataupun tanpa wasiatnya.
Dalam perkembangan kekinian di Indonesia, wacana
wakaf tunai telah menjelma nyata dalam implementasi
produkproduk funding lembaga keuangan Syari’ah dan
Lembaga Amil Zakat seperti Wakaf Tunai Dompet Dhuafa
Republika dan Waqtumu (Wakaf Tunai Muamalat) yang
diluncurkan Baitul Muamalat – Bank Muamalat Indonesia.
Dalam rangka mobilisasi dana masyarakat dan
optimalisasi potensi finansial umat untuk kemaslahatan
perekonomian, gagasan wakaf tunai melengkapi UU No
12 tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas Undang-
Undang No 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan, di
mana zakat dimasukkan sebagai faktor pengurang pajak.
Di samping juga dapat mendukung lembaga-lembaga
pengelola zakat dengan diberlakukannya UU Pengelolaan
Zakat No. 38 Tahun 1999.43
Selama ini sudah terdapat beberapa instrumen
pendanaan seperti Zakat, Infak, dan Sedekah (ZIS) yang
kita kenal sebagai sumber dana untuk membantu kaum
dhuafa (fakir miskin) dan korban bencana. Selain
instrumen yang telah ada tersebut tentunya sangat
mendesak dan krusial, kebutuhan akan suatu pendekatan
baru dan inovatif dalam instrumen keuangan sebagai
43 Ibid., hal. 95

75
pendamping untuk optimumnya mobilisasi dana umat.
Tujuan utamanya adalah bagaimana mencari solusi
alternatif pendanaan bagi peningkatan kesejahteraan sosial
segenap rakyat Indonesia yang melengkapi sistem
pendanaan yang telah ada selama ini sehingga dapat
mengentaskan kemiskinan di Indonesia.
Dalam hal ini, Indonesia harus belajar dari
Bangladesh, tempat kelahiran instrumen eksperimental
melalui Social Investment Bank Limited (SIBL) yang
menggalang dana dari orang-orang kaya untuk dikelola
dan disalurkan kepada rakyat dalam bidang pendidikan,
kesehatan dan kesejahteraan sosial lainnya melalui
mekanisme produk funding baru berupa Sertifikat Wakaf
Tunai (Cash Certificate Waqf) yang akan dimiliki oleh
pemberi dana tersebut. Dalam instrumen keuangan baru
ini, Sertifikat Wakaf Tunai merupakan alternatif
pembiayaan yang bersifat sosial dan bisnis serta partisipasi
aktif dari seluruh warga negara yang kaya untuk berbagai
kebahagiaan dengan saudaranya dalam menikmati
pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial lainnya
dengan baik. Dangan tidak terlalu menggantungkan diri
dengan anggaran pemerintah dan pinjaman asing maka
diharapkan penerapan instrumen Sertifikat Wakat Tunai
ini mampu menjadi alternatif sumber pendanaan sosial.44
Dengan keterbatasan kemampuan pemerintah saat ini
untuk menyediakan dana bagi pengentasan kemiskinan,
peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup rakyat
Indonesia, maka usaha meningkatkan gerakan wakaf tunai

44 Ibid., hal. 96.


76
sangat diperlukan. Keberadaan model wakaf tunai melalui
SWT dirasakan perlu dan mendesak sebagai instrumen
keuangan aternatif yang dapat mengisi
kekurangankekurangan badan sosial yang tela ada. Karena
itu wakaf tunai, saham dan surat berharga lainnya sudah
saatnya mendapat porsi yang seimbang dalam rangka
memberikan wawasan akan pentingnya sebuah instrumen
keuangan dalam rangka ikut serta secara aktif
mengentaskan kemiskinan di Indonesia.

B. Pengelolaan Dana dan Pembiayaan


Untuk menjamin kelanggengan harta wakaf agar dapat
terus memberikan pelayanan prima sesuai dengan
tujuannya, diperlukan dana pemeliharaan di atas
biayabiaya yang telah dikeluarkan. Hal ini berlaku pada
proyek penyedia jasa maupun proyek penghasil
pendapatan. Sehingga dengan demikian, pada proyek
penyedia jasa pun diperlukan persyaratan menghasilkan
pendapatan untuk menutup biaya pemeliharaan. Dalam
konteks wakaf, maka pembiayaan proyek wakaf bertujuan
untuk mengoptimalkan fungsi harta wakaf sebagai
prasarana untuk meningkatkan kualitas hidup dan
kehidupan sumber daya insani.45

45Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan


Penyelenggaraan Haji, 2003, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan
Wakaf, hal. 97.

77
Menurut Monzer Kahf, gagasan menyisihkan sebagian
pendapatan waqaf untuk merekonstruksi harta gerak wakaf
atau untuk meningkatkan modal harta tetap wakaf tidak
dibahas dalam fiqih klasik. Oleh karena itu Kahf (March
24, 1998) membedakan pembiayaan proyek wakaf ke
dalam

78
model pembiayaan harta wakaf tradisional dan model
pembiayaan baru harta wakaf secara institusional.46

a. Model-model pembiayaan proyek wakaf tradisional


Dalam model pembiayaan harta wakaf tradisional,
kitab fiqih klasik mendiskusikan lima model pembiayaan
rekonstruksi harta wakaf, yaitu: pinjaman, hukr (kontrak
sewa jangka panjang dengan pembayaran lump sum yang
cukup besar dimuka), al-Ijaratain (sewa dengan dua
pembayaran), menambah harta wakaf baru, dan penukaran
pengganti (substitusi) harta wakaf. Dari kelima model ini
hanya penambahan harta wakaf baru yang menciptakan
penambahan pada modal wakaf dan peningkatan kapasitas
produksi. Sedang empat model yang lain lebih banyak
membiayai operasional dan mengembalikan produktifitas
semula harta wakaf.47

1. Pembiayaan wakaf dengan menciptakan wakaf baru


untuk melengkapi harta wakaf yang lama. Sebagai
contoh adalah wakaf air minum yang dilakukan oleh
Usman bin Affan kepada Rasulullah SAW. Karena
dimotivasi oleh Rasululah SAW, Usman mampu
membeli sumber air Ruma yang semula hanya
diberikan sebagian, tetapi kemudian pemiliknya
setuju menjual lagi sebagian yang lain. Contoh lain

46 Baca, H. Karnaen A. Pewawaatmaja, S.E., MPA, Alternatif


Investasi Dana Wakaf, Makalah disajikan pada Workshop IIIT Indonesia
tanggal 8 januari 2002, Batam.
47 Ibid.,
79
adalah perluasan masjid Nabawi di Madinah yang
diperluas selama periode pemerintahan Khalifah
Umar, Usman, Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah.
Setiap perluasan memiliki penambahan harta wakaf
yang lama. Contoh lain dari penambahan harta wakaf
terlihat pada penyediaan fasilitas baru berupa air,
listrik, dan sistem pendingin atau pemanas.
2. Pinjaman untuk pembiayaan kebutuhan operasional
harta wakaf. Pinjaman ini dilakukan untuk
mengembalikan fungsi wakaf semula. Syarat yang
biasanya harus dipenuhi sebelumnya untuk dapat
melakukan pinjaman adalah mendapat ijin dari Hakim
Pengawas. Dalam kitab fikih akan kita jumpai
misalnya pembahasan tentang pinjaman untuk
membeli benih dan pupuk serta upah pekerja yang
diperlukan. Juga tentang pinjaman yang dilakukan
untuk merekonstruksikan atau membangun kembali
harta wakaf yang telah rusak atau terbakar.
3. Penukaran pengganti (substitusi) harta wakaf. Model
substitusi berarti suatu pertukaran harta wakaf yang
satu dengan yang lain, paling tidak memberikan
pelayanan atau pendapatan yang sama tanpa
perubahan peruntukan yang ditetapkan pemberi harta
wakaf (wakif). Oleh karena itu secara prinsip
substitusi tidak menimbulkan peningkatan harta
wakaf dalam kondisi pasar normal. Konsekuensinya,
substitusi bukanlah model pembiayaan. Namun,
karena karakter yang unik dari harta wakaf, maka
kadang-kadang substitusi berakhir dengan

80
peningkatan pelayanan yang disediakan. Contohnya
adalah pertukaran bangunan sekolah di wilayah yang
jarang penduduk dengan bangunan sekolah yang
padat penduduk. Model substitusi secara mudah
dapat menyediakan dana likuid yang diperlukan untuk
kegiatan operasional harta wakaf. Pada kasus tertentu,
substitusi juga dapat meningkatkan pelayanan harta
wakaf, khususnya bila penggunaan harta wakaf yang
baru terjadi karena adanya perubahan teknologi atau
demografi.
4. Model pembiayaan hukr (sewa berjangka panjang
dengan lump sum pembayaran di muka yang besar).
Model pembiayaan ini diciptakan oleh fuqaha (ahli
fikih) untuk mensiasati larangan menjual harta wakaf.
Dari pada menjual harta wakaf, nazhir (pengelola)
dapat menjual hak untuk jangka waktu sewa dengan
suatu nilai nominal secara periodik. Hak dijual untuk
suatu jumlah lump sum yang besar dibayar di muka.
Pembeli dari hak sewa berjangka panjang dapat
membangun tanah wakaf dengan menggunakan
sumbernya sendiri atas resiko sendiri sepanjang ia
membayar sewa secara periodik kepada pengelola.
Istilah hukr berarti monopoli secara eksklusif. Hak
eksklusif ini mungkin untuk suatu periode yang lama
yang biasanya melebihi ukuran hidup normal alami
manusia atau mungkin juga bersifat tetap. Ini
merupakan salah satu contoh dari hak keuangan yang
dapat dipasarkan, misalnya: dijual lagi, diwariskan,
dihadiahkan, dan lain-lain.

81
Model pembiayaan hukr bisa mungkin salah apabila
harga eksklusif dipergunakan untuk biaya operasional
karena hukr mengurangi pendapatan wakaf di waktu
yang akan datang. Namun demikian, apabila harga
lump sum eksklusif dipergunakan untuk membeli
harta produktif baru sebagai suatu wakaf, maka aliran
pendapatan akan tetap seperti semula atau bahkan
meningkat. Dengan kata lain, modelnya sendiri netral
sedang aplikasinya dapat memberikan akibat negatif
dari sudut pandang tujuan wakaf.
Jika model hukr dipergunakan dalam kondisi pasar
normal dan jika harga eksklusif dipergunakan
sedemikian rupa sehingga mempertahankan semangat
keabadian harta wakaf, maka model ini harus
dianggap netral dan dapat dipergunakan untuk
menjamin perolehan likuiditas yang diperlukan untuk
membangun suatu harta wakaf. Karena itu kriteria
diterimanya model ini tidak tergantung pada jumlah
sewa periodiknya, berapapun kecilnya tetapi pada
keadilan dalam praktek dan pemanfaatan akhir dari
lump sum yang dihasilkan dengan menjual hak
eksklusif.
5. Model pembiayaan ijaratain (sewa dengan dua kali
pembayaran).
Model ijaratain menghasilkan sewa jangka panjang
yang terdiri dari dua bagian, yaitu: bagian pertama,
berupa uang muka lump sum yang besar untuk
merekonstruksikan harta wakaf yang bersangkutan,
dan bagian kedua, berupa sewa tahunan secara

82
periodik selama masa sewa. Model ini hampir serupa
dengan hukr. Bedanya, pada ijaratain, uang muka
hanya boleh dipergunakan untuk merekonstruksi harta
wakaf yang bersangkutan. Pada ijaratain, jelas bahwa
harta wakaf dikontrakkan setelah direkonstruksikan
sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan dalam
kontrak.

b. Model-model pembiayaan baru untuk proyek wakaf


produktif secara institusional.
Ada empat model pembiayaan yang membolehkan
pengelola wakaf (produktif) memegang hak eksklusif
terhadap pengelolaan., seperti Murabahah, Istisnaa,
Ijarah, dan Mudharabah. Sebagai tambahan ada juga yang
disebut berbagi kepemilikan atau syari’atul milk, di mana
ada beberapa kontraktor yang berbagi manajemen atau
menugaskan manajemen proyek pada pihak penyedia
pembiayaan atau disebut dengan model berbagi hasil (out
put sharing) dan model Hukr atau sewa berjangka
panjang.48

a. Model pembiayaan Murabahah.


Penerapan pembiayaan murabahah pada harta proyek
mengharuskan Pengelola Harta Wakaf (Nazhir)
mengambil fungsi sebagai pengusaha (enterprenueur) yang
mengendalikan proses investasi yang membeli peralatan
dan material yang diperlukan melalui surat kontrak
Murabahah. Sedangkan pembiayaannya datang dari satu

48 Ibid.,
83
bank Islami. Pengelola harta wakaf menjadi penghutang
(debitor) kepada lembaga perbankan untuk harga peralatan
dan material yang dibeli ditambah mark up
pembiayaannya.
Hutang ini akan dibayar dari pendapatan hasil
pengembangan harta wakaf.

b. Model Istisna
Model Istisna memungkinkan pengelola harta wakaf
untuk memesan pengembangan harta wakaf yang
diperlukan kepada lembaga pembiayaan melalui suatu
kontrak Istisna. Lembaga pembiayaan atau bank kemudian
membuat kontrak dengan kontraktor untuk memenuhi
pesanan pengelola harta wakaf atas nama lembaga
pembiayaan itu. Menurut Resolusi Islamic Fiqh Akademi
dari OKI, Istisna adalah sesuai dengan kontrak Syari’ah
dimana pembayaran dapat dilakukan dengan penangguhan
atas dasar kesepakatan bersama.
Model pembiayaan Istisna juga menimbulkan hutang
bagi pengelola harta wakaf (nazhir) dan dapat diselesaikan
dari hasil pengelolaan dan pengembangan harta wakaf dan
penyedia pembiayaan (investor) tidak mempunyai hak
untuk turut campur dalam pengelolaan harta wakaf.

c. Model Ijarah
Model pembiayaan ini merupakan penerapan Ijarah
dimana pengelola harta wakaf tetap memegang kendali
penuh atas manajemen proyek. Dalam pelaksanaannya,
pengelola harta wakaf memberikan ijin yang berlaku untuk

84
beberapa tahun saja kepada penyedia dana untuk
mendirikan sebuah gedung di atas tanah wakaf. Kemudian
pengelola harta wakaf menyewakan gedung tersebut untuk
jangka waktu yang sama dimana pada periode tersebut
dimiliki oleh penyedia dana (financer), dan digunakan
untuk tujuan wakaf. Gedung tersebut bisa berupa rumah
sakit, sekolah, ruang sewa kantor, atau apartemen.
Pengelola harta wakaf menjalankan manajemen dan
membayar sewa secara periodik kepada penyedia dana.
Jumlah sewa telah ditetapkan sehingga menutup modal
pokok dan keuntungan yang dikehendaki penyedia dana.
Pada akhir periode yang diijinkan, penyedia dana akan
memperoleh kembali modalnya dan keuntungan yang
dikehendaki, setelah itu penyedia dana tidak dapat
memasuki lagi harta wakaf.
Jenis ijarah ini jelas, yaitu kasus khusus ijarah yang
berakhir dengan penyewa memiliki bangunan dengan
kebaikan menjadi pemilik tanah yang dibangun. Ijin yang
diberikan mungkin juga permanen atau sepanjang usia
proyek, misalnya sepanjang usia ekonomi dari proyek,
pengelola harta wakaf menggunakan sebagian pendapatan
jika ini sebuah wakaf investasi untuk membayar sewa
kepada penyedia sewa.

4. Mudharabah oleh Pengelola Harta Wakaf dengan


Penyedia Dana.
Model Mudharabah dapat digunakan oleh pengelola harta
wakaf dengan asumsi peranannya sebagai pengusaha
(mudharib) dan menerima dana likuid dari lembaga

85
pembiayaan untuk mendirikan bangunan di tanah wakaf
atau untuk mengebor sebuah sumur minyak jika tanah
wakaf itu menghasilkan minyak. Manajemen akan tetap
berada di tangan pengelola harta wakaf secara eksklusif
dan tingkat bagi hasil diterapkan sedemikian rupa sehingga
menutup biaya usaha untuk manajemen sebagaimana juga
penggunaan tanahnya.

5. Model Pembiayaan berbagai kepemilikan.


Model pembiayaan kepemilikan dapat dipergunakan
apabila dua pihak secara individual dan bebas memiliki
dua benda yang berkaitan satu sama lain seperti masing-
masing memiliki separoh dari sebidang tanah pertanian
tanpa mempunyai perjanjian kemitraan secara formal.
Berbagai kepemilikan bukanlah suatu model kemitraan
karena di dalam kemitraan kedua pihak secara umum
memilki harta di dalam kemitraan sesuai dengan bagian
mereka dalam modal pokok. Sedang pada berbagai
kepemilikan, kita berhadapan dengan kekayaan berbeda
masing-masing dimiliki secara utuh dan individual oleh
suatu pihak yang bebas, dan hubungan mereka ditentukan
dalam fikih yang disebut syarikat al-milk yang sangat
berbeda dengan syarikat al-aqd yang diterapkan dalam
kemitraan.
Operasionalisasi formal dari berbagi kepemilikan adalah
sebagai berikut:
Pengelola harta wakaf mengijinkan lembaga pembiayaan
untuk mendirikan sebuah gedung atau menggali sebuah
sumur minyak dan memasang alat penyuling. Masing-

86
masing pihak memiliki secara bebas dan terpisah kekayaan
dan mereka setuju untuk membagi hasil yang diperoleh di
antara mereka. Menurut Fikih dan Syarikat al-Milk,
masing-masing pihak bertanggung jawab untuk mengelola
kekayaannya sendiri. Karena itu, di dalam model
pembiayaan ini, pengelola harta wakaf dan lembaga
pembiayaan dapat bersepakat berbagi manajemen atau
menugaskannya kepada pihak lain. Jelas di dalam
menentukan rasio pembagian hasil (output), pihak yang
mengelola diberikan tambahan prosentase sebagai
kompensasi dari usahanya.
Pada model pembiayaan ini, kompensasi manajemen
dapat ditetapkan dalam jumlah uang tertentu atau suatu
proporsi hasil (output), dan pemilik juga sepakat atas
pembagian pendapatan kotor atau bersih di antara mereka
secara proporsional dengan kepemilikan mereka. Lebih
lanjut, karena lembaga pembiayaan kerap kali
menghendaki keluar dari kepemilikannya pada saat
tertentu di masa depan, para pihak dapat menyetujui
penjualan kekayaan penyedia dana pada wakaf dan
menggunakan sebagian dari hasil bagian wakaf sebagai
pembayaran untuk harganya.

6. Model bagi hasil (output)


Model bagi hasil adalah suatu kontrak di mana satu pihak
menyediakan harta tetap seperti tanah untuk yang lain dan
berbagi hasil (output) kotor di antara keduanya atas dasar
rasio yang disepakati. Model pembiayaan ini didasarkan
atas muzara’ah dimana pemilik tanah menyediakan tanah

87
(dan mungkin juga mesin) kepada petani. Dalam bagi
hasil, tanah dana manajemen tidak dapat disediakan oleh
pihak yang sama.
Dalam model pembiayaan bagi hasil, wakaf menyediakan
tanah dan harta tetap lainnya yang dimiliki wakaf. Sedang
lembaga pembiayaan menyediakan biaya operasional dan
manajemen. Lembaga pembiayaan dapat juga
menyediakan sebagian atau seluruh mesin sepanjang tanah
disediakan oleh pihak non-manajemen sesuai dengan
persyaratan muzara’ah. Model ini dengan demikian cocok
untuk lembaga pembiayaan yang menghendaki mengambil
tanggungjawab manajemen, sedang pengelola harta wakaf
mengambil posisi sebagai mitra tidur. Ini menjadi salah
satu dari model dimana manjemen secara eksklusif akan
berada di tangan lembaga pembiayaan.

7. Model sewa berjangka penjang dan hukr


Model ini merupakan salah satu manajemen yang berada
di tangan lembaga pembiayaan yang menyewa harta wakaf
untuk periode jangka panjang. Penyedia dana mengambil
tanggung jawab konstruksi dan manajemen serta
membayar sewa secara periodik kepada pengelola harta
wakaf.
Dalam sub model hukr, suatu ketentuan ditambahkan
dalam kontrak atas dasar mana lembaga pembiayaan
memberikan suatu pembayaran lump sum tunai sebagai
tambahan dari membayar sewa secara periodik. Namun
demikian, di bawah kondisi pasar yang adil, nilai total
sekarang (total present value) dari hasil (return) kepada

88
wakaf dalam hukr dan dalam sewa berjangka panjang
harus kurang lebih sama.

C. Manajemen Investasi Dana


Pada zaman kejayaan Islam, wakaf sudah pernah
mencapai kejayaan meski pengelolaannya masih sangat
sederhana. Abad ke-8 dan ke-9 Hijriah dipandang sebagai
jaman keemasan perkembangan wakaf. Pada saat itu
wakaf meliputi berbagai benda, yakni masjid, mushalla,
sekolah, tanah pertanian, rumah, toko, kebun, pabrik roti,
bangunan kantor, gedung pertemuan dan perniagaan,
bazaar, pasar, tempat pemandian, tempat pemangkas
rambut, gedung beras, pabrik sabun, pabrik penetasan telur
dan lain-lain. Dari data di atas jelas bahwa masjid,
mushalla, dan sekolah hanyalah sebagian dari benda yang
diwakafkan.
Kebiasaan berwakaf tersebut diteruskan sampai
sekarang di berbagai negara sesuai dengan perkembangan
zaman, sehingga sepanjang sejarah Islam, wakaf telah
berperan sangat penting dalam pengembangan
kegiatankegiatan sosial ekonomi dan kebudayaan
masyarakat Islam. Wakaf telah memfasilitasi sarjana dan
mahasiswa dengan sarana dan prasarana yang memadai
dan mereka bisa melakukan berbagai kegiatan riset dan
menyelesaikan studi mereka. Cukup banyak program-
program yang didanai dari hasil wakaf seperti penulisan
buku, penerjemahan dan kegiatan-kegiatan ilmiah dalam
berbagai bidang, termasuk bidang kesehatan. Dilihat dari

89
segi bentuknya, wakaf tampak tidak terbatas pada benda
tidak bergerak, tetapi juga benda bergerak.49
Di beberapa negara, seperti Mesir, Yordania, Saudi
Arabia, dan Turki, wakaf selain berupa sarana dan pra
sarana ibadah dan pendidikan juga berupa tanah pertanian,
perkebunan, flat, uang, saham, real estate, dan lainnya
yang semuanya dikelola secara produktif. Dengan
demikian hasilnya benar-benar dapat dipergunakan untuk
mewujudkan kesejahteraan umat.
Di Turki, pengelolaan wakaf tidak hanya dikelola oleh
mutawalli, tapi juga oleh lembaga Direktorat Jenderal
Wakaf. Direktorat Jenderal Wakaf tidak hanya mengelola
wakaf tapi juga memberikan supervisi dan kontrol
(auditing) terhadap wakaf yang dikelola oleh mutawalli.
Sedangkan sebuah lembaga yang memobilisasi sumber-
sumber wakaf untuk membiayai bermacam-macam jenis
proyek joint venture adalah Waqf Bank & Finance
Corporation.
Mesir juga sudah mengelola potensi wakafnya secara
produktif. Awalnya, harta wakaf di Mesir juga tidak
teratur. Untuk menertibkan hal itu, pemerintah Mesir
menempuh langkah menertibkan tanah wakaf dan harta
wakaf lainnya, dengan menjaga dan mengawasi serta
mengarahkan harta wakaf untuk tujuan-tujuan kebaikan
sesuai dengan garis Undang-undang. Pada awalnya,
persoalan wakaf ini ditangani oleh sebuah departemen.
49 Bandingkan misalnya dengan nagara-negara seperti Mesir, Turki,
Bangladesh dan sebagainya, lihat, Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf
Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003, Fiqih
Wakaf, hal 86.
90
Namun masalahmasalah terus bermunculan. Sampai pada
tahun 1971 dibentuk sebuah Badan Wakaf yang khusus
menangani masalah wakaf dan pengembangannya.50
Sesuai dengan Qanun No. 80/1971, Badan wakaf ini
bertugas untuk mengusut dan melaksanakan semua
perdistribusian, serta semua kegiatan-kegiatan perwakafan
sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Badan ini selain
menguasai pengelolaan wakaf juga diberi kewenangan
untuk membelanjakan wakaf dengan sebaik-baiknya.
Misalnya, mendistribusikan hasil wakaf setiap bulan
dengan diikuti kegiatan di cabang, membangun dan
mengembangkan lembaga wakaf, membuat perencanaan
dan melakukan evaluasi akhir dan membuat laporan dan
menginformasikannya kepada masyarakat.51
Sejauh ini, ada berbagai macam harta yang telah
dikelola Badan Wakaf. Antara lain harta yang dikhususkan
pemerintah untuk anggaran umum, barang yang menjadi
jaminan utang, hibah, wasiat, dan sedekah, dokumen,
uang/harta yang harus dibelanjakan dan benda lain yang
berguna untuk meningkatkan dan mengembangkan harta
wakaf. Badan Wakafpun menerapkan beberapa kebijakan.
Pertama, menitipkan hasil harta wakaf di bank Islam agar
dapat berkembang. Kedua, melalui Wizaratu Auqaf, Badan
Wakaf berpartisipasi dalam mendirikan bank-bank Islam
dan mengadakan kerjasama dengan beberapa perusahaan.
Ketiga, memanfaatkan tanah-tanah kosong untuk dikelola
secara produktif dengan cara mendirikan lembaga-

50 Ibid., hal. 87
51 Ibid,.
91
kembaga perekonomian bekerjasama dengan berbagai
perusahaan. Keempat, membeli saham dan obligasi
perusahaanperusahaan penting.
Di Bangladesh lain lagi kondisinya. Negeri miskin ini
sesungguhnya memiliki kesamaan kondisi dengan
Indonesia. Dalam beberapa kasus, penghasilan dari banyak
harta wakaf yang kecil-kecil dan tersebar, amat tidak
mencukupi untuk memelihara harta wakaf itu sendiri.
Dengan kata lain, harta wakaf di bawah kekuasaan
nazhirnazhir tradisional justru menjadi beban umat karena
tidak menghasilkan apa-apa. Apalagi wakaf yang dikelola
oleh perseorangan yang kurang bertanggungjawab.
Kondisi ini kemudian melatarbelakangi dilakukannya
reformasi dalam manajemen dan administrasi harta wakaf
di negeri tersebut.52
Kemudian dibentuklah lembaga non pemerintah yang
menjadi solusi dalam menangani kemiskinan, yaitu Sosial
Investment Bank Limited (SIBL). Bank ini menjadi
alternatif peningkatan pendapatan bagi jutaan warga
miskin, di samping merupakan pilihan yang
menguntungkan warga yang kaya untuk investasi,
mendapatkan bagi hasil dan hidup dalam lingkungan
warga yang lebih baik, aman, dan damai. Caranya adalah
SIBL mengintrodusir Sertifikat Wakaf Tunai, sebuah
produk baru dalam sejarah perbankan sektor voluntary. Di
Dhaka, SIBL membuka peluang untuk membuka rekening
deposito wakaf tunai dengan tujuan berbagai sasaran
penting jangka panjang.
52 Ibid., hal. 89
92
SIBL juga menetapkan sasaran pemanfaatan dana
hasil pengelolaan wakaf tunai dengan rigid. Antara lain,
peningkatan standar hidup orang miskin, rehabilitasi orang
cacat, peningkatan standar hidup penduduk hunian kumuh,
membantu pendidikan anak yatim piatu, beasiswa,
pengembangan pendidikan modern, pengembangan
sekolah, kursus-kursus, akademi hingga universitas. Lalu,
mendanai riset, mendirikan rumah sakit dan bank darah,
menyelesaikan masalah sosial non muslim, membantu
proyek penciptaan lapangan kerja dan menghapus
kemiskinan. SIBL juga membuka penukaran tabungan
orang-orang kaya dengan Cash Waqf Certificate.53
Namun sayang, cerita kegemilangan pengelolaan harta
wakaf di negara-negara muslim ternyata belum terjadi di
Indonesia. Padahal kalau dilihat dari jumlahnya, harta
wakaf di seluruh tanah air terbilang cukup besar. Sebagian
besar wakaf itu berupa atau digunakan untuk rumah
ibadah, lembaga pendidikan Islam, pekuburan dan lain-
lain yang rata-rata tidak produktif. Karena itu, keberadaan
wakaf di Indonesia saat ini perlu mendapat perhatian
khusus, karena wakaf yang ada selama ini umumnya
berbentuk benda yang tidak bergerak yang sesungguhnya
mempunyai potensi yang cukup besar seperti tanah-tanah
produktif yang strategis untuk dikelola secara produktif.
Harta wakaf tersebut harus dikelola dan diberdayakan
dengan manajemen yang baik dan modern. Pemberdayaan
harta wakaf ini mutlak diperlukan dalam rangka menjalin
kekuatan ekonomi umat demi meningkatkan kesejahteraan

53 Ibid., hal. 90
93
masyarakat banyak. Tentu saja pemberdayaan ini
membutuhkan kerja sama dari semua pihak, khususnya
dunia perbankan yang mempunyai kekuatan dana untuk
memberikan pinjaman atau lembaga-lembaga pihak ketiga
lainnya yang tertarik dengan pengembangan wakaf. Kerja
sama kemitraan ini memerlukan dukungan dan komitmen
oleh semua pihak seperti pemerintah, ulama’, kaum
profesional, cendekiawan, pengusaha, perbankan dan
sebagainya sehingga potensi wakaf akan mempunyai
peranan yang cukup penting dalam tatanan ekonomi
nasional.

D. Perluasan Pemanfaatan Dana


Dalam Islam, wakaf sering disebut sebagai sumber
aset yang memberi kemanfaatan sepanjang masa. Namun,
pengumpulan, pengelolaan dan pendayagunaan harta
wakaf produktif di tanah air kita masih sedikit dan
ketinggalan dibanding negara lain. Begitupun studi
perwakafan di tanah air kita yang masih terfokus pada segi
hukum fikih
(mu’amalah) dan belum menyentuh manajemen
perwakafan. Padahal, semestinya wakaf bisa dijadikan
sebagai sumber dana dan aset ekonomi yang senantiasa
dapat dikelola secara produktif dan memberi hasil kepada
masyarakat. Sehingga dengan demikian harta wakaf

94
benarbenar menjadi sumber dana dari masyarakat untuk
masyarakat.54
Di negara lain telah lama tumbuh lembaga
perwakafan yang mapan. Bahkan masalah perwakafan
diatur dengan peraturan perundang-undangan. Di
Indonesia baru ada Peraturan Pemerintah RI No 28 Tahun
1977 yang mengatur tentang perwakafan tanah milik dan
sekarang kita telah memiliki undang-undang khusus
wakaf, yaitu Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf55.
Sebab itu, dapat dikatakan bahwa sampai saat ini
potensi wakaf sebagai sarana berbuat kebajikan bagi
kepentingan masyarakat belum dikelola dan diberdayakan
secara maksimal dalam ruang lingkup nasional. Padahal,
jika potensi wakaf ini diatur dan dikembangkan dengan
baik, akan membawa dampak yang begitu besar dalam
masyarakat. Beban persoalan sosial yang dihadapi bangsa
kita sekarang ini dan di masa mendatang akan terpecahkan
secara mendasar dan menyeluruh melalui sistem
pengumpulan, pengelolaan, dan pemberdayaan harta
wakaf dalam ruang lingkup nasional.
Menurut data Departemen Agama Republik
54 Drs. H. Tulus, Manajemen Kelembagaan Wakaf, makalah
dipresentasikan pada Workshop Internasional tentang “Pemberdayaan
Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Wakaf Produktif “, yang dilaksanakan
oleh The International Institute of Islamic Thought (IIIT), Batam, 7 Januari
2002.
55 Bandingkan misalnya dengan nagara-negara seperti Mesir, Turki,
Bangladesh dan sebagainya, lihat, Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf
Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003, Fiqih
Wakaf, hal 86-90.
95
Indonesiaterajhir terdapat jumlah tanah wakaf di Indonesia
sebanyak 403.845 lokasi dengan luas  1.566.672.406
M2. Apabila jumlah tanah wakaf ini dihubungkan dengan
negara yang saat ini sedang menghadapi berbagai krisis
khususnya krisis ekonomi, sebenarnya wakaf merupakan
salah satu lembaga Islam yang sangat potensial untuk lebih
dikembangkan guna membantu masyarakat yang kurang
mampu. Sayangnya, wakaf yang jumlahnya begitu banyak,
umumnyadigunakan secara konsumtif dan belum dikelola
secara produktif. Dengan demikian, lembaga wakaf di
Indonesia belum terasa manfaatnya secara optimal bagi
kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan data yang ada dalam masyarakat, pada
umumnya, wakaf di Indonesia digunakan untuk masjid,
mushalla, sekolah, rumah yatim piatu, makam dan sedikit
sekali tanah wakaf yang dikelola secara produktif dalam
bentuk suatu usaha yang hasilnya dapat dimanfaatkan bagi
pihak-pihak yang memerlukan termasuk fakir miskin.
Pemanfaatan tersebut dinilai dari segi sosial khususnya
untuk kepentingan keagamaan memang efektif. Tapi
dampaknya kurang berpengaruh dalam kehidupan
ekonomi masyarakat. Apabila peruntukan wakaf hanya
terbatas pada hal-hal di atas tanpa diimbangi dengan wakaf
yang dapat dikelola secara produktif, maka kesejahteraan
sosial masyarakat yang diharapkan tidak akan dapat
terealisasi secara optimal.
Dalam kondisi ekonomi yang memprihatinkan ini,
sesungguhnya peranan wakaf, di samping
instrumeninstrumen ekonomi Islam lainnya seperti zakat,

96
infaq, shadaqah dan lain-lainnya dapat dirasakan
manfaatnya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat
khususnya di bidang ekonomi dengan syarat dikelola
sebagaimana mestinya. Peruntukan wakaf di Indonesia
yang kurang mengarah kepada pemberdayaan ekonomi
umat dan cenderung hanya untuk kepentingan-kepentingan
kegiatan ibadah khusus dapat dimaklumi. Karena memang,
pada umumnya, ada keterbatasan umat Islam akan
pemahaman wakaf baik mengenai harta yang diwakafkan,
peruntukan wakaf maupun nazhir wakaf. Pada umumnya
umat Islam di Indonesia memahami bahwa peruntukan
wakaf hanya terbatas untuk kepentingan peribadatan dan
hal-hal yang lazim dilaksanakan di Indonesia seperti untuk
masjid, mushalla, sekolah, makam dan sebagainya.56
Agar wakaf di Indonesia dapat memberikan
kesejahteraan sosial bagi masyarkat, maka diperlukan
pengelolaan wakaf secara optimal oleh para nazhir. Untuk
mendorong atau mengoptimalkan wakaf oleh para nazhir
perlu ada suatu badan wakaf yang berskala nasional yang
berfungsi antara lain memberikan pertimbangan
pengelolaan wakaf. Di samping itu juga badan wakaf
tersebut berfungsi sebagai nazhir untuk pengelola wakaf
produktif atau wakaf uang.
Di sinilah pengelolaan dana wakaf sebagai instrumen
investasi bisa menjadi alternatif kebuntuan pengelolaan
harta wakaf. Artinya pemanfaatan yang selama ini
terkesan ‘jalan di tempat’ bisa diterobos. Pengelolaan
model ini cukup menarik karena benefit atas investasi
56 Ibid.,
97
tersebut akan dapat dinikmati oleh masyarakat di mana
saja. Hal ini dimungkinkan karena benefit atas investasi
tersebut berupa cash yang dapat ditransfer ke beneficiary
manapun di seluruh dunia. Sementara investasi atas dana
wakaf tersebut dapat dilakukan di manapun tanpa batas
negara, mengingat sifat wakaf tunai yang dapat
diinvestasikan di negara manapun.57
Hal inilah yang diharapkan mampu menjembatani
kesenjangan antara masyarakat “kaya” dengan masyarakat
“miskin”, karena diharapkan terjadi transfer kekayaan
(dalam bentuk keuntungan investasi) dari masyarakat kaya
kepada masyarakat miskin. Proses ini dapat menjadi efek
bola salju ketika benefit atas dana wakaf bisa
diinvestasikan kembali dan seterusnya.
Selain itu, wakaf model ini dapat memperluas
jangkauan pemberi wakaf dan peningkatan produktifitas
harta wakaf dengan penjelasan sebagai berikut:58

1. Wakaf dalam bentuk fixed asset hanya dapat


diberikan oleh mereka yang tergolong masyarakat
yang mempunyai asset yang berlebih, sehingga
kelebihan tersebut dapat diwakafkan. Sedangkan
untuk masyarakat yang tidak mempunyai asset
berlebih tentunya akan menghadapi kendala untuk
melakukan wakaf dalam bentuk fixed asset.
Masyarakat tersebut dapat memberikan wakaf dalam
57 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan
Penyelenggaraan Haji, 2003, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan
Wakaf, hal. 108
58 Ibid., hal. 109
98
bentuk uang tunai, dimana uang tersebut dapat
dikumpulkan. Terlebih dahulu oleh seorang pengelola
untuk kemudian diinvestasikan, dan benefit atas
investasi tersebut dapat didistribusikan kepada
benificiary.
2. Wakaf tunai dapat digunakan untuk memproduktifkan
asset-asset wakaf yang sekarang tersebar di banyak
negeri kaum muslimin. Sebagai contoh di Bangladesh
terdapat 150.593 aset wakaf. Dengan demikian, wakaf
tunai dapat digunakan sebagai sarana untuk
memotivasi dana masyarakat dengan jangkauan
lapisan masyarakat yang lebih luas ke dalam bentuk
modal investasi produktif dan dapat digunakan untuk
memproduktifkan asset wakaf yahg sudah ada.

Ke depan, sangat penting untuk memberdayakan


wakaf, baik wakaf benda bergerak maupun benda tidak
bergerak agar dapat meningkatkan kesejahteraan umat
Islam pada khususnya dan masyarakat pada umumya serta
meningkatkan perkembangan Islam di Indonesia.
Untuk mencapai sasaran tersebut, perlu adanya
paradigma baru antara lain perlu pengembangan wakaf
benda bergerak termasuk wakaf uang dan saham.
Pengeloalan wakaf dalam bentuk benda bergerak termasuk
wakaf uang dan saham dilakukan oleh suatu badan
tersendiri. Wakaf benda bergerak itu kemudian
dikembangkan melalui lembaga-lembaga perbankan atau
badan usaha dalam bentuk investasi. Hasil dari
pengembangan wakaf itu kemudian dipergunakan untuk

99
keperluan sosial, seperti untuk meningkatkan pendidikan
Islam, pengembangan rumah sakit Islam, bantuan
pemberdayaan ekonomi umat, dan bantuan atau
pengembangan sarana dan prasarana ibadah. Di samping
itu, tidak menutup kemungkinan dipergunakan untuk
membantu pihak-pihak yang memerlukan seperti bantuan
pendidikan, bantuan penelitian, dan lain-lain.
Sementara itu, wakaf yang ada dan sudah berjalan di
kalangan masyarakat dalam bentuk wakaf tanah milik,
perlu dilakukan pengamanan dan dalam hal benda wakaf
yang mempunyai nilai produktif perlu didorong untuk
dilakukan pengelolaan yang bersifat produktif. Badan
wakaf itu dapat membantu baik dalam pembiayaan
maupun pembinaan para nazhir untuk dapat melakukan
pengelolaan wakaf produktif

100
Bagian Keempat
WAKAF TUNAI DI NEGARA-NEGARA MUSLIM

Dalam catatan sejarah Islam, wakaf tunai (cash waqf)


ternyata sudah dipraktikkan sejak awal abad kedua
hijriyah. Sebagaimana dijelaskan oleh M Syafii Antonio
yang mengutip hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari, dijelaskan bahwa Imam az Zuhri (w. 124 H)
salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar
kodifikasi hadits (tadwin al-hadits) memfatwakan,
dianjurkannya wakaf dinar dan dirham untuk
pembangunan sarana dakwah, sosial, dan pendidikan umat
Islam. Adapun caranya adalah dengan menjadikan uang
tersebut sebagai modal usaha kemudian menyalurkan
keuntungannya sebagai wakaf.59
Dari sini kemudian muncullah berbagai analisis
tentang pentingnya wakaf tunai yang dewasa ini
digalakkan di beberapa negara Islam di dunia. Paling tidak
–masih menurut Syafii- ada empat manfaat utama dari
wakaf uang dewasa ini. Pertama, wakaf uang jumlahnya
bisa bervariasi sehingga seseorang yang memiliki dana
terbatas pun bisa memberikan dana wakafnya tanpa harus
menunggu menjadi tuan tanah (hartawan) terlebih dahulu.
Kedua, melalui wakaf uang, aset-aset wakaf yang berupa
tanahtanah kosong bisa mulai dimanfaatkan dengan
pembangunan gedung atau diolah untuk lahan pertanian.

59 M Syafii Antonio, Republika. Senin, 04 Februari 2002

101
Ketiga, dana wakaf tunai juga bisa membantu sebagian
lembaga-lembaga pendidikan Islam yang cash flow-nya
terkadang kembang-kempis dan menggaji civitas
akademika ala kadarnya. Keempat, pada gilirannya, insya
Allah, umat Islam dapat lebih mandiri dalam
mengembangkan dunia pendidikan tanpa harus terlalu
tergantung pada anggaran pendidikan negara yang
memang semakin lama semakin terbatas.60
Lebih jauh, Syafii mencoba untuk mengilustrasikan
betapa pentingnya penggunaan wakaf tunai. Dalam dunia
pendidikan misalnya, ia melihat adanya tiga filosofi dasar
yang harus ditekankan ketika kita hendak menerapkan
prinsip wakaf tunai dalam dunia pendidikan. Pertama,
alokasi cash waqf harus dilihat dalam bingkai ''proyek
yang terintegrasi'', bukan bagian-bagian dari biaya yang
terpisah pisah. Contohnya adalah anggapan dana wakaf
akan ''habis'' bila dipakai untuk membayar gaji guru atau
upah bangunan, sementara wakaf harus ''abadi''. Dengan
bingkai proyek, sesungguhnya, dana wakaf akan
dialokasikan untuk program-program pendidikan dengan
segala macam biaya yang terangkum di dalamnya. Kedua,
asas kesejahteraan nazhir. Sudah terlalu lama nazhir sering
kali diposisikan kerja asal-asalan alias lillahi ta'ala (dalam
pengertian sisa-sisa waktu dan bukan perhatian utama) dan
wajib ''berpuasa''. Sebagai akibatnya, sering kali kinerja
nazhir asal-asalan juga. Sudah saatnya, kita menjadikan
nazhir sebagai profesi yang memberikan harapan kepada
lulusan terbaik umat dan profesi yang memberikan
60 Ibid.
102
kesejahteraan, bukan saja di akhirat, tetapi juga di dunia.
Di Turki, misalnya, badan pengelola wakaf mendapatkan
alokasi 5 persen dari net income wakaf. Angka yang sama
juga diterima Kantor Administrasi Wakaf Bangladesh.
Sementara itu, The Central Waqf Council India
mendapatkan sekitar 6 persen dari net income pengelolaan
dana wakaf.
Ketiga, asas transparansi (accountability) di mana
badan wakaf dan lembaga yang dibantunya harus
melaporkan setiap tahun akan proses pengelolaan dana
kepada umat dalam bentuk audited financial report
(laporan keuangan yang sudah diaudit) termasuk
kewajaran dari masing-masing pos biayanya.61
Melihat kecenderungan yang begitu potensial, dan
terutama dengan melihat perkembangan pengelolaan
wakaf tunai yang ada di negara-negara lain, maka
kesempatan yang sama juga sebenarnya bisa diberlakukan
di Indonesia. Karena di beberapa negara lain yang
notabene berpenduduk mayoritas muslim, wakaf
dikembangkan sebagai salah satu alternatif dan instrumen
yang cukup memadai untuk menyejahterakan kehidupan
umat. Harus diakui pula bahwa secara konseptual dan
praktis, penggunaan kata-kata wakaf sampai saat ini
cenderung masih dipahami sebagai pemberian sesuatu
yang berbentuk benda-benda tidak bergerak, seperti lahan
tanah atau bangunan. Pemahaman dan praktik semacam ini
telah berlangsung sekian lama, bahkan wakaf yang sudah
mulai dikelola oleh negara seperti pada empirium Ottoman

61 Ibid.
103
(Usmani 1516-1918) pun masih terbatas pada bentuk
benda-benda tidak bergerak.62
Sementara bentuk lain dari wakaf yang berupa tunai,
seperti investasi belum banyak dikenal di kalangan
masyarakat muslim.
Seiring dengan perkembangan kehidupan masyarakat
yang cenderung berhadapan dengan kehidupan global,
maka hal-hal spesifik pengembangan ekonomi yang
menyejahterakan umat menjadi lirikan baru. Dalam Islam,
pemberdayaan ekonomi bukan hanya bisa dilakukan
melalui zakat, infak, atau shadaqah, melainkan perbankan
Syari’ah dan wakaf dinilai sebagai alternatif yang cukup
memadai. Pada sekitar abad 19, di beberapa negara
muslim seperti Aljazair, misalnya, reformasi pengelolaan
wakaf ini dibuktikan dalam bentuk sumbangan tanah
sekitar 1/2 dari luas tanah produktif. Pada tahun 1883,
Tunisia mengelola wakaf tanah yang mencapai jumlah 1/3,
di Turki (1928) mencapai 3/4, di Mesir (1935) mencapai
1/7, dan Iran (1930) mencapai 15%. Akumulasi pemilikan
tanah wakaf yang begitu luas telah mendorong beberapa
negara melakukan reformasi.
Sebagai perbandingan, ternyata bukan hanya
negaranegara muslim saja yang telah begitu piawai dalam
pengelolaan dan pengembangan wakaf, Sri Langka,
sebuah negara yang notabene bukan tergolong negara
muslim, mulai mendirikan lembaga wakaf sejak Islam
masuk dan berkembang di negara tersebut. Pada tahun

62 Michael Dumper, Wakaf Muslimin di Negara Yahudi, (Jakarta:


Lentera, 1999), h.1
104
1801, pemerintah kolonial Inggris mengeluarkan peraturan
berkenaan dengan lembaga-lembaga Islam di negara itu.
melalui Muhammadan Code 1806, peraturan berupa
undang-undang untuk umat Islam dibakukan yang
didasarkan pada fiqih Syafii. Lalu pada tahun 1931,
pemerintah Sri Langka mengeluarkan Ordonansi Wakaf
dan Waris No 31/1931. Menurut ordonansi itu, pengadilan
distrik merupakan pengawas perwalian wakaf. Hanya saja,
secara de facto, ordonansi itu tidak bisa dilaksanakan
karena terdapat banyak hal dalam konsep wakaf yang
bertentangan dengan hukum Romawi-Belanda yang sudah
diberlakukan lebih dahulu di pengadilan distrik Sri
Langka.
Benturan antara ordonansi wakaf-waris dengan
hukum Romawi-Belanda itu pada akhirnya mampu diatasi
berkat perjuangan kaum intelektual muslim di sana. Atas
desakan berbagai pihak, pemerintah mengeluarkan UU
Wakaf No 51/1956 yang kurang lebih menjelaskan tentang
dibentuknya Badan Wakaf yang bertugas mengawasi dan
menyelesaikan masalah-masalah wakaf. Perjuangan tidak
hanya berhenti di situ, celah-celah (kelemahan) dalam UU
itu bisa teratasi setelah dibentuk Kementrian Agama pada
1977. Setelah ada kementrian, barulah dibuat amandemen
UU Wakaf dengan peraturan No 33/1982 yang memberi
payung hukum bagi pembentukan Pengadilan Syari’ah,
suatu pengadilan yang di antaranya menangani masalah
wakaf. Setelah itu, dibentuklah Badan Pertimbangan
Wakaf yang berwenang memeriksa masalah-masalah
wakaf dan mengawasi perwalian wakaf. Fenomena wakaf

105
yang ada di Srilangka dalam beberapa hal memang banyak
kemiripannya dengan yang di Indonesia, yaitu banyaknya
praktik wakaf yang terbatas pada tanah, bangunan, dan
juga kuburan.
Secara historis, anjuran dan misi wakaf untuk
menciptakan kesejahteraan sosial sebenarnya telah
dicontohkan di zaman kejayaan Islam di masa lalu. Di
masa Dinasti Abbasiyah, wakaf telah dikembangkan
sedemikian rupa sehingga menjadi sumber pendapatan
negara. Ketika itu, wakaf yang pada awalnya meliputi
berbagai aset semacam masjid, mushala, sekolah, tanah
pertanian, rumah, toko, kebun, pabrik roti, bangunan
kantor, gedung pertemuan, tempat perniagaan, pasar,
tempat pemandian, gudang beras, dan lain-lain pada
akhirnya bisa diambil manfaatnya sebagai isntrumen
pendapatan negara.
Kebiasaan di masa Dinasti Abbasiyah itu diteruskan
sampai sekarang di beberapa negara Islam sesuai dengan
perkembangan zaman. Di negara seperti Malaysia, Saudi
Arabia, Mesir, Turki, dan Yordania, lembaga wakaf
berkembang sangat maju dan mampu memberi manfaat
yang besar, bukan hanya untuk umat di negeri itu,
melainkan juga umat di negeri lain karena ternyata ia
mampu menjadi sarana pemberdayaan ekonomi yang
cukup memadai bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat, seperti pengembangan kegiatan dalam
memajukan kebudayaan Islam, pemberian beasiswa,
pembiayaan terhadap berbagai kegiatan penelitian,
penyediaan fasilitas kesehatan, dan lain-lain.

106
Khususnya di negara-negara tersebut, wakaf tidak
hanya berupa tanah atau bangunan, tetapi juga berupa
investasi saham, uang, real estate, tanah pertanian, flat,
tempat ibadah, dan pendidikan yang kesemuanya dikelola
dengan baik dan produktif, sehingga hasilnya dapat
digunakan untuk mewujudkan kesejahteraan umat.

A. Arab Saudi
Pemerintah Kerajaan Saudi Arabia membuat
peraturan bagi Majelis Tinggi Wakaf dengan ketetapan
No. 574 tanggal 16 Rajab 1386 sesuai dengan Surat
Keputusan Kerajaan No. M/35, tanggal 18 Rajab 1386.
Majelis Tinggi Wakaf diketuai oleh Menteri Haji dan
Wakaf, yakni Menteri yang mengawasi wakaf dan
menguasai permasalahan-permasalahan perwakafan
sebelum dibentuk Majelis Tinggi Wakaf. Adapun anggota
Majelis Tinggi Wakaf terdiri atas wakil Kementerian Haji
dan Wakaf, ahli hukum Islam dari Kementerian
Kehakiman, wakil dari Kementerian (Departemen)
Keuangan dan Ekonomi, Direktur Kepurbakalaan serta
tiga anggota dari kalangan cendekiawan dan wartawan.
Majelis Tinggi Wakaf mempunyai wewenang untuk
membelanjakan hasil pengembangan wakaf dan
menentukan langkah-langkah dalam mengembangkan
wakaf berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan wakif
dan manajemen wakaf. Di samping itu Majelis Tinggi
Wakaf juga mempunyai beberapa wewenang, antara lain:
(1) melakukan pendataan wakaf serta menentukan
cara-cara pengelolaannya; (2) menentukan langkah-

107
langkah umum untuk penanaman modal, pengembangan
dan peningkatan harta wakaf; (3) mengetahui kondisi
semua wakaf yang ada. Langkah ini dilakukan untuk
menguatkan kedudukannya sebagai lembaga yang
menguasai permasalahan wakaf serta untuk mencari jalan
pemecahannya; (4) membelanjakan harta wakaf untuk
kebajikan menurut syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh
wakif dan sesuai dengan Syari’at Islam; (5) menetapkan
anggaran tahunan demi kelangsungan wakaf dan
mendistribusikan hasil pengembangan harta wakaf tersebut
menurut pertimbangan-pertimbangan tertentu; (6)
mengembangkan wakaf secara produktif dan
mengumumkan hasil wakaf yang sudah dikeluarkan oleh
pemerintah.
Wakaf yang ada di Saudi Arabia bentuknya
bermacammacam seperti hotel, tanah, bangunan (rumah)
untuk penduduk, toko, kebun, dan tempat ibadah. Dari
macammacam harta wakaf tersebut ada yang diwakafkan
untuk dua kota suci yakni kota Makkah dan Madinah.
Pemanfaatan hasil wakaf yang utama adalah untuk
memperbaiki dan membangun wakaf yang ada agar wakaf
tersebut kekal dengan tetap melaksanakan syarat-syarat
yang diajukan oleh wakif.
Sebagai salah satu negara dengan penghasilan aset
ekonomi yang melimpah diiringi dengan komitmen untuk
menjalankan ajaran-ajaran Islam, Arab Saudi tergolong
yang sangat serius menangani wakaf, di antaranya dengan
membantuk Kementrian Haji dan Wakaf. Lembaga
(departemen) ini berkewajiban mengembangkan dan

108
mengarahkan wakaf sesuai dengan syarat-syarat yang telah
ditetapkan waqif. Untuk mengawal kebijakan perwakafan,
pemerintah membentuk Majelis Tinggi Wakaf yang
diketuai oleh Menteri Haji dan Wakaf dengan anggota
terdiri atas ahli hukum Islam dari Kementrian Kehakiman,
wakil dari Kementrian Ekonomi dan Keuangan, Direktur
Kepurbakalaan serta tiga anggota dari cendekiawan dan
wartawan.
Yang menarik adalah bahwa bentuk wakaf di negara
air zam-zam ini bentuknya macam-macam. Ada yang
berbentuk hotel, bangunan untuk penduduk, toko, kebun,
dan tempat ibadah. Dan di antara wakaf-wakaf itu pula,
terdapat ketentuan khusus yang diwakafkan untuk
kebutuhan kota suci Mekah dan Madinah. Dengan
pengertian lain, bahwa segala manfaat yang diperoleh dari
wakaf itu, diperuntukkan bagi pembangunan kedua kota
suci itu seperti membangun perumahan penduduk,
membangun sejumlah hotel di seputar Masjidil Haram,
dan fasilitas lain yang diniatkan untuk melayani kebutuhan
jamaah haji.

B. Mesir
Di negeri ini wakaf telah berkembang dengan
menakjubkan karena memang dikelola secara profesional.
Pada awalnya, Hakim Mesir di zaman Hisyam bin Abd
Malik yang bernama Taubah bin Namirlah yang pertama
kali melakukan wakaf yang pada waktu itu berupa tanah
untuk bendungan.63 Lalu, beberapa puluh tahun kemudian,

63 M Abu Zahra, Muhadharah fi al-Waqfi, (tpn: 1959), h. 11


109
wakaf ditangani oleh salah satu departemen dalam
pemerintahan. Meski begitu masih juga ada masalah yang
muncul dalam pengelolannya, sehingga pemerintah Mesir
terus melakukan pengkajian untuk mengembangkan
pengelolaan wakaf, dengan tetap berlandaskan pada
Syari’ah Islam.
Mulanya, masih terdapat bentuk wakaf yang
dilakukan oleh dan untuk keluarga atau bahkan pribadi.
Tetapi pada tahun 1946 pemerintah Mesir mengeluarkan
undangundang yang mengatur dan menegaskan bahwa
semua Wakaf Keluarga diubah bersifat sementara. Baru
kemudian pada tahun 1952, sebuah peraturan baru
diluncurkan yang mengatur tentang tidak
diperbolehkannya Wakaf Pribadi (wakaf ahli) kecuali
untuk tujuan-tujuan derma. Sampai akhirnya pada tahun
1971 pemerintah Mesir membentuk Badan Wakaf yang
bertugas melakukan kerjasama dalam memeriksa tujuan
peraturan-peraturan dan programprogram pengembangan
wakaf. Badan ini juga bertugas mengusut dan
melaksanakan semua pendistribusian wakaf serta semua
kegiatan perwakafan agar sesuai dengan tujuantujuan yang
telah ditetapkan. Badan ini juga menguasai pengelolaan
wakaf dan memiliki wewenang untuk membelanjakan
dengan sebaik-baiknya.
Untuk mengembangkan dan mengelola harta wakaf
secara lebih efektif, Badan Wakaf menitipkan hasil harta
wakaf di bank-bank Islam. Di samping itu, Badan Wakaf
juga berpartisipasi dalam mendirikan bank-bank Islam,
bekerjasama dengan sejumlah perusahaan, membeli saham

110
dan obligasi perusahaan penting dan memanfaatkan
lahanlahan kosong agar menjadi produktif sehingga
pengembangan wakaf yang dikelola secara profesional
sangat bermanfaat untuk membantu kehidupan para kaum
dhuafa, fakir-miskin, bahkan sampai penyediaan fasilitas
kesehataan berupa rumah sakit dan obat-obatan.
Memang, di Mesir sepertinya tidak terlalu
mendikotomikan antara wakaf tunai dengan wakaf reguler.
Karena Badan Wakaf berwenang untuk mengelola dan
mengembangkan keduanya. Tetapi, jika ditilik dari
beberapa bentuk wakaf yang dilaksanakan seperti
pembolehan kredit bank sebagai subjek wakaf, ini
menunjukkan bahwa Mesir memiliki concern yang cukup
tinggi dalam pengembangan wakaf tunai.

C. Turki
Lain lagi apa yang telah berkembang di Turki. Negara
yang saat ini dianggap sebagai negara Islam sekular karena
beberapa praktik kehidupan masyarakatnya yang lebih
dekat dengan Barat ini memiliki sejarah panjang dalam
pengelolaan wakaf, yang kalau dirunut sejarahnya dimulai
sejak masa Utsmaniyah. “Pada tahun 1925 saja, harta
wakafnya mencapai ¾ dari luas lahan produktif di Turki”
ujar Mustafa Edwin Nasution, ketua Program Studi Timur
Tengah dan Islam, Universitas Indonesia. Pusat
Administrasi Wakaf juga berkembang dengan baik. Kini
untuk memobilisasi sumber-sumber wakaf dan membiayai
bermacam-macam jenis proyek joint-venture telah
didirikan Waqf Bank & Finance Corporation.

111
Sebagaimana disinggung pada bab sebelumnya bahwa
pengelolaan wakaf di Turki juga dikelola oleh Direktorat
Jenderal Wakaf. Sejauh ini ada dua pelayanan yang
diberikan oleh Direktorat Jenderal Wakaf, yaitu pelayanan
kesehatan dan pelayanan pendidikan dan sosial. Pelayanan
kesehatan diberikan melalui wakaf-wakaf rumah sakit.
Peran Dirjen Wakaf di Turki begitu besar dalam
pengelolaan wakaf dengan terus mengembangkan harta
wakaf secara produktif melalui upaya komersial dan
hasilnya untuk kepentingan sosial. Upaya komersial Dirjen
Wakaf Turki terhadap harta wakaf adalah dengan
melakukan kerjasama dan investasi di berbagai lembaga,
antara lain Yvalik and Aydem Olive oil Corporation,
Tasdelen Healthy Water Corporation, Auqaf Guraba
Hospital, Taksim Hotel (Sheraton), Turkish Is Bank,
Ayden Textile Industry dan lain-lain.

D. Bangladesh
Di samping terkenal sebagai negara miskin,
Bangladesh juga merupakan negara terbelakang dengan
jumlah penduduk yang besar, yaitu sekitar 120 juta jiwa
dengan luas daerah 55.000 mil persegi. Selain itu, kondisi
alam yang seringkali kurang menguntungkan karena
negara ini termasuk sering tertimpa bencana seperti banjir
dan angin topan. Peningkatan populasi Bangladesh juga
cukup padat, yaitu 717 orang per km persegi dan juga
termasuk salah satu dari negara yang mempunyai sumber
daya alam yang sangat terbatas. Berbagai dimensi
kemiskinan ini antara lain tercermin dari penurunan

112
pendapatan riil sektor pertanian, ketidakmerataan
distribusi pendapatan yang cenderung menguntungkan
masyarakat perkotaan, perbedaan gaji antarsektor formal
dan informal, peningkatan dramatis dalam biaya hidup,
mencuatnya beberapa masalah pemenuhan kesehatan
masyarakat, pengangguran, dan migrasi internal. Mungkin
jika ditilik dari kehidupan ketatanegaraan, Bangladesh
sebenarnya hanya membutuhkan manajemen SDM yang
lebih baik, agar kehidupan masyarakatnya lebih makmur.
Terlepas dari fenomena kehidupan masyarakat yang
relatif miskin dan serba kekurangan, di bidang yang lain,
terutama dalam pengamalan ajaran keagamaan,
masyarakat Bangladesh bisa dianggap begitu antusias
dalam hal praktik ajaran keagamaan. Dalam hal yang
berkaitan dengan pemahaman ajaran agama dan kebutuhan
peningkatan ekonomi, masyarakat Bangladesh sepertinya
sadar bahwa mereka membutuhkan alternatif
pengembangan ekonomi masyarakat yang berbasis
Syari’ah. Dan wakaf tunai, selain juga wakaf regular
menjadi sarana pendukung kesejahteraan ekonomi
masyarakat. Di Bangladesh wakaf telah dikelola oleh
Social Investment Bank Ltd. (SIBL). Bank ini telah
mengembangkan Pasar Modal Sosial (the Voluntary
Capital Market). Instrumen-instrumen keuangan Islam
yang telah dikembangkan, antara lain: surat obligasi
pembangunan perangkat wakaf (Waqf Properties
Development Bond), sertifikat wakaf tunai (Cash Waqf

113
Deposit Certificate),64 sertifikat wakaf keluarga (Family
Waqf Cetificate), obligasi pembangunan perangkat
masjid (Mosque Properties Development Bond), saham
komunitas masjid (Mosque Community Share), Quard-e-
Hasana Certificate, sertifikat pembayaran zakat
(Zakat/Ushar Payment Certificate), sertifikat simpanan
haji (Hajj Saving Certificate), dan lainlain.
Pada sistem fiskal yang kini berlaku di negara-negara
muslim, khususnya di Bangladesh, perpajakan
dititikberatkan pada Pajak Tidak Langsung yang sifatnya
regresif, yaitu pajak yang menerapkan tarif yang semakin
rendah dengan semakin tingginya jumlah penghasilan
yang kena pajak. Di Bangladesh, terdapat kurang-lebih
85% dari total pendapatan pajak pada 1995-1996 berupa
pajak tidak langsung. Sebagian besar pajak langsung dapat
dikonversikan sebagai bentuk tanggung-jawab sosial
64 Prof. Manan, pakar ekonomi Islam asal Bangladesh
mengemukakan bahwa sertifikat wakaf tunai Cash Waqf Certificate (SWT)
merupakan upaya inovasi finansial di bidang perwakafan. Bila langkah ini
berhasil dijalankan dengan baik, akan mampu memberikan manfaat untuk
kesejahateraan umat. Contohnya adalah yang pernah dilakukan di
Bangladesh, yang menuai kesuksesan besar. Wakaf Tunai membuka
peluang yang unik bagi penciptaan investasi di bidang keagamaan,
pendidikan, dan pelayanan sosial. Tabungan dari anggota masyarakat
berpenghasilan tinggi dapat dimanfaatkan melalui penukaran SWT.
Sedangkan pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan Wakaf Tunai dapat
dibelanjakan untuk berbagai tujuan yang berbeda. Di antaranya untuk
pemeliharaan harta wakaf sendiri serta pengeluaran lainnya. Jika ada
organisasi Lembaga Wakaf yang dikelola secara profesional, maka akan
menjadi lahan baru bagi Muslim kelas menengah untuk beramal. Dan itu
berarti upaya pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi kecil
bukan lagi impian. Lihat www.republika.co.id, Jum’at, 22 Agustus 2003.

114
melalui penerbitan Sertifikat Wakaf Tunai. Sertifikat
tersebut dapat menggantikan sebagian atau seluruh pajak
penghasilan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur
kemanusiaan dan sosial. Dalam konteks ini, Wakaf Tunai
dapat dipandang sebagai bentuk gerakan pembangunan
masyarakat dalam mengatasi masalah pendidikan, sosial,
dan ekonomi.

E. Yordania
Secara administratif, pelaksanaan pengelolaan wakaf
di Kerajaan Yordania didasarkan pada Undang-undang
Wakaf Islam No. 25/1947. Dalam UU tersebut disebutkan
bahwa yang termasuk dalam urusan Kementerian Wakaf
dan Urusan Agama Islam adalah wakaf masjid, madrasah,
lembaga-lembaga Islam, rumah-rumah yatim, tempat
pendidikan, lembaga-lembaga Syari’ah, kuburan-kuburan
Islam, urusan-urusan haji, dan urusan-urusan fatwa. UU
wakaf yang mengatur tentang pengaturan wakaf tersebut
kemudian diperkuat oleh Undang-Undang Wakaf No
26/1966. Dalam Pasal 3, secara rinci disebutkan bahwa
tujuan Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Islam
antara lain adalah sebagai berikut:
1. Memelihara masjid dan harta wakaf serta
mengendalikan urusan-urusannya;
2. Mengembangkan masjid untuk menyampaikan risalah
Nabi Muhammad SAW dengan mewujudkan
pendidikan Islam;
3. Membakar semangat jihad dan menguatkan jiwa
Islam serta meningkatkan kualitas keimanan;

115
4. Menumbuhkan akhlak Islam dan menguatkannya
dalam kehidupan kaum Muslimin;
5. Menguatkan semangat Islam dan menggalakkan
pendidikan agama dengan mendirikan
lembagalembaga dan sekolah untuk menghafal Al-
Qur’an;
6. Menyosialisasikan budaya Islam, menjaga
peninggalan Islam, melahirkan kebudayaan baru
Islam dan
menumbuhkan kesadaran beragama.65

Secara teknis, Kementerian Wakaf membentuk


Majelis Tinggi Wakaf yang diketuai oleh Menteri. Majelis
Tinggi Wakaf menetapkan usulan-usulan yang ada di
Kementerian yang berasal dari Direktur Keuangan,
kemudian Menteri membawanya kepada Dewan Kabinet
untuk mendapat pengesahan. Dalam menjalankan
tugasnya, Kementerian Wakaf selalu bersandar pada
Undang-Undang No. 26/1966. Hal ini mengingat bahwa di
dalam UU tersebut secara tegas disebutkan bahwa yang
berwenang mengelola harta wakaf dan mengendalikannya
adalah Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Islam.
Selain itu, Kementrian Wakaf juga harus bersandar pada
peraturan-peraturan wakaf yang lain. Seperti UU Wakaf
Islam No 25/1947 sebagaimana tersebut di atas.
Kementerian Wakaf diberi wewenang untuk
membelanjakan hasil pengembangan wakaf sesuai dengan

65 Dr Uswatun Hasanah, ‘Perwakafan di Yordania’,


www.modalonline.com, 21 April 2004.
116
rencana-rencana yang telah digariskan oleh Direktorat
Keuangan. Pada tahun 1984, pendapatan yang dihasilkan
dari pengembangan wakaf kurang lebih sebagai berikut:
1. Hasil sewa diperkirakan mencapai 680 ribu dinar
Yordania;
2. Pendapatan yang berasal dari tempat-tempat suci
mencapai 120 ribu dinar Yordania;
3. Pendapatan pabrik, rumah-rumah yatim dan industri
di Yerusalem mencapai kurang lebih 80 ribu dinar
Yordania;
4. Pendapatan lain yang bermacam-macam kira-kira
mencapai 160 ribu dinar Yordania.66

Dari sekian pendapatan yang diperoleh, pada tahun


1984, terkumpullah sejumlah pendapatan dari
pengembangan wakaf yang mencapai 1,030 juta dinar
Yordania. Jumlah yang demikian tinggi ini memang tidak
dengan mudah dan semena-mena dibelanjakan oleh
Kementerian Wakaf. Sehingga untuk memudahkan alokasi
pendapatan yang ada, pemerintah mendirikan Direktorat
Pembangunan dan Pemeliharaan Wakaf Islam yang
bertugas untuk memelihara, memperbaiki, dan membantu
tugas-tugas kementrian wakaf.
Selain itu, Direktorat baru ini pun mulai menjalankan
beberapa proyek, di antaranya proyek-proyek yang
dibangun cukup banyak dan meliputi wilayah Tepi Timur
dan Tepi Barat. Adapun proyek yang dilaksanakan di Tepi
Timur antara lain adalah pembangunan kantor-kantor

66 Ibid.
117
wakaf di Amman dengan biaya 80.000 (delapan puluh
ribu) dinar Yordania; pembangunan apartemen hunian di
Amman dengan biaya 85 ribu dinar, dan beberapa proyek
lainnya. Sedangkan proyek yang dilaksanakan di Tepi
Barat antara lain adalah kantor-kantor, pertokoan, dan
pusat perdagangan di tanah-tanah wakaf. Biaya
pembangunan yang dilakukan baik di wilayah Tepi Barat
maupun Tepi Timur tersebut diperkirakan menelan biaya
700 ribu dinar. Meskipun demikian, pelaksanaan proyek
ini tetap saja membutuhkan lembaga khusus yang
menangani masalah studi kelayakan terhadap rencana-
rencana pengembangan tanah wakaf dengan tujuan agar
proyek dapat berjalan dengan baik.
Yang menarik adalah bahwa Wizarat al-Auqaf mampu
ikut serta dalam meningkatkan peranan wanita dalam
pembangunan. Kementerian Wakaf mengelola wakaf
dengan mengutamakan perlengkapan administrasi wakaf
yang memadai sesuai saran para ahli. Untuk mencapai
tujuan yang diharapkan Kementerian Wakaf
mempergunakan berbagai cara. Adapun cara-cara
pengembangan wakaf yang dilakukan Kementerian Wakaf
antara lain adalah sebagai berikut:
1. Mengembangkan hasil harta wakaf itu sendiri;
2. Menyewakan tanah-tanah wakaf dalam waktu yang
lama;
3. Kementerian Wakaf meminjam uang kepada
pemerintah untuk membangun proyek-proyek
pembangunan tanah wakaf yang ada di kota Amman,
Aqabah dan lain-lain;

118
4. Menanami tanaman-tanaman di tanah pertanian.67

Dari sini semakin jelaslah bahwa wakaf yang


dipraktikkan di Yordania maupun negara lain,68 meskipun
sepintas lalu, masih menerapkan bentuk wakaf yang
konvensional tetapi sesungguhnya pengembangannya
sudah dilakukan sedemikian rupa sehingga mampu
dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat. Hal ini
tentu saja berbeda dengan yang terjadi di Indonesia
dimana wakaf masih dipahami sebagai pemberian cuma-
cuma harta benda berupa tanah dan bangunan.
Jika melihat pengalaman negara lain, maka
sebenarnya lembaga wakaf di Indonesia dapat difungsikan
untuk meningkatkan kesejahteraan umat. Usaha kecil
kaum muslimin bisa dikembangkan dengan dana wakaf.
Begitu pula pemeliharaan masjid dan sekolah juga bisa
menggunakan dana dari pengembangan wakaf. Dan
khusus untuk wakaf tunai, salah satu tujuan yang ingin
diperoleh melalui jalur ini adalah tiadanya lagi pembatasan
bagi siapapun yang ingin menginfakkan sebagian hartanya

67 Ibid.
68 Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Jawa Barat, Uce K
Suganda menjelaskan bahwa di Amerika Serikat, negara yang sering
bersitegang dengan negara-negara muslim, wakaf telah dikelola secara
profesional oleh lembaga keuangan yang bonafid. Di sana lembaga yang
mengelola wakaf adalah the Kuwait Awqaf Public Foundation (KAPF) yang
bermarkas di New York, dengan Al Manzil Islamic financial Services
sebagai advisornya. Berkat kerjasama KAPF dengan AL Manzil ini pula
misalnya, telah berhasil dibangun satu apartemen senilai US$85 juta di atas
tanah yang dikuasai the Islamic Cultural Center of New York. Lihat
www.republika.co.id, Jum’at, 14 Mei 2004.
119
hanya melalui bentuk-bentuk yang kaku. Dengan
pengertian lain, bagi siapapun yang ingin mewakafkan
hartanya tidak lagi terpaku pada ketentuan yang
menitikberatkan pada wakaf berupa tanah dan bangunan
karena dengan cara tunai (cash), pembelanjaan harta pun
bisa dilakukan. Selain lebih memudahkan, secara
Syari’ahpun wakaf tunai ternyata sangat dianjurkan dan
memperoleh legitimasi dari ajaran Islam. Dengan
demikian, hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar, yang
merupakan dialog antara Umar bin Khattab dengan Nabi
Muhammad SAW di saat Umar ingin mewakafkan
tanahnya di Khaibar, antara lain Nabi SAW bersabda “Jika
engkau suka tahanlah pangkalnya dan sedekahkan
hasilnya,” merupakan praktik ibadah yang bisa dilakukan
sepanjang ruang dan waktu

Daftar Pustaka
Abu Zahra, M, Muhadharah fi al-Waqfi, tpn: 1959

120
Al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri, Beirut: Dar al-Fikr, Juz II,
tt.

Al-Bakri, I’anatu Ath-Thalibin, Kairo: Isa Halabi, tt.

Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, tahqiq Dr. Mahmud


Mathraji, Beirut: Dar al-Fikr, Juz IX, 1994

Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah Sebagai


Pengelola
Wakaf, (Makalah Workshop Internasioanl,
“Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Wakaf
Produkstif”, di Wisma Haji Batam, 7-8 Januari 2002),
Tidak Diterbitkan.

_______, Republika. Senin, 04 Februari 2002

_______, Bank Syari’ah; Dari Teori ke Praktik, Jakarta:


Gema Insani Press, 2001.

Asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Kairo: Mushtafa Halabi,


Juz
II, tt

Az-Zuhaili, Wahbah, Dr., Al-Fiqhu al-Islami wa


‘Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, tt.

_______, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Damsyik: Dar


alFikr, 1985, Juz VII.
Daud Ali, Mohammad, Sistem Ekonomi Islam; Zakat dan
Wakaf, Jakarta: UI Press, 1988.

121
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan
Penyelenggaraan Haji, Pedoman Pengelolaan dan
Pengembangan Wakaf, 2003, hal. 97.

Dumper, Michael, Wakaf Muslimin di Negara Yahudi,


Jakarta: Lentera, 1999.

H.A.R. Gibs dan I.H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of


Islam, Karachi-Pakistan, South Asian Publication,
1981.

Hasanah, Uswatun, ‘Perwakafan di Yordania’,


www.modalonline.com, 21 April 2004.

Kahf, Monzer, Finacing the Development of Aqaf


Properti, Kuala Lumpur: Irti, 1998.

Mahmudi, Mempertegas Pembangunan Ekonomi


Kerakyatan, (Harian Umum Republika, Nopember
2001)

Mannan, M. Abdul, Prof., M.A., Ph.D, Teori dan Praktik


Ekonomi Islam, (terjamahan), Yogyakarta: PT Dana
Bhakti Prima Yasa, 1997

______, Sertifikat Wakaf Tunai, Sebuah Inovasi Keuangan


Islam (terjemahan), Jakarta: CIBER dan PKTTI UI,
2002.
Muhammad, Abu As-Su’ud, Risalatu fi Jawazi Waqfi
AnNuqud, Beirut; Dar Ibn-Hazm, 1997

122
Nasution, Mustafa E., Wakaf Tunai: Strategi untuk
Menyejahterakan dan Melepaskan Ketergantungan
Ekonomi, (Makalah Workshop Internasional,
“Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Wakaf
Produkstif”, di Wisma Haji Batam, 7-8 Januari 2002),
Tidak Diterbitkan.

Pewawataatmadja, H. Karnaen A., Alternatif Investasi


Dana
Wakaf, (Makalah Workshop Internasioanl,
“Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Wakaf
Produkstif”, di Wisma Haji Batam, 7-8 Januari 2002),
Tidak Diterbitkan.

Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf Direktorat Jenderal


Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Fiqih Wakaf,
2003, hal. 92.

Rahardjo, M. Dawam, Pengorganisasian Lembaga Wakaf


dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat, (Makalah
Workshop Internasioanl, “Pemberdayaan Ekonomi
Umat Melalui Wakaf Produkstif”, di Wisma Haji
Batam, 7-8 Januari 2002). Tidak Diterbitkan.

Tim Depag, Fiqih Wakaf, Jakarta: Depag RI, 2003.

______, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif


Strategis di Indonesia, Jakarta: Depag RI, 2003.
______, Perkembangan Penelolan Wakaf di Indonesia,
Jakarta: Depag RI, 2003.

123
Tulus, H, Manajemen Kelembagaan Wakaf, makalah
dipresentasikan pada Workshop Internasional tentang
“Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan
Wakaf Produktif “, yang dilaksanakan oleh The
International Institute of Islamic Thought (IIIT),
Batam, 7 Januari 2002.

www.republika.co.id, Jum’at, 22 Agustus 2003.

______, Jum’at, 14 Mei 2004

124
Keputusan Fatwa
KOMISI FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Tentang
WAKAF UANG

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia setelah

MENIMBANG :
A. Bahwa bagi mayoritas umat Islam Indonesia, pengertian
wakaf yang umum diketahul, antara lain, adalah

yakni “menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa


lenyap bendanya, dengan cara tidak melakukan
tindakan hukum terhadap benda tersebut disalurkan
pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada,”
(al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj ila Syarh aI-Minhaj,
[Dar aI-Fikr, 1984], juz V, h. 357; al Khathib a1-
Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, [ Dar al-Fikr, t,th},juz
11, h.376
atau “Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau
kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan
sebagian dari benda miliknya guna kepentingan ibadat
atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran
Islam” dan “Benda wakaf adalah segala benda, baik

125
bergerak atau tidak bergerak, yang memiliki daya tahan
yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut
ajaran Islam (Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,
Bukuk III, Bab I, Pasal 215, (1) dan (4)).
sehingga atas dasar pengertian tersebut, bagi mereka
hukum wakaf uang (waqf a1-nuqua cash wakaf) adalah
tidak sah
B. Bahwa wakaf uang memiliki fleksibilitas (keluwesan)
dan kemaslahatan besar yang tidak dimiliki oleh benda
lain
C. bahwa oleh karena itu, Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang
hukum wakaf uang untuk dijadikan pedoman oleh
masyarakat

MENGINGAT
1. Firman Allah swt:

.
"Kamu sekalian tidak sampai kepada kebajikan (yang
sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta
yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan,
maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” (QS. All Imran
[3]: 92).

126
2. Firman Allah swt

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang


yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa
dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir,
pada tiap -tiap bulir: seratus biji Allah melipat gandakan
(ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki Dan Allah
Maha Luas (kurnia lagi Maha Mengetahui).
Orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah,
kemudian mereka tidak mengiringi apa yang
dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut
pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan
penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan
mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS. al-Baqarah [ 261-
262).

3. Hadis Nabi saw:

4803
4924 4923
9323

127
"Diriwayatkan dari Abu Huralrah r.a. bahwa Rasulullah
s.a.w. bersabda; “Apabila manusia meninggal dunia,
terputuslah (pahala) amal perbuatannya kecuali tiga hal,
yaitu shadaqah jariyah (wakaf), ilmu yang dimanfaatkan,
atau anak shaleh yang mendoakannya” (H.R. Muslim, al-
Tirmidzi, al-Nasa`i, dan Abu Daud.)

4. Hadis Nabi saw:

4809 9949
4934 4921

"Diriwayatkan dan Ibnu Umar r. a. bahwa Umar bin al


Khathab r.a. memperoleh tanah (kebun) di Khaibar; lalu
ia datang kepada Nabi s.a.w untuk meminta petunjuk
mengenai tanah tersebut. Ia berkata, “Wahai Rasulullah
Saya memperoleh tanah di Khaibãr; yang belum pernah
saya peroleh harta yang lebih baik bagiku melebihi tanah
tersebut; apá perintah Engkau (kepadaku)
mengenainya?” Nabi s.a.w. menjawab: “Jika mau, kamu
tahan pokoknya dan kamu sedekahkan (hasil)-nya.

128
Ibnu Umar berkata “Maka, Umar menyedekahkan tanah
tersebut, (dengan mensyaratkan) bahwa tanah itu tidak
dijual, tidak di hibahkan dan tidak diwariskan. Ia
menyedekahkan (hasilnya kepada fuqara, kerabat, riqab
(hamba sahaya, orang tertindas), sabilillah, ibnu sabil,
dan tamu. Tidak berdosa atas orang yang mengelolanya
untuk memakan dari (basil) tanah itu secara ma ‘ruf
(wajar) dan memberi makan (kepada orang lain) tanpa
menjadikannya sebagai harta hak milik
Rawi berkata “Saya menceritakan hadis tersebut kepada
Ibnu Sirin, lalu Ia berkata ‘ghaira mutaatstsilin malan'
(tanpa menyimpannya sebagai harta hak milik). (H.R. al-
Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi dan al-Nasa’).
5. Hadis Nabi saw:

4931

"Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a.; Ia berkata Umar r.a.


berkata kepada Nabi SAW, “Saya mempunyai seratus
saham (tanah, kebun) di Khaibar, belum pernah saya
mendapatkan harta yang lebih saya kagumi melebihi
tanah itu; saya bermaksud menyedekahkannya.” Nabi
s.aw. berkata “Tahanlah pokoknya dan sedekahkan
buahnya pada sabilillah. “(H.R. al-Nasa’ i).

129
6. Jabir r.a. berkata

497 0 471 9

"Tak ada seorang sahabat Rasulpun yang memiliki


kemampuan kecuali berwakaf” (lihat Wahbah al-Zuhaili,
al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, [Damsyik: Dar al-Fikr,
1985], juz VIII, h 157; al-Khathib a1-Syarbini Mughni
al-Muhtaj, [Beirut: Dar al-Fikr, t.th], juz II, h. 376

MEMPERHATIKAN :
1. Pendapat imam al-Zuhri (w. 124 H.) bahwa mewakafkan
dinar hukumnya boleh, dengan cara menjadikan dinar
tersebut sebagai modal usaha kemudian keuntungannya
disalurkan pada mauquf ‘alaih (Abu Su’ud Muhammad,
Risalah fi Jawazi Waqf al-Nuqud, [Beirut: Dar Ibn-
Hazm, 1997], h. 20-21).
2. Mutaqaddimin dari ulama mazhab Hanafi (lihat Wahbah
al Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, [Damsyik:
Dar al-Fikr, 1985], juz VIII, h. 162). Membolehkan
wakaf uang dinar dan dirham sebagai pengecualian, atas
dasar Istihsan bi al-‘Urfi, berdasarkan atsar Abdullah
bin Mas’ud r.a

130
4340

Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka


dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang
dipandang buruk oleh kaum muslimin maka dalam
pandangan Allah pun buruk

3. Pendapat sebagian ulama mazhab al-Syafi’i

Abu Tsaur rneriwayatkan dari Imam al-Syafi’i


tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham (uang)” (al-
MawardialHawi al-Kabir, tahqiq Dr. Mahmud Mathraji,
[Beirut:
Dar al Fikr, 1994], juz IX, h. 379.)
4. Pandangan dan pendapat rapat Komisi Fatwa MUI pada
hari Sabtu, tanggal 23 Maret 2002, antara lain tentang
perlunya dilakukan peninjauan dan penyempurnaan
(pengembangan) definisi wakaf yang telah umum
diketahui, dengan memperhatikan maksud hadis, antara
lain, riwayat dari Ibnu Umar (lihat konsideran
mengingat [nomor 4 dan 3 di atas:
5. Pendapat rapat Komisi Fatwa MUI pada Sabtu, tanggal
11 Mei 2002 tentang rumusan definisi wakaf sebagai

berikut

131
yakni “menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa
lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak
melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut
(menjual, memberikan, atau mewariskannya), untuk
disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak
haram) yang ada"
6. Surat Direktur Pengembangan Zakat dan Wakaf Depag,
(terakhir) nomor Dt.1. III/5/BA.03.2/2772/2002, tanggal
26 April 2002
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG WAKAF UANG
Pertama : 1. Wakaf Uang (Cash WakaflWaqf
alNuqud) adalah wakaf yang
dilakukan seseorang, kelompok
orang, lembaga atau badan hukum
dalam bentuk uang tunai
2. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-
surat berharga
3. Wakaf Uang hukumnya jawaz
(boleh).
4. Wakaf Uang hanya boleh disalurkan
dan digunakan untuk hal- hal yang
dibolehkan secara syar’iy.
5. Nilai pokok Wakaf Uang harus dijamin
kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan,
dan atau diwariskan.

132
Kedua : Fatwa ini berlaku sejak ditetapkan dengan
ketentuan jika di kemudian hari
ternyata terdapat kekeliruan, akan
diperbaiki dan disempurnakan
sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di Jakarta
Tanggal :28 Shafar 1423 H
11 Mei 2002 M

KOMISI FATWA MAJELIS


ULAMA INDONESIA
SURAT KEPUTUSAN
DIREKTUR JENDERAL BIMAS ISLAM DAN
PENYELENGGARAAN HAJI
NOMOR D TH 2004

TENTANG
PEMBENTUKAN TIM PENYUSUN BUKU
“PEDOMAN PENGELOLAAN WAKAF TUNAI”

Pengarah : 1. Dirjen BIPH


2. Direktur Pengembangan Zakat & Wakaf
3. Sekretaris Ditjen BIPH

Ketua : Drs. H. Achmad Djunaidi


Wk. Ketua : Drs. H. Ma’ruf

Sekretaris : H. Asrory Abdul Karim, SH, MH.


Anggota : 1. Drs. H. Idham Khalid Baedawi
2. H. Fauzan, BA

133
3. Thobieb Al-Asyhar, S. Ag.
4. HM. Cholil Nafis, Lc, MA
5. H. Achmad Mu’thi Shofieq, S. Ag.
6. Ahmad Muda Lubis, S.Ag.
7. H. Damiri, BA.

Sekretariat : 1. H. Mahmud Fauzi


2. Hj. Hernawati
3. H. Andi Pabenteng
4. HM. Syarifuddin

Ditetapkan di Jakarta
Pada
Tanggal………….9883 an.
DIREKTUR JENDERAL
BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM
DAN PENYELENGGARAAN HAJI
SEKRETARIS,

H. Fauzie Amnur, Lc
NIP. 150 103 420

134

Anda mungkin juga menyukai