Anda di halaman 1dari 21

1

PESERTA DIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM


Vivid Rohmaniyah – 20202550018
vivid.rohmaniyah-2020@fai.um-surabaya.ac.id
Mahasiswa Fakultas Tarbiyah Prodi Pendidikan Islam
Universitas Muhammadiyah Surabaya

ABSTRAK
Peserta didik merupakan manusia seutuhnya yang berusaha untuk
mengasah potensi agar lebih berpotensi dengan bantuan pendidik atau
orang dewasa. Secara terminology, peserta didik berarti anak didik atau
individu yang mengalami perubahan, perkembangan sehingga masih
membutuhkan bimbingan dan arahan dalam membentuk kepribadian
serta sebagai bagian dari structural proses pendidikan. Dalam artian lain,
bahwa peserta didik adalah seorang individu yang mengalami fase
perkembangan atau pertumbuhan baik dari fisik, mental, maupun
pikirannya. Ada pula yang berpendapat, bahwa peserta didik adalah
manusia yang mempunyai fithrah atau sebuah potensi untuk
mengembangkan diri. Fithrah atau potensi diri mencakup akal, hati, dan
jiwa yang harus diberdayakan dengan baik, maka akan mengantarkan
seseorang bertauhid kepada Allah SWT.

Kata Kunci :Peserta Didik, Pendidikan Islam

ABSTRACT
Students are whole humans who try to hone their potential to be more
potential with the help of educators or adults. In terms of terminology,
students mean students or individuals who experience change,
development so that they still need guidance and direction in shaping
their personality and as part of the structural process of education. In
another sense, that a student is an individual who experiences a phase of
development or growth, both physically, mentally, and in his mind. There
are also those who argue, that students are humans who have fithrah or a
potential to develop themselves. Fithrah or self-potential includes mind,
heart and soul that must be properly empowered, it will lead someone to
tauhid to Allah SWT.

Keywords: Students, Islamic Education


2

A. Pendahuluan
Peserta didik adalah orang yang memerlukan pengetahuan, ilmu,
bimbingan dan pengarahan. Islam berpandangan bahwa hakikat sebuah ilmu
itu berasal dari Allah SWT, sedangkan proses perolehannya dilakukan melalui
belajar kepada pendidik. Dalam Islam, peserta didik adalah setiap manusia
yang sepanjang hidupnya selalu berada dalam perkembangan, jadi peserta
didik bukan hanya anak-anak yang sedang dalam masa pengasuhan dan
pengasuhan orang tuanya saja, bukan pula anak-anak dalam usia sekolah,
tetapi mencakup seluruh manusia baik sebagai individu maupun kelompok,
baik manusia yang beragama Islam maupun tidak.
Peserta didik tidak hanya sekedar sebagai objek pendidikan, tapi pada saat
tertentu ia yang akan menjadi subjek pendidikan. Hal ini membuktikan bahwa
posisi seorang peserta didik tidak hanya sekedar pasif seperti gelas kosong
yang siap menerima air kapanpun dan dimanapun. Akantetapi, peserta didik
harus aktif, kreatif dan dinamis dalam berinteraksi dengan guru-gurunya,
sekaligus dalam upaya pengembangan keilmuan yang dimilikinya.
Pendidikan merupakan suatu bimbingan dan sebuah pertolongan secara
tidak sadar yang diberikan oleh sorang pendidik kepada para peserta didiknya
sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhannya menuju kedewasaan.
Ki Hadjar Dewantara dalam kongres Taman Siswa yang pertama pada
tahun 1930 menyebutkan bahwa, pendidikan berarti daya upaya untuk
memajukan pertumbuhan budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran
(intelek), dan tubuh anak. Pendidikan merupakan usaha untuk menumbuhkan
dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani
sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk dikembangkan dalam hidup dan kehidupan
yang terjadi dalam suatu proses pendidikan1.
Peserta didik didalam mencari nilai-nilai hidup, ia juga harus mendapatkan
bimbingan sepenuhnya dari pendidik, karena menurut ajaran islam, saat anak-

1
Moch Tolchah, Dinamika Pendidikan Islam Pasca Orde Baru (Yogyakarta: LKiS Pelangi
Aksara, 2015), 30.
3

anak dilahirkan dalam keadaan lemah dan suci/fithrah, sedangkan alam yang
ada disekitarnya akan memberikan corak warna terhadap nilai hidup atas
pendidikan agama peserta didik2. Sebagaimana firman Allah dalam Al-quran
Surah Ar-Rum ayat 30 yang artinya“ Maka hadapkanlah wajahmu dengan
lurus kepada agama Allah; (tataplah atas) fithrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fithrah itu. Tidak ada perubahan pada fithrah
Allah (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui”.
Dilihat dari kedudukannya, peserta didik adalah makhluk yang sedang
berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan menurut masing-masing
fithrahnya. Mereka sangat memerlukan bimbingan dan pengarahan yang
konsisten menuju arah titik optimal sesuai fithrahnya3. Dengan demikian,
supaya pendidikan islam dapat berhasil dengan sebaik-baiknya, maka harus
menempuh jalan pendidikan yang seseuai dengan fithrah peserta didik.

B. Pengertian Peserta Didik

Peserta didik merupakan anak didik yang mendapat pengajaran ilmu atau
individu yang mengalami perubahan dan perkembangan sehingga masih
sangat memerlukan bimbingan dan arahan dalam membentuk kepribadian
serta sebagai bagian dari susunan proses berlangsungnya pendidikan. Dengan
kata lain, peserta didik adalah seorang individu yang tengah mengalami fase
perkembangan atau pertumbuhan baik dari segi fisik, mental dan fikirannya.
Peserta didik adalah setiap manusia yang sepanjang hidupnya selalu dalam
perkembangan. Kaitannya dengan pendidikan adalah bahwa perkembangan
peserta didik itu selalu menuju kedewasaan dimana semuanya itu terjadi
karena adanya bantuan dan bimbingan yang diberikan oleh pendidik.
Siswa atau peserta didik adalah salah satu komponen manusia yang
menempati posisi sentral dalam proses belajar-mengajar, peserta didiklah yang
menjadi pokok persoalan dan sebagai tumpuan perhatian. Di dalam proses
2
Zuhraini, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta :BumiAksara, 1995), 170.
3
H.M. Arifin, IlmuPendidikan Islam (Jakaarta: BumiAksara, 1991), 144.
4

belajar mengajar, siswa sebagai pihak yang ingin meraih cita-cita, memiliki
tujuan dan kemudian ingin mencapainya secara optimal. Peserta didik itu akan
menjadi faktor “penentu”, sehingga menuntut dan dapat mempengaruhi segala
sesuatu yang diperlukan untuk mencapai tujuan belajarnya4.  Itulah sebabnya
siswa atau peserta didik adalah merupakan subjek belajar.

C. Definisi Peserta Didik dalam Pendidikan Islam

Dengan berpijak pada paradigma “belajar sepanjang masa”, maka istilah


yang tepat untuk menyebut individu yang menuntut ilmu adalah peserta didik
dan bukan anak didik. Peserta didik cakupannya lebih luas, yang tidak hanya
melibatkan anak-anak, tetapi juga pada orang-orang dewasa. Sementara istilah
anak didik hanya dikhususkan bagi individu yang berusia kanak-kanak.
Penyebutan peserta didik ini juga mengisyaratkan bahwa lembaga pendidikan
tidak hanya di sekolah (pendidikan formal), tapi juga lembaga pendidikan di
masyarakat, seperti Majelis Taklim, Paguyuban, dan sebagainya5.
Secara etimologi, murid berarti “orang yang menghendaki”. Sedangkan
menurut arti terminologi, murid adalah pencari hakikat di bawah bimbingan
dan arahan seorang pembimbing spiritual (mursyid). Sedangkan thalib secara
bahasa berarti orang yang mencari, sedangkan menurut istilah tasawuf adalah
penempuh jalan spiritual, dimana ia berusaha keras menempuh dirinya untuk
mencapai derajat sufi. Penyebutan murid ini juga dipakai untuk menyebut
peserta didik pada sekolah tingkat dasar dan menengah, sementara untuk
perguruan tinggi lazimnya disebut dengan mahasiswa6.
Peserta didik adalah amanat bagi para pendidiknya. Jika ia dibiasakan
untuk melakukan kebaikan, niscaya ia akan tumbuh menjadi orang yang baik,
selanjutnya memperoleh kebahagiaan dunia dan akhiratlah kedua orang tuanya
dan juga setiap mu’alim dan murabbi yang menangani pendidikan dan
4
Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2010),111.
5
Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta : Kencana, 2008),103.
6
Ibid.,104.
5

pengajarannya. Sebaliknya, jika peserta didik dibiasakan melakukan hal-hal


yang buruk dan ditelantarkan tanpa pendidikan dan pengajaran seperti hewan
ternak yang dilepaskan beitu saja dengan bebasnya, niscaya dia akan menjadi
seorang yang celaka dan binasa7.
Sama halnya dengan teori barat, peserta didik dalam pendidikan Islam
adalah individu sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik, psikologis,
sosial, dan religius dalam mengarungi kehidupan di dunia dan di akhirat kelak.
Definisi tersebut memberi arti bahwa peserta didik merupakan individu yang
belum dewasa, yang karenanya memerlukan orang lain untuk menjadikan
dirinya dewasa. Anak kandung adalah peserta didik dalam keluarga, murid
adalah peserta didik di sekolah, dan umat beragama menjadi peserta didik
masyarakat sekitarnya, dan umat beragama menjadi peserta didik ruhaniawan
dalam suatu agama8.
Dengan demikian dalam konsep pendidikan Islam, tugas mengajar,
mendidik, dan memberikan tuntunan sama artinya dengan upaya untuk meraih
surga. Sebaliknya, menelantarkan hal tersebut berarti sama dengan
mejerumuskan diri ke dalam neraka. Jadi, kita tidak boleh melalaikan tugas
ini, terlebih lagi Nabi bersabda9:

‫َأ ْك ِر ُموْ ااَ ْبنَا َء ُك ْم َوَأحْ ِسنُوْ ا اَ َدبَهُ ْم‬


“Muliakanlah anak-anakmu dan didiklah mereka dengan baik”
Menurut Langeveld anak manusia itu memerlukan pendidikan, karena ia
berada dalam keadaan tidak berdaya (hulpeoosheid) 10.  Dalam Al-Quran
dijelaskan:
َ‫ار َواَأْل ْفِئ َدةَ لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكرُون‬ َ ‫َوهَّللا ُ َأ ْخ َر َج ُك ْم ِم ْن بُطُو ِن ُأ َّمهَاتِ ُك ْم اَل تَ ْعلَ ُمونَ َش ْيًئا َو َج َع َل لَ ُك ُم ال َّس ْم َع َواَأْلب‬
َ ‫ْص‬
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”.(QS. An-Nahl: 78)11
7
Jamal Abdul Rahman, Tahapan Mendidik Anak, Penerjemah : Bahrun Abu Bakar Ihsan Zubaidi
(Bandung : Irsyad Baitus salam, 2008),16.
8
Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta : Kencana, 2008), 8.
9
Jamal Abdul Rahman, Tahapan Mendidik Anak, Penerjemah : Bahrun Abu Bakar Ihsan Zubaidi
(Bandung : Irsyad Baitus salam, 2008), 16.
10
M. Nashir Ali, Dasar-Dasar Ilmu Mendidik (Jakarta: Mutiara, 1982), 93.
11
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta : Syamil Cipta Media, 2015), 275.
6

Peserta didik di dalam mencari nilai-nilai hidup, harus dapat


bimbingan sepenuhnya dari pendidik, karena menurut ajaran Islam,
saat anak dilahirkan dalam keadaan lemah dan suci/fitrah
sedangkan alam sekitarnya akan memberi corak warna terhadap
nilai hidup atas pendidikan agama peserta didik12.
Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW., yang berbunyi:
ْ ِ‫َما ِم ْن َموْ لُوْ ٍد اِاَّل يُوْ لَدُعلَ َى ْالف‬
)‫ط َر ِة فَاَبَ َواهُ يُهَ ِّودَانِه اَوْ يُنَصِّ َرانِ ِه اَوْ يُ َمجِّ َسانِ ِه (رواه مسلم‬
“Tidaklah anak yang dilahirkan itu kecuali telah membaa fitrah
(kecenderungan untuk percaya kepada Allah), maka kedua orang
tuanyalah yang menjadikan anak tersebut beragama Yahudi,
Nasrani, Majusi” (HR. Muslim)13
Menurut hadits ini manusia lahir membawa kemampuan-kemampuan,
kemampuan itulah yang disebut pembawaan. Fitrah yang disebut di dalam
hadis itu adalah potensi. Potensi adalah kemampuan; jadi fitrah yang
dimaksud disini adalah pembawaan. Ayah dan ibu dalam hadis ini adalah
lingkungan sebagaimana yang dimaksud oleh para ahli pendidikan. Kedua-
duanya itulah menurut hadis ini, yang menentukan perkembangan
seseorang14.
Manusia memepunyai banyak kecenderungan, ini disebabkan oleh banyak
potensi yang dibawanya. Dalam garis besarnya, kecenderungan itu dapat
dibagi dua, yaitu kecenderungan menjadi orang yang baik dan kecenderungan
menjadi orang yang jahat. Kecenderungan beragama termasuk ke dalam
kecenderungan menjadi baik15.
Firman Allah dalam Al-Quran surat Ar-Rum ayat :30 :
‫ق هَّللا ِ َذلِ…كَ ال…دِّينُ ْالقَيِّ ُم‬
ِ ‫اس َعلَ ْيهَا اَل تَ ْب ِدي َل لِ َخ ْل‬
َ َّ‫ط َرةَ هَّللا ِ الَّتِي فَطَ َر الن‬ْ ِ‫ِّين َحنِيفًا ف‬ َ َ‫فََأقِ ْم َوجْ ه‬
ِ ‫ك لِلد‬
ِ َّ‫َولَ ِك َّن َأ ْكثَ َر الن‬
َ‫اس اَل يَ ْعلَ ُمون‬
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui” (QS. Ar-Rum: 30)16
Dari ayat dan hadits tersebut jelaslah bahwa pada dasarnya anak itu telah
membawa fitrah beragama, dan kemudian bergantung kepada para
pendidiknya dalam mengembangkan fitrah itu sendiri sesuai dengan usia anak
dalam pertumbuhannya. Dasar-dasar pendidikan agama ini harus sudah
ditanamkan sejak peserta didik itu masih usia muda, karena kalau tidak

12
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 170.
13
Shahih Bukhari, 1358:23.
14
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung : PT. Remaja Rosda
Karya,  2008),35.
15
Ibid.,35.
16
Departemen Agama RI, Al-Qur’an, 407.
7

demikian kemungkinan mengalami kesulitan kelak untuk mencapai tujuan


pendidikan Islam yang diberikan pada masa dewasa. Dengan demikian, maka
agar pendidikan Islam dapat berhasil dengan sebaik-baiknya haruslah
menempuh jalan pendidikan yang sesuai dengan perkembangan peserta didik,
seperti disebutkan dalam hadits Nabi:
)‫اس عَل َى قُلُوْ بِ ِه ْم (الحديث‬
َ َّ‫خَا ِطب ُواالن‬
“Berbicaralah kepada orang lain sesuai dengan tingkat perkembangan
akalnya” (Al-Hadits).

D. Kebutuhan-Kebutuhan Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam

Kebutuhan peserta didik adalah sesuatu kebutuhan yang harus


didapatkan oleh peserta didik untuk mendapatkan kedewasaan ilmu.
Kebutuhan peserta didik tersebut wajib dipenuhi atau diberikan oleh pendidik
kepada peserta didiknya. Menurut Ramayulis, ada delapan kebutuhan peserta
didik yang harus dipenuhi, yaitu:
1. Kebutuhan Fisik
Fisik seorang anak didik selalu mengalami pertumbuhan yang
cukup pesat. Proses pertumbuhan fisik ini terbagi menjadi tiga tahapan:
a. Peserta didik pada usia 0-7 tahun, pada masa ini peserta didik
masih mengalami masa kanak-kanak
b. Peserta didik pada usia 7-14 tahun, pada usia ini biasanya peserta
didik tengah mengalami masa sekolah yang didukung dengan
peralihan pendidikan formal.
c. Peserta didik pada usia 14-21 tahun, pada masa ini peserta didik
mulai mengalami masa pubertas yang akan membawa kepada
kedewasaan17.
Pada masa perkembangan inilah seorang pendidik perlu
memperhatikan perubahan dan perkembangan peserta didik. Karena pada
usia ini peserta didik mengalami masa yang penuh dengan pengalaman

17
Abu Ahmadi & Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan (Jakarat : PT. Rineka Cipta, 2006), 42.
8

(terutama pada masa pubertas) yang secara tidak langsung akan


membentuk kepribadian peserta didik itu sendiri.
  Disamping memberikan dan memperhatikan hal tersebut, seorang
pendidik harus selalu memberikan bimbingan, arahan, serta dapat
menuntun peserta didik kepada arah kedewasaan yang pada akhirnya
mampu menciptakan peserta didik yang dapat mempertanggungjawabkan
tentang ketentuan yang telah ia tentukan dalam perjalanan hidupnya di
lingkungan masyarakat.
2. Kebutuhan Sosial
Secara etimologi sosial adalah suatu lingkungan kehidupan. Pada
hakekatnya kata sosial selalu dikaitkan dengan lingkungan yang akan
dilampaui oleh seorang peserta didik dalam proses pendidikan.
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa kebutuhan sosial adalah
digunakan untuk memberi pengakuan pada seorang peserta didik yang
pada hakekatnya adalah seorang individu yang ingin diterima eksistensi
atau keberadaannya dalam lingkungan masyarakat sesuai dengan
keberadaan dirinya itu sendiri. Sebagaimana Firman Allah SWT. Q.S.
Al-Hujarat, 49:13:
َ …‫يَا َأيُّهَا النَّاسُ ِإنَّا خَ لَ ْقنَا ُك ْم ِم ْن َذ َك ٍر َوُأ ْنثَى َو َج َع ْلنَا ُك ْم ُشعُوبًا َوقَبَاِئ َل لِتَ َع……ا َرفُوا ِإ َّن َأ ْك‬
‫…ر َم ُك ْم ِع ْن… َد‬
)١٣( ‫هَّللا ِ َأ ْتقَا ُك ْم ِإ َّن هَّللا َ َعلِي ٌم َخبِي ٌر‬
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.18
Dengan demikian kebutuhan sosial adalah kebutuhan yang
berhubungan langsung dengan masyarakat agar peserta didik dapat
berinteraksi dengan masyarakat lingkungan. Begitu juga supaya dapat
diterima oleh orang lebih tinggi dari dia seperti orang tuanya, guru-
gurunya dan pemimpinnya. Kebutuhan ini perlu agar peserta didik dapat
memperoleh  posisi dan berprestasi dalam pendidikan19.
18
Departemen Agama RI, Al-Qur’an, 517.
19
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta : Kalam Mulia, 2006), 78.
9

3. Kebutuhan Untuk Mendapatkan Status


Kebutuhan mendapatkan status adalah suatu yang dibutuhkan oleh
peserta didik untuk mendapatkan tempat dalam suatu lingkungan. Hal ini
sangat dibutuhkan oleh peserta didik terutama pada masa pubertas
dengan tujuan untuk menumbuhkan sikap kemandirian, identitas serta
menumbuhkan rasa kebanggaan diri dalam lingkungan masyarakat.
Dalam proses kebutuan ini biasanya seorang peseta didik ingin
menjadi orang yang dapat dibanggakan atau dapat menjadi seorang yang
benar-benar berguna dan dapat berbaur secara sempurna di dalam sebuah
lingkungan masyarakat
4. Kebutuhan Mandiri
Ketika seorang peserta didik telah melewati masa anak-anak dan
memasuki masa keremajaan, maka seorang peserta perlu mendapat sikap
pendidik yang memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk
membentuk kepribadian berdasarkan pengalaman. Hal ini disebabkan
karena ketika peserta didik telah menjadi seorang remaja, dia akan
memiliki ambisi atau cita-cita yang mulai ditampakkan dan terfikir oleh
peserta didik, inilah yang akan menuntun peserta didik untuk dapat
memilih langkah yang dipilihnya.
Karena pembentukan kepribadian yang berdasarkan pengalaman
itulah yang menyebabkan para peserta didik harus dapat bersikap
mandiri, mulai dari cara pandang mereka akan masa depan hingga
bagaimana ia dapat mencapai ambisi mereka tersebut.
Kebutuhan mandiri ini pada dasarnya memiliki tujuan utama yaitu
untuk menghindarkan sifat pemberontak pada diri peserta didik, serta
menghilangkan rasa tidak puas akan kepercayaan dari orang tua atau
pendidik karena ketika seorang peserta didik terlalu mendapat kekangan
akan sangat menghambat daya kreativitas dan kepercayaan diri untuk
berkembang.
5. Kebutuhan untuk berprestasi
10

Untuk mendapatkan kebutuhan ini maka peserta didik harus


mampu mendapatkan kebutuhan mendapatkan status dan kebutuhan
mandiri terlebih dahulu. Karena kedua hal tersebut sangat erat kaitannya
dengan kebutuhan berprestasi. Ketika peserta didik telah mendapatkan
kedua kebutuhan tersebut, maka secara langsung peserta didik akan
mampu mendapatkan rasa kepercayaan diri dan kemandirian, kedua hal
ini lah yang akan menuntun langkah peserta didik untuk mendapatkan
prestasi.
6. Kebutuhan Ingin Disayangi Dan Dicintai
Kebutuhan ini tergolong sangat penting bagi peserta didik, karena
kebutuhan ini sangatlah berpengaruh akan pembentukan mental dan
prestasi dari seorang peserta didik. Dalam sebuah penelitian
membuktikan bahwa sikap kasih sayang dari orang tua akan sangat
memberikan motivasi kepada peserta didik untuk mendapatkan prestasi,
dibandingkan dengan dengan sikap yang kaku dan pasif malah akan
menghambat proses pertumbuhan dan perkembangan sikap mental
peserta didik. Di dalam agama Islam, umat islam meyakini bahwa kasih
sayang paling indah adalah kasih sayang dari Allah. Oleh karena itu umat
muslim selalu berlomba-lomba untuk mendapatkan kasih sayang dan
kenikmatan dari Allah. Sehingga manusia tersebut mendapat jaminan
hidup yang baik. Hal ini yang diharapkan para pakar pendidikan akan
pentingnya kasih sayang bagi peserta didik.
7. Kebutuhan Untuk Curhat
Ketika seorang peserta didik menghadapi masa pubertas, maka
seorang peserta didik tersebut tengah mulai mendapatkan problema-
problema keremajaan. Kebutuhan untuk curhat biasanya ditujukan untuk
mengurangi beban masalah yang dia hadapi. Pada hakekatnya ketika
seorang yang tengah menglami masa pubertas membutuhkan seorang
yang dapat diajak berbagi atau curhat. Tindakan ini akan membuat
seorang peserta didik merasa bahwa apa yang dia rasakan dapat
dirasakan oleh orang lain. Namun ketika dia tidak memiliki kesempatan
11

untuk berbagi atau curhat masalahnya dengan orang lain, ini akan
membentuk sikap tidak percaya diri, merasa dilecehkan, beban masalah
yang makin menumpuk yang kesemuanya itu akan memacu emosi
seorang peserta didik untuk melakukan hal-hal yang berjalan ke arah
keburukan atau negatif.
8. Kebutuhan Untuk Memiliki Filsafat Hidup
Peserta didik memiliki beberapa dimensi penting yang
mempengaruhi akan perkembangan peserta didik, dimensi ini harus
diperhatikan secara baik oleh pendidik dalam rangka mencetak peserta
didik yang berakhlak mulia dan dapat disebut insan kamil dimensi fisik
(jasmani), akal, keberagamaan, akhlak, rohani (kejiwaan), seni
(keindahan), sosial.
Di dalam proses pendidikan seorang peserta didik yang berpotensi
adalah objek atau tujuan dari sebuah sistem pendidikan yang secara
langsung berperan sebagai subjek atau individu yang perlu mendapat
pengakuan dari lingkungan sesuai dengan keberadaan individu itu
sendiri. Sehingga dengan pengakuan tersebut seorang peserta didik akan
mengenal lingkungan dan mampu berkembang dan membentuk
kepribadian sesuai dengan lingkungan yang dipilihnya dan mampu
mempertanggungjawabkan perbuatannya pada lingkungan tersebut.
Adapun hal-hal yang harus dipahami adalah:
1. Kebutuhannya
2. Dimensi-dimensinya
3. Intelegensinya
4. Kepribadiannya20.

E. Karakteristik Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam

Beberapa hal yang perlu dipahami mengenai karakteristik peserta didik


adalah:
20
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam ( Jakarta : Kalam Mulia, 2006), 78.
12

1) Peserta didik bukan miniatur orang dewasa, ia mempunyai dunia


sendiri, sehingga metode belajar mengajar tidak boleh dilaksanakan
dengan orang dewasa. Orang dewasa tidak patut mengeksploitasi dunia
peserta didik, dengan mematuhi segala aturan dan keinginannya,
sehingga peserta didik kehilangan dunianya.
2) Peserta didik memiliki kebutuhan dan menuntut untuk pemenuhan
kebutuhan itu semaksimal mungkin. Kebutuhan individu, menurut
Abraham Maslow, terdapat lima hierarki kebutuhan yang
dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu: (1) kebutuhan-kebutuhan
tahap dasar (basic needs) yang meliputi kebutuhan fisik, rasa aman dan
terjamin, cinta dan ikut memiliki (sosial), dan harga diri; dan (2)
metakebutuhan-metakebutuhan (meta needs), meliputi apa saja yang
terkandung dalam aktualisasi diri, seperti keadilan, kebaikan,
keindahan, keteraturan, kesatuan, dan lain sebagainya. Sekalipun
demikian, masih ada kebutuhan lan yang tidak terjangkau kelima
hierarki kebutuhan itu, yaitu kebutuhan akan transendensi kepada
Tuhan. Individu yang melakukan ibadah sesungguhnya tidak dapat
dijelaskan dengan kelima hierarki kebutuhan tersebut, sebab akhir dari
aktivitasnya hanyalah keikhlasan dan ridha dari Allah SWT.
3) Peserta didik memiliki perbedaan antara individu dengan individu yang
lain, baik perbedaan yang disebabkan dari factor endogen (fitrah)
maupun eksogen (lingkungan) yang meliputi segi jasmani, intelegensi,
sosial, bakat, minat, dan lingkungan yang mempengaruhinya. Pesrta
didik dipandang sebagai kesatuan sistem manusia. Sesuai dengan
hakikat manusia, peserta didik sebagai makhluk monopluralis, maka
pribadi peserta didik walaupun terdiri dari dari banyak segi, merupakan
satu kesatuan jiwa raga (cipta, rasa dan karsa)
4) Peserta didik merupakan subjek dan objek sekaligus dalam pendidikan
yang dimungkinkan dapat aktif, kreatif, serta produktif. Setiap peserta
didik memiliki aktivitas sendiri (swadaya) dan kreatifitas sendiri (daya
cipta), sehingga dalam pendidikan tidak hanya memandang anak
13

sebagai objek pasif yang bisanya hanya menerima, mendengarkan


saja.Sebagai makhluk, anak didik mempunyai akal dan kecerdasan yang
merupakan potensi dan kelebihan disbanding dengan makhluk-makhluk
lain21. Dengan sifatnya yang dinamis, aktif, kreatif dan dengan
kecerdasannya, seorang anak didik memiliki bekal untuk menghadapi
dan memecahkan masalah. Sehubungan dengan hal ini, usaha untuk
meningkatkan kecerdasan adalah merupakan tugas utama dalam arena
pendidikan.22 Anak didik harus dipandang tidak hanya sebagai kesatuan
antara jasmani dan rohani saja, namun juga manifestasinya sebagai
tingkah laku dan perbuatannya yang berada dalam pengalamannya
tersebut. Terutama pada kecerdasannya, sangat perlu untuk difungsikan
dalam diri anak didik yang aktif dan bermanfaat sepenuhnya dalam
lingkungan. Anak didik sangat perlu mendapatkan kesempatan yang
sangat cukup dan sangat bebas juga sebanyak-banyaknya untuk
mengambil bagian dalam kejadian-kejadian yang terdapat disekitarnya.
Terutama kejadian yang berhubungan dengan kejadian pada
kebudayaan. Anak didik perlu memperluas pengetahuannya, karena
pada masa anak-anak otak mereka masih mampu untuk merekam segala
yang mereka lihat maupun dengar atau mereka lakukan, atau pada masa
sekarang disebut dengan masa keemasan.
5) Peserta didik mengikuti periode-periode perkembangan tertentu dalam
mempunyai pola perkembangan serta tempo dan iramanya. Implikasi
dalam pendidikan adalah bagaimana proses pendidikan itu dapat
disesuaikan dengan pola dan tempo, serta irama perkembangan peseta
didik. Kadar kemampuan peserta didik sangat ditentukan oleh usia dan
priode perkembangannya, karena usia itu bisa menentukan tingkat

21
Moch Tolchah, Penelitian konsepsi anak didik menurut progressivisme dalam perspektif
pendidikan Islam (Surabaya : Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2015), 65.
22
Imam Barnadib, Dasar-dasar Kependidikan: Memahami Makna Dan Perspektif Beberapa Teori
Pendidikan (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1996), 35.
14

pengetahuan, intelektual, emosi, bakat, minat peserta didik, baik dilihat


dari dimensi biologis, psikologis, maupun dedaktis23.

F. Sifat-Sifat dan Kode Etik Peserta Didik dalam Pendidikan Islam

Sifat-sifat dan kode etik peserta didik merupakan kewajiban yang


harus dilaksanakannya dalam proses belajar mengajar, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Al-Ghazali, yang dikutip oleh Fathiyah
Hasan Sulaiman, merumuskan sebelas pokok kode etik peserta didik,
yaitu:
1) Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah SWT,
sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik dituntut untuk
menyucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela
(takhalli) dan mengisi dengan akhlak yang tepuji (tahalli) sebagaimana
Firman Allah SWT. (QS. Al-An’am: 162 dan QS. Al-Dzariyat: 56).
)١٦٢( َ‫ي َو َم َماتِي هَّلِل ِ َربِّ ْال َعالَ ِمين‬ َ ‫قُلْ ِإ َّن‬
َ ‫صالتِي َونُ ُس ِكي َو َمحْ يَا‬
“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan
matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”.24
َ ‫ت ْال ِج َّن َواإل ْن‬
)٥٦( ‫س ِإال لِيَ ْعبُدُو ِن‬ ُ ‫َو َما خَ لَ ْق‬
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku”.25
2) Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah
ukhrawi, sebagaimana Firman Allah SWT. (QS. Adl-Dluha: 4):
)٤( ‫ك ِمنَ األولَى‬
َ َ‫َولَآل ِخ َرةُ خَ ْي ٌر ل‬
“dan Sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang
sekarang (permulaan)”.26
Maksud ayat diatas ialah bahwa akhir perjuangan Nabi Muhammad
S.A.W. itu akan menjumpai kemenangan-kemenangan, sedang
23
Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta : Kencana, 2008), 105-106.
24
Departemen Agama RI, Al-Qur’an, 150.
25
Ibid., 523.
26
Departemen Agama RI, Al-Qur’an, 596.
15

permulaannya penuh dengan kesulitan-kesulitan. Ada pula sebagian ahli


tafsir yang mengartikan lafadz al-akhirat dengan kehidupan akhirat
beserta segala kesenangannya dan al-ula dengan arti kehidupan dunia.
Artinya, belajar tak semata-mata untuk mendapatkan pekerjaan, tapi
juga belajar ingin berjihad melawan kebodohan demi mencapai derajat
kemanusiaan yang tinggi, baik di hadapan manusia dan Allah SWT.

3) Bersikap tawadlu’ (rendah hati) dengan cara meninggalkan kepentingan


pribadi untuk kepentingan pendidikannya. Sekalipun ia cerdas, tetapi ia
bijak dalam menggunakan kecerdasan itu pada pendidikanya, termasuk
juga bijak kepada teman-temannya yang IQ-nya lebih rendah.
4) Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran,
sehingga ia terfokus dan dapat memperoleh satu kompetensi yang utuh
dan mendalam dalam belajar.
5) Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji (mahmudah), baik untuk ukhrawi
maupun untuk duniawi, serta meninggalkan ilmu-ilmu yang tercela
(madzmumah). Ilmu terpuji dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT,
sementara ilmu tercela akan menjauhkan dari-Nya dan mendatangkan
permusuhan antar sesamanya.
6) Belajar dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran
yang mudah (konkret) menuju pelajaran yang sukar (abstrak) atau dari
ilmu yang  fardlu ‘ain menuju ilmu yang  fardlu kifayah sebagaimana
Firman Allah SWT. (QS. Al-Insyiqaq: 19).
)١٩( ‫ق‬ َ ‫لَتَرْ َكب َُّن طَبَقًا ع َْن‬
ٍ َ‫طب‬
“Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam
kehidupan)”27

7) Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang
lainnya, sehingga peserta didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan

27
Departemen Agama RI, Al-Qur’an, 589.
16

secara mendalam. Dalam konteks ini, spesialisasi jurusan diperlukan


agar peserta didik memiliki keahlian dan kompetensi khusus.
8) Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari,
sehingga mendatangkan objektivitas dalam memandang suatu masalah.
9) Memprioritaskan ilmu diniyah yang terkait dengan kewajiban sebagai
makhluk Allah SWT., sebelum memasuki ilmu duniawi.
10) Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan yaitu ilmu
yang bermanfaat dapat membahagiakan, menyejahterakan, serta
memberi keselamatan hidup dunia akhirat.
11) Peserta didik harus tunduk pada nasihat pendidik sebagaimana
tunduknya orang sakit terhadap dokternya, mengikuti segala prosedur
dan metode madzab yang diajarkan oleh pendidik-pendidik pada
umumnya, serta diperkenankan bagi peserta didik untuk mengikuti
kesenian yang baik28.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib Ra. memberikan syarat bagi peserta didik
dengan enam macam, yang merupakan kompetensi mutlak yang
dibutuhkan tercapainya tujuan pendidikan. Adapun syarat-syarat tersebut,
yaitu29:
1. Memiliki kecerdasan (dzaka’); yaitu penalaran, imajinasi, wawasan
(insight), pertimbangan dan daya penyesuaian sebagai proses mental yang
dilakukan secara cepat dan tepat. Kecerdasan kemudian berkembang
dalam tiga definisi, yaitu: (1) kemampuan menghadapi dan menyesuaikan
diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif; (2) kemampuan
menggunakan konsep abstrak secara efektif, yang meliputi empat unsur,
seperti memahami, berpendapat, mengontrol, dan mengkritik; dan (3)
kemampuan memahami pertalian-pertalian dan belajar dengan cepat
sekali30.

28
Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam  (Jakarta : Kencana, 2008), 113-114.
29
Burhan Ilham al-Zarnuzi dalam Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta : Kencana, 2008),
115.
30
J. P Chaplin, dalam Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta : Kencana, 2008), 116.
17

Jenis-jenis kecerdasan meliputi; (1) kecerdasan intelektual yang


menggunakan otak kiri dalam berpikir linear; (2) kecerdasan emosional,
yang menggunakan otak kanan/intuisi dalam berpikir asosiatif; (3)
kecerdasan moral, yang menggunakan tolak ukur baik buruk dalam
bertindak; (4) kecerdasan spiritual, yang mampu memaknai terhadap apa
yang dialami dengan mengguanakan otak unitif; (5)
kecerdasan qalbiyah atau ruhaniyah yang puncaknya pada ketaqwaan diri
kepada Allah SWT.
2. Memiliki hasrat (hirsah), yaitu kemauan, gairah, moril dan motivasi yang
tinggi dalam mencari ilmu, serta tidak merasa puas terhadap ilmu yang
diperolehnya. Hasrat ini menjadi penting sebagai persyaratan dalam
pendidikan, sebab persoalan manusia tidak sekedar mampu (qudrah) tetapi
juga mau (iradah). Simbiotis antara mampu (yang diwakili kecerdasan)
dan mau (yang diwakili hasrat) akan menghasilkan kompetensi dan
kualifikasi pendidikan yang maksimal. Motivasi belajar dalam Islam
adalah agar seseorang dapat mengenal (ma’rifah) pada Allah SWT.,
karena Dia hanya mengangkat derajat bagi mereka yang beriman dan
berilmu. Sebagaimana Firman Allah SWT. (QS. Al-Mujadalah: 11. Az-
Zumar: 9)
‫ح هَّللا ُ لَ ُك ْم َوِإ َذا قِي َل ا ْن ُش ُزوا‬
ِ ‫س فَا ْف َسحُوا يَ ْف َس‬ ِ ِ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ِإ َذا قِي َل لَ ُك ْم تَفَ َّسحُوا فِي ْال َم َجال‬
)١١( ‫ت َوهَّللا ُ بِ َما تَ ْع َملُونَ َخبِي ٌر‬ ٍ ‫فَا ْن ُش ُزوا يَرْ فَ ِع هَّللا ُ الَّ ِذينَ آ َمنُوا ِم ْن ُك ْم َوالَّ ِذينَ ُأوتُوا ْال ِع ْل َم د ََر َجا‬

“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu:


"Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya
Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan:
"Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-
orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah
Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.31

ٌ ِ‫َأ َّم ْن هُ َو قَان‬


‫ت آنَا َء اللَّ ْي ِل َسا ِجدًا َوقَاِئ ًما يَحْ َذ ُر اآل ِخ َرةَ َويَرْ جُو َرحْ َمةَ َربِّ ِه قُلْ هَلْ يَ ْست َِوي‬
)٩( ‫ب‬ ْ ‫الَّ ِذينَ يَ ْعلَ ُمونَ َوالَّ ِذينَ ال يَ ْعلَ ُمونَ ِإنَّ َما يَتَ َذ َّك ُر ُأولُو‬
ِ ‫األلبَا‬

31
Departemen Agama RI, Al-Qur’an, 543.
18

“(apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah


orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan
berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan
rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?"
Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima
pelajaran”.32
3. Bersabar dan tabah (isthibar) serta tidak mudah putus asa dalam belajar,
walaupun banyak rintangan dan hambatan, baik hambatan ekonomi,
psikologis, sosiologis, politik, bahkan administatif. Sabar adalah menahan
(al-habs) diri, atau lebih tepatnya mengendalikan diri, yaitu menhindarkan
seseorang dari perasaan resah, cemas, marah, dan kekacauan terutama
dalam proses belajar. Sabar juga meliputi menghindari maksiat,
melaksanakan perintah, dan menerima cobaan dalam proses pendidikan.
Allah SWT. Berfirman: (QS. Ali Imran: 200).
َ ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اصْ بِرُوا َو‬
)٢٠٠( َ‫صابِرُوا َو َرابِطُوا َواتَّقُوا هَّللا َ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُون‬
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah
kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu)
dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung”.33
Menurut Al-Ghazali, sabar terkait dengan dua aspek, yaitu: Pertama, fisik
(badanî), yaitu menahan diri dari kesulitan dan kelelahan badan dalam
belajar. Dalam kesabaran ini sering kali mendatangkan rasa sakit, luka dan
memikul beban yang berat; kedua, psikis (nafsi), yaitu menahan diri dari
natur dan tuntutan hawa nafsu yang mengarahkan seseorang meninggalkan
pertimbangan rasional dalam mencari ilmu.
4. Mempunyai seperangkat modal dan sarana (bulghah) yang memadai
dalam belajar. Dalam hal ini, biaya dan dana pendidikan menjadi penting,
yang digunakan untuk kepentingan honor pendidik, membeli buku dan
peralatan sekolah, dan biaya pengembangan pendidikan secara luas.
Secara spiritual, inilah investasi yang hakiki dan abadi yang dapat
dinikmati untuk jangka panjang dan masa depan di akhirat
5. Adanya petunjuk pendidik (irsyad ustadz), sehingga tidak terjadi salah
pengertian (misunderstanding) terhadap apa yang dipelajari. Dalam
32
Ibid., 459.
33
Ibid., 76.
19

belajar, seseorang dapat melakukan metode autodidak, yaitu belajar secara


mandiri tanpa bantuan siapa pun. Sekalipun demikian, pendidikan masih
tetap berperan pada peserta didik dalam menunjukkan bagaimana metode
belajar yang efektif berdasarkan pengalaman sebagai seorang dewasa,
serta yang terpenting, pendidik sebagai sosok yang perilakunya sebagai
suri tauladan bagi peserta didik. Dalam banyak hal, interaksi pendidikan
tidak dapat digantikan dengan membaca, melihat dan mendengar jarak
jauh, tetapi dibutuhkan face to face antara kedua belah pihak yang
didasarkan atas suasana psikologis penuh empati, simpati, atensi,
kehangatan, dan kewibawaan.
6. Masa yang panjang (thuwl al-zaman), yaitu belajar tiada henti dalam
mencari ilmu (no limits to study) sampai pada akhir hayat, min mahdi ila
lahdi (dari buaian sampai liang lahat). Syarat ini berimplikasikan bahwa
belajar tidak hanya di bangku kelas atau kuliah, tetapi semua tempat yang
menyediakan informasi tentang pengembangan kepribadian, pengetahuan,
dan keterampilan adalah termasuk juga lembaga pendidikan.
G. Kesimpulan
Berdasarkan uraian tentang peserta didik dalam pendidikan Islam
yang telah disebutkan di atas saya simpulkan sebagai berikut:

1. Peserta didik adalah seorang individu yang tengah mengalami fase


perkembangan atau pertumbuhan baik dari segi fisik dan mental maupun
fikiran
2. Peserta didik dalam pendidikan Islam adalah individu yang sedang tumbuh
dan berkembang, baik secara fisik, psikologis, sosial, dan religius dalam
mengarungi kehidupan di dunia dan di akhirat kelak.
3. Kebutuhan peserta didik yang harus dipenuhi, yaitu: kebutuhan fisik,
kebutuhan social, kebutuhan untuk mendapatkan status, kebutuhan
mandiri, kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan ingin disayangi dan
dicintai, kebutuhan untuk curhat, kebutuhan untuk memiliki filsafat hidup.
20

4. Karakteristik peserta didik diantaranya: (a) peserta didik bukan miniatur


orang dewasa, ia mempunyai dunia sendiri, sehingga metode belajar
mengajar tidak boleh dilaksanakan dengan orang dewasa, (b) peserta didik
memiliki kebutuhan dan menuntut untuk pemenuhan kebutuhan itu
semaksimal mungkin, (c) peserta didik memiliki perbedaan antara individu
dengan individu yang lain, (d) peserta didik dipandang sebagai kesatuan
sistem manusia. (e) peserta didik merupakan subjek dan objek pendidikan,
(f) peserta didik mengikuti periode-periode perkembangan tertentu dalam
mempunyai pola perkembangan serta tempo dan iramanya.
5. Sifat-sifat dan kode etik peserta didik dalam pendidikan Islam
yaitu;  (1) belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah
SWT (2) mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah
ukhrawi (3) bersikap tawadlu’ (rendah hati) (4) menjaga pikiran dan
pertentangan yang timbul dari berbagai aliran.(5) mempelajari ilmu-ilmu
yang terpuji (mahmudah) (6) belajar dengan bertahap (7) belajar ilmu
sampai tuntas. (8) mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang
dipelajari. (9) memprioritaskan ilmu diniyah. (10) mengenal nilai-nilai
pragmatis (11) peserta didik harus tunduk pada nasihat pendidik

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rahman,Jamal, Tahapan Mendidik Anak, Penerjemah : Bahrun Abu Bakar


Ihsan Zubaidi, Bandung : Irsyad Baitus salam, 2008.
21

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung : PT. Remaja


Rosda Karya,  2008.

Al-Zarnuzi, Burhan, Ilham dan Mujib, Abdul, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta :


Kencana, 2008.

Arifin,H.M., IlmuPendidikan Islam, Jakaarta: BumiAksara, 1995.

Barnadib, Imam, Dasar-dasar Kependidikan: Memahami Makna Dan Perspektif


Beberapa Teori Pendidikan, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1996.

Chaplin, J. P dan Mujib, Abdul, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Kencana, 2008.

Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta : Syamil Cipta Media,


2015.

Mujib, Abdul, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Kencana, 2008.

Nashir Ali,M., Dasar-Dasar Ilmu Mendidik, Jakarta: Mutiara, 1982.

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Kalam Mulia, 2006.

Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada, 2010.

Tolchah, Moch, Dinamika Pendidikan Islam Pasca Orde Baru, Yogyakarta:


LKiS Pelangi Aksara, 2015.

_______, Penelitian konsepsi anak didik menurut progressivisme dalam


perspektif pendidikan Islam, Surabaya : Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan
Ampel Surabaya, 2015.

Uhbiyati, Nur dan Ahmadi, Abu, Ilmu Pendidikan, Jakarat : PT. Rineka Cipta,
2006.

Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.

Anda mungkin juga menyukai