Anda di halaman 1dari 3

1.

Pembatalan putusan yang telah ditetapkan oleh BANI biasanya tejadi karena hal hal luar biasa
dan jika mengacu pada pasal 70 dalam UU APSA dalam UU No 30 thn 1999 maka pembatalan
bisa dilakukan karena hal hal seperti :
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan, diakui
palsu atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan
yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam
pemeriksaan sengketa
selain penerapan UU APSA ini, Reglement op de Rechtvordering (Rv), juga masih berlaku dan
menjadi salah satu alasan pembatalan putusan dengan alasan alasan seperti yang tercantum
dalam pasal 643 RV
a. apabila putusan diberikan melampaui batas-batas perjanjian;
b. apabila putusan diberikan berdasarkan: suatu persetujuan yang batal, atau telah lewat
waktunya;
c. apabila putusan diambil oleh arbiter yang tidak berwenang memutus tanpa hadirnya
arbiter-arbiter yang lainnya;
d. apabila putusan: telah mengabulkan hal-hal yang tidak dituntut; atau telah mengabulkan
lebih daripada yang dituntut;
e. apabila putusan mengandung keputusan-keputusan yang satu sama lain saling
bertentangan;
f. apabila arbiter telah melalaikan untuk memberikan keputusan tentang satu atau
beberapa hal yang menurut persetujuan, telah diajukan kepada mereka untuk diputus;
g. apabila arbiter melanggar formalitas-formalitas hukum acara yang harus diturut, dengan
ancaman kebatalan putusannya;
h. apabila putusan didasarkan atas: surat-surat yang palsu, dan kepalsuan itu diakui atau
dinyatakan sebagai palsu setelah keputusan dijatuhkan;
i. apabila setelah putusan diberikan: diketemukan lagi surat-surat yang menentukan, dan
yang dulu disembunyikan oleh para pihak;
j. apabila putusan didasarkan atas: kecurangan; atau itikad buruk.

Untuk pengajuan keberatan yang dirasakan di atur dalam UU no 30 tahun 1999 tercantum
pada pasal 71 sampai dengan pasal 72 yang isinya :
Pasal 71
Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase
kepada Panitera Pengadilan Negeri.
Pasal 72

1. Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada Ketua Pengadilan


Negeri.

2. Apabila permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikabulkan, Ketua


Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian
putusan arbitrase.
3. Putusan atas permohonan pembatalan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diterima.

4. Terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat diajukan permohonan banding ke


Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir.

5. Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding


sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
setelah permohonan banding tersebut diterima oleh Mahkamah Agung.

Dari kedua pasal tersebut terlihat bahwa untuk mengajukan pembatalan paling lama 30 hari dan
hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan dan
kewenangan untuk memeriksa pembatalan putusan arbitrase berada di tangan ketua pengadilan
negeri dan dilakukan menurut proses peradilan perdata.
pihak yang mengajukan tuntutan harus mengemukakan alasan serta bukti yang menjadi dasara
pengabulan atau penolakan permohonan tuntutan pembatalan putusan arbitrase tersebut. Jika di
kabulkan keputusan lebih lanjut akan ditentukan oleh ketua pengadilan negeri.
setelah pembatalan putusan dikabulkan oleh ketua pengadilan negeri maka bisa diputuskan
bahwa sengketa yang dibatalkan tersebut akan diperiksa kembali oleh:
a. arbiter yang sama;
b. arbiter yang lainnya;
c. sengketa tersebut tidak mungkin diselesaikan lagi melalui arbitrase.
dan apabila ketua pengadilan negeri akan menolak permohonan dimaksud disertai dengan
alasan-alasannya. maka pengajuan pembatalan putusan bisa diajukan ke Mahkamah Agung
sesuai dengan pasal 72 ayat (4) dan (5). pengajuan secara tertulis ini dilakukan paling lama 30
hari setelah diterima dan merupakan upaya hukum terakhir yang bisa diupayakan jika ada
pihak yang keeratan.
2. kemungkinan yang terjadi dalam masa negosiasi pihak PT. Garuda dan Pihak Lessor jika
membuka isi perjanjian diantara mereka adalah adanya kejelasan mengenai kesepakatan yang
di ambil akan menjadi suatu titik terang dalam negosiasi yang dijalankan karena bisa saja
kesepakatan yang diambil itu ada unsur koruptif dan melakukan kerja sama jahat di
dalamnya. Dimana modus memberikan tarif sewa lebih mahal kepada Garuda Indonesia
dibandingkan tarif pasaran bisa saja dilakukan. Kesepakatan yang diambil hahrus di
tinjau lebih jauh lagi mengingat nilai kontrak yang tengah dalam proses negosiasi tidak
dikemukakan. Saat ini permasalahan dengan pihak lessor sudah menjadi pusat perhatian
karena pendapatan Mei 2021 Garuda Indonesia hanya memperoleh sekitar US$56 juta.
Pada periode yang sama perusahaan harus membayar sewa pesawat US$56 juta,
perawatan pesawat US$20 juta, bahan bakar avtur US$20 juta , dan gaji pegawai US$20
juta. Ini akan memerlukan penaganan khusus dalam proses hukumnya supaya
menghindari kemungkinan opsi Garuda dinyatakan pailit.
3. dasar hukum Mediasi di Pengadilan Negeri Dasar hukum mediasi di pengadilan adalah
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.1 Tahun 2008. Dengan adanya Mediator yang
merupakan pihak netral guna membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari
berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau
memaksakan sebuah penyelesaian. Sedangkan untuk BPSK sendiri dasar hukum mediasinya
adalah Pasal 47 UUPK dikemukakan bahwa penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti
rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak
akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. untuk Dasar
hukum pembentukan BPSK adalah Pasal 49 Ayat 1 UUPK dan Kepmenperindag Nomor
350/MPP/Kep/12/2001 yang mengatur bahwa di setiap kota atau kabupaten harus
dibentuk BPSK.
alur proses Mediasi di BPSK sendiri itu dimulai dar tahap permohonan, tahap persidangan,
tahap putusan. Untuk lebih jelasnya alur dari penyelesaian sengketa BPSK dengan mediasi
secara singkat dijabarkan sebagai berikut :
1) BPSK membentuk sebuah fungsi badan sebagai fasilitator yang aktif untuk memberikan
petunjuk, nasehat dan saran kepada yang bermasalah;.
2) Badan ini membiarkan yang bermasalah menyelesaikan permasalahan mereka secara
menyeluruh untuk bentuk dan jumlah konpensasinya;
3) Ketika sebuah penyelesaian dicapai, itu akan diletakkan pada persetujuan rekonsiliasi
yang diperkuat oleh putusan BPSK;
4) Penyelesaian dilaksanakan paling lambat 21 (dua puluh satu) hari kerja.

4. dari kasus yang di jabarkan terlihat bahwa kedua kasus mengunakan Arbitrase sebagai
Alternatif Penyelesaian Sengketanya dan untuk kasus pertama itu melalui Badan Abitrase
Nasional (BANI) sedangkan kasus kedua melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK). Maka kewenagan yang dimiliki oleh Badan Abitrase Nasional (BANI) dalam
menyelesaikan sengketa adalah memeriksa dan memutus suatu perkara sepanjang di antara
Para Pihak yang bersengketa telah memiliki kesepakatan/ perjanjian untuk menyelesaikan
sengketa ke BANI. Wewenang ini didasarkan dengan dasar hukum penetapan pembaharuan
BANI dengan diterbitkannya sebuah akta yang di setujui oleh Menteri Kehakiman Dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia dengan surat keputusan No. AHU-
0064837.AH.01.07.TAHUN 2016, tanggal 20 Juni 2016. Sedangkan wewenang Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) hanya berwenang untuk memfasilitasi wadah dan
menjadi perantara penyelesaian sengketa . Majelis yang akan menyelesaikan sengketa
konsumen dengan cara arbitrase, ketua BPSK tidak berwenang untuk menentukan siapa yang
akan menjadi ketua majelis dan anggota majelis. Adapun yang berwenang menentukan siapa
yang duduk di majelis adalah para pihak yang bersengketa, para pihak dapat memilih arbiter
yang mewakili kepentingannya. Konsumen berhak memilih dengan bebas salah satu dari
anggota BPSK yang berasal dari unsur konsumen sebagai arbiter yang akan menjadi anggota
majelis. Demikian juga, pelaku usaha berhak memilih salah satu dari anggota BPSK yang
berasal dari unsur pelaku usaha sebagai arbiter, yang akan menjadi anggota majelis. (Pasal 32
kepmenperindang No. 350/MPP/Kep/12/2001). Setelah itu akan dilakukan penyampaian
barang bukti kemudian pernyataan dari kedua belah pihak mengenai hal yang dipersengketakan
dan mempertimbangkan hasil pembuktian serta permohonan para pihak, maka Majelis akan
membuat Putusan BPSK.

Anda mungkin juga menyukai