National Medicines Policy 2006, 27-Mar-2006
National Medicines Policy 2006, 27-Mar-2006
Ind
k
Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang
senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga revisi dan
penyusunan kembali Kebijakan Obat Nasional (KONAS)” telah dapat
diselesaikan.
i
kesehatan, baik pemerintah pusat , propinsi dan kabupaten/kota,
maupun masyarakat dan dunia usaha, serta pihak lain yang terkait.
ii
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
SAMBUTAN
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
iii
Obat merupakan salah satu komponen yang tak tergantikan dalam
pelayanan kesehatan. Obat adalah bahan atau paduan bahan-bahan
yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki system fisiologi
atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,
penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi
termasuk produk biologi. Akses terhadap obat terutama obat esensial
merupakan salah satu hak azasi manusia. Dengan demikian
penyediaan obat esensial merupakan kewajiban bagi pemerintah dan
lembaga pelayanan kesehatan baik publik maupun swasta.
iv
Penyusunan KONAS ini dilakukan dengan peran aktif berbagai
pihak di pusat dan daerah, lintas sektor, lembaga swadaya masyarakat,
dunia usaha, organisasi profesi, akademisi dan para pakar.
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
SAMBUTAN MENTERI KESEHATAN iii
DAFTAR ISI vi
I. PENDAHULUAN 4
A. Latar belakang 4
B. Tujuan 8
C. Ruang Lingkup 9
vi
C. Keterjangkauan 33
D. Seleksi Obat Esensial 36
E. Penggunaan Obat Yang Rasional 37
F. Pengawasan Obat 39
G. Penelitian Dan Pengembangan 41
H. Pengembangan Sumber Daya Manusia 42
I. Pemantauan Dan Evaluasi 44
V. PENUTUP 46
vii
Lampiran
Nomor 189/MENKES/SK/III/2006
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
4
Obat merupakan salah satu komponen yang tak tergantikan dalam
pelayanan kesehatan. Obat adalah bahan atau paduan bahan-
bahan yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki
system fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan
diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan
kesehatan dan kontrasepsi termasuk produk biologi. Akses
terhadap obat terutama obat esensial merupakan salah satu hak
azasi manusia.
5
satu subsistem SKN 2004 adalah Obat dan Perbekalan
Kesehatan.
6
efektivitas dan keamanannya belum didukung oleh penelitian yang
memadai. Mengingat hal itu dan menyadari Indonesia sebagai
mega senter tanaman obat di dunia perlu disusun Kebijakan
Nasional Obat Tradisional terpisah dari KONAS ini.
7
B. TUJUAN
8
C. RUANG LINGKUP
Obat sebagai salah satu unsur yang penting dalam upaya kesehatan,
mulai dari upaya peningkatan kesehatan, pecegahan, diagnosis,
pengobatan dan pemulihan harus diusahakan agar selalu tersedia
pada saat dibutuhkan. Obat juga dapat merugikan kesehatan bila
tidak memenuhi persyaratan atau bila digunakan secara tidak tepat
atau disalahgunakan.
9
dasarnya dapat diperkecil sedemikian rupa sehingga kebutuhan
masyarakat dapat dipenuhi sedangkan industri farmasi dapat
berkembang secara wajar.
A. PERKEMBANGAN
Penggunaan obat bagi kesehatan dan kesejahteraan ditujukan
bagi masyarakat Indonesia yang saat ini berjumlah 219 juta jiwa,
dan diproyeksikan pada tahun 2020 akan berjumlah sekitar 252
juta jiwa dengan kecenderungan-kecenderungan sebagai berikut.
10
Angka Kematian Bayi (AKB) tahun 2005 sebesar 32,3 per 1.000
kelahiran hidup dan tahun 2025 diperkirakan menjadi 15,5 per
1.000 kelahiran hidup. Angka Kematian Ibu (AKI) tahun 2005
sebesar 262 per 100.000 kelahiran hidup dan tahun 2025
diperkirakan menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup.
11
ekonomi yang memberikan dampak negative pada pelaksanaan
kerasionalan penggunaan obat.
12
Sedangkan untuk masyarakat berpenghasilan rendah disubsidi
melalui pengadaan obat di pelayanan kesehatan dasar.
Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) telah disusun sejak tahun
1980, dan direvisi secara berkala pada tahun 1983, 1987, 1990,
1994, 1998, dan 2002. DOEN digunakan sebagai dasar
penyediaan obat di pelayanan kesehatan publik. Hasil survei
ketersediaan dan penggunaan obat menunjukkan bahwa sebelum
maupun selama masa krisis ekonomi di Indonesia antara tahun
1997-2002, ketersediaan obat esensial di Puskesmas mencapai
lebih dari 80%, dan lebih dari 90 % obat yang diresepkan di
Puskesmas merupakan obat esensial.
13
B. PERMASALAHAN
14
Dewasa ini sebagian Sarana Penyimpanan Sediaan Farmasi
Pemerintah kurang berfungsi, karena kurang tersedianya tenaga
pengelola yang kompeten, struktur organisasi yang tidak
menunjang, dana operasional kurang memadai dan system
informasi yang tidak berjalan baik. Karena itu perlu dilakukan
revitalisasi fungsi pengelolaan obat di Kabupaten/Kota sekaligus
disesuaikan namanya menjadi Sarana Penyimpanan Sediaan
Farmasi Pemerintah Kabupaten / Kota untuk lebih
mengedepankan fungsinya.
Sampai saat ini tercatat sekitar 13.000 merek obat yang beredar di
pasaran. Sekirat 400 jenis obat tercantum dalam DOEN, dan 220
jenis obat diantaranya tersedia dalam bentuk obat esensial
generic. Di sektor publik terutama di sarana pelayanan kesehatan
dasar, ketersediaan obat esensial generic sekitar antara 80 - 100
%. Walaupun sudah ada keputusan pemerintah yang menyatakan
bahwa pengadaan obat bersumber APBD maupun APBN harus
dalam bentuk esensial generic, namun di era desentralisasi
kepatuhan terhadap pengadaan obat esensial generic semakin
menurun. Ketersediaan obat didukung oleh industri farmasi yang
berjumlah sekitar 204 dan 90 % berlokasi di Pulau Jawa, telah
dapat memproduksi 98 % kebutuhan obat nasional, namun
sebagian besar bahan baku masih diimpor. Ketergantungan
terhadap impor bahan baku obat ini dapat menyebabkan tidak
15
stabilnya penyediaan obat nasional dan mengakibatkan fluktuasi
harga obat.
16
Anggaran obat untuk pelayanan kesehatan dasar daerah sangat
berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya, karena
adanya perbedaan visi dan persepsi Pemda tentang kesehatan.
Walaupun demikian pemerintah pusat tetap bertanggung jawab
membantu kabupaten/kota menyediakan obat untuk keperluan
bencana dan kekurangan obat. Berdasarkan data yang terkumpul
saat ini dana penyediaan obat per kapita kabupaten/kota
pelayanan kesehatan dasar rata-rata kurang dari Rp. 5.000,-, jauh
dibawah rekomendasi WHO yaitu US $ 2 per kapita.
17
Ketidak-rasionalan penggunaan obat yang sering terjadi adalah
polifarmasi, penggunaan obat non esensial, penggunaan
antimikroba yang tidak tepat, penggunaan injeksi secara
berelebihan, penulisan resep yang tidak sesuai dengan pedoman
klinis, keidakpatuhan pasien (non-compliency) dan pengobatan
sendiri secara tidak tepat. Dalam jangka panjang kecenderungan
prevalensi penyakit menular antara lain Infeksi Saluran
Pernafasan Atas (ISPA), Tuberkulosis (TB) paru, dan malaria,
diperkirakan akan meningkat. Kasus diare akan sedikit bertambah.
Kasus penyakit schistosomiasis masih menghadapi masalah yang
sama sepeerti saat ini. Kasus penyakit campak, dengan upaya
imunisasi yang berkesinambungan diperkirakan akan menurun.
18
terlaksana sebagaimana mestinya di hampir semua Upaya
Kesehatan Perorangan (UKP) strata kedua (rumah sakit kelas C
dan B non pendidikan), strata ketiga (rumah sakit kelas B
pendidikan dan kelas A) dan farmasi komunitas (apotek).
C. PELUANG
19
serta penggunaan obat yang rasional, pengawasan dan
pengendalian obat.
20
D. TANTANGAN
21
perjanjian yang relevan dengan bidang kesehatan, yaitu
Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property
Rights (TRIPs); the Agreement on the Application of Sanitary and
Phytosanitary Measures (SPS); the Agreement on Technical
Barriers to Trade (TBT); the General Agreement on Tariffs and
Trade (GATT); dan the General Agreement on Trade in Services
(GATS).
Perjanjian WTO membawa implikasi berupa perlindungan hak
paten, penghapusan tariff dan non tariff barrier, perampingan
proses registrasi dan harmonisasi persyaratan teknis. Di satu
pihak keadaan ini memberikan beban pada pengendalian dan
pengawasan obat dan di lain pihak memaksa industri farmasi
domestic untuk meningkatkan daya saingnya. Perjanjian TRIPs
memperpanjang waktu perlindungan hak paten yang berarti
memperpanjang hak monopoli dari industri innovator tradisional,
yang akan memberikan dampak negative pada keterjangkauan
obat oleh masyarakat. Untuk itu pemerintah harus memanfaatkan
peluang yang ada dalam TRIPs seperti Lisensi Wajib, dan
pelaksanaan paten oleh pemerintah untuk menjamin ketersediaan
dan keterjangkauan obat di Indonesia.
22
kemampuan pengkajian teknis ilmiah. Perdagangan bebas juga
membawa implikasi pada pengendalian dan pengawasan obat
berupa ancaman akan lolosnya obat yang tidak memenuhi
standar. Menghadapi ancaman tersebut, pengendalian dan
pengawasan obat harus senantiasa diperkuat kemampuan dan
kapasitasnya sejalan dengan perkembangan iptek. Pemerintah
perlu memliki strategi untuk memperkecil dampak dari ancaman
tersebut.
A. LANDASAN KEBIJAKAN
23
1. Obat harus diperlakukan sebagai komponen yang tidak
tergantikan dalam pemberian pelayanan kesehatan. Dalam
kaitan ini aspek teknologi dan ekonomi darus diselaraskan
dengan aspek sosial dan ekonomi.
2. Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan,
keterjangkauan dan pemerataan obat esensial yang dibutuhkan
masyarakat.
3. Pemerintah dan saranan pelayanan kesehatan bertanggung
jawab untuk menjamin agar pasien mendapat pengobatan yang
rasional.
4. Pemerintah melaksanakan pembinaan, pengawasan dan
pengendalian obat, sedangkan pelaku usaha dibidang obat
bertanggung jawab atas mutu obat sesuai fungsi usahanya.
Tugas pengawasan dan pengendalian yang menjadi tanggung
jawab pemerintah dilakukan secara profresional, bertanggung
jawab, independent dan transparan.
5. Masyarakat berhak untuk mendapatkan informasi obat yang
benar, lengkap dan tidak menyesatkan. Pemerintah
memberdayakan masyarakat untuk terlibat dalam pengambilan
keputusan pengobatan.
B. STRATEGI
1. Ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat Esensial
Akses obat esensial bagi masyarakat secara garis besar
dipengaruhi oleh empat factor utama, yaitu penggunaan obat
24
yang rasional, harga yang terjangkau, pendanaan yang
berkelanjutan, dan sisten kesehatan serta sistem penyediaan
obat yang dapat diandalkan.
25
g. Memanfaatkan sekema dalam TRIPs seperti Lisensi Wajib
dan Pelaksaan Paten oleh Pemerintah.
26
e. Penyempurnaan dan pengembangan berbagai standar
dan pedoman.
27
c. Penerapan pendekatan farmako ekonomi melalui analisis
biaya-efektif dengan biaya-manfaat pada seleksi obat
yang digunakan di semua tingkat pelayanan kesehatan.
d. Penerapan pelayanan kefarmasian yang baik.
e. Pemberdayaan masyarakat melalui komunikasi, informasi
dan edukasi (KIE).
A. PEMBIAYAAN OBAT
Sasaran :
Masyarakat, terutama masyarakat miskin dapat memperoleh
obat esensial setiap saat diperlukan.
28
Salah satu upaya untuk menjamin pembiayaan obat bagi
masyarakat, adalah bila semua anggota masyarakat dicakup oleh
Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Langkah Kebijakan :
1. Penetapan target pembiayaan obat sektor publik secara
nasional (WHO menganjurkan alokasi sebesar minimal US $
2 per kapita).
2. Pengembangan mekanisme pemantauan pembiayaan obat
sektor publik di daerah
3. Penyediaan anggaran obat untuk program kesehatan
nasional.
4. Penyediaan anggaran Pemerintah dalam pengadaan obat
buffer stock nasional untuk kepentingan penanggulangan
bencana, dan memenuhi kekurangan obat di
kabupaten/kota.
5. Penyediaan anggaran obat yang cukup yang dialokasikan
dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan dari sumber yang lain.
6. Penerapan skema JKN ? dan sistem jaminan pemeliharaan
kesehatan lainnya harus menyelenggarakan pelayanan
kesehatan paripurna.
7. Pembebanan retribusi yang mungkin dikenakan kepada
pasien di Puskesmas harus dikembalikan sepenuhnya untuk
pelayanan kesehatan termasuk untuk penyediaan obat.
8. Penerimaan bantuan obat dari donor untuk menghadapi
keadaan darurat, sifatnya hanya sebagai pelengkap.
29
Mekanisme penerimaan obat bantuan harus mengikuti kaidah
internasional maupun ketentuan dalam negeri.
Sasaran :
Obat yang dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan, terutama
obat esensial senantiasa tersedia.
30
Langkah Kebijakan :
1. Pemberian insentif kepada industri obat jadi dan bahan baku
dalam negeri tanpa menyimpang dari dan dengan
memanfaatkan peluang yang ada dalam perjanjian WTO.
2. Peningkatan ekspor obat untuk mencapai skala produksi
yang lebih ekonomis untuk menunjang perkembangan
ekonomi nasional. Pemerintah mengupayakan pengakuan
internasional atas sertifikasi nasional, serta memfasilitasi
proses sertifikasi internasional.
3. Peningkatan kerjasama regional, baik sektor publik maupun
sektor swasta, dalam rangka perdagangan obat
internasional untuk pengembangan produksi dalam negeri.
4. Pengembangan dan produksi fitofarmaka dari sumber daya
alam Indonesia sesuai dengan kriteria khasiat dan
keamanan obat.
5. Peningkatan efektivitas dan efisiensi distribusi obat melalui
regulasi yang tepat untuk ketersediaan, keterjangkauan dan
pemerataan peredaran obat.
6. Peningkatan pelayanan kefarmasian melalui peningkatan
profesionalisme tenaga farmasi sesuai dengan standar
pelayanan yang berlaku.
7. Pemberian insentif untuk pelayanan obat di daerah terpencil.
8. Pengembangan mekanisme pemantauan keterseiaan obat
esensial dan langkah-langkah perbaikan.
31
9. Ketersediaan obat sektor publik :
a. Pembentukan Instalasi Farmasi di Propinsi dan
Kabupaten/Kota pemekaran serta pemberdayaan
Gudang Farmasi Kabupaten/Kota sebagai unit
pengelola obat dengan memanfaatkan system
informasi pengelolaan obat yang efektif dan efisien.
b. Penerapan prinsip efisiensi dalam pengadaan obat,
dengan berpedoman pada DOEN, serta menerapkan
pengadaan bersama dan pengadaan dalam jumlah
besar di kabupaten/kota.
c. Penerapan pengelolaan obat yang baik di Instalasi
Farmasi Kabupaten/Kota.
d. Penerapan prinsip transparansi dalam pengadaan obat
sektok publik.
e. Pemanfaatan peluang skema Lisensi Wajib dan
Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah untuk memenuhi
keperluan obat di sektor publik (pararel impor).
10. Penyediaan obat dalam keadaan darurat
a. Pengorganisasian suplai obat dalam keadaan darurat
harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
b. Penyusunan pedoman pengadaan obat untuk keadaan
darurat yang ditinjau kembali secara berkala.
c. Pengadaab obat untuk keadaan darurat mengikuti
pedoman yang ada dan pemerintah mengambil
langkah-langkah untuk menjamin ketepatan jumlah,
jenis, mutu dan waktu penyerahan obat.
32
11. Penyediaan obat di daerah terpencil, perbatasan dan rawan
bencana serta orphan drug diatur secara khusus oleh
pemerintah.
C. KETERJANGKAUAN
Sasaran :
Harga obat terutama obat esensial terjangkau oleh
masyarakat.
33
Untuk mendapatkan harga yang lebih terjangkau di sektor publik,
dilakukan melalui pengadaan dalam jumlah besar atau pengadaan
bersama.
Langkah Kebijakan :
1. Peningkatan penerapan Konsep Obat Esensial dan Program
Obat Generik :
a. Pemasyarakatan Konsep Obat Esensial dalam pelayanan
kesehatan baik sektor publik maupun swasta.
b. Penerapan DOEN di seluruh sarana pelayanan kesehatan.
c. Pengintegrasian DOEN ke dalam kurikulum pendidikan dan
pelatihan tenaga kesehatan.
d. Pemasyarakatan obat generic secara konsisten dan
berkelanjutan.
e. Pengendalian harga obat generic dengan memanfaatkan
informasi harga obat internasional,
34
f. Pemberian insentif kepada sarana dan tenaga kesehatan
yang memberikan pelayanan obat esensial.
2. Pelaksanaan evaluasi harga secara periodic dalam rangka
mengambil langkah kebijakan mengenai harga obat esensial
dengan :
a. Membandingkan harga dengan harga di Negara lain.
b. Membandingkan harga di perkotaan maupun pedesaan,
dan di saranan pelayanan kesehatan sektor publik dan
swasta.
c. Menilai dampak kebijakan yang telah dilaksanakan
mengenai harga obat.
3. Pemanfaatan pendekatan farmako-ekonomik di unit pelayanan
kesehatan untuk meningkatkan efisiensi.
4. Melaksanakan lisensi wajib obat-obat yang sangat diperlukan
sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.
5. Pengembangan system informasi harga obat.
6. Pengembangan system pengadaan obat sektor publik yang
efektif dan efisien.
7. Penghapusan pajak dan bea masuk untuk obat esensial.
8. Pengaturan harga obat esensial untuk menjamin
keterjangkauan harga obat.
35
D. SELEKSI OBAT ESENSIAL
Sasaran:
Tersedianya Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) sesuai
perkembangan ilmu pengetahuan yang dapat digunakan
dalam pelayanan kesehatan secara luas.
36
Langkah Kebijakan :
1. Pemilihan obat esensial harus terkait dengan pedoman terapi
atau standar pengobatan yang didasarkan pada bukti ilmiah
terbaik.
2. Pelaksanaan seleksi obat esensial dilakukan melalui
penelaahan ilmiah yang mendalam dan pengambilan
keputusan yang transparan dengan melibatkan apoteker,
farmakolog, klinisi dan ahli kesehatan masyarakat dari
berbagai strata sarana pelayanan kesehatan dan lembaga
pendidikan tenaga kesehatan.
3. Pelaksanaan revisi DOEN dilakukan secara periodic paling
tidak setiap 3-4 tahun dengan melalui proses pengambilan
keputusan yang sama.
4. Penyebarluasan DOEN kepada sarana pelayanan kesehatan
sampai daerah terpencil, lembaga pendididikan tenaga
kesehatan, baik dalam bentuk media cetak maupun elektronik.
Sasaran :
Penggunaan obat dalam jenis, bentuk sediaan, dosis dan
jumlah yang tepat dan disertai informasi yang benar, lengkap
dan tidak menyesatkan.
37
Penggunaan obat yang rasional merupakan salah satu langkah
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik. Pada
umumnya penggunaan obat di saranan pelayanan kesehatan
belum rasional.
Langkah Kebijakan :
1. Penyusunan pedoman terapi standar berdasarkan bukti ilmiah
terbail yang direvisi secara berkala.
2. Pemilihan obat dengan acuan utama DOEN.
3. Pembentukan danatau Pemberdayaan Komite Farmasi dan
terapi di rumah sakit.
4. Pembelajaran farmakoterapi berbasis klinis dalam kurikulum
S, tenaga kesehatan.
5. Pendidikan berkelanjutan sebagai persyaratan pemberian izin
menjalankan kegiatan profesi.
6. Pengawasan, audit dan umpan balik dalam penggunaan obat.
38
7. Penyediaan informasi obat yang benar, lengkap dan tidak
menyesatkan melalui pusat-pusat informasi di sarana-sarana
pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta.
8. Pendidikan dan pemberdayaan masyarakat untuk
menggunakan obat secara tepat dan benar, serta
meningkatkan kepatuhan penggunaan obat.
9. Regulasi dan penerapannya untuk menghindarkan insentif
pada penggunaan dan penulisan resep obat.
10. Regulasi untuk menunjang penerapan berbagai langkah
kebijakan penggunaan obat yang rasional.
11. Promosi penggunaan obat yang rasional dalam bentuk
komunikasi, informasi dan edukasi yang efektif dan terus
menerus kepada tenaga kesehatan dan masyarakat melalui
berbagai media.
F. PENGAWASAN OBAT
Sasaran :
39
Pengawasan obat merupakan tugas yang kompleks yang
melibatkan berbagai pemangku kepentingan yaitu pemerintah,
pengusaha dan masyarakat. Ada beberapa persyaratan yang
harus dipenuhi oleh lembaga pemerintah untuk melakukan
pengawasan, antara lain adanya dasar hokum, sumber daya
manusia dan sumber daya keuangan yang memadai, akses
terhadap ahli, hubungan internasional, laboratorium pemeriksaan
mutu yang terakreditasi, independent, dan transparan.
Langkah Kebijakan :
1. Penilaian dan pendaftaran obat.
2. Penyusunan dan penerapan standar produk dan system
mutu.
3. Perizinan dan sertifikasi sarana produksi dan distribusi.
4. Inspeksi sarana produksi dan sarana distribusi.
5. Pengujian mutu dengan laboratorium yang terakreditasi.
6. Pemantauan promosi obat.
7. Surveilans dan vijilan paska pemasaran.
8. Penilaian kembali terhadap obat yang beredar.
40
9. Peningkatan sarana dan prasarana pengawasan obat serta
pengembangan tenaga dalam jumlah dan mutu sesuai
dengan standar kompetensi.
10. Pembentukan Pusat Informasi Obat di pusat dan daerah
untuk intensifikasi penyebaran informasi obat.
11. Peningkatan kerjasama regional maupun internasional.
12. Pengawasan obat palsu dan obat selundupan (tidak absah).
13. Pengembangan peran serta masyarakat untuk melindungi
dirinya sendiri dari obat yang tidak memenuhi syarat, obat
palsu, dan obat illegal melalui upaya komunikasi, informasi,
dan edukasi.
Sasaran :
Peningkatan penelitian di bidang obat untuk menunjang
penerapan KONAS.
41
Langkah Kebijakan :
1. Melakukan identifikasi penelitian yang relevan dan
penyusunan prioritas dengan mekanisme kerja yang erat
antara penyelenggara upaya-upaya pembangunan di bidang
obat dengan penyelenggara penelitian dan pengembangan.
2. Meningkatkan kerjasama lintas sektor dan dengan luar negeri
di bidang penelitian dan pengembangan obat serta
meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi penyelenggaraan
penelitian antara berbagai lembaga dan perorangan yang
melakukan penelitian di bidang obat.
3. Membina dan membantu penyelenggaraan penelitian yang
relevan dan diperlukan dalam pembangunan di bidang obat.
Sasaran :
Tersedianya Sumber Daya Manusia (SDM) yang menunjang
pencapaian tujuan KONAS.
42
GFK yang sebelumnya telah ada di setiap Kabupaten/Kota
dikembangkan menjadi Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota (IFK),
dilengkapi dengan system informasi yang dapt diandalkan. Untuk
itu dibutuhkan SDM dengan jumlah yang cukup dan kompeten.
Tersedianya SDM farmasi di puskesmas, rumah sakit baik
pemerintah maupun swasta, industri farmasi, pedagang besar
farmasi (PBF), apotek serta toko obat sangat diperlukan. Di
samping itu diperlukan apoteker sebagai administrator di
kabupaten/kota, propinsi dan pusat.
Langkah Kebijakan :
1. Penyusunan rencana kebutuhan tenaga farmasi.
2. Penyediaan dan penempatan tenaga farmasi secara merata
sesuai dengan kebutuhan di setiap daerah dan jenjang
pelayanan kesehatan.
3. Pengintegrasian KONAS ke dalam kurikulum pendidikan dan
pelatihan tenaga kesehatan.
4. Pengintegrasian KONAS ke dalam kurikulum pendidikan
berkelanjutan oleh organisasi profesi kesehatan.
5. Peningkatan kerjasama nasional, regional dan internasional
untuk pengembangan SDM.
43
I. PEMANTAUAN DAN EVALUASI
Sasaran :
Menunjang penerapan KONAS melalui pembentukan
mekanisme pemantauan dan evaluasi kinerja serta dampak
kebijakan, guna mengetahui hambatan dan penetapan
strategi yang efektif.
44
Langkah Kebijakan :
1. Pemantauan dan evaluasi dilakukan secara berkala, paling
lama setiap 5 tahun.
2. Pelaksanaan dan indicator pemantauan mengikuti pedoman
WHO dan dapat bekerjasama dengan WHO atau pihak lain
untuk membandingkan hasilnya dengan Negara lain.
3. Pemanfaatan hasil pemantauan dan evaluasi untuk :
a. Tindak lanjut berupa penyesuaian kebijakan, baik
penyesuaian pilihan kebijakan maupun penetapan
prioritas.
b. Negosiasi dengan instansi terkait.
c. Bahan pembahasan dengan berbagai badan
internasional maupun donor luar negeri.
45
V. P E N U T U P
46
KONTRIBUTOR
Workshop
Seminar/Lokakarya Nasional :
Great thankfulness is praised to Almighty God for His Mercy and Guidance
in the support of revision and re-preparation of National Medicines Policy
(KONAS) is now completed.
DIREKTUR JENDERAL
medical devices spread rapidly to the entire nation. Meanwhile, the tendency
of consumption rate on pharmaceutical products and medical devices keep
increasing.
Medicine is one of irreplaceable components in healthcare services.
Medicine is a single material or mixtures of materials applied to influence or
investigate physiology system or pathology condition in determining
diagnosis, prevention, healing, recovery, improvement of health and
contraception including biological products. Access to medicines particularly
essential medicines is one of the human rights. Therefore, the supply of
essential medicines is the obligation of the government and health service
institution, public or private.
Government policy on improvement of access to medicine has been
established by Law No.23 on Health, Government Regulation, Healthy
Indonesia 2010, National Health System and National Medicines Policy
(KONAS).
In the subsystem of Medicines and Medical Supply in National Health
System, emphasis is given on availability, fair distribution, affordability and
the assurance of safety, efficacy and quality medicine.
FOREWORD i
OFFICIAL ACKNOWLEDGEMENT OF MINISTER OF HEALTH iii
TABLE OF CONTENTS vi
I. INTRODUCTION 4
A. Background
B. Objectives
C. Scope
II. SITUATION ANALYSIS AND TENDENCY
A. Development
B. Issues
C. Opportunities
D. Challenges
III. FUNDAMENTALS OF POLICY AND STRATEGY
A. Policy Fundamentals
B. Strategies
IV. POLICY FOUNDATION AND STEPS
A. Medicine Financing
B. Availability and Fair Distribution of Medicines
C. Affordability
D. Selection of Essential Medicines
E. Rational Use of Medicines
F. Control and Administration
G. Research and Development
H. Human Resource Development
I. Monitoring and Evaluation
V. CLOSING
Appendix
Decree of Minister of
Health
Number 189/MENKES/
SK/III/2006
March 27,2006
I. INTRODUCTION
A. BACKGROUND
The essential objectives of health development toward Healthy
Indonesia 2010 has directed the health development which
prioritizing health paradigm. The objectives of health
development toward Healthy Indonesia 2010 are to build
awareness, motivation and capability to realize healthy living
and to have access to quality, proportional, and fair distribution
of health services.
quality of medicines.
In response to such policy, it is regarded necessary to make
further improvement on the present national medicines policy
stipulated by Decree of Minister of Health No.47/Menkes/SW/
II/1983 on National Medicines Policy by stipulating the new
National Medicines Policy.
B. OBJECTIVES
C. SCOPE
The scope of National Medicines Policy covers the development
of medicines to achieve the effective course of health
development in generating quality human resources.
National Medicines Policy include financing, availability and
fair distribution, affordability, selection of essential medicines,
Rational Use of Medicines, control and administration, research
and development, human resource development, monitoring and
evaluation.
II. SITUATION ANALYSIS AND TENDENCY
A. DEVELOPMENT
The projected Life Expectancy in 2005 was 69,0 years old and in
2025 it is projected 73,7 years old. Infant Mortality Rate in 2005
was 32,3 per 1.000 live birth and in 2025 it would reach 15,5 per
1.000 live birth. Maternal Mortality Rate in 2005 was 262 per
100.000 live birth and in 2025 it is estimated to 102 per 100.000
live birth.
in 1991.
The projected Life Expectancy in 2005 was 69,0 years old and in
2025 it is projected 73,7 years old. Infant Mortality Rate in 2005
was 32,3 per 1.000 live birth and in 2025 it would reach 15,5 per
1.000 live birth. Maternal Mortality Rate in 2005 was 262 per
100.000 live birth and in 2025 it is estimated to 102 per 100.000
live birth.
B. ISSUES
As per data collected to this date, the fund allocated for supply
of medicine per capita in Regency/City for primary health care is
less than Rp.5.000,- far below the WHO recommendation of US$
2 per capita.
Since 2002, central government has supplied medicine budget
for primary health care for poor communities. The budget is
sourced from Energy Subsidiary Reduction Program (PKPS-
BBM) at approximate value of Rp. 160 Billion per year. The
budget available was distributed to the government or private
health facilities appointed by the government. At present, budget
allocation for medicine provision in primary health care is
determined by each regency/city.
primary healthcare.
D. CHALLENGES
For the last one and half decade, the world's pharmaceutical
products increasing four times than the world's income growth
rate, have been concentrated in the five industrial countries. The
world's production, trade and sales of medicines have been
dominated by a small number of trans-national companies. The
ten largest transnational companies occupy almost half of
international sales. Meanwhile, the disparity of access to medicine
between developed and poor countries have widened and the
medicine production volume at lower price prevail in two most
densely-populated Asian countries, rapidly growing in a very
competitive domestic market.
In the long run until 2005, the availability and access to medicines
will be influenced by the role of pharmaceutical companies at
global scale and global distribution of communicable and non-
communicable diseases which must carefully thought by Indonesia
since now.
B. STRATEGY
1. Availability, Fair Distribution and Affordability of
Essential Medicines.
2. S a f e t y A s s u r a n c e , e f f i c a c y a n d q u a l i t y o f
distributed medicines including the community
independent efforts.
guidelines.
development.
market.
medicines procurement.
Policy Steps:
price.
The selection process of essential medicines is very crucial.
Policy Steps :
1. Selection of essential medicines must be in harmony with
the therapy guideline or standard medication based on
best scientific proof.
2. Selection of essential medicines shall be made through
in-depth scientific review and transparent decision-taking
process which involve Pharmacist, pharmacologists,
clinicians and public health experts from various levels
of healthcare services and health professional education
institutions.
3. Revision of National Essential Medicine List (DOEN)
shall be made periodically at minimum of 3-4 years
through similar decision-taking process.
4. Dissemination of DOEN to public health service facilities
to remote areas, health professional education institution,
either in printed or electronic media.
E. RATIONAL USE OF MEDICINES
Goal:
Use of medicine in proper type, dosage form, dose and
quantity furnished with correct, complete and not-
misleading information.
Rational use of medicine is one of the measures to realize good
health services. In general, the use of medicine in health services
is irrational.
In dealing with irrational use of medicines, the monitoring over
medicine use must consider the type of irrationality, degree of
issue, causing factor of irrational use of medicines in order to
select proper, effective and viable strategy.
F MEDICINES CONTROL
Goal:
1. Distributed medicines must fulfill the requirements for
safety, efficacy and quality.
2. Communities are prevented from misuse and ab-use of
medicines.
Medicines control is a very complex task which involves
the stakeholders i.e. government, entrepreneurs and
communities. There are requirements to be satisfactorily
met by government agency to perform such control e.q.
legal grounds, human resources and adequate financial
resources, accessibility to experts, international
relationship, accredited, independent and transparent
quality examination laboratory.
Policy Steps:
1. Assessment and Registration of Medicines.
2. Preparation and implementation of product standards and
quality system.
3. License and certification of production and distribution
facilities.
4. Inspection on production and distribution facilities.
5. Quality test by accredited laboratory.
6. Monitoring over Medicine promotion
7. Post-marketing surveillance and vigilance.
8. Re-assessment on distributed medicines.
9. Improvement of facilities and infrastructures of medicines
control and administration and development of health
professionals in quantity and quality as per competency
standards.
10. Formation of Medicine Information Center at central and
local levels for intensified dissemination of information
on medicines.
11. Improved regional and international cooperation.
12. Controlling over counterfeit and smuggled medicines
(illegal medicines).
13. Development of community role in self protection from
substandard, counterfeit and illegal medicines through
communication, information and education.
Development, 6) Head of
Research and Development of
Human Resources for Health
Professionals, 7) Head of
National Agency of Food and
Drug Control, 8) Chief
Secretary of NA-FDC, 9)
Deputy of Traditional
Medicines and Cosmetics and
Complimentary Product of
NA-FDC, 10) Deputy of Food
and Hazardous Material
Safety of NA-FDC, 11)
Ministerial Expert Staff
(MES) of Institutional
Capacity Develop- ment and
Decentralization, 12) MES of
Health Financing and
Economy, 13) MES of
Environmental Rehabilitation
and Epidemiology, 14) MES
of Vulnerable Community
Health Service;
Executive Team, Chairman : MES of Health and
Pharmaceutical Technology
General of Pharmaceutical
Service and Medical Devices,
2) Director of Medicine and
Medicine, 2) Director of
Supply, 4) Director of
Production and Distribution of
Medical Devices, 5) Director
of Inspection and Certification
of Therapeutic Products of
NA-FDC 6) Director of
Therapeutic Product
Standardization of NA-FDC,
7) Head of Planning and
Budgeting of Ministry of
Health, 8) Head of Health
Development Research
Center of Ministry of Health,
9) Head of Legal and
Organization Bureau.
SKM;
Members : 1) Drs. Dwidjo Susono, Apt,
ME;
National Seminar/Workshop:
Drs. Slamet Soesilo, Apt, Prof. DR. Drs. Charles JP Siregar, Apt, DR. Dra.
Sri Suryawati, Apt. Head of Health Agency/Official of Pharmacy in Provincial