Anda di halaman 1dari 117

615

Ind
k

KEBIJAKAN OBAT NASIONAL

DEPARTEMEN KESEHATAN R.I


2007

KEBIJAKAN OBAT NASIONAL 2006


KATALOG DALAM TERBITAN, DEPARTEMEN KESEHATAN RI
615
Ind Indonesia, Departemen Kesehatan RI
k Kebijakan Obat Nasional.
Jakarta, Departemen Kesehatan RI, 2006

1. Judul 1. DRUGS – HEALTH POLICY


2. LEGISLATION, DRUGS

KEBIJAKAN OBAT NASIONAL 2006


KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang
senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga revisi dan
penyusunan kembali Kebijakan Obat Nasional (KONAS)” telah dapat
diselesaikan.

Kemajuan teknologi membawa perubahan yang radikal di bidang


farmasi khususnya obat. Globalisasi yang ditandai dengan entry barrier
perdagangan internasional yang semakin tipis menyebabkan produk
farmasi secara cepat dapat tersebar ke seluruh pelosok tanah air, dan
pada saat yang sama kecenderungan tingkat konsumsinya terus
meningkat.

Dengan telah tersusunnya KONAS, dapat menjadi landasan, arah


dan pedoman penyelenggaraan pembangunan kesehatan khususnya di
bidang obat, yang meliputi pembiayaan, ketersediaan, pemerataan dan
keterjangkauan obat, seleksi obat esensial, penggunaan obat rasional,
pengawasan, penelitian dan pengembangan, pengembangan sumber
daya manusia dan pemantauan serta evaluasi. Kesemuanya ini
merupakan upaya dalam mewujudkan Visi Depkes yaitu “Masyarakat
Yang Mandiri Untuk Hidup Sehat” serta Misi Depkes yaitu “Membuat
Rakyat Sehat”.

Dengan diterbitkannya KONAS dalam bentuk buku diharapkan


dapat memberikan informasi yang menjangkau seluruh penyelenggara

i
kesehatan, baik pemerintah pusat , propinsi dan kabupaten/kota,
maupun masyarakat dan dunia usaha, serta pihak lain yang terkait.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan petunjuk dan


kekuatan kepada kita semua dalam melaksanakan pembangunan
kesehatan dengan menyediakan pelayanan kesehatan yang bermutu
bagi semua orang, guna memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya, sebagai perwujudan hak asasi manusia.

ii
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

SAMBUTAN
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Kesehatan adalah hak asasi manusia dan setiap penduduk berhak


mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal sesuai dengan
kebutuhan tanpa memandang kemampuan membayar.

Dalam upaya pelayanan kesehatan, ketersediaan obat dlam jenis


yang lengkap, jumlah yang cukup, terjamin khasiatnya, aman, efektif
dan bermutu, dengan haga terjangkau serta mudah diakses adalah
sasaran yang harus dicapai.

Kemajuan teknologi telah membawa perubahan yang radikal di


bidang farmasi dan alat kesehatan. Globalisasi yang ditandai dengan
entry barrier perdagangan internasional yang semakin tipis
menyebabkan produk farmasi dan alat kesehatan secara cepat dapat
tersebar ke seluruh pelosok tanah air. Pada saat yang sama
kecenderungan tingkat konsumsi produk farmasi dan alat kesehatan
terus meningkat.

iii
Obat merupakan salah satu komponen yang tak tergantikan dalam
pelayanan kesehatan. Obat adalah bahan atau paduan bahan-bahan
yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki system fisiologi
atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,
penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi
termasuk produk biologi. Akses terhadap obat terutama obat esensial
merupakan salah satu hak azasi manusia. Dengan demikian
penyediaan obat esensial merupakan kewajiban bagi pemerintah dan
lembaga pelayanan kesehatan baik publik maupun swasta.

Kebijakan Pemerintah terhadap peningkatan akses obat telah


ditetapkan antara lain dalam Undang-Undang No. 23 tentang
Kesehatan, Peraturan Pemerintah, Indonesia Sehat 2010, Sistem
Kesehatan Nasional (SKN) dan Kebijakan Obat Nasional (KONAS).

Dalam subsistem Obat dan Perbekalan Kesehatan dalam SKN,


penekanan diberikan pada ketersediaan obat, pemerataan termasuk
keterjangkauan dan jaminan keamanan, khasiat dan mutu obat.

KONAS dapat menjadi landasan, arah dan pedoman


penyelenggaraan pembangunan kesehatan khususnya di bidang obat
yang meliputi pembiayaan, ketersediaan, pemerataan dan
keterjangkauan obat, seleksi obat esensial, penggunaan obat rasional,
pengawasan , penelitian dan pengembangan, pengembangan sumber
daya manusia dan pemantauan serta evaluasi.

iv
Penyusunan KONAS ini dilakukan dengan peran aktif berbagai
pihak di pusat dan daerah, lintas sektor, lembaga swadaya masyarakat,
dunia usaha, organisasi profesi, akademisi dan para pakar.

Pada kesempatan ini, saya selaku Menteri Kesehatan


menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak atas perhatian,
bantuan dan masukan serta kontribusinya dalam penyusunan KONAS
tersebut.

Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Tuhan Yang Maha Esa


memberikan ridho serta kemudahan untuk “Membuat Rakyat Sehat”
dalam mewujudkan “Masyarakat Yang Mandiri Untuk Hidup Sehat”.

Jakarta, September 2006

v
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
SAMBUTAN MENTERI KESEHATAN iii
DAFTAR ISI vi

I. PENDAHULUAN 4
A. Latar belakang 4
B. Tujuan 8
C. Ruang Lingkup 9

II. ANALISIS SITUASI dan KECENDERUNGAN 9


A. Perkembangan 10
B. Permasalahan 14
C. Peluang 19
D. Tantangan 21

III. LANDASAN KEBIJAKAN DAN STRATEGI 23


A. Landasan Kebijakan 23
B. Strategi 24

IV. POKOK-POKOKDAN LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN 28


A. Pembiayaan Obat 28
B. Ketesediaan dan Pemerataan Obat 30

vi
C. Keterjangkauan 33
D. Seleksi Obat Esensial 36
E. Penggunaan Obat Yang Rasional 37
F. Pengawasan Obat 39
G. Penelitian Dan Pengembangan 41
H. Pengembangan Sumber Daya Manusia 42
I. Pemantauan Dan Evaluasi 44

V. PENUTUP 46

vii
Lampiran

Keputusan Menteri Kesehatan

Nomor 189/MENKES/SK/III/2006

Tanggal 27 Maret 2006

KEBIJAKAN OBAT NASIONAL

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pokok-pokok rencana pembangunan kesehatan menuju Indonesia


Sehat 2010, menggariskan arah pembangunan kesehatan yang
mengedepankan paradigma sehat. Tujuan pembangunan
kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010 antara lain
meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat
dan memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan bermutu, adil
dan merata.

4
Obat merupakan salah satu komponen yang tak tergantikan dalam
pelayanan kesehatan. Obat adalah bahan atau paduan bahan-
bahan yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki
system fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan
diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan
kesehatan dan kontrasepsi termasuk produk biologi. Akses
terhadap obat terutama obat esensial merupakan salah satu hak
azasi manusia.

Dengan demikian penyediaan obat esensial merupakan kewajiban


bagi pemerintah dan lembaga pelayanan kesehatan baik publik
maupun swasta.

Obat berbeda dengan komoditas perdagangan lainnya, karena


selain merupakan komoditas perdagangan, obat juga memiliki
fungsi sosial.

Kebijakan Pemerintah terhadap peningkatan akses obat


diselenggarakan melalui beberapa strata kebijakan yaitu Undang-
Undang sampai Keputusan Menteri Kesehatan yang mengatur
berbagai ketentuan berkaitan dengan obat. SKN 2004
memberikan landasan, arah dan pedoman penyelenggaraan
pembangunan kesehatan bagi seluruh penyelenggara kesehatan,
baik pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota, maupun
masyarakat dan dunia usaha, serta pihak lain yang terkait. Salah

5
satu subsistem SKN 2004 adalah Obat dan Perbekalan
Kesehatan.

Dalam subsistem tersebut penekanan diberikan pada


ketersediaan obat, pemerataan termasuk keterjangkauan dan
jaminan keamanan, khasiat dan mutu obat.

Menindak lanjuti kebijakan tersebut perlu dilakukan perbaikan


terhadap kebijakan obat nasional yang telah ada, yang ditetapkan
dalam keputusan menteri kesehatan No. 47/Menkes/SK//II/1983
tentang kebijaksanaan Obat Nasional dengan menetapkan
kebijakan Obat Nasional yang baru .

Kebijakan Obat Nasional selanjutnya disebut KONAS adalah


dokumen resmi berisi pernyataan komitmen semua pihak yang
menetapkan tujuan dan sasaran nasional di bidang obat beserta
prioritas, strategi dan peran berbagai pihak dalam penerapan
komponen-komponen pokok kebijakan untuk pencapaian tujuan
pembangunan kesehatan. Dengan demikian KONAS merupakan
bagian integral dari SKN 2004.

Beberapa Negara berkembang telah memanfaatkan obat


tradisional dalam pelayanan kesehatan, terutama dalam
pelayanan kesehatan strata pertama. Penggunaan obat tradisional
di Indonesia merupakan bagian dari budaya bangsa dan banyak
dimanfaatkan masyarakat. Namun demikian, pada umumnya

6
efektivitas dan keamanannya belum didukung oleh penelitian yang
memadai. Mengingat hal itu dan menyadari Indonesia sebagai
mega senter tanaman obat di dunia perlu disusun Kebijakan
Nasional Obat Tradisional terpisah dari KONAS ini.

Penerapan otonomi daerah pada tahun 2000 berdasarkan UU


22/1999, yang diperbaharui dengan UU 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah mengakibatkan beberapa peran pemerintah
pusat dialihkan kepada pemerintah daerah sebagai urusan wajib
dan tugas pembantuan, salah satunya adalah bidang pelayanan
kesehatan. Hal ini mengakibatkan penyediaan dan atau
pengelolaan anggaran untuk pengadaan obat esensial yang
diperlukan masyarakat di sektor publik menjadi tanggung jawab
pemerintah daerah yang sebelumnya merupakan tanggung jawab
pemerintah pusat. Namun pemerintah pusat masih mempunyai
kewajiban untuk menyediakan obat program kesehatan dan
persediaan penyangga (buffer stock) serta menjamin keamanan,
khasiat dan mutu obat.

Pelaksanaan otonomi daerah telah membawa perubahan


mendasar yang perlu dicermati agar ketersediaan obat esensial
bagi masyarakat tetap terjamin. Untuk daerah-daerah terpencil,
perbatasan, kepulauam dan daerah rawan bencana, perlu
dikembangkan system pengelolaan obat secara khusus.

7
B. TUJUAN

KONAS dalam pengertian luas dimaksudkan untuk meningkatkan


pemerataan dan keterjangkauan obat secara berkelanjutan, agar
tercapai derajat kesehatan maasyarakat yang setinggi-tingginya.

Keterjangkauan dan penggunaan obat yang rasional merupakan


bagian dari tujuan yang hendak dicapai. Pemilihan obat yang tepat
dengan mengutamakan penyediaan obat esensial dapat
meningkatkan akses serta kerasionalan penggunaan obat.

Semua obat yang beredar harus terjamin keamanan, khasiat dan


mutunya agar memberikan manfaat bagi kesehatan. Bersamaan
dengan itu masyarakat harus dilindungi dari salah penggunaan
dan penyalahgunaan obat.

Dengan demikian tujuan KONAS adalah menjamin :

1. Ketersediaan, pemerataan, keterjangkauan obat, terutama obat


esensial.
2. Keaman, khasiat dan mutu semua obat yang beredar serta
melindungi masyarakat dari penggunaan yang slah dan
penyalahgunaan obat.
3. Penggunaan obat yang rasional.

8
C. RUANG LINGKUP

Ruang lingkup KONAS meliputi pembangunan di bidang obat


untuk menjamin terlaksananya pembangunan kesehatan dalam
upaya mendapatkan sumber daya manusia berkualitas.

KONAS mencakup pembiayaan, ketersdiaan dan pemerataan,


keterjangkauan obat, seleksi obat esensial, penggunaan obat
rasional, pengawasan, penelitian dan pengembangn,
pengembangan sumber daya manusia dan pemantauan serta
evaluasi.

II. ANALISIS SITUASI DAN KECENDERUNGAN

Obat sebagai salah satu unsur yang penting dalam upaya kesehatan,
mulai dari upaya peningkatan kesehatan, pecegahan, diagnosis,
pengobatan dan pemulihan harus diusahakan agar selalu tersedia
pada saat dibutuhkan. Obat juga dapat merugikan kesehatan bila
tidak memenuhi persyaratan atau bila digunakan secara tidak tepat
atau disalahgunakan.

Disamping merupakan unsur yang penting dalam upaya kesehatan,


obat sebagai produk industri farmasi tidak lepas dari aspek teknologi
dan ekonomi. Tuntutan aspek teknologi dan ekonomi tersebut
semakin besar dengan adanya globalisasi, namun tuntutan ini pada

9
dasarnya dapat diperkecil sedemikian rupa sehingga kebutuhan
masyarakat dapat dipenuhi sedangkan industri farmasi dapat
berkembang secara wajar.

A. PERKEMBANGAN
Penggunaan obat bagi kesehatan dan kesejahteraan ditujukan
bagi masyarakat Indonesia yang saat ini berjumlah 219 juta jiwa,
dan diproyeksikan pada tahun 2020 akan berjumlah sekitar 252
juta jiwa dengan kecenderungan-kecenderungan sebagai berikut.

Apabila tingkat kelahiran dan tingkat kematian terus menurun


mengikuti laju penurunan tingkat fertilitas dan mortalitas, maka
angka pertumbuhan penduduk akan turun dari 1,2 % per tahun
pada periode tahun 2000-2005 menjadi 0,79 % per tahun pada
periode 2005-2025. Dari komposisi penduduk, terjadi
kecenderungan penurunan jumlah penduduk usia muda dan
balita, serta peningkatan jumlah segmen angkatan kerja dan usia
lanjut secara bermakna di tahun 2025, yang perubahannya
diperkirakan akan mulai terlihat sejak tahun 2005 ini. Jumlah
tenaga kerja tahun 2000 sebesar 69,9 % dari jumlah penduduk
seluruhnya dan diproyeksikan akan menjadi 76,8 % pada tahun
2020.

Proyeksi angka Umur Harapan Hidup (UHH) tahun 2005 adalah


69,0 tahun dan tahun 2025 diperkirakan menjadi 73,7 tahun.

10
Angka Kematian Bayi (AKB) tahun 2005 sebesar 32,3 per 1.000
kelahiran hidup dan tahun 2025 diperkirakan menjadi 15,5 per
1.000 kelahiran hidup. Angka Kematian Ibu (AKI) tahun 2005
sebesar 262 per 100.000 kelahiran hidup dan tahun 2025
diperkirakan menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup.

Prevalensi kurang energi kalori (KEK) pada Balita tahun 2005


diproyeksikan sebesar 23 % dan tahun 2025 menjadi 17 %.

Sebelum diberlakukannya otonomi daerah, diperkirakan 50-80 %


dari masyarakat Indonsia memiliki akses terhadap obat esensial.
Akses masyarakat terhadap obat esensial dipengaruhi oleh empat
faktor utama, yaitu penggunaan obat yang rasional, harga yang
terjangkau, pembiayaan yang berkelanjutan, dan system
pelayanan kesehatan beserta system suplai yang dpat menjamin
ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan. Beberapa
intervensi terhadap kepatuhan penggunaan obat yang rasional
telah dilakukan di beberapa daerah seperti di Provinsi Nusa
Tenggara Barat, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Kalimantan Barat
dan Sumatera Barat dan elah menampakkan hasil pada tahun
1991.

Evaluasi penerapan KONAS pada tahun 1997 menunjukkan


kerasionalan penggunaan obat relative lebih baik. Namun
keberhasilan beberapa intervensi yang dilakukan di beberapa
daerah tersebut belum sempat diperluas, telah terjadi krisis

11
ekonomi yang memberikan dampak negative pada pelaksanaan
kerasionalan penggunaan obat.

Regulasi bidang obat mencakup aspek persyaratan produk,


proses produksi, system suplai, pembiayaan, penggunaan dan
sebagainya. Penerapan regulasi secara umum dapat dikatakan
telah berjalan baik terutama sebelum era desentralisasi.

Untuk menjamin obat yang memenuhi persyaratan telah disusun


standar komoditi yang berkembang dinamis mencakup standar
keamanan, khasiat dan mutu. Selain itu telah disusun standar
proses produksi yaitu Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) .

Sebelum desentralisasi, obat esensial di sektor publik dijamin


ketersediaannya oleh pemerintah melalui sistem suplai dengan
keberadaan Sarana Penyediaan Sediaan Farmasi Pemerintah.
Peran dan fungsi Sarana Penyimpanan Sediaan Farmasi
Pemerintah sejah desentralisasi mengalami perubahan akibat
sudut pandang yang berbeda dari pemerintah daerah (pemda)
terhadap peran lembaga ini.

Sementara itu suplai obat sektor swasta dijamin mulai dari


Industri, Pedagang Besar Farmasi (PBF), Apotek dan Toko Obat.

Untuk menjamin keterjangkauan obat esensial, pemerintah telah


menetapkan harga obat esensial untuk pelayanan kesehatan.

12
Sedangkan untuk masyarakat berpenghasilan rendah disubsidi
melalui pengadaan obat di pelayanan kesehatan dasar.
Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) telah disusun sejak tahun
1980, dan direvisi secara berkala pada tahun 1983, 1987, 1990,
1994, 1998, dan 2002. DOEN digunakan sebagai dasar
penyediaan obat di pelayanan kesehatan publik. Hasil survei
ketersediaan dan penggunaan obat menunjukkan bahwa sebelum
maupun selama masa krisis ekonomi di Indonesia antara tahun
1997-2002, ketersediaan obat esensial di Puskesmas mencapai
lebih dari 80%, dan lebih dari 90 % obat yang diresepkan di
Puskesmas merupakan obat esensial.

Tingginya penggunaan obat esensial pada pelayanan kesehatan


dasar khususnya puskesmas tidak diikuti oleh sarana pelayanan
kesehatan lain. Hal ini ditunjukkan dengan peresepan obat
esensial di rumah sakit pemerintah kurang dari 76 %, rumah sakit
swasta 49 %, dan apotek kurang dari 47 %. Keadaan di atas
menunjukkan bahwa konsep obat esensial belum sepenuhnya
dipahami dan diterapkan.

Ketersediaan narkotika untuk kebutuhan pelayanan kesehatan


diperoleh melalui produksi, impor, dan distribusi oleh perusahaan
farmasi yang ditunjuk pemerintah.

13
B. PERMASALAHAN

Dari sudut keterjangkauan secara ekonomis, harga obat di


Indonesia umumnya dinilai mahal dan struktur harga obat tidak
transparan.

Penelitian WHO menunjukkan perbandingan harga antara satu


nama dagang dengan nama dagang yang lain untuk obat yang
sama, berkisar 1 : 2 sampai 1 : 5.

Penelitian di atas juga membandingkan harga obat nama dagang


dan obat generik menunjukkan bahwa obat generik bukan yang
termurah. Tetapi secara umum obat generik lebih murah dari obat
dengan nama dagang.

Survei dampak krisis ekonomi terhadap biaya obat dan


ketersediaan obat esensial antara 1997 - 2002 menunjukkan
bahwa biaya resep rata - rata di sarana pelayanan kesehatan
sektor swasta jauh lebih tinggi daripada di sektor publik yang
menerapkan pengaturan harga dalam sistem suplainya.

Mekanisme penetapan harga obat di sektor swasta saat ini


diserahkan kepada pasar. Mengingat obat bukan komoditi
perdagangan biasa dan sangat mempengaruhi kehidupan
manusia, maka diperlukan kebijakan pemerintah tentang
pengaturan harga obat esensial.

14
Dewasa ini sebagian Sarana Penyimpanan Sediaan Farmasi
Pemerintah kurang berfungsi, karena kurang tersedianya tenaga
pengelola yang kompeten, struktur organisasi yang tidak
menunjang, dana operasional kurang memadai dan system
informasi yang tidak berjalan baik. Karena itu perlu dilakukan
revitalisasi fungsi pengelolaan obat di Kabupaten/Kota sekaligus
disesuaikan namanya menjadi Sarana Penyimpanan Sediaan
Farmasi Pemerintah Kabupaten / Kota untuk lebih
mengedepankan fungsinya.

Sampai saat ini tercatat sekitar 13.000 merek obat yang beredar di
pasaran. Sekirat 400 jenis obat tercantum dalam DOEN, dan 220
jenis obat diantaranya tersedia dalam bentuk obat esensial
generic. Di sektor publik terutama di sarana pelayanan kesehatan
dasar, ketersediaan obat esensial generic sekitar antara 80 - 100
%. Walaupun sudah ada keputusan pemerintah yang menyatakan
bahwa pengadaan obat bersumber APBD maupun APBN harus
dalam bentuk esensial generic, namun di era desentralisasi
kepatuhan terhadap pengadaan obat esensial generic semakin
menurun. Ketersediaan obat didukung oleh industri farmasi yang
berjumlah sekitar 204 dan 90 % berlokasi di Pulau Jawa, telah
dapat memproduksi 98 % kebutuhan obat nasional, namun
sebagian besar bahan baku masih diimpor. Ketergantungan
terhadap impor bahan baku obat ini dapat menyebabkan tidak

15
stabilnya penyediaan obat nasional dan mengakibatkan fluktuasi
harga obat.

Memperhatikan perkembangan industri farmasi multinasional yang


cenderung melakukan penggabungan serta penerapan Trade -
Related Aspects of Intellectual Property Rights ( TRIPs )
dikhawatirkan industri farmasi nasional akan semakin sulit untuk
bersaing di pasar domestic sekalipun. Karena itu, diperlukan
upaya dari seluruh pemangku kepentingan ( stake holder ) untuk
mengantisipasinya.

Alokasi anggaran pemerintah untuk kesehatan selama ini


tergolong rendah, termasuk anggaran untuk obat. Sebelum
pelaksanaan desentralisasi, alokasi anggaran pemerintah untuk
obat hanya 20 % dari seluruh belanja obat nasional. Namun
dengan system pengelolaan obat yang efektif dan efisien di sektor
publik, anggaran tersebut mampu mencakup sekitar 70 % dari
jumlah penduduk.

Anggaran obat untuk pelayanan kesehatan dasar sebelum


desentralisasi disediakan oleh pemerintah pusat melalui dana
Instruksi Presiden (INPRES), yang besarnya secara berangsur
telah ditingkatkan mencapai US $ 0,85 per kapita. Saat ini dana
pemerintah untuk kesehatan telah dimasukkan ke dalam Dana
Alokasi Umum (DAU), karena itu anggaran obat untuk pelayanan
kesehatan dasar di daerah menjadi tanggung jawab pemda.

16
Anggaran obat untuk pelayanan kesehatan dasar daerah sangat
berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya, karena
adanya perbedaan visi dan persepsi Pemda tentang kesehatan.
Walaupun demikian pemerintah pusat tetap bertanggung jawab
membantu kabupaten/kota menyediakan obat untuk keperluan
bencana dan kekurangan obat. Berdasarkan data yang terkumpul
saat ini dana penyediaan obat per kapita kabupaten/kota
pelayanan kesehatan dasar rata-rata kurang dari Rp. 5.000,-, jauh
dibawah rekomendasi WHO yaitu US $ 2 per kapita.

Pemerintah pusat sejak tahun 2002 menyediakan dana obat di


pelayanan kesehatan dasar untuk masyarakat miskin. Dana
tersebut berasal dari Program PKPS-BBM dengan nilai sekitar Rp.
160 milyar per tahun. Seluruh dana yang tersedia dari pemerintah
didistribusikan kepada fasilitas kesehatan baik milik pemerintah
maupun swasta yang ditunjuk. Saat ini, pengalokasian dana
pengadaan obat untuk pelayanan kesehatan dasar ditentukan
sendiri oleh masing-masing kabupaten/kota.

Dalam pengobatan yang rasional pasien menerima obat yang


sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dengan dosis yang tepat,
untuk jangka waktu pengobatan yang sesuai, dengan biaya yang
terjangkau. Survei di sarana pelayanan kesehatan menunjukkan
bahwa ketidak-rasionalan penggunaan obat masih tinggi.

17
Ketidak-rasionalan penggunaan obat yang sering terjadi adalah
polifarmasi, penggunaan obat non esensial, penggunaan
antimikroba yang tidak tepat, penggunaan injeksi secara
berelebihan, penulisan resep yang tidak sesuai dengan pedoman
klinis, keidakpatuhan pasien (non-compliency) dan pengobatan
sendiri secara tidak tepat. Dalam jangka panjang kecenderungan
prevalensi penyakit menular antara lain Infeksi Saluran
Pernafasan Atas (ISPA), Tuberkulosis (TB) paru, dan malaria,
diperkirakan akan meningkat. Kasus diare akan sedikit bertambah.
Kasus penyakit schistosomiasis masih menghadapi masalah yang
sama sepeerti saat ini. Kasus penyakit campak, dengan upaya
imunisasi yang berkesinambungan diperkirakan akan menurun.

Kecenderungan prevalensi penyakit tidak menular di masa


mendatang, seperti penyakit kardiovaskuler, kanker dan kelainan
endokrin diperkirakan akan semakin bertambah. Sedangkan
HIV/AIDS dan penyakit-penyakit yang baru muncul (new emerging
infection diseases) akan menjadi permasalahan baru.

Pelayanan kefarmasian yang merupakan bagian dari pelayanan


kesehatan bertujuan untuk meningkatkan penggunaan obat yang
rasional, keamanan penggunaan obat dan efisiensi biaya obat,
serta meningkatkan kualitas hidup pasien harus mengikuti praktek
pelayanan kefarmasian yang baik (Good Pharmacy Practices)
sebagaimana yang dianjurkan oleh WHO. Kenyataan selama ini
menunjukkan bahwa praktik pelayanan kefarmasian belum

18
terlaksana sebagaimana mestinya di hampir semua Upaya
Kesehatan Perorangan (UKP) strata kedua (rumah sakit kelas C
dan B non pendidikan), strata ketiga (rumah sakit kelas B
pendidikan dan kelas A) dan farmasi komunitas (apotek).

Pelayanan kefarmasian yang belum mengikuti pelayanan


kefarmasian yang baik tidak hanya disebabkan oleh system
19
pengelolaan obat, ketersediaan obat, tetapi juga karena
ketersediaan, pemerataan dan profesionalisme tenaga farmasi
yang masih kurang.

C. PELUANG

Keberadaan industri farmasi yang jumlahnya sekitar 204


merupakan suatu potensi besar untuk meningkatkan ketersediaan
obat terutama obat esensial. Sampai saat ini 67 industri yang telah
memproduksi obat esensial generic. Rantai distribusi yang
tersedia mulai dari pusat, provinsi sampai daerah baik di sektor
publik dan swasta merupakan potensi untuk menjamin
ketersediaan obat. Penduduk Indonesia yang berjumlah 219 juta
merupakan pangsa pasar yang besar untuk pemasaran obat.

Pemerintah mempunyai aparat dan perangkat untuk meningkatkan


ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat esensial

19
serta penggunaan obat yang rasional, pengawasan dan
pengendalian obat.

Desentralisasi merupakan peluang bagi daerah untuk


meningkatkan kualitas pelayanan, pengalokasian dana
pengelolaan obat yang sesuai dengan kebutuhan spesifik masing-
masing daerah.

Meningkatnya jumlah perguruan tinggi farmasi di Indonesia dapat


dimanfaatkan untuk mengisi kebutuhan tenaga Apoteker. Setiap
tahunnya perguruan tinggi farmasi menghasilkan sekitar 2000
orang Apoteker. Demikian juga tersedianyapendidikan D-3 dan
menengah farmasi akan dapat menghasilkan tenaga Asisten-
Apoteker yang sangat diperlukan di pelayanan kesehatan dasar.

Kerasionalan penggunaan obat tidak terbatas pada sarana


pelayanan kesehatan, tetapi juga pada pengobatan sendiri. Data
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001
menunjukkan bahwa 83,88 % penduduk yang melakukan
pengobatan sendiri. Penduduk di perkotaan lebih banyak
menggunakan obat yaitu sebesar 85,04 % dibandingkan
penduduk pedesaan sebesar 83,02 %.

20
D. TANTANGAN

Selama satu setengan decade terakhir produksi farmasi di dunia,


yang meningkat dengan kecepatan empat kali lipat dari
pertumbuhan pendapatan dunia, semakin terkonsentrasi di lima
negara industri. Produksi, perdagangan dan penjualan obat dunia
semakin didominasi oleh sejumlah kecil perusahaan transnasional.
Sepuluh perusahaan transnasional terbesar menguasai hamper
setengah penjualan di dunia. Bersamaan dengan itu kesenjangan
akses obat antara negara maju dengan negara miskin semakin
jauh, sementara itu volume produksi obat yang besar dan lebih
murah terjadi di dua negara asia berpenduduk terpadat, yang
tumbuh cepat dalam keadaan pasar domestic yang sangat
kompetitif. Dalam jangka panjang hingga tahun 2025 ketersediaan
dan akses obat akan dipengaruhi oleh peran industri farmasi skala
global dan distribusi penyakit menular dan tidak menular
berlingkup global yang patut diperhitungkan Indonesia sejak saat
ini. Pada era globalisasi sekarang ini, regulasi makin berkembang
dengan upaya harmonisasi persyaratan teknis dalam
pengendalian dan pengawasan obat yang diprakarsai negara-
negara industri. Kecanggihan teknis (persyaratan teknis yang
sangat ketat) yang tidak diperlukan harus diwaspadai agar tidak
berpengaruh terhadap akses obat esensial.

Pada tahun 1994 Indonesia telah meratifikasi perjanjian WTO


(World Trade Organization), dimana diantaranya terdapat lima

21
perjanjian yang relevan dengan bidang kesehatan, yaitu
Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property
Rights (TRIPs); the Agreement on the Application of Sanitary and
Phytosanitary Measures (SPS); the Agreement on Technical
Barriers to Trade (TBT); the General Agreement on Tariffs and
Trade (GATT); dan the General Agreement on Trade in Services
(GATS).
Perjanjian WTO membawa implikasi berupa perlindungan hak
paten, penghapusan tariff dan non tariff barrier, perampingan
proses registrasi dan harmonisasi persyaratan teknis. Di satu
pihak keadaan ini memberikan beban pada pengendalian dan
pengawasan obat dan di lain pihak memaksa industri farmasi
domestic untuk meningkatkan daya saingnya. Perjanjian TRIPs
memperpanjang waktu perlindungan hak paten yang berarti
memperpanjang hak monopoli dari industri innovator tradisional,
yang akan memberikan dampak negative pada keterjangkauan
obat oleh masyarakat. Untuk itu pemerintah harus memanfaatkan
peluang yang ada dalam TRIPs seperti Lisensi Wajib, dan
pelaksanaan paten oleh pemerintah untuk menjamin ketersediaan
dan keterjangkauan obat di Indonesia.

Harmonisasi persyaratan teknis membawa implikasi akan adanya


persyaratan teknis terkini yang makin canggih yang mungkin tidak
mendesak, dan yang menimbulkan beban tambahan bagi
perusahaan domestic serta bagi konsumen. Berkenaan dengan itu
Indonesia harus siap menghadapi kemungkinan tersebut dengan

22
kemampuan pengkajian teknis ilmiah. Perdagangan bebas juga
membawa implikasi pada pengendalian dan pengawasan obat
berupa ancaman akan lolosnya obat yang tidak memenuhi
standar. Menghadapi ancaman tersebut, pengendalian dan
pengawasan obat harus senantiasa diperkuat kemampuan dan
kapasitasnya sejalan dengan perkembangan iptek. Pemerintah
perlu memliki strategi untuk memperkecil dampak dari ancaman
tersebut.

Keterjangkaun obat dapat dipandang dari sudut geografis,


ekonomi dan sosial politik. Sebagian masyarakat Indonesia tinggal
didaerah terpencil, wilayah perbatasan dan sebagian lagi tinggal
didaerah rawan bencana. Dengan pola penyebaran penduduk
seperti tersebut diatas, maka diperluakan penyesuaian
pengelolaan obat sesuai dengan karateristik masing-masing
daerah.

III. LANDASAN KEBIJAKAN DAN STRATEGI

A. LANDASAN KEBIJAKAN

Untuk mencapai tujuan KONAS ditetapkan landasan kebijakan


yang merupakan penjabaran dari prinsip dasar SKN, yaitu :

23
1. Obat harus diperlakukan sebagai komponen yang tidak
tergantikan dalam pemberian pelayanan kesehatan. Dalam
kaitan ini aspek teknologi dan ekonomi darus diselaraskan
dengan aspek sosial dan ekonomi.
2. Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan,
keterjangkauan dan pemerataan obat esensial yang dibutuhkan
masyarakat.
3. Pemerintah dan saranan pelayanan kesehatan bertanggung
jawab untuk menjamin agar pasien mendapat pengobatan yang
rasional.
4. Pemerintah melaksanakan pembinaan, pengawasan dan
pengendalian obat, sedangkan pelaku usaha dibidang obat
bertanggung jawab atas mutu obat sesuai fungsi usahanya.
Tugas pengawasan dan pengendalian yang menjadi tanggung
jawab pemerintah dilakukan secara profresional, bertanggung
jawab, independent dan transparan.
5. Masyarakat berhak untuk mendapatkan informasi obat yang
benar, lengkap dan tidak menyesatkan. Pemerintah
memberdayakan masyarakat untuk terlibat dalam pengambilan
keputusan pengobatan.

B. STRATEGI
1. Ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat Esensial
Akses obat esensial bagi masyarakat secara garis besar
dipengaruhi oleh empat factor utama, yaitu penggunaan obat

24
yang rasional, harga yang terjangkau, pendanaan yang
berkelanjutan, dan sisten kesehatan serta sistem penyediaan
obat yang dapat diandalkan.

Berdasarkan pola pemikiran diatas ketersediaan, pemerataan,


dan keterjangkauan obat esesnsial dicapai melalui strategi
berikut :
a. Sistem pembiayaan obat berkelanjutan, baik sektor publik
maupun sektor swasta mengacau pada UU Nomor 40 tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional ( SJSN ) yang
dijabarkan dalam berbagai dalam bentuk Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat ( JPKM ).
b. Rasionalisasi harga obat dan pemanfaatan obat generik.
c. Penerapan system pengadaan dalam jumlah besar ( bulk
pursh asing ) atau pengandaan bersama ( pool procurement
) disektor publik. Disertai distribusi obat yang efektif, efisian
dan akuntabel pada sektor publik dan swasta.
d. Pengembangan dan evaluasi terus-menerus khususnya
model dan bentuk pengelolaan obat sektor publik didaerah
terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan dan daerah
rawan bencana.
e. Penyiapan peraturan yang tepat untuk menjamin
ketersediaan dan keterjangkauan obat.
f. Penerapan standar proses dan standar komoditi obat secara
ketat sebagai sarana pembatasan jenis dan jumlah obat
yang beredar.

25
g. Memanfaatkan sekema dalam TRIPs seperti Lisensi Wajib
dan Pelaksaan Paten oleh Pemerintah.

2. Jaminan keamanan, khasiat dan mutu obat beredar, serta


perlindungan masyarakat dari penggunaan yang salah dan
penyalahgunaan obat.
Pengawasan dan pengendalian obat mulai dari impor, produksi
hingga ke tangan pasien, merupakan kegiatan yang tidak
terpisahkan. Untuk mencapai maksud tersebut dilakukan
strategi sebagai berikut :

a. Penilian keamanan, khasiat dan mutu melalui proses


pendaftaran, pembinaan, pengawasan dan
pengendalian ( binwasdal ) impor, ekspor, produksi,
distrubusi dan pelayanan obat merupakan suatu kesatuan
yang utuh, dilakukan dengan kompetensi tinggi, akuntabel
secara transparan dan independent.
b. Adanya dasar hokum dan penegakan hokum secara
konsisten, dengan efek jera yang tinggi untuk setiap
pelanggaran.
c. Penyempurnaan ketentuan sarana produksi, sarana
distribusi, dan sarana pelayanan obat.
d. Pemberdayaan masyarakat melalui penyediaan dan
penyebaran informasi terpercaya, sehingga terhindar dari
penggunaan obat yang tidak memenuhi standar.

26
e. Penyempurnaan dan pengembangan berbagai standar
dan pedoman.

3. Penggunaan obat yang rasional


Pengembangan serta penerapan pedoman terapi dan
kepatuhan terhadap Daftar Obat Esensial Nasional DOEN),
merupakan dasar dari pengembangan penggunaan obat yang
rasional.

Salah satu masalah yang mendasar atas terjadinya


penggunaan obat yang tidak rasional adalah informasi yang
tidak benar, tidak lengkap dan menyesatkan. Oleh karena itu
perlu dijamin agar pengguna obat, baik pelayan kesehatan
maupun masyarakat mendapatkan informasi yang benar,
lengkap dan tidak menyesatkan. Berdasarkan hal-hal tersebut
diatas upaya untuk penggunaan obat yang rasional dilakukan
melalui strategi berikut :

a. Penerapan Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) dalam


setiap upaya pelayanan kesehatan, baik perorangan
maupun masyarakat, melalui pemanfaatan pedoman
terapi dan formularium berbasis bukti ilmiah terbaik.
b. Pengadaan obat di sarana kesehatan dan skema JKN
mengacu pada DOEN.

27
c. Penerapan pendekatan farmako ekonomi melalui analisis
biaya-efektif dengan biaya-manfaat pada seleksi obat
yang digunakan di semua tingkat pelayanan kesehatan.
d. Penerapan pelayanan kefarmasian yang baik.
e. Pemberdayaan masyarakat melalui komunikasi, informasi
dan edukasi (KIE).

IV. POKOK-POKOK DAN LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN

A. PEMBIAYAAN OBAT

Sasaran :
Masyarakat, terutama masyarakat miskin dapat memperoleh
obat esensial setiap saat diperlukan.

Hal utama yang menjamin tersedianya obat esensial bagi


masyarakat adalah terjaminnya pembiayaan yang memadai
secara berkelanjutan. Penyediaan biaya yang memadai dari
pemerintah sangat menentukan ketersediaan dan keterjangkauan
obat esensial oleh masyarakat.

Pelayanan kesehatan termasuk pelayanan obat semakin tidak


terjangkau bila sarana pelayanan kesehatan sektor publik
dijadikan sebagai sumber pendapatan daerah.

28
Salah satu upaya untuk menjamin pembiayaan obat bagi
masyarakat, adalah bila semua anggota masyarakat dicakup oleh
Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Langkah Kebijakan :
1. Penetapan target pembiayaan obat sektor publik secara
nasional (WHO menganjurkan alokasi sebesar minimal US $
2 per kapita).
2. Pengembangan mekanisme pemantauan pembiayaan obat
sektor publik di daerah
3. Penyediaan anggaran obat untuk program kesehatan
nasional.
4. Penyediaan anggaran Pemerintah dalam pengadaan obat
buffer stock nasional untuk kepentingan penanggulangan
bencana, dan memenuhi kekurangan obat di
kabupaten/kota.
5. Penyediaan anggaran obat yang cukup yang dialokasikan
dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan dari sumber yang lain.
6. Penerapan skema JKN ? dan sistem jaminan pemeliharaan
kesehatan lainnya harus menyelenggarakan pelayanan
kesehatan paripurna.
7. Pembebanan retribusi yang mungkin dikenakan kepada
pasien di Puskesmas harus dikembalikan sepenuhnya untuk
pelayanan kesehatan termasuk untuk penyediaan obat.
8. Penerimaan bantuan obat dari donor untuk menghadapi
keadaan darurat, sifatnya hanya sebagai pelengkap.

29
Mekanisme penerimaan obat bantuan harus mengikuti kaidah
internasional maupun ketentuan dalam negeri.

B. KETERSEDIAAN DAN PEMERATAAN OBAT

Sasaran :
Obat yang dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan, terutama
obat esensial senantiasa tersedia.

Ketersediaan dan pemerataanperedaran obat, terutama obat


esensial secara nasional harus dijamin oleh pemerintah.
Kemandirian tidak mungkin dicapai dalam pasar yang mengglobal.

Pemerintah perlu memberi kemudahan pada industri lokal yang


layak teknis dan yang dapat menunjang perekonomian nasional
melalui berbagai upaya dan dengan memanfaatkan peluang yang
ada.

Sementara itu efisiensi dan efektivitas sistem distribusi perlu


ditingkatkan terus untuk menunjang ketersediaan, keterjangkauan
dan pemerataan obat yang berkelanjutan.
Sarana dan prasarana yang telah dikembangkan pada waktu yang
lalu seperti Gudang Farmasi Kabupaten/Kota perlu direvitalisasi
guna menunjang ketersediaan, keterjangkauan dan pemerataan
obat.

30
Langkah Kebijakan :
1. Pemberian insentif kepada industri obat jadi dan bahan baku
dalam negeri tanpa menyimpang dari dan dengan
memanfaatkan peluang yang ada dalam perjanjian WTO.
2. Peningkatan ekspor obat untuk mencapai skala produksi
yang lebih ekonomis untuk menunjang perkembangan
ekonomi nasional. Pemerintah mengupayakan pengakuan
internasional atas sertifikasi nasional, serta memfasilitasi
proses sertifikasi internasional.
3. Peningkatan kerjasama regional, baik sektor publik maupun
sektor swasta, dalam rangka perdagangan obat
internasional untuk pengembangan produksi dalam negeri.
4. Pengembangan dan produksi fitofarmaka dari sumber daya
alam Indonesia sesuai dengan kriteria khasiat dan
keamanan obat.
5. Peningkatan efektivitas dan efisiensi distribusi obat melalui
regulasi yang tepat untuk ketersediaan, keterjangkauan dan
pemerataan peredaran obat.
6. Peningkatan pelayanan kefarmasian melalui peningkatan
profesionalisme tenaga farmasi sesuai dengan standar
pelayanan yang berlaku.
7. Pemberian insentif untuk pelayanan obat di daerah terpencil.
8. Pengembangan mekanisme pemantauan keterseiaan obat
esensial dan langkah-langkah perbaikan.

31
9. Ketersediaan obat sektor publik :
a. Pembentukan Instalasi Farmasi di Propinsi dan
Kabupaten/Kota pemekaran serta pemberdayaan
Gudang Farmasi Kabupaten/Kota sebagai unit
pengelola obat dengan memanfaatkan system
informasi pengelolaan obat yang efektif dan efisien.
b. Penerapan prinsip efisiensi dalam pengadaan obat,
dengan berpedoman pada DOEN, serta menerapkan
pengadaan bersama dan pengadaan dalam jumlah
besar di kabupaten/kota.
c. Penerapan pengelolaan obat yang baik di Instalasi
Farmasi Kabupaten/Kota.
d. Penerapan prinsip transparansi dalam pengadaan obat
sektok publik.
e. Pemanfaatan peluang skema Lisensi Wajib dan
Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah untuk memenuhi
keperluan obat di sektor publik (pararel impor).
10. Penyediaan obat dalam keadaan darurat
a. Pengorganisasian suplai obat dalam keadaan darurat
harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
b. Penyusunan pedoman pengadaan obat untuk keadaan
darurat yang ditinjau kembali secara berkala.
c. Pengadaab obat untuk keadaan darurat mengikuti
pedoman yang ada dan pemerintah mengambil
langkah-langkah untuk menjamin ketepatan jumlah,
jenis, mutu dan waktu penyerahan obat.

32
11. Penyediaan obat di daerah terpencil, perbatasan dan rawan
bencana serta orphan drug diatur secara khusus oleh
pemerintah.

C. KETERJANGKAUAN

Sasaran :
Harga obat terutama obat esensial terjangkau oleh
masyarakat.

Upaya untuk keterjangkauan atau akses obat diupayakan dari


dua arah, yaitu dari arah permintaan pasar dan dari arah
pemasok. Dari arah permintaan diupayakan melalui penerapan
KOnsep Obat Esensial dan penggunaan obat generic. Penerapan
Konsep Obat Esensial dan penggunaan obat generic dilakukan
melalui berbagai upaya, antara lain promosi penggunaan obat
generic di setiap tingkat pelayanan kesehatan, pengaturan,
pengelolaan obat di sektor publik.

Sementara itu penerapan skema Jaminan Kesehatan Nasional


(JKN) dapat meningkatkan keterjangkauan obat, terutama obat
esensial bagi masyarakat. Oleh karena itu penerapan JKN harus
terus diupayakan semaksimal mungkin.

33
Untuk mendapatkan harga yang lebih terjangkau di sektor publik,
dilakukan melalui pengadaan dalam jumlah besar atau pengadaan
bersama.

Dari segi pasokan ditempuh berbagai upaya, antara lain dengan


penyusunan kebijakan mengenai harga obat, terutama obat
esensial dan pengembangan system informasi harga serta
menghindarkan adanya monopoli.

Oleh karena akses terhadap obat esensial merupakan salah satu


hak asasi manusia, maka obat esensial selayaknya dibebaskan
dari pajak dan bea masuk.

Langkah Kebijakan :
1. Peningkatan penerapan Konsep Obat Esensial dan Program
Obat Generik :
a. Pemasyarakatan Konsep Obat Esensial dalam pelayanan
kesehatan baik sektor publik maupun swasta.
b. Penerapan DOEN di seluruh sarana pelayanan kesehatan.
c. Pengintegrasian DOEN ke dalam kurikulum pendidikan dan
pelatihan tenaga kesehatan.
d. Pemasyarakatan obat generic secara konsisten dan
berkelanjutan.
e. Pengendalian harga obat generic dengan memanfaatkan
informasi harga obat internasional,

34
f. Pemberian insentif kepada sarana dan tenaga kesehatan
yang memberikan pelayanan obat esensial.
2. Pelaksanaan evaluasi harga secara periodic dalam rangka
mengambil langkah kebijakan mengenai harga obat esensial
dengan :
a. Membandingkan harga dengan harga di Negara lain.
b. Membandingkan harga di perkotaan maupun pedesaan,
dan di saranan pelayanan kesehatan sektor publik dan
swasta.
c. Menilai dampak kebijakan yang telah dilaksanakan
mengenai harga obat.
3. Pemanfaatan pendekatan farmako-ekonomik di unit pelayanan
kesehatan untuk meningkatkan efisiensi.
4. Melaksanakan lisensi wajib obat-obat yang sangat diperlukan
sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.
5. Pengembangan system informasi harga obat.
6. Pengembangan system pengadaan obat sektor publik yang
efektif dan efisien.
7. Penghapusan pajak dan bea masuk untuk obat esensial.
8. Pengaturan harga obat esensial untuk menjamin
keterjangkauan harga obat.

35
D. SELEKSI OBAT ESENSIAL

Sasaran:
Tersedianya Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) sesuai
perkembangan ilmu pengetahuan yang dapat digunakan
dalam pelayanan kesehatan secara luas.

Obat esensial adalah obat terpilih yang dibutuhkan untuk


pelayanan kesehatan, mencakup upaya diagnosis, profilaksis,
terapi dan rehabilitasi yang diupayakan tersedia pada unit
pelayanan kesehatan sesuai dengan fungsi dan tingkatnya. Agar
system pelayanan kesehatan berfungsi dengan baik, obat esensial
harus selalu tersedia dalam jenis dan jumlah yang memadai,
bentuk sediaan yang tepat, mutu terjamin, informasi yang
memadai, dan dengan harga yang terjangkau.

Proses dalam pemilihan obat esensial merupakan hal yang sangat


krusial. Daftar obat esensial yang ditentukan sepihak tidak akan
mencerminkan kebutuhan nyata dan tidak diterima oleh tenaga
kesehatan. Oleh karena itu proses pemilihan harus
memperhatikan adanya konsultasi, trasparansi, criteria pemilihan
yang jelas, pemilihan yang terkait dengan pedoman klinis berbasis
bukti ilmiah terbaik, daftar dan pedoman klinis yang berbeda untuk
setiap tingkat pelayanan yang diperbaharui secara berkala.

36
Langkah Kebijakan :
1. Pemilihan obat esensial harus terkait dengan pedoman terapi
atau standar pengobatan yang didasarkan pada bukti ilmiah
terbaik.
2. Pelaksanaan seleksi obat esensial dilakukan melalui
penelaahan ilmiah yang mendalam dan pengambilan
keputusan yang transparan dengan melibatkan apoteker,
farmakolog, klinisi dan ahli kesehatan masyarakat dari
berbagai strata sarana pelayanan kesehatan dan lembaga
pendidikan tenaga kesehatan.
3. Pelaksanaan revisi DOEN dilakukan secara periodic paling
tidak setiap 3-4 tahun dengan melalui proses pengambilan
keputusan yang sama.
4. Penyebarluasan DOEN kepada sarana pelayanan kesehatan
sampai daerah terpencil, lembaga pendididikan tenaga
kesehatan, baik dalam bentuk media cetak maupun elektronik.

E. PENGGUNAAN OBAT YANG RASIONAL

Sasaran :
Penggunaan obat dalam jenis, bentuk sediaan, dosis dan
jumlah yang tepat dan disertai informasi yang benar, lengkap
dan tidak menyesatkan.

37
Penggunaan obat yang rasional merupakan salah satu langkah
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik. Pada
umumnya penggunaan obat di saranan pelayanan kesehatan
belum rasional.

Untuk mengatasi permasalahan penggunaan obat yang tidak


rasional perlu dilakukan pemantauan penggunaan obat agar dapat
diketahui tipe ketidak-rasionalan, besarnya permasalahan,
penyebab penggunaan obat yang tidak rasional, agar dapat dipilih
strategi yamg tepat, efektif, dan layak untuk dilaksanakan.
Upaya penggunaan obat secara rasional harus dilaksanakan
secara sistematis di semua tingkat pelayanan kesehatan dengan
menggunakan strategi yang telah terbukti berhasil.

Langkah Kebijakan :
1. Penyusunan pedoman terapi standar berdasarkan bukti ilmiah
terbail yang direvisi secara berkala.
2. Pemilihan obat dengan acuan utama DOEN.
3. Pembentukan danatau Pemberdayaan Komite Farmasi dan
terapi di rumah sakit.
4. Pembelajaran farmakoterapi berbasis klinis dalam kurikulum
S, tenaga kesehatan.
5. Pendidikan berkelanjutan sebagai persyaratan pemberian izin
menjalankan kegiatan profesi.
6. Pengawasan, audit dan umpan balik dalam penggunaan obat.

38
7. Penyediaan informasi obat yang benar, lengkap dan tidak
menyesatkan melalui pusat-pusat informasi di sarana-sarana
pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta.
8. Pendidikan dan pemberdayaan masyarakat untuk
menggunakan obat secara tepat dan benar, serta
meningkatkan kepatuhan penggunaan obat.
9. Regulasi dan penerapannya untuk menghindarkan insentif
pada penggunaan dan penulisan resep obat.
10. Regulasi untuk menunjang penerapan berbagai langkah
kebijakan penggunaan obat yang rasional.
11. Promosi penggunaan obat yang rasional dalam bentuk
komunikasi, informasi dan edukasi yang efektif dan terus
menerus kepada tenaga kesehatan dan masyarakat melalui
berbagai media.

F. PENGAWASAN OBAT

Sasaran :

1. Obat yang beredar harus memenuhi syarat keamanan, khasiat


dan mutu.
2. Masyarakat terhindar dari penggunaan yang salah dan
penyalahgunaan obat.

39
Pengawasan obat merupakan tugas yang kompleks yang
melibatkan berbagai pemangku kepentingan yaitu pemerintah,
pengusaha dan masyarakat. Ada beberapa persyaratan yang
harus dipenuhi oleh lembaga pemerintah untuk melakukan
pengawasan, antara lain adanya dasar hokum, sumber daya
manusia dan sumber daya keuangan yang memadai, akses
terhadap ahli, hubungan internasional, laboratorium pemeriksaan
mutu yang terakreditasi, independent, dan transparan.

Sasaran pengawasan mencakup aspek keamanan, khasiat, dan


mutu serta keabsahan obat dalam rangka melindungi masyarakat
terhadap penyalahgunaan dan salah penggunaan obat sebagai
akibat dari kurangnya pengetahuan, informasi dan edukasi
masyarakat yang harus ditangani secara lintas sektor dan lintas
program.

Langkah Kebijakan :
1. Penilaian dan pendaftaran obat.
2. Penyusunan dan penerapan standar produk dan system
mutu.
3. Perizinan dan sertifikasi sarana produksi dan distribusi.
4. Inspeksi sarana produksi dan sarana distribusi.
5. Pengujian mutu dengan laboratorium yang terakreditasi.
6. Pemantauan promosi obat.
7. Surveilans dan vijilan paska pemasaran.
8. Penilaian kembali terhadap obat yang beredar.

40
9. Peningkatan sarana dan prasarana pengawasan obat serta
pengembangan tenaga dalam jumlah dan mutu sesuai
dengan standar kompetensi.
10. Pembentukan Pusat Informasi Obat di pusat dan daerah
untuk intensifikasi penyebaran informasi obat.
11. Peningkatan kerjasama regional maupun internasional.
12. Pengawasan obat palsu dan obat selundupan (tidak absah).
13. Pengembangan peran serta masyarakat untuk melindungi
dirinya sendiri dari obat yang tidak memenuhi syarat, obat
palsu, dan obat illegal melalui upaya komunikasi, informasi,
dan edukasi.

G. PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Sasaran :
Peningkatan penelitian di bidang obat untuk menunjang
penerapan KONAS.

Penelitian dan pengembangan obat bertujuan untuk menunjang


pembangunan di bidang obat yang mencakup kajian terhadap
pembiayaan, ketersediaan dan pemerataan, keterjangkauan,
seleksi obat esensial, penggunaan obat rasional, pengawasan,
penelitian dan pengembangan, pengembangan sumber daya
manusia dan pemantauan serta evaluasi.

41
Langkah Kebijakan :
1. Melakukan identifikasi penelitian yang relevan dan
penyusunan prioritas dengan mekanisme kerja yang erat
antara penyelenggara upaya-upaya pembangunan di bidang
obat dengan penyelenggara penelitian dan pengembangan.
2. Meningkatkan kerjasama lintas sektor dan dengan luar negeri
di bidang penelitian dan pengembangan obat serta
meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi penyelenggaraan
penelitian antara berbagai lembaga dan perorangan yang
melakukan penelitian di bidang obat.
3. Membina dan membantu penyelenggaraan penelitian yang
relevan dan diperlukan dalam pembangunan di bidang obat.

H. PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA

Sasaran :
Tersedianya Sumber Daya Manusia (SDM) yang menunjang
pencapaian tujuan KONAS.

SDM yang diperlukan untuk berbagai lembaga di atas harus


memadai dari segi jumlah, kompetensi maupun pemerataan.
Untuk itu perlu dilakukan upaya peningkatan dan pengembangan
SDM kesehatan secara sistematis, berkelanjutan disesuaikan
dengan perkembangan Iptek.

42
GFK yang sebelumnya telah ada di setiap Kabupaten/Kota
dikembangkan menjadi Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota (IFK),
dilengkapi dengan system informasi yang dapt diandalkan. Untuk
itu dibutuhkan SDM dengan jumlah yang cukup dan kompeten.
Tersedianya SDM farmasi di puskesmas, rumah sakit baik
pemerintah maupun swasta, industri farmasi, pedagang besar
farmasi (PBF), apotek serta toko obat sangat diperlukan. Di
samping itu diperlukan apoteker sebagai administrator di
kabupaten/kota, propinsi dan pusat.

Langkah Kebijakan :
1. Penyusunan rencana kebutuhan tenaga farmasi.
2. Penyediaan dan penempatan tenaga farmasi secara merata
sesuai dengan kebutuhan di setiap daerah dan jenjang
pelayanan kesehatan.
3. Pengintegrasian KONAS ke dalam kurikulum pendidikan dan
pelatihan tenaga kesehatan.
4. Pengintegrasian KONAS ke dalam kurikulum pendidikan
berkelanjutan oleh organisasi profesi kesehatan.
5. Peningkatan kerjasama nasional, regional dan internasional
untuk pengembangan SDM.

43
I. PEMANTAUAN DAN EVALUASI

Sasaran :
Menunjang penerapan KONAS melalui pembentukan
mekanisme pemantauan dan evaluasi kinerja serta dampak
kebijakan, guna mengetahui hambatan dan penetapan
strategi yang efektif.

Penerapan KONAS memerlukan pemantauan dan evaluasi secara


berkala.

Hal ini penting untuk melakukan antisipasi atau koreksi terhadap


perubahan lingkungan dan perkembangan yang begitu kompleks
dan cepat yang terjadi di masyarakat. Kegiatan pemantauan dan
evaluasi merupakan bagian tidak terpisahkan dari kegiatan
pengembangan kebijakan. Dari pemantauan kebijakan akan dapat
dilakukan koreksi yang dibutuhkan.

Sedangkan evaluasi kebijakan dimaksudkan untuk mendapatkan


informasi tentang penyelenggaraan, melaporkan luaran (output),
mengukur dampak (outcome), mengevaluasi pengaruh (impact)
pada kelompok sasaran, memberikan rekomendasi dan
penyempurnaan kebijakan.

44
Langkah Kebijakan :
1. Pemantauan dan evaluasi dilakukan secara berkala, paling
lama setiap 5 tahun.
2. Pelaksanaan dan indicator pemantauan mengikuti pedoman
WHO dan dapat bekerjasama dengan WHO atau pihak lain
untuk membandingkan hasilnya dengan Negara lain.
3. Pemanfaatan hasil pemantauan dan evaluasi untuk :
a. Tindak lanjut berupa penyesuaian kebijakan, baik
penyesuaian pilihan kebijakan maupun penetapan
prioritas.
b. Negosiasi dengan instansi terkait.
c. Bahan pembahasan dengan berbagai badan
internasional maupun donor luar negeri.

45
V. P E N U T U P

Keberhasilan pelaksanaan KONAS sangat tergantung pada moral,


etika, dedikasi, kompetensi, integritas, ketekunan, kerja keras, dan
ketulusan segenap pemangku kepentingan (stake-holders) di bidang
obat.

Pelaksanaan KONAS memerlukan pengorganisasian, penggerakan,


pemantauan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi. KONAS
diperlukan sebagai pedoman dan arah dalam bertindak dari berbagai
pemangku kepentingan (stake-holders) di bidang obat di Indonesia.

KONAS merupakan system terbuka, berinteraksi, interelasi dan


interdependensi yang sinergis dengan lingkungan strategis baik di
tingkat local, nasional, regional dan global yang dinamis.

46
KONTRIBUTOR

Kebijakan Obat Nasional (KONAS) ini berhasil disusun atas


partisipasi aktif dari berbagai pihak. Antara lain :

Tim KONAS berdasarkan Kepmenkes Nomor 1273/Menkes/SK


/XII/2004, tentang Susunan Keanggotaan Tim Penyusunan
Kebijakan Obat Nasional :

Penanggung Jawab : Menteri Kesehatan


Tim Pengarah, Ketua : Direktur Jenderal Pelayan Kefarmasian dan
Alat Kesehatan
Anggota : 1) Sekretaris jenderal departemen
Kesehatan RI, 2) Direktur Jenderal Bina
Kesehatan Masyarakat, 3) Direktur
Jenderal Pelayanan Medik, 4) Direktur
Jenderal Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan, 5)
Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, 6) Kepala
Badan Pengembangan dan
Pemberdayaan SDM Kesehatan, 7) Kepala
Badan Pengawasan Obat dan Makanan
(Badan POM), 8) Sekretaris Utama Badan
POM, 9) Deputi Pengawasan Obat
Tradisional, Kosmetik dana Produk
Komplimen Badan POM, 10) Deputi Bidang
Pengawasan Keamanan Pangan dan
Bahan Berbahaya Badan POM, 11) Staf
Ahli Menteri (SAM) Bidang Peningkatan
Kapasitas Kelmbagaan dan Desentralisasi,
12) SAM Bidang Pembiayaan dan
Ekonomi Kesehatan, 13) SAM Bidang
Penyehatan Lingkungan dan
Epiodemiologi, 14) SAM Bidang Pelayanan
KesehatanMasyarakat Rentan;
Tim Pelaksana, Ketua : SAM Bidang Teknologi Kesehatan dan
Farmasi,
Wakil ketua Pelaksana : Deputi Bidang Pengawasan Produk
Terapetik dan Narkotika, Psikotropika dan
Zat Adiktif Badan POM
Sekretaris : 1) Sekretaris Direktorat Jenderal
Pelayanan Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, 2) Direktur Penilaian Obat dan
Produk Biologi Badan POM, 3) Kepala
PusatPenelitian dan Pengembangan
Farmasi dan Obat Tradisional.
Anggota : 1) Direktur Bina Penggunaan Obat
Rasional, 2) Direktur Bina Farmasi
Kominitas dan Klinik, 3) Direktur Bina Obat
Publik dan Perbekalan Kesehatan, 4)
Direktur Bina Produksi dan Distribusi Alat
Kesehatan, 5) Direktur Inspeksi dan
Sertifikasi Produk Terapetik Badan POM,
6) Direktur Standarnisasi Produk terapetik
Badan POM, 7) Kepala Biro Perencanaan
dan Anggaran Depkes, 8) Kepala Pusat
Kajian Pembangunan Kesehatan Depkes,
9) Kepala Biro Hukum dan Organisasi
Konsultan : 1) Drs. Slamet Soesilo, Apt,
2) Prof.DR.Drs.Charles JP Siregar, Apt,
3) DR. Dra. Sri Sueyawati, Apt.

Tim Kecil Penyusunan KONAS berdasarkan Surat


Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat
Kesehatan Nomor HK.00.DJ.I.157 :

Ketua : Drs. Richard Panjaitan, Apt, SKM;


Anggota : 1) Drs. Dwidjo Susono, Apt, SE, MBA, 2)
Drs. Udjianto, Apt, 3) Dra. Nasirah
Bahaudin, Apt,MM, 4) Drs. Slamet Soesilo,
Apt (Konsultan), 5) Prof. DR.Drs.Charles JP
Siregar, Apt, (Konsultan), 6) DR. Dra. Sri
Suryawati, Apt. (Konsultan);
Sekretaris : 1) Drs. H. Purwadi, Apt, MM, ME, 2) Drs.
Bayu Teja Muliawan, Apt, MPharm.
Sekretariat Tim Penyusunan KONAS berdasarkan Surat
Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan kefarmasian dan Alat
Kesehatan Nomor HK.00.DJ.I.158 :

Koordinator : Drs. H. Purwadi, Apt, MM, ME;


Anggota : 1) Drs. M. Nur Ginting, Apt, M.Kes, 2) Dra.
Chusun, Apt, M.Kes, 3) Drs. T. Bahdar
Djohan Hamid, Apt, MPharm, 4) dr.
Abdullah Achmad, MARS, 5) Dra. Elly
Zardania, Apt, MSi, 6) Dra. Rida Wurjati,
Apt, 7) Drs. Zaenal Komar, Apt, MA, 8) Dra.
Kuswati Ningsih, MM;
Staf : 1) Dra. Sukarni, Apt, 2) Drs. Bayu Teja
Muliawan, Apt, Mparm, 3) Drs. Haryono, 4)
Mindawati, SSi, Apt, 5) Riani Triesnawati,
SE, M.Kes, 6) Indah Susanti, SSi, Apt.

Dalam proses penyusunan juga melibatkan berbagai pihak dalam


tahapan workshop/seminar/lokakarya sebagai berikut :

Workshop

Workshop dengan pokok bahasan 1). Daftar Obat Esensial


Nasional : Konsep dan proses up-datingnya; 2). Penggunaan Obat
Rasional; 3). Pembiayaan : Pembiayaan Pengobatan Di Institusi
Pelayanan Publik Pasca Desentralisasi dan Revitalisasi Gudang
Farmasi Kabupaten; 4). Masalah Distribusi Obat Illegal & Peredaran
Obat Palsu

Jajaran Depkes : Menteri Kesehatan, Pejabat Eselon-I, Pejabat


Eselon-II, Peneliti Utama Bidang Kesehatan, para Pejabat Eselon-III
selektif, Direktur Utama Rumah Sakit, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi
se Indonesia, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten terpilih, Direktur
Rumah Sakit Daerah terpilih, Komite Medik Rumah Sakit pemerintah
dan swasta; Di luar Depkes : Perwakilan Asosiasi di bidang kesehatan
(IDI, ISFI, PDGI, PAFI, GPF) LSM yang bergerak dalam perlindungan
konsumen, perwakilan Perguruan Tinggi (Fakultas Kedokteran dan
Fakultas Farmasi).

Seminar/Lokakarya Nasional :

Drs. Slamet Soesilo, Apt, Prof.DR.Drs. Charles JP Siregar, Apt,


DR.Dra. Sri Suryawati, Apt. Kepala Dinas Kesehatan/Pejabat Bidang
Kefarmasian di Dinas Kesehatan Propinsi seluruh Indonesia, Kadinkes
Kabupaten Sleman, Kadinkes Kabupaten Kolaka, Kadinkes Kabupaten
Lombok Tengah, Kadinkes Kabupaten Cirebon, Kadinkes Kabupaten
Pasuruan, Kadinkes Kota Balikpapan, Kadinkes Kabupaten Cianjur,
Kadinkes Kota Bekasi, Kadinkes Kota Depok, Sudin Kesehatan Kota
Jakarta Selatan, Direktur Utama RS Cipto Mangun Kusumo Jakarta,
Direktur RS dr. Hasan Sadikin Bandung, Direktur RS Kanker Dharmais
Jakarta, Direktur RSUD Prof Soekarjo Jawa Tengah, Direktur RS PKU
Muhammadyah Yogyakarta, Direktur RS dr. M. Djamil Padang, Direktur
RS dr. Soetomo Surabaya, Direktur RS Adam Malik Medan, Direktur
RSUP dr. Wahidin Soediro Hoesodo Makassar, Direktur RS dr. Sardjito
Yogyakarta, Direktur RS Bethesda Yogyakarta, Fakultas Farmasi
Universitas Airlangga Surabaya, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta, Ketua Departemen Farmasi Fakultas MIPA
Universitas Indonesia Depok, Departemen Farmasi Fakultas MIPA ITB,
Departemen Farmasi Fakultas MIPA Unpad Bandung, Fakultas Farmasi
Universitas Pancasila Lenteng Agung, Fakultas Farmasi Universitas
Tujuh Belas Agustus Jakarta, Prof.dr. Hasbullah Thabrany, MPH, DRPH
(FKM-UI), Prof.dr.Laksono Trisnantoro, MSc, PhD (Pengelola Pusat
Manajemen Pelayanan Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM), Direktur
JPKM-Ditjen Binkesmas Depkes RI, Direktur Organisasi PT. ASKES
(Persero), ISFI, IDI, ODGI, PAFI, Hisfarsi, Asosiasi Fakultas Farmasi,
Gabungan Pengusaha Farmasi, YLKI, PERDHAKI, LBH Kesehatan

Dan semua pihak yang telah membantu penyusunan KONAS yang


tidak dapat disebutkan satu per satu.
Mohon maaf bila ada kesalahan dalam
penulisan nama, gelar, jabatan maupun nama
instansi
NATIONAL MEDICINES POLICY

MINISTRY OF HEALTH R.I.


2006
MINISTRY OF HEALTH - REPUBLIC OF
INDONESIA
FOREWORD

Great thankfulness is praised to Almighty God for His Mercy and Guidance
in the support of revision and re-preparation of National Medicines Policy
(KONAS) is now completed.

Technological development has created radical changes in pharmacy


mainly medicines. Globalization is indicated by entry barrier of international
trade spreading pharmaceutical products throughout the regions in the mother
nation and at the same time, tendency of consumption level keeps increasing.

The preparation of National Medicines Policy will serve as the


underlying grounds, direction and guideline for health development
particularly on medicine i.e. financing, availability, fair distribution and
affordability, selection essential medicines, rational use of medicines, control

and administration,research and development, human resource development,


monitoring and evaluation. All represent the visions of Ministry of Health

"Self-support Community toward Healthy Living" and the Mission of

Ministry of Health "Creating Healthy Communities"


The publication of National Medicines Policy is expected to
disseminate information to all health providers, central government, province
and districts, general communities and business enterprises and other parties
concerned.

The Almighty God always bestows directions and strengths in


pursuing health development by supplying quality health services for all
citizens to achieve the highest standards as a manifestation of human rights.

Jakarta, September 2006


Director General
Pharmaceutical Services and Medical Devices

DIREKTUR JENDERAL

Drs. Richard Panjaitan, Apt, SKM


Official Registry No 470 034 655
OFFICIAL ACKNOWLEDGEMENT
MINISTER OF HEALTH - REPUBLIC OF INDONESIA

Health refers to human rights and each member of community is


entitled to optimized health access in line with the public need regardless

their payment capacity.

In the efforts to health services, the availability of complete, adequate,


effective, safety, quality, affordable and accessible medicines is a target to be
achieved.

Technological development has created radical changes in


pharmaceutical and medical devices. Globalization as signified by declining
entry barrier of international trade cause pharmaceutical products and

medical devices spread rapidly to the entire nation. Meanwhile, the tendency
of consumption rate on pharmaceutical products and medical devices keep

increasing.
Medicine is one of irreplaceable components in healthcare services.
Medicine is a single material or mixtures of materials applied to influence or
investigate physiology system or pathology condition in determining
diagnosis, prevention, healing, recovery, improvement of health and
contraception including biological products. Access to medicines particularly
essential medicines is one of the human rights. Therefore, the supply of
essential medicines is the obligation of the government and health service
institution, public or private.
Government policy on improvement of access to medicine has been
established by Law No.23 on Health, Government Regulation, Healthy
Indonesia 2010, National Health System and National Medicines Policy
(KONAS).
In the subsystem of Medicines and Medical Supply in National Health
System, emphasis is given on availability, fair distribution, affordability and
the assurance of safety, efficacy and quality medicine.

National Medicines Policy will constitute the guideline and direction


for health development especially on medicines which include financing,

availability, fair distribution and affordability, selection of essential medicines,


rational use of medicines, controlling, research and development, human

resource development, monitoring and evaluation.


On this occasion, I, Minister of Health award the highest appreciation and

thankfulness to all parties for attention, assistance, inputs and contribution


in preparing National Medicines Policy.
May God the Almighty bestow His Blessedness and Charity in the

realization of "Creating Healthy Communities" in creating "Self-support

Community toward Healthy Living".

Jakarta, September 2006

I FADILAH SUPARI, Sp JP(K)


TABLE OF CONTENTS

FOREWORD i
OFFICIAL ACKNOWLEDGEMENT OF MINISTER OF HEALTH iii
TABLE OF CONTENTS vi
I. INTRODUCTION 4
A. Background
B. Objectives
C. Scope
II. SITUATION ANALYSIS AND TENDENCY
A. Development
B. Issues
C. Opportunities
D. Challenges
III. FUNDAMENTALS OF POLICY AND STRATEGY
A. Policy Fundamentals
B. Strategies
IV. POLICY FOUNDATION AND STEPS
A. Medicine Financing
B. Availability and Fair Distribution of Medicines
C. Affordability
D. Selection of Essential Medicines
E. Rational Use of Medicines
F. Control and Administration
G. Research and Development
H. Human Resource Development
I. Monitoring and Evaluation
V. CLOSING
Appendix
Decree of Minister of
Health
Number 189/MENKES/
SK/III/2006
March 27,2006

NATIONAL MEDICINES POLICY

I. INTRODUCTION
A. BACKGROUND
The essential objectives of health development toward Healthy
Indonesia 2010 has directed the health development which
prioritizing health paradigm. The objectives of health
development toward Healthy Indonesia 2010 are to build
awareness, motivation and capability to realize healthy living
and to have access to quality, proportional, and fair distribution
of health services.

Medicine is one of the irreplaceable components in health


services. Medicine is a single material or mixture of materials
applied to bear effect or investigate physiological system or
pathological condition in determining diagnosis, prevention,
healing, recovery and development of health and contraception
including biological production. Access to medicine particularly
essential medicine is one of the human rights.

Supply of essential medicines is obligatory to the government


and health institution, either public or private.
Medicine is totally different from other trade commodities, in
addition to its status as a commercial commodity, it also has
social functions.

Government policy on the improvement of medicine access is


adopted through several policy levels i.e. Law to Decree of
Minister of Health governing the provisions of medicines. SKN
2004 provides foundation, direction and guideline on health
development for all health service providers, either central,
provincial, districts administration, communities and business
segments including all parties involved. One of the SKN 2004
subsystem includes Medicines and Medical Supply.
In the subsystem, there is strong emphasis on availability of
medicines, fair distribution, affordability, safety, efficacy and

quality of medicines.
In response to such policy, it is regarded necessary to make
further improvement on the present national medicines policy
stipulated by Decree of Minister of Health No.47/Menkes/SW/
II/1983 on National Medicines Policy by stipulating the new
National Medicines Policy.

National Medicines Policy as hereinafter referred to as National


Medicines Policy (KONAS) is an official document which sets
forth the commitment of all parties to set up the national
objectives, targets and priorities on medicines including the
strategy and role of other relevant parties in applying the essential
components of policy in achieving the objectives of health
development. Therefore, National Medicines Policy constitutes
integral part of SKN 2004.

Developing countries have utilized traditional medicines in


providing health services particularly for primary health care.
The use of traditional medicines in Indonesia is part of national
culture. Nonetheless, the efficacy and safety have not yet been
supported by adequate research. Considering and realizing that
Indonesia is the mega center of medicinal plants in the world, it
is consider necessary to prepare National Traditional Medicines
Policy (KOTRANAS) apart from this National Medicines Policy.
The implementation of local autonomy in 2000 subject to Law

No 2211999 as amended and renewed by Law 3212004 on Local

Government has caused delegation of role and authorities of

Central to Local Government as primary and auxiliary tasks in

health services. This has caused provision and or budget

management for essential medicines for public sector to be

assumed by local government. However, central government is

still responsible for supply of medicines in health program and

buffer stock including to control and assure the safety, efficacy

and quality of medicines.

The implementation of local autonomy has created fundamental


changes that necessary concerned hence the availability of

essential medicines for the communities is maintained. For

remote places, boundaries, islands and disaster areas, it is

necessary to develop specific medicines management system.

B. OBJECTIVES

National Policy on Medicine is broadly aimed at assuring

sustainable fair distribution and affordability of medicines to

achieve the highest standards of public health.


Sustainable affordability and Rational Use of Medicines is
regarded as one of the primary objectives to be realized. The
selection of appropriate medicine by prioritizing supply of
essential medicines will improve the access and rational use of
medicine.

The safety, efficacy and quality of all medicines distributed for


public use must be assured to provide medical benefits.
Accordingly, communities must be prevented from misuse and
abuse of medicines.
The objectives of National Medicines Policy are:
1. Availability, fair distribution and affordability of
medicines, particularly essential medicines.
2. Safety, efficacy and quality of medicines and public
protection from misuse and abuse of medicines.
3. Rational Use of Medicines.

C. SCOPE
The scope of National Medicines Policy covers the development
of medicines to achieve the effective course of health
development in generating quality human resources.
National Medicines Policy include financing, availability and
fair distribution, affordability, selection of essential medicines,
Rational Use of Medicines, control and administration, research
and development, human resource development, monitoring and
evaluation.
II. SITUATION ANALYSIS AND TENDENCY

The availability of medicine as one of the essential elements in health


program, i.e, health maintaining, disease prevention, diagnosis,
medication and recovery must be fully assured. In contrast, medicine
will bear adverse and harmful effect caused by sub-standard medicine,
incorrect use or in case of misuse.

Besides, medicine is an important element for health program,


medicine as pharmaceutical industry is not apart from technology
and economy. The demand for technological and economic aspects
have increased in line with the recent globalization, however, this
demand can be minimized in such a way that communities' need of
medicines can be accommodated and pharmaceutical industries may
grow accordingly.

A. DEVELOPMENT

The use of medicines for public health and welfare is directed to


Indonesian population totaling 219 million inhibitants and

projected total population in 2020 will be 252 million inhibitants


with the following tendencies.
If birth rate and mortality keep decreasing in line with the decline
of fertility and mortality, the population growth rate will decline
from 1,2% per year in 2000-2005 to 0,79% per year in 2005-
2025. Based on the number of populations, there is declining
number of youths and infants, and significant increase of
workforce and orphans (geriatric) in 2025, which indicated since
2005. Total workforce in 2000 was 69,9% out of total number
of population and the projected number will be 76,8% in 2020.

The projected Life Expectancy in 2005 was 69,0 years old and in
2025 it is projected 73,7 years old. Infant Mortality Rate in 2005
was 32,3 per 1.000 live birth and in 2025 it would reach 15,5 per
1.000 live birth. Maternal Mortality Rate in 2005 was 262 per
100.000 live birth and in 2025 it is estimated to 102 per 100.000
live birth.

The prevalence of calorie-lack of Infant in 2005 was 23% and


2025 will be projected to 17%.

Prior to the implementation of local autonomy, there was


estimated 50-80% of Indonesian population having access to
essential medicines. The access to essential medicines is influenced
by four primary factors i.e. Rational Use of Medicines, affordable
price, sustainable financing, and health care system utilized by
supply system assuring the availability, fair distribution and

affordability. Interventions on compliance with Rational Use of


Medicines have been initiated in several regions such as West
Nusa Tenggara Province, East Kalimantan, East Java, West
Kalimantan and West Sumatera, and showed remarkable results

in 1991.

Evaluation on the implementation of National Medicines Policy


in 1997 has shown that the Rational Use of Medicines is relatively
better. However, the success of intervention in such regions has
not been expanded yet, there was economic crises bearing adverse
impact on the Rational Use of Medicines.

Regulation on medicine sector includes the standards of products,


production process, supply system, financing, use and et cetera.
The enforcement of regulation is generally classified as fairly
effective mainly before the decentralization era.
In assuring the acceptable specifications of medicine, commodity
standards have been set up which include safety standards, efficacy

and quality. Besides, standardized production process has been


developed i.e Good Manufacturing Practice (GMP).
If birth rate and mortality keep decreasing in line with the decline
of fertility and mortality, the population growth rate will decline
from 1,2% per year in 2000-2005 to 0,79% per year in 2005-
2025. Based on the number of populations, there is declining
number of youths and infants, and significant increase of
workforce and orphans (geriatric) in 2025, which indicated since
2005. Total workforce in 2000 was 69,9% out of total number
of population and the projected number will be 76,8% in 2020.

The projected Life Expectancy in 2005 was 69,0 years old and in
2025 it is projected 73,7 years old. Infant Mortality Rate in 2005
was 32,3 per 1.000 live birth and in 2025 it would reach 15,5 per
1.000 live birth. Maternal Mortality Rate in 2005 was 262 per
100.000 live birth and in 2025 it is estimated to 102 per 100.000
live birth.

The prevalence of calorie-lack of Infant in 2005 was 23% and


2025 will be projected to 17%.

Prior to the implementation of local autonomy, there was


estimated 50-80% of Indonesian population having access to
essential medicines. The access to essential medicines is influenced
by four primary factors i.e. Rational Use of Medicines, affordable
2002, the availability of essential medicines in Community Health
Center has reached above 80% and more than 90% medicines
prescribed in Community Health Center are essential medicines.

High profile of essential medicines use in primary health care


was not followed by other health facilities. It was shown by the
prescription of essential medicines in government hospital was
less below 76%, private hospital 49% and pharmacies less than
47%. The condition above demonstrated that the concept of
essential medicine has not been fully understood and implemented yet.

Availability of narcotics for health services is supplied through


production, importing and distribution by pharmaceutical
company appointed by the government.

B. ISSUES

In the context of economic affordability, medicines price in


Indonesia are mostly expensive and pricing structure is not
transparent.

WHO research showed that the comparison of price between


one brandname and another for similar generic name is 1:2 up to 1:5.

The research is also aimed at comparing the price of medicine of


brandname and generic showing that generic medicine is not the
cheapest. Generic medicine, however, is generally lower at price
compared to brandname medicines.
Survey on economic crisis impact on medicine price and
availability of essential medicine from 1997 - 2002 showed that
average prescription cost in private health services are much
higher than those in public sector where pricing regulation is set
up in the supply system.

The pricing mechanism of medicine price in private health sectors


is delegated to the market. Considering that medicine is not a
common trade commodity and its fundamental role in the humans
living, it is necessary to establish government policy on essential
medicine pricing.

In recent years, some Government Pharmaceutical Warehouse


Facilities has been less functional due to inadequate availability
of competent personnel, organizational structure, insufficient
operating fund and inadequate information system. For that
reason, it is necessary to revitalize the function of medicines
management in Districts and synchronize the name to Regency/
City Government Pharmaceutical Installation Facilities to be more
prioritize the functions.
Up to present, there has been recorded approximately 13.000
item circulated in the market. 400 types of medicines are listed in
National Essential Medicine List (DOEN) and 220 types are

available in the form of generic essential medicine. In public sector,


mainly in primary health care, the availability of generic essential
medicines ranged between 80-100%. In spite of government
regulation stating that procurement of medicine which sourced
from Local Budget or State Budget must be in generic essential
medicine, however in the era of decentralization, the compliance
with procurement of generic essential medicines has declined.
The availability of medicine is supported by pharmaceutical
industries totaling 204 and 90% located in Java islands,
manufacturing 98% of national medicines demand, however, most
raw materials are still imported. Dependability on importation of
medicine raw materials will affect unstable supply of national
medicines and cause fluctuation of medicine price.
Watching the growth of multi-national pharmaceutical industries
to merge and the implementation of Trade-Related Aspects of
Intellectual Property Rights (TRIPs), there is anxiety that national
pharmaceutical industry will find it difficult to compete in the
domestic market. For that reason, all stakeholders must be fully
aware of making earlier anticipation.
The allocation of government budget for health sector is
considered as low, including those for medicines. Before
decentralization era, the allocation of government budget for
medicines was only 20% of all expenditures for national
medicines. However, through effective and efficient medicine
management system, the allocation of budget will cover
approximately 70% of total populations.

Budget allocation for medicines for primary health care before


the decentralization era is made available by central government
through Fund by Presidential Instruction which amount has been
gradually increased up to US$ 0,85 per capita. At present,
government budget for health is allocated to General Allocation
Budget, therefore, the medicine budget for primary health care
is the responsibility of the local government. Medicine budget
for primary health care inone region is different from others thanks
to the different vision and perception of Local Government on
Health. In spite of this, the government will be responsible for
supporting the regency/city to supply medicines in the event of
disasters and shortage of medicines.

As per data collected to this date, the fund allocated for supply
of medicine per capita in Regency/City for primary health care is
less than Rp.5.000,- far below the WHO recommendation of US$
2 per capita.
Since 2002, central government has supplied medicine budget
for primary health care for poor communities. The budget is
sourced from Energy Subsidiary Reduction Program (PKPS-
BBM) at approximate value of Rp. 160 Billion per year. The
budget available was distributed to the government or private
health facilities appointed by the government. At present, budget
allocation for medicine provision in primary health care is
determined by each regency/city.

In rational medication, patients receive medicines as per the


clinical requirements with correct dose for the appropriate
medication period at affordable cost. Survey conducted in many
health service facilities has shown high profile of Irrational Use
of Medicines.

The common Irrational Use of Medicines are poly-pharmacy,


use of non-essential medicines, improper antimicrobial use,
excessive use of injection, incorrect medicines prescription due
to therapeutical guidelines, non-compliency and improper self-
medication.
In the long run, the tendency of communicable disease prevalence
such as Upper Respiratory Infection, Lung Tuberculosis and
malaria are predicted increase. Diarrhea cases will slightly
increase. Schistosomiasis will prevail as at present. Measles,
through sustainable immunization will decline.
The prevalence of non-communicable diseases such as
cardiovascular, cancer and endocrine disorder tend to increase.

Meanwhile, HIV/AIDS and other new emerging infection diseases


will emerge as new issue.

Pharmaceutical services is integral part of healthcare service aimed


at increasing the Rational Use of Medicines, safety, efficacy and
efficiency of medicine cost and improving the life quality of
patients must comply with Good Pharmacy Practices
recommended by WHO. The recent facts demonstrate that
pharmacy practice is not properly performed almost in all second-
level Individual Health Measure (C-Class and B-Non-Training
Class Hospital), Third-Level (B-Training and A-Class Hospital)
and Community Pharmacy (Medicinestore).

Pharmaceutical service has not yet in line with good pharmacy


practice, that is not merely due to medicines management system,
availability of medicine but also the availability, fair distribution
and lack of professionalism of the pharmaceutical personnel.
C. OPPORTUNITIES

The number of pharmaceutical industries are approximately 204


showing a great potential to improve the availability of medicines
mainly essential medicines. Up to present, 67 pharmaceutical
companies have manufactured generic essential medicines. The
chain of distribution available from the central, provincial to local,
public and private, represents the potential to ensure the
availability of medicines. Indonesian population totaling 219
million people will be the enormous market share for medicines
marketing.

The government assigns personnel and devices who will assist in


improving the availability, fair distribution and affordability of
essential medicines and rational use of medicines, administration
and control of medicines.

Decentralization is an opportunity for the regions to improve


.,

service quality, budget allocation, medicines management for


specific needs in each region.

The increasing number of pharmacy schools in Indonesia can be


optimized to meet the demands for Pharmacists. Every year,
pharmacy schools generated about 2000 Pharmacists. Likewise,
the availability of D-3 education and pharmacy senior high school
will also generate Assistant to Pharmacist mostly required in

primary healthcare.

The Rational Use of Medicines is not only limited to the facility


of health services but also self-medication. Data from Family
Health Survey in 2001 showed that 83,88% of populations
performed self-medication. Most urban residents use medicines
85,04% compared to villagers of 83,02%.

D. CHALLENGES

For the last one and half decade, the world's pharmaceutical
products increasing four times than the world's income growth
rate, have been concentrated in the five industrial countries. The
world's production, trade and sales of medicines have been
dominated by a small number of trans-national companies. The
ten largest transnational companies occupy almost half of
international sales. Meanwhile, the disparity of access to medicine
between developed and poor countries have widened and the
medicine production volume at lower price prevail in two most
densely-populated Asian countries, rapidly growing in a very
competitive domestic market.
In the long run until 2005, the availability and access to medicines
will be influenced by the role of pharmaceutical companies at
global scale and global distribution of communicable and non-
communicable diseases which must carefully thought by Indonesia
since now.

In the present globalization era, regulations have been developed


through harmonization of technical specifications in medicines
control and administration as initiated by industrial countries.
Technical advancement (strict technical specifications) must be
carefully anticipated to prevent from adverse impact on access
to essential medicines.

In 1994, Indonesia ratified WTO treaty, to which there were five


agreements relevant to health sector, Agreement on Trade-Related
Aspects of Intellectual Property Rights (TRIP); Agreement on
the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS);
Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT); General
Agreement on Tariffs and Trade (GATT); and General Agreement
on Trade in Services (GATS).

WTO Agreements brought implications of patent right protection,


abolition of tariff and non-tariff barrier, simplification of
registration process and harmonization of technical requirements.

On one side, these conditions have burdened the control and


administration of medicines and on the other side, it demanded
domestic pharmaceutical companies to increase its
competitiveness. Agreement on TRIP extended the valid term of

patent right protection which also means to extend monopoly


rights of transnational innovator companies bearing adverse
impact on public medicine affordability. For that reason, the
government must make good use of the existing opportunities in
TRIP as Statutory License and Patent by the Government in order
to assure the availability and affordability of medicine in Indonesia.

Synchronization of technical requirements will bear implication


on the latest technical requirements and causing additional burden
to domestic company for the consumers. Therefore, Indonesia
must face such difficulties by studying scientific technical research.
Free trade will also bear implication on the control and
administration of medicines in threats of passing medicines not
meeting the required standards. Anticipating such threats, the
control and administration of medicines must be strengthened by
the relevant capacity in harmony with science and technology
development. Government must adopt strategy to minimize any
possible impacts of such threats.
Affordability of medicines can be perceived from geographical,
economic, socio-politic aspects. Some number of Indonesian
populations live in remote places, boundaries and disaster-prone
areas. Through the aforesaid distribution scheme, it is necessary
to make adjustment to medicines management as per
characteristics of each region.

III. FUNDAMENTAL FOR POLICY AND STRATEGY


A. FUNDAMENTAL FOR POLICY
In realizing the objectives of National Medicines Policy, it is regarded
necessary to set up the fundamental for policy representing the
elaboration of the National Health System principles as follows;
1. Medicines must be treated as irreplaceable components in
healthcare services. In this respect, technological and economic
aspects must be harmonized with socio-economy aspect.
2. Government is responsible for the availability, affordability and
fair distribution of essential medicines in order to fulfill the need
of public.
3. Government and Health Service Providers are responsible for
assuring rational medication or treatment for the patients.
4. Government must present guidance, control and administration
of medicines, meanwhile, pharmaceutical companies are held
responsible for the quality of medicines as per the functions.
The tasks related to the control and administration being the
responsibilities of government must be assumed in professional,
accountable, independent and transparent manner.
5. Communities are entitled to receive correct, full and non-
misleading information on medicines. Government must
empower the communities in decision-taking process on

B. STRATEGY
1. Availability, Fair Distribution and Affordability of
Essential Medicines.

Access to essential medicines for communities is generally


influenced by four primary factors; Rational Use of
Medicines, affordable price, sustainable financing,
healthcare system and reliable medicine supply.

Taking into account the foregoing, the availability, fair


distribution and affordability of essential medicines can
be realized through the following strategies.

a. Sustainable financing of medicine supply, public or


private, under the Law No 4012004 on National
Social Security System elaborated in various forms
of Community Healthcare Security.
b. Rationalization of medicine price and use of generic
medicines.
c. Application of bulk purchasing system or pool
procurement in public sector including effective,
efficient and accountable distribution of medicines
in public and private sectors.
d. Continuous development and evaluation particularly
on models and schemes of public medicine
management in remote areas, under-developed
areas, boundary areas and natural disaster-prone
areas.
e. Strict application of standardized process and
medicines commodities to facilitate the restriction
on types and quantity of medicines.
f. Utilizing the scheme under TRIP e.g. Statutory
License and Patent Rights by the Government.

2. S a f e t y A s s u r a n c e , e f f i c a c y a n d q u a l i t y o f
distributed medicines including the community

protection from medicines misuse and abuse.

Medicines control and administration from imports,

production to the patient is inseparable cycle. In realizing

such objectives, the following strategies must be adopted:

a. Evaluation on safety, efficacy and quality through

registration, guidance, control and administration

on import, export, production, distribution and

medicine services is integral part through reliable


competence, accountable, transparent and

independent efforts.

b. Legal ground and consistent law enforcement with

deterrence effect for each violation or infringement.

c. Deregulation on production facilities, distribution

facilities and medicine service facilities.

d. Community empowerment through supply and

dissemination of reliable information to prevent

from use of non-standard medicines.

e. Revision and development of various standards and

guidelines.

3. Rational use of medicines

Development and implementation of therapy guideline

and compliance with National Essential Medicine List is

the underlying ground of rational medicine use

development.

One of the fundamental issues on irrational use of

medicines is the incorrect, incomplete and misleading

information. Therefore, assurance on safety for users,

either healthcare service providers or communities will

receive correct, full and not misleading information. Based


on the foregoing, efforts shall be made to assure rational
use of medicine through the following strategies:
a. Application of National Essential Medicine List in
each health service, personal or public, through
the use of therapy guideline and best-scientifically
proven based formularies.
b. Medicines procurement in health services and
National Health Security (JKN) scheme by
reference to National National Essential Medicine
List (DOEN).
c. The application of pharmacy-economy approach
through cost-effective analysis and cost-benefit on
selection of medicines applied at all levels of health
services.
d. Good Pharmacy Practices
e. Community Empowerment through
communication, information and education.
IV. POLICY FUNDAMENTALS AND STEPS
A. MEDICINE FINANCING
Goal
Community, mostly poor communities will have access to
essential medicines at any time necessary.
The primary factor assuring the availability of essential
medicines for communities is the assured sufficient and
sustainable financing. Sufficient financing by the government

will highly determine the availability and affordability of


essential medicines to the public.
Healthcare and medicine services will be far from affordable
to public if public health services facilities become the source
of local revenue.

One of the efforts to secure the medicine financing for


communities is to enroll all community members in National
Social Security System.
Policy Steps:
1. Establishing public medicine financing target at national
scale (WHO recommended minimum allocation of US$
2 per capita).
2. Development of public medicine finance monitoring
scheme in each region.
3. Supply of medicine budget for national health programs.
4. Supply of Government Budget in national buffer stock
for disaster control and to fulfill deficiency of medicine
in regencies/cities.
5. Adequate supply of medicine budget allocated from
General Allocation Fund and other sources.
6. Application of JKN scheme and other Healthcare Security
System must implement full healthcare services.
7. Levies imposed on patients in Community Health Center
must be fully repaid for health services including provision
of medicines.
8. Receipt of medicine aid from donors in the event of
emergency case, in complementary nature.

The mechanism of medicine aid must comply with international


and national practices.

B. AVAILABILITY AND FAIR DISTRIBUTION O F


MEDICINES
Goals:
Sustainable availability of medicines for healthcare
services, particularly essential medicines.

The availability and fair circulation of medicines, particularly


essential medicines at national level must be ensured by the
Government. Independence is impossible in the globalizing

market.

Government must facilitate local companies with technical


viability and supporting national economy through various
efforts and utilizing opportunities.

Efficiency and effectiveness of distribution system must be

continuously developed in support of availability, affordability


and fair distribution of medicines. Facilities and infrastructures
such as Regency/City Pharmacy Warehouse should be
revitalized to support the availability, affordability and fair
distribution of medicines.
Policy Steps :
1. Grant of incentives to domestic manufacturing company
of finished inedicines and raw materials and use of
existing opportunities under WTO Agreements.
2. Increasing medicine exports to economic production
scale to promote the growth of national economy.
3. Expansion of regional cooperation, public and private,
in support of international medicine trade for domestic
product development.
4. Development and production of phytopharmacy from
Indonesian natural resources as per criteria against
efficacy and safety of medicines.

5. Improvement of effective and efficient distribution of


medicine through proper regulations on availability,
affordability and fair distribution of medicine.
6. Improvement of pharmacy services through
professionalism of pharmaceutical personnel as per

applicable service standards.

7. Grant of incentives for medicine service in remote areas.


8. Development of monitoring scheme of essential medicine
availability and corrective measures.
9. Availability of public medicines:
a. Development of Pharmaceutical installation at the
Provincial and R e g e n c y /level
C i t and
y
empowerment of Regency/City Pharmacy
Warehouse as medicines management unit by
utilizing information system on medicines
management in effective and efficient manner.
b. Application of efficient principles in medicines
procurement by reference to National National
Essential Medicine List (DOEN) and pool
procurement and bulk procurement at regency/city
level.
c. Good Medicines Management in Pharmaceutical

Installation at Regency/City level.


d. Implementation of transparency principles in public

medicines procurement.

e. Use of opportunity in Statutory License and Patent

Rights by the Government to fulfill the need of


medicines in public sector (parallel imports?).

10. Medicine supply in emergency case


a. Organization of medicine supply in emergency case

subject to the applicable rules and regulations.


b. Preparation of guideline on medicine supply in
emergency case must be periodically reviewed.
c. Supply of medicine in emergency case must comply
with the applicable guideline and the government
must adopt measures to assure proper quantity,
type, quality and punctuality of medicine delivery.
I I. Supply of medicine in remote areas, boundary areas and
disaster-prone areas and orphan medicines must be
specifically governed by the government.
C. AFFORDABILITY
Goal :
Price affordability of essential medicines to the
communities.

The efforts aimed at realizing affordability or accessibility to


medicines shall be made from two directions, market demand
and supply. In respect of market demand, Essential Medicine
Concept will be implemented and use of generic medicines
through various efforts i.e. promotion of generic medicines at
each level of healthcare services, regulation, medicines
management in public sector.
Meanwhile, the implementation of National Health Security
scheme will increase the affordability of medicine, mainly
essential medicines. For that purpose, the implementation of
JKN must be continuously maximized.
In realizing affordable price in public sector, bulk procurement
or pool procurement will be made.

In terms of supply made through various efforts, i.e. formulation


on policy for medicine pricing, mainly essential medicines and
development of price information system and prevention from
monopoly.
Since accessibility to essential medicines is one of the human
rights, essential medicines must be exempted from taxes and
import duty.

Policy Steps:

1. Maximized implementation of Essential Medicine

Concept and Generic Medicine Program:

a. Dissemination of Essential Medicine Concept in


healthcare services, public or private.
b. Implementation of National National Essential
Medicine List (DOEN) at all levels of healthcare
services.
c. Integration of DEON in educational curriculum and
training for health professionals.
d. Consistent and continuous dissemination of generic
medicines.
e. Controlling over generic medicine price by utilizing
information on international medicine price.
f. Grant of incentives for facilities and health
professionals serving essential medicines.
2. Periodic price evaluation in adopting policy steps on
essential medicine price by:
a. Price comparison to other countries.
b. Price comparison of urban and village and health
service facilities, public and private.
c. Assessment on impact of policy on medicine price.
3. Use of pharmacy-economic approaches in healthcare
service units to maximize efficiency.
4. Implementation of statutory license of medicines in
accordance with the prevailing laws and regulations.
5. Development of information system on medicine price.
6. Development of effective and efficient medicines
procurement system, public and private.

7. Exemption from tax and import duty for essential


medicines.

8. Regulation on price of essential medicines to assure


affordability of medicine price.
D. SELECTION OF ESSENTIAL MEDICINES
Goal :
Availability of National Essential Medicine List in line with
the scientific development for wide application in
healthcare services.
Essential medicine is selected medicines necessary for
healthcare services including diagnosis, prophylaxes, therapy
and rehabilitation to be made available in any healthcare service
units as per the functions and levels. In assuring effective
function of healthcare service system, essential medicine must
be continuously available in adequate type and quantity, proper
stocks, assured quality, adequate information and at affordable

price.
The selection process of essential medicines is very crucial.

Essential Medicine Register as unilaterally designated will not

reflect the actual need and unacceptable to the health

processionals. Thus, the selection process must include

consultancy, transparency, clear selection guideline, proper

selection by best scientifically guideline, different clinical

register and guideline at each service level to be periodically

renewed and updated.

Policy Steps :
1. Selection of essential medicines must be in harmony with
the therapy guideline or standard medication based on
best scientific proof.
2. Selection of essential medicines shall be made through
in-depth scientific review and transparent decision-taking
process which involve Pharmacist, pharmacologists,
clinicians and public health experts from various levels
of healthcare services and health professional education
institutions.
3. Revision of National Essential Medicine List (DOEN)
shall be made periodically at minimum of 3-4 years
through similar decision-taking process.
4. Dissemination of DOEN to public health service facilities
to remote areas, health professional education institution,
either in printed or electronic media.
E. RATIONAL USE OF MEDICINES
Goal:
Use of medicine in proper type, dosage form, dose and
quantity furnished with correct, complete and not-
misleading information.
Rational use of medicine is one of the measures to realize good
health services. In general, the use of medicine in health services
is irrational.
In dealing with irrational use of medicines, the monitoring over
medicine use must consider the type of irrationality, degree of
issue, causing factor of irrational use of medicines in order to
select proper, effective and viable strategy.

The efforts aimed at rational use of medicines must be


systematically made at all levels of health services by adopting

successfully proven strategies.


Policy Steps:
1. The preparation of best-scientific proven standardized therapy
to be periodically revised.
2. Selection of medicine by main reference to DOEN.
3. Formation and/or Empowerment of Pharmacy and Therapy
Committee at the Hospital.
4. Clinic-based pharmacotherapy learning in University degree
curriculum for health professionals.
5. Sustainable education as one of the mandatory requirements
for granting license and authorization in professional practices.
6. Supervision, audit and feedback in medicine use.
7. Supply of accurate, full and non-misleading information on
medicines through information centers at public and private
healthcare facilities.
8. Community education and empowerment for accurate and
appropriate use of medicines and building compliance with
medicine use.
9. Regulation and implementation to prevent from incentives for
medicine use and prescription.
10. Regulation in support of various measures related to policy
on rational medicine use.
11. Promotion of rational medicine use through effective and
continuous communication, information to health professionals
and community through various media.

F MEDICINES CONTROL
Goal:
1. Distributed medicines must fulfill the requirements for
safety, efficacy and quality.
2. Communities are prevented from misuse and ab-use of
medicines.
Medicines control is a very complex task which involves
the stakeholders i.e. government, entrepreneurs and
communities. There are requirements to be satisfactorily
met by government agency to perform such control e.q.
legal grounds, human resources and adequate financial
resources, accessibility to experts, international
relationship, accredited, independent and transparent
quality examination laboratory.

The objective of medicines control and administration

include the aspects of safety, efficacy, quality and validity


of medicines in protecting the communities from misuse
and inaccurate use of medicines due to lack of
knowledge, information and education which must be

coped with through cross-sector and program.

Policy Steps:
1. Assessment and Registration of Medicines.
2. Preparation and implementation of product standards and
quality system.
3. License and certification of production and distribution
facilities.
4. Inspection on production and distribution facilities.
5. Quality test by accredited laboratory.
6. Monitoring over Medicine promotion
7. Post-marketing surveillance and vigilance.
8. Re-assessment on distributed medicines.
9. Improvement of facilities and infrastructures of medicines
control and administration and development of health
professionals in quantity and quality as per competency
standards.
10. Formation of Medicine Information Center at central and
local levels for intensified dissemination of information
on medicines.
11. Improved regional and international cooperation.
12. Controlling over counterfeit and smuggled medicines
(illegal medicines).
13. Development of community role in self protection from
substandard, counterfeit and illegal medicines through
communication, information and education.

G. RESEARCH AND DEVELOPMENT


Goal :
Strengthened research and development on medicines in
support of implementation of National Medicines Policy.
Research and development of medicines is aimed at supporting
the development on medicines which include study on financing,
availability and fair distribution, affordability, selection of
essential medicines, rational use of medicines, control, research
and development, human resource development, monitoring
and evaluation.
Policy Steps:
1. Identification of relevant study and setting priority by
close work mechanism between the development agents
in medicines and research and development agency.
2. Improvement of cross-sector and foreign cooperation
on research and development of medicines and
improvement of coordination and synchronization of
research among various agencies and individuals related
to medicines.
3. Developing and assisting the research as relevant and
necessary for development in medicine sector.

H. HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT


Goal:
Availability of reliable and qualified human resources in
promoting the goals of National Medicines Policy.
Human Resources required in various institutions must be
adequate in terms of quantity, competency or distribution. In
this respect, it is necessary to improve and develop Human
Resources on Health in systematic and sustainable manner in
line with the developinent of science and technology.
Pharmaceutical Warehouse (GFK) as previously existing in
each Regency/City has been developed into Pharmacy
Installation of Regency/City (IFK) furnished with reliable
information system. For such purpose, it is necessary to supply
adequate and competent human resources.

The availability of pharmaceutical professionals in community


health center, public and private hospital, pharmaceutical
companies, pharmaceutical wholesalers, Pharmacist and OTC
store will be highly required. Besides, it is also necessary to

appoint Pharmacist as the administrator at regency/city,


province and central level.
Policy Steps:
1. Setting up plan for pharmaceutical professionals.
2. Fair supply and distribution of pharmaceutical personnel
in each region and healthcare service level.
3. Integration of National Medicines Policy into educational
curriculum and training for health professionals.
4. Integration of National Medicines Policy into continuous
education by health professional organizations.
5 . Strengthening national, regional and international
cooperation for human resource development.

I. MONITORING AND EVALUATION


Goals:
Supporting the implementation of National Medicines
Policy by establishing mechanism for monitoring and
evaluation on performance and policy impact to identify
barriers and establish effective strategies.

The implementation of National Medicines Policy will require

periodic monitoring and evaluation.


This is important to make prompt anticipation or correction
of environmental changes and complex and rapid development
in the communities.
Monitoring and evaluation is inseparable and integral part of
activities related to policy development. Necessary cossections
will be based on policy monitoring.
Evaluation on policy is aimed at gaining information on
implementation, output reporting, outcome measuring, impact
evaluation on target group, giving recommendation and
revision to policy.
Policy Steps
1. Monitoring and evaluation is periodically performed
at maximum interval of 5 years.
2. Implementation and monitoring indicators must comply
with WHO recommendation and in collaboration with
WHO or other parties concerned to compare the results
to other countries.
3. Use of monitoring and evaluation results for:
a. Synchronization of policy, policy selection or
setting up priority.
b. Negotiations with related agencies.
c. Discussion materials with international agencies

and overseas donor.


V. CLOSING
The successful implementation of National Medicines Policy is highly
dependent on moral, ethics, dedication, competence, integrity,
persistence, hard work and sincerity of the stakeholders on medicine
sector.

The implementation of National Medicines Policy will require


organization, mobilization, monitoring, supervision, control and
evaluation. National Medicines Policy must be applied by the as
guideline and direction to take further actions by the stakeholders in
medicine sector in Indonesia.

National Medicines Policy is a transparent, interactive, interrelation


and inter-dependent system by strategic environment at dynamic local,
national, regional and global level.
CONTRIBUTORS

The completion of National Medicines Policy is realized by support of active

participation of the following parties:


National Medicines Policy Team formed by virtue of Decree of
Minister of Health Number 1273/Menkes/SK/XII/2004 on Membership
of National Medicines Policy Team:

Person in charge : Minister of Health

Coordinating Team, Chairman : Director of Pharmaceutical

Services and Medical Devices

Members : 1) Secretary General of

Ministry of Health of RI, 2)


Director General of
Community Health, 3)

Director General of Medical


Care, 4) Director General of
Elimination of Communicable
Diseases and Environmental

Health, 5) Head of Research


Agency and Health

Development, 6) Head of
Research and Development of
Human Resources for Health
Professionals, 7) Head of
National Agency of Food and
Drug Control, 8) Chief
Secretary of NA-FDC, 9)
Deputy of Traditional
Medicines and Cosmetics and
Complimentary Product of
NA-FDC, 10) Deputy of Food
and Hazardous Material
Safety of NA-FDC, 11)
Ministerial Expert Staff
(MES) of Institutional
Capacity Develop- ment and
Decentralization, 12) MES of
Health Financing and
Economy, 13) MES of
Environmental Rehabilitation
and Epidemiology, 14) MES
of Vulnerable Community
Health Service;
Executive Team, Chairman : MES of Health and
Pharmaceutical Technology

Deputy Chairman : Deputy of Therapeutic and


Narcotic, Psychotropic and
Additive Substances Control
of NA-FDC.

Secretary : 1) Secretary of Directorate

General of Pharmaceutical
Service and Medical Devices,
2) Director of Medicine and

Biological Products of NA-


FDC, 3) Head of
Pharmaceutical and
Traditional Medicine
Research and Development
Agency.

Members : 1) Director of Rational Use of

Medicine, 2) Director of

Community and Clinical


Pharmacy, 3) Director of
Public Medicines and Medical

Supply, 4) Director of
Production and Distribution of
Medical Devices, 5) Director
of Inspection and Certification
of Therapeutic Products of
NA-FDC 6) Director of
Therapeutic Product
Standardization of NA-FDC,
7) Head of Planning and
Budgeting of Ministry of
Health, 8) Head of Health
Development Research
Center of Ministry of Health,
9) Head of Legal and
Organization Bureau.

Consultants : 1) Drs. Slamet Soesilo, Apt, 2)

Prof. DR. Drs. Charles JP


Siregar, Apt, 3) DR. Dra. Sri
Suryawati, Apt.
Ad-hoc Team of National Medicines Policy by virtue of Decision
of Director General of Pharmaceutical Services and Medical Devices
Number HK.OO.DJ.I.157:

Chairman : Drs. Richard Panjaitan, Apt,

SKM;
Members : 1) Drs. Dwidjo Susono, Apt,

SE, MBA, 2) Drs. Udjianto,


Apt, 3) Dra. Nasirah
Bahaudin, Apt, MM, 4) Drs.
Slamet Soesilo, Apt
(Consultant), 5) Prof. DR.
Drs. Charles JP Siregar, Apt
(Consultant), 6) DR. Dra. Sri
Suryawati, Apt, (Consulant);
Secretariat : 1) Drs. H. Purwadi, Apt, MM,

ME, 2) Drs. Bayu Teja


Muliawan, Apt, MPharm.
Secretariat of National Medicines Policy by virtue of Decision
of Director General of Pharmaceutical Services and Medical Devices
Number HK.OO.DJ.I.158:
Coordinator : Drs. H. Purwadi, Apt, MM,

ME;

Members : 1) Drs. M Nur Ginting, Apt,

M.Kes, 2) Dra. Chusun, Apt,


M.Kes, 3) Drs. T. Bahdar
Djohan Hamid, Apt, MPharm,
4) dr. Abdullah Achmad,
MARS, 5) Dra. Elly Zardania,
Apt, MSi, 6) Dra. Rida
wurjati, Apt, 7) Drs. Zaenal
Komar, Apt, MA. 8) Dra.
Kuswati Ningsih, MM;

Staff : 1) Dra. Sukarni, Apt, 2) Dra.

Bayu Teja Muliawan, Apt,


Mpharm, 3) Dra Haryono, 4)
Mindawati, SSi, Apt, 5) Riani
Trienawati, SE, M.Kes, 6)
Indah Susanti, SSi, Apt.

In the preparation process which also involves various parties during

the workshop/seminar as follows:


Workshop
Workshop on discussion topics 1). National Essential Medicine Lists:
Concept and Updating Process; 2) Rational Use of Medicines; 3) Financing:
Medical Finance in Public Service Institution After Decentralization and
Revitalization of Regency Pharmaceutical Warehouse; 4) Distribution of
Illegal Medicines & Circulation of Counterfeit Medicines.
Ministry of Health: Minister of Health, Echelon-I Officials, Echelon-
I Officials, Chief Researcher on Health Sector, Echelon-I11 Officials
(selected), President Director of Hospital, Head of Provincial Health Agency
in Indonesia, Head of Regency Health Agency (selected), Director of Local
Hospital (selected), Medical Committee of Public and Private Hospital;
Beyond Ministry of Health: Association Representative in Health (IDI, ISFI,
PDGI, PAFI, GPF) Non-Governmental Organizations on Consumer
Protection, Representative of Higher Schools (Faculty of Medicine and
Faculty of Pharmacy).

National Seminar/Workshop:
Drs. Slamet Soesilo, Apt, Prof. DR. Drs. Charles JP Siregar, Apt, DR. Dra.
Sri Suryawati, Apt. Head of Health Agency/Official of Pharmacy in Provincial

Health Agency in Indonesia, Head of Health Agency of Sleman Regency,


Head of Health Agency of Kolaka Regency, Head of Health Agency of Central

Lombok Regency, Head of Health Agency of Cirebon Regency. Head of


Health Agency of Pasuruan Regency, Head of Health Agency of Balikpapan
City, Head of Health Agency of Cianjur Regency, Head of Health Agency of
Bekasi City, President Director of Cipto Mangun Kusumo Hospital - Jakarta,
Director of dr. Hasan Saidikin Bandung Hospital, Director of Kanker
Dharmais Hospital, Jakarta, Director of Local Hospital of Prof Soekarjo
Central Java, Director of PKU Hospital Muhammadiyah Yogyakarta, Hospital
Director dr. M. Djamil Padang, Hospital Director of dr. Soetomo Surabaya,
Hospital Director of Adam Malik Medan, Public Hospital dr. Wahidin Soediro
Hoesodo Makassar, Hospital Director of dr. Sardjito Yogyakarta, Director
of Bethesda Hospital Yogyakarta, Faculty of Pharmacy of Gadjahmada
University, Chairman of Pharmacy Department of Mathematics and Natural
Science of University of Indonesia - Depok, Department of Pharmacy of
Bandung Technology Institute, Department of Pharmacy of Mathematics
and Natural Science of Bandung Padjajaran University, Faculty of Pharmacy
of Pancasila University Lenteng Agung, Faculty of Pharmacy University of
Tujuh Belas Agustus Jakarta, Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, DRPH
(FKM - UI), Prof. dr. Laksono Trisnantor, MSc, PhD (Manager of Health
Service Management Center of Faculty of Medicines UGM), Director of
JPKM - Directorate General of Public Health Service Development of
Ministry of Health of RI, Operating Director of PT ASKES (Persero), ISFI,
IDI, PDGI, PAFI Hisfarsi, Association of Faculty of Pharmacy, Association
of Pharmaceutical Entrepreneurs, YLKI, PERDHAKI, Legal Advocates in
Health.
All parties supporting the preparation of KONAS not mentioned
herein.
WE ARE SORRY FOR MISTAKE AND ERRORS IN
THE WRITING OF NAMES, TITLE, POSITION OR
NAME OF AGENCY

Anda mungkin juga menyukai