Taufikurahman
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
Tin Kadota
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata, “Wahai Musa! Kami tidak tahan hanya (makan)
dengan satu macam makanan saja, maka mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami,
agar Dia memberi kami apa yang ditumbuhkan bumi, seperti: sayur-mayur, mentimun,
bawang putih, kacang adas dan bawang merah.….
(Al-Baqarah: 61)
“Jangan dekati pohon ini”
• Di alam, poliploid dapat terjadi karena kejutan listrik (petir), keadaan lingkungan ekstrem, atau persilangan yang diikuti
dengan gangguan pembelahan sel. Perilaku reproduksi tertentu mendukung poliploidi terjadi, misalnya perbanyakan
vegetatif atau partenogenesis, dan menyebar luas.
• Poliploidi buatan dapat dilakukan dengan meniru yang terjadi di alam, atau dengan
menggunakan mutagen. Kolkisin adalah mutagen yang umum dipakai untuk keperluan ini. Efeknya cepat diketahui dan
aplikasinya mudah. Penggunaannya berisiko tinggi karena kolkisin sangat karsinogenik.
• Autopoliploid terjadi apabila suatu spesies, karena salah satu sebab di atas, menggandakan set kromosomnya dan
kemudian saling kawin dengan autopoliploid lain. Pola pembelahan sel autopoliploid rumit karena melibatkan
perpasangan empat, enam, atau delapan set kromosom. Triploid karena autopoliploid dapat bersifat fertil.
• Allopoliploid terjadi karena persilangan antarspesies dengan genom yang berbeda tanpa diikuti reduksi jumlah sel
dalam meiosis. Amfidiploid adalah allotetraploid yang perilaku pembelahan selnya serupa dengan
diploid. Allopoliploidi segmental terjadi apabila sebagian kromosom berasal dari genom yang berbeda (tidak semuanya
berasal dari set kromosom yang lengkap).
• Suatu spesies dapat bersifat diploid, meskipun dalam sejarah perkembangan evolusinya berasal dari poliploid. Spesies
demikian dikenal sebagai paleopoliploid. Contoh spesies ini misalnya padi. Dengan n=10, padi berasal dari moyang
poliploid dengan n=5.
Efek Poliploidi pada Organisme
• Poliploidi sering kali memberikan efek dramatis dalam penampilan atau pewarisan sifat yang bisa positif atau
negatif. Tumbuhan secara umum bereaksi positif terhadap poliploidi. Tetraploid (misalnya kentang) dan heksaploid
(misalnya gandum) berukuran lebih besar (reaksi Gigas ("Raksasa")) daripada leluhurnya yang diploid. Karena hasil
panen menjadi lebih tinggi, poliploidi dimanfaatkan dalam pemuliaan tanaman. Berbagai kultivar tanaman
hias (misalnya anggrek) dibuat dengan mengeksploitasi poliploidi.
• Reaksi negatif terjadi terhadap kemampuan reproduksi, khususnya pada poliploidi berbilangan ganjil, meskipun
ukurannya membesar. Karena terjadi ketidakseimbangan pasangan kromosom dalam meiosis, organisme dengan
ploidi ganjil biasanya mandul (steril). Pemuliaan tanaman, sekali lagi, mengeksploitasi gejala ini. Karena
mandul, semangka triploid tidak memiliki biji yang normal (bijinya tidak berkembang normal atau terdegenerasi) dan
dijual sebagai "semangka tanpa biji". Penangkar tanaman hias menyukai tanaman triploid karena biji tanaman ini tidak
bisa ditumbuhkan sehingga konsumen harus membeli tanaman dari si penangkar.
• Hewan bertulang belakang (vertebrata) bereaksi negatif terhadap poliploidi. Biasanya yang terjadi adalah kematian
pralahir.
Contoh Poliploidi
• Poliploidi pada mamalia biasanya berakhir dengan kematian pralahir. Vertebrata tertentu, seperti salamander dan kadal, juga
memiliki "versi" poliploid. Cacing pipih, lintah, dan udang, dibantu dengan perilaku partenogenesis, juga memiliki anggota yang
poliploid.
• Pada tumbuhan, khususnya tumbuhan berbunga, poliploid mudah ditemukan baik terjadi secara alami atau campur tangan
manusia (baik sengaja maupun tidak) dalam proses pemuliaannya. Contohnya panjang:
• Gandum, dengan berbagai versi tetraploid (gandum durum, 4n) dan heksaploid (gandum roti, 6n),
• Raps dan kerabatnya, yang keterkaitannya ditunjukkan secara sederhana dalam segitiga U,
• Kentang (4n),
• Kapas (4n)
• Tebu (multiploid, dapat mencapai lebih dari 8n),
• Pisang ambon, pisang raja (3n, sehingga tidak berbiji normal),
• Triticale (4n),
• Berbagai anggrek hias,
• Stroberi (8n),
• Semangka tanpa biji.
More on poliploidy
• The occurrence and behaviour of polyploids — organisms that inherit multiple complete sets of
chromosomes — has been studied for nearly a century. Recently, the footprints of ancestral
polyploidy have been detected in many eukaryotic genomes, indicating that polyploidization and
diploidization can be cyclical.
• Understanding the effect of polyploidization on gene diversification and genome evolution
requires an understanding of the mechanisms that lead to the formation and establishment of
polyploidy. The possible incentives and constraints on polyploid formation are discussed.
• There are three obvious advantages of becoming polyploid: heterosis, gene redundancy (a result
of gene duplication) and asexual reproduction. Heterosis causes polyploids to be more vigorous
than their diploid progenitors, whereas gene redundancy shields polyploids from the deleterious
effect of mutations. Asexual reproduction, for which the mechanistic connection to polyploidy is
unclear, enables polyploids to reproduce in the absence of sexual mates.
More on poliploidy
• There are several disadvantages, documented or conjectured, of polyploidy. They include the potentially
disrupting effects of nuclear and cell enlargement, the propensity of polyploid mitosis and meiosis to
produce aneuploid cells, and the epigenetic instability that results in transgressive (non-additive) gene
regulation.
• The amount of experimental evidence that addresses these problems varies considerably. In particular,
recent data on gene regulation in polyploids provide interesting but still incomplete information on the
genetic responses that are involved in polyploidy and on the role of epigenetic remodelling.
• Transcriptional remodelling in polyploids has two causes. The first is the interaction of diverged parental
genomes that are reunited in the allopolyploid; this interaction has both genetic and epigenetic effects. The
second, less characterized causal mechanism is genome duplication.
• Triploidy and aneuploidy are unstable states that often lead to or result from the more stable polyploidy
states such as tetraploidy. Both conditions can have potentially disruptive effects on genome regulation,
some of which might result from meiotically unpaired DNA.
Questionable interpretations dalam teori Evolusi
The reason for this ‘stress’-polyploidy relationship has been the subject of
considerable speculation and several hypotheses have been put forward to explain
this observation: (a) stressful conditions promote polyploid formation; (b)
polyploidisation causes a niche shift allowing polyploids to grow in conditions that are
unsuitable for their non-polyploid ancestors; and (c) polyploids have an increased
evolvability and consequently adapt faster to a changing environment. In future work,
we wants to unravel the mechanistic underpinnings of why and how polyploids can
outcompete non-polyploids.