Anda di halaman 1dari 5

ASIYAH BINTI MUZAHIM

(pejuang di tengah kezaliman)


“Dan Allah membuat istri Firaun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata:
“Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari
Firaun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang lalim.” (QS. At-Tahrim [66] : 11).
Rasulullah SAW memerintahkan untuk bersikap lembut dan banyak mewasiatkan agar bersikap
baik kepada perempuan. Oleh karena itu, tidak mengherankan kiranya jika Allah Tabaroka wa Ta’ala
dengan segala hikmah-Nya mengamanahkan kaum wanita kepada kaum laki-laki.
Salah satu hal yang patut kita renungkan dan jadikan pelajaran adalah kisah keteguhan salah
seorang putri, istri dari seorang suami yang angkuh atas kekuasaan yang ada di tangannya, yang
dusta lagi kufur kepada Rabbnya. Putri yang akhirnya harus disiksa oleh tangan suaminya sendiri,
yang disiksa karena keimanannya kepada Allah Dzat Yang Maha Tinggi. Dialah Asiyah binti
Muzahim, istri Firaun.
Alkisah di negeri Mesir, Firaun terakhir yang terkenal dengan keganasannya bertahta. Setelah
kematian sang isteri, Firaun kejam itu hidup sendiri tanpa pendamping. Sampai cerita tentang
seorang gadis jelita dari keturunan keluarga Imran bernama Siti Asiyah sampai ke telinganya.
Firaun lalu mengutus seorang Menteri bernama Haman untuk meminang Siti Asiyah. Orangtua
Asiyah bertanya kepada Siti Asiyah : “Sudikah anakda menikahi Firaun?” “Bagaimana saya sudi
menikahi Firaun. Sedangkan dia terkenal sebagai raja yang ingkar kepada Allah?” Haman kembali
pada Firaun. Alangkah marahnya Firaun mendengar kabar penolakan Siti Asiyah. “Haman, berani
betul Imran menolak permintaan raja. Seret mereka kemari. Biar aku sendiri yang menghukumnya!”
Firaun mengutus tentaranya untuk menangkap orangtua Siti Asiyah. Setelah disiksa begitu keji,
keduanya lantas dijebloskan ke dalam penjara. Menyusul kemudian, Siti Asiyah digiring ke Istana.
Firaun kemudian membawa Siti Asiyah ke penjara tempat kedua orangtuanya dikurung. Kemudian,
dihadapan orangtuanya yang nyaris tak berdaya, Firaun berkata: “Hei, Asiyah. Jika engkau seorang
anak yang baik, tentulah engkau sayang terhadap kedua orangtuamu. Oleh karena itu, engkau
boleh memilih satu di antara dua pilihan yang kuajukan. Kalau kau menerima lamaranku, berarti
engkau akan hidup senang, dan pasti kubebaskan kedua orangtuamu dari penjara laknat ini.
Sebaliknya, jika engkau menolak lamaranku maka engkau sudah tahu apa yang akan aku lakukan.
Karena ancaman itu, Siti Asiyah terpaksa menerima pinangan Firaun. Dengan mengajukan
beberapa syarat :
 Firaun harus membebaskan orangtuanya.
 Firaun harus membuatkan rumah untuk ayah dan ibunya, yang indah lagi lengkap
perabotannya.
 Firaun harus menjamin kesehatan, makan, minum kedua orangtuanya. Siti Aisyah
bersedia menjadi isteri Firaun. Hadir dalam acara-acara tertentu, tapi tak bersedia tidur
bersama Firaun. Sekiranya permintaan-permintaan tersebut tidak disetujui, Siti Asiyah rela
mati dibunuh bersama ibu dan bapaknya.
Akhirnya Firaun menyetujui syarat-syarat yang diajukan Siti Asiyah. Firaun lalu memerintahkan agar
rantai belenggu yang ada di kaki dan tangan orangtua Siti Asiyah dibuka. Singkat cerita, Siti Asiyah
tinggal dalam kemewahan Istana bersama-sama Firaun. Namun ia tetap tak mau berbuat ingkar
terhadap perintah agama, dengan tetap melaksanakan ibadah kepada Allah SWT.
Pada malam hari Siti Asiyah selalu mengerjakan shalat dan memohon pertolongan Allah SWT. Ia
senantiasa berdoa agar kehormatannya tidak disentuh oleh orang kafir, meskipun suaminya sendiri,
Firaun. Untuk menjaga kehormatan Siti Asiyah, Allah SWT telah menciptakan iblis yang menyaru
sebagai Siti Asiyah. Dialah iblis yang setiap malam tidur dan bergaul dengan Firaun.
Firaun mempunyai seorang pegawai yang amat dipercaya bernama Hazaqil. Hazaqil amat taat dan
beriman kepada Allah SWT. Beliau adalah suami Siti Masyitoh, yang bekerja sebagai juru hias
istana, yang juga amat taat dan beriman kepada Allah SWT. Namun demikian, dengan suatu upaya
yang hati-hati, mereka berhasil merahasiakan ketaatan mereka terhadap Allah. Dari pengamatan
Firaun yang kafir.
Suatu kali, terjadi perdebatan hebat antara Firaun dengan Hazaqil, disaat Firaun menjatuhkan
hukuman mati terhadap seorang ahli sihir, yang menyatakan keimanannya atas ajaran Nabi Musa
as. Hazaqil menentang keras hukuman tersebut.
Mendengar penentangan Hazaqil, Firaun menjadi marah. Firaun jadi bisa mengetahui siapa
sebenarnya Hazaqil. Firaun lalu menjatuhkan hukuman mati kepada Hazaqil. Hazaqil menerimanya
dengan tabah, tanpa merasa gentar sebab yakin dirinya benar.
Hazaqil menghembuskan nafas terakhir dalam keadaan tangan terikat pada pohon kurma, dengan
tubuh penuh ditembusi anak panah. Sang istri, Masyitoh, teramat sedih atas kematian suami yang
amat disayanginya itu. Ia senantiasa dirundung kesedihan setelah itu, dan tiada lagi tempat
mengadu kecuali kepada anak-anaknya yang masih kecil.
Suatu hari, Masyitoh mengadukan nasibnya kepada Siti Asiyah. Di akhir pembicaraan mereka, Siti
Asiyah menceritakan keadaan dirinya yang sebenarnya, bahwa iapun menyembunyikan
ketaatannya dari Firaun. Barulah keduanya menyadari, bahwa mereka sama-sama beriman kepada
Allah SWT dan Nabi Musa as.
Pada suatu hari, ketika Masyitoh sedang menyisir rambut puteri Firaun, tanpa sengaja sisirnya
terjatuh ke lantai. Tak sengaja pula, saat memungutnya Masyitoh berkata : “Dengan nama Allah
binasalah Firaun.”
Mendengarkan ucapan Masyitoh, Puteri Firaun merasa tersinggung lalu mengancam akan
melaporkan kepada ayahandanya. Tak sedikitpun Masyitoh merasa gentar mendengar hardikan
puteri. Sehingga akhirnya, ia dipanggil juga oleh Firaun.
Saat Masyitoh menghadap Firaun, pertanyaan pertama yang diajukan kepadanya adalah : “Apa
betul kau telah mengucapkan kata-kata penghinaan terhadapku, sebagaimana penuturan anakku.
Dan siapakah Tuhan yang engkau sembah selama ini?”
“Betul, Baginda Raja yang lalim. Dan Tiada Tuhan selain Allah yang sesungguhnya menguasai
segala alam dan isinya.” jawab Masyitoh dengan berani.
Mendengar jawaban Masyitoh, Firaun menjadi teramat marah, sehingga memerintahkan
pengawalnya untuk memanaskan minyak sekuali besar. Dan saat minyak itu mendidih, pengawal
kerajaan memanggil orang ramai untuk menyaksikan hukuman yang telah dijatuhkan pada
Masyitoh. Sekali lagi Masyitoh dipanggil dan dipersilahkan untuk memilih : jika ingin selamat
bersama kedua anaknya, Masyitoh harus mengingkari Allah. Masyitoh harus mengaku bahwa
Firaun adalah Tuhan yang patut disembah. Jika Masyitoh tetap tak mau mengakui Firaun sebagai
Tuhannya, Masyitoh akan dimasukkan ke dalam kuali, lengkap bersama kedua anak-anaknya.
Masyitoh tetap pada pendiriannya untuk beriman kepada Allah SWT. Masyitoh kemudian membawa
kedua anaknya menuju ke atas kuali tersebut. Ia sempat ragu ketika memandang anaknya yang
berada dalam pelukan, tengah asyik menyusu. Karena takdir Tuhan, anak yang masih kecil itu dapat
berkata, “Jangan takut dan sangsi, wahai Ibuku. Karena kematian kita akan mendapat ganjaran dari
Allah SWT. Dan pintu surga akan terbuka menanti kedatangan kita.”
Masyitoh dan anak-anaknyapun terjun ke dalam kuali berisikan minyak mendidih itu. Tanpa tangis,
tanpa takut dan tak keluar jeritan dari mulutnya. Saat itupun terjadi keanehan. Tiba-tiba, tercium
wangi semerbak harum dari kuali berisi minyak mendidih itu. Siti Asiyah yang menyaksikan kejadian
itu, melaknat Firaun dengan kata-kata yang pedas. Ia pun menyatakan tak sudi lagi diperisteri oleh
Firaun, dan lebih memilih keadaan mati seperti Masyitoh.
Mendengar ucapan Isterinya, Firaun menjadi marah dan menganggap bahwa Siti Asiyah telah gila.
Firaun kemudian telah menyiksa Siti Asiyah, tak memberikan makan dan minum, sehingga Siti
Asiyah meninggal dunia.
Hal menarik yang bisa kita jadikan perenungan di antaranya bahwa Asiyah PEREMPUAN CANTIK
yang hidup pada masa Nabi Musa dan beriman kepada Allah SWT. Ia tak kuasa menolak menjadi
istri Firaun karena hal buruk akan menimpa keluarganya. Meski menjadi istri kesayangan Firaun,
sebenarnya raja lalim itu tak pernah berhasil membujuknya. Bahkan, Asiyah berhasil
MEMPERTAHANKAN KEIMANANNYA tanpa sepengetahuan Firaun.
Asiyah pun menjadi inspirasi pengambilan keputusan Firaun dalam beberapa kesempatan penting.
KEIMANAN DAN KECERDASANNYA mendorongnya mengoptimalisasi peran di mata banyak
hunafa (orang-orang yang hanif) Bani Israil yang diselamatkan berkat usulannya.
Keputusan mengasuh Musa kecil juga atas inisiatif Asiyah. Allah pun membantunya dengan
menurunkan rasa cinta Firaun kepada Musa. Bagi Asiyah, hidup dalam lingkungan musuh Allah
bukanlah penghalang menjadi PEREMPUAN BAIK dan PEJUANG DAKWAH yang gigih. Ia
bergabung dalam barisan dakwah Nabi Musa dan pada akhirnya mendatangkan murka Firaun.
Alangkah beratnya ujian beliau, disiksa oleh suaminya sendiri.
Namun, akankah siksaan itu menggeser keteguhan hati Asiyah walau sekejap? Sungguh siksaan itu
tak sedikitpun mampu menggeser keimanan wanita mulia itu. Akan tetapi, siksaan-siksaan itu justru
semakin menguatkan keimanannya.
Iman yang berangkat dari hati yang tulus, apapun yang menimpanya tidak sebanding dengan
harapan atas apa yang dijanjikan di sisi Allah Tabaroka wa Ta’ala. Maka Allah pun tidak menyia-
nyiakan keteguhan iman wanita ini. Ketika Firaun dan algojonya meninggalkan Asiyah, para
malaikat pun datang menaunginya. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Siti Asiyah sempat
berdoa kepada Allah SWT, sebagaimana termaktub dalam firman-Nya :
“Dan Allah membuat isteri Firaun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata :
“Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari
Firaun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.” (Q.S. At-Tahrim [66] : 11)
Di tengah beratnya siksaan yang menimpanya, wanita mulia ini senantiasa berdoa memohon untuk
dibuatkan rumah di surga. Allah mengabulkan doa Asiyah, maka disingkaplah hijab dan ia melihat
rumahnya yang dibangun di dalam surga. Diabadikanlah doa wanita mulia ini di dalam Al-Quran.
Ketika melihat rumahnya di surga dibangun, maka berbahagialah wanita mulia ini. Semakin hari
semakin kuat kerinduan hatinya untuk memasukinya. Ia tak peduli lagi dengan siksaan Firaun dan
algojonya. Ia malah tersenyum gembira yang membuat Firaun bingung dan terheran-heran.
Bagaimana mungkin orang yang disiksa akan tetapi malah tertawa riang? Sungguh terasa aneh
semua itu baginya. Jika seandainya apa yang dilihat wanita ini ditampakkan juga padanya, maka
kekuasaan dan kerajaannya tidak ada apa-apanya.
Asiyah berhasil MEWARNAI lingkungannya, bukan sebaliknya malah TERWARNAI dengan perilaku
tidak benar, padahal kalau saja Asiyah nunut saja dengan Firaun maka hidupnya akan jauh lebih
“bahagia” dan “sejahtera”.
Betapa banyak istri-istri sekarang yang diam saja tidak menasehati apabila suaminya berlaku tidak
benar, malah ikut-ikutan atau diam saja, dengan pertimbangan kalau menasehati suami khawatir
pendapatannya akan dikurangi atau malah dihentikan oleh suami. Betapa banyak suami-suami yang
bersikap seperti Firaun abad 20, yang menyiksa istrinya lahir dan juga batin dan melakukannya
berulang-ulang seperti tak menyadari bahwa yang dilakukannya persis seperti Firaun kepada
Asiyah…na’udzubillah
Akhirnya, Asiyah menutup riwayat hidupnya dalam siksaan keji suaminya sendiri.
Sebuah bentuk PENGORBANAN YANG TOTAL terhadap Allah dan KETAATAN YANG
PARIPURNA dari seorang hamba kepada Sang Pencipta.
Maka tibalah saat-saat terakhir di dunia. Allah mencabut jiwa suci wanita shalihah ini dan
menaikkannya menuju rahmat dan keridhaan-Nya. Berakhir sudah penderitaan dan siksaan dunia,
siksaan dari suami yang tak berperikemanusiaan.
Tidakkah kita iri dengan kedudukan wanita mulia ini? Apakah kita tidak menginginkan kedudukan
itu? Kedudukan tertinggi di sisi Allah Yang Maha Tinggi. Akan tetapi adakah kita telah berbuat amal
untuk meraih kemuliaan itu? Kemuliaan yang hanya bisa diraih dengan amal shalih dan
pengorbanan. Tidak ada kemuliaan diraih dengan memanjakan diri dan kemewahan.
Tidakkah kita menjadikan Asiyah sebagai teladan hidup kita untuk meraih kemuliaan itu? Apakah
kita tidak malu dengannya, dimana dia seorang istri raja, gemerlap dunia mampu diraihnya, istana
dan segala kemewahannya dapat dengan mudah dinikmatinya. Namun, apa yang dipilihnya? Ia
lebih memilih disiksa dan menderita karena keteguhan hati dan keimanannya. Ia lebih memilih
kemuliaan di sisi Allah, bukan di sisi manusia. Jangan sampailah dunia yang tak seberapa ini
melenakan kita. Melenakan kita untuk meraih janji Allah Ta’ala, surga dan kenikmatannya.
Jangan sampai karena alasan kondisi kita mengorbankan keimanan kita, mengorbankan aqidah
kita. Marilah kita teladani Asiyah binti Muzahim dalam mempertahankan iman. Jangan sampai bujuk
rayu setan dan bala tentaranya menggoyahkan keyakinan kita. Janganlah penilaian manusia
dijadikan ukuran, tapi jadikan penilaian Allah sebagai tujuan. Apapun keadaan yang menghimpit
kita, seberat apapun situasinya, hendaknya ridha Allah lebih utama. Mudah-mudahan Allah
mengaruniakan surga tertinggi yang penuh kenikmatan.
Demikian kisah Siti Asiah dan Masyitoh. Semoga muslimah sekalian bisa mengambil hikmah dan
mengikuti jejak keduanya, meninggal dalam keadaan teguh menggenggam “Tauhid.”

Anda mungkin juga menyukai