Anda di halaman 1dari 7

RESUME

ANAK AUTIS

Pendidikan bagi penyandang autis

DI SUSUN OLEH :

NAMA : ANITA BR SEMBIRING

NIM : 21003259

PENDIDIKAN LUAR BIASA

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2021
1. Pendidikan Anak Autis
Autis atau autisme adalah salah satu dari lima tipe gangguan perkembangan
pervasif atau PDD (Pervasive Develop-mental Disorders), yang ditandai tampilnya
abnormalitas pada domain interaksi sosial dan komunikasi.
Umumnya, anak-anak autis sebelum berusia 3 tahun sudah menunjukkan
ketidaknormalan atau keterlambatan perkembangan dalam berinteraksi sosial,
berbicara dan bermain menggunakan imajinasi.
Tidak selamanya kondisi autisme akan memburuk seiring dengan bertambahnya
usia. Intervensi dini semenjak anak di bawah usia 3 tahun, merupakan salah satu cara
agar kondisi autis tidak memburuk. Orangtua perlu mengerti, bahwa dengan
berkembangnya usia anak, tuntutan dari lingkungan juga semakin tinggi. Oleh karena
itu, jika tidak dipersiapkan, anak autis akan terlihat semakin parah dengan
berkembangnya usia. Sebaliknya, untuk anak-anak yang dipersiapkan sejak dini untuk
mandiri akan siap dalam menghadapi kemungkinan atas perubahan ini. Jadi, kunci
utama agar autisme tidak semakin parah adalah intervensi dini, antisipasi serta
mempersiapkan anak untuk apa yang akan terjadi di masa depan.

Pendidikan Autis
Setiap anak, termasuk anak berkebutuhan khusus atau yang kerap disapa anak-
anak penyandang autis ini, merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang
dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak
penyandang autis memiliki hak yang sama dengan anak-anak lainnya dalam segala
aspek kehidupan. Begitu pula dalam hal pendidikan, anak penyandang autis memiliki
hak untuk bersekolah guna mendapatkan pengajaran dan pendidikan.

Negara menjamin hak-hak anak autis untuk bersekolah di sekolah reguler sekalipun.
Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan “Setiap warga Negara berhak
mendapat pendidikan”.

Di Indonesia, pendidikan khusus dilaksanakan melalui dua jalur, yaitu pada satuan
pendidikan akademis (sekolah luar biasa) dan pada sekolah reguler (program
pendidikan inklusif).

Dalam pendidikan akademis atau sekolah, lakukan penanganan dini jauh sebelum anak
ini pergi sekolah dan sebelum anak ini masuk pada usia sekolah. Misalnya, anak
diajarkan untuk mampu buang air sendiri, makan, minum sendiri, memasang tali sepatu,
memasang kancing baju dan lain-lain. Agar guru sekolah tidak kewalahan pada saat
mereka masuk sekolah, di usia yang seharusnya mereka ada di sekolah. Pada
prinsipnya, sekolah yang tepat ditentukan oleh kemampuan dan keperluan anak.
Beberapa kriteria sekolah yang ideal untuk anak autis adalah :
Pertama, sekolah dan para pengajar memiliki semangat dan kepercayaan bahwa tiap
anak mampu belajar (presume intellect).
Kedua, sekolah memiliki pengetahuan yang memadai tentang autisme.
Ketiga, para guru di sekolah mendapatkan pelatihan secara berkala.
Keempat, ruang kelas sebaiknya tidak berisik, tidak banyak gambar-gambar di
dinding.
Kelima, sekolah dan guru menerima saran dari orangtua dan para ahli di luar sekolah.

Keenam, jumlah murid di dalam kelas tidak terlalu banyak. Dan yang terakhir, sekolah
dan guru memprioritaskan kepentingan, keperluan, dan kemampuan anak diatas
kurikulum. Kemudian dalam pendidikan inklusif (ketercakupan/kesetaraan), berbagai
lembaga biasanya menawarkan layanan dan program yang mungkin berbeda-beda satu
sama lain. Misalnya, ada yang mengedepankan Terapi Integrasi Sensori atau SIT
(Sensory Integration Therapy) sementara yang lainnya lebih menekankan pada Analisis
Perilaku Terapan atau ABA (Applied Behavior Analysis). Integrasi sensori adalah
proses neurologis untuk mengatur sensasi yang dirasakan tubuh pada saat berinteraksi
dengan lingkungan sekitar. Terapi integrasi sensori adalah jenis terapi okupasi
(occupational therapy) untuk membantu anak dengan autis belajar mempergunakan
indranya secara efektif. Dalam terapi ini, anak ditempatkan dalam sebuah ruang khusus
yang dirancang untuk dapat merangsang dan melatih semua indranya. Anak autis dilatih
melalui sebuah permainan untuk melatih respon segera, insiatif dan adaptif.

Sedangkan ABA merupakan pendekatan ilmiah untuk mengevaluasi perilaku.


Terapi ini meliputi keahlian sosial, motorik, verbal, serta keterampilan penalaran. Ide
dasar ABA adalah menghilangkan atau mengganti perilaku yang tidak di inginkan
dengan perilaku baru yang diinginkan dari suatu pemicu yang sama. Alat yang biasa
digunakan dalam ABA antara lain pelatihan percobaan diskrit, respons pivotal,
pengajaran insidental, kefasihan, dan perilaku verbal. Setelah dilakukan terapi, anak
penyandang autis diharapkan bisa bergabung dengan anak-anak normal, baik dalam
aktifitas berinteraksi maupun bermain. Proses penggabungan penyandang autis dengan
anak normal inilah yang disebut inklusif. Atas dasar kaidah-kaidah diatas, maka
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus ini harus didukung oleh semua kalangan
masyarakat, terutama lingkungan keluarga dan sekitar.
Para autisme ini adalah karunia Tuhan yang harus diakui kehadirannya
sebagaimana layaknya manusia seutuhnya. Dan akhirnya, dengan diadakanya
pendidikan bagi autis ini, diharapkan para penyandang autis nantinya dapat bergaul dan
bergabung dengan lingkungan sebagai salah satu individu lengkap. “Sebelumnya, boleh
jadi mereka hanya menganggap segala perilaku yang ditampilkan anaknya itu: kalem,
unik, atau sensitif-atau . . . just a little different dari kawan-kawan sebayanya.

2. Tujuan Pendidikan Anak Autis


1. Tujuan Umum
Tujuan dasar pendidikan anak autis adalah mandiri dalam memenuhi kebutuhannya
sendiri/melakukan aktivitas mengurus diri sendiri.

2. Tujuan Khusus
a. Mengembangkan perilaku yang adaptif
b. Mengembangkan kemampuan komunikasi baik secara verbal dan non verbal
c. Mengembangkan kemampuan sosialisasi
d. Mengembangkan bakat dan minat anak

3. Tempat Pendidikan Anak Autis


Tempat pertama yaitu sekolah luar biasa. Orangtua merupakan penanggung
jawab utama pendidikan anaknya oleh karena itu orangtua anak autis harus berperan
aktif terhadap pengembangan kemampuan anak. Sekolah menjadi agen untuk
mendorong kemampuan anak dalam hal belajar akademik, komunikasi dan sosialisasi.
Masyarakat juga harus berperan aktif mendorong dengan menciptakan lingkungan yang
inklusif. Pelaksanaan pendidikan selain di rumah, dan di sekolah juga di masyarakat.
4. Prinsip-prinsip Pembelajaran Anak Autis
Prinsip-prinsip umum pembelajaran anak autis, meliputi :

a. Terstruktur
Materi pengajaran dimulai dari bahan ajar yang paling mudah dan yang dapat
dilakukan oleh anak. Setelah kemampuan tersebut dikuasai, selanjutnya ditingkatkan
ke bahan ajar yang setingkat diatasnya yang masih merupakan rangkaian yang tidak
terpisahkan dari materi sebelumnya. Struktur pengajarannya meliputi; struktur waktu,
struktur ruang, dan strutur kegiatan.

b. Terpola
Pada umumnya kegiatan anak autis terbentuk dari rutinitas yang terpola dan
terjadwal, mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali. Oleh karena itu, dalam
pendidikannya harus dikondisikan atau dibiasakan dengan pola yang teratur. Untuk
anak autis yang kemampuan kognitifnya telah berkembang, dapat dilatih dengan
memakai jadwal yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungannya, agar anak
dapat menerima perubahan dari rutinitas yang sudah berlaku agar menjadi lebih
fleksibel. Dengan demikian diharapkan anak autis akan menjadi lebih mudah menerima
perubahan, mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya (adaptif) dan dapat
berperilaku secara wajar (sesuai dengan tujuan pembelajarannya).

c. Terprogram
Dalam program materi pendidikannya harus dilakukan secara bertahap dan
berdasarkan pada kemampuan anak, sehingga target program pertama akan menjadi
dasar target program yang kedua, dan seterusnya. Prinsip dasar terprogram ini berguna
untuk memberi arahan dari tujuan yang ingin dicapai dan memudahkan dalam
melakukan evaluasi.

d. Konsisten
Konsisten artinya tetap dalam berbagai hal, ruang, dan waktu. Konsisten bagi
guru berarti tetap dalam bersikap, merespon dan memperlakukan anak sesuai dengan
karakter dan kemampuannya. Konsisten bagi anak artinya tetap dalam menguasai
kemampuan sesuai dengan stimulan yang muncul dalam ruang dan waktu yang
berbeda. Peran orang tua dituntut konsisten dalam pendidikan bagi anaknya, yakni
dengan bersikap dan memberikan perlakuan terhadap anak sesuai dengan program
pendidikan yang telah disusun bersama dengan gurunya.

e. Kontinyu
Pendidikan dan pengajaran bagi anak autis bersifat kontinyu, artinya
berkesinambungan antara prinsip dasar pengajaran, program pendidikan dan
pelaksanaannya. Kontinyu dalam pelaksanaan pendidikan tidak hanya di sekolah, tetapi
juga harus ditindak lanjuti di rumah dan lingkungan sekitar anak agar
berkesinambungan, simultan dan integral (menyeluruh dan terpadu).

5. Kurikulum Anak Autis


Pendidikan bagi anak penyandang autis tidak sama dengan anak biasa.
Kurikulum pendidikan yang disiapkan umumnya sangat individual.
Data yang dimiliki Departemen Pendidikan Nasional menyebutkan,
penyandang autis yang mengikuti pendidikan layanan khusus ternyata masuk lima
besar dari seluruh peserta sekolah khusus.
Di Indonesia, sekolah yang khusus menangani autis berjumlah 1.752 sekolah. Lima
besar provinsi yang paling banyak mendirikan sekolah autis adalah Jawa Barat
sebanyak 402 sekolah, Jawa Timur 263 sekolah, Daerah Istimewa Yogyakarta 131
sekolah. Kemudian diikuti Sumatera Barat dan DKI Jakarta yang masing-masing
memiliki 111 sekolah untuk penyandang autis.

Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Manajemen


Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Departemen Pendidikan Nasional
Eko Djatmiko Sukarso menyatakan, UU Sisdiknas No20 Tahun 2003 mengamanatkan
kepada pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan bagi semua masyarakat.
"Pemerintah mengakui dan melaksanakan pendidikan khusus (PK) dan pendidikan
layanan khusus (PLK) bagipenyandangautis," sebutnya.

Semua hal yang terkait dengan pembelajaran untuk anak-anak autis


berpedoman pada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Namun begitu, Eko
mengatakan, Diknas memberikan kebebasan kepada masing-masing sekolah untuk
menentukan kurikulum bagi penyandang autis. Ini disebabkan setiap sekolah memiliki
kebutuhan yang berbeda dalam mendidik penyandang autis.

Awal Psikolog dari sekolah khusus autis "Mandiga" di Jakarta, Dyah Puspita
menyatakan, kurikulum autis harus dibuat berbeda-beda untuk setiap individu.
Mengingat setiap anak autis memiliki kebutuhan berbeda. Ini sesuai dengan sifat autis
yang berspektrum. Misalnya ada anak yang butuh belajar komunikasi dengan intensif,
ada yang perlu belajar bagaimana mengurus dirinya sendiri dan ada juga yang hanya
perlu fokus pada masalah akademis.

Penentuan kurikulum yang tepat bagi tiap-tiap anak, Dini Yusuf, pendiri
homeschool untuk anak autis "Kubis" di Jakarta mengatakan, bergantung dari
assessment (penilaian) awal yang dilakukan tiap sekolah. Penilaian ini perlu dilakukan
sebelum sekolah menerima anak autis baru. Biasanya, penilaian melalui wawancara
terhadap kedua orangtuanya. Wawancara ini untuk mengetahui latar belakang,
hambatan, dan kondisi lingkungan sosial anak.

Selain itu, penilain awal ini juga melalui observasi langsung terhadap anak.
Lamanya penilaian awal ini, menurut Dini,berbeda-beda."Tetapi, dari sana, kami lalu
menentukan jenis terapi dan juga kurikulum yang tepat buat sang anak," ujarnya.
Biasanya, terapi ini akan digabungkan dengan bermain agar lebih menyenangkan bagi
anak autis.

Kepala Sekolah khusus autis, AGCA Centre Bekasi Ira Christiana, mengatakan,
sekolahnya memiliki berbagai macam bentuk terapi bagi penyandang autis. Di
antaranya, terapi terpadu, wicara, integritas, dan fisioterapi. "Terapi apa yang diberikan
tergantung dari kondisi anaknya," sebutnya.

Perlakuan terhadap penyandang autis di atas umur lima tahun berbeda dengan
penyandang autis di bawah umur lima tahun. Terapi penyandang autis di atas umur lima
tahun lebih kepada pengembangan bina diri agar bisa bersosialisasi dengan lingkungan
sekitar. "Ini wajib hukumnya karena mereka sudah waktunya untuk sekolah," ujar Ira.

Jika penyandang autis yang berumur di atas lima tahun belum bisa bersosialisasi
sama sekali, maka akan diberikan pelatihan tambahan yang mengarah kepada
peningkatan syaraf motorik kasar dan halus. Bagi penyandang yang sudah bisa
bersosialisasi, maka akan langsung ditempatkan di sekolah reguler, dengan catatan
mereka harus tetap mengikuti pelajaran tambahan di sekolah khusus penyandang autis.

Penyandang autis di bawah lima tahun diberikan terapi terpadu seperti terapi
perilaku dan wicara. Terapi perilaku bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan, meniru,
dan okupasi. Terapi wicara dimulai dengan melakukan hal-hal yang sederhana, seperti
meniup lilin, tisu, melafalkan huruf A,dan melafalkan konsonan.

Hal lain yang patut dicermati, menurut Ira, adalah konsistensi antara apa yang
dilakukan di sekolah dengan di rumah. Jika terdapat perbedaan yang
mencolok,kemajuan anak autis akan sulit dicapai. Anak mengalami kebingungan atas
apa yang ada pada lingkungannya. Untuk itu, diperlukan komunikasi intensif antara
sekolah dan orangtua.
Daftar Pustaka

https://123dok.com/article/tujuan-pendidikan-pendidikan-bagi-penyandang-autis.yrk066oz

https://lifestyle.okezone.com/read/2008/05/17/27/110062/kurikulum-khusus-penyandang-
autis

https://www.radarbangka.co.id/rubrik/detail/persepktif/7145/pendidikan-bagi-anak-autis.html

Anda mungkin juga menyukai