Anda di halaman 1dari 5

1

AKULTURASI BUDAYA LOKAL DAN ISLAM

Oleh: Asrul Haq Alang

Agama adalah pemberian Sang Pencipta untuk kemashlahatan manusia itu sendiri, yaitu

suatu pemberian Allah Swt kepada manusia untuk mengarahkan dan membimbing karya-karya

manusia agar bermanfaat, maju, mempunyai nilai positif dan mengangkat harkat manusia. Dalam

Islam umatnya selalu diajarkan untuk selalu beramal, berkarya dan menggunakan pikirannya

untuk mengolah alam ini menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan manusia.

Dalam menjalani kehidupan sehari-hari umat Islam selalu berpedoman kepada Al-Quran

dan Hadist, sementara al-Quran diturunkan pada masyarakat yang syarat nilai moral dan budaya,

bahkan memiliki budaya yang mapan. Dengan kata lain bahwa al-Quran tidak diturunkan kepada

masyarakat yang hampa budaya.

Budaya lokal yang hidup dan berkembang disuatu komunitas masyarakat tertentu

merupakan ekspresi akan hidup dan kehidupannya. Terkadang budaya lokal menjadi sebuah

media untuk mengungkapkan pandangan hidupnya, serta menjadi sumber inspirasi bagi tegaknya

kehidupan spiritual, moral dan sosial. Budaya juga menyentuh seluruh aspek dan dimensi cara

pandang, sikap hidup serta aktualisasinya dalam kehidupan manusia. Selain itu, gerakan kultural

lebih integratif.

Sementara itu, agama Islam merupakan pedoman dan acuan yang diwahyukan oleh Allah

Swt untuk menjadi petunjuk bagi manusia untuk menjalani kehidupannya. Agama juga menjadi

sumber nilai yang harus menjadi rujukan segala tindakan manusia sebagai pengabdiannya kepada

Allah Swt.

Dua proposisi di atas menunjukkan bahwa baik tradisi atau budaya maupun agama,

keduaanya memiliki fungsi yang mirip yaitu sama-sama menjadi pedoman dan acuan manusia

untuk menjalankan aktifitas kehidupannya, sebab keduanya diposisikan sebagai sumber


2

pengetahuan dan nilai-nilai tertentu demi kelangsungan hidupnya baik secara individu maupun

secara komunitas kolektif.

Islam sebagai agama yang universal melintasi batas waktu kadangkala bertemu dengan

budaya lokal yang berbeda-beda. Ketika Islam bertemu dengan budaya lokal, wajah Islam

berbeda dari satu tempat dengan yang lainnya. Namun demikian, dalam kenyataannya, tidak

semua masyarakat yang beragama yang sekaligus berbudaya lokal di berbagai belahan dunia

termasuk di Indonesia sepakat memposisikan budaya dan agama sebagai sesuatu yang dapat

bersinergi, sebab secara teoritik dan konseptual antara budaya dan agama memang dapat

dibedakan secara jelas.

Makna Budaya dan Islam

Kata budaya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijumpai beberapa makna yaitu;

pokoran, akal budi, adat istiadat dan sebagainya. Sementara dalam bahasa inggris budaya disebut

culture yang berasal dari kata latin celere yang berarti mengerjakan tanah, mengolah, memelihara

lading. Pengertian ini kemudian berkembang digunakan dalam hal-hal yang bersifat rohani.

Kebudayaan secara formal adalah suatu keseluruhan dari pola perilaku yang dikirimkan

melalui kehidupan sosial, seni, agama, kelembagaan dan segala hasil kerja dan pemikiran

manusia. Koentjaraningrat mengartikan budaya sebagai keseluruhan sistem kehidupan

masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar. Konsep kebudayaan

ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dengan kelompok-kelompok

masyarakat tertentu seperti adat atau cara hidup masyarakat.

Elli M. Setiadi menggolongkan wujud kebudayaan digolongkan dalam tiga wujud, yaitu;

Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, norma-norma, nilai, dan

peraturan; Wujud kebudayaan sebagai kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia

dalam masyarakat; Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Dari ketiga

wujud inilah dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah karsa (niat/ kehendak dan ide), kerja

dan karya.
3

Sementara Islam berarti penyerahan diri. Sehingga Islam mempunyai makna berserah diri

kepada Allah dalam perintah-Nya, larangan-Nya dan berita-Nya melalui jalan wahyu. Secara

spesifik Islam adalah sebutan untuk suatu agama, secara luas ia bermakna dan bersifat sakral

(transenden), sebab penamaannya berasal dari Allah Swt.

Islam sebagai agama memiliki seperangkat aturan yang dikenal dengan syariah. Dalam

konsepsi ulama Islam, syariah dibedakan dengan syariak makro dan syariah mikro. Syariah

makro adalah syariah yang mencakup segala aspek agama Islam yaitu aqidah, syariak praktis dan

akhlak. Islam seperti ini juga disebut dengan Islam kaffah. Adapun syariah mikro adalah syariah

yang diamalkan secara praktis yang dikenal sebagai fiqh Islam.

Akulturasi Islam dengan Budaya di Indonesia

Kuntowijoya berpendapat bahwa Islam adalah agama yang berkarakteristikkan universal,

dengan pandangan hidup mengenai persamaan, keadilan, takaful, kebebasan dan kehormatan

serta memiliki konsep teosentrisme yang humanistik sebagai nilai inti dari seluruh ajaran Islam,

dan karenanya menjadi tema peradaban Islam.

Pada saat yang sama, dalam menerjemahkan konsep-konsep langitnya ke bumi, Islam

mempunyai karakter dinamis, elastis dan akomodatif dengan budaya lokal, selama tidak

bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Permasalahannya terletak pada tata cara

dan teknis pelaksanaan. Inilah yang diistilahkan Gus Dur dengan pribumisasi Islam.

Upaya rekonsiliasi memang wajar antara agama dan budaya di Indonesia dan telah

dilakukan sejak lama serta bisa dilacak bukti-buktinya. Mesjid Demak adalah contoh konkrit dari

upaya rekonsiliasi atau akomodasi itu. Ranggon atau atap yang berlapis pada masa tersebut

diambil dari konsep 'Meru' dari masa pra Islam (Hindu-Budha) yang terdiri dari sembilan susun.

Sunan Kalijaga memotongnya menjadi tiga susun saja, hal ini melambangkan tiga tahap

keberagamaan seorang muslim: Iman, Islam dan Ihsan.

Hal ini berbeda dengan Kristen yang membuat gereja dengan arsitektur asing, arsitektur

Barat. Kasus ini memperlihatkan bahwa Islam lebih toleran terhadap budaya lokal. Budha masuk
4

ke Indonesia dengan membawa stupa, demikian juga Hindu. Islam, sementara itu tidak

memindahkan simbol-simbol budaya Islam Timur Tengah ke Indonesia. Hanya akhir-akhir ini

saja bentuk kubah disesuaikan. Dengan fakta ini, terbukti bahwa Islam tidak anti budaya. Semua

unsur budaya dapat disesuaikan dalam Islam. Pengaruh arsitektur India misalnya, sangat jelas

terlihat dalam bangunan-bangunan mesjidnya, demikian juga pengaruh arsitektur khas

mediterania. Budaya Islam memiliki begitu banyak varian.

Yang patut diamati pula, kebudayaan populer di Indonesia banyak sekali menyerap

konsep-konsep dan simbol-simbol Islam, sehingga seringkali tampak bahwa Islam muncul

sebagai sumber kebudayaan yang penting dalam kebudayaan populer di Indonesia.

Kuntowijoya mencontohkan kosakata bahasa Jawa maupun Melayu yang banyak

mengadopsi konsep-konsep Islam bahkan juga menyerap kata-kata atau istilah-istilah yang

berkenaan dengan ilmu pengetahuan. Istilah-istilah seperti wahyu, ilham atau wali misalnya,

adalah istilah-istilah pinjaman untuk mencakup konsep-konsep baru yang sebelumnya tidak

pernah dikenal dalam khazanah budaya populer.

Sebagian ulama/Wali dalam berdakwah juga menggunakan unsur-unsur lokal guna

mempercepat proses transformasi dan efektifitas karena gerakan kultural lebih integratif dan

massal sifatnya. Seperti metode dakwah Sunan Kalijaga dalam menyebarkan Islam di Tanah

Jawa.

Sunan Kalijaga begitu melihat proses keruntuhan feodalisme Majapahit dan digantikan

oleh egalitarianisme Islam, ia mendorong percepatan proses transformasi itu justru dengan

menggunakan unsur-unsur lokal guna menopang efektifitas segi teknis dan operasionalnya. Salah

satu yang ia gunakan adalah wayang, juga gamelan yang dalam gabungannya dengan unsur-unsur

upacara Islam populer adalah menghasilkan tradisi sekatenan di pusat-pusat kekuasaan Islam

seperti Cirebon, Demak, Yogyakarta dan Surakarta.

Dalam hal penggunaan istilah-istilah yang diadopsi dari Islam, tentunya perlu

membedakan mana yang Arabisasi, mana yang Islamisasi. Penggunaan dan sosialisasi terma-
5

terma Islam sebagai manifestasi simbolik dari Islam tetap penting dan signifikan. Begitu juga

penggunaan term shalat sebagai ganti dari sembahyang (berasal dari kata 'nyembah sang Hyang')

adalah proses Islamisasi bukannya Arabisasi. Makna substansial dari shalat mencakup dimensi

individual-komunal dan dimensi peribumisasi nilai-nilai substansial ini ke alam nyata. Kiranya

kurang tepat juga jika mengganti salam Islam Assalamu'alaikum dengan "Selamat Pagi, Siang,

Sore ataupun Malam". Sebab esensi doa dan penghormatan yang terkandung dalam salam tidak

terdapat dalam ucapan "Selamat Pagi" yang cenderung basa-basi, selain salam itu sendiri

memang dianjurkan oleh Allah Swt dan Rasul-Nya.

Wallahu A’lam bi As-Shawwab

Anda mungkin juga menyukai