Agama adalah pemberian Sang Pencipta untuk kemashlahatan manusia itu sendiri, yaitu
suatu pemberian Allah Swt kepada manusia untuk mengarahkan dan membimbing karya-karya
manusia agar bermanfaat, maju, mempunyai nilai positif dan mengangkat harkat manusia. Dalam
Islam umatnya selalu diajarkan untuk selalu beramal, berkarya dan menggunakan pikirannya
untuk mengolah alam ini menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan manusia.
Dalam menjalani kehidupan sehari-hari umat Islam selalu berpedoman kepada Al-Quran
dan Hadist, sementara al-Quran diturunkan pada masyarakat yang syarat nilai moral dan budaya,
bahkan memiliki budaya yang mapan. Dengan kata lain bahwa al-Quran tidak diturunkan kepada
Budaya lokal yang hidup dan berkembang disuatu komunitas masyarakat tertentu
merupakan ekspresi akan hidup dan kehidupannya. Terkadang budaya lokal menjadi sebuah
media untuk mengungkapkan pandangan hidupnya, serta menjadi sumber inspirasi bagi tegaknya
kehidupan spiritual, moral dan sosial. Budaya juga menyentuh seluruh aspek dan dimensi cara
pandang, sikap hidup serta aktualisasinya dalam kehidupan manusia. Selain itu, gerakan kultural
lebih integratif.
Sementara itu, agama Islam merupakan pedoman dan acuan yang diwahyukan oleh Allah
Swt untuk menjadi petunjuk bagi manusia untuk menjalani kehidupannya. Agama juga menjadi
sumber nilai yang harus menjadi rujukan segala tindakan manusia sebagai pengabdiannya kepada
Allah Swt.
Dua proposisi di atas menunjukkan bahwa baik tradisi atau budaya maupun agama,
keduaanya memiliki fungsi yang mirip yaitu sama-sama menjadi pedoman dan acuan manusia
pengetahuan dan nilai-nilai tertentu demi kelangsungan hidupnya baik secara individu maupun
Islam sebagai agama yang universal melintasi batas waktu kadangkala bertemu dengan
budaya lokal yang berbeda-beda. Ketika Islam bertemu dengan budaya lokal, wajah Islam
berbeda dari satu tempat dengan yang lainnya. Namun demikian, dalam kenyataannya, tidak
semua masyarakat yang beragama yang sekaligus berbudaya lokal di berbagai belahan dunia
termasuk di Indonesia sepakat memposisikan budaya dan agama sebagai sesuatu yang dapat
bersinergi, sebab secara teoritik dan konseptual antara budaya dan agama memang dapat
Kata budaya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijumpai beberapa makna yaitu;
pokoran, akal budi, adat istiadat dan sebagainya. Sementara dalam bahasa inggris budaya disebut
culture yang berasal dari kata latin celere yang berarti mengerjakan tanah, mengolah, memelihara
lading. Pengertian ini kemudian berkembang digunakan dalam hal-hal yang bersifat rohani.
Kebudayaan secara formal adalah suatu keseluruhan dari pola perilaku yang dikirimkan
melalui kehidupan sosial, seni, agama, kelembagaan dan segala hasil kerja dan pemikiran
masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar. Konsep kebudayaan
ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dengan kelompok-kelompok
Elli M. Setiadi menggolongkan wujud kebudayaan digolongkan dalam tiga wujud, yaitu;
Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, norma-norma, nilai, dan
peraturan; Wujud kebudayaan sebagai kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia
dalam masyarakat; Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Dari ketiga
wujud inilah dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah karsa (niat/ kehendak dan ide), kerja
dan karya.
3
Sementara Islam berarti penyerahan diri. Sehingga Islam mempunyai makna berserah diri
kepada Allah dalam perintah-Nya, larangan-Nya dan berita-Nya melalui jalan wahyu. Secara
spesifik Islam adalah sebutan untuk suatu agama, secara luas ia bermakna dan bersifat sakral
Islam sebagai agama memiliki seperangkat aturan yang dikenal dengan syariah. Dalam
konsepsi ulama Islam, syariah dibedakan dengan syariak makro dan syariah mikro. Syariah
makro adalah syariah yang mencakup segala aspek agama Islam yaitu aqidah, syariak praktis dan
akhlak. Islam seperti ini juga disebut dengan Islam kaffah. Adapun syariah mikro adalah syariah
dengan pandangan hidup mengenai persamaan, keadilan, takaful, kebebasan dan kehormatan
serta memiliki konsep teosentrisme yang humanistik sebagai nilai inti dari seluruh ajaran Islam,
Pada saat yang sama, dalam menerjemahkan konsep-konsep langitnya ke bumi, Islam
mempunyai karakter dinamis, elastis dan akomodatif dengan budaya lokal, selama tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Permasalahannya terletak pada tata cara
dan teknis pelaksanaan. Inilah yang diistilahkan Gus Dur dengan pribumisasi Islam.
Upaya rekonsiliasi memang wajar antara agama dan budaya di Indonesia dan telah
dilakukan sejak lama serta bisa dilacak bukti-buktinya. Mesjid Demak adalah contoh konkrit dari
upaya rekonsiliasi atau akomodasi itu. Ranggon atau atap yang berlapis pada masa tersebut
diambil dari konsep 'Meru' dari masa pra Islam (Hindu-Budha) yang terdiri dari sembilan susun.
Sunan Kalijaga memotongnya menjadi tiga susun saja, hal ini melambangkan tiga tahap
Hal ini berbeda dengan Kristen yang membuat gereja dengan arsitektur asing, arsitektur
Barat. Kasus ini memperlihatkan bahwa Islam lebih toleran terhadap budaya lokal. Budha masuk
4
ke Indonesia dengan membawa stupa, demikian juga Hindu. Islam, sementara itu tidak
memindahkan simbol-simbol budaya Islam Timur Tengah ke Indonesia. Hanya akhir-akhir ini
saja bentuk kubah disesuaikan. Dengan fakta ini, terbukti bahwa Islam tidak anti budaya. Semua
unsur budaya dapat disesuaikan dalam Islam. Pengaruh arsitektur India misalnya, sangat jelas
Yang patut diamati pula, kebudayaan populer di Indonesia banyak sekali menyerap
konsep-konsep dan simbol-simbol Islam, sehingga seringkali tampak bahwa Islam muncul
mengadopsi konsep-konsep Islam bahkan juga menyerap kata-kata atau istilah-istilah yang
berkenaan dengan ilmu pengetahuan. Istilah-istilah seperti wahyu, ilham atau wali misalnya,
adalah istilah-istilah pinjaman untuk mencakup konsep-konsep baru yang sebelumnya tidak
mempercepat proses transformasi dan efektifitas karena gerakan kultural lebih integratif dan
massal sifatnya. Seperti metode dakwah Sunan Kalijaga dalam menyebarkan Islam di Tanah
Jawa.
Sunan Kalijaga begitu melihat proses keruntuhan feodalisme Majapahit dan digantikan
oleh egalitarianisme Islam, ia mendorong percepatan proses transformasi itu justru dengan
menggunakan unsur-unsur lokal guna menopang efektifitas segi teknis dan operasionalnya. Salah
satu yang ia gunakan adalah wayang, juga gamelan yang dalam gabungannya dengan unsur-unsur
upacara Islam populer adalah menghasilkan tradisi sekatenan di pusat-pusat kekuasaan Islam
Dalam hal penggunaan istilah-istilah yang diadopsi dari Islam, tentunya perlu
membedakan mana yang Arabisasi, mana yang Islamisasi. Penggunaan dan sosialisasi terma-
5
terma Islam sebagai manifestasi simbolik dari Islam tetap penting dan signifikan. Begitu juga
penggunaan term shalat sebagai ganti dari sembahyang (berasal dari kata 'nyembah sang Hyang')
adalah proses Islamisasi bukannya Arabisasi. Makna substansial dari shalat mencakup dimensi
individual-komunal dan dimensi peribumisasi nilai-nilai substansial ini ke alam nyata. Kiranya
kurang tepat juga jika mengganti salam Islam Assalamu'alaikum dengan "Selamat Pagi, Siang,
Sore ataupun Malam". Sebab esensi doa dan penghormatan yang terkandung dalam salam tidak
terdapat dalam ucapan "Selamat Pagi" yang cenderung basa-basi, selain salam itu sendiri