Mungkin akan muncul perdebatan terkait definisi pahlawan. Antara mereka yang secara harfiah
merupakan pahlawan yang tercatat dianugerahi sebagai pahlawan nasional, atau menggunakan
makna subjektif tiap orang tentang siapa yang menjadi pahlawan baginya. Akan sangat sempit
jika mendefinisikan pahlawan berdasarkan tolak ukur Pahlawan Nasional yang 168 jumlahnya.
Pun akan terlalu luas jika pahlawan didefinisikan berdasarkan definisi subjektif setiap orang.
Secara etimologis, kata Pahlawan berasal dari bahasa Sansekerta yakni Phala berarti buah
dan Wan berarti Orang, artinya adalah seseorang yang menghasilkan buah atau karya. Sementara
menurut KBBI, Pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberaniannya dan
pengorbanannya dalam membela kebenaran, atau pejuang yang gagah berani. Memang terkesan
normatif, tapi setidaknya memberikan sebuah tolak ukur bahwa Pahlawan adalah mereka yang
berkorban dan berkarya untuk bangsa.
Dan setiap generasi dan jaman selalu memunculkan orang-orang yang berkorban dan berkarya
untuk bangsa. Agar lebih objektif melihat siapa Pahlawan, nama mereka terukir oleh sejarah dan
bergema sampai kepada kita hingga hari ini. Mereka adalah aktor-aktor kunci dalam momentum
penting perjalanan bangsa ini. Dan kita membaca nama-nama mereka berjasa di setiap masanya,
ketika muda ataupun di usia paruh bayanya.
Lalu yang terpenting terkait pahlawan bukanlah tentang seremonial belaka, namun lebih kepada
memastikan akan terus hadir para pahlawan di setiap generasi dan jamannya. Kita tidak dapat
membayangkan sebuah jaman tanpa orang yang berkorban dan berkarya untuk Indonesia. Bisa
jadi Indonesia akan masuk ke dalam daftar negara gagal jika tak ada lagi mereka yang mau
mengambil peran. Maka menelusuri bagaimana seorang pahlawan disemai, ditempa dan pada
akhirnya dilahirkan menjadi sangat penting.
Jika ditarik terlalu jauh bisa jadi akan sulit menarik benang merahnya, maka perlu dibatasi
sampai tahap mana kita akan melihat bagaimana pahlawan ditempa dan dilahirkan. Jika merujuk
pada Kuntowijoyo (2005) terkait periodesasi sejarah Indonesia, masa-masa krusial tanpa
mengesampingkan masa sebelumnya, diawali di masa kolonial. Di masa kolonial banyak
bermunculan mereka yang mengorbankan jiwa raga dan berjuang untuk meraih kemerdekaan.
Di masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, kampus dan mahasiswa masih
memainkan peranan penting. Seperti pada tahun 1971 muncul gerakan Golongan Putih untuk
memboikot sistem pemilu yang dianggap tidak demokratis dipelopori oleh Arif Budiman, Adnan
Buyung Nasution dkk. Setelah itu pun muncul sebuah gerakan protes anti asing yang berujung
pada kerusuhan yang disebut Malapetaka Lima Belas Januar (MALARI) pada tahun 1974 yang
dawali oleh Hariman Siregar dkk. Meski setelah itu gerakan mahasiswa cukup dibungkam oleh
pemerintahan Soeharto namun tetap banyak terjadi “letupan-letupan” oleh mahasiswa meski
kecil. Dan “letupan-letupan” itu meledak pada Mei 1998 dengan didudukinya gedung DPR/MPR
menuntut Reformasi dilengserkannya Soeharto.
Sejak sebelum orde baru dan permulaan reformasi, para “pahlawan” lahir dari basis kampus.
Mereka adalah mahasiswa-mahasiswa yang memilih jalan intelektual dengan mencerdaskan dan
menggerakkan massa untuk melakukan perubahan.
Masa Millenial
Pasca reformasi, cenderung stagnansi yang terjadi. Tidak ada nama-nama besar yang muncul
seperti era-era sebelumnya. Basis-basis lahirnya para pahlawan seperti basis kedaerahan, basis
organisasi hingga basis pergerakan mahasiswa menjadi tak lagi relevan. Mahasiswa, yang
diharapkan menjadi tumpuan bangsa tidak lagi seheroik dahulu. Menurut survey yang dilakukan
oleh BEM UNAIR 2015 yang terdiri dari 952 Responden Mahasiswa UNAIR, jumlah
mahasiswa yang masih berminat pada organisasi atau gerakan mahasiswa hanya sejumlah
37,99% Diikuti dengan mahasiswa yang lebih memilih menghabiskan waktunya bersenang-
senang sejumlah 29,52%, lalu mahasiswa pebisnis 19,91%, mahasiswa akademisi yang senang
mengikuti berbagai kompetisi 17,23% dan terakhir lebih memilih apatis sejumlah 5,36%.
Jika merujuk pada teori generasi William Strauss dan Neil Howe (2000), generasi muda hari ini
disebut sebagai generasi millenial. Yakni mereka yang lahir dalam rentang tahun 1990 hingga
tahun 2000. Mereka cenderung bersifat independen dan tidak mau terikat. Hal ini diikuti pula
dengan pola komunikasi yang terbuka, reaktif dan mencari eksistensi diri. Sifat-sifat ini tidak
lepas dari perkembangan teknologi yang membuat mereka tidak bisa lepas dari Gadget, Internet
dan Media Sosial. Generasi Millenial cenderung memiliki konsep sendiri tentang berbagai hal
karena arus informasi yang deras di internet dapat mereka akses kapanpun.
Maka tak heran jika para Millenials merasa apa yang terjadi di masa lalu sudah tidak relevan.
Mereka percaya diri dengan apa yang mereka miliki dan lakukan hari ini. Sementara menurut
berbagai data diantarnya dari McKinsey and Company jumlah Millenials hari ini diseluruh dunia
mencapai 2,3 Milyar. Dan akan semakin bertambah dan menjadi mayoritas di tahun 2030. Lantas
kembali ke poin penting diawal, jika tak banyak diantara mereka yang mau menjadi pahlawan,
kepada siapa kita berharap? Lalu bagaimana menghadirkan pahlawan dari generasi millenial?,
Bagaimana membentuk mereka yang rela berkorban dan berkarya untuk bangsa ketika generasi
muda cenderung mengejar ego dan esksistensi dirinya masing-masing? Pertanyaan ini mungkin
akan terjawab oleh waktu.