Anda di halaman 1dari 13

REVIEW

TEORI KESEJAHTERAAN SOSIAL DASAR


KELAS B

Dimensi Makro (2)


Konservatisme modern, Social Democracy dan Radikalisme Baru dalam Negara
Kesejahteraan ​(Social Policy and Social Administration Approach)

KELOMPOK 5
Adinda Rizkia Putri - 1906363316
Athiya Raihana - 1906395740
Gian Aptha Prakosa - 1906363184
Teuku Muhammad Rizha - 1906395822
Shifa Damayanti - 1906395835

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
Pengenalan
Tidak seluruh paham kiri memiliki sifat radikal karena masih ada yang menganut
konservatisme dan demokrasi sosial. Pada tahun 1960an, para penganut aliran kiri terpecah
menjadi beberapa paham seperti politik identitas atau politik pragmatis. Pada paham yang
pertama, lingkungan sosial terdiri dari hasrat manusia dan sumber lainnya, di mana
ketidaksetaraan sosial adalah ketidakmampuan suatu masyarakat untuk mengatur ulang
sumber ke dalam bentuk-bentuk yang dapat dibagikan kepada seluruh orang. Materialisme
lainnya selalu mendeskripsikan diri sebagai sosialis. Selain itu, banyak penganut kiri yang
berargumen dalam membedakan hubungan dan kesengajaan.

Egalitarianisme
Egalitarianisme adalah suatu pola pikir di mana semua orang dianggap sama dan
diperlakukan setara pada bidang ekonomi, agama, sosial, dan budaya. Walau memiliki tujuan
kesetaraan sosial tidak lagi menjadi ketertarikan berbagai partai politik, kesetaraan ini
merupakan tujuan utama dari paham kiri. Di sini, kami akan membahas beberapa konsep
yang saling melengkapi dan mempengaruhi teori egalitarianisme.

● Kelas
Teori tentang kelas sosial diperkenalkan oleh Karl Marx. Marxisme mendasarkan konsepnya
bahwa siapapun yang kaya telah mencuri hak dari orang lain karena distribusi yang tidak
setara, kemudian sistem dan institusi sosial juga harus memahami manifestasi ketidaksetaraan
kelas dan reproduksi yang dihasilkan. Penganut Marxisme juga kesulitan dalam menjelaskan
kesetaraan pada komunisme, di mana masyarakat setelah kelas dan kelangkaan merupakan
hasil dari hubungan sosial yang tidak diatur oleh negara. Para penganut Marxisme juga
menghadapi perubahan dari perjuangan kelas yang telah termasuk pada ketahanan radikal,
serta fakta bahwa Marxisme masih membutuhkan dasar teori yang telah menjadi isu setelah
dua abad karena tuduhan eksploitasi kapitalisme.

● Pasar
Perdebatan antara tradisi demokrasi sosial dan kesetaraan liberal telah muncul dari tahun
1980an, saat muncul perhatian pada sosialisme pasar di mana sosialisme harus berdasar pada
pertukaran pasar, bukan perencanaan pusat. Karena pasar kapitalis berbasis pada kepemilikan
modal dan keuntungan pasar sosialis berdasarkan pada konteks institusi dan pembentukan
kriteria lainnya. Sosialisme pasar mengajukan banding pada penganut liberal karena memiliki
konteks kebebasan individu dan pengambilan keputusan yang terpusat. Sosialisme pasar juga
membutuhkan dana dari negara karena masalah pengangguran dan pendapatan rendah. Kritik
dari sosialisme pasar adalah konsep ini tidak realistis dan kaum kiri juga menetapkan anarki
dan pemborosan hanya dapat diselesaikan melalui perencanaan demokratik dan
desentralisasi. Kaum kanan juga setuju bahwa sosialisme pasar hanya akan ​collapse ​ke
kapitalisme karena yang terjadi jika modal yang dimiliki umum dan bank memutuskan untuk
memiliki badan swasta.

● Sumber daya
Egalitarianisme dari sumber produktif menjadi kritik yang memiliki respon yaitu tradisi
demokrasi sosial. Salah satu usaha untuk menawarkan demokrasi sosial yang radikal adalah
konsep bahwa ketidaksetaraan menghalangi ekonomi dan produktivitas. Namun redistribusi
dari aset tidak akan memberikan pengaruh karena semua orang yang memiliki peran di
ekonomi sehingga meningkatkan produktivitas orang tersebut akan meningkatkan ekonomi
dan tanpa merusak rasa kompetitif. Egalitarianisme aset dapat membawa banding pada
demokrasi sosial dan sosialis karena implikasi mengenai ketidaksetaraan dan sosialisasi dari
ekonomi. Jika aset tersebut merupakan kekayaan maka sosialisasi dapat dilakukan, tetapi jika
hal lain seperti pendidikan, maka banding radikal dapat lebih memungkinkan. Pada akhirnya,
disimpulkan bahwa egalitarianisme harus berdasar pada kepemilikan diri yang hanya separuh
di mana penggunaan individu dan kontrol terhadap dirinya itu tidak penuh sehingga orang
lain memiliki pengaruh pada hak terhadap diri. Jika argumen ini diterima makan
libertarianisme kiri gagal menjadi pendekatan yang dapat selalu diterapkan.

● Kebebasan
Egalitarianisme memiliki kekhawatiran karena kesetaraan dapat bertentangan dengan
kebebasan individu. Menurut para penganut egalitarianisme kiri, individu adalah pemilik
penuh dari diri sendiri dan pelanggaran akan hal tersebut adalah suatu ketidakadilan sehingga
kesetaraan tidak boleh memaksakan sesuatu yang bukan merupakan keinginan pribadi.
Mereka menyatukan pemikiran tersebut dengan premis kedua bahwa sumber daya alami
seharusnya menjadi kepemilikan bersama yang digunakan untuk kebaikan seluruh
masyarakat secara setara. Jadi para Libertarianisme kiri setuju bahwa seluruh individu
memiliki kepemilikian dirinya sendiri tetapi dalam sistem egalitariansme dari kepemilikan
properti

● Desert and Luck​ (Gurun dan Keberuntungan)


Pandangan Sosialis dianggap tidak rasional karena menganggap semua orang sama.
Pendukung Kiri (Liberal) menyampaikan bahwa sesungguhnya “penghargaan” harus
proporsional sesuai dengan usahanya (Kymlicka,2002: 178-87). Dalam materi ini, dikenal
konsep gurun / ​desert yang dapat didefinisikan sebagai kondisi dimana keadilan dianggap
sebagai hasil dari hubungan timbal-balik. Hal ini berarti bagi mereka yang tidak berusaha
(juga karena kondisi) akan disingkirkan dari keadilan. Ini yang dinamakan kondisi gurun
(​desert)​ . Solusi dari kondisi gurun (​desert) i​ ni yaitu pendekatan egaliter. Dalam prakteknya,
pendekatan egaliter membuat prinsip dimana yang memiliki keadaan, warisan, dan
keberuntungan (ekonomi yang baik) mendapat kewajiban pajak yang tinggi. Hal ini
dikecualikan bagi orang-orang berekonomi baik namun berperan menjadi tulang punggung
keluarga dengan beban keluarga yang banyak akan mendapat keringanan. Banyak orang yang
dalam kondisi tidak memiliki banyak pilihan karena keadaan mereka. Ketidakadilan yang
terjadi dapat dihasilkan dari lingkungan sosial mereka yang nantinya akan membentuk
pandangan mereka. Konstruksi sosial membentuk masyarakat kini sehingga tipe-tipe sosial
yang terbentuk menentukan “keadaan” dan “pilihan” seseorang. Dengan melihat keadaan ini,
kebijakan sosial dan ekonomi yang dibuat harus bisa mengelola pemerataan sumber daya
bagi masyarakat miskin.

● Respect and Sufficiency (​Rasa Hormat dan Kecukupan)


Anderson (1999) mengatakan bahwa adanya program bantuan dianggap merendahkan
kelompok penerima dan melabeli nya sebagai kelompok inferior sehingga program ini
cenderung tidak diterima. Harus diperhatikan bahwa semua masyarakat harus dihormati
begitu pula dengan kelompok miskin. Di sini dikenal dengan istilah “kesetaraan
demokratis/​Equality Democratic” y​ ang merujuk pada upaya penghapusan ketimpangan
hirarki yang menindas dengan menjunjung nilai keadilan moral. Salah satu tujuan kesetaraan
demokratis ini adalah kecukupan. Menurut Anderson, prinsip kecukupan ini adalah kondisi
dimana semua pemerataan sumber daya berhasil diselenggarakan sehingga masyarakat dapat
mencapai kondisi kecukupan. Namun, terdapat kritik pada prinsip kecukupan ini. Prinsip ini
menghambat orang-orang yang bisa meningkatkan potensi mereka karena dalam prinsip ini
masyarakat harus mendapat kesejahteraan dengan porsi yang sama. Bagi orang yang berada
dibawah kesejahteraan nya akan sangat terbantu dengan prinsip ini tanpa mereka harus
melakukan usaha yang berarti. Arneson berpendapat bahwa prinsip kecukupan ini akan
mengabaikan potensi mereka sehingga akan menghambat gerakan reformasi sosial

● Priority​ (Prioritas)
Menurut Parfit (2001) bahwa yang harus menjadi prioritas bukanlah kesetaraan
(​equality namun adalah keadilan (​justice​) dimana upaya yang dilakukan adalah memperbaiki
kondisi orang yang miskin namun ini juga akan membutuhkan kontribusi gagasan distribusi
egaliter. Praktek distribusi sumber daya dari orang berkecukupan kepada orang yang miskin.
Praktek ini bersifat prioritas (karena memperbaiki keadaan orang miskin) dan bersifat egaliter
(karena memperkecil ruang kesenjangan di antara keduanya). Namun, egaliter rentan untuk
merendahkan orang yang berada di posisi bawah absolut. Parfit menuntut perbedaan yang
jelas antara upaya kesetaraan posisi relatif dan upaya perbaikan masalah absolut bagi
masyarakat miskin.

Ambil empat skenario distributif pada gambar di atas, sumbu horizontal mewakili
waktu, vertikal kombinasi pendapatan dan kekayaan dan garis putus-putus merupakan
lintasan kuintil atas dan bawah.

1. bersifat egaliter dan prioritas karena posisi absolut dasar meningkat dan jarak antara
bawah dan atas menyempit.
2. bersifat prioritas tetapi tidak egaliter karena meskipun posisi absolut dasar
meningkatkan jarak relatif melebar.
3. tidak egaliter atau prioritas
4. egaliter tetapi tidak prioritas

Sekarang, apakah kita egaliter atau skenario prioritas (3) dihilangkan sebagai pilihan
yang diinginkan dan, jika kita berdua, maka skenario (1) tampaknya yang paling diinginkan.
Kesulitan muncul dalam memutuskan antara (2) dan (4).

Ada dua pertanyaan kunci yang belum terjawab. Pertama, dapatkah kita memisahkan
prioritas dari kesetaraan sebanyak yang diinginkan Parfit? Kedua, meskipun dia
memperkenalkan kembali prioritas dengan kesetaraan, dapatkah 'posisi absolut' dipisahkan
dari 'posisi relatif' sebanyak yang dibayangkan Arneson? Dengan kata lain, haruskah
menghindari leveling down (baik dalam skenario (4) atau (5)) selalu dianggap sebagai
kendala samping atas apa yang harus dan tidak boleh kita lakukan? Tidaklah berlawanan
dengan intuisi untuk mengatakan bahwa kesejahteraan subjektif terkadang dapat meningkat
bahkan ketika kesejahteraan objektif atau absolut menurun.

Discourse
Untuk mempelajari perdebatan ini, mulai dengan membedakan antara realis dan
post-strukturalis. Kaum realis bersikeras bahwa bahasa adalah refleksi tingkat kedua dari
substrat material yang wacana tidak akan pernah dapat menembus atau membentuk
sepenuhnya; Pasca-strukturalis percaya bahwa ketika kita berbicara tentang 'dunia' yang kita
maksud adalah tidak lebih dari produksi makna melalui interaksi diskursif dan konteks
budaya. Di sini, para realis dan post-strukturalis dapat menggantikan apa yang sebelumnya
saya sebut sebagai materialis dan kulturalis. Ini tidak diragukan lagi untuk mengulangi
kesalahan yang selalu dikeluhkan oleh yang terakhir. Namun ia menangkap salah satu dari
banyak garis kesalahan di Kiri kontemporer yang, untuk semua implikasinya bagi teori dan
reformasi sosial, tidak dapat diabaikan. Dua aliran pemikiran baru-baru ini menggambarkan
apa yang dipertaruhkan di sini. Keduanya terinspirasi oleh post-strukturalisme tetapi uraian
berikut akan menunjukkan mengapa kritik realis terhadap mereka tetap meyakinkan bagi
banyak orang.

● Governmentality
Literatur pemerintahan (Dean, 1999, 2003; Rose, 1999a, 1999b) mengacu pada
Foucault secara khusus dan menegaskan bahwa 'pemerintahan', atau perilaku perilaku, adalah
rasionalitas yang menjenuhkan sosial dan mendiami diri, daripada eksternal untuk itu. Praktik
kalkulasi, kategorisasi, dan partisi bukan hanya sarana mengatur objek, tetapi sarana yang
digunakan objek baru untuk mengatur.

Perkembangan sistem kesejahteraan modern dapat dilihat sebagai penahanan diskursif


yang berkelanjutan dari 'kelompok bermasalah' dan sebagai konsolidasi subjek kesejahteraan
yang kebebasannya majukan melalui kolektivisme asuransi sosial, pekerjaan yang stabil,
pekerjaan sosial dan semua bentuk ketentuan wajib dari “ayunan ke liang kubur” (Garland,
2001a).

Lain halnya dengan literatur dari pemerintah yang terlihat memberikan pandangan baru
yang menarik namun tidak ada kejelasan bahwa hal ini adalah sebuah kritikan atau solusi
terhadap konservatis. Jadi, meskipun mereka mengarahkan perhatian kita pada tata kelola
subjektivitas dan mikro-sosial, para ahli teori pemerintahan menyerupai koresponden asing
yang tidak mau campur tangan pada tingkat yang lebih tinggi dalam peristiwa yang mereka
laporkan. Perdebatan pemerintahan menawarkan wawasan yang berguna tentang cara-cara di
mana sistem modern memberdayakan dan melemahkan namun tidak jelas dari situ mengapa
kita harus menganggap ketidakberdayaan sebagai masalah moral dan sosial.

● Post-Marxisme

Post-Marxisme merupakan turunan dari marxisme dan post kulturalisme dengan bentuk
demokrasi yang plural dan tolakan terhadap universalisme teori kritis. Pemahaman mengenai
hal ini merupakan bentuk dari modifikasi pemahaman marxisme yang sudah kadaluarsa
seperti leninisme dan maoisme. Pemahamannya sudah berubah dari yang awalnya perjuangan
digambarkan sebagai kepentingan dan identitas kelas sosial, menjadi sebuah sarana untuk
diakui oleh orang lain dalam proses-proses sosial. Pemaknaan mengenai hidup sosial disini
didasarkan pada sistem yang selalu berubah-ubah dalam masyarakat. Secara teori, disini
pemikiran Marx ditempatkan dengan baik untuk berteori pluralitas konflik. Karena itu,
pasca-Marxisme menyerukan radikalisasi demokrasi di mana sosial selalu dibuka kembali
untuk dirinya sendiri, tetapi tanpa impian utopis tentang finalitas dan totalitas. Terdapat
pendapat bahwa post-marxisme muncul setelah terjadinya peristiwa seperti jatuhnya Uni
Soviet, Apharteid, munculnya terorisme, dll. Oleh karena itu, ini merupakan alternatif dari
mimpi kesatuan final yang telah lama dihantui umat manusia: upaya untuk membawa Tuhan
dan pengganti Tuhan turun ke bumi, mimpi kemutlakan dan totalitas yang melaluinya
fundamentalisme (baik agama atau sekuler) dibangun. Disamping itu post-marxisme
dianggap sebagai relativisme dan kenaifan politik yang merupakan parasit pada ideologi yang
diadopsi sebelumnya.

Di samping kritik-kritik tadi, post-marxisme memiliki pengaruh dalam penelitian


mengenai kebijakan sosial. Pada perkembangannya, ini digunakan oleh negara kesejahteraan
untuk memahami perubahan, dilema, dan strategi terkini. Hal ini ditujukan pada fokus
pemerintah pada agen rasional atau perjuangan kelas.

Feminisme

Persepktif ini merupakan solusi dari konflik antara realisme dan post-structuralist yang
menggunakan kulturalis dan materialis yang berupa inovasi berdasarkan perdebatan feminis.

● Maskulinitas

Pada pandangan ini dilihat bahwa, feminisme adalah penyebab dari tertindasnya laki-laki
dan maskulinitas kepada memicunya masalah-masalah yang menggumuli laki-laki. Sehingga
peran dan karakter mereka yang sudah ada pada masa lalu yang agresif dan dominan menjadi
hilang dan demoralisasi adalah akibat lain dari semakin tingginya permintaan atas kesetaraan.
Dari hal ini maka muncul krisis maskulinitas ini yang dianggap sebuah masalah. Namun
Susan Faludi menganggap bahwa feminisme bukan merupakan penyebab utama dari hal ini.
Sebenarnya krisis ini disebabkan oleh ekonomi yang lebih sedikit digunakan daripada
sebelumnya untuk keterampilan yang secara tradisional dikaitkan dengan laki-laki, ke pasar
konsumen yang sekarang menjadikan laki-laki pada ketidakamanan yang dikomodifikasi
yang sama dengan perempuan, dan budaya di mana banyak laki-laki menganggap kesetaraan
gender sebagai ancaman, bukan peluang. Sehingga ini dapat dikatakan seperti dispensasi
yang cukup istimewa seperti cuti khusus dengan gaji yang tetap terhadap kaum wanita
layaknya pada mereka yang bekerja. Dari konflik yang muncul atas hal ini, Faludi
menyarankan bahwa yang dibutuhkan keduanya lebih dari sekadar persamaan dan cara baru
untuk menggambarkan diri mereka sendiri dalam istilah orang lain. Yang paling penting di
sini adalah konsep kepedulian karena dapat diklaim bahwa demoralisasi diri dan masyarakat
disebabkan oleh kepedulian yang dikalahkan oleh ideologi produktivitas di mana pekerjaan
terus diidentikkan dengan pekerjaan.

● Care
Literatur tentang perawatan sekarang sangat luas karena implikasinya yang cukup besar bagi
pemahaman kita tentang kewarganegaraan, pekerjaan, ketergantungan dan kesetaraan
(misalnya Tronto, 1993; Sevenhuijsen, 1998; F. Williams, 2001; Noddings, 2002; Lister,
2003a). Feminis membuat beberapa klaim tentang perawatan:
• Perawatan adalah bentuk pekerjaan yang berharga bahkan ketika tidak dibayar
• Sebagian besar pekerjaan yang dibayar rendah dan pekerjaan yang tidak dibayar cenderung
diremehkan
• Ini karena pekerjaan merawat sebagian besar dilakukan oleh perempuan sehingga statusnya
yang rendah mencerminkan asumsi patriarki tentang kegunaan dan produktivitas
• Masuknya lebih banyak wanita ke dalam pasar kerja tidak mengubah hal ini secara
substansial, meskipun pria sekarang melakukan lebih banyak pekerjaan rumah daripada
sebelumnya
• Perlunya kebijakan yang memberikan dukungan yang lebih efektif untuk pengasuh
• Perlunya reformasi yang mendorong lebih adil pemisahan antara pria dan wanita dalam
aktivitas pengasuhan

Oleh karena itu, kepedulian menyiratkan kesetaraan dalam distribusi pengasuhan dan
penerimaan antara laki-laki dan perempuan, tetapi mungkin juga dalam konteks ekonomi
politik yang lebih luas karena perawatan tampaknya membutuhkan keseimbangan kerja/
hidup yang lebih efektif sehingga tidak hanya redistribusi waktu tetapi redistribusi waktu
sumber daya yang dibutuhkan untuk membuat waktu menjadi bermakna (Williams, 1999;
Fitzpatrick, 2004a, 2004b).Perdebatan tentang perawatan ini memiliki implikasi egaliter,
yang tidak harus terbatas pada gender, dan ini juga berkaitan dengan apresiasi yang lebih luas
dari peran sosial wacana. Kesetaraan tidak berasal dari penyamaan identitas yang diberikan
tetapi dari dekonstruksi identitas dan munculnya rezim baru kekuasaan dan subjektivisasi.

Perhatian kemudian dapat dianggap sebagai proses di mana identitas parsial kita
bertemu, memahami, dan bergabung secara lebih efektif. Namun, yang lain lebih memilih
untuk menempatkan kesetaraan dan wacana dalam kerangka yang lebih materialis di mana
tidak diyakini bahwa masalah tradisional kemiskinan, eksploitasi dan penindasan dapat
secara memadai digantikan oleh politik perbedaan atau identitas (Phillips, 1999; Segal, 1999).
Masih ada kebutuhan untuk tindakan kolektif yang berasal dari strategi ideologis, bahkan
yang berisiko memunculkan kritik total, di dunia di mana pelanggaran menjadi lebih sulit
karena hambatan kapitalisme daripada modernitas itu sendiri. Di sini, perhatian adalah sarana
untuk kembali terlibat dengan ekonomi politik kapitalisme patriarkal.

Masuk akal untuk menunjukkan mengapa perawatan tidak dengan sendirinya dapat
memberikan filosofi baru. Hal ini paling jelas karena perhatian terkadang bisa menindas.
Kedua, dengan memperhatikan yang khusus, beberapa ahli teori perawatan cenderung
menunjukkan kebencian terhadap prinsip-prinsip universal yang mereka tuduh terlalu abstrak
dan rasionalistik (Fitzpatrick, 2003: 114-8). Namun, meskipun universalisme dapat menjadi
cara untuk mengabaikan kekhususan bahaya dan kerentanan, permusuhan ini berisiko
berputar di sekitar upaya baru-baru ini untuk memahami universalisme dengan cara yang
lebih kompleks, fleksibel dan sensitif. Rasionalisme abstrak hanya direproduksi oleh mereka
yang akan meninggalkannya demi etika emosionalisme (Gilligan, 1982). Perhatian pasti bisa
berkontribusi tetapi tidak pernah bisa menggantikan teori keadilan.

● Redistribution and recognition


Lama peduli untuk mengembangkan postmodernisme feminis untuk Kiri, Fraser (1989) telah
mulai menyatukan sejumlah benang dengan cara yang relevan tidak hanya untuk radikalisme
politik tetapi juga untuk kebijakan sosial radikal. Salah satu orang yang dipermasalahkan
Fraser adalah Axel Honneth. Honneth (1995, 2001) berpendapat bahwa kasus teoritis untuk
keadilan harus bertumpu pada pengakuan sebagai hal yang esensial untuk norma dan identitas
sosial. Jika pengakuan diambil untuk mencakup cinta, harga diri dan kesetaraan hukum, maka
kita memiliki dasar yang cukup untuk memahami ketidakadilan sosial ekonomi. Tapi jika
masalahnya adalah rasisme atau pengangguran, kita harus menganggap ketidakadilan sebagai
penghinaan terhadap otonomi moral dan integritas psikologis orang tersebut.

Fraser berpendapat bahwa ini terlalu melebih-lebihkan sejauh mana pengakuan dapat
mendukung bobot filosofis dan politik yang akan diletakkan Honneth di atasnya (Fraser &
Honneth, 2003: Bab 2 dan 3). Sebaliknya, yang terbaik adalah membayangkan realitas
sebagai terdiri dari beberapa titik masuk, tidak ada yang secara epistemologis lebih unggul
dari yang lain. Oleh karena itu, karya Fraser penting karena dua alasan. Pertama, ia
menyelamatkan universalisme dari mereka yang akan membedakannya dari semua domain
partikularitas. Kedua, ia merangkul dua sayap politik Kiri baru-baru ini. Fraser (1997: 59-62)
mengusulkan adopsi model pengasuh universal di mana pengasuhan dan penghasilan upah
dianggap sebagai bidang laki-laki dan perempuan, membutuhkan reformasi yang
memfasilitasi dan mendorong laki-laki dan perempuan untuk bergerak secara adil dan bebas
antara publik dan swasta.

Ide-ide Fraser kemudian mempengaruhi mereka yang bekerja lebih langsung di


bidang kebijakan sosial: Williams (1999) menguraikan tujuh poin terkait kebijakan di mana
kebutuhan akan pengakuan budaya dan kesetaraan sosial ekonomi bersinggungan; Lister
(2001) mengemukakan agenda kesejahteraan baik redistribusi maupun pengakuan dimana
yang paling miskin diberdayakan untuk menjadi aktor dalam proses politik desain dan
penyampaian layanan. Namun pendekatan ini tidak luput dari tantangan. Young (2000: 92),
misalnya, menuduh Fraser telah mendamaikan materi dan budaya tetapi sebenarnya
memisahkan mereka secara konseptual dan begitu meremehkan sejauh mana mereka saling
menembus. Honneth, juga, mengeluh bahwa Fraser memisahkan realitas sosial ke tingkat
analitis yang berbeda sampai hampir tidak mungkin untuk menghubungkannya kembali
(Fraser & Honneth, 2003: Bab 4).
Dalam jawaban Fraser (1997) menyatakan bahwa jika kita tidak memisahkan materi
dan budaya sebagai tipe ideal, maka kita salah menafsirkan hubungan antara perjuangan
budaya dan kapitalis. Fraser mengakui bahwa setiap perbedaan antara materi dan budaya
harus bersifat heuristik, yang membutuhkan pemahaman baru dari masing-masing bidang
karena entah bagaimana keduanya otonom namun 'bercampur' dengan yang lain. Negara
kesejahteraan, katanya, sama kulturalnya dengan film (Alldred, 1999: 132). Young (2000)
telah membuat ruang yang lebih besar dalam karyanya baru-baru ini untuk masalah keadilan
distributif yang tidak bisa begitu saja diperlakukan sebagai pengakuan budaya dan
kesalahpahaman. Tak satu pun dari ini berarti pemulihan hubungan sederhana, tetapi
mungkin menunjukkan pengakuan timbal balik bahwa tidak ada perspektif yang dapat
sepenuhnya menampung dirinya sendiri dan wawasan terbaik dari lawan-lawannya.

Concluding Thoughts
Tampaknya tidak ada teori umum tentang kesetaraan material yang mampu menangkap
semua aspek ketidakadilan. Namun ahli teori wacana tidak dapat sepenuhnya menghalangi
kita dari perspektif 'realis' yang lebih tradisional. Perkembangan terakhir dalam teori feminis
menawarkan kemungkinan pendekatan kembali. Melalui diskusi tentang gender (dalam
bentuk maskulinitas) dan perhatian pada upaya Fraser untuk menggabungkan redistribusi
(keadilan sosial dan kelas) dengan pengakuan (status dan budaya). Ini mungkin menyiratkan,
seperti yang diisyaratkan di awal bab ini, bahwa setiap resolusi dari skisma Kiri tidak dapat
menunggu rekonsiliasi akhir karena tidak ada hal seperti rekonsiliasi yang tidak akan
menimbulkan perselisihan baru dan oleh karena itu dibutuhkan rekonsiliasi baru.

Namun alih-alih membiarkan realisasi ini mengubah kita menjadi post-strukturalis


semata, jika finalitas tidak diinginkan (dan bagaimanapun juga tidak mungkin) maka kita
tidak perlu takut dari cita-cita heuristik yang ditentang oleh para budayawan selama kita tetap
mengingatnya dengan jelas. Oleh karena itu, dikotomi yang diartikulasikan oleh Fraser,
ironisnya mungkin lebih dan kurang post-strukturalis daripada post-strukturalisme. Mungkin
tugasnya bukanlah untuk mengatasi perpecahan di Kiri tetapi menolak untuk menganggapnya
terlalu serius. Inilah mengapa namanya radikalisme baru. Jika demikian, maka ini
menyiratkan bahwa keadilan tidak pernah utuh, mandiri atau tanpa perpecahan dan interupsi:
materi dan budaya tidak pernah cukup cocok, dan seharusnya keduanya tidak sama.
DAFTAR PUSTAK​A
Fitzpatrick, Tony. 2005. ​New Theories of Welfare. N
​ ew York. Plagrave Macmillan Chapter 2

Tabel Penilaian TKSD B Kelompok 5

Adinda Rizkia Athiya Gian Aptha Teuku Muhamad Shifa


Putri Azahra Raihana Prakosa Rizha Damayanti
Adinda Rizkia
Putri Azahra 4,95 4,95 4,97 5

Athiya Raihana 4,98 4.95 4.95 5

Gian Aptha
Prakosa 5 4,97 4,98 4,99

Teuku
Muhamad
Rizha 5 4,98 4,97 4,99

Shifa
Damayanti 5 4,94 4,92 4,96

Jumlah 19,98 19,84 19,79 19,86 19.98

Rerata 4,99 4,96 4,94 4,96 4,99

Anda mungkin juga menyukai