Anda di halaman 1dari 2

Kelas Filsafat Hukum Reguler B Edmund Khovey / 1906384301

Natural Law

Konsep Natural Law telah begitu terlembaga dalam berbagai disiplin ilmu. Konsep ini juga
menjustifikasi sistem sosio-ekonomi yang telah ada, dan kaitannya dengan sistem hukum. Konsep
ini baru berkembang pada akhir abad ke-19, terutama pasca Perang Dunia 2. Lantas, apa yang
dimaksud dengan Natural Law. Sejarah telah menunjukkan penggunaannya secara masif, tetapi
tidak ada definisi universal lintas wilayah dan zaman yang mampu mendeskripsikan konsep ini.
Namun, terdapat kesamaan unsur bahwa Natural Law adalah adanya prinsip moral objektif yang
dapat ditemukan dengan rasio. Akibatnya, Natural Law dianggap sebagai fondasi fundamental dari
penilaian moral. Konsepsi Natural Law ini juga dapat dilihat dari sudut pandang keagamaan,
hukum internasional, kontrak sosial, era pencerahan, dan lain-lain.

Abad Pertengahan menyaksikan munculnya Kekristenan, terutama Katolik Roma sebagai agama
resmi negara dan masyarakat yang dipimpin oleh hukum Tuhan, dan bukan hukum masyarakat.
Thomas Aquinas berpendapat adanya Hukum Tuhan (lex divina) yang diberikan Tuhan melalui
kitab-kitab, dan Natural Law (lex naturalis) di mana hukum manusia yang fana turut berpartisipasi
dalam rasio manusia. Aquinas memandang bahwa semua hukum manusia sama, karena sama-sama
digerakkan oleh rasionalitas. Ketika Renaisans mulai menjadi norma perkembangan masyarakat
di Eropa, muncul berbagai pemikiran yang menjadi antitesis dari pemikiran Aquinas tentang
universalitas Natural Law. Ketika Reformasi mulai melanda Eropa, Martin Luther berpendapat
bahwa tidak mungkin bagi manusia yang paling jujur sekalipun untuk dapat mengikuti Hukum
Tuhan, dan bahwasanya perintah seorang pemimpin yang zalim tidak akan pernah mengikat dalam
pengadilan nurani.

Kemunculan fenomena Negara-Bangsa menuntut adanya hukum internasional. Prasyarat dari


hukum internasional yang damai dan teratur adalah adanya sistem pemerintahan yang stabil
berlandaskan teori kontrak sosial. Grotius, salah satu sarjana hukum internasional berpendapat
Natural Law dalam hukum internasional akan tetap ada bahkan dalam ketiadaan Tuhan sekalipun
(etiamsi daremus non esse Deum). Akibatnya, perbuatan baik maupun jahat akan tetap ada dengan
ada atau tidak adanya Tuhan. Pemikiran Grotius yang meniadakan unsur Tuhan dalam lalu lintas
hukum internasional bukanlah suatu hal yang mengejutkan. Perang Katolik-Protestan telah
mengarah pada perbedaan agama yang dianut para pemimpin Eropa. Keimanan pemimpin ini
kemudian melandasi agama yang dianut dalam Negara-Bangsa yang baru dibentuk (cuius regio,
Kelas Filsafat Hukum Reguler B Edmund Khovey / 1906384301

eius religio). Oleh karena itu, mustahil untuk memasukkan unsur Tuhan dalam Natural Law, ketika
ada perbedaan yang subyektif dari kalangan pemimpin-pemimpin Eropa dalam menanggapi Tuhan
itu sendiri. Maka, tata tertib hubungan internasional harus dibangun di atas paradigma baru, yakni
pentingnya rasio manusia sebagai akar dari kontrak sosial yang melahirkan pemerintahan Negara-
Bangsa yang modern.

Berbagai teori mengenai kontrak sosial berangkat dari satu pandangan universal bahwa setiap
manusia tidak dapat dikenakan kekuasaan politik tanpa persetujuannya. Maka, kepatuhan terhadap
otoritas dilegitimasi oleh penundukan sukarela terhadap kekuasaan yang berdaulat. Thomas
Hobbes berpandangan Natural Law terbaik adalah pengekangan diri dari niat untuk memberontak
kekuasaan yang otoriter. Akibatnya, hukum dan pemerintahan menjadi kebutuhan mutlak dalam
menerapkan keamanan dan ketertiban. Sementara itu, John Locke berpendapat pemimpin memiliki
hak untuk memimpin, sepanjang mereka mendapat kepercayaan dari rakyat. Kepercayaan itu harus
diperoleh setiap saat dari rakyat. Apabila rakyat memberontak, maka si pemimpin bisa dikudeta
kapan saja. J.J. Rousseau memiliki pandangan bahwa Natural Law adalah ketika rakyat seharusnya
berdaulat dalam memerintah mereka sendiri. Namun, tidak mungkin apabila rakyat terus-terusan
mendedikasikan waktunya untuk urusan umum. Maka, rakyat secara kolektif memilih aristokrat
di antara mereka yang bertindak mewakili kepentingan konstituennya.

Dalam kaitannya dengan moralitas, Fuller menyatakan Natural Law adalah afirmasi dari
penggunaan rasionalitas dalam ketertiban hukum. Ia memandang hubungan antara hukum dan
moralitas adalah sebuah keharusan. Legislasi, ajudikasi, kontrak, dan hukum kebiasaan ditentukan
oleh Natural Law. Natural Law dipandang sebagai suatu instrumen hukum yang mengatur
aktivitas-aktivitas antar personal ini. Sementara itu, Hart memandang Natural Law sebagai hasil
dari kondisi manusia yang memengaruhi sifat dasar manusia. Kelemahan, keadilan, kebaikan
terbatas, sumber daya yang terbatas, pemahaman yang terbatas, dan lain-lain mendorong
rasionalitas bagi terciptanya konsep Natural Law.

Sebagai kesimpulan, pembelajaran mengenai Natural Law harus dibandingkan dengan disiplin-
disiplin ilmu lain. Sejarah telah membuktikan bahwa tidak ada definisi mutlak dari Natural Law,
tetapi ada suatu kesamaan dalam penggunaan rasionalitas. Rasio ini yang kemudian menentukan
hukum yang kita buat, cita-citakan, dan apa yang akan kita lakukan ketika hukum itu gagal.

Anda mungkin juga menyukai