Anda di halaman 1dari 8

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS IDENTIFIKASI HAK ASASI MANUSIA (HAM) YANG PERLU


DITINGKATKAN: STUDI PEMBELAJARAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

TUGAS HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REGULER D

DISUSUN OLEH

EDMUND KHOVEY

1906384301

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK

FEBRUARI 2022
Ketika membicarakan mengenai Hak Asasi Manusia (HAM), beberapa hal terlintas dalam kepala
mengenai hak apa yang harus diprioritaskan. Melalui tugas ini, penulis mengumpulkan setidaknya
tiga hak asasi mendasar manusia yang masih belum dapat dipenuhi oleh Negara Indonesia, dan
harus diberikan perhatian lebih. Ketiga hak asasi tersebut di antaranya, tapi tidak terbatas pada:

1. Hak reproduksi

Hingga saat ini, pemerintah masih belum merumuskan hak reproduksi secara jelas. Bahkan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) masih belum
memasukkan definisi hak reproduksi sebagai salah satu hak fundamental yang wajib dilindungi
oleh negara. Apabila kita mengacu pada beberapa dokumen internasional yang telah
ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia seperti ICCPR, ICESCR, dan CEDAW, maka kita
juga menemukan kejanggalan di mana hak reproduksi belum termasuk ke dalam konvensi-
konvensi internasional tersebut. Satu-satunya dokumen internasional di mana hak tersebut
didefinisikan secara jelas, adalah dalam International Conference on Population and
Development (ICPD), yang menyatakan hak reproduksi sebagai “recognition of the basic right
of all couples and individuals to decide freely and responsibly the number, spacing and timing
of their children and to have the information and means to do so, and the right to attain the
highest standard of sexual and reproductive health. It also includes their right to make
decisions concerning reproduction free of discrimination, coercion and violence, as expressed
in human rights documents.”1

Melalui penjabaran di atas, dapat disimpulkan setidaknya hak reproduksi turut mencakup hak
untuk mendapatkan kesehatan seksual dan reproduksi yang universal bagi setiap manusia
terlepas jenis kelaminnya. Permasalahan yang terjadi adalah manakala UU HAM hanya
mengakui hak reproduksi sebagai hak asasi yang dimiliki oleh wanita saja. Padahal, reproduksi
secara biologis adalah aktivitas yang melibatkan tidak hanya perempuan, tetapi juga laki-laki.
Akibat dari definisi reproduksi yang demikian seksis, masyarakat Indonesia belum bisa lepas
dari paradigma bahwa reproduksi adalah tugas wanita seorang diri. Paradigma yang demikian

1
United Nations Population Fund, Programme of Action of the International Conference on Population
Development, ICPD 2014, Pasal 7.3.
seksis membawa konsekuensi lanjutan, manakala peraturan perUndang-Undangan di
bawahnya hanya memberikan hak-hak reproduksi kepada perempuan saja.

Salah satu contohnya adalah cuti melahirkan yang hingga saat ini hanya diberikan kepada
perempuan saja.2 Padahal laki-laki sebagai suami dan ayah juga berperan penting dalam proses
hubungan suami istri yang sehat dan tumbuh kembang sang anak yang dilahirkan dari
hubungan tersebut. Domestikasi reproduksi terhadap perempuan hanya akan menyulitkan
perempuan manakala pemberi kerja lebih memilih memperkerjakan laki-laki daripada
perempuan hanya karena ingin menghindari kewajiban memberikan hak reproduksi yang
seharusnya diberikan kepada setiap insan manusia terlepas jenis kelaminnya. 3

Tidak kalah pentingnya adalah pemberian akses kesehatan seksual dan reproduksi yang
imparsial dan tidak diskriminatif. Hingga saat ini, akses perempuan Indonesia untuk
mendapatkan layanan aborsi masih dijegal oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan (UU Kesehatan).4 Pengecualian dari larangan tersebut di antaranya apabila
perempuan menderita kedaruratan medis yang mengancam nyawa sang perempuan maupun
janin yang dikandung, dan/atau korban pemerkosaan yang mengakibatkan trauma psikologis
berat. 5 Padahal aborsi yang dilakukan dalam rentang waktu tertentu sama sekali bukanlah
6
pembunuhan terhadap janin. Sebaliknya, fokus dari pemerintah haruslah bagaimana
menyediakan akses aborsi yang aman bagi perempuan. Pelarangan aborsi secara ketat hanya
akan mengarah pada aborsi yang tidak aman dan kontra produktif dengan cita-cita akses
kesehatan reproduksi yang tersedia bagi semua kalangan.

2. Hak lingkungan hidup yang baik dan sehat

Kerap kali langkah pemerintah untuk melakukan relokasi permukiman kumuh ke hunian yang
lebih bersih dan sehat terhalang oleh para aktivis HAM yang menyandarkan argumennya pada

2
Indonesia, Undang-Undang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN No.
4279, Ps. 82-84.
3
Hidayatur Rohmah, “Ketika Perempuan Disubordinasi di Dunia Kerja,” https://kumparan.com/rohmah
hidayah2912/ketika-perempuan-disubordinasi-di-dunia-kerja-1xHs8He7h1p/full, diakses 12 Februari 2022.
4
Indonesia. Undang-Undang Kesehatan, UU No. 36 Tahun 2009, LN No. 144 Tahun 2009, TLN No.
5063, Ps. 75.
5
Ibid, Ps. 75 ayat (2).
6
Clinical Practice Handbook for Safe Abortion yang dikeluarkan oleh WHO menyatakan aborsi yang
dilakukan dalam rentang waktu sebelum 12 minggu dan/atau 12-14 minggu usia kehamilan aman untuk dilakukan
bagi perempuan. Prinsip ini dijamin dalam Pasal 8.25 ICPD.
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional
tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (UU 11/2005) yang berbunyi “Negara Pihak
pada kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan
keluarganya, termasuk pangan, sandang, dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup
terus menerus. Negara Pihak akan mengambil langkah-langkah yang memadai untuk
menjamin perwujudan hak ini dengan mengakui arti penting kerja sama internasional yang
berdasarkan kesepakatan sukarela.” Kata kuncinya ada di kesepakatan sukarela yang selama
ini susah diwujudkan antara masyarakat dengan pemerintah. Tentu saja, setiap orang ingin
mendapatkan lingkungan yang bersih, tetapi untuk mencapai tujuan tersebut, tentu harus
dilakukan dengan cara-cara yang berdasarkan kesepakatan, agar tidak ada pemaksaan sepihak
tentang siapa yang benar dan salah. Sebaliknya, pemerintah berdalil bahwa apa yang
dilakukannya telah sesuai dengan amanat konstitusi yang tercantum dalam Pasal 28 H ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang berbunyi “setiap orang berhak hidup sejahtera
lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
serta berhak memperoleh layanan kesehatan.” Lebih lanjut, pemerintah juga kerap kali berdalih
bahwa proses ganti rugi yang dilakukan telah sesuai dengan koridor peraturan perUndang-
Undangan yang berlaku.7

Namun, lebih anehnya lagi manakala hak atas perumahan yang sama-sama digaungkan oleh
mereka yang pro dan kontra kebijakan pemerintah sama sekali tidak terkandung dalam UU
HAM yang menjadi payung hukum bagi perlindungan HAM di negeri ini. Kekosongan hukum
ini menimbulkan tarik ulur yang tak kunjung usai antara penghormatan terhadap kesepakatan
sukarela dan percepatan penyediaan akses kepada hunian yang layak bagi rakyat Indonesia.
Kecuali permasalahan ini disepakati secara bersama-sama dalam produk hukum yang
mengatur larangan bagi pemerintah untuk menggusur paksa masyarakat, maka permasalahan
ini akan tetap menghantui langkah kita dalam penyediaan hak lingkungan yang baik dan sehat
bagi seluruh rakyat Indonesia.

3. Hak kebebasan (tidak) beragama

7
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan
untuk Kepentingan Umum menyatakan pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi
ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak-pihak yang berhak.
Tak jarang pembahasan mengenai hak kebebasan beragama selalu mandek pada tahapan di
mana negara wajib mengakui dan memberikan perlindungan hukum yang tidak memihak
kepada setiap pemeluk agama di Indonesia. Hal ini tentunya berdasarkan amanat konstitusi
Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya
dan kepercayaannya itu.” Kebebasan beragama ini diteguhkan kembali eksistensinya melalui
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional
tentang Hak-hak Sipil dan Politik (UU 12/2005). Namun, apakah penghayat kepercayaan dan
mereka yang tidak beragama memiliki hak yang setara?

Realitasnya, pemerintah hanya mengakui enam agama resmi di Indonesia, yakni Islam, Kristen,
Katolik, Buddha, dan Kong Hu Cu.8 Sebetulnya, ketentuan yang terkandung dalam pasal ini
sama sekali tidak menyatakan agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan lain di luar keenam
agama itu sebagai bukan agama per se. Namun, Pasal 64 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) pada intinya menyatakan
bagi agama dan kepercayaan yang belum diakui sebagai agama resmi, maka tidak akan diisi di
Kartu Tanda Penduduk (KTP) tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.
Di sinilah permasalahan timbul manakala mereka yang penghayat kepercayaan tidak dapat
mencatat nama kepercayaannya dalam KTP, dan konsekuensinya mereka menjadi kesulitan
untuk mendapatkan bantuan dasar seputar pendidikan, kesehatan, pelayanan publik, dan lain-
lain. Kesulitan ini tentu saja sengaja dibuat oleh pemerintah hanya untuk mempersulit
kehidupan mereka yang bukan penganut agama resmi negara.

Keadaan juga tidak lebih baik bagi mereka yang meragu-ragukan keberadaan Tuhan (Agnostik)
dan mereka yang sama sekali tidak percaya adanya Tuhan (Ateis). Berdasarkan Pasal 156 a
ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), mereka akan diancam pidana penjara
paling lama lima tahun untuk perbuatan mengeluarkan perasaan atau perbuatan di tempat
umum dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Padahal, Pasal 28 E ayat (2) dan (3) telah menjamin kebebasan
untuk meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya, dan

8
Indonesia, Undang-Undang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, UU No. 1 Tahun
1965, LN No. 3 Tahun 1965, TLN No. 2726, Penjelasan Pasal 1.
mereka juga dibebaskan untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Pertentangan antara dua norma hukum positif di Indonesia ini telah mengantarkan kita pada
status quo di mana mereka yang Agnostik dan Ateis tidak sepenuhnya mendapatkan
perlindungan yang setara di hadapan negara, dan dipereteli hak-hak sipil politiknya secara
tersistematis oleh negara ini. Oleh karena itu, diperlukan adanya kejelasan sikap dari
pemerintah untuk melindungi segenap rakyat Indonesia tanpa memandang apa yang menjadi
kepercayaannya, apalagi kalau apa yang dipercayainya tersebut sama sekali tidak merampas
hak-hak asasi orang lain.

Sebagai kesimpulan, tugas ini berusaha memberikan gambaran hak-hak asasi manusia apa saja
yang belum dapat dilindungi secara sempurna oleh pemerintah kita. Kemajuan zaman dan juga era
keterbukaan informasi telah membuktikan hak-hak yang fundamental ini perlu dilindungi
keberadaannya agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum ke depannya.
Daftar Pustaka

Peraturan Perundang-Undangan:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Straftrecht]. Diterjemahkan oleh Moeljatno.

Jakarta: Pradnya Paramita, 1976.

Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945.

Indonesia. Undang-Undang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial,

dan Budaya, UU No. 11 Tahun 2005, LN No. 118 Tahun 2005, TLN No. 4557.

Indonesia. Undang-Undang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik,

UU No. 12 Tahun 2005, LN No. 119 Tahun 2005, TLN No. 4558.

Indonesia. Undang-Undang Administrasi Kependudukan, UU No. 24 Tahun 2013, LN No. 232

Tahun 2013, TLN No. 5475.

Indonesia. Undang-Undang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, UU No. 1

Tahun 1965, LN No. 3 Tahun 1965, TLN No. 2726.

Indonesia. Undang-Undang Hak Asasi Manusia, UU No. 39 Tahun 1999, LN No. 165 Tahun 1999,

TLN No. 3886.

Indonesia. Undang-Undang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003,

TLN No. 4279.

Indonesia. Undang-Undang Kesehatan, UU No. 36 Tahun 2009, LN No. 144 Tahun 2009, TLN

No. 5063.

Indonesia. Undang-Undang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum,

UU No. 2 Tahun 2012, LN No. 22 Tahun 2012, TLN No. 5280.

Dokumen Internasional:

Perserikatan Bangsa-Bangsa. International Covenant on Civil and Political Rights. ICCPR 1966.
Perserikatan Bangsa-Bangsa. International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights.

ICESCR 1966.

United Nations Population Fund. Programme of Action of the International Conference on

Population Development. ICPD 2014.

United Nations Human Rights. Reproductive Rights Are Human Rights.

World Health Organisation. Clinical Safety Handbook for Safe Abortion.

Artikel Internet:

Putri, Aditya Widya. “Aborsi Masih Tabu, Hukum Indonesia Membatasinya Secara Ketat.”

https://tirto.id/aborsi-masih-tabu-hukum-indonesia-membatasinya-secara-ketat-dhMS.
Diakses 12 Februari 2022.

Poerana, Sigar Aji. “Penggusuran Paksa Sebagai Pelanggaran HAM.”

https://www.hukumonline.com/klinik/a/penggusuran-paksa-sebagai-pelanggaran-ham-
lt5dd4a4ac231d0#_ftn1. Diakses 12 Februari 2022.

Anggara. “Hak Penghayat Kepercayaan untuk Diakui dalam Kolom Agama di KTP.”

https://www.hukumonline.com/klinik/a/peneraan-kepercayaan-dalam-ktp-
lt4fa4e6aa575bc. Diakses 12 Februari 2022.

Bawono, Adi Condro dan Diana Kusumasari. “Bolehkah Menjadi Ateis di Indonesia.”

https://www.hukumonline.com/klinik/a/bolehkah-menjadi-ateis-di-indonesia--
lt4f4545a9b77df. Diakses 12 Februari 2022.

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. “Indonesia Berkomitmen Sukseskan Target

ICPD.” https://www.bkkbn.go.id/detailpost/indonesia-berkomitmen-sukseskan-target-
icpd. Diakses 12 Februari 2022.

Anda mungkin juga menyukai