Anda di halaman 1dari 6

Nama : Mimi midya wati

Prodi : S1-Kebidanan

Nim : 203302080010

Matkul : Etika dan Hukum Kesehatan

Dosen pengampu : Kurniati Siregar, SH,MH

Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 2016 Pasal 6 tentang Fasilitas Pelayanan


Kesehatan

PP No. 47 tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan ditetapkan untuk


memberikan kepastian hukum dan menjamin akses masyarakat terhadap kebutuhan
pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan, maka
diperlukan Peraturan Pemerintah untuk mengatur Fasilitas Pelayanan Kesehatan
termasuk upaya persebaran jenis-jenis Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

PP No. 47 Pasal 6 Tahun 2016 berbunyi :

“Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas ketersediaan


Fasilitas Pelayanan Kesehatan dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang
setinggitingginya”

Dalam hal ini, PP No. 47 Pasal 6 Tahun 2016 belum sepenuhnya terlaksana, mengingat
banyaknya kasus mengenai buruknya pelayanan kesehatan yang dialami oleh
masyarakat terutama masyarakat miskin.

Seperti yang terjadi di Sumatera Utara, bahwa layanan kesehatan masih menjadi
keluhan masyarakat. Hal ini terbukti dari masyarakat yang mengeluh bahwa untuk
melaksanakan tindakan operasi saja harus menunggu waktu yang lama bahkan
mencapai tiga bulan. Begitu juga dengan tidak adanya ruangan rawat inap (opname). Di
beberapa rumah sakit pemerintah, masyarakat yang ingin menjalani rawat inap sering
kecewa karena pihak rumah sakit selalu menyebut tidak ada ruangan untuk opname.

Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 2016 Pasal 11 tentang Fasilitas Pelayanan


Kesehatan

PP No. 47 Tahun 2016 Pasal 11 berbunyi :

(1) Pemerintah Daerah kabupaten/kota wajib menyediakan paling sedikit 1 (satu) pusat
kesehatan masyarakat pada setiap kecamatan.

(2) Pendirian lebih dari 1 (satu) pusat kesehatan masyarakat didasarkan pada
pertimbangan kebutuhan pelayanan, jumlah penduduk, dan aksesibilitas.

(3) Penentuan jumlah pusat kesehatan masyarakat berdasarkan pertimbangan


sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

PP No. 47 Tahun 2016 Pasal 11 belum terlaksana dengan baik, karena di beberapa
kecamatan pada daerah terpencil fasilitas kesehatan belum memadai bahkan cenderung
tidak ada, sehingga masyarakat yang sakit atau ingin melahirkan mengalami kesulitan
untuk mendapatkan fasilitas kesehatan.

Seperti yang terjadi di Desa Naniari, Kecamatan Taniwel, Kabupaten Seram Bagian
Barat, Maluku. Seorang ibu hamil harus ditandu kerabat dan keluarganya demi
mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak di puskesmas terdekat. Mereka harus
berjalan kaki sambil menyusuri hutan dan lembah yang curam hingga akhirnya tiba di
Puskesmas Taniwel. Bahkan di beberapa kasus, ada warga yang meninggal akibat
jauhnya fasilitas kesehatan yang ada.

Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 2016 Pasal 13 tentang Fasilitas Pelayanan


Kesehatan

PP No. 47 Tahun 2016 Pasal 13 berbunyi :

(1) Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan rumah sakit sesuai dengan
kebutuhan masyarakat: a. paling sedikit 1 (satu) rumah sakit dengan klasifikasi paling
rendah kelas D untuk setiap kabupaten/kota; dan b. paling sedikit 1 (satu) rumah sakit
dengan klasifikasi paling rendah kelas B untuk setiap provinsi.

(2) Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam melakukan pemenuhan sebaran rumah
sakit secara merata di setiap wilayah kabupaten/kota berdasarkan pemetaan daerah
dengan memperhatikan jumlah dan persebaran penduduk, rasio jumlah tempat tidur, dan
akses masyarakat.

(3) Selain Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam menyediakan rumah sakit
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), swasta dapat mendirikan rumah sakit sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Peraturan Pemerintah ini belum sepenuhnya terlaksana, karena rumah sakit di daerah
terpenil belum memadai atau cenderung tidak ada. hal ini dibuktikan dengan jumlah
fasilitas kesehatan terutama rumah sakit yang berada di Provinsi Papua Barat masih
sangat terbatas dan jauh tertinggal dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia.
Masyarakat di daerah yang tidak memiliki rumah sakit harus dirujuk ke Manokwari dan
daerah lain. Selain terbatas dari sisi infrastruktur, rumah sakit di Papua Barat juga masih
memiliki keterbatasan dalam hal peralatan kesehatan.

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H Ayat 1

UUD 1945 Pasal 28H Ayat 1 berbunyi :

“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan”.

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus
diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Antara Hak Asasi Manusia dan kesehatan terdapat hubungan yang saling
mempengaruhi, karena seringkali akibat dari pelanggaran HAM adalah gangguan
terhadap kesehatan demikian pula sebaliknya, pelanggaran terhadap hak atas kesehatan
juga merupakan pelanggaran terhadap HAM.

Namun dalam hal ini, hak dalam mendapatkan kesehatan belum benar-benar terjadi di
negara ini. Hal tersebut didukung beberapa masyarakat terutama masyarakat miskin,
tidak mendapatkan hak atas kesehatannya. Seperti yang terjadi di Gresik, seorang pasien
dari keluarga miskin yang menderita penyakit jantung komplikasi akhirnya meninggal
dunia karena ditolak oleh rumah sakit. Pasien tersebut sudah menyertakan surat miskin
atau surat keterangan tidak mampu tetapi pihak rumah sakit menolak dengan alasan
pasien tidka masuk dalam daftar askeskin maupun jamkesmas. Karena hal tersebut,
pasien gagal di selamatkan dan akhirnya meninggal dunia.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


HK.01.07/MENKES/320/2020 Tentang Standar Profesi Bidan

Kompetensi Bidan terdiri dari 7 (tujuh) area kompetensi meliputi:


(1) Etik legal dan keselamatan klien, (2) Komunikasi efektif, (3) Pengembangan diri dan
profesionalisme, (4) Landasan ilmiah praktik kebidanan, (5) Keterampilan klinis dalam
praktik kebidanan, (6) Promosi kesehatan dan konseling, dan (7) Manajemen dan
kepemimpinan. Kompetensi Bidan menjadi dasar memberikan pelayanan kebidanan
secara komprehensif, efektif, efisien dan aman berdasarkan evidence based kepada klien,
dalam bentuk upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang dilaksanakan
secara mandiri, kolaborasi dan rujukan
Disebutkan bahwa :

Kompetensi Inti Bidan dalam hal area etik legal dan keselamatan klien adalah

a. Memiliki perilaku profesional.

b. Mematuhi aspek etik-legal dalam praktik kebidanan.

c. Menghargai hak dan privasi perempuan serta keluarganya.

d. Menjaga keselamatan klien dalam praktik kebidanan.

Hal ini belum sepenuhnya terpenuhi karena terdapat beberapa kasus malpraktek yang
dilakukan oleh bidan. Kasus ini tentunya melanggar kode etik kebidanan dalam menjaga
keselamatan klien dalam praktik kebidanan. Seperti yang terjadi di Palembang, seorang
ibu melahirkan bayi dalam keadaan tidak bernyawa setelah menjalani persalinan di salah
satu praktek bidan palembang. Bayi tersebut lahir dalam keadaan leher yang patah,
sekujur tubuh yang mengalami luka, dan tali pusar yang terlepas. Hal tersebut diduga
kuat karena adanya kesalahan dalam proses persalinan yang dilakukan oleh bidan.

Surat Edaran Nomor HK.02.02/I/385/2020 Tentang Penggunaan Masker dan


Penyediaan Sarana Cuci Tangan Pakai Sabun (CPTS) Untuk Mencegah Penularan
Coronavirus Desease 19 (Covid-19)

Berdasar rekomendasi WHO dan memperhatikan perkembangan penyakit di Indonesia,


Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 19 (COVID-19)
menyampaikan bahwa pertahanan terdepan dalam upaya pencegahan penularan COVID-
19 diantaranya adalah pemakaian masker oleh semua orang ketika berada di luar rumah
dan Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS).

Surat Edaran ini dimaksudkan untuk menyampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota untuk segera melaksanakan gerakan "Semua
Pakai Masker" dan penyediaan sarana CTPS sebagai upaya pencegahan penularan
COVID-19 di wilayah kerja masing-masing.

Beberapa poin yang dikemukakan dalam Surat Edaran ini adalah sebagai berikut :

a. Penggunaan masker wajib untuk semua orang ketika berada di luar rumah;

b. Masker medis (masker bedah dan masker N-95) untuk tenaga kesehatan,
sedangkan masker kain (berlapis 3 (tiga)) untuk semua orang ketika berada di luar
rumah;

c. Masker kain maksimal dipakai selama 4 jam dan harus dicuci menggunakan
deterjen;

d. Tetap utamakan berada di rumah;

e. Selalu berperilaku hidup bersih dan sehat melalui Cuci Tangan Pakai Sabun
(CTPS) dengan air mengalir dan/atau hand sanitizer antiseptic; dan f. Menjaga
jarak fisik dimana pun berada serta terapkan etika batuk dan bersin.

Hal ini belum terlaksana dengan baik karena masyarakat cenderung tidak mentaati
penggunaan masker dan selalu mencuci tangan, bahkan masyarakat terlihat berdesakan
dan tidak menjaga jarak aman untuk memutus tali penyebaran covid-19. Seperti yang
terjadi di Kabupaten Demak, masyarakat disana tidak menggunakan masker dan merasa
bodoh dengan penyebaran virus corona meskipun saat ini Demak masih dalam kondisi
berstatus zona merah. Masyarakat menganggap bahwa keadaan new normal merupakan
suatu keadaan yang sudah normal sehingga mereka tidak perlu memakai masker lagi.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan


Kesehatan Pasal 1

Jaminan Kesehatan adalah Jamman berupa perlindungan kesehatan agar Peserta


memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi
kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar
Iuran Jaminan Kesehatan atau Iuran Jaminan Kesehatannya dibayar oleh Pemerintah
Pusat atau Pemerintah Daerah.

Dikatakan bahwa :

Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan yang selanjutnya disebut PSI Jaminan
Kesehatan adalah fakir miskin dan orang tidak mampu sebagai Peserta program Jaminan
Kesehatan

Peraturan tersebut belum terlaksana dengan baik karena ada beberapa masyarakat
mampu ditemukan menjadi penerima bantuan iuran hal ini ditemukan oleh pihak BPJS
Kesehatan yang masih menerima bantuan iuran padahal peserta secara finansial
dikatakan mampu. Ada juga satu keluarga yang tak semuanya mendapatkan bantuan atau
masuk sebagai peserta PBI. Padahal, seharusnya kalau salah satu anggota keluarga
mendapatkan bantuan karena tergolong miskin, maka seluruh keluarga harus masuk jadi
peserta PBI.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2017 Tentang Izin
dan Penyelenggaraan Praktik Bidan Pasal 2

Dalam rangka melindungi masyarakat penerima pelayanan kesehatan, setiap tenaga


kesehatan yang akan menjalankan praktik keprofesiannya harus memiliki izin sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dikatakan bahwa :

Dalam menjalankan Praktik Kebidanan, Bidan paling rendah memiliki kualifikasi


jenjang pendidikan diploma tiga kebidanan.
Dalam hal ini, masih ditemukan beberapa praktik bidan bodong yang tidak mengantongi
izin dalam menjalankan praktik kebidanan. Seperti yang terjadi di Kabupaten Bangka,
ditemukan seorang bidan yang tidak memenuhi syarat dalam melakukan praktek

kebidanan namun tetap membuka praktek, bahkan bidan tersebut dilaporkan sudah
melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan kode etik kebidanan

Anda mungkin juga menyukai