A. Landasan Teori
1. Pengertian
Benigna prostat hiperplasia (BPH) adalah suatu penyakit pembesaran
atau hipertrofi dari prostat. BPH seringkali menyebabkan gangguan dalam
eliminasi urine karena pembesaran prostat yang cenderung kearah
depan/menekan vesika urinaria (Eko & Andi, 2014).
Benigna prostat hiperplasia adalah kondisi patologis yang paling
umum pada pria lansa dan penyebab kedua yang paling sering ditemukan
untuk intervensi medis pada lansia pria di atas usia 50 tahun (Wijaya. A &
Putri Y, 2013).
2. Etiologi
Penyebab pastinya belum diketahui secara pasti dari hiperplasia
prostat, namun faktor usia dan hormonal menjadi predisposisi terjadinya
BPH. Beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat sangat
erat kaitannya dengan :
a. Peningkatan DHP (dehidrotestosteron)
Peningkatan 5 alfa reduktasi dan reseptor androgen akan
menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami
hiperplasia.
b. Ketidakseimbangan estrogen – testosteron
Ketidakseimbangan ini terjadi karena proses degeneratif. Pada proses
penuaan, pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan
penurunan hormon testosteron. Hal ini memicu terjadinya hiperplasia
stroma pada prostat.
c. Interaksi antar sel stroma dan sel epitel prostat
Peningkatan kadar epidermal growth factor atau fibroblast growth
factor dan penurunan transforming growth factor beta menyebabkan
hiperplasia stroma dan epitel, sehingga terjadi BPH.
d. Berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Estrogen akan meningkatdan menyebabkan peningkatan lama hidup
stroma dan epitel dari kelenjar prostat
e. Teori stem sel
Sel stem yang meningkat akan mengakibatkan proliferasi sel transit
dan memicu terjadinya BPH (Eko & Andi, 2014).
3. Patofisiologi
Prostat sebagai kelenjar ejakulat memiliki hubungan fisiologis yang
sangat erat dengan dihidrotestosteron (DHT). Hormon ini merupakan
hormon yang memacu pertumbuhan prostat sebagai kelenjar ejakulat yang
nantinya akan mengoptimalkan fungsinya. Hormon ini disintesis dalam
kelenjar prostat daru hormon testosteron dalam darah. Selain DHT yang
sebagai prekursor, estrogen juga memiliki pengaruh terhadao pembesaran
kelenjar prostat. Seiring dengan penambahan usia, maka prostat akan lebih
sensitif dengan stimulasi androgen sedangkan androgen mampu
memberikan proteksi terhadap BPH. Dengan pembesaran yang sudah
melebihi normal, maka akan terjadi desakan pada traktus urinarius. Pada
tahap awal, obstruksi traktus urinarius jarang menimbulkan keluhan
karena dengan dorongan mengejan dan kontraksi yang kuat dari
m.detrusor mampu mengeluarkan urine secara spontan. Namun, obstruksi
yang sudah kronis membuat dekompensasi dari m.detrusor untuk
berkontraksi yang akhirnya menimbulkan obstruksi saluran kemih.
Keluhan yang biasanya muncul dari obstruksi ini adalah dorongan
mengejan saat miksi yang kuat, pancaran urine lemah/menetes, disuria
(saat urine terasa terbakar), palpasi rectal toucher menggambarkan
hipertrofi prostat, distensi vesika. Hipertrofi fibromuskuler yang terjadi
pada klien BPH menimbulkan penekanan pada prostat dan jaringan sekitar
sehingga menimbulkan iritasi pada mukosa uretra. Iritabilitas inilah
nantinya yang menyebabkan keluhan frekuensi, urgensi, inkontinensia
urgency dan nokturia. Obstruksi yang berkelanjutan akan menimbulkan
komplikasi yang lebih besar misalnya hidronefrosis, gagal ginjal dan lain
sebagainya. Oleh karena itu, kateterisasi untuk tahap awal sangat efektif
untuk mengurangi distensi vesika urinaria.
5. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan klinis dilakukan untuk mengetahui apakah pembesaran
prostat ini bersifat benigna atau maligna. Sehingga, untuk memastikan
diperlukan pemeriksaan antara lain :
a. Urinalisis dan kultur urine
Pemeriksaan ini untuk menganalisa ada tidaknya infeksi dan RBC
dalam urine yang memanifestasikan adanya perdarahan (hematuria).
b. DPL (deep peritoneal lavage)
Pemeriksaan pendukung ini untuk menentukan ada tidaknya perdarahan
internal dalam abdomen. Sampel yang diambil adalah cairan abdomen
dan diperiksa jumlah eritrositnya.
c. Ureum, elektrolit dan serum kreatinin
Pemeriksaan ini untuk menentukan status fungsi ginjal. Hal ini sebagai
data pendukung untuk mengetahui adanya komplikasi dari BPH karena
obstruksi yang berlangsung kronis seringkali menimbulkan
hidronefrosis yang lambat laun akan memperberat fungsi ginjal dan
pada akhirnya menjadi gagal ginjal.
d. PA (patologi anatomi)
Pemeriksaan ini dilakukan dengan sampel jaringan pasca operasi.
Sampel jaringan akan dilakukan pemeriksaan mikroskopis untuk
mengetahui apakah hanya bersifat benigna atau maligna, sehingga akan
menjadi landasan untuk terapi selanjutnya.
e. Catatan harian berkemih
Setiap hari perlu dievaluasi output urine sehingga akan terlihat
bagaimana siklus rutinitas miksi dari pasien. Data ini menjadi bekal
untuk membandingkan dengan pola elimiasi urine yang normal.
f. Uroflowmetri
Dengan menggunakan alat pengukur maka akan terukur pancaran urine.
Pada obstruksi dini seringkali pancaran lemah bahkan meningkat. hal
ini disebabkan obstruksi dari kelenjar prostat pada traktus urinarius.
Selain itu volume residu urine juga harus diukur. Normalnya residual
urine < 100 ml. Namun, residual yang tinggi membuktikan bahwa
vesika urinaria tidak mampu mengeluarkan urine secara baik karena
adanya obstruksi.
g. USG ginjal dan vesika urinaria
USG ginjal bertujuan untuk melihat adanya komplikasi penyerta dari
BPH misalnya hidronefrosis. Sedangkan USG VU akan
memperlihatkan gambaran pembesaran kelenjar prostat.
6. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada klien BPH antara lain : seiring
dengan semakin beratnya BPH dapat terjadi obstruksi saluran kemih,
karena urine tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan
infeksi saluran kemih dan apabila tdak diobati dapat menyebabkan gagal
ginjal.
Kerusakan trajtus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada saat miksi yang
menyebabkan peningkatan tekanan intra abdomen yang akan
menimbulkan hernia dan hemoroid.
7. Penatalaksanaan/ Pengobatan
Penyakit BPH merupakan penyakit bedah sehingga terapi bersifat
simptomatis untuk mengurangi tanda gejala yang diakibatkan oleh
obstruksi pada saluran kemih. Terapi simptomatis ditujukan untuk
merelaksasi otot polos prostat atau dengan menurunkan kadar hormonal
yang mempengaruhi pembesaran prostat, sehingga obstruksi akan
berkurang. Jika keluhan masih bersifat ringan maka observasi diperlukan
dengan pengobatan simptomatis untuk mengevaluasi perkembangan klien.
Namun, jika telah terjadi obstruksi/retensi urine, infeksi, vesikolithiasis,
insufisiensi ginjal, maka harus dilakukan pembedahan.
a. Terapi simptomatis
Pemberian obat golongan reseptor alfa-adrenergik inhibitor mampu
merelaksasi otot polos prostat dan saluran kemih akan lebih terbuka.
Obat golongan 5-alfa-reduktase inhibitor mampu menurunkan kadar
dehidrotestosteron intraprostat, sehingga dengan turunnya kadar
testosteron dalam plasma maka prostat akan mengecil.
b. TUR-P ( Transuretral Resection Prostatectomy )
Tindakan ini merupakan pembedahan non insisi yaitu pemotongan
secara elektris prostat melalui meatus uretralis. Jaringan prostat yang
membesar dan menghalangi jalannya urine akan dibuang melalui
elektrokauter dan dikeluarkan melalui irigasi dilator. Tindakan ini
memiliki banyak keuntungan yaitu meminimalisir tindakan
pembedahan terbuka sehingga masa penyembuhan lebih cepat dan
tingkat resiko infeksi bisa ditekan.
c. Pembedahan terbuka ( Prostatectomy )
Tindakan ini dilakukan jika prostat terlalu besar diikuti oleh penyakit
penyerta lainnya, misalnya tumor VU, vesikolithiasis dan adanya
adenoma yang besar.
Post Op
a. Anamnesa
Keluhan yang dialami klien biasanya nyeri pada luka operasi. Pasien
pada post op BPH yang terjadi karena tindakan invasif serta prosedur
pembedahan sehingga perlu adanya observasi drainase kateter untuk
mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi warna urine (warna
merah terang dengan bekuan darah, perdarahan dengan tidak ada bekuan,
peningkatan viskositas, warna keruh, gelap dengan bekuan).
b. Pemeriksaan fisik
Klien post operasi biasanya terpasang kateter urine dan terdapat luka
pada perut karena tindakan invasif.
c. Pemeriksaan laboratorium
Pada kondisi post operasi, pemeriksaan PA dilakukan untuk menentukan
keganasan/jikan dari jaringan prostat yang hiperplasia.
2. Diagnosa
1) Retensi urin berhubungan dengan peningkatan tekanan uretra, kerusakan
arkus refleks, blok spingter, disfungsi neurologis (mis. Trauma, penyakit
saraf), Efek agen farmakologis (mis. Atropine, belladonna, psikotropik,
anthistamin, opiate)
2) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (mis.
Inflamasi, iskemia, nepolasma)
3) Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan integritas kulit, tindakan
invasif
3. Intervensi
1. Gunakan teknik
aseptik selama
perawatan kateter
urine.
2. Pastikan selang kateter
dan kantung urine
terbebas dari lipatan.
3. Pastikan kantung urine
diletakkan di bawah
ketinggian kandung
kemih dan tidak dilantai.
4. Lakukan perawatan
perineal (perineal
hygiene) minimal 1 kali
sehari.
5. Kosongkan kantung urine
jika kantung urine telah
terisi setengahnya
6. Ganti kateter dan kantung
urine secara rutin sesuai
protokol atau sesuai
indikasi
7. Lepaskan kateter urine
sesuai kebutuhan.
8. Jaga privasi selama
melakukan tindakan
2 Nyeri akut Setelah diberikan Manajemen nyeri
Observasi
berhubungan asuhan keperawatan
1. Identifikasi lokasi
dengan agen selama ...x24 jam
karakteristik,
pencedera diharapkan tingkat
frekuensi, intensitas
fisiologis nyeri pasien menurun
nyeri.
dengan kriteria hasil :
2. Identifikasi skala
Keluhan nyeri
berkurang 3. Indentifikasi factor
Mampu mengenali penyebab nyeri
Teraupeutik
penyebab nyeri
Tampak 4. Berikan teknik non
Farmakologi untuk
5. Evaluasi
1) Retensi urine berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran
prostat, dekompensasi otot destrusor ditandai dengan nyeri saat miksi,
pancaran urine lemah, urine menetes setelah miksi, urine tersendat-
sendat.
Desakan berkemih (urgency) menurun
Distensi kandung kemih menurun
Volume residu urine menurun
Nokturia menurun
Frekuensi BAK membaik
2) Nyeri akut berhubungan dengan distensi kandung kemih ditandai
dengan muka tampak meringis, takikardi
Keluhan nyeri menurun
Meringis menurun
Gelisah menurun
Frekuensi nadi membaik
Pola tidur membaik
DAFTAR PUSTAKA
Eko Prabowo & Andi Eka. 2014. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Sistem
Perkemihan Pendekatan Nanda, Nic, Noc. Yogyakarta : Nuha Medika
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Edisi 1. Dewan Pengurus Pusat
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Edisi 1. Dewan Pengurus Pusat
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Edisi
1. Dewan Pengurus Pusat
Wijaya, S. & Putri, Y. 2013. Keperawatan Medikal Bedah : Keperawatan
Dewasa, Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta : Nuha Medika
Peningkatan
Degeneratif epidermal
growth factor
Dehidrotestosteron Estrogen Testosteron
meningkat meningkat menurun
Penurunan
transformating
growth factor
Peningkatan Hiperplasia epitel &
beta
sel stem stroma prostat
Terputusnya
Residual urine tinggi kontinuitas jaringan
Urgency
Retensi urine