Anda di halaman 1dari 5

Konflik vertical antar suku

Konflik yang melibatkan antarsuku di Kabupaten Yahukimo, Papua, menunjukkan "belum adanya
formula penyelesaian" saat perselisihan terjadi di provinsi yang memiliki sekitar 255 suku itu, ditambah
lagi faktor kesejahteraan sosial yang masih minim.

Tindakan kekerasan hingga perang antarsuku kerap dilakukan sebagai bentuk penyelesaian masalah.

Untuk itu perlu dilakukan pemberdayaan oleh pemerintah hingga ke tingkat kampung untuk membuka
ruang resolusi konflik, kata peneliti Papua.

Puluhan orang dari Suku Kimyal menyerang Suku Yali yang ada di rumah, gereja dan hotel pada hari
Minggu (04/10) di Distrik Dekai, Kabupaten Yahukimo.

Serangan itu menyebabkan enam orang meninggal dunia, 42 luka-luka, ribuan orang mengungsi, tiga
rumah dan satu hotel dibakar.

Kemarahan warfa dipicu oleh kematian mantan Bupati Yahukimo Abock Busup di Jakarta, kata polisi.

Kematian Abock memicu tersebarnya kabar bohong dari Jakarta sampai ke Yahukimo, bahwa Abock
dibunuh, dan menyebabkan sejumlah orang bergerak.

Kepolisian telah menangkap 52 orang yang diduga pelaku penyerangan.

Konflik di Yahukimo, yang disebut dipicu oleh kabar bohong, membuka fakta bahwa belum ada wadah
penyelesaian perselisihan antarsuku di Papua, kata Koordinator Jaringan Damai Papua Adriana Elisabeth.

"Pemberdayaan harus dilakukan dari tingkat provinsi, kabupaten/kota, hingga kampung yang jadi basis
suku. Kepala kampung bertanggung jawab untuk mencegah hingga mengatasi konflik antarsuku," kata
Adriana saat dihubungi wartawan BBC News Indonesia, Senin (04/10).

Jika konflik terjadi, tambah Adriana, ada sarana dialog antarkepala kampung untuk berkumpul dan
menyelesaikan masalah.

"Ruang itu yang tidak ada, sehingga dalam mencari keadilan versi masing-masing suku, kekerasan
menjadi pilihan dan rawan terjadi. Untuk itu perlu ada sarananya, representasi antarsuku, dan
pemerintah hadir," katanya.

Adriana menjelaskan, setiap suku di Papua memiliki kesetaraan yang sama, walaupun mereka minoritas
ataupun mayoritas, ditambah karakter kolektivitas dalam kehidupan.

"Kolektivitas itu yang menyebabkan mereka bisa digerakan dalam jumlah banyak, baik untuk
menciptakan konflik, ataupun penyelesaian konflik," katanya.

Sifat primordialisme antarsuku

Faktor lain, konflik klasik ini, kata Adriana, juga tidak bisa dilepaskan dari sifat primordialisme antarsuku
yang bermutasi dari kekerasan fisik di masa lalu menjadi perebutan jabatan birokrasi, ekonomi dan
lainnya.
"Di Papua sering kali, jika bupati dari suku A, sementara suku dominan B, muncul masalah, bupati
dituding tidak memperhatikan suku lain. Lalu, jika suku A memimpin, mereka akan memprioritaskan,
mengangkat birokrasi dari sukunya. Ini juga menjadi pemicu konflik."

"Harmonisasi gaya kepemimpinan sipil dengan adat berbasis suku ini belum ada formulanya sampai
sekarang. Ini harus diselesaikan untuk menghindari kesenjangan, perselisihan, dan penyetaraan
kesejahteraan" katanya.

Senada, Ketua Ikatan pelajar dan mahasiswa Yahukimo di Jayapura, Yanis Soll, mengatakan di Yahukimo
terdapat 51 distrik dengan puluhan suku yang memiliki karakteristik kepribadian beragam.

"Konflik terjadi karena kurangnya pendekatan terhadap masyarakat, belum adanya nilai kebersamaan
dan ruang dialog jika muncul masalah antarsuku," kata Yanis.

Selain itu, faktor lain yang menyebabkan konflik rawan terjadi adalah karena kurangnya kesejahteran
sosial di sana.

"Masyarakat belum ada jaminan kehidupan nyaman, ditambah adanya pendekatan militer," ujarnya.

Untuk itu, Yanis meminta pemerintah untuk fokus membangun komunikasi antar suku dan juga
kesejahteraan di sana.

BBC News Indonesia telah menghubungi Pemerintah Provinsi Papua dan Majelis Rakyat Papua untuk
meminta tanggapan, namun belum memberikan respons hingga berita ini diturunkan.

Yahukimo, 'dari konflik separatisme hingga kesukuan'

Kabupaten Yahukimo berjarak sekitar 250 kilometer dari Jayapura, Papua, tempat kini berlangsungnya
Pekan Olahraga Nasional ke-20.

Distrik Dekai tempat konflik suku terjadi adalah ibu kota Kabupaten Yahukimo, dari total 51 distrik dan
510 kampung.

Di kabupaten ini setidaknya terdapat empat suku mayoritas yaitu Yali, Hubla, Kimyal dan Momuna (asal
nama Yahukimo), dan suku-suku lainnya.

Konflik antarsuku hari Minggu lalu bukan kejadian pertama di wilayah ini.

Tahun 2018 lalu terjadi konflik antar Suku Yali dan Suku Ngalik yang dipicu kecelakaan sepeda motor.

Perang antarsuku ini menewaskan dua orang warga dan melukai enam orang lain, salah satunya adalah
anggota polisi.

Di luar kabupaten ini, perang antarsuku juga terjadi di Jayapura antara Suku Nafri dan Suku Enggros
terkait konflik hak tanah. Perang antarsuku juga pernah terjadi di Distrik Kwamki Narama, Timika, Papua,
yang berlangsung berbulan-bulan.
Selain konflik kesukuan, Yahukimo juga kerap menjadi tempat serangan kelompok kekerasan
bersenjata(KKB).

KKB diduga membunuh dua pekerja pembangunan jembatan di Dekai, dua bulan lalu. Sebelumnya, KKB
juga pernah menyerang dan menembaki warga, serta menyandera empat orang, kata polisi.

Salah satu pimpinan KKB pernah ditangkap di Yahukimo yaitu Ananias Yalak, bekas anggota TNI AD.

Termakan kabar bohong, penyelesaian melalui dialog akan dilakukan

Tokoh senior dari Suku Kimyal Mari Mirin menegaskan kondisi di Yahukimo telah stabil dan aman.

Dia mengatakan, setelah proses pemakaman Abock di Jayapura selesai, akan dilakukan penyelesaian
konflik ini dengan melibatkan tokoh adat, gereja dan pihak terkait.

"Kami mohon semua pihak menahan diri, jangan ambil tindakan sendiri-sendiri. Ada pimpinan gereja,
masyarakat, dan pemerintah yang bisa menyelesaikan," katanya.

Pihak keluarga Abock, Anthony Marin juga mengatakan, telah menyerahkan kepada pihak kepolisian
agar para pelaku menjalani proses hukum.

"Kami serahkan ke pihak keamanan untuk diselidiki, perdamaian akan dilakukan setelah pemakaman
ini," katanya.

Anthony menyesalkan penyerangan sepihak yang dilakukan oknum dari Suku Kimyal itu, ditambah saat
korban tengah beribadah.

Yanis Soll menceritakan, konflik dipicu saat sekelompok oknum mendengar kabar kematian Abock dan
tidak terima sehingga melakukan penyerangan.

"Mereka dapat info hoaks, dan tidak mengikuti arahan tokoh suku dan intelektual, termakan isu dengar
kabar telepon dari Jakarta dan melampiaskan ke masyarakat terdekat," kata Yanis.
Konflik vertical antar golongan

Republik Maluku Selatan (RMS): Latar Belakang dan Upaya Penumpasannya

Latar Belakang

Maluku merupakan salah satu kota yang pada saat itu terkenal akan kekayaan rempah-rempahnya,
sebab itu Maluku dijuluki sebagai Kepulauan Rempah. Rakyat Maluku pun berdagang tidak hanya
dengan pedagang Nusantara saja, tetapi juga mancanegara, seperti Tionghoa, Arab, dan Eropa.
Kekayaan Maluku akan rempahnya ini kemudian menjadi daya tarik bagi bangsa Eropa yang akhirnya
menguasai Maluku. Maluku sendiri dinyatakan sebagai salah satu provinsi Republik Indonesia dua hari
setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan. Bersatunya Maluku dengan
Indonesia ini guna untuk mencegah Belanda dalam upaya menguasai Maluku dan kekayaannya.

Namun, setelah Maluku dinyatakan bersatu dengan NKRI, Manusama, salah satu tokoh pejuang RMS
menyatakan bahwa bergabungnya Maluku dengan Indonesia akan memicu masalah.  Manusama
pun mengadakan rapat bersama para penguasa desa di Pulau Ambon.  Dalam rapat tersebut,
Manusama mengobarkan semangat antipemerintah RIS dan ia mengatakan bahwa orang Maluku
tidak mau dijajah orang Jawa.  Pemerintah Maluku kemudian mengikrarkan proklamasi RMS
sehingga secara resmi republik ini telah terlepas dari NIT dan RIS. Pulau-pulau besar yang ada di
RMS adalah Ambon, Seram, dan Buru.  Baca juga: Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat Konflik
Setelah RMS diproklamasikan, muncul pemberitaan tentang KNIL dari Belanda yang dianggap
melindungi para proklamator Maluku Selatan.  Keterlibatan KNIL ini kemudian memicu kecurigaan
pihak Indonesia terkait campur tangan Belanda dalam pendirian RMS.  Kementerian Pertahanan RIS
pun menyatakan bahwa berdirinya RMS harus dituntaskan dengan Operasi Militer, dipimpin oleh
Kolonel Kawilarang.  Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS/TNI) dengan sandi Operasi
Malam pun mendaratkan pasukan mereka sebanyak 850 orang untuk melawan RMS.  Operasi ini
dipimpin oleh Komandan Mayor Pellupessy.  Para pasukan APRIS mendarat di Pulau Buru, Kai, Aru,
dan Seram di Maluku Selatan. Salah satu titik pertahanan paling baik yang dimiliki RMS adalah Pulau
Ambon, sehingga pasukan APRIS juga mendarat di sana dan kemudian dibagi tiga kelompok. Ketiga
kelompok tersebut kemudian disebar menuju wilayah Maluku Selatan, terutama yang dikuasai oleh
kelompok RMS.  Baca juga: Konflik Jalur Bukit Chittagong: Latar Belakang dan Pemberontakan
Akhir  Setelah kelompok tersebut tersebar di wilayah kekuasaan RMS, pasukan APRIS pun secara
perlahan mulai dapat menguasai wilayah-wilayah tersebut. Beberapa wilayah di Ambon juga dapat
direbut kembali oleh APRIS.  Dikuasainya wilayah RMS ini kemudian diikuti dengan penangkapan
Presiden pertama RMS, JH Manuhutu dan Perdana Menteri RMS Wairissal, beserta sembilan menteri
lainnya. Mereka semua dijatuhi hukuman penjara selama tiga sampai lima setengah tahun.  Untuk
menghindari terulangnya kejadian pemberontakan RMS, pemerintah RI mengambil tindakan tegas
dengan memberikan hukuman mati terhadap sisa-sisa gerombolan
Tugas Pendidikan Pancasila dan
kewarganegaraan
D
I
S
U
S
U
N
Oleh
Kelompok IV
Anggota:
-Mardatilla -Gilang esa putra
-Lutfi assidiq -Muhammad zaki
-Muhamad habil

Anda mungkin juga menyukai