Oleh:
dr. Annisa Yuwita
Dokter Internsip
Pendamping:
ii
KATA PENGANTAR
Penulis
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Kejang demam adalah bangkitan kejang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal lebih dari 38o C) disebut kejang demam tonik-klonik, sangat sering
dijumpai pada anak-anak usia di bawah 5 tahun. Kejang ini disebabkan oleh adanya
suatu awitan hipertermia yang timbul mendadak pada infeksi bakteri atau virus
(Soetomenggolo, 2004).
Dari penelitian yang telah dilakukan Prof.Dr.dr.S.M.Lumbantobing pada 297
penderita kejang demam, 66 (±22,2%) penderita tidak diketahui
penyebabnya (Robert, 2007). Penyebab utama didasarkan atas bagian tubuh yang
terlibat peradangan. Ada penderita yang mengalami kelainan pada lebih dari satu
bagian tubuhnya, misalnya tonsilo-faringitis dan otitis media akut (Aminulah, 2002).
Secara klinis umumnya tidak sulit untuk menegakkan diagnosis kejang demam,
dengan adanya gejala kejang pada suhu badan yang tinggi serta tidak didapatkan
gejala neurologis lain dan anak segera sadar setelah kejang berlalu. Perlu diadakan
pemeriksaan laboratorium segera, berupa pemeriksaan gula dan pungsi lumbal. Hal
ini berguna untuk menentukan sikap terhadap pengobatan hipoglikemia dan
meningitis bakterial (American Academy of Pediatrics, 1999).
Penanggulangan yang tepat dan cepat harus segera dilakukan sehingga
prognosis kejang demam baik dan tidak menyebabkan kematian. Dari penelitian yang
ada, frekuensi terulangnya kejang berkisar antara 25% - 50%, yang umumnya terjadi
pada 6 bulan pertama (Tumbelaka, et al., 2005). Prognosis kejang demam baik,
kejang demam bersifat benigna. Angka kematian hanya 0,64%-0,75%. Sebagian besar
penderita kejang demam sembuh sempurna, sebagian kecil berkembang menjadi
epilepsi yaitu sebanyak 2-7%. 4% penderita kejang demam secara bermakna
mengalami gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi
(Behrman, 2007).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu
tubuh ( suhu rektal di atas 38°C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium,
terjadi pada anak berusia lebih dari 3 bulan dan tidak ada riwayat kejang tanpa
demam sebelumnya. Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang
paling sering dijumpai pada anak berusia sekitar 3 bulan sampai 5 tahun tanpa
disertai infeksi intrakranial, gangguan elektrolit, dan gangguan metabolik lainnya
(Waruiru & Appleton, 2008). Dari beberapa penelitian dijumpai 2-5% anak di bawah
usia 5 tahun mengalami kejang, baik kejang pertama maupun ulangan yang didahului
kenaikan suhu tubuh. Menurut ILAE, International League Against Epilepsy, anak
yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian mengalami kejang demam
tidak termasuk dalam kejangdemam (Hardiono, et al., 2006).
Kejang disertai demam yang terjadi pada bayi berumur kurang dari 1 bulan juga
tidak termasuk dalam kejang demam. Para ahli sepakat bahwa bila anak yang berumur
kurang dari 3 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang yang didahului demam,
harus dipikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP atau epilepsy yang kebetulan
terjadi bersama demam (Sunarka, 2009). Kejang demam harus dibedakan dengan
epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang tanpa demam (Mansjoer, et
al.,2000). Definisi ini menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti
meningitis,ensefalitis atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini mempunyai
prognosis berbeda dengankejang demam karena keadaan yang mendasarinya mengenai
sistem susunan saraf pusat (Mansjoer, et al., 2000)
2.2 Klasifikasi
Umumnya kejang demam ini dibagi menjadi dua golongan. Kriteria untuk
penggolongan tersebut dikemukakan oleh berbagai pakar. Dalam hal ini terdapat
beberapa perbedaan kecil dalam penggolongan tersebut, menyangkut jenis kejang,
tingginya demam, usia penderita, lamanya kejang berlangsung, gambaran rekaman
otak, dan lainnya (Lumbantobing, 2002).
3
Klasifikasi kejang demam pada anak dibagi menjadi 2 yaitu: kejang demam
sederhana (simple febrile seizure) dan kejang demam kompleks (complex febrile
seizure) (Hendarto, 2002., ILAE Guidelines, 1993., dan Hesdorffer DC, et al., 2011).
a. Kejang Demam Sederhana (Simple Febrile Seizure) merupakan 80% di
antara seluruh kejang demam.
Kejang demam berlangsung singkat
Durasi kurang dari 15 menit
Kejang dapat umum, tonik, dan atau klonik
Umumnya akan berhenti sendiri
Tanpa gerakan fokal
Tidak berulang dalam 24 jam
Pada kejang demam sederhana, kejang biasanya timbul ketika suhu meningkat
dengan mendadak, sehingga seringkali orang tua tidak mengetahui sebelumnya bahwa
anak menderita demam. Kenaikan suhu yang tiba-tiba merupakan faktor yang penting
untuk menimbulkan kejang (Hendarto, 2002).
Kejang pada kejang demam sederhana selalu berbentuk umum, biasanya bersifat
tonik – klonik seperti kejang grand mal, kadang – kadang hanya kaku umum atau
mata mendelik seketika. Kejang dapat juga berulang, tapi sebentar saja, dan masih
dalam waktu 16 jam meningkatnya suhu, umumnya pada kenaikan suhu yang
mendadak (Hendarto, 2002., ILAE Guidelines, 1993., dan Hesdorffer DC, et al., 2011)
b. Kejang Demam Kompleks (Complex Febrile Seizure), 20% di antara
seluruh kejang demam.
Kejang lama dengan durasi lebih dari 15 menit.
Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului
kejang parsial.
Berulang lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
4
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko
Etiologi kejang demam hingga kini belum diketahui. Demamnya sering
disebabkan infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, gastroenteritis, pneumonia,
bronkopneumonia, bronkhitis, tonsilitis, dan infeksi saluran kemih. Kejang jauh
lebih sering terjadi dalam 2 tahun pertama dibanding masa kehidupan lainnya.
Cedera intrakranial saat lahir termasuk pengaruh anoksia dan perdarahan serta cacat
kongenital pada otak, merupakan penyebab tersering pada bayi kecil. Pada masa bayi
lanjut dan awal masa kanak-kanak, penyebab tersering adalah infeksi akut. Penyebab
yang lebih jarang pada bayi adalah tetani, epilepsi idiopatik, hipoglikemia, tumor otak,
asfiksia, perdarahan intrakranial spontan serta trauma postnatal (Soetomenggolo,
2004).
Demam yang disebabkan oleh imunisasi juga dapat memprovokasi kejang
demam. Anak yang mengalami kejang setelah imunisasi selalu terjadi waktu anak
sedang demam. Kejang setelah imunisasi terutama didapatkan setelah imunisasi DTP
(pertusis) dan morbili (campak) (Soetomenggolo, 2004).
Pernah dilaporkan bahwa infeksi tertentu lebih sering disertai kejang demam
daripada infeksi lainnya. Sekitar 4,8%-45% penderita gastroenteritis oleh kuman
Shigella mempunyai risiko mengalami kejang demam yang lebih tinggi dibanding
penderita gastroenteritis oleh kuman penyebab lainnya (Waruiru & Appleton, 2008).
Lahat dkk, 1984 mengemukakan bahwa tingginya angka kejadian kejang demam pada
Shigellosis dan Salmonellosis mungkin berkaitan dengan efek toksik akibat racun
yang dihasilkan kuman bersangkutan (Soetomenggolo, 2004).
Setelah kejang demam pertama kira-kira 33% anak akan mengalami satu kali
rekurensi (kekambuhan), dan kira kira 9 % anak mengalami rekurensi 3 kali atau lebih,
resiko rekurensi meningkat dengan usia dini, cepatnya anak mendapat kejang setelah
demam timbul, temperatur yang rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam,
dan riwayat keluarga epilepsi (Behrman, et al., 2000).
5
- Kejang awal yangunilateral
- Kejang berhenti lebih dari 30menit
- Kejang berulang karena penyakit yangsama.
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah
80 %, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya
kejang demam hanya 10 % - 15 %. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling
besar adalah pada tahun pertama (Lumbantobing, 2007).
2.4 Patogenesis
Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion
kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya,
kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ di dalam sel neuron tinggi dan
konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya.
Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel maka terdapat
perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga
keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na – K –
ATPase yang terdapat pada permukaan sel (Mardjono, 2006).
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10% - 15% dan kebutuhan oksigen 20%. Pada seorang anak
berumur 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh, dibandingkan
dengan orang dewasa yang hanya 15 %. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat
terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu singkat
terjadi difusi dari ion K+ maupun ion Na+ melalui membran tadi, sehingga
mengakibatkannya lepas muatan listrik (Price, Sylvia, Anderson, 2006).
kejang. Kejang tersebut kebanyakan terjadi bersamaan dengan kenaikan suhu badan
yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi di luar SSP, misalnya infeksi
pada telinga, dan infeksi saluran pernafasan lainnya (Price, Sylvia, Anderson, 2006).
Lepasnya muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke
seluruh sel maupun membran sel tetangganya dengan bantuan neurotransmiter dan
terjadilah Kejang umumnya berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti, anak tidak
memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi beberapa detik/menit kemudian anak
akan terbangun dan sadar kembali tanpa kelainan saraf. Kejang demam yang
berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala
sisa. Tetapi kejang yang berlangsung lama (> 15 menit) sangat berbahaya dan
dapat menimbulkan kerusakan permanen otak (Muid, 2005).
6
Kejang yang berlangsung lama biasanya disertai terjadinya apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang
akibatnya terjadi hipoksemia, hiperkapnea, asidosis laktat disebabkan oleh
metabolisme anaerobik, dan suhu tubuh yang makin meningkat disebabkan karena
meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak
meningkat. Rangkaian kejadian di atas adalah faktor penyebab hingga terjadinya
kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting adalah
gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan
permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel
neuron otak. Kejang demam yang berlangsung lama juga dapat menyebabkan
kelainan anatomis di otak sehingga terjadi epilepsi (Price, Sylvia, Anderson, 2006).
7
2.5 Gejala Klinis
Umumnya kejang berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau
tonik klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti,
anak tidak memberikan reaksi apapun sejenak, tetapi setelah beberapa menit atau
detik terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang dapat diikuti
dengan hemiparesis sementara (Hemiparesis Todd) yang berlangung beberapa jam
hingga beberapa hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh heiparesis yang
menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama lebih sering pada kejang demam
pertama (Soetomenggolo, TS., Ismael, S, 1999)
2.6 Diagnosis
a. Anamnesis ( Pudjiadi, AH, et al, 2009)
• Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang
• Suhu sebelum/saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, keadaan anak
pasca kejang, penyebab demam di luar infeksi susunan saraf pusat (gejala
ISPA, ISK, OMA, dll)
• Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsi dalam
keluarga
• Singkirkan penyebab kejang yang lain (misalnya diare/muntah yang
menyebabkan gangguan elektrolit, sesak yang mengakibatkan hipoksemia,
asupan kurang yang dapat menyebabkan hipoglikemia)
Bila klinis yakin bukan meningitis, tidak perlu dilakukan pungsi lumbal
(Arief, RF, 2015)
Pemeriksaan elektroensefalografi (electroencephalography/EEG) tidak
direkomendasikan karena tidak dapat memprediksi berulangnya kejang atau
memperkirakan kemungkinan epilepsi pada pasien kejang demam (Arief, RF, 2015).
EEG hanya dilakukan pada kejang fokal untuk menentukan adanya fokus kejang di
otak yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut (Ismael, S, et al, 2016)
Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI kepala) tidak rutin dilakukan pada
anak dengan kejang demam sederhana. Pemeriksaan tersebut dilakukan bila
terdapat indikasi, seperti kelainan neurologis fokal yang menetap, misalnya
hemiparesis atau paresis nervus kranialis (Ismael, S, et al, 2016)
MRI diketahui memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi
dibandingkan CT scan, namun belum tersedia secara luas di unit gawat darurat. CT
11
11
scan dan MRI dapat mendeteksi perubahan fokal yang terjadi baik yang bersifat
sementara maupun kejang fokal sekunder. Indikasi pemeriksaan pencitraan seperti:
(Arief, RF, 2015)
1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
2. Paresis nervus V
3. papil edema
12
12
13
13
Gambar 2.1 Algoritma Penanganan Kejang Akut dan Status Epileptikus pada Anak
(Goldstein JA, Chung MG, 2013 dan Moe PG, Seay AR, 2008)
14
14
b. Tatalaksana saat Demam
• Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko
terjadinya kejang demam. Meskipun demikian, dokter neurologi anak di Indonesia
sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan
adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan tiap 4-6 jam. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4
kali sehari ( Ismail, S, et al, 2016)
• Antikonvulsan Intermiten
Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah obat
antikonvulsan yang diberikan hanya pada saat demam. Profilaksis intermiten
diberikan pada kejang demam dengan salah satu faktor risiko di bawah ini: ( Ismail, S,
et al, 2016)
• Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
• Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
• Usia <6 bulan
• Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius
• Bila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat dengan cepat
Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali peroral atau rectal 0,5
mg/kg/kali ( 5 mg untuk berat badan ≤ 12 kg dan 10 mg untuk berat badan ≥ 12 kg)
sebanyak 3 kali sehari, dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam
intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam. Perlu diinformasikan pada
orangtua bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat menyebabkan ataksia,
iritabilitas, serta sedasi ( Ismail, S, et al, 2016)
• Antikonvulsan rumatan
Pemberian antikonvulsan rumatan hanya diberikan pada kasus selektif dan
dalam jangka pendek. Indikasi pengobatan rumat ( Ismail, S, et al, 2016)
1. Kejang fokal
2. Kejang lama >15 menit
3. Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya
palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis.
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam
menurunkan risiko berulangnya kejang. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat
menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat
pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang
15
15
berumur kurang dari 2 tahun, asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati.
Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis, dan fenobarbital
3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis. Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian
pengobatan rumat untuk kejang demam tidak membutuhkan tapering off, namun
dilakukan pada saat anak tidak sedang demam (Ismail, S, et al, 2016)
2.9 Prognosis
a. Kecacatan atau kelainan neurologis
Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian kecacatan
sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental
dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal.
Kelainan neurologis dapat terjadi pada kasus kejang lama atau kejang berulang, baik
umum maupun fokal. Suatu studi melaporkan terdapat gangguan recognition memory
pada anak yang mengalami kejang lama. Hal tersebut menegaskan pentingnya
terminasi kejang demam yang berpotensi menjadi kejang lama (Ismail, S, et al, 2016)
b. Kemungkinan berulangnya kejang demam
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko
berulangnya kejang demam adalah: (Ismail, S, et al, 2016)
1. Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga
2. Usia kurang dari 12 bulan
3. Suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius saat kejang
4. Interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan terjadinya kejang.
5. Apabila kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.
Bila seluruh faktor tersebut di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang
demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan
berulangnya kejang demam hanya 10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam
paling besar pada tahun pertama (Ismail, S, et al, 2016)
c. Faktor risiko terjadinya epilepsi (Ismail, S, et al, 2016)
Faktor risiko menjadi epilepsi di kemudian hari adalah:
1. Terdapat kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang
demam pertama
2. Kejang demam kompleks
3. Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung
4. Kejang demam sederhana yang berulang 4 episode atau lebih dalam satu tahun.
16
16
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi
sampai 4-6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut akan meningkatkan kemungkinan
epilepsi menjadi 10-49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan
pemberian obat rumatan pada kejang demam (Ismail, S, et al, 2016)
d. Kematian
Kematian langsung karena kejang demam tidak pernah dilaporkan. Angka
kematian pada kelompok anak yang mengalami kejang demam sederhana dengan
perkembangan normal dilaporkan sama dengan populasi umum (Ismail, S, et al, 2016)
17
17
BAB 3
KESIMPULAN
Kejang demam merupakan jenis kejang yang sering terjadi, terbagi atas kejang
demam sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam merupakan suatu
kondisi yang patut diperhatikan, dan tatalaksana yang tepat dapat mengatasi kondisi
kejang dan mengatasi kausanya. Sebagian besar kejang demam tidak menyebabkan
penurunan IQ, epilepsi, ataupun kematian. Kejang demam dapat berulang yang
kadang menimbulkan ketakutan dan kecemasan pada keluarga. Diperlukan
pemeriksaan sesuai indikasi dan tatalaksana menyeluruh. Edukasi orang tua penting
karena merupakan pilar pertama penanganan kejang demam sebelum dirujuk ke
rumah sakit (Arief, RF, 2015).
18
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Soetomenggolo TS, Ismael S. Buku ajar neurologi anak. Jakarta: IDAI, 1999.
h:244-52.
24. Rudolph AM. Febrile Seizures. Rudoplh Pediatrics. Edisi ke-20. Appleton dan
Lange, 2002.
25. Saharso Darto. Kejang Demam, dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag./SMF
Ilmu Kesehatan Anak RSU dr. Soetomo, Surabaya. 2006 : 271 – 273.
26. Sastroasmoro, S, dkk. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Penyakit
Anak. Cetakan Pertama. RSUP Nasional Dr.Ciptomangunkusumo. Jakarta: 2007;
Hal 252.
27. Soetomenggolo, S. Kejang Demam. Dalam Buku Neurologi UI. Jakarta: Penerbit
FKUI. 2004. H 244-251.
20
20
2005.
29. Wa ru i ru & Appl e t on . Fe bri l e Se i zu re : An Upda t e . Ar ch Di s. 2008.
Di a kse s 1 Agust u s 20 22. Ava i l a bl e fr om UR L:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1720014/pdf/v089p00751.pdf/?to
ol=pmcentrez.
30. Goldstein JA, Chung MG. Status epilepticus and seizures. Dalam: Abend NS,
Helfaer MA, penyunting. Pediatric neurocritical care. New York: Demosmedical;
2013. h 117–138.
31. Moe PG, Seay AR. Neurological and muscular diorders. Dalam: Hay WW,
Hayward AR, Levin MJ, Sondheimer JM, penyunting. Current pediatric:
Diagnosis and treatment. Edisi ke-18. International
Edition:McGrawHill;2008.h.735.
21
21
BORANG PORTOFOLIO
Nama Peserta: Annisa Yuwita
Nama Wahana: RSUD Padang Panjang
Topik: Kejang Demam Komplek
Tanggal (kasus): 25 Februari 2022
Nama Pasien:An. ARA No. RM: 458319
Tanggal Presentasi: Nama Pendamping:
dr. Endayani,MPH
Obyektif Presentasi:
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi : Pasien datang dengan kejang 1 jam sebelum masuk rumah sakit
Tujuan : Menegakkan diagnosis, penatalaksanaan
Bahan bahasan: Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit
Cara membahas: Diskusi Presentasi dan diskusi Email Pos
Data pasien: Nama: An. ARA Nomor Registrasi: 458319
Nama klinik: RSUD Padang Telp: - Tedaftar sejak:
Panjang
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Diagnosis/gambaran klinis: Kejang Demam Komplek
2. Riwayat pengobatan
Ada, saat demam orang tua anak memberikan paracetamol.
3. Riwayat kesehatan
Tidak ada
4. Riwayat keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita keluhan seperti pasien
5. Riwayat pekerjaan
Pasien belum bekerja
6. Kondisi lingkungan sosial dan fisik (rumah, lingkungan, pekerjaan)
Tinggal bersama keluarga inti
8. Lain-lain:
Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
Masa kehamilan : Cukup bulan
22
22
Partus : Spontan
Ditolong oleh : Bidan
Berat badan lahir : 2900 gram
Panjang badan lahir : 48 cm
Keadaan saat lahir : Langsung menangis
Riwayat Makan
Susu formula : 0 - sekarang
Bubur bayi : 4 - 6 bulan
Nasi tim : 6 – 12 bulan
Nasi : 12 bulan – sekarang
Riwayat Perkembangan
Tengkurap : 4 bulan
Duduk : 8 bulan
Berdiri : 9 bulan
Berjalan : 1 tahun 5 bulan
Kesan : Perkembangan motorik dalam batas normal
Riwayat Imunisasi
BCG : 1 kali, scar + (pada lengan kanan)
DPT : 3 kali
Polio : 3 kali
Hepatitis B : 3 kali
Campak : 1 kali
Kesan : Imunisasi dasar lengkap
Hasil Pembelajaran
1. Definisi
2. Epidemiologi
3. Etiologi
4. Klasifikasi
5. Patofisiologi
6. Manifestasi Klinis
7. Diagnosis
8. Penatalaksanaan
9. Prognosis
23
23
Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio
Subjektif
1. Kejang 3 jam SMRS, kejang 1 x, seluruh tubuh dengan durasi > 20 menit.
3. Demam ≥ 3 hari yang lalu, demam tinggi tidak menggigil, hilang timbul.
6. nyeri tenggorokan
11. Riwayat kontak dengan penderita batuk lama tidak ada. Riwayat pasien batuk
lama tidak ada. Riwayat berat badan sulit naik tidak ada, Riwayat trauma tidak
Vital Sign
Kooperatif : CM
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 39oC
Berat Badan : 8 kg
Tinggi Badan : 78 cm
24
24
Kesan : Gizi Baik
Kepala
Mata : konjungtiva anemis (-/-) sklera ikterik (-/-) pupil isokor, tidak cekung
Torak
Paru
Perkusi : sonor
Jantung
Abdomen
25
25
Perkusi : timpani
Korpus vertebrae
Status neurologikus
Brudzinsky I : (-)
Brudzinsky II : (-)
N. I (Olfaktorius)
N. II (Optikus)
N. III (Okulomotorius)
26
26
Kanan Kiri
Bola mata Bulat Bulat
Ptosis (-) (-)
Gerakan bulbus Bebas ke segala arah Bebas ke segala arah
Strabismus (-) (-)
Nistagmus (-) (-)
Ekso/endotalmus (-) (-)
Pupil
Bentuk isokor isokor
Refleks cahaya (+) (+)
Refleks akomodasi (+) (+)
Refleks konvergensi (+) (+)
N. IV (Trochlearis)
Kanan Kiri
Gerakan mata ke bawah + +
Sikap bulbus Ortho Ortho
Diplopia - -
N. V (Trigeminus)
Kanan Kiri
Motorik Sulit dinilai Sulit dinilai
Membuka mulut
Menggerakkan rahang
Menggigit
Mengunyah
Sensorik
Divisi oftalmika
- Refleks kornea Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Sensibilitas
Divisi maksila
- Refleks masetter Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Sensibilitas
Divisi mandibula
- Sensibilitas Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N. VI (Abdusen)
Kanan Kiri
Gerakan mata ke lateral + +
Sikap bulbus Ortho Ortho
Diplopia - -
N. VII (Fasialis)
Kanan Kiri
Raut wajah Simetris kiri kanan
27
27
Sekresi air mata + +
Fissura palpebra + +
Menggerakkan dahi Sulit dinilai Sulit dinilai
Menutup mata Sulit dinilai Sulit dinilai
Mencibir/ bersiul Sulit dinilai Sulit dinilai
Memperlihatkan gigi Sulit dinilai Sulit dinilai
Sensasi lidah 2/3 depan Sulit dinilai Sulit dinilai
Hiperakusis Sulit dinilai Sulit dinilai
N. VIII (Vestibularis)
Kanan Kiri
Suara berbisik Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Detik arloji Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Rinne tes Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Weber tes Tidak dilakukan
Schwabach tes Tidak dilakukan
- Memanjang
- Memendek
Nistagmus Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Pendular
- Vertikal
- Siklikal
Pengaruh posisi kepala Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N. IX (Glossopharyngeus)
Kanan Kiri
Sensasi lidah 1/3 belakang Sulit dinilai Sulit dinilai
Refleks muntah (Gag Rx) Sulit dinilai
N. X (Vagus)
N. XI (Asesorius)
28
28
N. XII (Hipoglosus)
4. Pemeriksaan koordinasi
Cara berjalan
Romberg tes Sulit dinilai Sulit dinilai
Ataksia Sulit dinilai Sulit dinilai
Reboundphenomen Sulit dinilai Sulit dinilai
Test tumit lutut Sulit dinilai Sulit dinilai
6. Pemeriksaan sensibilitas
7. Sistem refleks
8. Otonom
- Miksi : unhibitted bladder (-)
- Defekasi : fungsi normal
- Sekresi keringat: fungsi normal
Kesadaran
Reaksi bicara Sulit dinilai
Fungsi intelek Sulit dinilai
Reaksi emosi Sulit dinilai
13. Pemeriksaan laboratorium
Darah :
Rutin : Hb : 11,2 gr/dl
Leukosit : 9.890/mm3
Trombosit : 361.000/mm3
Hematokrit : 31%
30
30
Telah dilaporkan seorang anak laki-laki berusia 1 tahun 5 bulan datang ke IGD
RS Padang Panjang tanggal 25 Agustus 2022 jam 18.20 wib dengan kejang 3 jam
sebelum masuk rumah sakit. Kejang 1x, seluruh tubuh, durasi kejang lebih 20 menit.
Setelah kejang anak tidak sadar, namun sesampainya di IGD anak sudah sadar. Demam
≥ 3 hari yang lalu, demam tinggi tidak menggigil, demam hilang timbul. Batuk sejak 2
hari yang lalu, bedahak dan tidak berdarah. Sesak napas tidak ada. Nyeri tenggorokan
tidak ada. Mual muntah tidak ada. BAB dan BAK dalam batas normal.Riwayat kejang
sebelumnya ada, kejang pertama tahun lalu dan kejang kedua bulan juli 2022. Riwayat
kontak dengan penderita batuk lama tidak ada. Riwayat pasien batuk lama tidak ada.
Riwayat berat badan sulit naik tidak ada, Riwayat trauma tidak ada. Riwayat keluar
cairan dari telinga tidak ada. Riwayat pengobatan sebelumnya ada, anak di berikan
kesadaran E4M6V5. Nadi 110 kali permenit dengan irama regular, Suhu 39oC. Nafas
20x/mnt. Berat badan anak 8 kg. Pemeriksaan fisik dalam batas normal. Pemeriksaan
nervus tidak ada kelainan, refleks meningen negatif, refleks patologis negatif, refleks
fisiologis positif. Untuk pemeriksaan motorik dan sensorik dalam batas normal.
batas normal.
didiagnosis dengan Kejang Demam Kompleks. Pada pasien diberikan dumin 125mg
supp, IVFD Kaen 1b 10 tpm (makro). Pasien dirawat di bangsal anak dengan terapi
IVFD Kaen 1B 10 tpm makro, paracetamol drops 4 x 100 mg, Diazepam 3 x 1 mg,
Plan Diagnosis :
31
31
Diagnosis Topik : ekstrakranial
Terapi:
Follow Up
Tanggal 26 Agustus 2022
S / Kejang (-), Demam (-), batuk (+) berkurang, anak sudah mau makan, BAB
(+)
O/KU : Sedang
Kes : composmentis
Nd : 128 x/menit
Nf : 20 x/menit
T : 36,6 ᵒC
Kulit : Teraba hangat
Kepala : Bentuk normal
Mata : konjungtiva anemis (-/-) sklera ikterik (-/-) tidak cekung
Thorax : Rh -/-, Wh -/-
A/ Perbaikan
P/ Boleh Pulang
Paracetamol drops 4 x 100mg (po)
Diazepam 3x1 mg (po)
Pulvis Bromheksin 1,5 mg + Chlorpheniramine 0,75 mg -> 3 x 1 pulvis (po)
33
33
34
34