Anda di halaman 1dari 34

PORTOFOLIO KASUS

KEJANG DEMAM KOMPLEKS

Oleh:
dr. Annisa Yuwita

Dokter Internsip

Pendamping:

dr. Endayani, MPH

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA PADANG PANJANG

PERIODE FEBRUARI 2022

ii
KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim walhamdulillaahirabbil’alamiin, puji dan


syukur atas kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala, berkat rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan portofolio dengan judul “Kejang Demam
Sederhana”, yang merupakan salah satu tugas program internship. Shalawat beserta
salam untuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Penulisan portofolio ini diharapkan mampu menambah pengetahuan penulis
dan para pembaca mengenai kejang demam sederhana mulai dari definisi hingga
tatalaksana dan prognosis. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima
kasih kepada dr. Endayani, MPH selaku pendamping yang telah memberikan banyak
ilmu serta masukan yang berguna dalam proses penyusunan portofolio ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan baik dari segi isi, susunan
bahasa maupun sistematika penulisan portofolio ini. Kritik dan saran pembaca sangat
penulis harapkan. Akhir kata penulis berharap kiranya portofolio ini dapat menjadi
informasi bagi para dokter terkait dengan masalah kesehatan khususnya mengenai
kejang demam sederhana.

Padang panjang, September 2022

Penulis

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kejang demam merupakan kejang yang paling sering dijumpai di bidang
neurologi khususnya anak. Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi
orang tua, sehingga sebagai seorang dokter kita wajib mengatasi kejang demam
dengan tepat dan cepat. Kejang demam pada umumnya dianggap tidak berbahaya dan
sering tidak menimbulkan gejala sisa, akan tetapi bila kejang berlangsung lama dapat
menimbulkan hipoksia pada jaringan Susunan Saraf Pusat (SSP) sehingga dapat
menyebabkan adanya gejala sisa di kemudian hari (Haslam, 2000).
Frekuensi dan lamanya kejang sangat penting untuk diagnosis serta tatalaksana
kejang, ditanyakan kapan kejang terjadi, apakah kejang itu baru pertama kali
terjadi atau sudah pernah sebelumnya, bila sudah pernah berapa kali dan waktu anak
berumur berapa. Sifat kejang perlu ditanyakan, apakah kejang bersifat klonik, tonik,
umum atau fokal. Ditanya pula lama serangan, kesadaran pada waktu kejang dan pasca
kejang. Gejala lain yang menyertai diteliti, termasuk demam, muntah, lumpuh,
penurunan kesadaran atau kemunduran kepandaian. Pada neonatus perlu diteliti
riwayat kehamilan ibu serta kelahiran bayi (Haslam, 2000).
Kejang demam jarang terjadi pada epilepsi, dan kejang demam ini secara spontan
sembuh tanpa terapi tertentu. Kejang demam ini merupakan gangguan kejang yang
paling lazim pada masa anak, dengan prognosis baik secara seragam (Hendarto,
2002).
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak di Amerika Serikat, Amerika
Selatan, Amerika Selatan, dan Eropa Barat, sedangkan kejadian di Asia dilaporkan
lebih tinggi, yakni sekitar 80%. Hampir 90% dari seluruh kejang demam adalah kejang
demam sederhana. Beberapa studi prospektif menunjukkan bahwa kira-kira 20% kasus
merupakan kejang demam kompleks. Pendapat para ahli tentang usia penderita saat
terjadi bangkitan kejang demam tidak sama. Pendapat para ahli terbanyak, kejang
demam terjadi pada waktu anak berusia antara 3 bulan sampai dengan 5 tahun dengan
insidensi tertinggi pada usia 18 bulan. Sekitar 6-15% terjadi pada usia >4 tahun.
Kejang demam sedikit lebih sering pada anak laki-laki. (Waruiru & Appleton, 2008).

1
Kejang demam adalah bangkitan kejang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal lebih dari 38o C) disebut kejang demam tonik-klonik, sangat sering
dijumpai pada anak-anak usia di bawah 5 tahun. Kejang ini disebabkan oleh adanya
suatu awitan hipertermia yang timbul mendadak pada infeksi bakteri atau virus
(Soetomenggolo, 2004).
Dari penelitian yang telah dilakukan Prof.Dr.dr.S.M.Lumbantobing pada 297
penderita kejang demam, 66 (±22,2%) penderita tidak diketahui
penyebabnya (Robert, 2007). Penyebab utama didasarkan atas bagian tubuh yang
terlibat peradangan. Ada penderita yang mengalami kelainan pada lebih dari satu
bagian tubuhnya, misalnya tonsilo-faringitis dan otitis media akut (Aminulah, 2002).
Secara klinis umumnya tidak sulit untuk menegakkan diagnosis kejang demam,
dengan adanya gejala kejang pada suhu badan yang tinggi serta tidak didapatkan
gejala neurologis lain dan anak segera sadar setelah kejang berlalu. Perlu diadakan
pemeriksaan laboratorium segera, berupa pemeriksaan gula dan pungsi lumbal. Hal
ini berguna untuk menentukan sikap terhadap pengobatan hipoglikemia dan
meningitis bakterial (American Academy of Pediatrics, 1999).
Penanggulangan yang tepat dan cepat harus segera dilakukan sehingga
prognosis kejang demam baik dan tidak menyebabkan kematian. Dari penelitian yang
ada, frekuensi terulangnya kejang berkisar antara 25% - 50%, yang umumnya terjadi
pada 6 bulan pertama (Tumbelaka, et al., 2005). Prognosis kejang demam baik,
kejang demam bersifat benigna. Angka kematian hanya 0,64%-0,75%. Sebagian besar
penderita kejang demam sembuh sempurna, sebagian kecil berkembang menjadi
epilepsi yaitu sebanyak 2-7%. 4% penderita kejang demam secara bermakna
mengalami gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi
(Behrman, 2007).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu
tubuh ( suhu rektal di atas 38°C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium,
terjadi pada anak berusia lebih dari 3 bulan dan tidak ada riwayat kejang tanpa
demam sebelumnya. Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang
paling sering dijumpai pada anak berusia sekitar 3 bulan sampai 5 tahun tanpa
disertai infeksi intrakranial, gangguan elektrolit, dan gangguan metabolik lainnya
(Waruiru & Appleton, 2008). Dari beberapa penelitian dijumpai 2-5% anak di bawah
usia 5 tahun mengalami kejang, baik kejang pertama maupun ulangan yang didahului
kenaikan suhu tubuh. Menurut ILAE, International League Against Epilepsy, anak
yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian mengalami kejang demam
tidak termasuk dalam kejangdemam (Hardiono, et al., 2006).
Kejang disertai demam yang terjadi pada bayi berumur kurang dari 1 bulan juga
tidak termasuk dalam kejang demam. Para ahli sepakat bahwa bila anak yang berumur
kurang dari 3 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang yang didahului demam,
harus dipikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP atau epilepsy yang kebetulan
terjadi bersama demam (Sunarka, 2009). Kejang demam harus dibedakan dengan
epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang tanpa demam (Mansjoer, et
al.,2000). Definisi ini menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti
meningitis,ensefalitis atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini mempunyai
prognosis berbeda dengankejang demam karena keadaan yang mendasarinya mengenai
sistem susunan saraf pusat (Mansjoer, et al., 2000)

2.2 Klasifikasi
Umumnya kejang demam ini dibagi menjadi dua golongan. Kriteria untuk
penggolongan tersebut dikemukakan oleh berbagai pakar. Dalam hal ini terdapat
beberapa perbedaan kecil dalam penggolongan tersebut, menyangkut jenis kejang,
tingginya demam, usia penderita, lamanya kejang berlangsung, gambaran rekaman
otak, dan lainnya (Lumbantobing, 2002).

3
Klasifikasi kejang demam pada anak dibagi menjadi 2 yaitu: kejang demam
sederhana (simple febrile seizure) dan kejang demam kompleks (complex febrile
seizure) (Hendarto, 2002., ILAE Guidelines, 1993., dan Hesdorffer DC, et al., 2011).
a. Kejang Demam Sederhana (Simple Febrile Seizure) merupakan 80% di
antara seluruh kejang demam.
 Kejang demam berlangsung singkat
 Durasi kurang dari 15 menit
 Kejang dapat umum, tonik, dan atau klonik
 Umumnya akan berhenti sendiri
 Tanpa gerakan fokal
 Tidak berulang dalam 24 jam
Pada kejang demam sederhana, kejang biasanya timbul ketika suhu meningkat
dengan mendadak, sehingga seringkali orang tua tidak mengetahui sebelumnya bahwa
anak menderita demam. Kenaikan suhu yang tiba-tiba merupakan faktor yang penting
untuk menimbulkan kejang (Hendarto, 2002).
Kejang pada kejang demam sederhana selalu berbentuk umum, biasanya bersifat
tonik – klonik seperti kejang grand mal, kadang – kadang hanya kaku umum atau
mata mendelik seketika. Kejang dapat juga berulang, tapi sebentar saja, dan masih
dalam waktu 16 jam meningkatnya suhu, umumnya pada kenaikan suhu yang
mendadak (Hendarto, 2002., ILAE Guidelines, 1993., dan Hesdorffer DC, et al., 2011)
b. Kejang Demam Kompleks (Complex Febrile Seizure), 20% di antara
seluruh kejang demam.
 Kejang lama dengan durasi lebih dari 15 menit.
 Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului
kejang parsial.
 Berulang lebih dari 1 kali dalam 24 jam.

4
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko
Etiologi kejang demam hingga kini belum diketahui. Demamnya sering
disebabkan infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, gastroenteritis, pneumonia,
bronkopneumonia, bronkhitis, tonsilitis, dan infeksi saluran kemih. Kejang jauh
lebih sering terjadi dalam 2 tahun pertama dibanding masa kehidupan lainnya.
Cedera intrakranial saat lahir termasuk pengaruh anoksia dan perdarahan serta cacat
kongenital pada otak, merupakan penyebab tersering pada bayi kecil. Pada masa bayi
lanjut dan awal masa kanak-kanak, penyebab tersering adalah infeksi akut. Penyebab
yang lebih jarang pada bayi adalah tetani, epilepsi idiopatik, hipoglikemia, tumor otak,
asfiksia, perdarahan intrakranial spontan serta trauma postnatal (Soetomenggolo,
2004).
Demam yang disebabkan oleh imunisasi juga dapat memprovokasi kejang
demam. Anak yang mengalami kejang setelah imunisasi selalu terjadi waktu anak
sedang demam. Kejang setelah imunisasi terutama didapatkan setelah imunisasi DTP
(pertusis) dan morbili (campak) (Soetomenggolo, 2004).
Pernah dilaporkan bahwa infeksi tertentu lebih sering disertai kejang demam
daripada infeksi lainnya. Sekitar 4,8%-45% penderita gastroenteritis oleh kuman
Shigella mempunyai risiko mengalami kejang demam yang lebih tinggi dibanding
penderita gastroenteritis oleh kuman penyebab lainnya (Waruiru & Appleton, 2008).
Lahat dkk, 1984 mengemukakan bahwa tingginya angka kejadian kejang demam pada
Shigellosis dan Salmonellosis mungkin berkaitan dengan efek toksik akibat racun
yang dihasilkan kuman bersangkutan (Soetomenggolo, 2004).
Setelah kejang demam pertama kira-kira 33% anak akan mengalami satu kali
rekurensi (kekambuhan), dan kira kira 9 % anak mengalami rekurensi 3 kali atau lebih,
resiko rekurensi meningkat dengan usia dini, cepatnya anak mendapat kejang setelah
demam timbul, temperatur yang rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam,
dan riwayat keluarga epilepsi (Behrman, et al., 2000).

Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor


risiko berulangnya kejang demam adalah: ( Behrman, et al., 2000)
- Riwayat kejang demam dalamkeluarga
- Usia kurang dari 12bulan
- Temperatur yang rendah saatkejang
- Cepatnya kejang setelahdemam
- Terdapat kelainan neurologis (meskipunminimal)

5
- Kejang awal yangunilateral
- Kejang berhenti lebih dari 30menit
- Kejang berulang karena penyakit yangsama.
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah
80 %, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya
kejang demam hanya 10 % - 15 %. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling
besar adalah pada tahun pertama (Lumbantobing, 2007).

2.4 Patogenesis
Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion
kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya,
kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ di dalam sel neuron tinggi dan
konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya.
Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel maka terdapat
perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga
keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na – K –
ATPase yang terdapat pada permukaan sel (Mardjono, 2006).
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10% - 15% dan kebutuhan oksigen 20%. Pada seorang anak
berumur 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh, dibandingkan
dengan orang dewasa yang hanya 15 %. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat
terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu singkat
terjadi difusi dari ion K+ maupun ion Na+ melalui membran tadi, sehingga
mengakibatkannya lepas muatan listrik (Price, Sylvia, Anderson, 2006).
kejang. Kejang tersebut kebanyakan terjadi bersamaan dengan kenaikan suhu badan
yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi di luar SSP, misalnya infeksi
pada telinga, dan infeksi saluran pernafasan lainnya (Price, Sylvia, Anderson, 2006).
Lepasnya muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke
seluruh sel maupun membran sel tetangganya dengan bantuan neurotransmiter dan
terjadilah Kejang umumnya berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti, anak tidak
memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi beberapa detik/menit kemudian anak
akan terbangun dan sadar kembali tanpa kelainan saraf. Kejang demam yang
berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala
sisa. Tetapi kejang yang berlangsung lama (> 15 menit) sangat berbahaya dan
dapat menimbulkan kerusakan permanen otak (Muid, 2005).
6
Kejang yang berlangsung lama biasanya disertai terjadinya apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang
akibatnya terjadi hipoksemia, hiperkapnea, asidosis laktat disebabkan oleh
metabolisme anaerobik, dan suhu tubuh yang makin meningkat disebabkan karena
meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak
meningkat. Rangkaian kejadian di atas adalah faktor penyebab hingga terjadinya
kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting adalah
gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan
permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel
neuron otak. Kejang demam yang berlangsung lama juga dapat menyebabkan
kelainan anatomis di otak sehingga terjadi epilepsi (Price, Sylvia, Anderson, 2006).

7
2.5 Gejala Klinis
Umumnya kejang berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau
tonik klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti,
anak tidak memberikan reaksi apapun sejenak, tetapi setelah beberapa menit atau
detik terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang dapat diikuti
dengan hemiparesis sementara (Hemiparesis Todd) yang berlangung beberapa jam
hingga beberapa hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh heiparesis yang
menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama lebih sering pada kejang demam
pertama (Soetomenggolo, TS., Ismael, S, 1999)

2.6 Diagnosis
a. Anamnesis ( Pudjiadi, AH, et al, 2009)
• Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang
• Suhu sebelum/saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, keadaan anak
pasca kejang, penyebab demam di luar infeksi susunan saraf pusat (gejala
ISPA, ISK, OMA, dll)
• Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsi dalam
keluarga
• Singkirkan penyebab kejang yang lain (misalnya diare/muntah yang
menyebabkan gangguan elektrolit, sesak yang mengakibatkan hipoksemia,
asupan kurang yang dapat menyebabkan hipoglikemia)

b. Pemeriksaan Fisik (Pudjiadi, AH, et al, 2009)


• Kesadaran: apakah terdapat penurunan kesadaran
• Suhu tubuh: apakah terdapat demam
• Tanda ransang meningeal: Kaku kuduk, Brudzinski I dan II, Kernig,
Laseque
• Pemeriksaan nervus kranial
• Tanda peningkatan tekanan intrakranial: UUB menonjol, papil edema
• Tanda infeksi diluar SSP: ISPA, OMA, ISK, dll
• Pemeriksaan neurologis: tonus, motorik, reflek fisiologis, reflek
patologis
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,
tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam.
10
10
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan atas indikasi misalnya darah perifer,
elektrolit, dan gula darah (Ismael, S, et al, 2016 dan Arief, RF, 2015)
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Berdasarkan bukti-bukti terbaru, saat ini
pemeriksaan pungsi lumbal tidak dilakukan secara rutin pada anak berusia <12 bulan
yang mengalami kejang demam sederhana dengan keadaan umum baik (Ismael, S, et
al, 2016)
Indikasi pungsi lumbal: (Ismael, S, et al, 2016)

1. Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal


2. Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
klinis
3. Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang sebelumnya telah
mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik tersebut dapat mengaburkan tanda dan
gejala meningitis.
Pada bayi, sering sulit menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis
karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Sehingga, pungsi lumbal dianjurkan pada:
(Arief, RF, 2015)
1. Bayi kurang dari 12 bulan – sangat dianjurkan
2. Bayi antara 12-18 bulan – dianjurkan
3. Bayi >18 bulan – tidak rutin

Bila klinis yakin bukan meningitis, tidak perlu dilakukan pungsi lumbal
(Arief, RF, 2015)
Pemeriksaan elektroensefalografi (electroencephalography/EEG) tidak
direkomendasikan karena tidak dapat memprediksi berulangnya kejang atau
memperkirakan kemungkinan epilepsi pada pasien kejang demam (Arief, RF, 2015).
EEG hanya dilakukan pada kejang fokal untuk menentukan adanya fokus kejang di
otak yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut (Ismael, S, et al, 2016)
Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI kepala) tidak rutin dilakukan pada
anak dengan kejang demam sederhana. Pemeriksaan tersebut dilakukan bila
terdapat indikasi, seperti kelainan neurologis fokal yang menetap, misalnya
hemiparesis atau paresis nervus kranialis (Ismael, S, et al, 2016)
MRI diketahui memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi
dibandingkan CT scan, namun belum tersedia secara luas di unit gawat darurat. CT

11
11
scan dan MRI dapat mendeteksi perubahan fokal yang terjadi baik yang bersifat
sementara maupun kejang fokal sekunder. Indikasi pemeriksaan pencitraan seperti:
(Arief, RF, 2015)
1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
2. Paresis nervus V
3. papil edema

2.7 Diagnosis Banding

Infeksi SSP dapat disingkirkan melalui pemeriksaan klinis dan pemeriksaan


cairan serebrospinal. Kejang demam yang berlangsung lama kadang menimbulkan
hemiparesis hingga sukar dibedakan dengan kejang karena proses intrakranial. Anak
dengan demam tinggi dapat mengalami delirium, menggigil, pucat dan sianosis
sehingga menyerupai kejang demam. Malaria juga dijadikan salah satu diagnose
banding (Soetomenggolo TS, Ismael S, 1999)
2.8 Tatalaksana
a. Tatalaksana saat kejang
Apabila anak kejang, maka yang pertama dilakukan adalah tetap tenang dan
tidak panik. Longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher. Bila anak tidak
sadar, posisikan anak miring. Bila terdapat muntah, bersihkan muntahan atau lendir di
mulut atau hidung. Walaupun terdapat kemungkinan (yang sesungguhnya sangatkecil)
lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut. Obat yang praktis dan
dapat diberikan oleh orangtua di rumah (prehospital) adalah diazepam rektal. Dosis
diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan
berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 12 kg. Pada
umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada waktu pasien datang,
kejang sudah berhenti. Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti,
dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit.
Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke
rumah sakit ( Ismail, S, et al, 2016)
Apabila saat pasien datang ke rumah sakit dalam keadaan kejang, obat yang
paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam intravena. Dosis diazepam
intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg dengan kecepatan 2 mg/menit atau dalam waktu 3-5
menit, dengan dosis maksimal 10 mg ( Ismail, S, et al, 2016)

12
12
13
13
Gambar 2.1 Algoritma Penanganan Kejang Akut dan Status Epileptikus pada Anak
(Goldstein JA, Chung MG, 2013 dan Moe PG, Seay AR, 2008)

14
14
b. Tatalaksana saat Demam
• Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko
terjadinya kejang demam. Meskipun demikian, dokter neurologi anak di Indonesia
sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan
adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan tiap 4-6 jam. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4
kali sehari ( Ismail, S, et al, 2016)
• Antikonvulsan Intermiten
Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah obat
antikonvulsan yang diberikan hanya pada saat demam. Profilaksis intermiten
diberikan pada kejang demam dengan salah satu faktor risiko di bawah ini: ( Ismail, S,
et al, 2016)
• Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
• Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
• Usia <6 bulan
• Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius
• Bila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat dengan cepat

Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali peroral atau rectal 0,5
mg/kg/kali ( 5 mg untuk berat badan ≤ 12 kg dan 10 mg untuk berat badan ≥ 12 kg)
sebanyak 3 kali sehari, dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam
intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam. Perlu diinformasikan pada
orangtua bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat menyebabkan ataksia,
iritabilitas, serta sedasi ( Ismail, S, et al, 2016)
• Antikonvulsan rumatan
Pemberian antikonvulsan rumatan hanya diberikan pada kasus selektif dan
dalam jangka pendek. Indikasi pengobatan rumat ( Ismail, S, et al, 2016)
1. Kejang fokal
2. Kejang lama >15 menit
3. Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya
palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis.
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam
menurunkan risiko berulangnya kejang. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat
menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat
pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang

15
15
berumur kurang dari 2 tahun, asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati.
Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis, dan fenobarbital
3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis. Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian
pengobatan rumat untuk kejang demam tidak membutuhkan tapering off, namun
dilakukan pada saat anak tidak sedang demam (Ismail, S, et al, 2016)

2.9 Prognosis
a. Kecacatan atau kelainan neurologis
Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian kecacatan
sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental
dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal.
Kelainan neurologis dapat terjadi pada kasus kejang lama atau kejang berulang, baik
umum maupun fokal. Suatu studi melaporkan terdapat gangguan recognition memory
pada anak yang mengalami kejang lama. Hal tersebut menegaskan pentingnya
terminasi kejang demam yang berpotensi menjadi kejang lama (Ismail, S, et al, 2016)
b. Kemungkinan berulangnya kejang demam
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko
berulangnya kejang demam adalah: (Ismail, S, et al, 2016)
1. Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga
2. Usia kurang dari 12 bulan
3. Suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius saat kejang
4. Interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan terjadinya kejang.
5. Apabila kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.
Bila seluruh faktor tersebut di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang
demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan
berulangnya kejang demam hanya 10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam
paling besar pada tahun pertama (Ismail, S, et al, 2016)
c. Faktor risiko terjadinya epilepsi (Ismail, S, et al, 2016)
Faktor risiko menjadi epilepsi di kemudian hari adalah:
1. Terdapat kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang
demam pertama
2. Kejang demam kompleks
3. Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung
4. Kejang demam sederhana yang berulang 4 episode atau lebih dalam satu tahun.

16
16
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi
sampai 4-6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut akan meningkatkan kemungkinan
epilepsi menjadi 10-49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan
pemberian obat rumatan pada kejang demam (Ismail, S, et al, 2016)

d. Kematian
Kematian langsung karena kejang demam tidak pernah dilaporkan. Angka
kematian pada kelompok anak yang mengalami kejang demam sederhana dengan
perkembangan normal dilaporkan sama dengan populasi umum (Ismail, S, et al, 2016)

17
17
BAB 3
KESIMPULAN

Kejang demam merupakan jenis kejang yang sering terjadi, terbagi atas kejang
demam sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam merupakan suatu
kondisi yang patut diperhatikan, dan tatalaksana yang tepat dapat mengatasi kondisi
kejang dan mengatasi kausanya. Sebagian besar kejang demam tidak menyebabkan
penurunan IQ, epilepsi, ataupun kematian. Kejang demam dapat berulang yang
kadang menimbulkan ketakutan dan kecemasan pada keluarga. Diperlukan
pemeriksaan sesuai indikasi dan tatalaksana menyeluruh. Edukasi orang tua penting
karena merupakan pilar pertama penanganan kejang demam sebelum dirujuk ke
rumah sakit (Arief, RF, 2015).

18
18
DAFTAR PUSTAKA

1. Soetomenggolo TS, Ismael S. Buku ajar neurologi anak. Jakarta: IDAI, 1999.
h:244-52.

2. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Indris NS, Gandaputra EP, Harmoniati


ED, penyunting. Pedoman Pelayanan Medis jilid I. Jakarta: IDAI, 2009.
h150-153.

3. Ismael S, Pusponegoro HD, Widodo DP, Mangunatmadja I, Handryastuti S,


penyunting. Rekomendasi penatalaksanaan kejang demam. Jakarta: IDAI
2016.h1-14.

4. Arief RF. Penatalaksanaan Kejang Demam. 2015. CDK; 42(9): 658-61.

5. American Academy of Pediatrics. Practice Parameter: Long-term Treatment of


the Child with Simple Febrile Seizure. 1999; 6: 1307-1309. Sumber Tulisan:
http://aappolicy.aappublications.org/cgi/content/full/pediatrics
6. Asril Aminulah, Prof Bambang Madiyono. Hot Topik In Pediatric II : Kejang
Pada Anak. Cetakan ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2002.
7. Behrman, Richard E., Robert M. Kliegman., Hal B. Jenson. Nelson Ilmu
Kesehatan Anak : Kejang Demam. 18 edition. Jakarta : EGC. 2007.
8. Berg AT, Shinnar S, Levy SR, Testa FM. Childhood-Onset Epilepsy With and
Without Preceeding Febrile Seizures. Neurology, vol. 53, no. 8, 1999 : 23-34.
9. Campfield P, Camfield C. Advance in Diagnosis and Management of Pediatrics
Seizures Disorders in Twentieth Century. J Pediatrics 2000, 136 : 847 – 9.
10. Gordon KE, Dooley JM, Camfield PR, Campfield CS, MacSween J. Treatment of
Febrile Seizures: Influence of The Treatment Efficacy and Side-effect Profile on
Value to Parents. Pediatrics 2001; 108 : 65-9.
11. Haslam Robert H. A. Sistem Saraf, dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Vol. 3,
Edisi 15. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2000; XXVII : 2059 – 2060.
12. Hendarto S. K. Kejang Demam. Subbagian Saraf Anak, Bagian Ilmu Kesehatan
Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM, Jakarta. Cermin Dunia
Kedokteran No. 27. 2002 : 6 – 8.
13. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2004. Kejang Demam. Dalam : Standar
Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta : Badan Penerbit IDAI : 209.
14. Jones & Jacobsen. 2007. Childhood Febrile Seizure: Overview and Implications.
19
19
International Journal Medical Science, 4 (2) : 110-12. Diakses 1 Agustus
2022. Available from :
URL http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1852399/pdf/ijmsv04p0110.
pdf/?tool=pmcentrez
15. Lumbantobing, S.M. Kejang Demam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007.
16. Mansjoer Arif, Suprohaita, Wardhani Wahyu Ika, et al. Neurologi Anak, dalam
Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga Jilid Kedua. Media Aesculapius FK
Universitas Indonesia, Jakarta. 2000 : 48, 434 – 437.
17. Mardjono Mahar, dkk. Neurologi Klinis Dasar, PT. Dian Rakyat. Jakrta, 2006.
18. Mary Rudolf, Malcolm Levene. Pediatric and Child Health. Edisi ke-2.
Blackwell pulblishing, 2006. Hal 72-90.
19. Muid M ; Simposium Infeksi Pediatri Tropik dan Gawat Darurat Anak, Tata
Laksana Terkini Penyakit Tropis dan Gawat Darurat Pada Anak ; Kejang
Demam ; IDAI Cabang Jawa Timur : 2005, hal. 98-110.
20. Pusponegoro Hardiono D, Widodo Dwi Putro, Ismael Sofyan. Konsensus
Penatalaksanaan Kejang Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan
Dokter Anak Indonesia, Jakarta. 2006 : 1 – 14.
21. Pusponegoro, Hardiono D. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI. 2004.
22. Pusponegoro H.D dkk ; Standart Pelayanan Medis Kesehatan Anak, Kejang
Demam ; Penerbit : IDAI ; 2005, hal. 209-211.
23. Price, Sylvia, Anderson. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
EG

24. Rudolph AM. Febrile Seizures. Rudoplh Pediatrics. Edisi ke-20. Appleton dan
Lange, 2002.
25. Saharso Darto. Kejang Demam, dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag./SMF
Ilmu Kesehatan Anak RSU dr. Soetomo, Surabaya. 2006 : 271 – 273.
26. Sastroasmoro, S, dkk. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Penyakit
Anak. Cetakan Pertama. RSUP Nasional Dr.Ciptomangunkusumo. Jakarta: 2007;
Hal 252.
27. Soetomenggolo, S. Kejang Demam. Dalam Buku Neurologi UI. Jakarta: Penerbit
FKUI. 2004. H 244-251.

28. Tumbelaka, Alan R, Trihono, Partini P, Kurniati, Nia, Putro Widodo,


Dwi. Penanganan Demam Pada Anak Secara Profesional: Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLVII. Cetakan pertama. FKUI-RSCM. Jakarta.

20
20
2005.
29. Wa ru i ru & Appl e t on . Fe bri l e Se i zu re : An Upda t e . Ar ch Di s. 2008.
Di a kse s 1 Agust u s 20 22. Ava i l a bl e fr om UR L:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1720014/pdf/v089p00751.pdf/?to
ol=pmcentrez.
30. Goldstein JA, Chung MG. Status epilepticus and seizures. Dalam: Abend NS,
Helfaer MA, penyunting. Pediatric neurocritical care. New York: Demosmedical;
2013. h 117–138.
31. Moe PG, Seay AR. Neurological and muscular diorders. Dalam: Hay WW,
Hayward AR, Levin MJ, Sondheimer JM, penyunting. Current pediatric:
Diagnosis and treatment. Edisi ke-18. International
Edition:McGrawHill;2008.h.735.

21
21
BORANG PORTOFOLIO
Nama Peserta: Annisa Yuwita
Nama Wahana: RSUD Padang Panjang
Topik: Kejang Demam Komplek
Tanggal (kasus): 25 Februari 2022
Nama Pasien:An. ARA No. RM: 458319
Tanggal Presentasi: Nama Pendamping:
dr. Endayani,MPH
Obyektif Presentasi:
Keilmuan  Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik  Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak  Remaja Dewasa Lansia  Bumil
Deskripsi : Pasien datang dengan kejang 1 jam sebelum masuk rumah sakit
Tujuan : Menegakkan diagnosis, penatalaksanaan
Bahan bahasan:  Tinjauan Pustaka  Riset  Kasus  Audit
Cara membahas:  Diskusi  Presentasi dan diskusi  Email  Pos
Data pasien: Nama: An. ARA Nomor Registrasi: 458319
Nama klinik: RSUD Padang Telp: - Tedaftar sejak:
Panjang
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Diagnosis/gambaran klinis: Kejang Demam Komplek
2. Riwayat pengobatan
Ada, saat demam orang tua anak memberikan paracetamol.
3. Riwayat kesehatan
Tidak ada
4. Riwayat keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita keluhan seperti pasien
5. Riwayat pekerjaan
Pasien belum bekerja
6. Kondisi lingkungan sosial dan fisik (rumah, lingkungan, pekerjaan)
Tinggal bersama keluarga inti
8. Lain-lain:
Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
Masa kehamilan : Cukup bulan

22
22
Partus : Spontan
Ditolong oleh : Bidan
Berat badan lahir : 2900 gram
Panjang badan lahir : 48 cm
Keadaan saat lahir : Langsung menangis
Riwayat Makan
Susu formula : 0 - sekarang
Bubur bayi : 4 - 6 bulan
Nasi tim : 6 – 12 bulan
Nasi : 12 bulan – sekarang
Riwayat Perkembangan
Tengkurap : 4 bulan
Duduk : 8 bulan
Berdiri : 9 bulan
Berjalan : 1 tahun 5 bulan
Kesan : Perkembangan motorik dalam batas normal
Riwayat Imunisasi
BCG : 1 kali, scar + (pada lengan kanan)
DPT : 3 kali
Polio : 3 kali
Hepatitis B : 3 kali
Campak : 1 kali
Kesan : Imunisasi dasar lengkap

Hasil Pembelajaran
1. Definisi
2. Epidemiologi
3. Etiologi
4. Klasifikasi
5. Patofisiologi
6. Manifestasi Klinis
7. Diagnosis
8. Penatalaksanaan
9. Prognosis

23
23
Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio
Subjektif

1. Kejang 3 jam SMRS, kejang 1 x, seluruh tubuh dengan durasi > 20 menit.

2. Tidak sadar setelah kejang.

3. Demam ≥ 3 hari yang lalu, demam tinggi tidak menggigil, hilang timbul.

4. Batuk sejak 2 hari yang lalu, bedahak dan tidak berdarah.

5. Flu sejak 2 hari yang lalu,

6. nyeri tenggorokan

7. Sesak napas tidak ada.

8. Mual Muntah tidak ada.

9. BAB encer dan BAK dalam batas normal.

10. Riwayat Kejang sebelumnya ada. Ini kejang ke 3.

11. Riwayat kontak dengan penderita batuk lama tidak ada. Riwayat pasien batuk

lama tidak ada. Riwayat berat badan sulit naik tidak ada, Riwayat trauma tidak

ada. Riwayat keluar cairan dari telinga tidak ada.

12. Riwayat pengobatan ada, meminum paracetamol saat demam.

Vital Sign

Keadaan umum : Sedang

Kesadaran : GCS : E4M6V5

Kooperatif : CM

Nadi/ irama : 110x/menit, reguler

Pernafasan : 20 x/menit

Suhu : 39oC

Berat Badan : 8 kg

Tinggi Badan : 78 cm

Status Gizi : IMT : 8 / (0,78)2 = 16, 43

24
24
Kesan : Gizi Baik

Turgor kulit : baik

Kulit dan kuku : pucat (-), sianosis (-)

Kepala

Mata : konjungtiva anemis (-/-) sklera ikterik (-/-) pupil isokor, tidak cekung

Hidung : napas cuping hidung (-)

Mulut : perioral sianosis (-)

Ubun-ubun : tidak cekung

Kelenjar getah bening

Leher : tidak teraba pembesaran KGB

Aksila : tidak teraba pembesaran KGB

Inguinal : tidak teraba pembesaran KGB

Torak

Paru

Inspeksi : normochest simetris kiri dan kanan

Palpasi : fremitus sama kiri dan kanan

Perkusi : sonor

Auskultasi : vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-

Jantung

Inspeksi : ictus cordis tak terlihat

Palpasi : ictus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V

Perkusi : batas jantung dalam batas normal

Auskultasi : irama ireguler, bising (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : perut tidak tampak membuncit, distensi -

Palpasi : hepar dan lien tak teraba

25
25
Perkusi : timpani

Auskultasi : bising usus (+) N, Supel

Korpus vertebrae

Inspeksi : deformitas (-)

Palpasi : nyeri tekan (-)

Ekstremitas : akral hangat, udem (-), CRT < 2 dtk

Status neurologikus

1. Tanda rangsangan selaput otak

 Kaku kuduk : (-)

 Brudzinsky I : (-)

 Brudzinsky II : (-)

 Tanda Kernig : (-)

2. Tanda peningkatan tekanan intrakranial

 Pupil isokor, diameter 2mm/2mm , reflek cahaya +/+

 Papil edem (tidak diperiksa)

 Chusing sign (-)

3. Pemeriksaan nervus kranialis

N. I (Olfaktorius)

Penciuman Kanan Kiri


Subjektif Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Objektif (dengan bahan) Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N. II (Optikus)

Penglihatan Kanan Kiri


Tajam penglihatan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Lapangan pandang Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Melihat warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N. III (Okulomotorius)

26
26
Kanan Kiri
Bola mata Bulat Bulat
Ptosis (-) (-)
Gerakan bulbus Bebas ke segala arah Bebas ke segala arah
Strabismus (-) (-)
Nistagmus (-) (-)
Ekso/endotalmus (-) (-)
Pupil
 Bentuk isokor isokor
 Refleks cahaya (+) (+)
 Refleks akomodasi (+) (+)
 Refleks konvergensi (+) (+)
N. IV (Trochlearis)

Kanan Kiri
Gerakan mata ke bawah + +
Sikap bulbus Ortho Ortho
Diplopia - -

N. V (Trigeminus)

Kanan Kiri
Motorik Sulit dinilai Sulit dinilai
 Membuka mulut
 Menggerakkan rahang
 Menggigit
 Mengunyah
Sensorik
 Divisi oftalmika
- Refleks kornea Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Sensibilitas
 Divisi maksila
- Refleks masetter Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Sensibilitas
 Divisi mandibula
- Sensibilitas Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N. VI (Abdusen)

Kanan Kiri
Gerakan mata ke lateral + +
Sikap bulbus Ortho Ortho
Diplopia - -

N. VII (Fasialis)

Kanan Kiri
Raut wajah Simetris kiri kanan

27
27
Sekresi air mata + +
Fissura palpebra + +
Menggerakkan dahi Sulit dinilai Sulit dinilai
Menutup mata Sulit dinilai Sulit dinilai
Mencibir/ bersiul Sulit dinilai Sulit dinilai
Memperlihatkan gigi Sulit dinilai Sulit dinilai
Sensasi lidah 2/3 depan Sulit dinilai Sulit dinilai
Hiperakusis Sulit dinilai Sulit dinilai

N. VIII (Vestibularis)

Kanan Kiri
Suara berbisik Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Detik arloji Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Rinne tes Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Weber tes Tidak dilakukan
Schwabach tes Tidak dilakukan
- Memanjang
- Memendek
Nistagmus Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Pendular
- Vertikal
- Siklikal
Pengaruh posisi kepala Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N. IX (Glossopharyngeus)

Kanan Kiri
Sensasi lidah 1/3 belakang Sulit dinilai Sulit dinilai
Refleks muntah (Gag Rx) Sulit dinilai

N. X (Vagus)

Arkus faring Sulit dinilai


Uvula Sulit dinilai
Menelan Sulit dinilai
Suara Jelas
Nadi Regular

N. XI (Asesorius)

Menoleh ke kanan Normal


Menoleh ke kiri Normal
Mengangkat bahu ke Normal
kanan
Mengangkat bahu ke kiri Normal

28
28
N. XII (Hipoglosus)

Kedudukan lidah dalam simetris


Kedudukan lidah dijulurkan Sulit dinilai
Tremor -
Fasikulasi -
Atropi -

4. Pemeriksaan koordinasi

Cara berjalan
Romberg tes Sulit dinilai Sulit dinilai
Ataksia Sulit dinilai Sulit dinilai
Reboundphenomen Sulit dinilai Sulit dinilai
Test tumit lutut Sulit dinilai Sulit dinilai

5. Pemeriksaan fungsi motorik

a. Badan Respirasi Teratur


Duduk
b. Berdiri dan Gerakan spontan +
berjalan Tremor -
Atetosis -
Mioklonik -
Khorea -
c. Ekstremitas Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai
Kekuatan Simetris kiri kanan
Tropi Eutrofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi
Tonus Eutonus Eutonus Eutonus Eutonus

6. Pemeriksaan sensibilitas

Sensibiltas taktil Sulit dinilai


Sensibilitas nyeri Sulit dinilai
Sensiblitas termis Sulit dinilai
Sensibilitas kortikal Sulit dinilai
Stereognosis Sulit dinilai
Pengenalan 2 titik Sulit dinilai
Pengenalan rabaan Sulit dinilai

7. Sistem refleks

a. Fisiologis Kanan Kiri Kanan Kiri


Kornea (+) (+) Biseps ++ ++
29
29
Berbangkis Triseps ++ ++
Laring KPR ++ ++
Masetter APR ++ ++
Dinding perut Bulbokvernosus
 Atas Cremaster
 Tengah Sfingter
 Bawah

b.Patologis Kanan Kiri Kanan Kiri


Lengan Babinski (-) (-)
Hoffmann- (-) (-) Chaddocks (-) (-)
Tromner
Oppenheim (-) (-)
Gordon (-) (-)
Schaeffer (-) (-)
Klonus paha (-) (-)
Klonus kaki (-) (-)
Tungkai (-) (-)

8. Otonom
- Miksi : unhibitted bladder (-)
- Defekasi : fungsi normal
- Sekresi keringat: fungsi normal

9. Fungsi luhur : Baik

Kesadaran
 Reaksi bicara Sulit dinilai
 Fungsi intelek Sulit dinilai
 Reaksi emosi Sulit dinilai
13. Pemeriksaan laboratorium

Darah :
Rutin : Hb : 11,2 gr/dl
Leukosit : 9.890/mm3
Trombosit : 361.000/mm3
Hematokrit : 31%

Kimia Klinik : GDS : 87 g/dl


Rencana pemeriksaan tambahan

 Pemeriksaan rontgen thorax: cor dan pulmo dalam batas normal.

14. Assesment (Penalaran Klinis):

30
30
Telah dilaporkan seorang anak laki-laki berusia 1 tahun 5 bulan datang ke IGD

RS Padang Panjang tanggal 25 Agustus 2022 jam 18.20 wib dengan kejang 3 jam

sebelum masuk rumah sakit. Kejang 1x, seluruh tubuh, durasi kejang lebih 20 menit.

Setelah kejang anak tidak sadar, namun sesampainya di IGD anak sudah sadar. Demam

≥ 3 hari yang lalu, demam tinggi tidak menggigil, demam hilang timbul. Batuk sejak 2

hari yang lalu, bedahak dan tidak berdarah. Sesak napas tidak ada. Nyeri tenggorokan

tidak ada. Mual muntah tidak ada. BAB dan BAK dalam batas normal.Riwayat kejang

sebelumnya ada, kejang pertama tahun lalu dan kejang kedua bulan juli 2022. Riwayat

kontak dengan penderita batuk lama tidak ada. Riwayat pasien batuk lama tidak ada.

Riwayat berat badan sulit naik tidak ada, Riwayat trauma tidak ada. Riwayat keluar

cairan dari telinga tidak ada. Riwayat pengobatan sebelumnya ada, anak di berikan

paracetamol saat anak demam.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien sedang, dengan

kesadaran E4M6V5. Nadi 110 kali permenit dengan irama regular, Suhu 39oC. Nafas

20x/mnt. Berat badan anak 8 kg. Pemeriksaan fisik dalam batas normal. Pemeriksaan

nervus tidak ada kelainan, refleks meningen negatif, refleks patologis negatif, refleks

fisiologis positif. Untuk pemeriksaan motorik dan sensorik dalam batas normal.

Pada pemeriksaan laboratorium dalam batas normal. Pemeriksaan thorax dalam

batas normal.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien

didiagnosis dengan Kejang Demam Kompleks. Pada pasien diberikan dumin 125mg

supp, IVFD Kaen 1b 10 tpm (makro). Pasien dirawat di bangsal anak dengan terapi

IVFD Kaen 1B 10 tpm makro, paracetamol drops 4 x 100 mg, Diazepam 3 x 1 mg,

Pulvis Bromheksin 1,5 mg + Chlorpheniramine x 0,75mg (3 x 1 pulvis),

Plan Diagnosis :

Diagnosis Klinis : Kejang Demam Kompleks

31
31
Diagnosis Topik : ekstrakranial

Diagnosis Etiologi : Common Cold

Diagnosis Sekunder : Common Cold

Terapi:

Umum : Dumin 125 mg supp


IVFD Kaen 1B 10 tpm (makro)
Konsul Sp.A Advice

 IVFD Kaen 1B 10 tpm makro (iv)


 Paracetamol drops 4 x 100mg (po)
 Diazepam 3 x 1 mg (po)
 Pulvis Bromheksin 1,5 mg + Chlorpheniramine 0,75 mg -> 3 x 1 pulvis (po)
 Rawat di bangsal anak

Follow Up
Tanggal 26 Agustus 2022

S / Kejang (-), Demam (-), batuk (+),


O/KU : Sedang
Kes : composmentis
Nd : 128 x/menit
Nf : 20 x/menit
T : 36,8 ᵒC
Kulit : Teraba hangat
Kepala : Bentuk normal
Mata : konjungtiva anemis (-/-) sklera ikterik (-/-) tidak cekung
Thorax : Rh -/-, Wh -/-

Abdomen : BU (+) Normal, Supel

Ektremitas : Akral hangat, CRT <2 dtk

A/ Kejang demam komplek

P/ IVFD Kaen 1B 10 tpm makro (iv)


Paracetamol drops 4 x 100mg (po)
Diazepam 3x1 mg (po)
32
32
Pulvis Bromheksin 1,5 mg + Chlorpheniramine 0,75 mg -> 3 x 1 pulvis (po)

Tanggal 27 Agustus 2022

S / Kejang (-), Demam (-), batuk (+) berkurang, anak sudah mau makan, BAB
(+)
O/KU : Sedang
Kes : composmentis
Nd : 128 x/menit
Nf : 20 x/menit
T : 36,6 ᵒC
Kulit : Teraba hangat
Kepala : Bentuk normal
Mata : konjungtiva anemis (-/-) sklera ikterik (-/-) tidak cekung
Thorax : Rh -/-, Wh -/-

Abdomen : BU (+) Normal, Supel

Ektremitas : Akral hangat, CRT <2 dtk

A/ Perbaikan

P/ Boleh Pulang
Paracetamol drops 4 x 100mg (po)
Diazepam 3x1 mg (po)
Pulvis Bromheksin 1,5 mg + Chlorpheniramine 0,75 mg -> 3 x 1 pulvis (po)

33
33
34
34

Anda mungkin juga menyukai