Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kejang demam adalah kejang yang terjadi karena adanya suatu proses
ekstrakranium tanpa adanya kecacatan neurologik dan biasanya dialami oleh
anak- anak. Hal ini dikarenakan kenaikan suhu tubuh (suhu rektal melebihi
38° C). Kejang demam sangat berhubungan dengan usia, hampir tidak pernah
ditemukan sebelum usia 6 bulan dan setelah 6 tahun (Hull, 2008) dalam
Muti’ah, 2016).
Kejang demam berulang terjadi pada 50% anak yang menderita kejang
demam pada usia kurang dari 1 tahun dan dapat berkembang menjadi epilepsi
(Behrman, 2010). Risiko epilepsi dapat terjadi setelah satu atau lebih kejang
jenis apapun adalah 2% dan menjadi 4% bila kejang berkepanjangan (Hull,
2008). Kejang demam dapat berdampak serius seperti defisit neurologik,
epilepsi, retradasi mental, atau perubahan perilaku (Wong(2009) dalam
Muti’ah, 2016).
WHO memperkirakan pada tahun 2005 terdapat lebih dari 21,65 juta
penderita kejang demam dan lebih dari 216 ribu diantaranya meninggal.
Selain itu di Kuwait dari 400 anak berusia 1 bulan-13 tahun dengan riwayat
kejang, yang mengalami kejang demam sekitar 77% (WHO (2005) dalam
Muti’ah, 2016)..
Insiden terjadinya kejang demam diperkirakan mencapai 4-5% dari
jumlah penduduk di Amerika Serikat, Amerika Selatan, dan Eropa
Barat.Namun di Asia angka kejadian kejang demam lebih tinggi, seperti di
Jepang dilaporkan antara 6-9% kejadian kejang demam, 5-10% di India, dan
14% di Guam (Hernal(2010) dalam Muti’ah, 2016).
Angka kejadian kejang demam di Indonesia sendiri mencapai 2-4%
tahun 2008 dengan 80% disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan. Angka
kejadian di wilayah Jawa Tengah sekitar2-5% pada anakusia 6 bulan-5 tahun
disetiap tahunnya. 25-50% kejang demam akan mengalami bangkitan kejang
demam berulang (Gunawan (2008) dalam Muti’ah, 2016).

1
Di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2012 Penderita dengan kejang
demam di Rumah Sakit berjumlah 2.220 untuk umur 0-1 tahun, sedangkan
berjumlah 5.696 untut umur 1-4 tahun. Di Bandung tepatnya Di Rumah Sakit
Umum Daerah Kota Bandung didapatkan data pada tahun 2010 dengan
kejang demam yaitu 2,22%.Faktor pemicu kejang demam yang utama adalah
demam itu sendiri. Demam yang dapat menimbulkan kejang bisa demam
karena infeksi apa saja. Contohnya infeksi saluran pernapasan atas,
gastroenteritis, infeksi saluran kemih, otitis media akut, infeksi virus, dan
demam setelah imunisasi (Fauziyah,(2012) dalam Muti’ah, 2016).

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kejang demam ?
2. Apa penyebab/etiologi dari kejang demam ?
3. Bagaimana tanda dan gejala dari kejang demam ?
4. Apa saja klasifikasi dari kejang demam?
5. Bagaimana patofisiologi dari kejang demam ?
6. Bagaimana komplikasi dari kejang demam ?
7. Apa pemeriksaan diagnostik kejang demam ?
8. Bagaimana cara penatalaksanaan kejang demam ?
9. Bagaimana asuhan keperawtan gawat darurat pada kejang demam?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui asuhan keperawatan gawat daurat pada pasien dengan
gangguan kejang demam.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui definisi dari kejang demam
b. Mengetahui penyebab/etiologi dari kejang demam
c. Mengetahui tanda dan gejala dari kejang demam
d. Mengetahui klasifikasi kejang demam
e. Mengetahui patofisiologi dari kejang demam
f. Mengetahui komplikasi kejang demam

2
g. Mengetahui pemeriksaan diagnostik dari kejang demam
h. Mengathui penatalaksanaan dari kejang demam
i. Mengetahui asuhan keperawatan gawat darurat pada kejang
demam.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Medis


1. Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh (suhu mencapai >380 C). kejang demam dapat terjadi karena
proses intracranial maupun ekstrakranial. Kejang demam terjadi pada 2-
4% populasi anak berumur 6 bulan sampai dengan 5 tahun (Amid &
Hardhi, NANDA NIC-NOC, 2013).
Kejang demam merupakan kelainan neurologis akut yang paling
sering dijumpai pada anak. Bangkitan kejang ini terjadi karena adanya
kenaikan suhu tubuh (suhu rektal diatas 38°C) yang disebabkan oleh
proses ekstrakranium. Penyebab demam terbanyak adalah infeksi saluran
pernapasan bagian atas disusul infeksi saluran pencernaan. Insiden
terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6 bulan
sampai 4 tahun. Hampir 3% dari anak yang berumur di bawah 5 tahun
pernah menderita kejang demam.

2. Etiologi
Menurut Lumbantobing, 2001 dalam Prasetyo, E. Nanang (2015).
Faktor yang berperan dalam menyebabkan kejang demam, yaitu :
a. Demam itu sendiri
b. Efek produk toksik dari pada mikroorganisme (kuman dan virus
terhadap otak).
c. Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi.
d. Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit.
e. Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan yang tidak
diketahui atau ensekalopati toksik sepintas.
f. Gabungan semua faktor tersebut di atas.

4
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan
bersamaan dengan kenaikan suhu tubuh yang tinggi dan cepat yang
disebabkan infeksi diluar susunan saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis
media akut (OMA), bronkhitis, keracunan obat, faktor herediter dan
idiopatik.

3. Manifestasi Klinis
Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu
demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk
tonik-klonik, klonik, fokal, atau akinetik. Umumnya kejang berhenti
sendiri. Setelah kejang berhenti, anak tidak memberi reaksi apapun
sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak terbangun dan
sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang dapat diikuti oleh
hemiparesis sementara (Hemiparesis Todd) yang berlangsung beberapa
jam sampai beberapa hari. Kejang unilateral yang lama diikuti oleh
hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama
sering terjadi pada kejang demam yang pertama. (Prasetyo, E. Nanang:
2015).
Durasi kejang bervariasi, dapat berlangsung beberapa menit sampai
lebih dari 30 menit, tergantung pada jenis kejang demam tersebut.
Sedangkan frekuensinya dapat kurang dari 4 kali dalam 1 tahun sampai
lebih dari 2 kali sehari. Pada kejang demam kompleks, frekuensi dapat
sampai lebih dari 4 kali sehari dan kejangnya berlangsung lebih dari 30
menit. Gejalanya berupa:
a. Demam (terutama demam tinggi atau kenaikan suhu tubuh yang
terjadi secara tiba-tiba). Suhu tubuh anak lebih dari 380C.
b. Pingsan yang berlangsung selama 30 detik-5 menit (hampir selalu
terjadi pada anak-anak yang mengalami kejang demam).
c. Saat kejang anak tidak berespon terhadap rangsangan seperti
panggilan, cahaya (penurunan kesadaran).

5
d. Postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh yang biasanya
berlangsung selama 10-20 detik).
e. Gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang kuat dan berirama,
biasanya berlangsung selama 1-2 menit).
f. Lidah atau pipinya tergigit.
g. Gigi atau rahangnya terkatup rapat.
h. Inkontinensia (mengompol).
i. Gangguan pernafasan.
j. Apneu (henti nafas).
k. Kulitnya kebiruan (Prasetyo, E. Nanang: 2015)

Setelah mengalami kejang, biasanya:


a. Akan kembali sadar dalam waktu beberapa menit atau tertidur
selama 1 jam atau lebih.
b. Terjadi amnesia (tidak ingat apa yang telah terjadi)-sakit kepala.
c. Mengantuk.
d. Linglung (sementara dan sifatnya ringan).

4. Klasifikasi
Kejang yang merupakan pergerakan abnormal atau perubahan
tonus badan dan tungkai dapat diklasifikasikan menjadi 2 bagian yaitu;
kejang parsial sederhana dan kejang parsial kompleks.
a. Kejang parsial sederhana, lama kejang < 15 menit kesadaran tidak
terganggu dapat mencakup satu atau dua hal sebagai berikut :
1) Tanda-tanda motoris : kedutan pada wajah, tangan atau salah
satu sisi tubuh; umumnya gerakan setiap kejang sama.
2) Tanda atau gejala otonomik : muntah, berkeringat, muka merah,
dilatasi pupil.
3) Gejala sematosensoris atau sensoris khusus; mendengar musik,
merasa seakan jatuh dari udara, parestesia.
4) Gejala psikik : dejavu, rasa takut, visi panoramik.

6
b. Kejang parsial kompleks, lama kejang > 15 menit
Terdapat gangguan kesadaran, walaupun pada awalnya sebagai
kejang parsial simpleks. Dapat mencangkup otomatisme atau
gerakan otomatik : mengecap-ngecapkan bibir, mengunyah, gerakan
mencongkel yang berulang-ulang pada tangan, dan gerakan tangan
lainnya. Dapat tanpa otomatisme tatapan terpaku. (Cecily L.Betz dan
Linda A.Sowden, (2002) dalam Saiki, Vebby :2015).

5. Patofisiologi
Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan
mudah oleh ion kalium dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan
elektrolit lainya kecuali ion klorida. Akibatnya konsentrasi ion kalium
dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi natrium rendah, sedang di luar
sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan
konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan
potensial membran yang disebut potensial membran dari neuron. Untuk
menjaga keseimbangan potensial membran di perlukan energi dan
bantuan enzim NA-K ATP-ase yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh perubahan
konsentrasi ion di ruang ekstraseluler. Rangsangan yang datang
mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau aliran listrik dari
sekitarnya. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena
penyakit atau keturunan. Pada keadaan demam kenaikan suhu 1°C akan
mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10 sampai 15% dan
kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak 3 tahun sirkulasi
otak mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang
dewasa yang hanya 15%. Oleh karena itu kenaikan suhu tubuh dapat
mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu
yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium akibat
terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian
besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun ke membran sel
sekitarnya dengan bantuan “neurotransmitter” dan terjadi kejang. Kejang

7
demam yang berlangsung lama biasanya disertai apneu, meningkatnya
kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya
terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh
metabolisme anerobik, hipotensi, artenal disertai denyut jantung yang
tidak teratur dan suhu tubuh meningkat yang disebabkan makin
meningkatnya aktivitas otot dan mengakibatkan metabolisme otak
meningkat (Judha & Rahil, 2011).
Infeksi yang terjadi pada jaringan di luar kranial seperti tonsilitis,
otitis media akut, bronkitis penyebab terbanyak adalah bakteri yang
bersifat toksik. Toksik yang dihasilkan oleh mikroorganisme dapat
menyebar keseluruh tubuh melalui hematogen maupun limfogen.
Penyebaran toksik ke seluruh tubuh akan direspon oleh hipotalamus
dengan menaikkan pengaturan suhu di hipotalamus sebagai tanda tubuh
mengalami bahaya secara sistemik. Naiknya pengaturan suhu di
hipotalamus akan merangsang kenaikan suhu di bagian tubuh yang lain
seperti otot, kulit sehingga terjadi peningkatan kontraksi otot. Naiknya
suhu di hipotalamus, otot, kulit jaringan tubuh yang lain akan disertai
pengeluaran mediator kimia seperti epinefrin dan prostaglandin.
Peningkatan potensial inilah yang merangsang perpindahan ion natrium,
ion kalium dengan cepat dari luar sel menuju ke dalam sel. Peristiwa
inilah yang diduga dapat menaikkan fase depolarisasi neuron dengan
cepat sehingga timbul kejang. Serangan cepat itulah yang dapat
menjadikan anak mengalami penurunan kesadaran, otot ekstremitas
maupun bronkus juga dapat mengalami spasma sehingga anak beresiko
terhadap injuri dan kelangsungan jalan nafas oleh penutupan lidah dan
spasma bronkus (Price, 2007).

8
6. Pathway

Demam

Metabolisme basal emningkat 10-15% Kebutuhan O2 meningkat sampai 20%

Perubahan difusi
Na+ dan K+

Perubahan beda potensial


membran sel neuron

Pelepasan muatan listrik semakin meluas ke seluruh sel maupun membran


sel sekitarnya dengan bantuan neurotransmitter

Ansietas Kejang

Parsial Umum

Sederhana Kompleks Absans Mioklonik Tonik-klonik Atonik

Kesadaran ↓ Gangguan peredaran darah Aktivitas otot ↑

Risiko cedera
Reflek menelan ↓ Hipoksia Metabolisme ↑

Penumpukan sekret Permeabilitas


kapiler ↑ Kebutuhan O2 ↑ Suhu tubuh
meningkat
Bersihan jalan
nafas tidak efektif sel neuron
otak rusak
Hipertermia Resiko defisit
a volume cairan

Resiko kejang
berulang

9
7. Komplikasi
Kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan
kelainan anatomis di otak sehingga terjadi epilepsi. Komplikasi pada
kejang demam anak menurut Garna & Nataprawira (2005), yaitu :
a. Epilepsi : epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat yang
dicirikan oleh terjadinya serangan yang bersifat spontan dan berkala.
Bangkitan kejang yang terjadi pada epilepsi kejang akibat lepasnya
muatan listrik yang berlebihan di sel neuron saraf pusat.
b. Kerusakan jaringan otak : terjadi melalui mekanisme eksitotoksik
neuron saraf yang aktif sewaktu kejang melepaskan glutamat yang
mengikat resptor M.Metyl DAsparate (MMDA) yang mengakibatkan
ion kalsium dapat masuk ke sel otak yang merusak sel neuoran
secara irreversible.
c. Retardasi mental : dapat terjadi karena defisit neurologis pada
demam neonatus.
d. Aspirasi : lidah jatuh kebelakang yang mengakibatkan obstruksi
jalan napas.
e. Asfiksia : keadaan dimana bayi saat lahir tidak dapat bernafas secra
spontan atau teratur.

8. Prognosis
Prognosisnya baik bila di tangani dengan penanggulangan yang
tepat dan cepat. Tidak menyebabkan kematian. Pencapaian intelektual
normal. Kebanyakan anak akan mengalami kejang demam di kemudian
hari, tetapi perkembangan ke epilepsy dan kejang tanpa demam adalah
jarang.
Kejang demam akan kambu pada 50% anak yang mengalami
kejang demam kurang dari 1tahun dan 27% pada onset setelah umur satu
tahun. Jika tidak ditangani dengan baik, 33% pasien mengalami
setidaknya satu kali mengalami kekambuhan. Menurut united states
nasional collaborative perinatal project yang meneliti 1.706 anak dari

10
baru lahir sampai umur 7 tahun yang mengalami satu atau lebih kejang
demam, factor risiko untuk perkembangan menjadi epilepsy adalah :
a. Riwayat kejang tanpa demam
b. Adanya abnormalisasi neurologis
c. Kejang demam kompleks.
Dari pasien yang mempunyai satu factor resiko, 2% perkembangan
menjadi epilepsy dan pada pasien yang memiliki 2 atau lebih factor
resiko, 10% perkembangan menjadi epilepsi.

9. Pemeriksaan Diagnostik
Untuk menentukan factor penyebab dan komplikasi pada anak,
diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan
laboratorium, fungsi lumbal, elektroensefalografi dan pencitraan
neurologis. pemilihan jenis pemerksaan penunjan ini ditentukan sesuai
dengan kebutuhan, (Antonius, 2015).
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada anak dengan kejang berguna
untk mencari etiologi dan komplikasi akibat kejang lama. Jenis
pemeriksaan yang dilakukan bergantung pada kondisi klinis pasien.
Pemeriksaan yang dianjurkan pada pasien dengan kejang lama
adalah kadar glukosa darah, elektrolit, darah perifer lengkap dan
masa prottombin, pemeriksaan laboratoruim tersebut bukan
pemeriksaan rutin pada kejang demam. Jika dicurigai adanya
meningitis bakteriaritis perlu dilakukan pemeriksaan kultur darah
kultur cairan selebrospinal . pemeriksaan polymerase chain reaction
(PCR) terhadap virus herpes simpleks dilakukan pada kasus dengan
kecurigaan ensefalitis.
b. Fungsi lumbal
Fungsi lumbal dapat dipertimbangkan pada pasien kejang
disertai penurunan kesadaran atau ganguan statu mental,perdarahan
kulit ,kaku kuduk,kejang lama,gjala infeksi,paresis,peningkatan sel
darah putih ,atau pada kaus yang tidak didapatkan factor pencetus

11
yang jelas fungsi lumbal ulang dapat dilakukan dalam 48 atau 72 jam
setelah fungsi lumbal yang pertama yang memastikan adanya infeksi
susunan saraf pusat. Bila didapatkan kelainan neurlogis fokal dan
peningkatan tekanan intracranial ,dilanjutkan melakuka pemeriksaan
ct-scan kepala berlebih dahulu untuk risiko terjadinya herniasi.
The American Academy of pediatrics merekomendasikan
bahwa pemeriksaan fungsi lumbal sangat dianjurkan pada serangan
kejang pertama disertaia demam pada anak usis dibawah 12 bulan
karena manifestasi klinis meningitis tidak jelas atau bahkan tidak
ada. pada anak usia 12-18 bulan dianjurkan melakukan fungsi
lumbal , sedangkan pada usia lebih dari 18 bulan fungsi lumbal
dilakukan bila terdapat kecurigaan adanya infeksi intracranial
(meningitis).
c. Elektroensefalografi
Pemerikasaan EEG digunakan untuk mengetahui adanya
gelombang epileptiform. Pemeriksaan EEG mempunyai
keterbatasan, khusunya intetiktral EEG . beberapa anak tanpa kejang
secara klinis ternyata memperlihatkan gambaran EEG epileptiform,
sedangkan anak lain degan epilepsy berat mempunyai gambaran
intrkiktal EEG yang normal. Sensitivitas EGG interiktal bervariasi.
Hanya sindrom epilepsy saja yang menunjukkan kelainan EGG yang
khas, abnormalitas EGG berhubungan dengan manifestasi klinis
kejang, daapat berupa gelombang paku tajam dengan /gelombang
lambat. Kelainan dapat bersifat umum,multifocal,atau fokal pada
daerah temporal maupun frontal.
Pemeriksaan EEG segera atau dalam 24-48 jam setelah kejang
atau slep deprivation dapat memperlihatkan berbagai macam
kelainan. Beratnya kelainaan EGG tidak selalu berhubungan dengan
beratnya klinis . gambaran EEG yang normal atau memperhatikan
kelainan minimal menunjukan kemunginan pasien bebas dari kejang
setelah obat ant epilepsy dihentikan.
d. Pencitraan neurologis

12
Foto polos kepala memilki nilai diagnostic kecil meskipun
dapat menunjukan adanya fraktur ulang tengkorak. Kelainan
jaringan otak pada trauma tulang kepal dideteksi dengan ct-scan
kepala. Kelainan ct-scan kepala dapat ditemkan pada pasien kejang
dengan riwayat trauma kepala ,pemeriksaan neurologis yang
abnormal perubahan pola kejang-kejang berulang riwayat mendrita
penyakit susunan safaf pusat kejang pokal dan riwayat keganasan.
e. Magnestic resonance imaging (MRI) lebih superior dibandingkan ct-
scan dalam mengevaluasi lesi epileptogenik atau tumor kecil
didaerah temoral atau daerah yang tertutup struktur tulang misalnya
daerah selebrum atau batan otak . MRI dipertimangkan pada anak
dengan kejang yang sulit diatasi, epilepsy lobus temporalis,
perkembangan terlamabat tanpa adanya kelainan pada c-scan dan
adanya lesi ekuivika pada ct-scan.

10. Penatalaksanaan
a. Primary Survey :
1) Airway : Kaji apakah ada muntah, perdarahan, benda asing
dalam mulut seperti lendir dan dengarkan bunyi nafas.
2) Breathing : kaji kemampuan bernafas klien
3) Circulation : nilai denyut nadi
4) Menilai koma (coma = C) atau kejang (convulsion = C) atau
kelainan status mental lainnya.
Apakah anak koma ? Periksa tingkat kesadaran dengan skala
AVPU:
A : sadar (alert)
V : memberikan reaksi pada suara (voice)
P : memberikan reaksi pada rasa sakit (pain)
U : tidak sadar (unconscious).
b. Tindakan primer dalam kegawatdaruratan dengan kejang demam
yaitu :

13
1) Baringkan klien pada tempat yang rata dan jangan melawan
gerakan klien saat kejang.
2) Bila klien muntah miringkan klien untuk mencegah aspirasi
ludah atau muntahan.
3) Bebaskan jalan nafas dengan segera :
a) Semua pakaian ketat dibuka.
b) Pasang spatel atau gudel/mayo (sesuaikan ukuran pada
anak).
c) Bersihkan jalan nafas dari lendir dengan suction atau
manual dengan cara finger sweep dan posisikan kepala head
tilt-chin lift (jangan menahan bila sedang dalam keadaan
kejang).
4) Oksigenasi segera secukupnya.
5) Observasi ketat tanda-tanda vital.
6) Kolaborasikan segera pemberian therapy untuk segera
menghentikan kejang.
7) Memberikan cairan yang cukup bila kejang berlangsung cukup
lama (> 10 menit) dengan IV : D5 1/4, D5 1/5, RL.

Menurut, Riyadi, Sujono & Sukarmin (2009), menyatakan bahwa


penatalaksanaan yang dilakukan saat pasien dirumah sakit antara lain:
a. Saat timbul kejang maka penderita diberikan diazepam intravena
secara perlahan dengan panduan dosis untuk berat badan yang
kurang dari 10 kg dosisnya 0,5-0,75 mg/kg BB, diatas 20 kg 0,5
mg/kg BB. Dosis rata- rata yang diberikan adalah 0,3 mg/kg BB/ kali
pemberian dengan maksimal dosis pemberian 5 mg pada anak
kurang dari 5 tahun dan maksimal 10 mg pada anak yang berumur
lebih dari 5 tahun. Pemberian tidak boleh melebihi 50 mg
persuntikan. Setelah pemberian pertama diberikan masih timbul
kejang 15 menit kemudian dapat diberikan injeksi diazepam secara
intravena dengan dosis yang sama. Apabila masih kejang maka
ditunggu 15 menit lagi kemudian diberikan injeksi diazepam ketiga

14
dengan dosis yang sama secara intramuskuler.

b. Pembebasan jalan napas dengan cara kepala dalam posisi


hiperekstensi miring, pakaian dilonggarkan, dan pengisapan lendir.
Bila tidak membaik dapat dilakukan intubasi endotrakeal atau
trakeostomi.
c. Pemberian oksigen, untuk membantu kecukupan perfusi jaringan.
d. Pemberian cairan intravena untuk mencukupi kebutuhan dan
memudahkan dalam pemberian terapi intravena. Dalam pemberian
cairan intravena pemantauan intake dan output cairan selama 24 jam
perlu dilakukan, karena pada penderita yang beresiko terjadinya
peningkatan tekanan intrakranial kelebihan cairan dapat
memperberat penurunan kesadaran pasien. Selain itu pada pasien
dengan peningkatan intraklanial juga pemberian cairan yang
mengandung natrium perlu dihindari.
e. Pemberian kompres hangat untuk membantu suhu tubuh dengan
metode konduksi yaitu perpindahan panas dari derajat tinggi (suhu
tubuh) ke benda yang mempunyai derajat yang lebih rendah (kain
kompres). Kompres diletakkan pada jaringan penghantar panas yang
banyak seperti kelenjar limfe di ketiak, leher, lipatan paha, serta area
pembuluh darah yang besar seperti di leher. Tindakan ini dapat
dikombinasikan dengan pemberian antipiretik seperti prometazon 4-
6 mg/kg BB/hari (terbagi dalam 3 kali pemberian).
f. Apabila terjadi peningkatan tekanan intrakranial maka perlu
diberikan obat-obatan untuk mengurangi edema otak seperti;
dektametason 0,5-1 ampul setiap 6 jam sampai keadaan membaik.
Posisi kepala hiperekstensi tetapi lebih tinggi dari anggota tubuh
yang lain dengan cara menaikan tempat tidur bagian kepala lebih
tinggi kurang kebih 15° (posisi tubuh pada garis lurus).
g. Untuk pengobatan rumatan setelah pasien terbebas dari kejang pasca
pemberian diazepam, maka perlu diberikan obat fenobarbital dengan
dosis awal 30 mg pada neonatus, 50 mg pada anak usia 1 bulan-

15
1tahun, 75 mg pada anak usia 1 tahun keatas dengan tehnik
pemberian intramuskuler. Setelah itu diberikan obat rumatan
fenobarbital dengan dosis pertama 8-10 mg/kg BB /hari (terbagi
dalam 2 kali pemberian) hari berikutnya 4-5 mg/kg BB/hari yang
terbagi dalam 2 kali pemberian.
h. Pengobatan penyebab
Karena yang menjadi penyebab timbulnya kejang adalah kenaikan
suhu tubuh akibat infeksi seperti di telinga, saluran pernapasan,
tonsil maka pemeriksaan seperti angka leukosit, foto rongent,
pemeriksaan penunjang lain untuk mengetahui jenis mikroorganisme
yang menjadi penyebab infeksi sangat perlu dilakukan. Pemeriksaan
ini bertujuan untuk memilih jenis antibiotik yang cocok diberikan
pada pasien anak dengan kejang demam.
i. Terapi obat-obatan
Setiap kasus anak dengan kejang memerlukan perawatan secara
intensif untuk penatalaksanaan yang adekut. Tindakan yang utama
untuk kasus anak dengan kejang ialah secara simultan mengatasi
kejang (simtomatik) sekaligus juga menghilangkan penyebab
penyakit primer (kausatif). Bila penyakit primer sudah dapat diatasi
maka diharapkan gejala kejang akan hilang dan tidak mengalami
eksaserbasi. Tetapi yang lain adalah bersifat suportif/resusiatif sesuai
dengan indikasi. (Widagdo, 2012)

B. Konsep Dasar Keperawatan


1. Pengkajian
a. Pengkajian Primer
1) Airway : Penilaian akan kepatenan jalan napas, Meliputi
pemeriksaan mengenai adanya obstruksi jalan napas, adanya
benda asing. Pada klien yang dapat berbicara dapat dianggap
jalan napas bersih. Dilakukan pula pengkajian adanya suara
napas tambahan seperti snoring, dll.

16
2) Breathing : Frekuensi napas, apakah ada penggunaan otot bantu
pernafasan, retraksi dinding dada, adanya sesak napas. Palpasi
pengembangan paru, auskultasi suara napas, kaji adanya suara
napas tambahan seperti ronchi, wheezing, dan kaji adanya
trauma pada dada.
3) Circulation : Dilakukan pengkajian tentang volume darah dan
cardiac output serta adanya perdarahan. Pengkajian juga
meliputi status hemodinamik, warna kulit, nadi.
4) Disability : Nilai tingkat kesadaran, serta ukuran dan reaksi
pupil. Menilai kesadaran dengan cepat dan akurat. Penurunan
kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi atau
penurunan perfusi ke otak atau di sebabkan trauma langsung
pada otak. Penurunan kesadaran menuntut dilakukannya
reevaluasi terhadap keadaan oksigenasi, ventilasi dan perfusi.
5) Exposure : Lepaskan pakaian yang dikenakan dan penutup
tubuh agar dapat diketahui kelainan atau cedera yang
berhubungan dengan keseimbangan cairan atau trauma yang
mungkin di alami oleh klien.

b. Pengkajian Sekunder
Pengkajian sekunder meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik.
1) Anamnesis meliputi :
a) Alasan masuk RS.
b) Keluhan utama.
c) Riwayat trauma.
d) Riwayat pengkajian nyeri.
e) Riwayat kesehatan (sekarang dan sebelumnya).
f) Riwayat kesehatan keluarga.
g) Riwayat bio-psiko-sosial-spiritual.
h) Kebutuhan aktivitas sehari-hari.
2) Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum klien.

17
b) Vital sign.
c) Pengkajian head to toe.

3) Pemeriksaan diagnostik.
4) Penatalaksanaan medis/terapi.

2. Diagnosa
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif.
b. Hipertermia.
c. Risiko cedera.
d. Risiko defisit volume cairan.
e. Risiko terjadinya kejang berulang.
f. Defisit pengetahuan.

3. Intervensi
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif
1) Letak posisi klien dengan posisi kepala ekstensi.
2) Observasi gejala kardinal terutama pernapasan selama penderita
kejang.
3) Lakukan suction bila perlu.
4) Kaji/pantau frekuensi pernapasan, dan catat rasio inspirasi-
ekspirasi.
5) Catat adanya derajat dyspnea, distress pernapasan, penggunaan
otot bantu pernapasan.
6) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi nebulizer.

b. Hipertermia
1) Monitor TTV, warna kulit, dan tingkat kesadaran.
2) Monitor suhu minimal tiap 2 jam.
3) Monitor IWL, WBC, Hb dan Hct dan intake dan output.
4) Kompres pasien pada lipatan paha dan aksilla.
5) Selimuti pasien.

18
6) Kolaborasi dengan tim medis (dokter) tentang pemberian obat
antipiretik dan cairan intravena.

c. Risiko cedera
1) Sediakan lingkungan yang aman
2) Identifikasi kebutuhan keamanan pasien sesuai kondisi fisik
3) Menghindarkan lingkungan yang berbahaya
4) Memasang side rail tempat tidur
5) Membatasi pengunjung

d. Risiko defisit volume cairan


1) Observasi kulit klien terutama turgor kulit
2) Anjurkan klien untuk banyak minum air putih.
3) Kaji intake output cairan.
4) Kolaborasi dengan tim medis (dokter) dalam pemberian cairan
infus.

e. Risiko terjadinya kejang berulang


1) Berikan kompres basah pada daerah aksilla dan lipatan paha.
2) Berikan baju tipis.
3) Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga.
4) Kolaborasi dengan tim medis (dokter) dalam pemberian obat
antipiretik.

f. Defisit pengetahuan
1) Informasikan keluarga tentang kejadian kejang dan dampak
masalah, serta beritahukan cara perawatan dan pengobatan yang
benar.
2) Informasikan juga tentang bahaya yang dapat terjadi akibat
pertolongan yang salah.
3) Ajarkan kepada keluarga untuk memantau perkembangan yang
terjadi akibat kejang.

19
4) Kaji kemampuan keluarga terhadap penanganan kejang.

4. Evaluasi
Tahap evaluasi dalam proses keperawatan menyangkut
pengumpulan data subyektif dan obyektif yang akan menunjukkan
apakah tujuan pelayanan keperawatan sudah dicapai atau belum. Bila
perlu langkah evaluasi ini merupakan langkah awal dari identifikasi dan
analisa masalah selanjutnya (Santosa.NI, (1989) dalam Prasetyo, E.
Nanang: 2015). Adapun kriteria dari masing-masing diagnosa tersebut
diantaranya:
a. Besihan Jalan nafas efektif dengan kriteria prekuensi nafas klien
dalam rentang 20-30x/Menit, tidak adanya secret, tidak adanya
sianosis.
b. Suhu tubuh klien kembali dalam rentang 36,5-37,4 0C.
c. Tidak terjdinya cedera
d. Tidak terjadinya kekurangan cairan dengan kriteria turgor kulit <2
detik tekstur kulit lembab
e. Tidak terjadi kejang ulang selama suhu tubuh masih tinggi ataupun
sudah kembali dalam rentang 36,5-37,50C.
f. Kecemasan keluarga berkurang, dengan kriteria keluarga tampak
tenang tidak gelisah, tidak sering bertnya dan mengetahui mengenai
penyakit yang di alami klien baik itu prosen penangann kejangnya,
pengobatnnya dan penyembuhannya.

20
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

Contoh Kasus :

An. M umur 2 tahun, tinggal bersama kedua orang tuanya, datang ke IGD
RS dengan keluhan utama Demam, keluarga mengatakan An. M mengalami
demam sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengalami demam
tinggi pada malam hari. Pasien mengalami kejang 1x, kejang terjadi pada kaki,
tangan dan mata berputar-putar. Kejang terjadi > 5 menit. Saat demam ibu pasien
memberikan paracetamol. Saat pengkajian SB: 39 0C, N: 120 x/menit, RR: 32
x/menit.

A. Pengkajian
1. Biodata
Nama : An. M
Tempat, tanggal lahir : Palopo, 13 Agustus 2011
Umur : 2 tahun 8 bulan
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Suku / Bangsa : Bugis/Indonesia
Pendidikan : SD
Bahasa : Indonesia
Alamat : Jl. Tandi Pau
Diagnasa medis : Kejang Demam
Tgl masuk RS : Kamis, 7 Mei 2020
Tgl pengkajian : Kamis, 7 Mei 2020
2. Pengkajian Primer
a. Airway : Tidak ada sumbatan jalan nafas, tidak ada suara tambahan.
b. Breathing : Tidak ada masalah pernafasan, pergerakan dada simetris
kiri dan kanan, suara nafas vesikuler.
RR : 32 x/menit.

21
c. Circulation : Adanya peningkatan suhu tubuh
Nadi : 120 x/menit
d. Disability : Kesadaran pasien compos mentis.
GCS : E(4), V(5), M(5).
Nilai : 14
e. Exposure : Tidak terdapat jejas.

3. Pengkajian Sekunder
a. Keluhan Utama
Ibu klien mengeluhkan anaknya panas tinggi (390 C)
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien An. M datang ke IGD dengan keluhan kejang. Pasien
mengalami demam sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
Pasien mengalami demam tinggi pada malam hari. Pasien
mengalami kejang 1x, kejang terjadi pada kaki, tangan dan mata
berputar-putar. Kejang terjadi >5 menit. Saat demam ibu pasien
memberikan paracetamol. Saat pengkajian SB: 39 0C, N: 132
x/menit, RR: 32x/menit.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Ibu pasien mengatakan An. M pernah sakit pilek dan batuk.
Keluarga pasien hanya membawa ke bidan atau dokter saat An. M
sakit. Sebelumnya pasien belum pernah mengalami kejang.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Ibu pasien mengatakan dalam keluarga dulu ada yang pernah
mengalami kejang saat kecil yaitu saudara ibu.
e. Riwayat Kehamilan
Anak laki-laki dari ibu G2 P2 A0. Ibu pasien mengatakan saat
hamil ibu pasien mengalami mual muntah tetapi hanya pada
trimester I dan biasanya hanya pada pagi hari. Pada Trimester ke
III ibu mengalami nyeri punggung dan tulang belakang. Ibu
pasien tidak pernah jatuh saat hamil pasien mengatakan rutin
memeriksakan kehamilannya ke dokter kandungan yang dekat

22
dari rumahnya dan melakukan imunisasi TT di dokter tersebut.
Selama hamil ibu pasien mengatakan hanya mengkonsumsi obat-
obatan yang diberikan oleh dokter dan tidak pernah
mengkonsumsi jamu tradisional.
f. Riwayat Persalinan
Ibu pasien mengatakan An. M lahir secara normal dan spontan
dibantu oleh bidan. Tidak ada kelainan bawaan dan tidak
mempunyai gangguan selama proses persalinan. Pasien lahir pada
usia kehamilan 38 minggu, setelah lahir pasien langsung
menangis, BBL : 3100 gram, PB: 48 cm.
g. Riwayat Imunisasi
Pasien sudah mendapat imunisasi lengkap : hepatitis, campak,
BCG, Polio I, II, III dan DPT I, II, III
h. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum klien
Tingkat kesadaran : Compos mentis, GCS : E(4), V(5), M(5).
Nilai : 8
Kelemahan : klien nampak lemah
2) TTV
Nadi : 120 x/menit
Suhu : 39˚C
RR : 32 x/menit
3) Antropometri :
Lingkar Kepala : 48 cm
Lingkar Lengan atas : 14 cm
Lingkar dada: 48 cm
BB : 11 Kg
TB : 86 cm
4) Head to Too
a) Kepala : mesocephal, tidak ada benjolan maupun edema,
rambut bersih dan berwarna hitam, ubun ubun sudah
keras dan menyatu.

23
b) Mata : konjungtiva anemis, sklera anikterik, refleks pupil
dan penglihatan normal.
c) Hidung : tidak ada polip, tidak terlihat pernafasan cuping
hidung.
d) Mulut : Membran mukosa bibir tampak pucat, tidak ada
kandiasis pada lidah maupun rongga mulut, lidah dapat
bergerak bebas, gigi 4.
e) Telinga : Normal, bersih.
f) Leher : Leher tampak simetris, tidak teraba adanya massa
dan tidak ada pembesaran kelenjar limfe. Tidak ada
kesulitan untuk menelan makanan atau minum.
g) Dada
Paru
Inspeksi : tidak terdapat tarikan dinding dada ke dalam,
dada simetris.
Palpasi : vocal fremitus seimbang sinistra-dextra,
pengembangan parusimetris.
Perkusi : sonor.
Auskultasi : tidak ada ronkhi.
Jantung
Inspeksi : tidak tampak ictuscordis.
Palpasi : tidak terdapat pembesaran jantung, tidak ada
nyeri tekan.
Perkusi : pekak.
Auskultasi : bunyi reguler, tidak ada suara tambahan.
Abdomen
Inspeksi : bentuk cembung, tidak ascites, tidak ada
benjolan.
Auskultasi : bising usus 30 x/menit.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak ada massa.
Perkusi : timpani.
h) Genetalia : laki-laki, tidak terpasang DC.

24
i) Anus : ada lubang anus.
j) Ekstremitas :
Atas : akral hangat, tidak ada gangguan gerak.
Bawah : tidak ada gangguan gerak.
k) Kulit : turgor kulit elastis

i. Pemeriksaan diagnostik
Kadar glukosa darah, elektrolit, darah perifer lengkap dan masa
prottombin.
j. Terapi obat
Pemasangan Infus sesuai instruksi dokter.
Injeksi paracetamol 110 mg/IV
Diazepam 5,5 mg/IV Bila kejang
Multivitamin I cth/Oral

ANALISA DATA

No Waktu Data Fokus Etiologi Problem


1. Kamis, 7 Mei Infeksi ekstrakranial : suhu tubuh Hipertermia
DS :
2020 meningkat
- Ibu pasien mengatakan pasien demam
Jam 09.00
sejak tanggal 5 Mei 2020. Gangguan keseimbangan
WITA
membran sel neuron
- Ibu pasien mengatakan, saat demam
pasien langsung dibawa ke rumah
Difusi na dan ca berlebih
sakit.
- Ibu pasien mengatakan pasien Depolarisasi membran dan lepas
mengalami kejang 1x saat dijalan muatan listrik berlebih
menuju RS.
DO : Kejang

- Suhu tubuh , S: 39˚C Parsial


- Kulit teraba hangat
Kompleks
- Kulit tampak kemerahan
- Pasien tampak kejang pada tangan. Aktivitas otot meningkat

Metabolisme meningkat

26
Suhu tubuh makin meningkat

Hipertermia
Kamis, 7 Mei Infeksi ekstrakranial : suhu tubuh
2. DS : Risiko cedera
2020 meningkat
- Ibu pasien mengatakan pasien mengalami
Jam 09.10
kejang 1x. Gangguan keseimbangan
WITA
- Ibu pasien mengatakan saat kejang mata membran sel neuron
An. M berputar-putar, kaki dan tangan
kejang. Difusi na dan ca berlebih

DO : Depolarisasi membran dan lepas


- Kejang terjadi >5 menit. muatan listrik berlebih
- An. M tampak kejang, terjadi pergerakan
Kejang
pada tangan.
- An. A tampak rewel. Parsial

Kompleks

Penurunan kesadaran

Resiko Cedera

Infeksi ekstrakranial : suhu tubuh


3. Kamis, 7 Mei DS: Ansietas
meningkat
2020 - Ibu pasien mengatakan belum tahu
Jam 09.20 penyakit anaknya. Gangguan keseimbangan
WITA membran sel neuron
- Ibu pasien mengatakan saat An. M
kejang, ibu pasien memasukan garam
Difusi na dan ca berlebih
ke mulut anaknya.
- Ibu pasien mengatakan belum tahu Depolarisasi membran dan lepas
penanganan kejang demam. muatan listrik berlebih
DO :
Kejang
- Ibu pasien tampak bertanya tentang
penyakit anaknya kepada tim medis Kurang pengetahuan

Ansietas

26
B. Diagnosa
a. Hipertermia
b. Risiko cidera
c. Defisit pengetahuan

C. Intervensi

Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Hipertermia Setelah dilakukan tindakan 1) Monitor TTV, warna kulit, dan tingkat
keperawatan, diharapkan kesadaran.
masalah Hipertermia pada 2) Monitor suhu minimal tiap 2 jam.
pasien berkurang/teratasi 3) Monitor IWL, WBC, Hb dan Hct dan
dengan kriteria hasil : intake dan output.
4) Kompres pasien pada lipatan paha dan
a. Suhu tubuh dalam rentang
aksilla.
normal.
5) Selimuti pasien.
b. TTV dalam rentang
6) Kolaborasi dengan tim medis (dokter)
normal.
tentang pemberian obat antipiretik dan
c. Tidak ada perubahan
cairan intravena.
warna kulit dan tidak ada
pusing.

Risiko Cidera Setelah dilakukan tindakan 1) Sediakan lingkungan yang aman.


keperawatan, diharapkan 2) Identifikasi kebutuhan keamanan
masalah Risiko cedera pada pasien sesuai kondisi fisik.
pasien dapat dihindari, 3) Menghindarkan lingkungan yang
dengan kriteria hasil : berbahaya.
4) Memasang side rail tempat tidur.
a. GCS E4V5M6
5) Membatasi pengunjung.
b. Klien sudah bisa
melakukan aktifitas
sesuai pertumbuhan dan
Perkembangannya.

27
Ansietas Setelah dilakukan tindakan 1) Menginformasikan keluarga tentang
keperawatan, diharapkan kejadian kejang dan dampak masalah,
masalah Ansietas pada serta beritahukan cara perawatan dan
pasien/keluarga berkurang/ pengobatan yang benar.
teratasi dengan kriteria hasil : 2) Menginformasikan juga tentang
bahaya yang dapat terjadi akibat
a. Kecemasan orang tua
pertolongan yang salah.
berkurang.
3) Mengajarkan kepada keluarga untuk
b. Keluarga dapat paham
memantau perkembangan yang terjadi
tentang penyakit anaknya.
akibat kejang.
4) Mengkaji kemampuan keluarga
terhadap penanganan kejang.

D. Implementasi

Hari/Tanggal No.DX Implementasi Evaluasi


Kamis, 7 Mei I 1) Memonitor TTV, warna kulit, Jam : 09.45
2020 dan tingkat kesadaran. S : Ibu klien mengatakan suhu
Jam 09.15 WITA 2) Memonitor suhu minimal tiap 2 tubuh anaknya panas.
jam. O : Klien tampak rewel
3) Memonitor IWL, WBC, Hb dan SB : 38,4 0 C
Hct dan intake dan output. RR : 32 x/menit
4) Menganjurkan kompres pasien N : 120 x/menit
pada lipatan paha dan aksilla. Terpasang Infus.
5) Menselimuti pasien. A : Masalah belum teratasi
6) Mengkolaborasi dengan tim P : Intervensi dilanjutkan.
medis (dokter) tentang pemberian
obat antipiretik dan cairan
intravena.
Kamis, 7 Mei II 1) Menyediakan lingkungan yang S : Ibu klien mengatakan

28
2020 aman. anaknya masih rewel.
2) Mengidentifikasi kebutuhan O : Kesadaran klien Compos
Jam 09.18 WITA
keamanan pasien sesuai kondisi mentis.
fisik. A : Masalah belum teratasi
3) Menghindarkan lingkungan yang P : Intervensi dilanjutkan.
berbahaya.
4) Memasang side rail tempat tidur.
5) Membatasi pengunjung.
Kamis, 7 Mei III 1) Menginformasikan keluarga S : Ibu klien mengatakan sudah
2020 tidak terlalu cemas dengan
tentang kejadian kejang dan
Jam 09.21 WITA dampak masalah, serta kondisi anaknya.
beritahukan cara perawatan dan O : Ibu klien terlihat tenang.
pengobatan yang benar. A : Masalah teratasi
2) Menginformasikan juga tentang P : Intervensi dipertahankan.
bahaya yang dapat terjadi akibat
pertolongan yang salah.
3) Mengajarkan kepada keluarga
untuk memantau perkembangan
yang terjadi akibat kejang.
4) Mengkaji kemampuan keluarga
terhadap penanganan kejang.

29
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh (suhu mencapai > 38°C), dapat terjadi karena proses intracranial
maupun ekstrakranial. Kejang demam merupakan kelainan neurolis yang
paling sering dijumpai pada anak, terutama pada golongan umur 6 bulan
sampai 4 tahun (Millichap (1968) dalam Aisyah, Ayu: 2105).
Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu
demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-
klonik, klonik, fokal, atau akinetik.Durasi kejang bervariasi, dapat
berlangsung beberapa menit sampai lebih dari 30 menit, tergantung pada jenis
kejang demam tersebut. Sedangkan frekuensinya dapat kurang dari 4 kali
dalam 1 tahun sampai lebih dari 2 kali sehari.
Pertolongan Pertama pada anak dengan kejang demam yaitu dengan
memberikan antikonvulsan secara intravena maupun melalui rektal untuk
mengatasi kejang. Untuk mencegah kejang berulang, diberikan obat
campuran anti konvulsan dan antipiretik.

B. Saran
1. Bagi institusi pendidikan
Memberi tambahan referensi tentang kejang demam, bagaimana
penatalaksanaan baik secara medis maupun tindakan keperawatan dan
hal apa saja yang dapat dilakukan agar terhindar dari kejang demam.
2. Bagi mahasiswa
Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami konsep dasar asuhan
keperawatan kejang demam pada anak.

30
DAFTAR PUSTAKA

Hardi, Amin. 2015. Aplikasi Asuhan Keperwatan Berdasarkan NANDA NIC-


NOC. Jogjakarta: Mediaction.

Black Joyce, M. 2014. Keperawatan Medikal Bedah Manajemen Klinis Untuk


Hasil yang Diharapkan. Singapura: Elsevier.

Hotimah. 2010. Angka Kejadian Kejang Demam di RSUD dr. Saiful Anwar
Malang, periode Januari-Desember 2008. Diakses 5 Mei 2020

Riandita. A 2012. Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang


Demam dengan Pengelolaan Demam Pada Anak. Jurnal Medika Muda.
http://eprints.undip.ac.id/37333/. Diakeses pada tanggal 5 Mei 2020

Lismawati, L. (2014). HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU


TERHADAP PENANGANAN DEMAM PADA BALITA DI WILAYAH
KERJA PUSKESMAS PAYO SELINCAH KOTA JAMBI TAHUN 2014.
SCIENTIA JOURNAL , 68-69.

31

Anda mungkin juga menyukai