Anda di halaman 1dari 6

Nama : Ester Romaito Malau

Nim : 2192111001

Kelas : Reguler D 2019

SEJARAH PERKEMBANGAN BIPA

BIPA merupakan singkatan dari Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing. BIPA bukan hal
baru bagi bangsa Indonesia. Istilah tersebut hadir karena pengaruh perkembangan teknologi dan
pengetahuan yang semakin cepat dan meluas. Perkembangan tersebut, kemudian memberikan
dampak baik bagi bahasa Indonesia di mata dunia. Program BIPA menjadi populer dan semakin
diminati sejak terbukanya perdagangan bebas. Akan tetapi, hingga kini masih ditemukan banyak
sekali perbedaan pendapat tentang cara mengajarkan bahasa Indonesia kepada penutur asing
secara efektif, baik yang berkaitan dengan alat-alat untuk mencapai tujuan, materi yang
semestinya diajarkan, maupun metode pengajarannya. Dalam praktiknya, ada banyak variasi
dalam pembelajaran BIPA, salah satunya adalah variasi dalam penentuan kurikulum BIPA.
Program BIPA menjadi populer dan semakin diminati sejak terbukanya perdagangan bebas.
Akan tetapi, hingga kini masih ditemukan banyak sekali perbedaan pendapat tentang cara
mengajarkan bahasa Indonesia kepada penutur asing secara efektif, baik yang berkaitan dengan
alat-alat untuk mencapai tujuan, materi yang semestinya diajarkan, maupun metode
pengajarannya. Dalam praktiknya, ada banyak variasi dalam pembelajaran BIPA, salah satunya
adalah variasi dalam penentuan kurikulum BIPA.

Fakta yang terjadi terkait kurikulum pembelajaran BIPA, sampai saat ini ternyata belum
ada kurikulum BIPA yang dijadikan kurikulum standar pembelajaran BIPA di Indonesia.
Padahal, Badan Bahasa sudah mengembangkan buku ajar BIPA yang digunakan dalam
pembelajaran BIPA. Hal tersebut menimbulkan kebimbangan bagi para penyelenggara BIPA,
sehingga mereka memutuskan untuk melakukan pengajaran BIPA sesuai dengan hal yang
direncanakan oleh masing-masing penyelenggara. Para Penyelenggara BIPA selama ini memiliki
kebebasan untuk menyusun kurikulumnya sendiri. Hal tersebut menyebabkan adanya
kecenderungan menjadikan program BIPA sebagai program kursus bahasa Indonesia. Berikut
adalah data perbedaan kurikulum BIPA di beberapa penyelenggara program BIPA. Para
Penyelenggara BIPA sebenarnya telah banyak melakukan usaha-usaha untuk menyelaraskan
kurikulum pembelajaran BIPA. Seperti yang telah dikutip dari laman Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa, yakni Badan Pengembangan dan Pembinaan bahasa telah menyusun dan
berupaya dalam pengembangan Kurikulum BIPA. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
juga telah melakukan pengembangan kurikulum inti dalam pengajaran BIPA dan membantu
pengembangan kurikulum di lembaga-lembaga penyelenggara pengajaran BIPA. Akan tetapi,
fakta yang terjadi di lapangan, para penyelenggara BIPA bukan menyelaraskan kurikulum, tetapi
lebih cenderung membandingkan kurikulum yang mereka buat dengan kurikulum yang dibuat
oleh penyelenggara lainnya. Banyak penyelenggara BIPA yang masih sibuk dalam menjaga
program mereka agar tidak diketahui oleh lembaga penyelenggara BIPA yang lain karena takut
ditiru. Salah satu faktor pendorong mereka melakukan hal tersebut adalah berkaitan dengan
masalah komoditas ekonomi yang dapat dimonopoli oleh kelompok tertentu. Selain itu, karena
tidak adanya kurikulum yang ditetapkan secara nasional banyak penyelenggara BIPA yang gagal
dalam menentukan program pembelajarannya, sehingga terjadi teknik mengajar yang monoton,
satu arah, dan tidak terprogram. Dampak buruk dari masalah tersebut adalah berkurangnya minat
pebelajar asing yang belajar bahasa Indonesia.

Tidak banyak penyelenggara pembelajaran BIPA yang menyadari dan melakukan


pengembangan sistem pengajaran secara konsisten. Memang pada dasarnya setiap pebelajar
BIPA menuntut kegiatan belajar yang menarik dan bermakna. Akan tetapi, kegiatan belajar yang
menarik saja tidak cukup jika pengetahuan dan ketrampilan yang diajarkan kepada pebelajar
tidak bermakna. Sebaliknya, walaupun pengetahuan dan ketrampilan yang diajarkan sangat
penting dan bermakna, tetapi diajarkan dengan cara yang tidak menarik bagi pebelajar, maka
akan menimbulkan kegiatan belajar yang tidak efektif. Oleh sebab itu, diperlukan penetapan
kurikulum BIPA secara nasional agar pembelajaran BIPA dapat berkembang di seluruh
Indonesia, dan tidak hanya terfokus pada satu penyelenggara saja.

Jadi, setiap penyelenggara BIPA memiliki cara tersendiri untuk meningkatkan


keeksistensian mereka di mata pebelajar asing. Akan tetapi, ada baiknya BIPA memiliki
landasan kegiatan pembelajaran yang jelas agar tidak terjadi ketimpangan sosial antara
penyelenggara BIPA yang satu dengan yang lainnya. Dengan adanya kurikulum standart BIPA
maka diharapkan pembelajaran BIPA lebih terarah dan memiliki tujuan yang sama, meskipun
program dan strategi pembelajarannnya berbeda pada tiap-tiap penyelenggara.

Materi BIPA disusun untuk mempermudah pengajar BIPA mengajarkan bahasa dan
budaya Indonesia kepada penutur asing secara maksimal dan sesuai dengan kondisi nyata di
lapangan. Menurut Wirasasmita (2002), sebuah materi ajar memiliki beberapa fungsi, antara lain
fungsi edukatif, sosial, ekonomi, politis, dan seni budaya. Para penulis yakin bahwa penutur
asing akan semakin tertarik mendalami materi BIPA jika semua fungsi tersebut dimuat dalam
sebuah materi ajar yang berkualitas. Implementasi fungsi yang mendukung nilai kearifan lokal
bangsa Indonesia dapat terwujud jika materi BIPA mencantumkan berbagai elemen-elemen
kearifan lokal seperti yang diusulkan Mustakim (2003) berikut ini:

1. Benda-benda budaya

2. Gerak-gerik anggota badan

3. Jarak fisik ketika berkomunikasi


4. Penyentuhan

5. Adat-istiadat yang berlaku di masyarakat

6. Sistem nilai yang berlaku di masyarakat

7. Sistem religi yang dianut masyarakat

8. Mata pencaharian

9. Kesenian

10. Pemanfaatan waktu

11. Cara berdiri/duduk/menghormati orang lain

12. Keramahtamahan/tegur sapa/basa basi

13. Pujian

14. Gotong royong

15. Sopan santun (termasuk eufemisme)

Dalam penelitian ini, para penulis mengembangkan sebuah materi berbasis multimedia
yang termuat dalam bentuk audio, audio visual, dan cetak yang diadaptasi dari Taksonomi Bretz
(dalam Sudiman, 2005:21). Melalui taksonomi tersebut, para penulis mengembangkan sebuah
materi BIPA yang menggabungkan budaya lokal dan multimedia. Para penulis akan
menggunakan beberapa media, baik elektronik atau cetak, sebagai media ajar BIPA berbasis
multimedia. Media ajar tersebut adalah:

1. Audio visual

Media ajar ini menggunakan materi dalam bentuk ilustrasi audio visual yang berisikan
materi bahasa budaya lokal dan bahasa Indonesia yang dapat menarik minat penutur asing dan
melatih kemampuan mendengar dan berbicara.

2. Cetak

Media ajar ini berwujud media cetak yang berisi latihan dan materi BIPA yang
mengakomodasi kebutuhan para pembelajar BIPA. Dalam merancang materi BIPA, unsur
multimedia yang harus dilibatkan dalam pembuatan materi ajar BIPA adalah e-book materi ajar,
video tentang gestur, audio yang berisi aksen-aksen khas Indonesia, dan lagu-lagu yang dapat
diaplikasikan dalam pembelajaran BIPA.

Secara umum, dapat disimpulkan bahwa dalam mengembangkan sebuah materi BIPA,
penyusun hendaknya memberikan tujuan pembelajaran yang jelas dan mengembangkan materi
pembelajaran yang dapat mengakomodasi serta menarik minat pembelajar dengan gaya
pembelajaran yang berbeda-beda.

Berdasarkan jurnal PENGEMBANGAN BAHAN AJAR BERBASIS MODUL


INTERAKTIF BAGI PEMELAJAR BIPA TINGKAT A1 yang telah dilakukan, penulis
menemukan bahwa:

(1) pengembangan bahan ajar berbasis modul dibutuhkan oleh pembelajar mengingat buku
ajar yang digunakan hanya satu, perlu tambahan lain untuk memperkaya sumber belajar
dan ketidaksesuaian konten dalam buku ajar dengan karakteristik pemelajar dewasa

(2) pengembangan produk berupa modul interaktif bagi pemelajar BIPA bertajuk „‟Gemar
Berbahasa Indonesia A1‟‟ telah dilakukan dengan menyesuaikan kebutuhan dari persepsi
pembelajar dan karakteristik pemelajar dewasa.

Implikasi dari riset ini adalah modul yang dikembangan dapat dijadikan salah satu referensi
bahan ajar pengajaran BIPA. Apabila modul ini hendak digunakan dalam praktik pembelajaran,
maka diperlukan pengujian standar kelayakannya sebuah bahan ajar.

Pemelajar BIPA di Polandia memiliki latar belakang pendidikan dan tujuan yang berbeda
dalam mengikuti kelas BIPA. Pengajaran BIPA yang dilaksanakan di Indonesia sangat jauh
berbeda dengan kelas BIPA yang ada di Polandia. Menurut Darmasiswa (2016), pemelajar BIPA
yang belajar bahasa Indonesia melalui program Darmasiswa senantiasa dihadapkan langsung
dengan situasi lingkungan sosial budaya dan penutur asli bahasa Indonesia. Maka dari itu,
pemelajar BIPA dapat langsung berkomunikasi dalam kegiatan sehari-hari dan mereka lebih
cepat belajar bahasa Indonesia baik itu mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis.

Kondisi dan situasi pemelajar BIPA merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
perbedaan ini. Peneliti menyarankan kepada para tenaga pengajar BIPA untuk menyesuaikan
bahan ajar, metode serta teknik dengan pemelajar BIPA di luar negeri. Materi BIPA yang
digunakan harus juga sesuai dengan tingkatan pemelajar BIPA. Pemilihan materi yang tepat akan
membuat suasana lebih menyenangkan. Muatan budaya juga harus disajikan dalam bahan ajar
untuk menambah wawasan budaya Indonesia. Pengajar maupun pemelajar BIPA harus
senantiasa berusaha semaksimal mungkin untuk selalu menggunakan bahasa Indonesia dalam
pengajaran dan pembelajaran BIPA baik di dalam maupun di luar kelas.

Dalam jurnal yang terakhir membahas tentang dianalisis jenis-jenis hambatan di setiap Negara
yang dialami para pengajar BIPA yang di tugaskan ke 23 negara. Hal ini untuk memudahkan
identifikasi dan menentukan jenis hambatannya. Adapun hambatan-hambatan tersebut terbagi ke
dalam delapan aspek hambatan secara umum yang terdapat di dalam 23 negara, yaitu hambatan
standar pembelajaran, hambatan pemelajar, hambatan pengajar, hambatan prasarana dan sarana,
hambatan lembaga sasaran, hambatan lingkungan di luar negeri, hambatan administrasi luar
negeri, dan hambatan koordinasi antarlembaga.
Pada aspek standar pembelajaran, diperoleh data yang menunjukkan bahwa hambatan
terjadi di Amerika Serikat, Australia, Filipina, Malaysia, Mesir, Myanmar, Papua Nugini,
Prancis, Rusia, Thailand, Timor Leste, dan Tunisia. Hambatan pada aspek ini berkaitan dengan
kurikulum dan silabus BIPA belum sesuai SKL, materi buku Sahabatku Indonesia belum sesuai
dengan karakteristik dan kebutuhan pemelajar, jumlah buku penunjang pembelajaran belum
memadai, jumlah pengajar BIPA belum sebanding dengan jumlah pemelajar, dan alokasi waktu
pemelajar belum sesuai dengan SKL. Pada aspek pemelajar, diperoleh data yang menunjukkan
bahwa hambatan terjadi di Amerika Serikat, Australia, Filipina, Finlandia, India, Italia, Jepang,
Kamboja, Laos, Mesir, Myanmar, Papua Nugini, Prancis, Thailand, Timor Leste, Tunisia, dan
Uzbekistan. Hambatan yang terjadi pada aspek ini berkaitan dengan tingkat kehadiran pemelajar,
minat dan motivasi pemelajar, dan pengaruh bahasa ibu dalam pembelajaran bahasa Indonesia.
Pada aspek pengajar, diperoleh data yang menunjukkan bahwa hambatan terjadi di Thailand,
Italia, Vietnam, Laos, Malaysia, Pancis, Timor Leste, dan Tunisia. Hambatan yang terjadi pada
aspek ini berkaitan dengan penguasaan bahasa negara penugasan. Pada aspek prasarana dan
sarana, diperoleh data yang menunjukkan bahwa hambatan terjadi di Mesir, Thailand, Papua
Nugini, Tunisia, Filipina, Timor Leste, Australia, India, Italia, Jerman, Kamboja, Prancis, Rusia,
dan Uzbekistan. Hambatan pada aspek ini berkaitan dengan ketersediaan ruang kelas, media
pembelajaran, jaringan internet, dan listrik di lembaga tempat mengajar BIPA.

Sementara itu pada aspek lembaga sasaran, diperoleh data yang menunjukkan bahwa
hambatan terjadi Thailand, Mesir, Filipina, India, Inggris, Papua Nugini, Rusia, Tunisia,
Australia, Finlandia, Jerman, Prancis, dan Timor Leste. Hambatan pada aspek ini berkaitan
dengan bahasa Indonesia sebagai mata kuliah/mata pelajaran wajib, lokasi tempat mengajar
BIPA, batas jumlah pemelajar BIPA, jadwal kelas bahasa Indonesia, dan sanksi terkait
ketidakhadiran pemelajar. Adapun pada aspek lingkungan di luar negeri, diperoleh data yang
menunjukkan bahwa hambatan terjadi di Thailand, Papua Nugini, Amerika Serikat, Australia,
Inggris, Mesir, Prancis, Timor Leste, Tunisia, Findlandia, India, dan Uzbekistan. Hambatan pada
aspek ini berkaitan dengan perubahan kondisi cuaca, tempat tinggal pengajar, biaya hidup,
kondusifitas lingkungan tempat tinggal, akses transportasi umum, dan konflik atau bencana
daerah. Kemudian pada aspek administrasi luar negeri, diperoleh data yang menunjukkan bahwa
hambatan terjadi di Prancis, Australia, Jerman, Mesir, Singapura, Thailand, dan Uzbekistan.
Hambatan pada aspek ini berkaitan dengan kemudahan proses pembuatan dan perpanjangan
visa/izin tinggal. Terakhir pada aspek koordinasi antarlembaga, diperoleh data yang
menunjukkan bahwa hambatan terjadi di Thailand, Filipina, India, Amerika Serikat, Malaysia,
Myanmar, Prancis, Timor Leste, dan Uzbekistan. Hambatan pada aspek ini berkaitan dengan
sosialisasi, kerjasama, monitoring evaluasi program BIPA, danwaktu pemberangkatan/penugasan
pengajar.
Daftar Pustaka

Dyah & Laili. 2020. PENGEMBANGAN BAHAN AJAR BERBASIS MODUL INTERAKTIF
BAGI PEMELAJAR BIPA TINGKAT A1. Jurnal Kredo Vol. 3 No. 2

Hertiki. 2017. PENGAJARAN DAN PEMBELAJARAN BIPA DI PERGURUAN TINGGI


POLANDIA. JPBSI Vol 6 (2)

Kusuma, dkk. 2018. KARUT-MARUT DALAM KURIKULUM PEMBELAJARAN BAHASA


INDONESIA BAGI PENUTUR ASING (BIPA) DI INDONESIA. FKIP Universitas Jember hal 99-
104

Nastiti, dkk. 2019. Hambatan dalam upaya pengembangan BIPA di luar negeri. Volume 1
Nomor 1

Setyaningsih, dkk. 2016. Pengembangan Materi BIPA Berbasis Multimedia Dan Berkonten
Budaya Lokal. Jurnal CULTURE Vol.3 No.1

Anda mungkin juga menyukai