Oleh :
1. RAFIRLI YUSPA AL HAFIZ (19030015)
2. ADE SARMILA (19030021)
3. CINDY FERBRILIANA ELISE (19030032)
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH LAMPUNG
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di
akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat
sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis
mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah
Studi Islam II dengan judul “Hakekat Haji Dalam Kehidupan”
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya
kepada guru Bahasa Indonesia kami yang telah membimbing dalam menulis
makalah ini.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.
Penulis
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
1.1.Latar Belakang...............................................................................................1
1.2.Rumusan Masalah..........................................................................................1
1.3.Tujuan Pembahasan........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2
2.1. Pengeritan Makalah......................................................................................2
2.2. Karakteristik sebuah Makalah.......................................................................2
2.3. Petunjuk Pembuatan Makalah.......................................................................3
2.4. Susunan Kerangka Makalah..........................................................................4
2.5. Pengertian Resensi atau Ulasan Buku...........................................................8
2.6. Tujuan Resensi Secara Umum......................................................................9
2.7. Unsur-Unsur Dalam Resensi.........................................................................10
2.8. Tujuan Resensi Secara Umum....................................................................11
2.9. Struktur Teks Resensi..................................................................................11
2.10. Jenis-Jenis Resensi....................................................................................12
2.11. Manfaat Resensi........................................................................................12
BAB III PENUTUP..............................................................................................14
3.1.Kesimpulan...................................................................................................14
3.2.Saran.............................................................................................................14
BAB IV DAFTAR PUSTAKA............................................................................15
BAB I
PENDAHULUAN
Betapa banyak kaum Muslimin yang pergi menunaikan ibadah haji, namun
mereka tidak memahami hukum-hukumnya, dan tidak mengetahui hal-hal yang
bisa membatalkan ibadahnya, atau yang bisa mengurangi kesempurnaan hajinya.
Hal ini terjadi, bisa jadi karena haji merupakan ibadah yang pelaksanaannya
membutuhkan waktu yang lama, serta hukum-hukumnya lebih banyak jika
dibandingkan dengan ibadahibadah lainnya. Sehingga bisa menyebabkan
seseorang yang melaksanakan haji melakukan Penyimpangan dan kesalahan.
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati dalam kekafiran, maka tidak
akan diterima (tebusan) dari seseorang di antara mereka sekalipun berupa emas
sepenuh bumi, sekalipun dia hendak menebus diri dengannya[19]. Mereka itulah
orang-orang yang mendapat siksa yang pedih dan mereka tidak memperoleh
penolong.”
Seruan Nabi Ibrahim as. itu disambut oleh masyarakat Arab. Mereka
mengerjakan haji ke Baitullah yang dibangun Ibrahim itu, thawaf, dan memuji
Allah serta mengagungkan asma-Nya sampai ribuan tahun lamanya dari generasi
ke generasi. Ketika Nabi Muhammad saw diutus Allah sebagai Rasul-
Nya,masyarakat Arab masih melaksanakan haji yang dituntunkan oleh Nabi
Ibrahim. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya sudah menyimpang. Mereka
membuat inovasi sendiri dalam pelaksanaan ibadah haji. Di antaranya dalam
melaksanakan thawaf mereka lakukan tanpa busana dan yang mereka sembah
bukan Allah melainkan berhala-berhala yang mereka pajang di sekitar Ka’bah.
Abu Hurairah menjelaskan hal itu sebagai berikut:
" Dari Abu Hurairah ia berkata : Aku pernah diutus Abu Bakar untuk
mengumumkan pada hari Nahar di Mina, bahwa sesudah tahun ini orang musyrik
tidak boleh menunaikan ibadah haji dan tidak boleh tawaf di Ka’bah dengan
telanjang. Dan haji akbar itu adalah hari Nahar". (H.R. Al-Bukhari).
"Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang
lurus, (yaitu) agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu
bukanlah termasuk orang-orang musyrik".
"Dari Ali r.a berkata; Rasulullah saw telah bersabda : "Siapa yang telah memiliki
bekal dan kendaraan yang dapat mengantarkannya ke Baitullah, tetapi ia tidak
juga melaksanakannya (haji), kenapa tidak mati sebagai Yahudi atau Nashrani
saja ? Hal tersebut lantaran Allah SWT berfirman : Mengerjakan haji adalah
kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan
perjalanan ke Baitullah. "(HR. At-Turmuzi dan Al-Baihaqi)
Dalam hadis lain yang senada dengan hadis di atas juga disebutkan :
"Dari Abu Umamah r.a. dari nabi saw. berkata : "Siapa yang tidak terhalang
oleh sesuatu keperluan yang nyata atau penyakit yang menghambatnya, atau
sultan/pemerintahan yang kejam, lalu ia tidak mengerjakan haji, jika ia mati
hendaknya ia mati sebagai Yahudi atau sebagai Nashrani". (HR. At-Turmudzi
dan Al-Baihaqy)
Pemahaman dari kedua hadis diatas adalah sebagai berikut :
-Orang yang telah memiliki kemampuan dan ada kendaraan yang
mengantarkannya ke Baitullah, maka ia wajib mengerjakan haji;
-Kewajiban itu tertunda selagi ada halangan untuk pergi ke Mekkah. Halangan itu
bisa berupa keamanan dalam perjalanan yang tidak terjamin, kesehatannya
terganggu, atau kuota haji yang telah penuh. Kalau halangan sudah tidak ada dan
ia masih tetap istitha’ah, maka kewajiban itu masih tetap melekat padanya. Tetapi
jika halangan itu sudah tidak ada dan ia tidak istitha’ah lagi, maka kewajiban haji
gugur darinya;
-Orang yang sudah cukup bekal dan tidak ada halangan untuk pergi haji tetapi ia
tidak juga pergi haji, maka keislaman orang tersebut diragukan. Bisa jadi ia nanti
mati sebagai Yahudi atau juga sebagai Nashrani. Penggolongan kepada kematian
orang Yahudi atau Nasrani itu karena mengabaikan kewajiban haji padahal
mereka istitha’ah. Digolongkan kepada orang Yahudi karena orang Yahudi tidak
merasa ada kewajiban haji, padahal haji asalnya dari Nabi Ibrahim, nenek moyang
mereka juga. Dalam suatu riwayat dikatakan bahwa kaum Yahudi berkata :
"Sebenarnya kami ini muslim" Nabi Muhammad saw bersabda : "Kalau memang
kalian orang muslim, Allah telah mewajibkan kepada kaum muslimin untuk
berhaji, berkunjung dan beribadah ke Baitullah. Mereka menolak mengerjakan
haji itu, lalu turunlah surat Ali Imran ayat 97 yang artinya :
"… Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi)
orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa
mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak
memerlukan sesuatu) dari semesta alam".
"Dan mereka berkata: "Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau
Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk". Katakanlah : "Tidak, melainkan
(kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia (Ibrahim) itu dari
golongan orang musyrik".
Orang Islam yang sudah istitha’ah dan enggan berhaji, berarti ia sama dengan
ahlul kitab. Namun demikian, orang tersebut dapat juga dikembalikan menjadi
seperti kematian orang muslim apabila ahli warisnya menghajikan atas namanya.
2. Aspek Istitha’ah
" Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang
yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah".
Rasulullah menjelaskan makna istitha’ah ini dalam hadis beliau yang artinya :
"Dari Anas r.a., dari Nabi saw. tentang firman Allah "barang siapa yang mampu
kesana". Anas berkata : Ditanya Rasulullah saw. : Ya Rasulullah, apa yang
dimaksud "sabila" itu ? Nabi menjawab : "Bekal dan kendaraan". (HR. Ad-
Daruqutni)
Dalam Kitab I'anatut Thalibin dijelaskan pengertian istitha’ah itu sebagai berikut
yang artinya:
"Dan seorang dikatakan istitha’ah dengan telah tersedianya bekal perjalanan dan
nafkah bagi keluarga yang menjadi tanggungannya"
Majelis Ulama Indonesia melalui rapat komisi fatwa tanggal 2 Februari 1979
telah memberikan batasan tentang pengertian istitha’ah adalah bahwa orang Islam
dianggap mampu melaksanakan ibadah haji apabila jasmaniah, ruhaniah, dan
perbekalannya memungkinkan ia untuk menunaikan ibadah haji tanpa
menelantarkan kewajiban terhadap keluarganya.
Menurut pendapat Malikiah, orang yang mampu berjalan ia wajib berhaji,
sebagaimana diwajibkan untuk memberikan nafkah keluarga yang ada dalam
tanggungannya. Dia wajib menjual apa saja untuk biaya pergi haji, termasuk
peralatan yang digunakan untuk mencari nafkah, binatang ternak, bahkan sampai
buku-buku dan perhiasannya.
" Bahwasanya seorang wanita dari suku Khas'am berkata : "Ya Rasulullah,
kewajiban haji yang difardlukan Allah atas hamba-hamba-Nya datang kebetulan
bapakku telah tua renta sehingga tak sanggup lagi berkendaraan. Bolehkah saya
menghajikan atas namanya? Jawab Nabi : "Boleh". Peristiwa itu terjadi pada
saat haji wada'. (HR. Jama'ah)
Badal haji tersebut haruslah sudah berhaji. Tidak sah seorang menghajikan orang
lain sementara dirinya belum haji. Dalam sebuah hadis Rasulullah menjelaskan
yang artinya:
"Dari Ibnu Abbas r.a. bahwasanya Rasulullah saw mendengar seorang laki-laki
yang berkata : "Labbaika dari Syubrumah. Rasulullah saw bertanya : "Siapa
Syubrumah itu ? laki-laki itu menjawab : "Saudaraku atau kerabatku. Rasulullah
bertanya lagi : Sudahkah engkau berhaji untuk dirimu ? Ia menjawab : "Belum !.
Rasulullah berkata lagi : Berhajilah untuk dirimu dulu, kemudian baru hajikan
Syubrumah". (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Badal haji tidak mesti harus ada hubungan keluarga dengan orang yang dihajikan.
Yang penting, badal itu mengetahui identitas orang yang diwakilinya. Hal itu
penting karena ketika akan memulai ibadah, badal harus meniatkannya untuk
orang yang diwakilinya agar hajinya sah. Tidak dibutuhkan izin dari orang yang
diwakili, karena ia telah meninggal. Tentu saja biayanya diambil dari harta orang
yang diwakili, yaitu harta peninggalannya. Dalam kitab Fathul Mu'in dijelaskan
yang artinya:
"Dan bolehlah (ibadah) itu dilakukan oleh orang asing (bukan keluarganya)
sekalipun tanpa izin (dari padanya)
Orang yang mampu secara finansial tetapi tidak mampu secara fisik, orang ini
dinamakan ma’dlub. Orang seperti ini wajib berhaji dengan mewakilkan atau
menyuruh orang lain untuk menghajikannya dengan biaya dijamin olehnya. Untuk
menghajikan orang ma'dlub harus ada izin dari yang bersangkutan. Dalam kitab
Fathul Mu'in juga dijelaskan masalah ini sebagai berikut yang artinya :
"Tidak sah menggantikan ibadah orang ma'dlub tanpa seizin dari padanya,
karena ibadah haji itu perlu ada niatnya, sedangkan dalam hal ini dialah yang
berhak meniati dan mengizini".
Adapun jika keadaan seorang itu memiliki kemampuan berhaji baik secara
finansial, fisik, serta aman perjalanannya, maka ia tidak dibenarkan
mewakilkannya kepada orang lain, meskipun yang mewakili itu isterinya atau
anaknya sendiri. Keadaan seperti ini dalam fikih Islam disebut sharurah. Islam
tidak membenarkan sharurah. Dalam sebuah hadis Rasulullah saw. melarang cara
sharurah:
"Dari Ibnu Abbas r.a. bahwasanya Nabi saw. berkata : " Tidak ada sharurah
dalam Islam". (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Jadi, istitha’ah itu dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu (1) kesanggupan
mengerjakan sendiri, dan (2) kesanggupan megerjakan dengan diwakili oleh orang
lain. Kedua kesanggupan itu menjadi sebab timbulnya kewajiban haji atas diri
seorang muslim, dan kewajiban itu tetap melekat pada dirinya selama ia belum
menunaikannya. Beberapa hal yang harus diperhatikan yang berkaitan dengan
istitha’ah ini adalah:
a. Rumah satu-satunya yang dibutuhkan untuk tempat tinggal dia bersama
keluarga dan orang-orang yang berada di bawah tanggungjawabnya tidak boleh
dijual untuk bekal pergi haji;
b. Uang modal usaha guna memperoleh nafkah keluarga tidak boleh digunakan
atau dihabiskan untuk bekal pergi haji. Demikian ini dijelaskan dalam kitab Fikih
Sunnah bahwa :
"Jika ia memerlukan tempat kediaman yang tak dapat diabaikannya, atau pelayan
yang akan melayaninya, ia tidak wajib pergi haji. Dan jika orang membutuhkan
uang untuk modal usaha yang hasilnya menjadi andalan nafkah keluarga, -
menurut Abul Abbas bin Sharih - ia tidak wajib haji, karena ia membutuhkan
uang itu.
c. Orang yang punya biaya untuk pergi haji tetapi ia juga punya pinjaman kepada
orang lain sebesar biaya haji itu, dan jika pergi haji ia tidak mungkin melunasi
hutangnya, maka ia tidak wajib pergi haji. Hendaknya ia menggunakan uang itu
untuk melunasi hutangnya. Demikian diterangkan lebih lanjut :
"Dan jika seorang yang dipiutangi itu orang yang tidak mampu, atau akan sulit
membayarnya, maka tidak wajib pergi haji".
Seorang muslim yang memiliki harta yang bukan menjadi andalan sumber
penghasilan baginya, dan apabila harta-harta tersebut dijual tidak mengakibatkan
terbengkalainya tanggung jawab memberi nafkah kepada keluarga, maka orang
tersebut sudah istitha’ah. Istitha’ah tidak bisa diartikan sebagai kelebihan harta
setelah kebutuhan-kebutuhan lain terpenuhi. Bukan demikian. Makna " man
istatha'a ilaihi sabila" itu adalah suatu kondisi seseorang di mana ia benar-benar
mampu menyiapkan biaya pergi haji sehingga tidak menimbulkan mudlarat
baginya. Keadaan tersebut tidak boleh dimanipulasi dengan berbagai alasan yang
seolah-olah ia tidak mampu. Allah Maha Mengetahui keadaan kemampuan
hamba-Nya.
Haji adalah ibadah yang sangat monumental dalam kehidupan seorang muslim.
Dalam literatul islam disebut dengan ibadah paripurna atau puncak pencapaian
spiritual manusia. Sebab, ibadah haji melibatkan semua aspek, mulai dari
materi,fisik maupun psikis.
Ali Syariati dalam bukunya Hajj: Reflection on its Rituals memberikan refleksi
bahwa haji adalah sebuah “simbol”. Semakin dalam engkau menyelami lautan ini,
semakin jauh engkau dari tepiannya. Haji adalah samudera tak bertepi. Artinya,
haji sarat dengan makna spiritual yang mendalam di balik ritual”simbol”nya.
Pertama, thawaf, yakni mengitari Ka’bah sebanyak tujuh kali melawan
arah jarum jam. Thawaf adalah simbol bahwa alam ini tidak berhenti bergerak.
Manusia yang ingin eksis adalah yang manusia yang selalu bergerak. Maknanya,
bergerak adalah entitas kehidupan. Berhenti bergerak sama dengan kematian.
Kualitas seseorang ditentukan oleh gerak dirinya ke arah yang memberi gerak.
Bergerak ke pusat orbitnya. Dalam konteks kehidupan, seseorang yang haji adalah
pribadi yang bergerak dalam mengejewantahkan nilai-nilai ketuhanan di muka
bumi. Bergerak dari perilaku maksiat menuju perilaku yang penuh rahmat. Karena
dengan bergerak ke arah tuhanlah kita akan selamat di belantara kehidupan ini.
Sebaliknya, berhenti bergerak adalah statis dan itu sejatinya mati,walau tanpa
dikebumi.
Kedua, sa’i yaitu berlari-lari kecil antara bukit Safa dan Marwa. Hal ini
dilakukan ketika Siti Hajar sangat membutuhkan air. Berdua dengan Ismail yang
masih kecil di tempat yang asing dan tidak ada sumber kehidupan. Sebuah
tantangan kehidupan yang teramat berat. Siti Hajar berlari berulang kali mencari
sumber air. Ketika sampai di Marwa, ia melihat air di Safa, ketika sampai di Safa,
ia melihat air di Marwa. Ternyata yang dilihatnya itu adalah fatamorgana. Namun,
tanpa disangka muncullah air dikaki Ismail, yang sekarang kita kenal dengan
nama air Zam-Zam. Perilaku Siti Hajar ini memberikan gambaran, bahwa untuk
menggapai kejayaan hidup perlu usaha yang sungguh-sungguh dan maksimal.
Kendatipundemikian, keputusan akhir ada ditangan Allah, manusia hanya
diperintahkan berusaha.
Sebagai sebuah ibadah yang sarat dengan simbol dan makna spiritual,
sejatinya harus dipahami dengan benar oleh jemaah calon haji. Sebab dengan
mengerti, memahami dan menghayati makna tersirat dari yang tersuratlah ibadah
haji akan bermakna.
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Haji, suatu perjalanan menuju mekkah atau lebih tepat, yaitu seperangkat ibadah
yang dituanikan disana dalam periode waktu yang telah ditentukan, seperti yang
telah dilakukan umat muslim sejak 10 H(632m) atau sebelumnya.
Haji mabrur, yaitu haji yang diterima dan diridhai oleh allah swt, karen ibadah
hanjinya dilakukan dengan baik dan benar serta dengan bekal yang halal, suci dan
bersih. Tidak dikotori oleh perbuatan dosa, riya, sum'ah, rofats, fusuq dan jadal,
tetapi dikerjakan dengan niat ikhlas karena allah.
Selain itu haji juga merupakan hal wajib dilakukan bagi muslim yang mampu baik
dari segi fisik maupun finansial. Namun sunah bagi yang tidak mampu seperti
yang tercantum dalam rukun islam yang ke 5 "naik haji (bila mampu)". Haji ini
hanya perlu dilakukan satu kali satu kali dalam seumur hidup.
Tidak hanya itu haji juga memberikan makna spiritual dalam kehidupan sosial
karena ibadah haji ini melibatkan semua aspek, mulai dari materi,fisik, maupun
psikis. Ali syariati dalam bukunya haji: Reflection on its rituals memberikan
refleksi bahwa haji adalah sebuah "simbol". Semakin dalam engkau menyelami
lautan ini, semakin jauh engkau dari tepianya. Haji adalah samudra tak bertepi,
yang artinya haji sarat dengan makna spiritual yang mendalam dibalik ritual
simbolnya.
Pertama , Thawaf : yaitu mengitari kabah sebanyak tujuh kali melawan arah
jarum jam. Dimana thawaf ini adalah entitas kehidupan, berhenti bergerak sama
dengan kematian. Dimana kualitas seseorang ditentukan oleh gerak dirinya ke
arah yang memberi gerak, bergerak kepusat orbitnya.
Kedua, Sa'i : yaitu berlari lari kecil antara bukit safa dan marwa. hal ini adalah hal
yang pernah dilakukan oleh siti hajar ketika sangat membutuhkan air, bersama
dengan ismail ditempat yang tandus, entah dimana, dan tidak ada sumber
kehidupan. Siti hajar berlari berkeliling mencari sumber air, namun yang
ditemukannya justru fatamorgana. namun tanpa disangka air justru muncul
dibawah tanah yang di injak ismail. Prilaku ini memberikan gambaran, bahwa
untuk mengapai kejayaan hidup memerlukan usaha yang sungguh sungguh dan
maksimal. Namun demikian kembali, karena segala keputusan ada ditangan allah,
setidaknya terus berusaha.
Ketiga, melontar jum'rah : ritual ini didasarkan pada kebiasaan ibrahim yang
melempar setan ketika ingin menunaikan perintah allah swt. Setan adalah simbol,
yang menggagalkan manusia untuk tidak taat kepada allah dan itu harus dilawan
dari dalam diri manusia. Wajah setan pada manusia muncul dalam berbagai
personifikasi. Bagi orang yang berlimpah harta, setan muncul dalam prilaku
Qarun. Bagi yang memiliki jabatan dan kekuasaan, setan muncul dalam sifat
firaun. Dan bagi yang intelektual, maka setan muncul dalam prilaku Bai'am.
Keempat, Wukuf di padang arafah: dalam islam daerah ini adalah tempat
dipertemukanya Adam dan Hawa lalu melakukan taubat kepada allah. Padang
arafah dikenal sebagai miniaturnya padang mahshar. Jutaan jemaan haji
berkumpul ditempat ini, tidak ada beda antara pejabat dan rakyat, antara kaya dan
miskin, dan tidak ada sekat sekat negara berbangsa. Yang ada hanyalah manusia
mahluk allah swt.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
https://www.riaumandiri.id/read/detail/18446/menyelami-makna-spiritual-
haji.html
Al Ghazali, Abu Hamid. Rahasia Haji dan Umroh. 1999. Bandung: Karisma.
Al Istinbath : Jurnal Hukum Islam vol. 2, no. 1, 2017
Departemen Agama RI, Ilmu Fiqih, Jakarta : Direktorat Pembinaan Perguruan
Tinggi Agama Islam, 1983, halaman 342
Sayid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Ibid., halaman 622
Jurnal Kajian Ekonomi Islam -Volume 2, Nomor 1, Januari-Juni 2017